Anda di halaman 1dari 3

Korupsi; Selingkuh, Slogan, Sri Sultan

Barangkali kita benci korupsi. Tapi benci seperti apa yang sebenarnya timbul: benci kepada
pelakunya? Besaran korupsinya? Apa korupsi itu berdampak kepada hidup kita? Hidup
makin nelangsa gara-gara korupsi orang lain? Gaji kita berkurang? Kemudian kita merasa
marah dan perlu menuntut hukuman mati bagi koruptor? Pertanyaan yang pada akhirnya
hanya akan menyudutkan kita pada kenaifan.
Korupsi Adalah Selingkuh
Korupsi, seperti yang Goenawan Mohammad singgung di ujung esainya yang berjudul
“Korupsi”, adalah privatisasi -tapi yang selingkuh. Lumrahnya sebuah perselingkuhan yang
terungkap, selalu menimbulkan keributan yang mengundang tetangga dan ketua RT.
Masyarakat pun sama, bereaksi dengan marah dan benci, tapi mandek sebatas itu. Sementara
mahasiswa, yang masih berpikir soal negara, mungkin masih bisa turun ke jalan. Tapi tetap
saja mandek di hadapan kawat berduri.
Mandek yang sama juga terjadi saat Watchdoc Image merilis film Sexy Killers menjelang
pemilu presiden tahun 2019. Film dokumenter yang dibuka dengan adegan ranjang itu
mendapat viewer hingga puluhan juta. Kolom komentar berisi ratusan ribu komentar netizen
yang berisi rasa kaget, miris, dan marah.
Film besutan Dandhy Laksono itu bukan hanya mengajak penonton melihat alam Indonesia
lebih detail hingga ke jamban-jambannya. Film itu memang dibuat untuk merekam realitas
yang tidak tayang pada media massa nasional. Menjelang akhir, film itu memberitahu
penontonnya untuk tidak menjadi naif kepada para pejabat negeri ini.
Dua capres yang sedang berdebat mencari simpati publik itu setidaknya cukup apik dalam
bersandiwara di panggung. Lalu kepada para pejabat yang sederhana, pejabat yang galak, dan
pejabat yang agamis, kita mulai paham jika persona itu memang harus mereka tunjukkan di
depan kamera. Sementara itu di balik kamera, di dalam ruang kerjanya, kita tidak pernah tahu
apa yang mereka kerja-samakan.
Sumber daya alam Indonesia yang kaya itu memang menggiurkan, untuk kita, juga para
pejabat. Hanya saja konstitusi memberi mandat mengelola alam yang kaya itu kepada pejabat
bukan rakyat. Kemakmuran, akhirnya juga mandek, melekat di jaring pejabat dan kroninya.
Rakyat, seperti dalam sepenggal dialog di awal film itu“…mendapat imbasnya, lumpur”.
Kita tahu film itu membidik lalu menembak, tapi misilnya tak cukup membuat luka. Para
pejabat itu masih berdiri, berjalan, dan tersenyum melambaikan tangan kepada kita. Film itu
memang mengejutkan, tapi daya kejut itu tak ubahnya jump-scare dalam film horor. Setelah
film berakhir, seperti yang sudah-sudah: pembuat film mendapat apresiasi, penonton
menerima hiburan yang berkualitas -sekalian rasa apatis kepada politik, dan para pejabat pun
menganggapnya hanya angin lalu.
Korupsi dalam Slogan
“…kami katakan bahwa kami adalah manusia-manusia yang tidak percaya pada slogan.
Patriotisme tidak mungkin tumbuh dari hipokrisi dan slogan-slogan…” Soe Hok Gie naik ke
Semeru dan meninggal di puncaknya. Tapi pesannya mengudara sampai ke generasi
selanjutnya. Gie memang skeptis, ia menabrak semua. Soekarno dan orang-orang satu
generasinya, ia tabrak: ”…kini mereka telah mengkhianati apa yang telah diperjuangkan.”
Gie punya nilai, tapi tak coba ia kristalkan sebagai slogan atau butiran nilai. Soekarno
berbeda, ia coba wujudkan apa yang ia temukan dalam perenungannya. Butiran nilai itu pada
hari-hari selanjutnya hingga sekarang, kita saksikan, justru lebih banyak dijadikan slogan
