Anda di halaman 1dari 83

Skandal BLBI:

Ramai-ramai
Merampok Negara
Marwan Batubara
Kwik Kian Gie
Dr. Frans Hendra Winarta, SH., MH.
Dr. Ahmad Erani Yustika
Dr. M. Fadhil Hasan
Dr. Hendri Saparini
Aviliani
Hak cipta dilindungi Undang-undang
Dilarang memperbanyak sebagian atau keseluruhan isi buku ini
tanpa seizin penerbit
Skandal BLBI:
Ramai-ramai
Merampok Negara
Marwan Batubara, dkk
Penerbit
Haekal Media Center
Januari 2008
Judul Buku:
Penulis:
PenyusunNaskah:
Wahyutama, ShalihanEdwar
M. Ikrar Dinata, Deni Wigunadi
Penyunting Naskah:
Wahyutama, ShalihanEdwar
Gumanti
Tata letak isi:
ShalihanEdwar
DesainCover:
TimHaekal Media Center
Penerbit:
Haekal Media Center
HP. 0816 23 0065, 0856 9765 3043
E-mail:
CetakanKedua, Maret 2008
ISBN: 978-979-15667-5-9
Skandal BLBI:
Ramai-ramai MerampokNegara
MarwanBatubara, dkk
haekal_mc@yahoo.co.id
Sri-Edi Swasono (Guru Besar Fakultas Ekonomi UI)
Rakyat telah menggugat, rakyat mulai mendesak, pemerintah pun
bergeming terhadap skandal Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyatakan tentang adanya upaya
pihak-pihak tertentu yang menghalangi pemerintahmemberantas korupsi.
Skandal BLBI adalah kasus penjarahan Indonesia, merampok rakyat,
meleceh negara, suatu persekongkolan luar biasa sepanjang sejarah
perbankan modern antara oknum-oknum pemerintahan yang menjadi
koruptor dengan para koruptor yang mendikte pejabat pemerintah. Ini
merupakan kejahatan akbar di dunia perbankan yang tidak ada duanya di
dunia.
Skandal BLBI dapat kita kategorikan sebagai suatu konspirasi global,
dengan sasaran untuk melumpuhkan Indonesia agar
selanjutnya mempermudah penaklukkan teritorial dan pengurasan kekayaan
Indonesia. Skenario pelumpuhan ini adalah awal dari upaya brutal untuk
menciptakanketergantungandanketertundukan.
(disempowering)
Kata
Pengantar
vii
Mengapa skenario global sejahat ini dapat berjalan begitu lancar? Ada
macam-macam jawaban dan penjelasan. Di dalam pengantar ini tidak
semuanya dapat dikemukakan. Namun yang paling pokok adalah hilangnya
patriotisme, nasionalisme, dan rasa berdaulat dari kepemimpinan nasional
kita dan tentu pula bersamaan dengan itu adalah mengganasnya globalisme-
imperialisme masing-masing dengan derivat-derivatnya. Satu sama lain
saling berkaitandansaling menumbuhkansinergisme kemalapetakaan.
Pemerintahan negara yang nepotistik, yang
mengabaikan meritokrasi dan tuntutan profesionalisme
merupakan awal segala malapetaka. Orang-orang medioker pun
bisa masuk ke dalampemerintah dan menikmati kewenangan dan kekuasaan
siap pakai. Dari sinilah kecerdikan dan kelicikan globalisme-imperialistik
memperoleh peluang lebih besar untuk melaksanakan skenario perampokan
danpenjarahan.
Dari dimensi lain, berkaitan dengan kejahatan akbar di atas, barangkali
menyangkut pula persistensi budaya minder bangsa bekas rakyat terjajah ini,
yang sebagiannya cenderung untuk mudah dirayu dan dipecah-belah, maka
jadilah itu. Belahan adalah mereka yang kurang memiliki percaya diri,
lalu mengundang kembalinya penjajahan baru, yang yang masa
bodoh terhadap masa depan bangsa dan negara, yang di masa disebut
sebagai kelompok Belahan adalah mereka yang teguh
cita-cita, tetap bertahan dalam mempertahankan kemerdekaan dan
kedaulatan nasional, demi kebebasan, kebesaran dan kejayaan bangsa dan
negaranya, yang kita kenal sebagai kelompok nasionalis
Dengan latar belakang aneka absurditas di atas, yang bukan misteri atau
ilusi fiktif, maka terbentuklah ketertundukan birokrasi (barangkali juga
ketertaklukkan) untuk melaksanakan perintah orang yang ditakuti (IMF),
ibarat kerbau dicocok hidung. Mengawali serangkaian kebijakan bunuh diri
adalah sikap yang dengan serta merta melaksanakan
perintah IMF untuk melikuidasi 16 bank tanpa persiapan dan pertimbangan
matang tentang segala akibatnya pada awal November 1997, semata-mata
karena merasa tak berdaulat lagi, lalu menerima begitu saja hasil evaluasi dan
rekomendasi IMF/LoI 31 Oktober 1997.
adigang-adigung-adiguna
the right man in the
right place
pertama
hanging-loose,
doeloe
Co (NICA). yang lain
doeloe Republikein.
(series of suicidal policy)
***
viii
IMF jelas tidak berpengalaman dengan psikologi dan alam pikiran
masyarakat Indonesia. Oleh karena itu, kebijaksanaan melikuidasi 16 bank
itu, yang oleh IMF semula diharapkan dapat memulihkan kepercayaan
masyarakat terhadap perbankan, pastilah meleset. Akibatnya malahan
direspon oleh masyarakat secara sebaliknya. Masyarakat justru makin ragu,
makin dirongrong oleh lalu makin melakukan penarikan
danpengalihandana secara besar-besaran.
Perbankan Indonesia, yang lebih mengenal dan sangat berpengalaman
menangani psikologi masyarakat Indonesia, mestinya berani menolak saran
IMF ini. Namun keminderan terhadap IMF membuat para otoritas moneter
kita mudahtunduk dantakluk sebagai
Evaluasi dan rekomendasi IMF ternyata tidak saja keliru, tetapi malah
merupakan penyulut bagi makin meluasnya ketidakseimbangan antara
penarikan dan penerimaan perbankan. Makin banyak, bahkan
nyaris menyeluruh, terjadi saldo debet negatif pada giro-giro mereka di
Bank Indonesia.
