Anda di halaman 1dari 12

MAKALAH INDIVIDU

LIEM KOEN HIAN, SALAH SATU PELAKU PERS TIONGHOA PERANAKAN


PADA MASA HINDIA-BELANDA

NANINE MEILANIE EDELLWIESS SATYA


2106709491

MAKALAH ILMIAH INDIVIDU


UNTUK TUGAS AKHIR SEMESTER MATA KULIAH
HUBUNGAN INDONESIA BELANDA A

FAKUTAS ILMU PENGETAHUAN BUDAYA


UNIVERSITAS INDONESIA
2022
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Dibawah kekuasaan Belanda, Hindia-Belanda pada tahun 1900-an memiliki sistem
stratifikasi sosial yang secara umum membelah masyarakat menjadi dua lapis.
Pembagian kelas sosial ini adalah Golongan Satu yang terdiri atas penjajah atau
penguasa, dan Golongan Dua yang merupakan golongan terjajah atau rakyat. Namun,
jika ditelaah lebih dalam, pelapisan sosial yang ada di masyarakat pada masa itu sangat
kompleks dan berlapis-lapis. Diatur pada Indische Staatsregeling pada tahun 1927,
terdapat tiga golongan sosial masyarakat yang ada di Hindia-Belanda. Kelas teratas
diduduki oleh orang-orang Eropa, kelas menengah berisi golongan Timur asing (orang
Cina, Arab, India) dan kelas paling bawah berisi pribumi/inlander (Idi, 2019:4).

Rakyat Tionghoa sendiri, disebutkan sebagai golongan yang telah memasuki


Nusantara jauh sebelum bangsa Eropa datang. Sebagai kelompok minoritas, banyak
lelaki Tionghoa yang menikahi pribumi. Hal ini menyebabkan orang-orang Tionghoa di
masa Hindia-Belanda terbagi dua, yakni Tionghoa Peranakan yang umumnya merupakan
hasil akulturasi dari orangtua Pribumi-Tionghoa dan Tionghoa Totok atau orang
Tionghoa asli yang masih fasih berbahasa Tiongkok.

Dalam perjalanan Hindia-Belanda menuju kemerdekaan Indonesia, orang Tionghoa,


Peranakan maupun Totok, memiliki peran dan pengaruhnya sendiri. Kontribusi awal
etnis Tionghoa dalam pers Hindia-Belanda (terutama Peranakan) ditandai dengan
terbitnya surat kabar Li Po (Kompas, 2004) di Sukabumi pada tahun 1901. Menyusul
terbitnya surat kabar ini, keberadaan pers-pers Tionghoa mulai bermunculan dengan tiga
klasifikasi ideologi, yaitu paham nasionalisme Tiongkok yang mana diwakili oleh surat
kabar Sin Po, pro-nasionalisme Indonesia yang diwakili oleh surat kabar Sin Tit Po, dan
pro-kolonialisme Belanda yang diwakili oleh surat kabar Siang Po (Jayusman dan
Fachrurozi, 2021;6). Bertumbuhnya semangat nasionalis Tionghoa melalui media pers
dibahas oleh A. Kosasih dalam ‘Pers Tionghoa dan Dinamika Pergerakan Nasional di
Indonesia, 1900 – 1942’ (2013). Pada jurnal itu, Kosasih meneliti tentang bagaimana
keterkaitan antara media pers oleh etnis Tionghoa, salah satunya surat kabar Sin Tit Po
dan harian Soeara Poebliek buatan Liem Koen Hian dengan tumbuhnya nilai-nilai
nasionalisme Indonesia pada mereka.

Melihat eratnya hubungan media massa Tionghoa dengan tumbuhnya semangat


nasionalisme, terutama pada kaum etnis Tionghoa, melalui makalah ini, penulis ingin
menggali lebih dalam mengenai peran dan pengaruh apa yang dilakukan oleh etnis
Tionghoa, khususnya Liem Koen Hian, seorang jurnalis dan nasionalis Tionghoa
Peranakan pada masa Hindia-Belanda. Selain biodata Liem Koen Hian, penulis akan
meneliti tentang paham dan media pers yang dijalankan oleh Liem Koen Hian dan
bagaimana hal itu mempengaruhi dan mendorong nasionalisme etnis Tionghoa di
Hindia-Belanda.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa saja peran Liem Koen Hian sebagai salah satu pelaku pers Tionghoa pada masa
Hindia-Belanda?

