Anda di halaman 1dari 5

INDONESIA MILIK KITA BERSAMA

Akhir-akhir ini muncul sebuah iklan partai politik di televisi yang mengkampanyekan
partainya dengan menggambarkan tentang sket siapa sesungguhnya orang Indonesia itu.
Dalam iklan tersebut digambarkan bahwa orang Indonesia adalah “mereka yang tulus hati
mencintai negeri ini dan mereka yang tulus berjuang bertindak secara nyata
mensejahterakan Indonesia.”
Bukan bermaksud mendukung partai politik tersebut, akan tetapi saya mengamini
(setuju) dengan pernyataan dalam iklan itu. Bila kita interpretasikan dan kita hayati bahwa
sesungguhnya disebut orang Indonesia adalah bukan orang Jawa, Sunda, Batak, Dayak dan
suku-suku lainnya. Dan juga bukan orang menganut agama Islam, Kristen, Budha, Hindhu
dan kepercayaan lainnya. Akan tetapi yang disebut orang Indonesia adalah mereka yang
memiliki jiwa Nasionalisme, Patriotisme, dan mereka yang peduli sesama. Itulah yang layak
disebut sebagai orang Indonesia. Sunggguh sangat ironi, di negeri kita tercinta ini masih
sering terdengar rasialisme etnis berdasarkan suku, agama dan ras.
Berbicara tentang pribumi dan non-pribumi, saya teringat akan ucapan seorang
pejuang yang berasal dari etnis Tionghoa, John Lie namanya. Siapakah orang pribumi dan
non-pribumi ? ia mengatakan “Orang pribumi adalah orang-orang yang Pancasilais,
saptamargais, yang jelas-jelas membela kepentingan negara dan bangsa. Sedangkan non-
pribumi adalah mereka yang suka korupsi, suka pungli, suka memeras dan melakukan
subversi. Mereka itu juga sama menusuk bangsa kita dari belakang. Maka patutlah mereka
digolongkan orang non-pribumi, karena pada hakikatnya mereka adalah pengkhianat-
pengkhianat bangsa! Jadi soal pribumi dan non-pribumi tidak boleh dilihat dari suku bangsa
dan keturunan melainkan dari sudut kepentingan siapa yang mereka bela.” John Lie
menyatakan pendapatnya ke publik melalui majalah Monalisa, Januari 1980 (Nursam: 2008).
Sampai hari ini kita masih sering memakai istilah pribumi dan non-pribumi hanya
melihat berdasarkan tanah kelahiran saja, akan tetapi kenapa pernyataan tersebut tidak
berlaku untuk orang-orang Tionghoa yang terlahir di Indonesia ? Orang Jawa melahirkan
anak di Sumatera, masih bisa disebut orang Indonesia. Tapi kenapa orang Tionghoa
melahirkan anak di Sumatera, tidak disebut orang orang Indonesia, mereka disebut peranakan
Tionghoa. Hal-hal inilah yang harus diperhatikan, diteliti, dikaji dan dipahami lebih dalam.
Apabila kita melihat sejarah, etnis Tionghoa slalu mendapatkan diskriminasi dari para
penguasa pada zamannya, dari masa kolonial Belanda sampai Rezim Suharto. Barulah pada
masa reformasi ada keterbukaan dan ada kebebasan untuk orang-orang Tionghoa.