Presiden Soeharto terperangkap pada skenario logis sebab-akibat ini,
diteror secara sistematis untuk lebih terjerumus. Dengan kenyataan kausal
terjadinya pembengkakan saldo debet di perbankan, maka pada tanggal 12
Desember 1997, Presiden Soeharto menyetujui Bank Indonesia menempuh
kebijakan pengganti saldo debet bank-bank dengan SBPUK (Surat
Berharga Pasar Uang Khusus) supaya tidak terjadi lagi likuidasi bank.
Namun, sebagaimana bisa diduga dari pengalaman-pengalaman
perbankan Indonesia masa lalu yang ringkih terhadap spekulasi dan
ketidakpastian, krisis justru makin memuncak, saldo debet makin meluas
dan berkelanjutan. Istana Negara makin terteror, tergiring ke arah jurang
pelumpuhan kegiatan ekonomi, meskipun harapan yang ada cukup rasional,
yaitu untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat pada perbankan. Para
pembantu Presiden tiarap, membiarkan Presiden tergencet dalam
kesendirian.
Dalam situasi krisis itu maka dikucurkanlah mekanisme kliring
baru, yaitu BLBI (Bantuan Likuidasi Bank Indonesia), berdasarkan
keputusan Rapat Kabinet 3 September 1997 yang dipimpin Presiden
uncertainties, (rush)
(bank-run)
the yes man.
(mismatch)
mismatch
***
ix
Soeharto, sebagai dana talangan pemerintah lewat Bank Indonesia untuk
perbankanyang bersaldodebet.
Tahap pertama BLBI (3 September 1997 29 Juni 1999) ditetapkan
sebesar Rp 144,536 triliun (kemudian membengkak menjadi Rp 164,536
triliun).
Pada tanggal 15 Januari 1998, kita semua melihat Camdessus
bersilang-tangan di dada, disertai sikap congkak seorang mandor mengawasi
Presiden Soeharto menandatangani LoI. Presiden Soeharto mestinya tak
seharusnya semacam itu, mestinya tidak dibiarkan terteror
sedahsyat itu, mengingat Prof. Widjojo Nitisastro berada tidak jauh berdiri
di situ.
Kelanjutan dari LoI itu adalah Keputusan Presiden No. 26/1998
tentang jaminan pemerintah untuk membayar seluruh kewajiban
perbankan, sebesar Rp 57,779 triliun, suatu program penjaminan yang
acapkali disebut sebagai Pemerintah melakukan
penjaminan melewati dana talangan dari Bank Indonesia yang kemudian kita
kenal dengan BLBI tahap kedua. Malapetaka yang besar mulai dari sini,
ibarat Lucifer turun ke bumi menyebar serba menggelembung
danfiktif.
Kemudian, sebagai tindak lanjutnya, pemerintah pun mendirikan
BPPN (Badan Penyehatan Perbankan Nasional) berdasar Keputusan
Presiden No. 27/1998 untuk mengalihkan program penjaminan. BPPN
gagal total, suatu badan korup penuh dengan persekongkolan bisnis makelar
jahat.
Maka lengkaplah skenario penjerumusan, suatu skenario
untuk menumbuhkan dependensi Indonesia kepada kekuatan asing,
khususnya kepada IMF, yaitu tatkala pemerintahan bangsa ini menurut saja
terhadap ide obligasi rekap (BLBI tahap ketiga) dan rekayasa MSAA
. MSAA di samping tidak masuk akal dan
tidak adil terhadap negara, juga sangat bertentangan dengan sistem hukum
Indonesia, antara lain yang berkaitan dengan yang
mengabaikan supremasi hukum publik (pidana) terhadap hukum privat
(perdata). Seperti dikatakan oleh Kwik Kian Gie berkali-kali dalamberbagai
ketika MSAA dimintakan dari Kantornya Kartini
Mulyadi/Fred Tumbuan dan opini mereka menyatakan bahwa MSAA
sedekap
off-guarded
blanket guarantee.
moral hazards,
disempowerment
(Master
Settlement of Acquisition Agreement)
release and discharge
fora, draft legal opinion
x
melanggar sistem hukum Indonesia khususnya UU Perbankan, ahli hukum
berkebangsaan AS, yang diperkirakan suruhan IMF, dengan congkaknya
bilang suatu arogansi tiada tara.
MSAA menginjak-injak UU Perbankan dan banyak menteri termasuk
Menteri Keuangan dan Menko, bahkan Presiden, ikut menginjak-injak UU
Perbankan. Presiden menerbitkan SKL atas dasar MSAA. Sementara itu
DPR-MPR ibaratnya mengamini semuanya ini. Lebih memalukan lagi,
ketika dibuat perjanjian (MSAA) antara obligor berkewarganegaraan
Indonesia dengan pemerintah Indonesia, perjanjian itu dibuat dalambahasa
Inggris, bukan dalam bahasa nasional. Lagi-lagi, di sinilah, di dalam
pemerintahankita, absurditas bertemu denganmediokritas.
Pengantar saya ini hanyalah mempertegas betapa (maaf) mediokernya
para otoritas moneter kita yang telah dengan mudah terdikte oleh resep-
resep keliru IMF dalam penanganan krisis moneter. Dengan resep-resep
IMF itu justru krisis malahan memuncak, padahal secara teoretis kita
mestinya cukup paham dan andal untuk menolak, bahkan bisa dengan tegas
menuding dan memprotes kekonyolan dan kenorakan teori-teori IMF,
yang kami sebut sebagai Kami memprotes
keras, protes ini disusun oleh (yaitu Oppusunggu,
Hartojo Wignjowijoto, Amin Aryoso, Dimyati Hartono, Farid
Prawiranegara, Arie Suta, Ichsanuddin Noorsy, dan saya sendiri, Sri-Edi
Swasono), setelah ditandatangani oleh sejumlah banyak anggota DPR, kami
kirimkan kepada Mr. Horst Koehler (IMF Chairman of Executive Board)
dan Mr. D. Wolfensohn (President of the World Bank) pada pertengahan
tahun 2001, dengan tembusan kepada Bank Indonesia, Menteri Keuangan,
DPR, danlain-lain.