1.3 Pertanyaan Penelitian


1. Apa saja kiprah Liem Koen Hian dalam dunia pers Tionghoa di Hindia-Belanda?
2. Apakah Liem Koen Hian memiliki ideologi tertentu?
3. Bagaimana Liem Koen Hian menuangkan ideologi dalam ceritanya?

1.4 Tujuan Penulisan


1. Mengetahui peran Liem Koen Hian sebagai salah satu pelaku pers Tionghoa pada
masa Hindia-Belanda.

1.5 Sumber Data yang Digunakan


Sumber data primer yang digunakan penulis dalam menyusun makalah ini adalah
dari pers Tionghoa milik Liem Koen Hian, yaitu surat kabar Sin Tit Po (edisi Senin, 7
Desember 1931) dan harian Soeara Poeblik (edisi Jum’at, 24 Juli 1925). Selain itu,
penulis juga menggunakan artikel dan jurnal mengenai biografi Liem Koen Hian
berjudul ‘The Search for National Identity of An Indonesian Chinese: A Political
Biography of Liem Koen Hian’ (1977) untuk membahas kiprah serta ideologi Liem Koen
Hian. Jurnal tersebut membahas tentang kehidupan Liem Koen Hian sejak kecil hingga
aktif di dunia pers. Lalu, penulis membahas perjuangannya menggerakkan semangat
nasionalisme pada etnis Tionghoa di Hindia-Belanda bersama nasionalis Tionghoa
lainnya menggunakan jurnal ‘Nasionalisme Etnis Tionghoa di Indonesia’ (2018) oleh
Agie Hanggara yang membahas asal-usul dan cerita tentang nasionalisme etnis Tionghoa
serta pengaruhnya pada Hindia-Belanda saat itu.
BAB II
ISI

2.1 Perjalanan Karir Seorang Liem Koen Hian Sebagai Jurnalis Tiongkok Peranakan
Liem Koen Hian lahir di Banjarmasin. Beberapa sumber memiliki perbedaan tentang
tanggal dan tahun persis ia lahir. Ada yang mengatakan bahwa ia lahir pada 3 November
1897 (goodnewsfromindonesia, 2022) dan sumber lain mengatakan bahwa Liem Koen
Hian lahir pada 3 November 1896 (Suryadinata, 1977:44). Ia adalah anak dari seorang
pebisnis Tionghoa yang bernama Liem Ke An. Ia bersekolah di HCS (Hollandsch
Chineese School). Tidak berhasil menyelesaikan pendidikannya, ia kemudian sempat
bekerja disebuah perusahaan minyak di Balikpapan.

Peran serta dan perjalanan panjang Liem Koen Hian dalam media pers Tionghoa
Peranakan dimulai saat ia merantau ke Surabaya dan bekerja pada sebuah surat kabar
Tionghoa Peranakan, Tjhoen Tjhioe (1915-1917). Ia memutuskan untuk berhenti bekerja
di surat kabar tersebut pada awal tahun 1917 dan kemudian mendirikan surat kabar
mingguannya sendiri, Soon Lim Poo. Surat kabar mingguan ini tidak bertahan lama. Ia
rehat sebentar dari dunia pers dan kembali lagi menapakkan kakinya pada bidang ini
melalui tawaran menjadi pimpinan redaksi di surat kabar Sinar Soematra (1918-1921).
Di akhir tahun 1921, ia diundang menjadi pimpinan surat kabar Pewarta Soerabaia
(1921-1925).

Perjalanannya di dunia jurnalisme tidak berhenti disitu. Pada bulan Maret tahun
1925, Liem Koen Hian mengundurkan diri dari Pewarta Soerabaia dan pada bulan Mei
di tahun yang sama, ia bergabung menjadi pimpinan redaksi surat kabar Soeara Publiek
(1925-1929) dan lanjut bekerja di surat kabar Sin Tit Po (1929-1932). Ia kemudian
memprakarsai penerbitan surat kabar Kebangoenan yang sama dengan kebanyakan surat
kabar yang ia tulis sebelumnya, mempromosikan ide-ide nasionalisme Indonesia
terutama kepada orang-orang Tionghoa. Pada bulan April tahun 1937, ia menjadi
pimpinan redaksi pada surat kabar Kong Hoa Po dan di tahun berikutnya, Liem Koen
Hian kembali diajak menjadi pimpinan surat kabar Sin Tit Po.
Gambar 2.1.1 Surat Kabar Soeara Publiek, edisi Jum’at, 24 Juli 1925

