Anda di halaman 1dari 40

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kebebasan warga negara untuk memperoleh dan menyampaikan

informasi yang benar, akurat dan objektif pada hakikatnya merupakan

bagian penting dari nilai demokrasi. Meminjam perkataan seorang sosiolog

Perancis, Alexis de Tocqueville, bahwa “informasi adalah oksigen

demokrasi”, maka media massa sebagai pilar keempat demokrasi berperan

sebagai penyedia informasi secara terbuka, bebas, benar sekaligus objektif

bagi masyarakat. Dalam negara yang demokratis, setiap warga negara

memiliki hak untuk memperoleh dan juga menyampaikan informasi,

sebagaimana yang tercantum di dalam Undang-Undang Dasar Tahun 1945

Pasal 28 setelah perubahan, yaitu pasal 28F yang berbunyi: “Setiap orang

berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk

mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk

mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan

menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang

tersedia.”

Awal masa reformasi di tahun 1998 merupakan masa-masa dimana

masyarakat Indonesia mendapatkan angin segar khususnya dalam dunia

informasi. Media massa semakin banyak bermunculan, mulai dari media

cetak hingga media elektronik (radio dan saluran televisi). Namun, pada

1
kenyataannya kejatuhan rezim Orde Baru justru menguntungkan kaum

oligarki atau “konglomerat” untuk memulai bisnis media, yang kemudian

cenderung meminggirkan aspek kepentingan publik dan mendahulukan

kepentingan komersial, keuntungan, bahkan juga kepentingan politiknya.

Bagaimana tidak, para pemilik media tersebut juga aktif berpartisipasi

dalam kegiatan politik, seperti aktif di dalam partai politik (bahkan beberapa

di antaranya menjadi ketua partai) serta juga beberapa menduduki kursi

pejabat negara.

Fenomena para pemilik perusahaan media yang terjun dalam kancah

perpolitikan Indonesia tentunya berpengaruh pada performansi media

sebagai salah satu sarana komunikasi politik yang objektif dan netral dalam

sebuah negara demokrasi.

2
BAB II

SEJARAH PERKEMBANGAN MEDIA DI BALI

A. Zaman Kolonial Belanda

Untuk memahami sejarah media di Bali tidak bisa dilepaskan dari

adanya sistem kasta di Bali. Putra Agung (2001) menyebut pelapisan

masyarakat di Bali pada abad XX sangat ditentukan oleh sistem kasta, meski

saat ini kasta itu sudah tidak sepenuhnya berlaku dalam hubungan sosial

sehari-hari. Pada dasarnya stratifikasi sosial itu terbagi jadi empat kasta.

Brahmana sebagai kasta tertinggi untuk mereka yang jadi pemuka agama.

Ksatria untuk golongan bangsawan. Wesia untuk kalangan birokrat. Tiga

kelompok ini disebut tri wangsa. Dia luar tri wangsa ada jaba untuk warga

masyarakat biasa.

Sejarah media di Bali dimulai pada 1923 dengan lahirnya Shanti

Adnyana dalam bentuk kalawarta (newsletter). Menurut Kembar Karepun,

dalam manuskrip untuk buku tentang pertentangan kasta di Bali, Shanti

Adnyana, berarti Pikiran Damai, itu berupa majalah bulanan yang

diterbitkan organisasi Shanti. Organisasi yang berpusat di Singaraja, Bali

utara ini bergerak di bidang sosial dan pendidikan, termasuk penerbitan.

Pendirinya dari semua kasta.

Menurut Darma Putra (2003), Shanti Adnyana disunting pengurus

organisasi Shanti seperti Ketut Nasa, Nyoman Kajeng, I Gusti Putu Jlantik,

dan I Gusti Putu Tjakra Tenaja. Dalam terbitannya Shanti Adnyana lebih

3
banyak menulis masalah agama Hindu dan disebar ke masyarakat umum

terutama pegawai dan guru. Latar belakang penyunting itu terdiri dari

wangsa (kasta) yang berbeda.

Mula-mula hubungan antar penyunting harmonis. Namun,

kemudian terjadi perpecahan sesama penyunting Shanti Adnyana.

Perpecahan terjadi akibat perbedaan paham tentang kasta, adat Bali, dan

agama Hindu. Perpecahan itu tercermin dalam kebijakan redaksional dalam

meloloskan atau tidak-meloloskan artikel menimbulkan konflik internal di

antara mereka. Ketut Nasa lalu mengundurkan diri. Shanti Adnyana

berhenti terbit.

Shanti Adnyana kemudian berubah nama jadi Bali Adnyana yang

berarti Pikiran Bali sejak 1 Januari 1924. Majalah ini terbit tiga kali sebulan

yaitu tiap tanggal 1, 10, dan 20. Pengasuhnya I Gusti Tjakratanaya dan I

Gusti Ketut Putra. Akibat perpecahan antara tri wangsa dengan jaba, maka

majalah ini dianggap hanya memuat suara-suara tri wangsa. Bali Adnyana

memang sangat kental menyuarakan pikiran I Gusti Tjakratanaya yang juga

bangsawan. Bali Adnyana memuat ajaran agama, etika, dan ingin

mempertahankan adat istiadat agar sistem kasta tetap berlaku (Agung Putra,

2001).

Ketut Nasa dan kawan-kawannya sesama jaba kemudian mendirikan

Surya Kanta sebagai tandingan Bali Adnyana pada 1 Oktober 1925. Majalah

bulanan ini diterbitkan organisasi bernama sama, Surya Kanta, yang

4
anggotanya kebanyakan guru. Organisasi ini bertujuan memperbaiki dan

memajukan cara berpikir masyarakat Bali dengan meninggalkan cara

berpikir yang kolot agar terbuka dan berkembang menuju kemajuan. Karena

itu Surya Kanta memuat tentang sistem pendidikan Barat, penyederhanaan

upacara agama, bahkan tentang koperasi.

Menurut Darma Putra, Bali Adnyana dan Surya Kanta, keduanya

terbit di Singaraja, merupakan dua media massa penting di Bali yang terbit

bersamaan pertengahan 1920-an. Mengingat paham pengasuh dan

penerbitnya tentang kasta berbeda, sebagian besar isi kedua media massa ini

menjadi ajang polemik mengenai kasta dan adat Bali. Polemik ini mendapat

pengawasan ketat dari penjajah. Pemerintah kolonial tidak menginginkan

terjadinya konflik sosial. Karena mendapat tekanan, Surya Kanta akhirnya

berhenti terbit pada September 1927. Sementara itu Bali Adnyana lenyap

dari peredaran tahun 1929.

Setelah Surya Kanta dan Bali Adnyana lenyap, di Singaraja terbit

majalah Bhãwanãgara, pada 1931. Bhãwanãgara artinya ‘keadaan sejati di

negara’ (Bali dan Lombok). Menurut Robinson (2006) majalah berbahasa

Melayu ini diterbitkan Yayasan Kirtija Liefrinck van der Tuuk.

Pengasuhnya antara lain pakar Bali Dr. R. Goris bersama I Gusti Putu

Djlantik, I Gusti Gde Djlantik, I Nyoman Kadjeng, dan I Wajan Ruma.

Bhãwanãgara dimaksudkan sebagai “soerat boelanan oentoek

memperhatikan peradaban Bali”. Nomor perdana Bhãwanãgara terbit pada

5
1931, setebal 40 halaman. Bhãwanãgara mendapat dukungan antusias

pemerintah kolonial, yang berkepentingan mempromosikan kesadaran

identitas kultural Bali dari pada identitas berdasarkan kasta atau kesatuan

nasional Indonesia. Bhãwanãgara juga sebagai usaha untuk mewujudkan

rekonsialiasi antara kelompok jaba dan tri wangsa. Bhãwanãgara terbit

sampai 1935.

Setahun kemudian, pada 1936, terbit majalah kebudayaan bulanan

Djatajoe, diambil dari nama burung yang membela Dewi Sita dalam epos

Ramayana. Majalah sosial budaya ini diterbitkan Bali Darma Laksana,

organisasi sosial yang anggotanya terdiri atas kalangan terpelajar Bali.

