Anda di halaman 1dari 8

An archive of all of the messages sent to the UNAIR List is available at: http://www.mail-archive.com/unair@itb.ac.

id/ From: "W P" <[EMAIL PROTECTED]> Mulanya saya menganggap Gus Im itu cuma preman yang 'ndhukun' belaka. Tapi, setelah melihat pola pikirnya, ternyata lumayan juga orang satu ini ... [ rasanya dia bukan jenis orang yang haus darah, yang pinternya cuma ngadu orang untuk kelahi, dan bersorak-sorai kalau melihat orang sudah berdarah-darah karena sabet-sabetan pisau atau golok ] Wass, WP ``````` Kompas Minggu, 28 Mei 2000 LEBIH JAUH DENGAN Hasyim Wahid Kompas/budiarto danujaya Hasyim Wahid HASYIM Wahid-oleh lingkungan dekatnya biasa dipanggil Gus Im-pernah berkata, kalau terangkut dalam jajaran Pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid, dia mau memilih jadi Kepala Badan Intelijen ABRI (BIA). Tentu saja ini gurauan belaka. Namun, teman-teman dekatnya, di belakangnya, dengan kagum sering berbisik-bisik menyebutnya superintel. Masalahnya, sejak zaman Soeharto masih berkuasa, dia selalu membagi informasi-informasi rahasia mengenai situasi politik dan ekonomi pada teman-teman dekatnya, yang belakangan terbukti banyak yang sungguh-sungguh terjadi. Beberapa waktu sebelum ribut-ribut kerusuhan 13-14 Mei 1998, misalnya, ia sudah memberi tahu teman-temannya, para pencinta (kolektor) dan pedagang keris di Pasar Batu dan Tosan Aji Jatinegara, untuk tutup dan membawa pulang barang-barang yang berharga. Dan, ternyata kerusuhan dan pembakaran sungguh-sungguh terjadi, serta melanda cukup parah kawasan itu. Oleh karena itu, sosok terbuka kelahiran 30 Oktober 1953 ini sungguh berang dan bersedih hati ketika mendadak jadi ''selebriti'' akibat berbagai isu sehubungan dengan keberadaannya sebagai staf ahli di Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN). "Dengan menjadi selebriti (tertawa), kerja saya tidak bisa efektif lagi. Selama ini saya efektif melacak, membuntuti, dan memaksa para debitor untuk mau datang dan berunding di BPPN karena saya berjalan di wilayah abu-abu (grey area)," ujar bungsu dari enam bersaudara putra-putri Wahid Hasyim, tokoh Nahdlatul Ulama yang pernah menjadi Menteri Agama Republik Indonesia ini. Di mata teman-temannya, Hasyim sungguh pribadi yang unik, kaya ragam, dan kontroversial-untuk tidak menyebutnya eksentrik. Pergaulan jebolan Fakultas Psikologi dan Ekonomi UI serta Teknik Kimia ITB ini meliputi kalangan yang sangat luas. Sesaat ada di istana, saat lain sudah ada di Pasar Jatinegara. Sebentar berbicara dengan para petinggi militer, sebentar lagi sudah runtang-runtung dengan aktivis lembaga swadaya masyarakat (LSM) maupun mahasiswa. Minatnya juga cenderung melebar. Dia menyukai Metallica dan Guns 'N' Roses, tetapi juga menggandrungi Beethoven, Johan Sebastian Bach, maupun Amadeus Mozart. Dia sanggup berdebat soal pemikiran ekonomi, sosial-politik, sampai sastra dan filsafat, mulai yang klasik sampai yang posmo, tetapi juga mistik Islam. Dia dianggap berbakat dan punya modal besar untuk meniti karier

politik, tetapi dia sendiri mengaku sangat mengagumi E.E. Cummings, dan sangat ingin menjadi penyair. Dan, inilah sanggahan, serangan balik, maupun pandangannya mengenai berbagai isu yang muncul seputar dirinya, serta berbagai masalah yang sedang melanda, atau yang baginya pantas direnungkan, oleh sesama warga bangsanya. Bagaimana mula Anda bekerja di BPPN? Saya ada kontak dengan Glenn Yusuf, yang waktu itu masih Ketua BPPN, pertengahan November 1999. Dia meminta saya membantu omong dengan debitor, yang dianggap saya bisa lebih enak omong. Setelah beberapa hari, dia bilang, sudahlah kerja saja di BPPN sekalian. Lalu, dikeluarkanlah surat keputusan (SK) tertanggal 