Anda di halaman 1dari 5

Bung Tomo : Pembakar Semangat Arek-Arek Surabaya

Aulia Elfrida Salsabilla


SMA Negeri 4 Kota Bekasi
Email : auliaelfridabilla@gmail.com

Abstract : Sutomo or better known as the people's familiar greeting as Bung Tomo is a hero known
for his role in the Battle of November 10, 1945. At that time, the people of Surabaya fought against
the Dutch who backed the Netherlands Indies Civil Administration (NICA). Sutomo was able to
inflame the enthusiasm of the fighters to defend Indonesian independence. His figure is attached as
a patriot who always dares to fight against the invaders. He fought on the path of agitation and
propaganda. His speech succeeded in inflaming the enthusiasm of the youth and students to work
hard on the battlefield in Surabaya. He also played a role in the disarmament of the Japanese, then
sent most of the weapons to Jakarta.

Keywords : Bung Tomo, History.

Abstract : Sutomo atau lebih dikenal dengan sapaan akrab rakyat sebagai Bung Tomo adalah
seorang pahlawan yang dikenal karena perannya dalam Pertempuran 10 November 1945. Saat itu,
rakyat Surabaya berperang melawan Belanda yang didukung oleh Netherlands Indies Civil
Administration (NICA). . Sutomo mampu mengobarkan semangat para pejuang untuk
mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Sosoknya melekat sebagai seorang patriot yang selalu
berani melawan penjajah. Dia berjuang di jalan agitasi dan propaganda. Pidatonya berhasil
mengobarkan semangat para pemuda dan mahasiswa untuk bekerja keras di medan perang di
Surabaya. Ia juga berperan dalam pelucutan senjata Jepang, kemudian mengirimkan sebagian besar
senjatanya ke Jakarta.

Kata Kunci : Bung Tomo, Sejarah.

PENDAHULUAN

Bung Tomo atau Sutomo merupakan tokoh Indonesia serta pahlawan nasional yang berasal
dari Surabaya. Ia dikenal dengan orasinya yang membakar semangat arek-arek Suroboyo di
Pertempuran Surabaya pada 10 November 1945.Pada saat itulah tercetus semboyan "Merdeka atau
Mati" yang diucapkan Bung Tomo. Peran sentral perjuangan Bung Tomo dalam Pertempuran 10
November 1945 dimulai dengan kedatangan Inggris dan Belanda pada 25 Oktober 1945.

Pasukan yang tergabung dalam Rehabilitation of Allied Prisoners of War and Internees
(RAPWI) merupakan bagian dari pasukan Sekutu yang memenangkan Perang Asia Timur Raya atas
Jepang. Tujuan dari RAPWI adalah melakukan bantuan rehabilitasi tawanan perang dan adanya
interniran dalam melucuti senjata tentara Jepang. Pasukan Sekutu sebelumnya sudah mendarat di
Jakarta pada 15 September 1945 atau kurang dari sebulan setelah Proklamasi Kemerdekaan RI
dinyatakan oleh Soekarno-Hatta tanggal 17 Agustus 1945.
Tulisan ini bertujuan untuk membahas tentang sosok Bung Tomo pahlawan Indonesia yang banyak
dikenal dalam peristiwa 10 November .Tulisan ini juga akan memamparkan siapa itu Bung Tomo dan
perjuangannya bagi sejarah Indonesia.

METODE

Penulisan artikel ini menggunakan studi pustaka dalam pengumpulan data dimana data yang
diperoleh adalah data sekunder yang di peroleh dari berbagai sumber tertulis, seperti buku bahan
bacaan, beberapa penelitian, dan jurnal ilmiah lainnya yang terkait pembahasan mengenal Bung
Tomo dan perjuangannya.

Data yang telah di kumpulkan dari berbagai sumber kemudian diklasifikasikan, diinterpretasikan, dan
disusun untuk dianalisis dengan menggunakan studi pustaka diharapkan dapat menjelaskan
mengenai siapa itu sosok Bung Tomo.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Bung Tomo

Bung Tomo dilahirkan di Kampung Blauran, Surabaya pada 3 Oktober 1920 dengan nama
Sutomo. Dia merupakan sulung dari enam orang bersaudara. Adiknya masing-masing bernama
Sulastri, Suntari, Gatot Suprapto, Subastuti, dan Hartini.

Ayahnya bernama Kartawan Tjiptowidjojo, seorang priayi golongan menengah yang pernah bekerja
sebagai pegawai pemerintah, staf perusahaan swasta, asisten kantor pajak, hingga pegawai
perusahan ekspor-impor Belanda. Kartawan mengaku mempunyai pertalian darah dengan beberapa
pengikut dari Pangeran Diponegoro yang dimakamkan di Malang.

Ibu Sutomo bernama Subastita, seorang perempuan berdarah campuran Jawa Tengah, Sunda,
dan Madura anak seorang distributor lokal mesin jahit Singer di wilayah Surabaya, yang sebelum
pindah ke Surabaya pernah menjadi polisi kotapraja dan anggota Sarekat Islam (SI).