1
Istilah pribumi dan non-pribumi warisan Kolonial
Konsep atau istilah pribumi dan non-pribumi berawal dari peraturan yang dikeluarkan
oleh pemerintahan kolonial Belanda yang membagi tiga golongan penduduk di Indonesia.
Golongan pertama yaitu warga negara kelas satu yang disebut Europeaneans, terdiri dari
orang-orang yang berasal dari Eropa diantaranya orang-orang Belanda, Inggris dan bangsa
kulit putih lainnya. Golongan kedua yaitu warga negara kelas dua yang disebut Vreemde
Oosterlingen, terdiri dari orang-orang yang berasal dari Timur Asing diantaranya orang-
orang Tionghoa, Arab dan India. Dan golongan ketiga yaitu warga negara kelas tiga yang
disebut Inlanders, yang terdiri dari penduduk pribumi.
Peraturan ini dibuat guna melancarkan politik Devide et Impera atau politik adu
domba yang dijalankan oleh pemerintah kolonial. Sebelum bangsa Belanda ke Indonesia
Indonesia, hubungan antara penduduk setempat (pribumi) dengan orang-orang Tionghoa
berjalan dengan baik. Di Banten sendiri pada abad ke-17, peran utama orang Tionghoa adalah
sebagai agen resmi dalam perdagangan. Mereka cukup dikenal masyarakat pedalaman untuk
memperoleh kepercayaan para produsen lada. (Vermeulen: 2010).
Belanda melihat hubungan yang harmonis dan baik antara penduduk pribumi dan
orang-orang Tionghoa adalah sebagai penghalang untuk menguasai seluruh nusantara. Maka
dijalankan politik yang dinamakan dengan Devide et Impera untuk memisahkan hubungan
antara penduduk pribumi dengan orang-orang Tionghoa. Diposisikanlah orang Tionghoa di
golongan kelas dua dan juga mereka diberi kedudukan di atas warga pribumi seperti
diangkatnya mereka sebagai Syahbandar, diijinkannya membuka rumah judi dan sebagai
petugas pemungut pajak.
Melihat hal ini masyarakat pribumi memandang, kenapa orang-orang Tionghoa
sebagai masyarakat pendatang diposisikan sebagai golongan kelas dua dan mereka juga
diberi kedudukan oleh pemerintah kolonial sebagai Syahbandar dan pemungut pajak ?
Seharusnya mereka tidak dibeda-bedakan dengan penduduk pribumi karena di satu sisi
mereka adalah sebagai pendatang. Hal inilah yang membuat kecemburuan dan kebencian
warga pribumi terhadap orang-orang Tionghoa karena telah diistimewakannya mereka oleh
pemerintah kolonial Belanda. Inilah yang dinamakan politik devide et impera atau politik
pecah belah (adu domba).
Tanpa disadari, sampai saat ini kita masih mengamalkan doktrin kolonial. Kita
memandang orang-orang Tionghoa dengan sinis, sentimen, bahkan memandang mereka
seakan-akan bukan bagian dari bangsa Indonesia. Dan kita masih menyebut atau memanggil
orang Tionghoa dengan sebutan orang Chino (pandangan sinis), Wong Chine’ (dialek jawa

2
Banten yang artinya orang Cina) dan orang China. Padahal berdasarkan Keputusan Presiden
Nomor 12 Tahun 2014 tentang Pencabutan Surat Edaran Presidium Kabinet Ampera Nomor
SE-06/Pred.Kab/6/1967 tanggal 28 Juni 1967. Melalui keppres tersebut, Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono (SBY) mengganti istilah “China” dengan “Tionghoa”. Perlu adanya
kampanye dan kesadaran pada masyarakat untuk menghilangkan istilah pribumi dan non-
pribumi, demi menghindari rasialisme etnis.

Pejuang dari Etnis Tionghoa


Perlu diketahui, ketika perang kemerdekaaan para pejuang tidak hanya berasal dari
daerah-daerah yang ada di Indonesia, akan tetapi seluruh rakyat Indonesia yang mencintai
negeri ini berjuang demi mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia, termasuk
pejuang–pejuang dari etnis Tionghoa. Selain terlibat dalam kemiliteran, para tokoh etnis
Tionghoa juga berperan dalam Badan Penyelidik Usaha-usaha Kemerdekaan Indonesia
(BPUPKI). Di dalam buku karya D. Rini Yunarti yang berjudul “BPUPKI, PPKI,
Proklamasi Kemerdekaan RI” tercatat nama-nama Tionghoa di susunan pengurus BPUPKI,
diantaranya: Liem Koen Hian, Oei Tjong Hauw, Oei Tiang Tjoei, dan Mr. Tan Eng Hoa.
Bisa dikatakan mereka adalah founding fathers Negara Republik Indonesia, karena mereka
ikut berpatisipasi dalam sidang BPUPKI menjelang kemerdekaan.
Pada tanggal 4 Desember 2014 diluncurkan sebuah buku yang berjudul “Tionghoa
Dalam Sejarah Kemiliteran: Sejak Nusantara Sampai Indonesia”, yang diterbitkan Penerbit
Buku Kompas bekerjasama dengan Yayasan Nabil. Buku ini ditulis oleh Iwan Santosa,
seorang wartawan senior yang sudah banyak menulis tentang sejarah militer dan sinologi.
Dengan ketekunan dan pengalaman yang mumpuni, Iwan menuliskan peranan orang-orang
Tionghoa yang ikut andil dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan Republik
Indonesia dengan sangat apik.
Di dalam buku itu diterangkan tokoh-tokoh Tionghoa yang ikut berjuang
mempertahankan kemerdekaan dan badan-badan perjuangan yang didirikan dari kalangan
etnis Tionghoa. Salah satunya adalah Ferry Sie King Lien, ia adalah Tentara Pelajar asal Solo
yang tewas saat angkat senjata melawan Belanda pada tahun 1948-1949. Ferry bersama
temannya Soehadi bertugas menyebarkan pamflet dan coret-coret tembok pada malam hingga
dini. Hanya dengan berbekal sepucuk senapan, mereka dicegat satu regu Tentara Belanda
bersenjata lengkap. Dalam pertempuran ketika itu Ferry Sie King Lien dan Soehadi gugur di
tempat. Di Pekan baru Riau, ada nama Tang Kim Teng yang turut andil dalam perjuangan
kemerdekaan Republik Indonesia pada masa Revolusi Fisik. Kim Teng bersama-sama teman