Resep-resep IMF untuk Indonesia bukan saja berdasar teori-teori
konvensional ortodoks yang menjerumuskan, yang serba generik yang tidak
akan cocok untuk Indonesia, tetapi sangat tegas terarah kepada
kepentingan IMF sendiri. Bantuan dana IMF yang disertai pendiktean-
pendiktean bukan diarahkan kepada efektivitas
pembiayaan pembangunan, tetapi untuk perbaikan neraca pembayaran dan
pengamananrutinitas pembayaranutang luar negeri Indonesia.
...Then you change your law..., in optima forma
fallacious orthodox macro-economics.
the Eight Musketeers
local specifics
(forceful instructions)
***
***
xi
Saudara Marwan Batubara selalu konsisten dengan sikap patriotik dan
nasionalistiknya. Tahun lalu dengan keras ia menentang asingisasi, ia
melawan melalui berbagai khususnya melalui bukunya
menggambarkan ketertekuklututan kita pada tekanan asing,
menyerahkanpeluang emas anak cucu kita kepada EXXON
Sekarang para kelompok termasuk di sini Sdr. Marwan
Batubara dan kawan-kawannya, sekali lagi memberikan data dan informasi
tentang betapa jahatnya penjarahan, perampokan, serta konspirasi para
penyamun BLBI terhadap kelangsungan hidup bangsa ini dan terhadap
generasi mendatang, melalui buku ini. Konspirasi global untuk
melumpuhkan dan menguasai perekonomian Indonesia sebenarnya tidak
akan berhasil bila tidak didukung oleh konspirator-konspirator Indonesia,
oleh orang-orang kelompok baru yang dengan suka cita menjadi
komprador atau kaki tangan asing, yang atau lengah
misi, ataupunbarangkali memang benar-benar medioker.
Saya ingin Saudara Marwan dan teman-temannya perlu meniti
kemungkinan untuk melakukan operasi darurat, antara lain:
mengupayakan membekukan dana curian (BLBI) yang disembunyikan di
perbankan luar negeri. Ini tidak mudah, sikap luar negeri pun tidak memihak
Indonesia. Saya bisa pertemukan dengan para profesional kenalan
saya untuk melacak dana curian itu sebagaimana mereka telah berhasil
melacak dan menemukan dana haramPresiden Ferdinand Marcos. Bila dana
curian itu tidak dapat ditarik, maka diatur agar dapat dibekukan. Jumlah
yang sama yang dibekukan itu membuka jalan bagi negara untuk dapat
mencetak uang baru sejumlah yang sama. bunga obligasi rekap yang
harus dibayar negara seharusnya segera dihentikan saja, paling tidak segera
diturunkan nya bertahap-tahap dan menjadi nol dalam waktu singkat,
sehingga negara bebas dari bebanrekaannya sendiri.
Bila baru-baru ini kita baca besar-besaran di surat-
surat kabar seperti antara lain, Interpelasi BLBI: Awas DPR Dibeli
Konglomerat Hitam, dan Hanya Dari Satu Obligor BLBI Negara
Dirugikan Rp 100 Triliun Lebih, dan seterusnya dan seterusnya, hanyalah
lagu lama yang sejak dulu kita pekikkan dan sekarang diteriakkan ulang oleh
tokoh-tokohDPRyang bangunkesiangan.
fora, Tragedi dan Ironi
Blok Cepu,
.
Republikein,
Co
ideologically disempowered
pertama,
tracers
Kedua,
rate-
headlines front pages
xii
Saya menyambut hadirnya buku yang ditulis Saudara Marwan Batubara
dkk ini dengan gembira, moga-moga buku ini bisa memberi pencerahan
kepada banyak kalangan yang selama ini tidak menyadari adanya skenario
pelumpuhannasional terhadapIndonesia.
Saya pun menyambut baik sikap Presiden SBY yang terang-terangan
menyatakan (dua hari yang lalu) tentang adanya upaya pihak-pihak tertentu
yang menghalangi pemerintah untuk mencuci piring kotor setelah ramai
berpesta BLBI dan Presiden nampak bertekad maju terus membersihkan
yang kotor-kotor itu.
akarta, 30 November 2007
Sri-Edi Swasono
J
xiii
Marwan Batubara (Anggota DPD RI Provinsi DKI Jakarta)
Pengantar
Penulis
Ketika skandal BLBI kembali diangkat ke permukaan, mungkin
sebagian orang akan mempertanyakan mengapa catatan hitam Indonesia di
masa krisis tersebut kembali diungkit. Apa relevansinya? Apakah
bermanfaat menguak kembali berkas-berkas korupsi masa lalu untuk
kepentingan masa sekarang? Tidakkah lebih baik kasus tersebut dikubur dan
diterima saja sebagai ongkos krisis, meskipun sangat mahal harganya,
sehingga kita dapat memfokuskan diri pada agenda-agenda perbaikan
ekonomi di masa depan?
Jawabannya jelas: karena selain penyelesaiannya sarat dengan rekayasa
dan KKN, kasus BLBI juga memiliki dampak yang sangat luas pada
perekonomian bangsa saat ini dan bahkan hingga beberapa waktu ke depan.
Demikian besarnya kerusakan yang diakibatkan skandal BLBI, hingga
bebannya harus ditanggung seluruh rakyat Indonesia berupa pembayaran
utang dalam APBN setiap tahunnya yang diperkirakan baru berakhir pada
sekitar tahun 2033. Jumlah minimal utang yang harus dibayar tersebut
mencapai Rp 630 triliun (berupa BLBI sebesar Rp 144,5 triliun, tambahan
BLBI Rp 14,47 triliun, program penjaminan Rp 39,3 triliun, dan obligasi
xv
rekap Rp 431,6 triliun) . Bahkan, dalam skenario terburuk (seperti misalnya
jika pemerintah terus melakukan penjadwalan ulang terhadap utang-utang
tersebut), bebanyang harus dibayar dapat mencapai Rp2.000 triliun.