2.2 Pandangan Seorang Liem Koen Hian Terhadap Nasionalisme Indonesia


Selain kepada pribumi, tahun 1900-an awal juga meninggalkan kesan yang tidak baik
kepada etnis Tionghoa karena ketidakadilan yang dilakukan oleh pemerintah kolonial
Belanda. Terjadi perpecahan antar kaum etnis Tionghoa Peranakan yang memecah
mereka menjadi dua kubu, yakni Pro-Cina dan Pro-Belanda. Pada periode 1918-1919,
Sin Po mengkampanyekan pertentangan atas undang-undang Belanda yang berisi tentang
penerapan kewarganegaraan orang Tionghoa Peranakan. Menurut undang-undang
tersebut, mereka yang lahir di Hindia-Belanda akan otomatis mendapatkan dua
kewarganegaraan dan berstatus sebagai ‘Kawula Belanda’ atau ‘Nederlandsche
onderdoen’ yang memberikan ruang sempit bagi mereka untuk bergerak. Pemberlakuan
undang-undang ini didorong atas dikeluarkannya peraturan dari Pemerintah Kerajaan
Cina yang menyatakan bahwa semua keturunan Cina merupakan bagian dari bangsa
Cina, terjadilah pergerakan atas dasar nasionalisme Tiongkok. Undang-undang ini
menyudutkan orang-orang Tionghoa -bahkan Peranakan- yang masih berkiblat ke daerah
leluhur mereka. Selain itu, jika diurutkan dalam status hierarki, meskipun etnis Tionghoa
tergolong warga negara Hindia-Belanda, mereka mempunyai kedudukan yang lebih
rendah di hadapan hukum jika dibandingkan dengan pribumi.
Kampanye ini kemudian dikenal dengan nama Pergerakan Tionghoa. Dalam
menanggulangi pergerakan tersebut, Belanda mulai melonggarkan peraturan-
peraturannya terhadap etnis Tionghoa. Namun, hal ini tetap membagi condong warga
etnis Tiongkok di Hindia-Belanda.

Buah dari penindasan dan ketidakadilan dari pemerintah koloni Belanda yang sempat
dirasakan oleh Liem Koen Hian, ia menerbitkan beberapa artikel yang menyuarakan
tentang hal tersebut ketika ia masih bekerja di surat kabar Tjhoen Tjhioe. Dibawah surat
kabar Soerabaiasche Handelsblad, ia mengkritik kolonial Belanda dan kebijakan-
kebijakan mereka yang menyudutkan etnis Tionghoa di Hindia-Belanda. Hidup dari
seorang ayah Tionghoa dan ibu yang seorang pribumi, Liem Koen Hian memegang
teguh identitasnya sebagai seorang Tionghoa Peranakan. Selama perjalanan hidupnya
menggeluti bidang jurnalisme, ia terkenal sebagai orang yang sangat vokal menyuarakan
pendapatnya dan mendukung paham nasionalisme Tiongkok. Sikap anti-kolonialisme
dan paham yang ia miliki bahkan mendorongnya untuk mengundurkan dari dari surat
kabar Pewarta Soerabaia.

Liem Koen Hian mulai mengembangkan paham barunya, yakni ‘Indonesierschap’


atau yang sebelumnya dikenal dengan ‘Indisch Burgerschap’ saat ia bekerja sebagai
pimpinan redaksi di Soeara Poeblik. Dalam konsep ini, Liem Koen Hian berpendapat
bahwa Hindia-Belanda merupakan tanah air dari kaum Peranakan. Maka dari itu,
Peranakan harus bekerjasama dengan pribumi untuk memperjuangkan kemerdekaan
Indonesia. Dengan itu juga, Peranakan juga harus mempunyai hak serta kewajiban yang
sama dengan pribumi (Sin Tit Po edisi Rabu, 2 April 1930). Dalam surat kabarnya,
terutama Sin Tit Po yang merupakan ‘perwakilan’ dari pers Tionghoa yang menyuarakan
ide-ide nasionalisme Indonesia, Liem Koen Hian menuangkan ideologi ini dan
menyuarakan kepada para Peranakan untuk mengganti paham nasionalisme
Tiongkoknya menjadi pro-nasionalisme Indonesia karena nasib mereka berkaitan erat
dengan keadaan pribumi.
Gambar 2.2.1 Surat Kabar Sin Tit Po, edisi Rabu, 2 April 1930