Djatajoe merupakan salah satu sarana untuk menyadarkan masyarakat

tentang pendidikan dan kebudayaan. Pemimpin redaksi pertama Djatajoe

adalah I Goesti Nyoman Pandji Tisna, yang ketika itu meraih reputasi

nasional sebagai sastrawan lewat novelnya Ni Rawit Ceti Penjual Orang

(1935) dan termasuk dalam sastrawan Angkatan Poedjangga Baroe.

Bentuk dan konsep Djatajoe dipengaruhi majalah Poedjangga Baroe

yang terbit di Jakarta dengan redaktur Sutan Takdir Alisjahbana dan Armijn

Pane. Setelah Panji Tisna selesai mengelola, Djatajoe kemudian dikelola

Nyoman Kajeng dan Wayan Badhra. Majalah ini terbit sampai 1941.

6
B. Zaman Jepang

Pada masa pendudukan Jepang hanya ada satu media massa di Bali.

Ketika itu Jepang mengendalikan semua badan pengumuman dan

penerangan di Indonesia, termasuk di Bali. Karena itu koran-koran

pergerakan yang ada sejak zaman kolonial Belanda pun diubah namanya,

bahkan dikendalikan terbitannya oleh Jepang. Misalnya kantor berita

Antara diubah jadi Yashima sebelum kemudian jadi kantor berita Domei.

Di Bali sendiri belum ada koran pergerakan pada saat itu (Putra dan

Supartha, 2001).

Jepang kemudian membuat koran-koran daerah di beberapa kota di

Indonesia. Antara lain Kita Sumatera Shimbun di Sumatera, Palembang

Shimbun di Palembang, Lampung Shimbun di Lampung, Sinar Matahari di

Ambon, dan Bali Shimbun di Bali. Koran Bali Shimbun mulai terbit sejak

8 Maret 1944. Koran ini menggunakan bahasa Indonesia dalam terbitannya.

Mereka merekrut wartawan lokal sebagai anggota redaksi, termasuk Ketut

Nadha, perintis media terbesar di Bali saat ini, Bali Post. Selain Ketut Nadha

juga ada I Gusti Putu Arka dan Made Sarya Udaya.

Bali Shimbun berhenti terbit ketika Jepang dikalahkan Sekutu pada

1945. Namun Ketut Nadha ternyata telah menyiapkan koran pergerakan

untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Selama dua tahun (1946-

1947) Ketut Nadha mempersiapkan penerbitan koran ini dengan mendirikan

perpustakaan merangkap toko buku. Pada 16 Agustus 1948, untuk pertama

7
kalinya Ketut Nadha bersama dua temannya ketika di Bali Shimbun, I Gusti

Putu Arka dan Made Sarya Udaya, menerbitkan Suara Indonesia dalam

bentuk majalah.

Saat itu Suara Indonesia terbit tidak tentu, tergantung situasi

keamanan. Karena masih dalam situasi perjuangan, Suara Indonesia pun

mengemban dua tugas sekaligus: sebagai media pemberitaan dan

penerangan sekaligus sebagai aktivis politik yang melibatkan diri secara

langsung membangun perlawanan pada penjajah (Putra dan Supartha,

2001).

Dalam perjalanannya Suara Indonesia beberapa kali mengalami

perubahan nama antara lain menjadi Suluh Indonesia, Suluh Marhaen

sebelum kemudian jadi Bali Post.

C. Zaman Orde Lama

Dalam buku Sisi Gelap Pulau Dewata (2006), Geoffrey Robinson

menyebut adanya beberapa media lokal pada masa peralihan dari Jepang ke

pemerintah Republik Indonesia ini. Media itu antara lain Suara Rakjat,

Berita Nusantara, dan Penindjau. Namun dia tidak menyebut detail tentang

siapa pengelola dan apa saja yang dimuat tiga koran itu. Robinson mengutip

berita tentang kunjungan Soekarno ke Bali serta adanya kekerasan antar

orang Bali dari tiga koran tersebut.

Pada 1952 terbit majalah Bhakti. Majalah yang berkantor di

Singaraja ini dikelola Putu Shanti sebagai penanggung jawab dan Ketut

8
Widjana sebagai pemimpin umum. Dengan slogan sebagai “Majalah untuk

Umum-non-Partai berdasarkan Pancasila”, majalah ini diterbitkan oleh

Yayasan Kebhaktian Pejuang. Majalah Bhakti hanya terbit sampai 1954.

Antara 1953 hingga 1955 di Denpasar terbit Majalah Damai.

Motonya “Majalah Umum untuk Rakyat”. Penanggung jawab/pemimpin

umumnya, I Gusti Bagus Sugriwa dibantu Anak Agung (Tjokorda) Bagus

Sayoga, Made Tukir dan Ida Bagus Tilem.

Widminarko (2001) menyebut pada periode 1960 hingga 1965 terbit

Mingguan Fajar dan Harian Bali Dwipa di Denpasar. Berdasarkan Surat

Keputusan Menteri Penerangan No 29/SK/M/65 mengenai Norma-norma

Pokok Pengusahaan Pers dalam Rangka Pembinaan Pers Indonesia semua

surat kabar diwajibkan berafiliasi pada partai politik atau organisasi massa

yang diakui pemerintah. Mingguan Fajar berafiliasi dengan Partai Komunis

Indonesia (PKI). Kantornya pun sama dengan kantor PKI Bali. Mingguan

Fajar menyajikan berita dan tulisan tentang kebudayaan dengan moto

“Memerahkan Budaya dan Membudayakan Merah”.

Harian Bali Dwipa dikesankan tampil secara politis sebagai koran

Nasionalisme, Agama, Komunisme (Nasakom). Namun, unsur

“nasionalisme” tidak diwakili PNI, tapi Partai Indonesia (Partindo) yang di

Bali saat itu dikenal sebagai partai politik yang “dekat” dengan PKI.

Adapun Suara Indonesia berafiliasi dengan Partai Nasionalis

Indonesia (PNI), partai terbesar di Bali saat itu. Suara Indonesia juga

9
berganti nama jadi Suluh Indonesia Edisi Bali. Koran ini menginduk pada

Suluh Indonesia yang diterbitkan Pimpinan Pusat PNI di Jakarta. Setahun

kemudian Suluh Indonesia menjadi Suluh Marhaen.

Fajar dan Bali Dwipa berhenti terbit menyusul meletusnya peristiwa

G 30 S/PKI, 30 September 1965. Sedangkan Suluh Marhaen Edisi Bali tetap

terbit setelah peristiwa tersebut. Dia bahkan menjadi media terbesar di Bali

kemudian hari bahkan hingga saat ini.

D. Zaman Orde Baru

Pada tahun 1966 di Denpasar lahir Harian Angkatan Bersenjata

Edisi Nusa Tenggara. Penerbitnya, Yayasan Penerbitan dan Percetakan

Udayana. Pemimpin Umum dijabat Mayor I Gusti Ngurah Pindha, B.A.

Penanggung Jawab Letkol. Alex Sutadji, Pemimpin Redaksi Letda. Abdul

Hamid. Koran ini mengalami beberapa kali pergantian pimpinan dan badan

pengelolanya, bahkan pernah berhenti terbit.

Tahun 1978 berubah namanya menjadi Harian Umum Nusa

Tenggara. Mayor J.M. Sarwoto sebagai Pemimpin Umum/Penanggung

Jawab dan Jimmy Zeth Soputan sebagai Pemimpin Redaksi. Pada 1990

hingga 1992 Nusa Tenggara dikelola Kelompok Media Group milik Surya

Paloh dan tahun 1994 dikelola PT Sinar Press. Tahun 2001 berubah menjadi

Harian Umum Nusa, dan sejak 2005 berubah lagi jadi Harian Umum

NusaBali.

10
Tahun 1980 di Denpasar terbit Mingguan Karya Bhakti. Semula

terbit dalam format koran masuk desa mingguan, tetapi kemudian

berkembang menjadi harian.