Membengkaknya jumlah utang negara itu sendiri terutama diakibatkan
oleh kebijakan pengucuran obligasi rekapitalisasi (OR) perbankan, yang tak
lain merupakan upaya lanjutan penyelamatan dan penyehatan bank-bank
nasional di saat krisis setelah kebijakan BLBI. Total dana yang dikucurkan
dalam kebijakan ini mencapai sekitar Rp 431 triliun, yang disuntikkan
pemerintah melalui penerbitan obligasi (surat utang). Karena diberikan
dalambentuk obligasi, maka jumlah dana yang harus dibayarkan pemerintah
pun menjadi jauh lebih besar, sebagai akibat tambahan bunga obligasi yang
harus dibayarkan (yang nilainya bahkan lebih besar dari nilai pokoknya, yaitu
paling tidak sekitar Rp 600 triliun, dengan cicilan sekitar Rp 40-50 triliun tiap
tahunnya).
Beban pembayaran utang yang fantastis tersebut pada akhirnya
berujung pada minimnya kemampuan APBNdalam mengongkosi berbagai
kebutuhan negara. Berbagai pos pengeluaran terpaksa harus dipangkas
untuk menyesuaikan diri dengan kondisi keuangan APBN yang pas-pasan.
Sasaran paling mudah untuk penghematan tersebut, lagi-lagi adalah rakyat.
Anggaran berbagai pos kesejahteraan sosial, seperti pendidikan, kesehatan,
subsidi listrik, dan BBM harus ditekan semaksimal mungkin agar tidak
mengganggu kemampuannegara dalammembayar utang.
Minimnya anggaran negara juga memaksa pemerintah setiap tahunnya
harus menjual sejumlah aset untuk menutup defisit anggaran. Padahal,
penjualan berbagai aset ini pun umumnya tidak menghasilkan keuntungan
maksimal, karena harga jualnya yang jauh di bawah pasar. Hal ini sendiri
memang sesuatu yang sulit dihindarkan, mengingat penjualan aset-aset
1
1
Menurut perhitungan tim interpelator BLBI, jumlah dana yang dikeluarkan
pemerintah untuk rangkaian program penyehatan perbankan adalah sebesar
minimal Rp 702,5 triliun yang terdiri dari BLBI senilai Rp 144,5 triliun, obligasi
rekap Rp 425,5 triliun, program penjaminan Rp 73,8 triliun, dana talangan Rp 4,9
triliun, dan dana rekening 502 Rp 53,8 triliun. Sedangkan, berdasarkan jawaban
Presiden atas interpelasi BLBI, total biaya penyehatan perbankan selama periode
1997-2004 adalah sebesar Rp 640,9 triliun yang terdiri dari BLBI Rp 144,5 triliun,
program penjaminan Rp 53,8 triliun, penjaminan Bank Exim Rp 20 triliun, dan
programrekapitalisasi Rp422,6 triliun.
xvi
negara tersebut umumnya dilakukan untuk mengejar target penerimaan
negara dalam waktu yang relatif singkat. Obral aset pun menjadi pilihan
yang paling mudahuntuk diambil pemerintah.
Penjualan aset-aset negara ini bahkan memiliki dampak yang lebih
buruk dalam jangka panjang. Patut diingat, bahwa aset-aset negara
merupakan penyumbang rutin bagi pemasukan negara dalam APBN.
Sehingga, dengan dijualnya aset-aset tersebut, maka negara sesungguhnya
juga kehilangan potensi penerimaannya di masa mendatang .
Sumber penerimaan negara setiap tahunnya akan berkurang. Dengan
demikian, Indonesia akan semakin terjebak dalam lilitan paceklik ekonomi,
karena himpitan beban utang yang harus dibayar di satu sisi bertemu dengan
terlucutinya sumber-sumber penerimaannegara di sisi yang lain.
Berbagai situasi sulit ini merupakan warisan segelintir orang di masa lalu
yang melakukanKKNdan secara sembronomenyimpangkan ratusantriliun
rupiah uang negara dalamskandal BLBI. Karena itu, sangat wajar jika pihak-
pi ha k y a ng t e r l i ba t da l a m s ka nda l BLBI di mi nt a ka n
pertanggungjawabannya atas kesalahan yang mereka lakukan, baik secara
perdata dengan mengembalikan uang negara yang telah mereka kuras,
maupun secara pidana dengan menjalani hukuman yang sepantasnya, sesuai
denganhukumyang berlaku.
Ironisnya, penyelesaian kasus ini tidak pernah dapat dilakukan secara
tuntas, meskipun telah melalui empat periode pemerintahan (Habibie, Gus
Dur, Megawati, dan Susilo Bambang Yudhoyono). Masing-masing
pemerintahan justru mengeluarkan kebijakan kontroversial yang
merendahkan supremasi hukum dan mencederai rasa keadilan masyarakat.
Misalnya saja, pemerintahan Habibie yang memulai pola penyelesaian kasus
BLBI melalui (penyelesaian di luar jalur pengadilan),
pemerintahan Megawati yang menerbitkan Inpres No. 8 Tahun 2002
tentang yang memberi ampunan penuh bagi obligor, dan
pemerintahan SBYyang menjanjikan pemberian
Kini, pemerintahan SBY dikabarkan tengah berupaya melakukan
penuntasan skandal BLBI dengan mengusut kembali kasus sejumlah
obligor. Dua nama yang kerap disebut adalah Soedono Salim dan Sjamsul
(future earning)
out of court settlement
release and discharge
Surat Keterangan Penyelesaian
Kewajiban (SKPK) bagi obligor yang melunasi utangnya (sehingga akan
mengesampingkan kasus pidana yang dilakukannya).
xvii
Nursalim. Kasus keduanya memang melibatkan jumlah uang yang sangat
besar, yaitu masing-masing Rp 52 triliun dan Rp 27 triliun. Keduanya diusut
terkait dugaan penggelembungan nilai aset yang mereka serahkan ke BPPN
sebagai pelunasan utang-utang mereka. Penggelembungan nilai aset ini
menyebabkan tingkat pengembalian uang negara dari penyelesaian kasus
BLBI menjadi sangat rendah.