Karena pergantian ideologinya ini, ia dikritik dan dianggap meninggalkan keyakinan


politik pro-Tiongkoknya. Ia menolak pernyataan tersebut dan membalas dengan
perkataan “Dahulu, saya menyebut diri saya seorang nasionalis Tiongkok. Sekarang,
saya menyebut diri saya sebagai nasionalis Indonesia. Hal ini tidak berarti saya telah
membuang keyakinan politik saya, melainkan hanya mengubah objek keyakinan saya.
Karena saya tinggal di Indonesia, saya percaya bahwa saya dapat melakukan lebih
banyak hal untuk Indonesia ketimbang untuk Tiongkok. Namun, keyakinan saya tidak
berubah karena nasionalisme Tionghoa dan nasionalisme Indonesia memiliki isi dan
tujuan yang sama.” yang dimuat dalam surat kabar Sin Tit Po (edisi Selasa, 25 Agustus
1936). Ia memperkenalkan istilah ‘Indonesiër’ atau Orang Indonesia. Melalui istilah ini,
ia berargumen bahwa etnis Tionghoa Peranakan juga diidentifikasi sebagai ‘Indonesiër’
(Sin Tit Po edisi Jum’at, 26 Agustus 1936).

Melalui tulisan-tulisannya yang dimuat di berbagai surat kabar, Liem Koen Hian
menuangkan ideologinya tersebut. Sin Tit Po yang merupakan bagian besar dalam
perjuangan pergerakan rakyat Indonesia, terutama etnis Tionghoa, mendukung penuh
gagasan nasionalisme pro-Indonesia. Sikapnya yang inklusif serta anti kolonial -Belanda,
maupun ketika Jepang menjejakkan kaki di Indonesia- dibuktikan dengan tulisa-tulisan
di surat kabar tersebut yang mengkritik pemerintah kolonial.
Selain melalui tulisan-tulisannya, ia kerap secara vokal dan langsung menyuarakan
pendapat mengenai ideologinya. Dapat dilihat dari pidato yang ia sampaikan pada 23
Agustus 1932 tentang tiga aliran politik Tionghoa Peranakan. Dalam pidatonya juga, ia
menegaskan bahwa aliran politik yang ia ikuti adalah aliran pro-Indonesia.

“Istilah ‘Indonesiër’ dapat berarti orang Indonesia tulen, itu dapat diartikan melalui
konsep etnologis. Tapi, dalam arti politis, ‘Indonesiër dapat diartikan sebagai sebagai
penduduk negara ini dan warga negaranya… Orang mungkin berpendapat bahwa selama
Indonesia belum merdeka, maka tidak akan ada istilah kewarganegaraan Indonesia atau
‘Indonesiër’ dalam pengertian politik. Pendapat ini tentu saja benar karena saya
melekatkan sebuah konsep politik kepada Indonesia di depan perkembangannya. Namun,
daripada sebuah kekeliruan, saya lebih suka menyebutnya dengan sebuah prediksi akan
keadaan Indonesia di masa depan.” (Sin Tit Po, edisi Jum’at, 26 Agustus 1932).

2.3 PTI, Bagian Dari Media Promosi Ide-Ide Nasionalis Indonesia Liem Koen Hian
Sebagai seorang nasionalis Indonesia dari kaum Peranakan, Liem Koen Hian
mendukung keterlibatan orang Cina dalam perjuangan politik antara orang Belanda dan
Pribumi. Maka dari itu, pada bulan September 1932, Liem Koen Hian bersama partner-
nya seorang pengacara Tionghoa Peranakan Ko Kwat Tiong, membentuk sebuah partai
berorientasi pro-Indonesia, yaitu Partai Tionghoa Indonesia (PTI). Tujuan dari
dibentuknya PTI adalah untuk membantu Indonesia berkembang dalam aspek ekonomi,
sosial, maupun politik hingga penduduknya dapat menikmati hak serta kewajiban yang
sama (Sin Tit Po, edisi Senin, 26 September 1932). PTI berniat untuk menaikkan status
ekonomi Peranakan dan bekerja sama dengan partai-partai lain milik pribumi yang
memiliki visi dan misi yang sama.