3 Desember 1999, tetapi saya terhitung bekerja mulai 1 Desember 1999. Banyak orang mengira Anda masuk ke BPPN, satu paket dengan Cacuk Sudarjanto? Tidak, saya masuk BPPN lebih dahulu dari Cacuk. SK itu ditandatangani Glenn Yusuf, Ketua BPPN waktu itu. Waktu itu bayangan kerjanya apa? Saya punya bayangan yang sama dengan dia bahwa pada dasarnya kerja saya membangun rapport, membangun hubungan yang lebih enak dengan para debitor, yang sejauh itu masih pada lari-lari. Pertanyaannya, para debitor itu mau diapakan? Apakah mereka mau dipenjarakan semua? Sebab, banyak yang merasa siap dipenjarakan saja yang penting tidak bayar utang, kayak model Endang Wijaya dalam kasus Pluit itu. Saya disuruh meyakinkan para debitor yang termasuk 20 besar itu agar tak menempuh cara itu. Kita kasih kesempatan mereka bekerja dan bayar utang-utang mereka pada negara. Sebagian cash dan sisanya dibayar dengan asset. Jadi, win-win solution? Ya, win-win solution. Istilahnya MSAA (Master Settlement and Aquisition Agreement). Obligor pertama yang mau bekerja sama adalah Anthony Salim. Ia menyerahkan 160 perusahaan untuk menutup utang-utang BCA dan Grup Salim pada Februari 2000. Akta-akta penyerahannya saja makan waktu tiga hari saking banyaknya. Setelah itu, debitor dan obligor lain jadi mulai mau juga. Jadi, itu awal mereka mau duduk merundingkan utang-utang mereka? Ya, dan prosesnya memang cukup sulit. Ada obligor yang membawa para komisarisnya, yakni empat mantan Kepala Staf, AD, AU, AL, Polri. Saya hadapi baik-baik sampai akhirnya mereka tak mau lagi ikut urusan. Ini belum terjadi sebelum era Cacuk dan saya. Saya bukan mengklaim berlebihan. Ada juga yang saking sombongnya, sudah disurati berkali-kali, tidak mau datang juga. Kebetulan teman saya bertahun-tahun, yang namanya Tommy Winata itu. Saya bilang, pantas-pantasnyalah Anda datang sekali ke BPPN. Terkesan, banyak pihak ingin masalah ini segera selesai, dengan dibawa ke pengadilan saja. Tapi Anda lebih mengupayakan agar uang tersebut bisa kembali dan bisa dipakai negara. Iya, karena banyak di mata mereka dari sektor riil. Kami ingin agar mereka dapat berjalan kembali sehingga ekonomi bisa cepat pulih.

Lagi pula, ada 88 debitor kelas kecil dan menengah, ada juga yang besar, yang memilih dibawa ke pengadilan. Dan ternyata 84 kasus, malah mereka yang menang. Saya tidak tahu pakai nyebar duit di pengadilan atau tidak. Kami bahkan sampai pernah mendatangkan pakar bankruptcy law, yang pernah jadi hakim pengadilan niaga di European Union. Tetapi tidak jalan juga. Kami lalu berpikir, untuk kasus yang lebih besar dan menyangkut masa lalu, apa kita tidak lebih kalah. Jadi, kami akhirnya berpikir yang bisa diambil, baik cash maupun asset, secepatnya saja. Jadi, berdasar pengalaman ini, BPPN cenderung menyelesaikan dengan perundingan di atas meja? Ya. Soalnya banyak yang masa lalunya lebih rumit lagi. Contoh, ada bank swasta yang bangkrut, setelah dibongkar pembukuannya, ternyata ada pengeluaran untuk pembelian panser. Lha, bank mana yang tidak bangkrut kalau caranya kayak begini? Ada lagi perusahaan petrokimia yang didirikan hanya untuk menghasilkan cash untuk menutup kerugian Bank Duta 225 juta dollar AS. Lantas, kami mau perkarakan perusahaan ini bagaimana? Atau BCA, kalau ditarik-tarik, dia itu harus membayar kerugian Bank Duta 150 juta dollar AS. Belum lagi, setiap pemilu dipalakin untuk membayar dana pemilu pada zaman Pak Harto itu. Ini dimasukkan saja di neraca sehingga neracanya bolong-bolong. Ini agak sulit dijadikan public knowledge. Tetapi, saya ingin sekali mengatakan, tak semua debitor itu nakal. Mereka bukan bangsatnya semata-mata, tetapi juga bagian dari korban dalam sistem ekonomi yang kolutif