Bali Post, Nusa Tenggara, dan Karya Bhakti merupakan tiga koran

yang mewarnai Bali pada masa Orde Baru. Oleh Pemerintah Provinsi Bali

waktu itu, ketiganya dimasukkan pada program Koran Masuk Desa. Saat

itu, oplah Bali Post sekitar 20.152 eksemplar, Nusa Tenggara 11.500

eksemplar, dan Karya Bhakti 10.000 eksemplar (Monografi Daerah Bali,

1985).

Maraknya pariwisata di Bali membuat Bali juga dipenuhi beberapa

media yang intens di bidang pariwisata. Sejak 1970an hingga 1980an, ada

beberapa media berbahasa Inggris seperti Sunday Bali Post, Bali Tourist

Guide, This Week in Bali, dan Bali This Month.

Sebagai pulau yang sekitar 95 persen penduduknya beragama

Hindu, Bali juga pernah melahirkan media khusus agama Hindu. Pada 1987

terbit majalah bulanan Warta Hindu Dharma. Majalah yang diterbitkan

Parisada Hindu Dharma Indonesia Pusat ini sebagian besar berita dan

artikelnya tentang perkembangan agama Hindu.

Di tengah persaingan bisnis pers yang makin tajam, Harian Karya

Bhakti berhenti terbit setelah mengalami beberapa kali pergantian

pengasuhnya.

11
E. Zaman Reformasi

Runtuhnya Orde Baru diikuti munculnya Undang-undang Pokok

Pers No 40 tahun 1999 yang membuat orang makin mudah mendirikan

perusahaan penerbitan. Kehidupan pers di Bali juga disemarakkan terbitnya

beragam penerbitan pers. Ada harian, mingguan, dan bulanan. Koran,

tabloid, majalah yang terbit pasca-Orde Baru itu ada yang masih terbit ada

pula yang sudah berhenti.

Pada masa ini terbit beberapa media seperti Bali Tribune, The Echo,

Latitudes, Bali Lain, dan sebagainya. Majalah bulanan ini memfokuskan

diri pada liputan pariwisata dengan kemasan seni atau budaya lebih kental.

Meski berumur tak sampai lima tahun, Latitudes menawarkan konsep agak

berbeda. Liputan media berbahasa Inggris ini lebih banyak tentang

antropologi. Penulis seperti Goenawan Mohamad dan Adrian Vickers

termasuk yang pernah menulis di media ini.

Kondisi pariwisata Bali yang kolaps akibat bom pada 12 Oktober

2002 dan 1 Oktober 2005 mempengaruhi perkembangan media di Bali,

terutama media yang konsentrasi mengurusi pariwisata. Bali Tribune, The

Echo, dan Latitudes pun tutup. Saat ini mereka sudah tidak terbit lagi.

Mudahnya pendirian koran pun melahirkan beberapa media yang

terbit pada zaman Reformasi. Di antaranya Koran Bali, Patroli, Fajar Bali,

Warta Bali, dan Radar Bali. Koran Bali saat ini sudah tidak terbit.

12
Hingga Maret 2007, koran harian yang masih terbit di Bali adalah

Bali Post, Denpost, BisnisBali, NusaBali, Radar Bali, Warta Bali, Fajar

Bali, dan Patroli Post. Selain itu ada majalah bulanan Sarad dan Raditya

yang lebih banyak menulis masalah agama Hindu dan adat Bali.

13
BAB III

BALI POST

A. Pendiri Bali Post

Bali Post Media Group (BPMG) adalah konglomerat media

Indonesia yang didirikan oleh Ketut Nadha pada tahun 1948. Bali Post

Media Group dikatakan sebagai pemegang media terbesar di Bali,

Indonesia. Saat ini dipimpin oleh ABG Satria Naradha, putra Ketut Nadha.

Ia memiliki beragam bisnis dan minat dalam industri media. Bisnis BPMG

termasuk media penyiaran, media cetak, media online, dan sejumlah bisnis

lainnya.

1. Tahun-tahun awal (1942-1948)

Selama penjajahan Jepang, hanya ada satu media massa di Bali. Saat

itu, Jepang mengendalikan semua informasi dan kantor berita di Indonesia,

termasuk Bali. Akibatnya, penerbitan surat kabar yang ada sejak zaman

penjajahan Belanda di Indonesia dikendalikan oleh Jepang, dan nama-nama

surat kabar itu juga diubah. Misalnya, kantor berita Antara diubah sebagai

Yashima sebelum kemudian berubah menjadi kantor berita Domei. Jepang

kemudian membuat koran lokal di beberapa kota di Indonesia. Yaitu Kita

Sumatera Shimbun (Palembang), Lampung Shimbun (Lampung), Sinar

Matahari (Ambon), dan Bali Shimbun (Bali). Surat kabar Bali Shimbun

diterbitkan pada 8 Maret 1944. Mereka merekrut wartawan lokal sebagai

anggota editorial, termasuk Ketut Nadha, pelopor media terbesar hari ini di

14
Bali, I Gusti Putu dan Made Arka Sarya Udaya. Bali Shimbun berhenti

publikasi ketika Jepang dikalahkan oleh sekutu pada tahun 1945. Tapi Ketut

Nadha telah menyiapkan koran untuk melestarikan gerakan kemerdekaan

Indonesia. Selama dua tahun (1946-1947) Ketut Nadha menyiapkan

publikasi makalah ini dengan mendirikan perpustakaan dan toko buku. Pada

tanggal 16 Agustus 1948, untuk pertama kalinya Ketut Nadha bersama dua

rekannya, I Gusti Putu dan Made Arka Sarya Udaya, menerbitkan Suara

Indonesia dalam format majalah.

2. Perubahan Nama (1965-1972)

Pada tahun 1965, Suara Indonesia berafiliasi dengan Partai

Nasionalis Indonesia (PNI), partai terbesar di Bali pada waktu itu. Suara

Indonesia berubah menjadi Suluh Indonesia Edisi Bali pada tahun 1966,

satu tahun kemudian Suluh Indonesia berubah menjadi Suluh Marhaen dari

1966 hingga Mei 1971. Kemudian, Suluh Marhaen mengubah lagi namanya

menjadi Bali Post sejak 1972 hingga hari ini.

3. Tahun 1972-Sekarang

Nadha dan rekan-rekannya kemudian mendirikan PT Bali Press

untuk diterbitkan setiap pagi. Dan lisensi dengan masalah izin nomor: 0359

/ PER / SK / DIR PP / SIT / 71 tanggal 2 September 1971 diberikan kepada

Bali Post. Surat kabar pertama yang diterbitkan pada tahun 1972, juga

merupakan anggota Serikat Penerbit Surat Kabar. Kantor pertama Bali Post

terletak di Jalan Bisma 1, Denpasar. Hingga 1976, ia juga memiliki alamat

15
yang sama dengan kantor editorial Suluh Marhaen, di bawah Yayasan Raka

Wiratma Gesuri. Di Bali Post, Ketut Nadha menjadi manajer umum, Raka

Wiratma sebagai orang yang bertanggung jawab dan kepala editor, serta

Widminarko sebagai wakilnya. Ketiganya menjadi pemimpin pers di Bali

saat itu.

Ketika pertama kali muncul, Bali Post membawa jargon

"Pengemban Pengamal Pancasila". Awalnya, tulisan ini hanya diterbitkan

empat halaman, seperti biasa untuk surat kabar pada waktu itu. Hingga

tahun 1980-an, sirkulasi Bali Post masih belum dapat dikalahkan oleh para

pesaingnya seperti Nusa Tenggara dan Karya Bhakti. Dari 1985 hingga

1988, rentang sirkulasi Bali Post diperkirakan 19.200 - 24.500 eksemplar

per hari. Pada tahun 1989, sirkulasi meningkat menjadi sekitar 39.000

eksemplar per hari.

Runtuhnya Orde Baru, memasuki Era Reformasi diikuti oleh

munculnya Undang-Undang Pokok Pers No. 40 Tahun 1999, sebuah

undang-undang yang memungkinkan dan memungkinkan orang untuk

mendirikan perusahaan penerbitan mereka sendiri. Publikasi pers di Bali

menjadi lebih beragam. Dari surat kabar harian, tabloid mingguan atau

majalah, dan publikasi pers bulanan. Media cetak BPMG yang masih terbit

setiap hari adalah, Bali Post, Denpost, dan Bisnis Bali. Dari awalnya hanya

bergerak di media cetak, BPMG memulai bisnis media elektroniknya.