Melalui partai ini, dibentuk pertemuan-pertemuan untuk membahas status orientasi


politik Peranakan di Hindia-Belanda. Salah satunya, pertemuan antara Liem Koen Hian
dan Peranakan dengan berbagai macam pandangan politik di Semarnag. Di pertemuan
itu, ia membahas poin-poin yang sebelumnya pernah ia bahas mengenai nasionalisme
Indonesia oleh orang Cina dan menyusul selesainya pertemuan itu, Ko Kwat Tiong,
membuka cabang baru dari PTI, yaitu PTI Semarang. Pada bulan Februari 1933, PTI
mengadakan rapat umum yang memilih Liem Koen Hian sebagai presiden dari Komite
Pusat-nya.
Pertemuan lain diadakan pada bulan Juni 1933 dan dihadiri banyak orang Indonesia
dari bermacam-macam partai yang berorientasi nasionalis. PTI juga mendapatkan
dukungan dan ucapan selamat dari Dr. Cipto Mangunkusumo. Dr. Soetomo, menyatakan
bahwa sejak awal, Peranakan merupakan aset yang penting bagi Indonesia dan bahkan
menjadi salah satu pilar bagi terbentuknya Indonesia.

Gambar 2.3.1 Surat Kabar Sin Tit Po, edisi Senin, 28 Desember 1931
BAB III
KESIMPULAN

Liem Koen Hian, yang dianggap sebagai ‘bapak’ dari gerakan nasionalisme pro-
Indonesia, mempunyai sepak terjang dan perjalanan yang panjang di dalam dunia pers
Hindia-Belanda. Mulai ketika ia menganut paham pro-Tiongkok, ia adalah orang yang vokal
dalam mengkritik kebijakan-kebijakan yang menyudutkan orang-orang Cina di Hindia-
Belanda pada masa itu. Bisa dibilang, tulisan-tulisannya menjadi salah satu dair banyak
dorongan atas munculnya surat kabar Tionghoa lain yang memiliki visi dan misi yang sama,
yakni menaikkan eksistensi etnis Tionghoa -terutama Peranakan- di dunia pers Hindia-
Belanda.

Memulai karir persurat-kabarannya di Tjhoen Tjhioe, kiprahnya dalam pergerakan


nasionalisme Indonesia pada masa Hindia-Belanda berlanjut hingga ketika ia membentuk
partai berorientasi pro-Indonesia, Partai Tionghoa Indonesia (PTI). Tulisan-tulisannya
mengenai ideologi yang dia ikuti, yaitu pemikiran ‘Indonesierschap’ dimana semua
Peranakan yang lahir di Indonesia merupakan ‘Indonesiër’ dan memiliki hak serta kewajiban
yang sama, pun dalam memperjuangkan nasionalisme Indonesia, dimuat dalam surat kabar
yang ia terbitkan. Ia menuangkan ideologi-nya dengan lugas dan kritis, sehingga menarik
perhatian dari pihak-pihak lain. Selain melalui pers, ia turut mempromosikan pemikiran
‘Indonesierschap’ ini melalui pidato-pidatonya yang diterima dengan hangat oleh banyak
kaum Peranakan.
REFERENSI

Jayusman, I., & Fachrurozi, M. H. (2021). Eksistensi Kaum Tionghoa dalam Dunia Pers di
Hindia Belanda Tahun 1869-1942. BIHARI: JURNAL PENDIDIKAN SEJARAH DAN ILMU
SEJARAH, 4(1).
Kosasih, A. (2013). Pers Tionghoa dan Dinamika Pergerakan Nasional di Indonesia, 1900-
1942. SUSURGALUR, 1(1).
Hanggara, A. (2018). Nasionalisme etnis tionghoa di Indonesia. Equilibrium, 14(02).
Suryadinata, L. (1977). The search for national identity of an Indonesian Chinese: a political
biography of Liem Koen Hian. Archipel, 14(1), 43-70.
Suryadinata, L. (2010). Etnis Tionghoa dan nasionalisme Indonesia: sebuah bunga rampai,
1965-2008. Penerbit Buku Kompas.
Idi, A. (2019). Politik Etnisitas Hindia Belanda: Dilema dalam Pengelolaan Keberagaman
Etnis di Indonesia. Prenada Media.
AMALIA, F. (2017). PEWARTA SOERABAIA Sebagai Media Komunikasi Nasionalisme
Tiongkok Masyarakat Tionghoa Surabaya tahun 1937-1940. Avatara, 5(1).

Anda mungkin juga menyukai