sifatnya. Coba saja, obligor yang semua komisarisnya mantan kepala staf itu. Tak dapat untung dia. Dia tidak dapat kerjaan dari Cilangkap, tapi setiap bulan malah membiayai pengeluaran nonbudgeter keempat angkatan. Gimana tidak berdarah-darah. Jadi, tidak sehitam putih dan sesederhana yang dibayangkan orang banyak, begitu? Sangat. Yang saya sesalkan, ada tangan-tangan yang bermain, yang membuat warnanya sangat hitam putih, sehingga mereka dapat berlindung seakan-akan mereka itu putih. Padahal, mereka juga bagian dari yang hitam. Yang saya maksud begini, kenapa kita meributkan orang-orang yang terima BLBI doang. Kita tak pernah mempertanyakan orang-orang yang memberikan BLBI. Orang itu dapat, kok. Bunga dipotong di depan dan pembayaran tidak jelas ke rekening pemerintah atau oknum-oknum moneter. Bankir-bankir yang terima BLBI mau nyanyi takut mati. Belum lagi kolusi di lingkungan moneter yang mau menjarah pengusaha yang sebetulnya tak jahat-jahat amat. Contohnya Rudy Ramli dengan Bank Bali. Itu, kan, kasarnya kepemilikan Rudy Ramli dijarah. Jarahnya pakai nominee yang Deutsche Bourse Clearing itu. Sampai sekarang tak ketahuan yang beli siapa, pakai duit siapa. Kalau ditarik-tarik, itu bisa nyangkut-nyangkut perusahaan sekuritas milik negara. Kira-kira seperti perkiraan Sumitro Djojohadikusumo, dari semua cash flow di Indonesia, 30 persen hilang, mampir di kantung birokrat pada waktu itu. Saya ingin para debitor dan obligor kita pojokkan supaya nyanyi kepada siapa dulu mereka kasih kick back. Kita urus juga birokratnya itu. Melihat rumitnya persoalan, bagaimana prospek pengembalian dana negara ini menurut Anda? Paling-paling cuma 30 persen dari nilai yang semula direstrukturisasi di BPPN. Yang lainnya, ya, sudah hilang saja, jadi pemilu 1992, pemilu 1997, jadi dana politik, bikin kerusuhan, dan sebagainya. Tumbal semua ini adalah para obligor dan debitor. Lalu, sebagian dari para birokrat yang dulu ikut nyicipi sekarang secara sistematis mencoba membebankan semua ini pada pundak

debitor dan obligor, dengan cara mengembangkan nuansa SARA (suku, agama, ras, antargolongan). Ini tidak fair. SARA-nya bagaimana, misalnya? Cina ini memang semuanya maling, kok. Padahal, yang ngomong itu birokrat yang ikut maling itu. Cuci tangan. Soal gosip Anda menyisihkan dana politik Rp 1 trilyun itu? Saya yakin ada sangkut-pautnya dengan keinginan saya membongkar semua ini. Mula-mula muncul isu bahwa saya memerintahkan penarikan uang dari Bulog, Rp 35 milyar, yang ternyata tidak terbukti. Begitu beritanya mau adem, kok, tahu-tahu muncul kontroversi posisi saya sebagai tenaga ahli di BPPN. Padahal saya sudah sejak Desember di sana dan tak ada yang mempersoalkan. Saya melihat, diri saya dijadikan papan pantul. Lebih banyak untuk mengenai Gus Dur. Orang-orang itu salah hitung, Gus Dur tidak pernah marah, saya yang marah berat. Saya sampai sumbar, jangan main-main sama saya. Kalau mau main intrik-intrikan, lebih kotor pun saya bisa. Saya survivor. Saya bukan saja masuk daftar orang yang ingin diculik, tetapi bahkan daftar orang yang harus dihilangkan secara fisik. Toh, saya masih lolos. Ada debitor yang tidak tahu terima kasih. Nangis-nangis kepada saya minta ditolongi perkaranya, sekarang duitnya malah dipakai bikin macam-macam gerakan sekarang ini untuk menjatuhkan Gus Dur (Abdurrahman Wahid-Red). Jadi, kembali pada pertanyaan, apakah saya di BPPN untuk menggalang dana politik, saya jamin tidak. Banyak teman yang dapat bersaksi mengenai life style saya di masa lalu, sekarang ini dan lihat saja nanti di masa mendatang. Saya, ya, begini ini. Sekadar seorang korak. Ha-ha-ha... Bagaimana dengan tudingan nepotisme yang marak belakangan ini, sehubungan dengan