Media penyiaran pertama yang didirikan adalah Global Radio FM pada 30

Mei 1999 di bawah anak perusahaan PT Radio Swara Kinijani.

16
Pada tanggal 5 Januari 2001, pelopor BPMG, Ketut Nadha

meninggal. Meninggalkan empat anak, tiga perempuan, dan satu laki-laki.

Setelah kematian Ketut Nadha, BPMG dipimpin oleh putra satu-satunya

Nadha, ABG Satria Naradha. Dalam 10 tahun sebelumnya, ia adalah wakil

Pemimpin Redaksi dan Direktur Bali Post Corporation. Bali Post telah

berkembang pesat pernah dipimpin oleh ABG Satria Naradha, terutama

untuk bisnis media di Bali Post Media Group. Dia mulai mengembangkan

konglomerasi media di berbagai segmen, dari anak-anak hingga orang

dewasa.

BPMG kemudian mendirikan TV lokal bernama Bali TV, di bawah

PT Bali Ranadha Televisi. Bali TV mulai resmi mengudara pada 26 Mei

2002. Pada tahun 2007 kantor redaksi Bali Post pindah ke sebuah gedung di

Jalan Kebo Iwo No. 63 A, Denpasar. Bangunan itu bernama Ketut Nadha

Press Building, yang didedikasikan untuk Ketut Nadha. Dan akhirnya pada

tahun 2008, BPMG membuka portal berita online mereka di

www.balipost.co.id

B. Media cetak

1. Koran

Di segmen surat kabar harian, BPMG memiliki Bali Post, Denpost,

Bisnis Bali, Suara NTB, Suluh Indonesia dan Bisnis Jakarta. Bali Post

sebagai surat kabar tertua di BPMG masih merupakan kertas utama sampai

sekarang. Materi berita Bali Post sendiri memiliki berbagai segmen dari

17
politik, ekonomi, olahraga, hiburan, dan opini. Denpost mencakup lebih

banyak berita tentang kejahatan, Bisnis Bali dan Bisnis Jakarta yang

berfokus pada ekonomi dan bisnis. Suara NTB diterbitkan di Mataram, dan

Bisnis Jakarta diterbitkan di Jakarta. Suluh Indonesia digunakan untuk

diselipkan di koran Bisnis Jakarta tetapi dijual secara terpisah sekarang.

Surat kabar BPMG adalah sebagai berikut:

Bali Post

Denpasar Post

Suluh Indonesia

Bisnis Bali

Bisnis Jakarta

Suara NTB

Bisnis Bandung

2. Tabloid

Tokoh

Wiyata Mandala

Lintang

C. Media broadcast

1. Televisi

Bali TV adalah televisi yang menyediakan konten budaya dan

pemberdayaan kesenian lokal Indonesia. Sejak 26 Mei 2002 pukul 20.00

PST, BPMG memasuki dunia pertelevisian dengan mulai menyiarkan

televisi Bali TV dengan jangkauan siaran meliputi Bali, sebagian besar Nusa

18
Tenggara Barat dan Jawa Timur timur. Bali kemudian berkembang menjadi

jaringan stasiun televisi televisi yang diikuti oleh beberapa stasiun televisi

lokal di berbagai daerah di Indonesia. Stasiun TV BPMG adalah sebagai

berikut:

TV Bali

Bandung TV

TV Jogja

Semarang TV

Sriwijaya TV

TV Medan

TV Aceh

TV Makassar

Surabaya TV

2. Radio

Radio Global adalah radio pertama yang didirikan untuk BPMG,

berbagai program di Radio Global sebagian besar merupakan dialog

interaktif dengan audiens tentang topik tertentu, termasuk diskusi yang

berkaitan dengan politik, ekonomi, budaya, dan pelayanan publik.

Keberhasilan Radio Global segera diikuti oleh pembentukan radio BPMG

di daerah lain di Bali, seperti Radio Suara Besakih di Karangasem, Radio

Genta FM di Denpasar, Radio Singaraja FM di Singaraja, Radio Fajar FM

dan Suara Banyuwangi di Banyuwangi, Radio Lombok FM di Mataram

Nusa Tenggara Barat, Negara FM di Jembrana, dan dua radio lainnya di

19
Yogyakarta. Untuk siaran hiburan, beberapa radio menyediakan bentuk

permintaan lagu interaktif dari para penonton. Radio BPMG adalah sebagai

berikut:

Global Kini Jani

Genta FM

Global FM

FM Lombok

Fajar FM

Suara Besakih

Singaraja FM

Negara FM

Suara Banyuwangi

3. Media Online

Media Online BPMG adalah sebagai berikut:

www.balipost.co.id

www.bisnisbali.com

4. Bisnis Lain

Selain terlibat dalam Media Cetak dan Penyiaran, BPMG juga

memiliki anak perusahaan lainnya. Ada Warung Sari Warta Boga di Jl.

Imam Bonjol Denpasar, Koperasi Krama Bali, dan pusat suvenir di Kuta,

Bali.

20
D. Konsentrasi Horizontal KMB Dalam Satu Baris Media

Ditinjau dari segmentasi media harian KMB memiliki Bali Post,

Denpost, Bisnis Bali, Suara NTB, dan Bisnis Jakarta. Koran Bali Post masih

mejadi produk unggulan hingga saat ini. Kontent berita Bali Post serupa

dengan Koran pada umumnya yaitu mulai politik, ekonomi, olah raga,

hiburan, dan opini. Kejayaan Bali Post terus mengudara, namun badai krisis

ekonomi datang pada 1997 hingga 1998, yang memaksa untuk mengurangi

karyawannya. Dengan niat mulia karyawan yang tidak produktif di Bali Post

disalurkan ke berbaagai media baru.

Mendukung pendirian media baru, para karyawan KMB di seluruh

Indonesia mendirikan Koperasi Tarukan Media Dharma. Ini adalah koperasi

kedua di lingkungan KMB yang sebelumnya sudah ada yaitu Koperasi

Karyawan Bali Post, khusus untuk karyawan dan wartawan harian Bali Post.

Pada 1 Oktober 1998 Koperasi Tarukan Media Dharma menerbitkan tabloid

harian Denpasar Pos. Segmen liputan tahun pertama, surat kabar Denpasar

Pos adalah politik. Namun keberadaannya belum cukup diterima publik,

akhirnya di tahun ketiga, Denpasar Pos mengubah segmentasi liputannya

menjadi koran kriminal dan keamanan, dengan menyingkat namanya

menjadi Harian DenPost.

Bali yang terkenal dengan keindahan panorama dan budayanya

menjadi objek wisata paling favorit di Indonesia hingga di mancanegara.

Banyaknya wisatawan asing yang berkunjung ke Bali tentunya menjadi

21
sasaran pasar bagi KMB untuk melahirkan koran dengan berbahasa Inggris,

Bali Travel News (BTN). BTN ini yang dirilis KMB, dibawah bendera

Koperasi Tarukan Media Dharma untuk segmen pariwisata. Tabloid dua

mingguan ini terbit pertama kali pada 14 Oktober 1998, dua minggu setelah

Denpost.

Pada tanggal 9 November 1998, PT Tarukan Media Dharma

menerbitkan tabloid Tokoh. Tabloid dengan format berita profil tokoh ini

terbit pertama kali di Jakarta. Namun pada perkembangannya saat ini Tokoh

menyatakan diri sebagai bacaan wanita dan keluarga. Dengan alasan

efisiensi, kantor tabloid Tokoh yang terbit seminggu sekali, kemudian

pindah ke Bali. Di segmen wanita dan keluarga, Tokoh mampu memberi

informasi sekaligus inspirasi kepada masyarakat Bali, dari nilai ketokohan

khususnya kaum perempuan yang sukses baik dalam karir maupun dalam

kehidupan sosial.