3
Tionghoa dan India turut berjuang mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia. Kim
Teng berulangkali beroperasi melayari Singapura-Pekanbaru menyelundupkan senjata dan
perbekalan untuk keperluan para pejuang. (Santosa: 2014)
Anton E. Lucas di dalam bukunya yang berjudul “One Soul One Struggle: Persitiwa
Tiga Daerah Dalam Revolusi Indonesia” menuliskan peranan Laskar Pemuda Tionghoa
(LPT) yang berada di Pemalang. Pada awal revolusi LPT yang beranggotakan 60 orang
didirikan di Pemalang. Tan Jiem Kwan memberikan ceramah-ceramah pada pertemuan LPT
tentang perjuangan membebaskan rakyat dari kekuasaan Belanda dan Jepang. Ketika Jepang
jatuh, mereka berani mengibarkan bendera Merah-Putih. LPT mempunyai peran penting
ketika pengambilan kekuasaan dari Jepang. (Lucas: 2004).
Di deretan nama-nama pahlawan nasional terdapat nama Laksamana Muda John Lie,
ia diangkat menjadi pahlawan nasional pertama dari etnis Tionghoa pada tanggal 6 November
2009. John Lie berjuang mempertahankan kemerdekaan pada masa revolusi fisik dari tahun
1946-1950. Pada masa revolusi fisik ia berperan sebagai pemasok senjata untuk tentara
republik Indonesia. Dari pantai timur Sumatera Utara dan Aceh, bersama dengan kapalnya
yang bernama The Outlaw, ia membawa puluhan Ton karet, teh, dan lain-lain untuk
ditukarkan dengan senjata di Singapura. Ketika hendak membawa barang-barang yang ingin
ditukarkan, berkali-kali John Lie berhasil menembus blokade Belanda dan lolos dari kejaran
tentara Belanda. Pasca revolusi fisik, John Lie juga aktif dalam penumpasan gerakan
separatis di Indonesia. Ia aktif terlibat dalam penumpasan Republik Maluku Selatan (RMS),
DI/TII, dan PRRI di Sumatera. John Lie mengabdi dari Angkatan Laut Republik Indonesia
dari tahun 1946-1966. Berkat perjuangannya nama John Lie diabadikan dalam salah satu
kapal perang milik Angkatan Laut Republik Indonesia yaitu KRI John Lie.

Renungi dan amalkan semboyan “Bhineka Tunggal Ika”


Itulah gambaran kecil pejuang-pejuang yang berasal dari etnis Tionghoa yang turut
andil mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia. Masih banyak pejuang-pejuang
dari etnis Tionghoa yang belum dipublikasikan, bahkan masih banyak yang masih terpendam
namanya. Marilah !!! di momen memperingati Hut Kemerdekaan Republik Indonesia yang
ke-72 ini, kita hilangkan rasialisme etnis. Kita semua sama, putra-putri bangsa Indonesia
yang mencintai negeri ini dengan setulus hati dan kita semua mempunyai kewajiban untuk
menjaga keutuhan wilayah NKRI.
Di negeri yang sudah merdeka dan bersemboyan Bhineka Tunggal Ika ini, sudah
seharusnya kita menghilangkan istilah pribumi dan non-pribumi. Istilah tersebut adalah

4
warisan kolonial yang harus kita hilangkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Hilangkan rasialime etnis, hilangkan rasa sentimen, membeda-bedakan satu dan lainnya
berdasarkan suku, ras dan agama. Sampai kapan negeri ini terus menerus mengurusi konflik
antar suku, konflik antar agama ? inilah yang menghambat berkembangnya negeri ini. Untuk
itu kita tanamakan, kita Restart ulang, kita pahami, kita renungi apa itu Bhineka Tunggal Ika.
Meminjam perkataan Prof. Dr. Arief Budiman “Nasionalisme dan etnisitas bukanlah dua hal
yang saling meniadakan, tapi mereka bisa saling berinteraksi dan saling memperkaya.”
Indonesia milik kita bersama.

Muthakin
Penikmat Sejarah
Alumni Sejarah dan Kebudayaan Islam
IAIN Sultan Maulana Hasanuddin Banten

Anda mungkin juga menyukai