hanya untuk menunjukkan sikap paling nasionalis. Soeharto tidak pernah mencaci Pancasila,
apalagi hendak menggantinya. Soeharto malah mengamini Pancasila tapi “…siapa yang
mengkritik saya, berarti mengkritik Pancasila” ucapnya. Soeharto pun dianggap
menyalahgunakan Pancasila.
Lalu kita ingat Pancasila, pada mulanya, adalah perihal yang Soekarno tawarkan kepada
bangsa yang baru merdeka setelah sekian abad mengalami penjajahan. Tidak mudah memang
menawarkan barang baru, apalagi agar semua orang menerimanya. Akhirnya setelah semua
orang menerimanya, di mana orang-orang itu meletakkan?
Sri Sultan
“Keterlaluan! Sungguh keterlaluan. Sampai begitu berani mereka mencoba menyuap saya,
coba, sebuah mobil Mercedes Benz dan sekoper penuh uang. Berani disodorkan ke muka
saya guna mendapatkan fasilitas yang mereka inginkan. Akibatnya dapat menghalangi Dwi
Dharma dan Tjatur Karya Kabinet Ampera…” ucapnya ketika konon ada pihak yang
berusaha menyuap demi bisa import vetsin ke Indonesia.
Kita tahu kita bukan orang tersebut, seorang Sultan, dengan segala privilege yang dia punya:
singgasana, wilayah, prajurit, dan nasab. Kita juga bukan pejabat menteri yang hanya dengan
tanda-tangan bisa menghasilkan uang. Kita hanya rakyat, yang banyak, yang seperti rumput
berjejalan di bawah pohon.
Apa yang dilakukan Sri Sultan Hamengkubuwono IX itu bukan semata teladan dalam
bernegosiasi antara penguasa dengan pengusaha yang berbalut luapan emosi. Sekurangnya,
secuil peristiwa itu mengingatkan anak bangsa, siapa saja, pada waktunya, mungkin akan
mendapati dirinya pada keadaan yang menggiurkan untuk dirinya sendiri. Sementara di
tempat lain, anak bangsa yang lain, sedang terlantar, menunggu perubahan dari tangan
negara.
Penolakan Hamengkubuwono IX terhadap suap itu, -sama halnya bilamana seorang hakim
menolak jual-beli putusan pengadilan. Atau Gubernur dan/atau Bupati yang mencegah
penyelewengan anggaran belanja. Di sisi lain sama halnya juga rakyat yang bisa menolak
jual-beli suara saat pemilu. Penolakan itu bisa ditiru.
Sementara, pengusaha itu -yang tidak pernah diketahui namanya, apa yang dilakukannya
adalah juga apa yang bisa kita lakukan. Kepentingan pribadi bisa saja menggusur
kepentingan hajat rakyat.
Korupsi -yang berarti penyelewengan kekuasaan untuk memperkaya diri sendiri atau
kelompok yang mengakibatkan kerugian negara, kiranya memang berjenjang sesuai dengan
hierarki kekuasaan. Pejabat kelas atas atau kelas kroco.
Jika akhirnya kita tahu kekuasaan yang bertingkat itu berlumutan oleh korupsi, suap, dan
nepotisme, adakah cukup Pancasila hadir sebagai sebuah slogan? Pertanyaan yang memang
hanya akan menyudutkan kita pada kenaifan.
Penutup
Hamengkubuwono IX telah wafat dan Gie sudah menjadi abu. Tetapi ini bukan hanya tentang
Hamengkubuwono IX yang pernah menolak suap, tapi juga tentang Soeharto yang
mengundang banyak asing berbisnis di dalam negeri. Bukan hanya tentang Soe Hok Gie yang
menabrak tapi juga feodalisme dan nepotisme yang masih menggurita. Tapi barangkali
begitulah cara sejarah berulang.
Goenawan Mohammad benar, tulisannya pada tahun 2003 itu terbukti, privatisasi yang
selingkuh itu diungkap Dandhy Laksono dalam Sexy Killers pada tahun 2019. Saya yang
salah: perselingkuhan itu semakin lumrah, dan semakin tidak menimbulkan kegaduhan.
Mentok ia hanya trending di jagat media sosial kemudian berlalu oleh trending yang lain.
Para pejabat yang selingkuh itu terus saja melenggang, tapi Goenawan Mohammad malah
membersamai. Sementara Dandhy Laksono tetap berdiri di seberang dan masih membidik.

Anda mungkin juga menyukai