Langkah pemerintah yang melakukan pengusutan terhadap kasus kedua
obligor besar BLBI tersebut tentu layak didukung. Meski demikian, kita
berharap penyelesaian kasus BLBI kali ini dapat dilakukan berdasarkan
hukum secara serius, tuntas, dan benar-benar berjalan adil. Kita tidak
menginginkan pemerintah kembali mengulang kesalahan pada masa-masa
sebelumnya, yaitu ketika pemerintah tidak bersikap tegas dan justru terus
menerus mengakomodasi kepentingan obligor, bahkan dengan melanggar
ketentuan hukum yang berlaku sekalipun.
Selain itu, pemerintah juga harus menyelesaikan kasus-kasus obligor
lain yang hingga kini belum jelas statusnya. Terakhir (saat tulisan ini
disusun), terdapat delapan obligor yang masih belum menyelesaikan
kewajibannya, dengan nilai total kewajiban sebesar Rp 2,54 triliun (menurut
perhitungan Depkeu, disamping sejumlah Rp 9,36 triliun yang dinyatakan
tak akan terbayar/ ). Dari kedelapan obligor tersebut, satu orang
diantaranya (Agus Anwar), bahkan buron ke Singapura dan telah berganti
kewarganegaraan. Sangat disayangkan, pada kenyataannya sikap pemerintah
terhadap delapan obligor ini tidak tegas, setidaknya hingga tulisan ini
disusun.
Dalam kaitan itu, buku ini sesungguhnya merupakan wujud dari
dan protes kami terhadap penanganan kasus BLBI selama ini
yang tidak dilakukan sebagaimana mestinya. Dengan banyaknya uang
negara yang telah terhamburkan, pemerintah tidak dengan tegas menindak
koruptor BLBI dan melakukan penegakan hukum. Para pengemplang BLBI
justru menikmati berbagai kemudahan hingga sebagian mereka kini telah
kembali bertengger sebagai orang-orang terkaya di Indonesia.
Untuk itu, melalui buku ini kami berupaya menyusun rangkaian
peristiwa di seputar skandal BLBI dan proses penyelesaiannya dalamsebuah
Terlebih, kita juga tidak ingin
penyelesaian kasus ini justru dijerumuskan dalam perangkap ketidakpastian hukum
sehingga menjadi sarana permainan para politisi untukmengerukkeuntungan pribadi.
default
ketidakpuasan
xviii
kerangka yang diharapkan cukup memadai agar peristiwa ini dapat lebih
mudahdimaknai, dandengandemikianjuga dapat secara lugas disikapi.
Atas tersusunnya buku ini, kami sampaikan ucapan terima kasih dan
penghargaan setinggi-tingginya kepada para kontributor yang telah
menyumbangkan pikirannya: Bapak Kwik Kian Gie, Dr. Frans Hendra
Winarta, S.H., M.H., Dr. Fadhil Hasan, Dr. Ahmad Erani Yustika, Dr.
Hendri Saparini, dan Ibu Aviliani. Ucapan terima kasih sebesar-besarnya
juga kami sampaikan kepada Prof. Dr. Sri-Edi Swasono yang telah berkenan
memberikan kata pengantarnya untuk buku ini. Kami beruntung, dalam
kesibukan mereka yang luar biasa, para intelektual lintas generasi ini masih
bersedia meluangkan waktunya untuk berpartisipasi dalam penyusunan
buku ini.
Tak lupa, juga kami ucapkan terima kasih kepada Bapak Faisal Ba'asyir
atas diskusi dan masukan yang diberikan serta Badan Pemeriksa Keuangan
RI (BPK RI) yang telah menyediakan data-data yang sangat kami perlukan
untuk penulisan buku ini. Ucapan yang sama kami tujukan kepada Saudara
Djoko Retnadi atas kesediaannya memberi penjelasan seputar kebijakan
obligasi rekapitalisasi dalambeberapa kesempatan.
Kami juga menyampaikan penghargaan setinggi-tingginya kepada
sejumlah sahabat yang telah konsisten melakukan advokasi skandal BLBI,
seperti antara lain Adnan Topan Husodo dari Indonesia Corruption Watch
(ICW), Patra M. Zen (YLBHI), Munarman (Tim Pembela Muslim/ TPM),
Chandra T. Wijaya dan Bagus Satrianto (Iluni UI Jakarta) dan Ismed Hasan
Putro(Masyarakat Profesional Madani/ MPM).
Harapan kami, buku ini dapat bermanfaat dalammemberi pemahaman
kepada masyarakat luas tentang duduk persoalan BLBI dan implikasi-
implikasi yang diakibatkannya. Termasuk pula bagi rekan-rekan di DPD RI,
khususnya di PAH IV (bidang APBN dan tindak lanjut hasil audit BPK)
tempat dimana kami bertugas. Meskipun, tentu saja terdapat banyak
kekurangan dalam buku ini, mengingat pengetahuan kami yang terbatas,
disamping kompleksnya permasalahanBLBI itu sendiri.
Akhirnya, melalui buku ini, kami berharap dapat menggugah kesadaran
berbagai pihak atas masih terus berlangsungnya ketidakadilan demi
ketidakadilan dalam penyelesaian kasus BLBI, sehingga kita bertanggung
jawab untuk melakukan segala upaya sesuai dengan kemampuan, untuk
xix
meluruskan berbagai kesalahan tersebut. Pemerintah dan DPR pun
bertanggung jawab untuk mengoreksi berbagai keputusan yang salah terkait
kasus ini. Termasuk diantaranya adalah meluruskan kebijakan obligasi rekap
(OR), dengan menghentikan pembayaran bunganya yang selama ini telah
menjadi bebanAPBNsetiaptahun.
Kepada masyarakat, kami menghimbau partisipasi Anda dalam
berbagai gerakan dan aksi untuk mendesak dituntaskannya penyelesaian
kasus BLBI.