Saat kecil, Bung Tomo hidup dalam keterbatasan. Ia sempat sekolah di Meer Uitgebreid Lager
Onderwijs (MULO), tetapi tidak diteruskan. Ketika berusia 12 tahun pada 1932, Sutomo berhenti
sekolah dari MULO karena harus bekerja untuk membantu perekonomian keluarga.

Meski demikian, Bung Tomo mampu menyelesaikan pendidikannya di Hoogere Burgerschool (HBS)
melalui korespondensi, meski tidak lulus secara resmi.

Sutomo menikah dengan Sulistina, seorang bekas perawat Palang Merah Indonesia (PMI)
pada 19 Juni 1947. Pasangan ini dikaruniai empat orang anak, masing-masing bernama Titing
Sulistami (lahir tanggal 29 Juni 1948), Bambang Sulistomo (lahir tanggal 22 April 1950), Sri Sulistami
(lahir tanggal 16 Agustus 1951), dan Ratna Sulistami (lahir tanggal 12 November 1958).

Peran Bung Tomo

Peran sentral perjuangan Bung Tomo dalam Pertempuran 10 November 1945 dimulai
dengan kedatangan Inggris dan Belanda pada 25 Oktober 1945. Pasukan yang tergabung dalam
Rehabilitation of Allied Prisoners of War and Internees (RAPWI) merupakan bagian dari pasukan
Sekutu yang memenangkan Perang Asia Timur Raya atas Jepang.

Tujuan dari RAPWI adalah melakukan bantuan rehabilitasi tawanan perang dan adanya interniran
dalam melucuti senjata tentara Jepang. Pasukan Sekutu sebelumnya sudah mendarat di Jakarta pada
15 September 1945 atau kurang dari sebulan setelah Proklamasi Kemerdekaan RI dinyatakan oleh
Soekarno-Hatta tanggal 17 Agustus 1945.

Kedatangan pasukan Sekutu ke Surabaya membuat suasana kota menjadi tegang. Mulai terjadi
gesekan dengan kaum pemuda dan pejuang yang bertekad mempertahankan kemerdekaan RI,
termasuk insiden perobekan bendera Belanda di Hotel Yamato pada 19 September 1945. Insiden
tersebut memicu polemik lanjutan.

Pada 27 Oktober 1945, tentara Inggris mulai menduduki gedung pemerintahan di Surabaya,
sehingga terjadilah rangkaian konflik selama beberapa hari.

Pada 29 Oktober 1945, Presiden Soekarno datang ke Surabaya untuk menghentikan pertempuran.
Kehadiran Bung Karno menghasilkan kesepakatan gencatan senjata antara Sekutu dan para pejuang
di Surabaya pada 30 Oktober 1945.

Namun, ternyata terjadi insiden pada hari yang sama dan menyebabkan komandan pasukan Sekutu
di Jawa Timur, yakni Brigadir Jenderal Aubertin Mallaby, tewas. Posisi Mallaby kemudian digantikan
oleh Mayor Jenderal Robert Mansergh dari Komandan Divisi 5 Inggris.

Pada 9 November 1945, Mansergh mengeluarkan ultimatum kepada rakyat Surabaya. Isi dari
ultimatum tersebut antara lain :

• Seluruh pemimpin Indonesia di Surabaya harus melaporkan diri

• Seluruh senjata yang dimiliki oleh pihak Indonesia di Surabaya harus diserahkan kepada Inggris

• Para pemimpin Indonesia di Surabaya harus bersedia menandatangani pernyataan menyerah


tanpa syarat.

Namun, peringatan itu tidak disambut baik oleh para pejuang dan segenap lapisan masyarakat.
Keeseokan harinya, tanggal 10 November 1945 pukul 06.00 WIB, tidak ada seorang pun dari pihak
Indonesia yang datang untuk menyerahkan diri.

Hal tersebut tentunya menyulut amarah dari pihak Sekutu, yang kemudian membombardir
Surabaya. Perang besar tidak dapat dihindari yang dikenal dengan Pertempuran 10 November 1945.
Kota Surabaya hancur dibombardir oleh pasukan gabungan Inggris dan Belanda. Korban jiwa pun
berjatuhan.

pertempuran tersebut dikenang sebagai simbol perlawanan rakyat Indonesia melawan pendudukan
pasukan asing. Peristiwa inilah yang menjadi tanggal diperingatinya Hari Pahlawan setiap 10
November.

Pertempuran Surabaya yang berlangsung sejak akhir Oktober hingga akhir November 1945 tidak
diragukan lagi merupakan salah satu pertempuran besar dalam sejarah Indonesia modern.

Pertempuran itu melibatkan gabungan antara Tentara Keamanan Rakyat (TKR) dan milisi rakyat di
satu sisi dan pasukan Inggris dan Gurkha di sisi lainnya. salah satu elemen penting di balik kegigihan
pejuang dan masyarakat Surabaya dalam bertahan adalah kuatnya semangat dan keyakinan mereka
untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Ini dibentuk oleh mereka yang mampu mengajak
dan memobilisasi massa.