pengangkatan orang-orang di jararan pemerintahan yang dianggap dekat dengan Gus Dur? Salah kaprah. Nepotisme tidak selamanya jelek. Pada tahun 1958, di Amerika Serikat ada nepotisme, yang sekarang ini politiknya justru jadi acuan seluruh dunia. Pada waktu itu, Dulles bersaudara (John Foster dan Allan) bersamaan duduk di pemerintahan, yang satu Direktur CIA dan yang lain Menteri Luar Negeri. Dan dalam ekspansi geopolitik AS, pada masa mereka itulah dianggap salah satu yang paling sukses. Saya tidak mau membandingkan Gus Dur dan saya dengan John dan Robert Kennedy, karena ujung-ujungnya kedua-duanya mati ditembak. He-he-he... Jadi, jangan diukur dari ikatan-ikatan pertalian kekerabatan, ukurlah performance-nya. Dan, public burden serta public benefit-nya. Lagi pula, tidakkah seseorang itu dalam membangun satu tim memang perlu mengenal baik karakter dan mengetahui pasti kapasitas calon anggota timnya, sehingga cenderung mencari orang yang memang dia kenal dengan baik? Ya. Saya memang juga berpikir begitu. Semua ini memang telanjur jadi salah kaprah, dan orang terlalu gampang curiga, waton serik. Bayangkan, betapa marahnya publik kalau menyadari akar sosiologisnya betapa sejak 1945, GAM itu-itu saja yang menjalankan pemerintahan kita. Maksud saya Geng Anak Menteng, he-he-he... Anak Bung Karno sekarang jadi wakil presiden. Anak Wahid Hasyim jadi presiden. Anak rival mereka, Sumitro Djojohadikusumo, jadi rival anak mereka juga. Gitu lho. He-he-he...

Realitas sosial di Indonesia yang memperlihatkan betapa sulitnya mobilitas vertikal terjadi? Betul. Ingat tidak sosiolog Thorstein B Veblen yang menulis mengenai teori masyarakat leisure class, kelas masyarakat ongkang-ongkang. Nah, ini, kan, sedang terjadi di sini. Sepanjang 55 tahun kemerdekaan kita ini, ada kelas ongkang-ongkang yang ongkang-ongkang terus. Mobilitas vertikal tidak terjadi, sehingga tidak ada darah baru masuk ke dalam sistem. Jadi, orang terus merasa putus asa, lalu pergi saja, nyingkir. Brain drain lagi. Pemainnya, ya, itu-itu saja. Tidak hanya di politik ya itu-itu saja. Ya. Bukan hanya di politik. Ekonomi juga. Kalau ABRI? Sama. Siapa bilang tidak. Yang namanya Mas Bowo itu, anaknya siapa, mantunya siapa? Mantunya Jenderal Besar Soeharto. Mas Bambang Yudhoyono itu mantunya siapa? Mantunya Pak Sarwo Edhie. Bang Agum? Mantunya Pak Tahir, ketua legiun veteran. Jadi, pemainnya masih itu-itu saja. Tidak ada darah baru. Jadi pertanyaannya, apa ada sih yang namanya human effort di sini? Apa cuma pengaruh lingkungan yang membentuk orang secara tidak sengaja? Kalau Anda mundur, apa nanti tidak justru muncul kesan semacam pembenaran atas tuduhan? Saya memang ingin mundur, karena kalau tidak mundur juga sudah tidak mungkin bekerja dengan efektif. Saya dulu bisa efektif karena bekerja di daerah abu-abu. Tidak di daerah putih seperti teman-teman BPPN yang kerjanya melakukan restrukturisasi, tidak pula di daerah hitam. Jadi, untuk bisa menggiring orang supaya duduk di meja perundingan bersama teman-teman yang spesialis restrukturisasi. Tugas saya cuma itu. Dari yang tidak mau omong sampai mau duduk di meja. Begitu duduk di meja, saya sudah tidak ikut. Dari mana saya bisa galang dana Rp 1 trilyun. Saya cuma bisa bangga, di zaman siapa sih yang namanya Anthony Salim, Prayogo Pangestu, Tommy Soeharto, Bambang Trihatmodjo, Nursalim, dan Tommy Winata, mau datang ke BPPN; di zaman sebelum saya kerja di situ atau setelah saya kerja di situ. Don't judge me on my credentials, judge me on my performance. Jadi, kalau orang bersoal mengenai keahlian dalam restrukturisasi keuangan, Anda anggap itu tidak relevan karena memang bukan tugas Anda? Iya. Bagaimana menurut Anda haluan di BPPN selanjutnya? Tidak ada pilihan harus diteruskan. Mungkin derapnya yang lebih lambat. Sebab, banyak debitor yang tenang saja-saja. Soalnya tidak ada yang oprak-oprak. Jadi, pengunduran diri Anda sudah pasti? Ya. Secara pribadi ada semacam perasaan, saya ini mengerjakan hal yang tidak mungkin, untuk publik yang tidak tahu terima kasih. I'm doing the impossible