Jakarta, 2 Januari 2008
Marwan Batubara
Kepada pemerintah dan para penyelenggara negara, kami menuntut
Anda untuk segera menuntaskan penyelesaian kasus BLBI yang sudah berlangsung
selama satu dekade ini secara konsisten, menjunjung tinggi supremasi hukum, dan
berkeadilan.
xx
Daftar Isi
Kata Pengantar
Pengantar Penulis
Daftar Isi
BAB 1
Definisi dan Pengertian BLBI
BAB 2
Latar Belakang dan Kronologi Skandal BLBI
BAB 3
Korupsi dan Penyelewengan BLBI
......................................................................................x
Sri-Edi Swasono...............................................................................................vii
...............................................................................................1
............................................................................................13
............................................................................................25
v
.......................................................................................................xxi
Marwan Batubara
Marwan Batubara
Marwan Batubara
xxi
BAB 4
Inkonsistensi Penegakan Hukum dalam Kasus BLBI
BAB 5
Mekanisme PKPS: Menyelesaikan Kasus Korupsi dengan
Mengabaikan Hukum
BAB 6
Inpres No. 8/2002: Jalan Menuju Ketidakadilan dan Pemiskinan
BAB 7
Obligasi Rekapitalisasi: Cara Sistematis Menghisap
Uang Rakyat
BAB 8
Siapa yang Harus Bertanggung Jawab?
BAB 9
Kejahatan Obligor Menjarah BLBI
BAB 10
Peran BI dan BPPN dalam Skandal BLBI
BAB 11
Peran IMF dalam Kasus BLBI
BAB 12
BLBI: Pemiskinan dan Pembunuhan Generasi
Marwan Batubara
Marwan Batubara
Marwan Batubara
Marwan Batubara
Marwan Batubara
Marwan Batubara
Marwan Batubara
Marwan Batubara
Marwan Batubara
............................................................................................49
............................................................................................61
............................................................................................99
..........................................................................................119
..........................................................................................157
..........................................................................................175
..........................................................................................223
..........................................................................................243
......................................................................................... 261
xxii
BAB 13
Ikhtisar tentang Penghancuran Keuangan Negara
BAB 14
MSAA dan Drama Penerbitan R & D
BAB 15
Kilas Balik Krisis Moneter, Penyimpangan BLBI, dan
Kejanggalan MSAA
BAB 16
Tinjauan Kelembagaan Kasus BLBI
BAB 17
Penyelesaian BLBI: Menebus Ketidakadilan dan Membayar
Kerugian
BAB 18
Mengupayakan Penyelesaian BLBI dan Obligasi Rekap Bank
dengan Pemerintah
Penutup
Rakyat Menggugat Skandal BLBI
Referensi
Tentang Penulis
Political Will
Kwik Kian Gie
Kwik Kian Gie
Frans Hendra Winarta...................................................................................
Ahmad Erani Yustika dan M. Fadhil Hasan
Hendri Saparini
Aviliani
Marwan Batubara
....................................................................................................375
........................................................................................385
................................................................................................299
................................................................................................303
307
...................................................313
..............................................................................................331
...........................................................................................................343
..........................................................................................351
xxiii
Bab 1
DEFINISI DAN
PENGERTIAN BLBI
Marwan Batubara
Setelah lebih dari satu dekade berlalu dan melewati empat era
pemerintahan, kasus korupsi BLBI hingga kini tidak kunjung terselesaikan
secara tuntas. Padahal, kasus yang melibatkan persekongkolan jahat antara
pengusaha, banyak pihak penyelenggara pemerintahan, dan IMF ini, telah
merugikan negara setidaknya Rp 138,4 triliun (jumlah penyimpangan dalam
penyaluran BLBI menurut audit BPK). Angka ini belum lagi
memperhitungkan kerugian dari kebijakan pengucuran obligasi
rekapitalisasi perbankan yang memakan biaya sekitar Rp 431 triliun
(ditambah dengan bunga obligasi rekap sekitar Rp 600 triliun yang angkanya
masih terus bertambah seiring dengan penundaan pembayaran utang yang
dilakukan pemerintah). Akibat penyimpangan dan korupsi pada berbagai
rangkaian kebijakan tersebut, negara dan rakyat harus menanggung beban
cicilan pembayaran utang dalamAPBN, yang bunganya saja dapat mencapai
Rp50 triliunper tahun.
Namun, sebelummemasuki pembahasan lebih lanjut, kita perlu terlebih
dahulu membahas beberapa pengertian dasar tentang apa yang disebut
Definisi dan Pengertian BLBI 1 /
sebagai BLBI, agar dapat memahami letak permasalahan kasus ini dengan
lebihbaik.
Mantan Gubernur Bank Indonesia Prof. Dr. Soedradjad Djiwandono
pada sebuah tulisannya mendefinisikan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia
(BLBI) sebagai fasilitas yang diberikan BI untuk menjaga kestabilan sistem
pembayaran dan sektor perbankan agar tidak terganggu karena
ketidakseimbangan antara penerimaan dan penarikan dana pada
bank-bank baik jangka pendek maupun panjang (Soedradjad Djiwandono,
, www.pacific.net.id).
Berdasarkan definisi tersebut, dapat dipahami dua hal pokok sebagai
berikut. Pertama, BLBI merupakan sebuah fasilitas khusus yang diberikan
BI kepada pihak perbankan. Kedua, pemberian BLBI dimaksudkan untuk
menanggulangi masalah yang dihadapi perbankan akibat adanya
ketidakseimbangan antara dana yang diterima dengan kewajiban
pembayaranyang harus dikeluarkannya.
Menurut Soedradjad, bantuan likuiditas dari BI kepada pihak
perbankan sebenarnya sudah berlangsung sejak lama. Namun, istilah BLBI
baru dipergunakan secara khusus sejak 1998 untuk merujuk pada bantuan
likuiditas yang diberikan BI kepada pihak perbankan di saat terjadinya krisis
moneter dan krisis ekonomi di Indonesia. Istilah BLBI sendiri diambil dari
istilah , yang dipergunakan dalam (LoI) antara
IMF dengan pemerintah Indonesia dan dinyatakan sebagai bagian dari
programpemulihanekonomi.
Soedradjad juga menyatakan, BLBI dibedakan dengan fasilitas BI
lainnya seperti KLBI (Kredit Likuiditas Bank Indonesia) berdasarkan aspek
tujuan pengucurannya. Jika BLBI ditujukan untuk mengatasi kondisi
likuiditas perbankan dalam situasi krisis, maka KLBI ditujukan untuk
membantu perbankan dalam menyukseskan program-program
pembangunan ekonomi yang dicanangkan pemerintah seperti
pembangunan rumah sederhana, peningkatan hasil pertanian, mendorong
pertumbuhanUKM, dansebagainya.