Selanjutnya Bisnis Bali yang sebelumnya bernama Prima terbit

setiap minggu. Sesuai dengan nama harian, Koran ini fokus pada berita

ekonomi dan bisnis. Jangkauan medianya meluas hingga ke wilayah NTB

dengan melahirkan Suara NTB. Sukses mengeluarkan beritaberita yang

berbau bisnis di Bali, berbendera KMB pun menyasar Jakarta dengan

menerbitkan Bisnis Jakarta.

Melihat bahwa bahan bacaan untuk kalangan anak-anak dan remaja

masih minim, maka untuk segmen anak-anak, KMB menerbitkan Tabloid

22
Lintang yang terbit tiap minggu. Tabloid Lintang merupakan sisipan Bali

Post Minggu. Sementara untuk ranah remaja, KMB menerbitkan Tabloid

Wiyata Mandala. Tabloid yang terbit dua kali tiap bulan ini hampir

menjangkau setiap sekolah dari SMP hingga SMA di Bali.

Dengan menguasai media cetak yang segmennya menyentuh semua

kalangan dan jumlah oplah yang terbesar di Bali, sangat mungkin bagi Bali

Post untuk menguasai opini publik di Bali. Untuk itu mereka merambah

jenis media lain yang jumlah konsumennya jauh lebih banyak, yaitu

menguasai media elektroik, media radio dan TV di Bali. Radio pertama

yang didirikan yaitu Radio Global Kini Jani pada 30 Mei 1999 di bawah

anak perusahaan PT Radio Swara Kinijani. Radio ini hadir dengan format

yang berbeda dari radio lain di Bali, dimana mendominasi siarannya deng

konten 70 persen berita, dan sisanya siaran mengenai agama dan budaya

Bali seperti siaran dengan menggunakan bahasa pengantarnya bahasa Bali.

Terbukanya wadah karma Bali untuk mengekspresikan kebebasan

informasi, menyalurkan pertukaran gagasan dan opini, serta pendidikan dan

periklanan lewat interaktif, radio yang menggunakan frekuensi 96,5 FM ini

mampu mengubah idiologi masyarakat Bali yang awalnya koh ngomong

(malas berkomentar) menjadi berani berbicara kritis secara terbuka.

Berlokasi di pinggir jalan raya Gilimanuk – Denpasar dengan pemancar

berdaya 15.000 watt yang mampu menjangkau Kuta, Nusa Dua, Ubud,

Denpasar, Badung, Gianyar, Tabanan, Jembrana, Klungkung, Bangli, dan

Karangasem. Banyak program menarik ditawarkan salah satu program yang

23
paling diminati di radio Global adalah Warung Global, Citra Bali dan Bali

Terkini. Program dialog interaktif ini mengundang pendengar untuk

menyatakan opini melalui radio secara live.

Kesuksesan radio Global segera diikuti dengan pendirian radio

KMB di daerah lain di Bali maupun luar Bali seperti Radio Suara Besakih

di Karangasem, Radio Genta FM di Denpasar, Radio Singaraja FM di

Singaraja, Radio Fajar FM di Banyuwangi, Radio Lombok FM di Mataram

Nusa Tenggara Barat, dan Negara FM di Jembrana. Selain itu KMB juga

punya dua radio di Yogyakarta. Sehingga total terdapat sembilan radio yang

dimiliki KMB hingga akhir Maret 2007.

Dari perluasan media elektronik radio yang dilakukan KMB,

berdirinya radio Singaraja FM ini layak perlu mendapat catatan tersendiri.

Hal itu dikarenakan Singaraja yang terletak di sebelah Utara Bali, selaman

ini memiliki tipografi wilayah yang sulit untuk dijangkau berbagai siaran,

karena terhalang pegunungan. Dengan konsep melestarikan adat, seni dan

budaya Bali, KMB membangun pemancar lain untuk mendukung proses

penyiaran. Kota Singaraja yang pernah menjadi ibukota provinsi ini

memiliki penduduk heterogen, yang dikarenakan letaknya di pinggir pantai

dan dekat pintu masuk Jawa dan Bali. Sesuai dengn company profile nya,

Singaraja FM resmi mengudara pada 20 Februari 2002. Letaknya di pesisir

pantai menjadikan radio ini mampu menjangkau hingga daerah Tapal Kuda

Jawa Timur seperti Jember, Situbondo, Bondowoso, dan Madura. Hadir

dengan visi misi pelestarian adat dan budaya Bali, proporsi siaran mereka

24
yaitu 60 persen local dan 40 persen nasional termasuk berita yang dikirim

oleh wartawan Bali Post maupun Denpost biro Singaraja. Tampilan berbeda

tentu menjadikan tantangan tersendiri bagi Singaraja FM untuk memikat

hati pendengarnya, mengingat saat itu sudah hadir radio yang digemari

remaja yaitu radio Guntur. Radio Singaraja FM yang menggunakan

frekuensi 107,2 MHz menyasar segmen segala usia dari anak-anak SD

sampai orang tua. Dengan ciri kas format berita yang menjadikan bahasa

Bali sebagai Bahasa penghantarnya, mampu mengambil hati audience di

Singaraja yang jenuh dengan peradaban budaya baru. Mereka mengambil

simpati untuk masyarakat Bali umumnya dan Buleleng khususnya yang

peduli dan berminat pada budaya dan adat Bali. Isi program Singaraja FM

hampir sama dengan Global FM, yaitu memberi ruang pemirsa untuk

mengungkapkan opini, kritik secara terbuka. Program acara Singaraja FM

diantaranya Isin Gumi; Mesatua Bali (bercerita tentang cerita rakyat Bali);

Sor Singgih Bahasa Bali (belajar Bahasa Bali); dan program lain yang

mampu mengubah pola hidup masyarakat Buleleng untuk turt melestarikan

adat dan budaya Bali.

Radio yang siarannya total menggunakan berbahasa Bali adalah

radio Genta FM yang didirikan oleh PT Radio Genta Swara Sakti. Radio

berlokasi di Gedung Pers K Nadha di Denpasar, menggunakan frekuensi

106,150 MHz yang memancarkan siarannya hingga menjangkau Denpasar,

Badung, Kuta, Nusa Dua, Ubud, Gianyar, Klungkung, Bangli, Karangasem,

Lombok, Tabanan, Negara, Banyuwangi, dan sebagian Singaraja. Genta

25
FM merupakan satu-satunya radio yang keseluruhan programnya

menggunakan bahasa Bali. Ini sebagai bukti eksistensi KMB untuk

melestarikan seni dan budaya Bali lewat penguasaan media.

Sasaran awalnya adalah menengah kebawah seperti petani,

pedagang, buruh, dan pengrajin, namun diluar dugaan ditengah hiruk-pikuk

kota Denpasar yang hampir menandingi Jakarta sebagai kota metropolitan,

masyarakat Denpasar justru menerima keberadaan radio ini dengan baik.

Tidak hanya kalangan pekerja professional Bali, tapi juga mampu memikat

kaum generasi muda yang notabene mulai meninggalkan identitasnya. Para

generasi muda lebih tertarik dengan program musik Bali, yang menawarkan

banyak warna band Bali idola mereka. Mulai saat itulah lahir banyak

penyayi Bali yang mendapat tempat dihati masyarakat, layaknya artis

ibukota. Proporsi siarannya memuat sekitar 45 persen siaran berita yang

diambil dari radio Global (relay). selain itu beberapa materi berita diambil

dari koran milik KMB.