for the ungrateful. Satu kasus yang konkret, misalnya, kasus Astra. Saya negosiasi dengan Gilbert waktu itu dan sampai pada kesepakatan akhir 20 persen saham Astra dijual pada Rp 3.750, 20 persen berikut disepakati lebih tinggi dari itu. Terus diramaikan publik, oleh orang yang mengklaim dirinya...entah makar, cakar, pakar, entah zakar begitu, dibilang tidak transparan. Akhirnya kami bikin open bid, ternyata tidak ada yang menawar sampai mendekati Rp 3.750. Sampai dengan enam jam sebelum penutupan, penawaran tertinggi baru Rp 3.400. Sampai satu jam sebelum penutupan penawaran, saya sampai nangis-nagis kepada invesment bankers luar untuk bisa galang dana sampai Rp 3750, supaya pemerintah mukanya tidak hilang. Ternyata, hasilnya maksimum cuma Rp 3.700 untuk seluruh 40 persen saham Astra. Jadi, negara dalam hal ini dirugikan minimum Rp 50 X 1,3 milyar lembar saham, jadi Rp 65 milyar. Nah, siapa yang mau menanggung kerugian ini. Apa media, apa pakar-pakar yang sorak-sorak itu? Mbok tanya dulu, jangan mikirnya jelek melulu. Bagaimana sih Anda melihat realitas koran akhir-akhir ini? Belakangan ini, bagi saya, koran itu seperti tidak punya memori. Dua minggu yang lalu jadi teman saya, seminggu kemudian memusuhi saya, dan seminggu kemudian lagi ada usulan sekelompok wartawati untuk memberi saya award sebagai narasumber favorit. Ini, kan, lucu. He-he-he... Ini sekadar realitas koran atau lebih luas? Memang lebih luas. Bangsa ini saya kira memang mengalami problem kaderisasi. Kita punya raksasa-raksasa di dunia militer, media, politik, yang sudah pada senior. Tetapi, tak sempat terjadi kaderisasi yang baik. Jadi reporter dan redaksi rata-rata melihat persoalan sebagai single issue politics tidak bisa komprehensif. Ini menyedihkan. The whole nation memang sedang mengalami masalah ini. Mutunya turun semua. Tetapi, dari statistik, tingkat sosial ekonomi maupun pendidikan rata-rata, kan, terus meningkat. Apa tak ada sangkut paut sama sekali? Ini barangkali masalah cara pandang terhadap modernity. Kalau bagi saya modernity itu state of mind, keadaan pikiran, bukan sekadar life style. Kita, hari ini, sering kelirukan itu; bagi kita modernity itu life style, bukan state of mind. Mari kita bandingkan dengan Prancis. Mereka bangun tradisi berpikir yang panjang mulai dari zaman Voltaire, yang diungkapkan lewat macam-macam bentuk sastra. Lalu, ketika ada infrastruktur, dalam hal ini kafe-kafe tempat mereka nongkrong bertukar pikiran, lahirlah para pemenang Nobel seperti Albert Camus, Jean Paul Sartre, Andre Malraux. Kalau di sini tidak. Tradisi berpikir tidak dibangun, tradisi filsafat tidak dibangun, tradisi sastra tidak dibangun, yang dibangun cuma kafe-kafenya. Makanya, kita tak dapat pemenang nobel sastra, dapatnya cuma perek banyak. He-he-he. Ada kesan, sekarang ini kita, sebagai sebuah masyarakat, gampang marah, kurang berpikir dulu, dan mudah terjebak saling curiga, lalu omong saling tuding simpang siur? Mungkin karena eforia. Terus diberi kebebasan omong oleh pemerintahan sekarang. Terus jadi cacophony, bunyi-bunyian yang tidak karuan begitu lho. Takut saya nanti semua jadi was-was, ternyata yang namanya kebebasan itu sebegini beratnya, terus orang lari dari itu. Saya takut bandul bangsa ini nanti terus berayun-ayun dari ekstrem ke ekstrem. Bagaimana Anda melihat kemungkinan mengatasi krisis ini?