Definisi BLBI
(mismatch)
Permasalahan BLBI
liquidity supports letter of intent
2 Definisi dan Pengertian BLBI /
Terdapat lima jenis fasilitas perbankan yang digolongkan sebagai BLBI,
yaitu antara lain:
1. Fasilitas dalam rangka mempertahankan kestabilan sistem pembayaran
yang bisa terganggu karena adanya mismatch atau kesenjangan antara
penerimaandanpenarikandana perbankan.
2. Fasilitas dalam rangka operasi pasar terbuka sejalan dengan program
moneter (Surat Berharga Pasar Uang/SBPU) lelang danbilateral
3. Fasilitas dalam rangka penyehatan bank atau kredit likuiditas darurat
dankredit subordinasi
4. Fasilitas untuk mempertahankan kestabilan sistem perbankan dan
sistem pembayaran sehubungan dengan terjadinya rush dalam bentuk
penarikan cadangan wajib (Giro Wajib Minimum/GWM) atau adanya
saldonegatif (saldodebet atau overdraft) bank di BI.
5. Fasilitas untuk mempertahankan kepercayaan masyarakat pada
perbankan dalambentuk dana talangan untuk membayar kewajiban luar
negeri bank danuntuk pelaksanaansistempenjaminan.
Berdasarkan uraian-uraian tersebut, secara sederhana dapat dinyatakan,
BLBI adalah bantuan pinjaman dana yang diberikan BI kepada sejumlah
bank yang mengalami krisis likuiditas atau krisis persediaan uang saat
terjadinya krisis moneter pada tahun 1997. Bantuan dana itu terutama
disalurkan melalui mekanisme yang disebut dengan kliring, yaitu penalangan
yang dilakukan BI terhadap pembayaran kewajiban-kewajiban bank yang
tidak mampu melunasi kewajibannya. Dengan demikian, melalui
pengucuran BLBI, bank-bank dibantu untuk dapat memenuhi kewajiban-
kewajibanpembayarannya kepada pihak ketiga, khususnya nasabah.
Seperti diketahui, pada saat krisis moneter, terjadi aksi atau
penarikan uang besar-besaran oleh masyarakat yang membuat persediaan
likuiditas bank terkuras. Kondisi tersebut membuat bank kesulitan dalam
membayar dana nasabah-nasabahnya, sehingga membutuhkan bantuan dari
BI. Jadi, pengucuran BLBI terutama ditujukan untuk menjamin pembayaran
dana nasabah oleh bank yang bersangkutan. Dengan penjaminan tersebut,
diharapkanmasyarakat dapat pulihkepercayaannya kepada perbankan.
Pengucuran BLBI juga merupakan implementasi dari salah satu langkah
ketahanan ekonomi nasional yang diputuskan dalam Rapat Kabinet pada
rush
3
Definisi dan Pengertian BLBI 3 /
September 1997 . di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto Langkah
ketahananekonomi nasional yang dimaksudadalahkeputusanbahwa:
Bank-bank nasional yang sehat namun mengalami kesulitan
likuiditas untuk sementara akandibantu.
Bank-bank yang secara nyata tidak sehat diupayakan
penggabungan atau akuisisi dengan bank-bank lain yang sehat. Jika
upaya itu tidak berhasil, akan dilikuidasi sesuai dengan peraturan
perundangan yang berlaku dengan mengamankan semaksimal
mungkinkepentinganpara deposan, terutama deposankecil.
Seperti telah disinggung sebelumnya, dana BLBI dikucurkan kepada
pihak perbankan dalam sebuah mekanisme yang disebut kliring. Kliring
adalah proses yang menunjukkan posisi tagihan dan kewajiban yang dimiliki
setiap bank kepada bank lainnya. Proses kliring umumnya dilakukan setiap
hari di lembaga penyelenggara kliring, yaitu BI atau bank lain yang ditunjuk
BI. Melalui kliring, bank-bank ditetapkan posisi hak dan kewajibannya
(menerima pembayaran dan sebaliknya melakukan pembayaran) pada
periode tersebut.
Ketika terjadi krisis, karena mengalami penarikan dana besar-besaran
oleh nasabah, posisi pembayaran sejumlah bank yang mengikuti proses
kliring menunjukkan kedudukan negatif. Artinya, jumlah kewajiban yang
harus dibayarkan lebih besar daripada jumlah pembayaran yang diterima.
Dinyatakan, bank tersebut mengalami kalahkliring.
Dalam kegiatan kliring yang dilaksanakan BI, suatu bank tidak dapat
menolak penarikan dana nasabah dan kreditur lainnya, meskipun dana yang
ada pada rekening giro bank tersebut tidak mencukupi lagi. Karena itu, jika
hasil penghitungan kliring (disebut sebagai ) suatu bank menunjukkan
mereka telah kalah kliring, maka mereka harus mencari sumber pendanaan
untuk menutupi kekurangantersebut.
Pada awalnya, sumber pendanaan diperoleh dari dana simpanan bank
itu sendiri atau pinjaman yang diperoleh dari bank lain (yang biasanya
memberlakukan bunga sangat tinggi). Ketika kedua sumber pinjaman ini

Bentuk-bentuk Fasilitas BLBI


netting
4 Definisi dan Pengertian BLBI /
tidak mencukupi, maka kekurangan pembayaran akan diambil dari rekening
giromereka di BI.