Angin orde baru, serta alam demokrasi menjadikan KMB terus

melebarkan sayapnya dengan mendirikan TV lokal bernama Bali TV. di

bawah PT Bali Ranadha Televisi. PT. Bali Ranadha Televisi (Bali Tv) hadir

ditengah-tengah masyarakat Bali pada tahun 2002, dengan moto „Matahari

dari Bali‟. Kehadiran Bali Tv sangat diterima oleh masyarakat Bali yang

saat itu sangat haus akan hiburan. Televisi menjadi sumber alternative bagi

radio, bagi semua orang televise dalah sumber hiburan, informasi dan waktu

untuk mengkonsumsi produk barang dan jasa yang ditawarkan melalui iklan

26
(Rusbiantoro, 2008: 37). Munculnya Bali Tv memberi warna baru bagi

masyarakat untuk menentukan pilihan dalam berwisata di televisi. Sebagai

TV lokal, Bali TV mengedepankan siaran-siaran budaya Bali maupun

agama Hindu di Bali. Saat itu hanya ada TVRI Bali sebagai TV lokalnya

Bali. Kehadirannya sebagai salah satu tonggak bersejarah bagi Bali. Dengan

mulai menjaring anak-anak produktif yang relatif muda, Bali Tv dalam

kurun waktu kurang dari 6 bulan telah mempersiapkan SDM, sarana –

prasarana, dan program acara. Jumlah karyawan yang relative minim untuk

ukuran TV yaitu 50 orang, Bali Tv memulai launching pada tanggal 26 Mei

2002. Durasi siar saat itu hanya 8 jam, yang dimulai sore hari hingga malam.

Bali Tv yang menyiarkan konten lokal dengan coverage siar hingga ke

nusantara bahkan mancanegara, menjadikan Bali Tv lambat laun semakin

dikenal masyarakat. Tidak berselang dari beberapa bulan, bertepatan

dengan Bom Bali pertama yang meledak di Kuta, menuntut Bali Tv untuk

tampil yang pertama, menyiarkan berita sebagai media lokal. Mulai saat itu

Bali Tv menambah jam siarnya yang dimulai dari pagi hingga malam. Bali

Tv sebagai Tv lokal, yang memperoleh gambar kejadian tersebut secara

terdepan, menjadikan banyak tv-tv nasional, seperti Metro TV, SCTV dan

TV swasta lainnya me-relay gambar hasil tayang dari Bali Tv. Hikmah Bom

Bali pun mengantarkan Bali Tv semakin dikenal ditingkat nasional hingga

mancanegara.

Menurut company profile Bali TV, pendiriannya untuk meneruskan

perjuangan Ketut Nadha oleh generasi penerusnya di bidang teknologi

27
informasi. Visi Bali Tv adalah Ajeg Bali yaitu cita-cita ideal menjaga

identitas, ruang serta, proses budaya Bali. Visi diwujudkan melalui memberi

ruang bagi upaya penggalian nilai-nilai budaya warisan yang relevan untuk

menjawab tantangan globalisasi, media pencerahan bagi masyarakat Bali

untuk pendalaman dan pemahaman ajaran Hindu yang jadi identitas Bali,

media pendidikan dan alat kontrol sosial masyarakat, serta merevitalisasi

nilai budaya adiluhung dan aspek kehidupan lain di dalam bingkai satu

kesatuan negara Indonesia. Program yang disajikan pun sangat beragam,

dengan tetap berpatokan pada seni, adat dan budaya Bali. Salah satu

program yang berhasil menyentuh hati pemirsa adalah Dharma Wacana.

Program khotbah tentang agama Hindu ini masuk rating terbaik dari

program yang lain. Program dengan durasi 30 menit ini menampilkan

seorang pedanda atau tokoh agama yang memberikan pencerahan lewat

tutur kata. Segmen program ini masuk dari remaja hingga orang tua dari

berbagai kalangan. Selain itu program berita pun ditawarkan untuk para

pemirsanya dengan awal penyajian yaitu program Seputar Bali dengan

bahasa pengantar bahasa Indonesia, yang disusul kemudian Orti Bali,

program berita berbahasa Bali. Seiring perkembangannya Bali Tv

memberikan banyak penambahan porsi program berita, yaitu Lintas

Mancanegara, Berita Siang, dan Suluh Indonesia. Banyaknya ruang yang

disediakan untuk berita ini, menjadikan Bali Tv tidak hanya melibatkan

reporternya saja untuk memenuhi content berita, tapi juga mengandalkan

kontributor dari Hubungan Masyarakat Pemerintah Daerah dan Pemerintah

28
Kabupaten di seluruh Bali. Sedangkan berita nasional, mengandalkan

wartawan di Jakarta dan TV lain di bawah KMB seperti Semarang TV, Jogja

TV, dan Bandung TV. Dan untuk berita internasional Bali Tv berlangganan

kantor berita asing yaitu APTN (Assosiated Press Television Nation). Bali

TV memiliki dua pemancar yaitu 599,25 MHz dan 615,25 MHz. Pemancar

pertama menjangkau hampir seluruh wilayah Bali selatan dan bermain di

frekuensi 37 UHF. Sedangkan pemancar lain yang bermain di frekuensi 39

UHF menjangkau Bali utara dan sebagian Bali barat. Selain itu Bali TV juga

menggunakan satelit Palapa C-2 yang mampu menjangkau seluruh negara

di Asia Tenggara, Australia, sebagian Asia Tengah, serta sebagian Asia

Timur dan Asia Pasifik.

Kesuksesan dengan Bali TV, Satria Naradha lewat KMBnya

mendirikan TV di daerah lain di luar Bali. Kini konsep ajeg Bali yang suses

diterapkan di Bali dirambah hingga ke luar Bagi dengan berpatokan pada

konsep Ajeg Nusantara. Dari company profilenya digambarkan bahwa, di

Yogyakarta, KMB mendirikan PT Yogyakarta Tugu Televisi yang

mengelola Yogya TV dengan motto "tradisi tiada henti" pada bulan

Agustus 2004. Dengan menggunakan kanal 48 UHF, Yogya TV bisa

mencapai wilayah Yogyakarta dan sekitarnya, yaitu Sleman, Bantul,

Wonosari, Wates, Purworejo, Klaten, Magelang, Muntilan, dan Solo. Jogja

TV merupakan pelopor TV lokal swasta di Jogjakarta. Saat ini Jogja TV

terus berkembang baik dari manajemen maupun program acaranya. hadir

untuk memenuhi kebutuhan masyarakat Jogja akan informasi aktual seputar

29
Jogja, berikut sebagai wujud kreasi anak bangsa terhadap seni dan budaya

Jogja. Dengan penekanan pada muatan lokal hingga 90%, memfokuskan

diri pada pengembangan kebudayaan lokal, menjadikan Jogja TV hadir

memberikan keunikan dan kekhasan tersendiri dalam program acaranya.

Pada 3 januari 2005, dia mendirikan Bandung TV di bawah anak

perusahaan PT Bandung Media Televisi Indonesia. Siaran TV ini

menjangaku Bandung dan sekitarnya seperti Bogor, Sumedang, Cisarua,

Purwakarta, Subang, Cianjur, Cimahi, dan Soreang. Bandung TV adalah

stasiun televisi (TV) lokal swasta pertama di Kota Bandung, Jawa Barat.

Sebagai wadah kreatifitas masyarakat Sunda, Bandung TV menitikberatkan

program acaranya pada upaya pencerahan masyarakat dalam segala aspek

kehidupan dengan fondasi seni budaya. Titik berat ini dipilih karena seni

budaya merupakan poros kehidupan yang menggerakkan dimensi sosial dan

ekonomi masyarakat. Dengan adanya usaha merevitalisasi jatidiri daerah

Jawa Barat, keajegan Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam

kebhinekaan akan terwujud. Sesuai dengan company profilenya, stasiun

dengan slogannya "Jati Diri Pasundan" ini dapat diakses melalui saluran 38

UHF. Sejak April 2008, Bandung TV resmi berkantor di Jalan Pacuan Kuda

Arcamanik yang sebelumnya berkantor di Jalan Sumatera Bandung.

KMB juga mengelola Cakra Semarang TV pada 9 Mei 2005 yang

menjangkau Semarang dan sekitarnya seperti Ungaran, Salatiga,

Ambarawa, Purwodadi, Grobogan, Pati, Demak, Kudus, Pati, Jepara,

Weleri, Kendal, Batang, Pekalongan, Pemalang, dan Rembang. TV swasta

30
lokal ini lebih dikenal oleh masyarakat Semarang dan Jawa Tengah sebagai

Cakra TV. Selayaknya konsep pendirian Tv adalah menjaga tradisi dan jati

diri Indonesia, saat ini televisi lokal yang berada di bawah manajemen PT.