Tidak ada simple solution, yang ada intelligent choices pada berbagai bidang, lalu dirangkum dalam suatu yang komprehensif. Dan ini belum dilakukan. Kalau kita lihat bangsa kita sudah melewati beberapa kali konsensus nasional. Pertama 1928, ada konsensus satu nusa satu bangsa satu bahasa. Lalu tahun 1945, ayo merdeka. Yang ketiga tahun 1967, pada waktu Seminar Angkatan Darat I. Sekarang ini belum ada. Sepertinya formal ada, tetapi, kesamaan kerangka pikiran belum tercapai. Ini kewajiban para elite bangsa. Saat ini, belum terbangun bareng. Akhirnya, presiden sendiri kayak drama Arifin C Noor, Kapai-kapai, mencoba menjangkau publik karena mind set-nya tidak sama dengan elite lain. Bagaimana Anda lihat krisis politik kita? Terutama pergeseran nilai. Tahun 1955, Herbert Feith bikin peta politik aliran. Sekarang ini kita belum merumus ulang. Sebetulnya, apa sih underlying current yang ada. Kita belum ada acceptance untuk mengakui itu. Terus ditambah lagi ada kepentingan-kepentingan politik Presiden, Wakil Presiden, Ketua MPR dan Ketua DPR yang masih sendiri-sendiri, belum sempat memikirkan itu. Grand picture-nya itu kayak apa. Ibarat sebuah mural yang besar, mosaik-mosaiknya berdiri sendiri-sendiri, belum nyambung. Peta Feith itu, kan, bergerak, tidak stagnan, sekarang kayak apa. Kita sekarang menjalani kehidupan bernegara seperti pasukan yang haru bergerak berdasarkan peta buta, tidak tahu mau ke mana. Mestinya, kepala negara itu berkewajiban memberi visi itu. Tetapi, rombongan kedua, setelah loko, semua teriak ramai-ramai, ada yang bilang minta lewat Cirebon, Bandung, dan sebagainya. Semua tahu mau ke mana, karena ada empat tujuan kemerdekaan itu, tetapi lewat mana belum sepakat. Saya khawatir ini akan membuka kemungkinan tirani. Bagaimana Anda melihat masalah disintegrasi bangsa, yang bagi sementara orang sangat mencemaskan? Kalau saya lebih cemas karena di balik isu ini ada tangan-tangan status quo yang main. Kita, misalnya, bisa melihat hubungan antara tingkat kerusuhan dengan permintaan untuk mengadili Pak Harto atau pemeriksaan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) secara lebih serius. Somehow connected kalau kita bisa melihat secara lebih komprehensif. Apa masalah bangsa yang paling Anda prihatinkan sekarang? Pendidikan. Secara formal saja, misalnya, bayangkan berapa persen bangsa kita yang lulus SD, SMP, SMA. Berat di bawah begitu. Apakah Anda punya idola? Charlie Chaplin, pelawak itu. Caranya memosisikan diri pada masyarakat. Keberpihakannya pada pihak yang tidak diuntungkan, kemudian selalu memosisikan diri secara marginal, dan pandangannya yang kritis terhadap realitas kehidupan dari berbagai sudut pandang berbeda. Saya menonton film Chaplin Modern Times tiga kali dalam hidup saya. Ketika masih SMA, ketika ikut Kine Club di ITB, terus setelah dewasa sebagai makhluk politik. Saya melihat tiga Charlie Chaplin yang berbeda di situ. Charlie Chaplin sebagai social pariah, orang paria yang dibuang-buang, lebih banyak pahlawan mbambung begitu ya. Dulu, waktu SMA, saya melihatnya begitu. Setelah mahasiswa, saya lihat kritik sosialnya. Kelas yang dirugikan lawan kelas yang diuntungkan. Dewasa sedikit, saya sudah mengerti filsafat kapitalisme liberal, komunisme, dan ekonomi sentral, saya lalu lihat Modern Times sebagai benturan buruh lawan kapitalis. Dan bayangkan, Charlie Chaplin itu

