Anda di halaman 1dari 10

MISS SLOANE: PELAKU LOBI YANG TAK KENAL KOMPROMI"

Menaruh harap bahwa politik dapat 100% bersih dan pro-rakyat itu ibarat

berusaha mencari beberapa jarum pada setumpukan jerami, mungkin dapat ketemu

tapi pasti akan sangat sulit. Mengapa? Karena politik tidak hanya sebuah panggung

sandiwara saja tapi juga berisikan sebuah permainan dengan banyak peserta yang

masing-masing membawa agenda yang tentu berbeda-beda. Politik lebih sering

dipenuhi usaha untuk saling menjatuhkan dengan melakukan berbagai cara salah

satunya seperti sabotase, hasilnya pihak yang baik bisa kalah dan mereka yang

"kurang baik" justru bisa menjadi pemenang. Hal tersebut menjadi dasar dari film

ini, sebuah permainan antara politik, agenda, dan lobbyists berjudul ‘Miss

Sloane’. It’s a chilling and engaging political thriller.


Elizabeth Sloane (Jessica Chastain) merupakan seorang lobbyist handal

dan tangguh, status yang ia punya adalah “most wanted” karena meskipun high

priced ia merupakan master di bidang yang ia geluti itu dan sosok yang ditakuti

oleh lawan-lawannya. Suatu ketika Elizabeth Sloane membuat kejutan, dia mundur

dari tempat ia bekerja dan memilih bergabung dengan philanthropist

bernama Rodolfo Schmidt (Mark Strong). Celakanya kasus yang harus ia tangani

adalah masalah terkait penjualan dan kepemilikan senjata, hal yang menciptakan

kontras karena sebelumnya Elizabeth Sloane pernah berada di sisi sebaliknya.

Seorang lobbyist tidak dapat dikatakan sepenuhnya sama seperti seorang

pengacara, mereka serupa namun tak sama dan salah satu kesamaan yang mereka

punya adalah kemungkinan untuk berada di sisi atau pihak yang sebelumnya pernah

menjadi target untuk dia kalahkan. Itu situasi yang harus dihadapi oleh

karakter Elizabeth Sloane, sosok yang punya motto bahwa ia akan melakukan

apapun untuk dapat meraih kemenangan. Tentu ada alasan mengapa film ini

menggunakan nama karakter utamanya sebagai judul karena fokus kita para

penonton benar-benar diarahkan pada perjuangan Miss Sloane untuk meraih

kemenangan termasuk ketika ia harus berhadapan dengan berbagai rintangan yang

berpotensi besar menjadi boomerangmematikan baginya. Di sini karir dan image

moral Miss Sloane dipertaruhkan di dalam sebuah permainan politik penuh intrik

yang dikemas secara menarik oleh John Madden (Shakespeare in Love, The Best

Exotic Marigold Hotel, The Second Best Exotic Marigold Hotel).


Skenario yang ditulis oleh Jonathan Perera mencoba membawa penonton

menyaksikan sebuah drama yang dipenuhi manuver politik di dalamnya kental

dengan Aaron Sorkin style, penuh teknis manipulasi dari kedua belah pihak yang

sedang bertarung. Terdapat debat di dalam cerita yang kemudian

menjadi force yang membuat narasi terus bergerak dengan kecepatan yang cukup

oke, politikus mencoba mempertahankan posisi mereka sementara aksi "sabotase"

hadir di dalamnya. Perlahan konflik yang awalnya berpusat pada “gun rights” itu

justru berkembang menjadi penggambaran tentang kekuasaan dan penyalahgunaan

kekuasaan di dalam politik. Yang menarik dari mereka adalah John

Madden berhasil membuat perjuangan Miss Sloaneterasa “real” ketika disaksikan,

dia berhasil membuat konflik tersebut terasa chilling dan membuat sisi dark dari

politik itu terasa creepy, berbagai sikap sinis di dalam cerita berhasil John Madden

bentuk menjadi sebuah materi untuk mengisi pertarungan dengan cara yang lincah.
Hasilnya positif meskipun tidak berakhir di posisi yang sangat tinggi.

Screenplay dari Jonathan Perera menggunakan political debates sebagai pusat,

berbagai poin di dalam cerita dibentuk dengan oke dan tampak punya potensi untuk

menggigit, dialog dan cerita bergerak lincah a bit like sebuah orchestra. Ini tentang

dua buah kampanye yang mencoba meraih kemenangan dan screenplay juga

berhasil menciptakan kesan misterius di dalam proses yang cukup prosedurial itu.