Mataram Cakrawala Televisi Indonesia ini memiliki jam siaran sebanyak 17

jam per hari mulai dari pukul 06.30 sampai 23.30 WIB serta bersiaran di

channel 53 UHF. Berkomitmen pada pelestarian seni dan budaya nusantara,

kontent program siaran berfokus pada kultur budaya lokal yang ada di Jawa

Tengah. Siaran Cakra TV bersanding dengan TV Borobudur, Pro TV dan

TVKU untuk wilayah Semarang.

Serta anak perusahaan Tv yang terayar yaitu KMB mendirikan

Sriwijaya TV Aceh TV dan Surabaya TV. Sriwijaya TV adalah sebuah

stasiun televisi di Sumatra Selatan, Indonesia. Stasiun TV ini merupakan

TV lokal kedua selain Palembang TV (PAL TV). TV ini terletak di Jalan

Sang Merah Putih (Angkatan 45), yang berdiri pada tahun 2006. Jika televisi

nasional memberikan program yang bersifat umum dan universal maka

SriwijayaTV lebih menekankan kepada proksimiti (kedekatan), melibatkan

pemirsa melalui program interaktif baik dengan cara interaktif via telepon,

SMS, dan melakukan kegiatan off air untuk memperkuat penetrasi ke

masyarakat. Sesuai dengan motto program Sriwijaya TV yaitu; “Mutiara

Bumi Sriwijaya”. Program acaranya sangat dekat dengan pemirsa yang

berbasis local content dimana menggunakan bahasa Palembang di beberapa

program acara.

31
Bendera ajeg Nusantara terus dikibarkan KMB yang tentunya

menuai kesuksesan menjaga jati diri nusantara lewat media TV yang

dibangun di berbagai daerah. Setelah sunami menerjang Aceh, KMB pun

ingin terdepan mengabarkan berita dan menjadi penghubung serta

pembangkit atmosfer Aceh. Maka tahun 2007, Aceh TV dibangun dengan

menyajikan program informasi dan program budaya di Nanggroe Aceh

Darussalam. Tahun 2008, KMB mengakuisisi Surabaya TV (Eks.TV E

Surabaya). Surabaya TV adalah stasiun TV dengan wilayah penyiaran di

Surabaya dan sekitarnya (Gresik, Jombang, Sidoarjo, Mojokerto,

Lamongan, Pasuruan, Bangkalan, Jember, Banyuwangi, Bojonegoro,

Tuban). Surabaya TV juga disiarkan di channel 44 UHF dan wilayah

Bojonegoro channel 51 UHF. Format siaran Surabaya TV mirip TvOne,

SCTV, RCTI, Indosiar dan JTV. Surabaya TV adalah satu jaringan dengan

Bali TV, Bandung TV, Cakra TV, Jogja TV, Sriwijaya TV.

E. Integrasi Horizontal - Vertikal KMB Diluar Bisnis Media

Konsentrasi horizontal juga terjadi ketika suatu perusahaan selain

membeli suatu kepentingan utama dalam operasi media lain, juga terjadi

ketika sebuah perusahaan media bergerak sepenuhnya pada sebuah

perusahaan di luar bisnis media. Sementara konsentrasi vertical proses

integrasi antara induk perusahaan dan anak perusahaannya yang dilakukan

dalam satu garis bisnis untuk memperoleh sinergi, terutama untuk

memperoleh kontrol dalam produksi media (Mosco, 1996). Integrasi

horizontal-vertikal yang dilakukan KMB adalah melakukan perluasan usaha

32
di bidang non media. Dengan melakukan spasialisasi horisontal yang non

media, pengembangan bisnis diluar media bertujuan untuk memantau

proses produksi. Salah satu bisnis yang menopang keberadaan medianya

yaitu mengembangan rumah makan Warung Sari Warta Boga, yang

berlokasi di Jl Imam Bonjol Denpasar. Warung Sari Warta Boga ini

mensuplay makanan untuk kantin yang berlokasi di seputaran kantor.

Menyiapkan suguhan makanan untuk kegiatan-kegiatan penting, seperti

ulang tahun perusahaan, kunjungan tamu-tamu penting, atau menyediakan

makanan untuk program acara off air yang membutuhkan konsumsi. Lokasi

Warung Sari Warta Boga yang strategis pun kerap dijadikan tempat untuk

melayani client, mengadakan jumpa press ataupun kegiatan lainnya.

Disamping itu KMB juga meluncurkan Koperasi Krama Bali (KKB)

yang berdiri sejak 26 Mei 2005. Keberadaan KKB yang tersebar diseluruh

Bali dengan menyediakan pelayanan belanja, dan Pusat Oleh-oleh di Kuta.

Ide cemerlang KKB ini didukung oleh para pejabat di Bali. Mulai Ketua

Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Bali maupun Kabupaten dan

Kota se- Bali, Muspida Provinsi Bali, Kapolda Bali, Bupati se-Bali,

Pangdam IX/Udayana, hingga tokoh agama. Dari kumpulan dana

masyarakat Bali ini dikelola dengan menghasilkan produk-produk informal,

yaitu memberi kursus masak, salon, berternak dll untuk membantu karma

Bali yang tidak memiliki pekerjaan. Saat ini usaha paling menonjol adalah

maraknya usaha-usaha informal di bawah binaan KKB. Di Denpasar,

sempat marak bermunculan warung Bakso Babi Ajeg Bali yang memasang

33
spanduk merah putih bertuliskan Binaan KKB. KKB kemudian menyebar

diseluruh daerah di Bali (Bali Post, 12/3/07). KKB ini berperan untuk

memenuhi segala kebutuhan pokok perusahaan termasuk memberikan

bonus kepada karyawan melalui penukaran voucher belanja di KKB.

F. Tantangan Globalisasi Terhadap Spasialisasi Kelompok Media Bali

Post (KMB)

Menghadapi tantangan globalisasi dan persaingan media yang kian

merajalela, Bali Post sebagai produk unggulan KMB memanfaatkan

teknologi untuk mendukung percepatan penyampaian informasi. Kemajuan

teknologi berupa peralatan elektronik ini memudahkan masyarakat dalam

menjalani kehidupan keseharian (Barry, 2006: 72). Bali Post menggunakan

koran elektronik (e-paper). Ini bertujuan untuk mendukung kemajuan ilmu

pengetahun serta penyelematan lingkungan dengan pemanfaatan teknologi.

Kemudahan untuk mengakses e-paper ini sangat didukung dengan era saat

ini, dimana masyarakat sekarang cenderung pada teknologi minded. Melaui

pemanfaatan teknologi sebagai gerbang untuk memperoleh informasi/

berita terkini.

Selain itu pemanfaatan teknologi media baru seperti internet dan

heandphone menghantarkan Bali Post meluncurkan Pogram Bali Post

Phone Flexi yang merupakan buah kerjasama KMB dengan PT. Telkom

(Flexi) wilayah Bali. Bali Post Phone Flexi (BPPF) merupakan terobosan

baru KMB untuk mempercepat akses informasi bagi karma Bali. Mereka

34
dengan cepat mengetahui peristiwa yang terjadi di Bali khususnya. Hanya

melalui heand phone masyarakat Bali juga bisa secara cepat menyampaika

informasi tentang kegiatan di desa pekraman, seperti piodalan maupun

kegiatan lain. Merujuk kembali pada fungsinya Bali Post Phone Flexi ini

juga berfungsi sebagai kulkul di era sekarang ini. Kulkul yaitu alat

komunikasi tradisional Bali yang secara cepat dapat menginformasikan hal

hal yang berkepentingan dengan karma Bali. Walaupun dengan

pemanfaatan teknoloni tetapi tidak mengurangi visi misinya untuk

mengajegkan Bali. KMB memberikan sarana Bali Post Phone Flexi kepada

seluruh bendesa pakraman di Bali. Selain dapat mengetahui berita terkini

dari Koran Bali Post, para pengguna Bali Post Phone Flexi (terutama

Bendesa) dapat berkomunikasi dengan sesama bendesa di Bali secara gratis.