cinta sama semuanya, mulai dari Nazi sampai feminis, kuwi lho sing aku seneng (itu lho yang saya senang). Kalau negarawan? Saya selalu terjerat di antara dua ekstrem. Di satu pihak, saya punya kekaguman sendiri terhadap negarawan-negarawan liberal. Tetapi, di pihak lain, saya juga punya kekaguman yang kelewat-lewat atas negarawan yang bisa membawa bangsanya keluar dari krisis meskipun dia tiran. Ada kekaguman sendiri pada orang seperti Otto von Bismarck, yang berhasil membawa bangsa Jerman keluar dari krisis dengan darah dan besi. Dari kacamata Jefferson, Bismarck salah, tetapi pada saat yang sama kita harus tahu Jerman bukan Amerika. Saya punya kekaguman tersendiri pada Kim Dae-jung, pada Nelson Mandela. Tapi saya tidak bisa bayangkan kalau Nelson Mandela dan Kim Dae-jung disuruh memimpin 600 juta orang yang lapar di Cina tanpa cara otoriter seperti Mao Tse Tung. Semuanya ada plus minusnya. Saya jadi oscillating, bergetar di antara dua ekstrem itu terus. Bagaimana Anda melihat Pak Harto? Saya pikir 12 tahun pertama, sampai tahun 1978 masih benar. 1978 sampai 1985 mulai melenceng. 1985 sampai 1998, ya, ngawur total. Saya melihatnya dalam konteks orangtua Jawa. Orangtua Jawa itu makin tua makin inward looking. Dia tidak mendengarkan lagi timnya seperti awal. Baik di politik maupun ekonomi. Tetapi pada awalnya, prioritasnya benar urutannya. Pemulihan keamanan, kebutuhan dasar, lalu baru pemilu, sudah benar. Gus Dur agak salah bagi saya. Kebebasan pers dulu dia kasih. Saya bilang, oh, media itu tidak akan tahu terima kasih pada Anda. Dia bilang, tiran Lu. Tapi, saya kadang berpikir kalau tidak ada Bismarck, apa ada sih bangsa Jerman. Lalu kita ini apa dan cara menanganinya bagaimana. Apa mau demokratis dan dilos kayak Nehru, tapi kerusuhan etnis tak habis-habis seperti India. Apa mau dikerasi sedikit kayak Mao, tidak tahu saya. Kalau Gus Dur? Dia itu edukator. Saya pikir dia sudah menjalankan apa yang dikatakan Friedrich Wilhelm Nietzsche: "Educators, educate." Dia mendidik. Perkara yang dididik baru ngerti 10 tahun lagi ya sudahlah. Itu sudah risikonya. Kalau terjadi salah baca, ya wajar, namanya juga rakyat. Gus Dur begitu. Kalau pada pintar, kan, mereka yang duduk di sini. He-he-he. Begitu dia dengan santainya. Kabarnya Anda menekuni dan mempunyai kekuatan metafisik? Saya merenungi kenyataan metafisika. Saya memang sangat tertarik pada unexplained phenomena. Tetapi, tidak berarti saya mempunyai kekuatan seperti itu. Hal ini membuat posisi saya di masyarakat menjadi unik. Intelektual bilang saya intel, intel bilang saya dukun, dukun bilang saya intelektual. Haha-ha... Pewawancara: Budiarto Danujaya C o p y r i g h t 1 9 9 8 Harian Kompas "What sets worlds in motion is the interplay of differences, their attractions and repulsions; life is plurality, death is uniformity." - Octavio Paz __________________________________________

Anda mungkin juga menyukai