Peran para pemimpin perjuangan rakyat di Surabaya dapat dilihat melalui pidato-pidatonya sangat
persuasif untuk menggerakkan massa. Dari pihak pemerintah RI di Surabaya ada Residen Sudirman
dan Gubernur Surio, sedangkan dari tengah masyarakat muncul satu sosok sentral, yakni seorang
mantan jurnalis bernama Soetomo, yang akrab disapa Bung Tomo.

Karier Bung Tomo


Pada 1937, ketika berusia 17 tahun, Bung Tomo berhasil menjadi orang kedua di Hindia Belanda
yang mencapai peringkat "Pandu Garuda". Pandu Garuda adalah tingkatan tertinggi dalam setiap
golongan Pramuka.

Selain itu, Bung Tomo juga sempat bekerja sebagai pegawai Hindia Belanda. Kariernya dimulai
dengan menjadi staf pribadi di sebuah perusahaan swasta. Bung Tomo juga pernah menjadi asisten di
kantor pajak pemerintah dan pegawai kecil di perusahaan ekspor-impor Belanda.
Kemudian, Bung Tomo bekerja sebagai polisi di Kota Praja. Ia juga menjadi anggota Sarekat Islam.
Selain itu, Bung Tomo pernah bekerja sebagai seorang jurnalis dan tergabung dengan sejumlah
kelompok politik dan sosial.

Perjuangan Bung Tomo


Saat itu, nama Bung Tomo atau Sutomo belum begitu terkenal. Ia hanya dikenal sebagai seorang
yang tergabung dapa pergerakan rakyat. Setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia, Bung Tomo
turut serta dalam pengepungan gudang mesio Don-Bosco milik Jepang. Usaha tersebut berhasil dan
para pejuang mampu menguasai dan merebut senjata miliki tentara Jepang.
Kemudian, pada Oktober dan November 1945, Bung Tomo berupaya membangkitkan semangat arek-
arek Suroboyo. Keadaan yang memanas setelah penyerangan Hotel Yamato pada 27 Oktober 1945
dan tewasnya Mallaby, membuat kota Surabaya dalam keadaan berbahaya.

Pasca tewasnya Mallaby, rakyat Surabaya mendapat ultimatum untuk segera menyerahkan senjata
kepada pihak Sekutu yang saat itu diwakili oleh Inggris. Ultimatum tersebut dibalas Bung Tomo
dengan seruan yang membakar semangat arek-arek Suroboyo.

Melalui siaran radio, Bung Tomo dengan semangat berapi-api mengajak rakyat Surabaya untuk
mempertahankan kemerdekaan Indonesia.

Adapun kutipan dari orasi Bung Tomo melalui siaran radio adalah sebagai berikut ini: "Lebih baik kita
hancur lebur daripada tidak merdeka. Semboyan kita tetap: “Merdeka atau Mati!”.

Hingga akhirnya, pada 10 November 1945, pecahlah perang antara rakyat Surabaya dengan tentara
Inggris.

Gelar Pahlawan Nasional


Pada 7 Oktober 1981, Bung Tomo meninggal dunia di Padang Arafah ketika menjalankan ibadah
haji. Berbeda halnya dengan tradisi memakamkan jemaah haji yang meninggal di tanah suci, jenazah
Bung Tomo dibawa pulang ke tanah air.
Sesuai dengan wasiatnya, Bung Tomo tidak dimakamkan di Taman Makam Pahlawan seperti halnya
tokoh-tokoh yang lain, melainkan di Tempat Pemakaman Umum Ngagel Surabaya.
Nama Bung Tomo lantas secara resmi dikukuhkan menjadi pahlawan nasional pada peringatan Hari
Pahlawan tahun 2008 di Istana Merdeka. Saat itu, istrinya yang menerima langsung surat keputusan
bernomor 041/T/Tahun 2008 yang diserahkan oleh Presiden Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono.
Pemberian gelar pahlawan nasional kepada Bung Tomo, sekaligus mengakhiri polemik
berkepanjangan yang sempat muncul saat itu. Pengangkatan ini didasari oleh desakan dari berbagai
pihak, termasuk GP Ansor dan Fraksi Partai Golkar DPR.
KESIMPULAN
Sutomo atau lebih dikenal dengan sapaan akrab Bung Tomo adalah pahlawan nasional Indonesia
dan pemimpin militer Indonesia pada masa Revolusi Nasional Indonesia yang dikenal karena
peranannya dalam Pertempuran 10 November 1945.

DAFTAR PUSAKA
https://www.gramedia.com/literasi/biografi-bung-tomo/
https://www.kompas.com/stori/read/2022/08/27/120000779/biografi-bung-tomo-pembakar-semangat-
arek-arek-suruboyo

Anda mungkin juga menyukai