Anda di halaman 1dari 5

Bung Tomo atau Sutomo dilahirkan di Surabaya, Jawa Timur pada tanggal 3 Oktober 1920 tepatnya

di Kampung Blauran, di pusat kota Surabaya.

Ayahnya bernama Kartawan Tjiptowidjojo, seorang kepala keluarga dari


kelas menengah. Pernah bekerja sebagai pegawai pemerintahan, sebagai staf
pribadi di sebuah perusahaan swasta. Dan sebagai asisten di kantor pajak
pemerintah, dan pegawai kecil di perusahan ekspor-impor Belanda.

Ia mengaku mempunyai pertalian darah dengan beberapa pendamping


dekat Pangeran Diponegoro yang dikebumikan di Malang. Ibunya bernama
Subastita, memiliki darah campuran Jawa Tengah, Sunda, dan Madura.

Ayahnya adalah seorang serba bisa. Ia pernah bekerja sebagai polisi di


kotapraja, dan pernah pula menjadi anggota Sarekat Islam, sebelum ia pindah ke
Surabaya dan menjadi distributor lokal untuk perusahaan mesin jahit Singer.

Masa Kecil

Sutomo dibesarkan di rumah yang sangat menghargai pendidikan. Ia


berbicara dengan terus terang dan penuh semangat. Ia suka bekerja keras untuk
memperbaiki keadaan.

Mengenai riwayat pendidikan Bung Tomo, ia pernah bersekolah di


MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs) yang setara SMP. Namun, pada usia
12 tahun ia terpaksa meninggalkan pendidikannya di MULO.
Dalam Biografi Bung Tomo, diketahui bahwa Sutomo melakukan
berbagai pekerjaan kecil-kecilan untuk mengatasi dampak depresi yang melanda
dunia saat itu.

Belakangan ia menyelesaikan pendidikan sekolah HBS


(Hogereburgerschool) lewat korespondensi, namun tidak pernah resmi lulus.

Sutomo kemudian bergabung dengan KBI (Kepanduan Bangsa


Indonesia). Belakangan Sutomo menegaskan bahwa filsafat kepanduan,
ditambah dengan kesadaran nasionalis yang diperolehnya dari kelompok ini dan
dari kakeknya, merupakan pengganti yang baik untuk pendidikan formalnya.

Pada usia 17 tahun, ia menjadi terkenal ketika berhasil menjadi orang


kedua di Hindia Belanda yang mencapai peringkat Pandu Garuda. Sebelum
pendudukan Jepang pada 1942, peringkat ini hanya dicapai oleh tiga orang
Indonesia.

Sutomo pernah menjadi seorang jurnalis yang sukses. Kemudian ia


bergabung dengan sejumlah kelompok politik dan sosial. Ketika ia terpilih pada
1944 untuk menjadi anggota Gerakan Rakyat Baru yang disponsori Jepang,
hampir tak seorang pun yang mengenal dia.

Tokoh Penting Pertempuran Surabaya


Namun semua ini mempersiapkan Sutomo untuk peranannya yang sangat
penting, ketika pada Oktober dan November 1945, ia menjadi salah satu
Pemimpin yang menggerakkan dan membangkitkan semangat rakyat Surabaya.

Pada waktu itu Surabaya diserang habis-habisan oleh tentara-tentara


NICA. Sutomo terutama sekali dikenang karena seruan-seruan pembukaannya
di dalam siaran-siaran radionya yang penuh dengan emosi.

Meskipun Indonesia kalah dalam Pertempuran 10 November itu, kejadian


ini tetap dicatat sebagai salah satu peristiwa terpenting dalam sejarah
Kemerdekaan Indonesia.

Dalam biografi Bung Tomo diketahui bahwa setelah kemerdekaan


Indonesia, Sutomo sempat terjun dalam dunia politik pada tahun 1950-an,
namun ia tidak merasa bahagia dan kemudian menghilang dari panggung
politik.

Pada akhir masa pemerintahan Soekarno dan awal pemerintahan Suharto


yang mula-mula didukungnya, Sutomo kembali muncul sebagai tokoh nasional.

Menteri Negara Urusan Bekas Pejuang Bersenjata

Padahal, berbagai jabatan kenegaraan penting pernah disandang Bung


Tomo. Ia pernah menjabat Menteri Negara Urusan Bekas Pejuang
Bersenjata/Veteran sekaligus Menteri Sosial Ad Interim pada 1955-1956 di era
Kabinet Perdana Menteri Burhanuddin Harahap.
Bung Tomo juga tercatat sebagai anggota DPR pada 1956-1959 yang
mewakili Partai Rakyat Indonesia. Namun pada awal 1970-an, ia kembali
berbeda pendapat dengan pemerintahan Orde Baru.

Mengkritik Soeharto

Ia berbicara dengan keras terhadap program-program Suharto sehingga


pada 11 April 1978 ia ditahan oleh pemerintah Indonesia yang tampaknya
khawatir akan kritik-kritiknya yang keras.

Baru setahun kemudian ia dilepaskan oleh Suharto. Meskipun


semangatnya tidak hancur di dalam penjara, Sutomo tampaknya tidak lagi
berminat untuk bersikap vokal.

Ia masih tetap berminat terhadap masalah-masalah politik, namun ia tidak


pernah mengangkat-angkat peranannya di dalam sejarah perjuangan bangsa
Indonesia.

Ia sangat dekat dengan keluarga dan anak-anaknya, dan ia berusaha keras


agar kelima anaknya berhasil dalam pendidikannya.

Sutomo sangat bersungguh-sungguh dalam kehidupan imannya, namun


tidak menganggap dirinya sebagai seorang Muslim saleh, ataupun calon
pembaharu dalam agama.

Bung Tomo Wafat


Pada 7 Oktober 1981 ia meninggal dunia di Padang Arafah, ketika sedang
menunaikan ibadah haji. Berbeda dengan tradisi untuk memakamkan para
jemaah haji yang meninggal dalam ziarah ke tanah suci.

Jenazah Bung Tomo dibawa kembali ke tanah air dan dimakamkan bukan
di sebuah Taman Makam Pahlawan, melainkan di Tempat Pemakaman Umum
Ngagel di Surabaya.

Gelar Pahlawan Nasional

Setelah pemerintah didesak oleh Gerakan Pemuda (GP) Ansor dan Fraksi
Partai Golkar (FPG) agar memberikan gelar pahlawan kepada Bung Tomo pada
9 November 2007.

Akhirnya gelar pahlawan nasional diberikan ke Bung Tomo bertepatan


pada peringatan Hari Pahlawan tanggal 10 November 2008. Keputusan ini
disampaikan oleh Menteri Komunikasi dan Informatika Kabinet Indonesia
Bersatu, Muhammad Nuh pada tanggal 2 November 2008 di Jakarta

Anda mungkin juga menyukai