Penonton dibuat bertanya terhadap karakter Miss Sloane, apa sebenarnya niat utama

yang ia punya dari keputusan mengejutkan yang ia buat itu? Ceritanya sendiri

seperti tidak mencoba berusaha tampak super kompleks tapi tetap berhasil

mengeksplorasi proses lobbying itu untuk berisikan berbagai power dan kontrol

dengan kualitas kesan manipulatif yang terasa oke. Hal itu pula yang membuat

cerita yang tampak predictable itu mampu menjaga atensi penontonnya, penonton

seperti merasa terlibat di dalam cerita.

“Melobi itu melihat ke depan, memperkirakan pergerakan lawan dan

mengatasinya. Langkah seorang pemenang berada di depan lawannya.

Mengeluarkan kartu AS setelah kartu AS mereka. Pastikan kau menge

Prinsip itu dipegang oleh Madeline Elizabeth Sloane alias Miss Sloane,

seorang pelobi politik ulung yang hampir tak memiliki celah untuk lawannya masuk

dan menyerang. Kariernya cemerlang. Langkahnya penuh perhitungan dan

persiapan matang.

Ketika Miss Slone memimpin rapat koordinasi dan perencanaan, semua

mata tertuju pada pesonanya dalam menguasai materi.


"Ketahuilah subyekmu, jika tidak, kamu bisa kehilangan kesempatan

emas!” kata dia kepada anak buahnya, setelah memberi perumpamaan tentang

lelucon biarawati dan pendeta yang mengutip Alkitab.

Miss Sloane bekerja untuk perusahaan konsultan Cole, Kravitz & Waterman

LLP. Di awal film, diceritakan bahwa dia sedang menangani kliennya, pemerintah

Indonesia, dalam upaya mendekati pejabat AS untuk mengurangi pajak impor

kelapa sawit.

Pernah ada gaduh politik di Indonesia pada pengujung 2015. Ada

keterlibatan perusahaan penyedia jasa lobi untuk mengatur pertemuan presiden

Jokowi dengan presiden Obama. Asal kabar datang dari tulisan Dosen Ilmu Politik

Asia Tenggara di School of Oriental and African Studies, Universitas London,

Michael Buehler. Buehler menuliskan artikel di situs new mandala dengan

judul waiting in the white house lobby.

Dalam tulisannya, berdasarkan dokumen yang dimiliki, ada gelontoran duit

ke sebuah perusahaan pelobi untuk memuluskan pertemuan dua presiden itu.

Rame-rame lobi politik ini berakhir setelah petinggi Indonesia dan perusahaan

pelobi membantah salah satu poin isi tulisan Buehler soal duit untuk jasa lobi

tersebut. Kabar seputar informasi ini bisa dilacak di situs berita tempo.co.

Ribut politik tersebab laku lobi untuk memuluskan program tertentu, secara

sinematik, tersaji di Miss Sloane. Jessica Chastain sebagai Elizabeth Sloane

melempar proposisi di muka sidang senat Amerika: Lobbying is about foresight.

About anticipating your opponent’s moves and devising counter measures. The

winner plots one step ahead of the opposition. And plays her trump card just after
they play theirs. It’s about making sure you surprise them. And they don’t surprise

you.

Sloane menjalankan laku lobi seperti sebuah perang yang harus ia

menangkan. Pilihannya cuma satu: menang, meskipun diperoleh dengan cara

lancung.

Sloane dihadirkan di sidang senat atas dugaan suap berupa pemberian paket

liburan gratis di Indonesia bagi anggota senat Amerika.

Paket perjalanan itu dikaitkan dengan jasa lobinya untuk menggulingkan

rancangan undang-undang yang menentang pengurangan pajak atas minyak sawit

impor bagi pemerintah Asia.

Suasana sidang mirip-mirip sidang senat Hillary Clinton terkait pengerahan

tentara Amerika di Benghazi, Libya pada 2012 yang menewaskan empat warga

negeri Paman Sam.

Selama sebelas jam tanpa henti, Hillary dicecar beragam pertanyaan oleh

senator dari Partai Republik di sidang senat pada 2015 itu.

Hillary berhasil keluar sebagai pemenang setelah membuktikan kebijakan

yang ia jalankan untuk kepentingan Amerika.

Dari cerita itu, kita langsung tahu siapa yang bakal menang di sidang senat

untuk saksi Miss Sloane. Tapi yang menarik justru adegan sebelum ia didudukkan

di muka sidang senat.

Beberapa bulan sebelum sidang senat digelar, Sloane, yang dikenal sebagai

pelobi ulung, meledek rencana bosnya untuk meng-gol-kan kemudahan akses bagi
kepemilikan senjata api. Si bos menawarkan ide kampanye untuk mengajak kaum

perempuan mempersenjatai diri dengan pistol sebagai alat perlindungan.