Melalui BPPF pula masyarakat Bali dapat secara cepat dan mudah untuk

penyaluran dana punia. Hanya lewat SMS, dana itu bisa diarahkan untuk

punia pengembangan pura, pendidikan, kesehatan dan sebagainya. Donasi

kepada karma Bali dengan nominal mulai dari Rp. 1.000 dicoba untuk

pengumpulan dana. Payung utamanya adalah terbangunnya kemandirian

karma Bali. Ajeg Bali pun terus dikumandangkan KMB dalam hal ini Bali

Post yang bekerjasama dengan PT Telkom untuk melestarikan kembali

lagu-lagu Bali yang sudah lama tidak didengar lagi oleh masyarakat Bali,

seperti lagu “Da Ngaden Awak Bisa, Meong- Meong, dan sebangainya.

Lagu-lagu foklor tersebut dijadikan sebagai ring back tone.

35
BAB IV

PENUTUP

A. Analisis

Konsentrasi media dan pemilik media itu sendiri sangat berpengaruh

terhadap isi atau program yang disampaikan kepada masyarakat dimana isi

atau program tersebut merepresentasikan kepentingan ekonomi maupun

politik pemilik media.

Akibatnya kepentingan masyarakat untuk mendapatkan kebenaran

menjadi hilang. Semua itu karena adanya proses agenda seting dan framing

yang dilakukan oleh media yang disesuaikan dengan kepentingan

pemilknya. Kebenaran yang tidak didapatkan masyarakat tersebut dapat

menyebabkan masyarakat terhegemoni dengan menerima kebenaran versi

media massa. Selain itu, pengaruh lainnya adalah kesempatan masyarakat

untuk mendapat informasi alternatif yang lebih berimbang sulit untuk

didapatkan karena telah terjadi kepemilikan atas beragam media oleh

segelintir kelompok tertentu yang berakibat pada terjadinya homogenisasi

informasi.

Perspektif ekonomi politik melihat bahwa media tidak lepas dari

kepentingan baik kepentingan pemilik modal, negara atau kelompok

lainnya. Proses dominasi ini menunjukkan adanya penyebaran aktivitas

komunikasi massa yang sangat dipengaruhi oleh struktur ekonomi politik

masyarakat yang bersangkutan. Kajian ekonomi politik menempatkan

36
media sebagai instrument dominasi yang dapat digunakan oleh pemilik

modal atau kelompok penguasa lainnya untuk memberikan arus informasi

publik sesuai dengan kepentingannyaalam sistem pasar komersial.

Spasialisasi merupakan sebuah sistem konsentrasi yang memusat

berkaitan dengan bagaimana subsistem-subsistem disentralkan sehingga

apa yang muncul di media didominasi pemilik media yaitu para kapitalis

media. Fenomena konsentrasi dan konglomerasi media berjalan seiring

dengan terjadinya revolusi teknologi penyiaran dan informasi, korporasi-

korporasi media terbentuk dan menjadi besar dengan cara kepemilikan

saham, penggabungan dalam joint-venture, pembentukan kerjasama, atau

pendirian kartel komunikasi raksasa yang memiliki puluhan bahkan ratusan

media. Konsentrasi dan konglomerasi media memungkinkan terjadinya

privatisasi media.

Pemikiran perspektif ekonomi politik dalam rana manajemen media

bukanlah semata-mata fenomena bisnis, melainkan fenomena ekonomi-

politik yang melibatkan kekuasaan. Kepemilikan media, bukan hanya

berurusan dengan persoalan produk, tetapi berkaitan dengan bagaimana

lanskap sosial, pencitraan, berita, pesan dan kata-kata dikontrol dan

disosialisasikan pada masyarakat, misalnya Kondisi yang terjadi di

Indonesia. Teori Ekonomi politik mengedepankan pada keinginan yang

kuat untuk memahami dan mengkritisi implikasi dari konsentrasi media dan

praktek konglomerasi. Berdasarkan perspektif ini, konsentrasi dan

konglomerasi memiliki implikasi yang serius pada isi media (terutama genre

37
faktual, seperti berita, dokumenter, dan current affairs) dan audiens media,

audiens dikonstruksikan lebih sebagai konsumen daripada sebagai warga

yang berhak mendapatkan informasi.

Dengan adanya konglomerasi, maka adanya efisiensi yang

dilakukan media tergambar pada rantai nilai produk media (media product

value chain), media juga tidak bisa mengelak mengenai isi pemberitaan

yang akan cenderung sama, walaupun bisa saja hanya terjadi pada saat-saat

tertentu saja (monopoli isi media). Dengan penyamaan atas isi media ini,

masyarakat sebagai audiens tidak memiliki kebebasan ntuk memilih content

media sesuai dengan yang mereka inginkan dan tidak ada lagi diversity of

content. Kelompok Media Bali mengikuti model ekonomi industrial yang

ditandai dengan akselerasi banyaknya media dan hasil-hasilnya untuk

mendapatkan biaya yang murah untuk produksinya atau efisiensi. Hal ini

juga akan sangat berkaitan erat dengan tumbuhnya semangat kapitalisme

dalam industri media. Industri media yang dibangun dengan Semangat

kapitalisme menentukan menghasilkan pesan atau produk media yang

berorientasi pada bertambahnya modal. Selain itu isi media menjadi kurang

berkualitas dan hanya mementingkan keuntungan semata.

Besarnya kekuasaan yang dimiliki oleh sang kapitalis atas seluruh

kekayaan negeri, merupakan suatu perubahan yang bersifat total dalam

persoalan hak milik (right of property), dan serangkaian undangundang

apakah yang dapat memungkinkan terjadinya perubahan secara

menyeluruh? (Marx, 2009:72). Dalam perkembangan industri media,

38
pemerintah seharusnya dapat berperan aktif menjadi regulatory body, meski

ada tendensi yang sangat besar dan kerap muncul menentang fungsi

regulatory dari pemerintah yang sering dikaitkan dengan intervensi

pemerintah pada industry media. Poin pentingnya adalah pemerintah harus

dapat berperan aktif sebagai pengatur kepentingan publik.

B. Saran

Sebagai masukan, Kelompok Media Bali yang telah melakukan

spasialisasi sehingga menghasilkan produk yang mengglobal, diharapkan

konten-konten isi berita yang menggunakan satu sumber untuk tiga jenis

teknologi media, yakni media cetak, elektronik (televisi, radio) dan internet.

Isi berita yang dipaparkan nyaris sama dari penulisan, bahasa dan sumber

berita. Sehingga diharapkan kedepan, teknologi yang berkembang membuat

setiap awak media mengimbangi perkembangan teknologi tersebut, dengan

cara menyajikan berita yang walaupun dengan kasus yang sama, namun

pemaparan bisa dengan nara sumber yang berbeda, dan pendidikan bagi

wartawan agar kemampuan dalam menulis berita lebih akurat.

39
DAFTAR PUSTAKA

Buku

Mosco, Vincent. (2009). The Political Economy of Communication, 2nd Edition.


London: Sage Publications
Roger Simon, Gagasan-gagasan Politik Gramsci,Yogyakarta, Pustaka Pelajar,
2004.
Nyoman Wijaya, Melawan Ajeg Bali: Antara Eksklusivitas dan Komersialisalisasi,
“dalam Jurnal Ilmu Sejarah Tantular”, Denpasar, Jurusan Sejarah, 2004.
Bali Post. 2008. Bali Post Tetap sebagai Pers Perjuangan, Bali Post, 18 Agustus
2008
Bali Post. 2001. K. Nadha Sang Perintis, Denpasar: Pustaka Bali Post

Internet

Undang-Undang Dasar Tahun 1945, lihat


https://pdf.mpr.go.id/data/buku_UUD_NRI_1945.pdf.
https://en.wikipedia.org/wiki/Bali_Post_Media_Group
https://rumahtulisan.wordpress.com/2007/08/05/sejarah-perkembangan-media-di-
bali/
https://id.wikipedia.org/wiki/Kelompok_Media_Bali_Post

40

Anda mungkin juga menyukai