Sadar kena olok-olok, si bos mencaci maki Sloane dan memintanya untuk

memikirkan strategi kampanye untuk kemudahan kepemilikan senjata api. Dalam

hati, Sloane menolak hal itu. Di luar dugaan, ia mendapat tawaran berkarya dari

perusahaan saingannya, Peterson Wyatt. Perusahaan besutan Rodolfo Schmidt

(Mark Strong) ini tengah melobi rancangan undang-undang universal backround

checks yang mempersulit kepemilikan senjata api. Rancangan ini bakal

mewajibkan calon pemilik senjata api melewati sejenis pemeriksaan catatan

criminal atau dikenal dengan the National Instant Criminal Background Check

System (NICS). Sloane seperti dapat tantangan. Ia sadar, hidupnya memang untuk

menghadapi tantangan dan melewatinya dengan kemenangan.

Benar saja, Sloane bergabung dengan Rodolfo dan membawa serta seluruh

awaknya di perusahaan sebelumnya kecuali satu: Jane Molloy (Alison Pill).

Jane adalah orang kepercayaan Sloane yang kemudian tergantikan perannya

dengan Esme Manucharian (Gugu Mbatha-Raw) di perusahaan barunya.

Sloane memang seorang jenius yang punya sejenis gangguan kejiwaan.

Hidupnya ia berikan sepenuhnya untuk kerja-kerja lobi. Untuk menopang kondisi

fisiknya biar terus fit, ia tak ragu mengonsumsi sejenis obat terlarang.

Tidak ada ikatan pertemanan di mata Sloane. Semuanya hanya untuk

memenangkan lobi. Seperti yang ia lakukan kepada Esme yang merahasiakan masa

lalunya yang kelam terkait penyalahgunaan senjata api.


Sloane yang menguntiti setiap catatan hidup orang-orang yang dikenal, tahu

masa lalu Esme. Dalam upaya memenangkan kampanye rancangan undang-

undang universal backround checks, Sloane tidak segan membongkar masa lalu

yang dijaga rapat Esme di hadapan media, tepat saat acara dialog media

berlangsung.

Sontak, mata kamera membidik sosok Esme yang berdiri menyaksikan

dialog on-air Sloane. Esme tak percaya atas tindakan Sloane tapi dari peristiwa ini,

Sloane meraup banyak dukungan anggota senat.

Miss Sloane, sepenuhnya, menceritakan sepak terjang laku lobi politik yang

ada di pikiran Elizabeth Sloane. Dari film garapan sutradara John Madden ini,

kita diajak untuk tahu dan mengerti aktivitas lobi politik yang tidak jarang

dimainkan secara culas.

Sudut kamera yang terus-terusan menangkap sosok Sloane, dan tidak jarang

dalam rupa close-up, benar-benar mau menceritakan Sloane luar-dalam. Bahkan

hingga ruang hidupnya yang paling pribadi.

Miss Sloane tidak punya sub-plot yang bisa mengajak kita keluar sejenak

dari kehidupan pelobi ulung ini. Semuanya tentang laku Sloane. Sedikit bikin bosan

memang, ditambah lagi, Miss Sloane menghadirkan banyak dialog dari para

pemeran ceritanya.

Tidak sedikit dialog yang bikin kening berkerut. Seperti aneka

perumpamaan yang disampaikan Sloane kepada awaknya. Meski begitu, Miss

Sloane tetap asyik ditonton terutama di bagian ujung cerita.


Di sidang senat, kita bakal lihat konsistensi Sloane dalam perannya sebagai

pelobi politik ulung.

Di tengah tayangan, kita seperti tahu siapa yang akan

memenangkan laga tapi kita buta tentang bagaimana Sloane

memenangkan perang di sidang senat.

Miss Sloane punya plot yang seru dari awal sampai akhir.
Kesimpulan

Pro dan kontra undang-undang tentang kepemilikan senjata api di

Amerika Serikat (AS) seakan menjadi isu yang tiada habis. Miss Sloane, film

drama yang menegangkan dan kental unsur politik ini, menawarkan pandangan

berbeda sekaligus mendedah masalah. Mengapa aturan kontrol senjata nyaris

sulit disahkan, walaupun didukung suara mayoritas dan tragedi berulang terkait

penembakan?

Namun, bukan legislasi undang-undang tentang kepemilikan senjata api

yang menjadi inti cerita film itu, melainkan proses lobi-lobi, baik di dalam

maupun di luar gedung parlemen.

Sloane tak gentar melalui permainan demi permainan, ditunjang

kemampuannya membaca situasi yang kerap kali sesuai prediksinya. Ia

mewakili sosok oportunis yang rela melakukan apa pun demi kemenangan,

tanpa memandang kawan atau lawan asalkan agendanya sukses.

Anda mungkin juga menyukai