Jika penarikan rekening giro di BI terus berlanjut, maka bank tersebut
akan sampai pada tahap penyusutan Giro Wajib Minimum (GWM) mereka
di BI, yaitu jumlah dana simpanan wajib mereka di BI. Saat krisis, rekening
giro sejumlah bank terus ditarik hingga GWM yang mereka miliki pun telah
berada pada posisi negatif . Di saat itulah, pemberian fasilitas
berupa BLBI diberikan BI. Dengan demikian, bentuk-bentuk fasilitas BLBI
dapat diuraikansebagai berikut:
Seperti telah dinyatakan di atas, bank yang mengalami kalah kliring pada
akhirnya dapat menyebabkan rekening giro mereka di BI berada pada posisi
negatif. Hal ini dinamakan sebagai saldo debet atau . Sesuai dengan
ketentuan, jika suatu bank telah mengalami saldo debet, maka bank tersebut
sudah tidak bisa lagi mengikuti proses kliring kecuali ia menutup
kekurangannya sebelum kliring hari berikutnya dimulai. Jika tidak, bank
tersebut dinyatakan diskors (dihentikan sementara) keikutsertaannya
sebagai peserta kliring.
Namun, ketika krisis, pada kenyataannya Direksi BI tidak memberi
sanksi skors terhadap sejumlah bank yang mengalami saldo debet dengan
berbagai pertimbangan. Sejumlah bank tersebut diizinkan untuk
melanjutkan proses kliring hingga beberapa waktu berikutnya, sementara
kewajiban-kewajibannya dibayarkan oleh BI dengan menggunakan dana
talangan. Fasilitas inilah yang dinamakan sebagai fasilitas saldo debet dan
merupakansalahsatu bentuk fasilitas BLBI yang diberikanBI.
Pada intinya, fasilitas diskonto (fasdis) merupakan pembelian surat
berharga berupa promes (promes dan aset bank untuk Fasdis II) oleh BI dari
bank-bank yang mengalami saldo debet. Hal ini dilakukan untuk
mengkonversi (menukar) saldo debet bank di BI ke dalambentuk yang lebih
memberikan jaminan dan ikatan hukum. Sesuai dengan ketentuan BI,
jumlahmaksimumfasdis yang diberikankepada bank adalahsebesar 3%-5%
dari dana pihak ketiga (DPK) yang berhasil dikumpulkan bank tersebut.
Namun, dalam perkembangannya, penetapan jumlah maksimum fasdis
(overdraft)
overdraft
1. SaldoDebet
2. Fasilitas Diskonto I &II (Fasdis I &II)
Definisi dan Pengertian BLBI 5 /
akhirnya diserahkan kepada Direksi BI, yang nilainya sebesar saldo debet
bank yang bersangkutan di BI, meskipun nilainya jauh di atas standar yang
ditetapkan.
Meskipun pemberian fasdis bertujuan untuk menghilangkan saldo
debet, pada akhirnya tagihan BI kembali dibebankan ke dalamrekening giro
bank di BI (bank tetap bersaldo debet), karena hingga jangka waktu yang
ditentukan bank tidak juga mampu melunasi fasdis yang diperolehnya.
Ironisnya, jaminan yang telah diambil BI ternyata juga dikembalikan kepada
pemilik bank.
Tidak jauh berbeda dengan fasdis, fasilitas ini juga bertujuan untuk
menghapus saldo debet bank-bank di BI. FSBPUK adalah pembelian
promes nasabah bank-bank yang bersaldo debet oleh BI, dengan perjanjian
bank tersebut wajib membeli membeli kembali promes nasabah itu dalam
jangka waktu yang ditentukan atau saat jatuh tempo. Pembelian promes
nasabah harus disertai dengan jaminan tambahan senilai 50%dari FSBPUK
yang diberikan.
Dalam praktiknya, fasilitas ini juga mengalami banyak penyimpangan.
Antara lain, BI ternyata tidak memberi sanksi pembatalan FSBPUK atas
bank-bank yang tidak menyerahkan promes nasabah dan jaminan
tambahan. BI justru menyetujui penggantian promes nasabah cukup
dengan atau tanpa didahului dengan
penilaianyang layak.
New fasdis merupakan pengulangan dari pemberian fasdis-fasdis
sebelumnya, sehingga tidak memiliki banyak perbedaan secara substansi,
yaitu pembelian promes bank oleh BI beserta jaminan-jaminannya.
Bedanya, new fasdis memiliki jangka waktu pengembalian yang lebih
panjang.
FSD sebenarnya adalah pengikatan hukum atas pemberian fasilitas
saldo debet yang telah dilakukan sebelumnya. FSD mengikat saldo debet
bank-bank dengan Akta Pengakuan Hutang (APH) dan Akta Pengakuan
Hutang dengan Jaminan (APHJ). FSD diberikan untuk mengkonversi saldo
3. Fasilitas Surat Berharga Pasar Uang Khusus (FSBPUK)
4. NewFasilitas Diskonto (NewFasdis)
5. Fasilitas Saldo Debet (FSD)
personal guarantee corporate guarantee
6 Definisi dan Pengertian BLBI /
debet bank-bank di BI dalam kurun waktu 31 Desember 1997 s.d. 31 Juli
1998.
Penyimpangan yang terjadi dalam pemberian fasilitas ini antara lain
adalah tidak diberikannya sanksi yang tegas terhadap bank-bank yang tidak
menyerahkan jaminan aset untuk memperoleh fasilitas ini. Selain itu,
sebagian besar bank juga ternyata menggunakan aset yang pernah
dijaminkan untuk fasilitas BLBI lainnya sebagai jaminan untuk memperoleh
fasilitas ini.
Sampai hak tagih BLBI dialihkan ke pemerintah, sebagian besar FSD
belumdilunasi perbankan.
Fasilitas ini terdiri dari dua jenis, yaitu Dana Talangan Rupiah (DTR)
danDana TalanganValas (DTV).
DTR diberikan BI kepada 16 bank yang dilikuidasi pemerintah (Bank
Dalam Likuidasi/BDL) sebagai bentuk penalangan atas dana nasabah yang
disimpan di bank tersebut. Jangka waktu pengembalian DTR ditetapkan
selama 1 tahun, bunganya senilai 0%, dan pengembalian kredit diambil dari
penjualan aset-aset BDL. Fasilitas ini pun tak lepas dari penyimpangan.
Antara lain, jumlah dana talangan yang disalurkan BI ternyata melebihi
kebutuhan sebenarnya (karena daftar nominatif atau daftar kebutuhan dana
talangan yang dibuat tidak akurat), dan hanya sebagian kecil DTR yang
dilunasi hingga waktu pengembalianyang ditetapkanjatuhtempo.
Sementara itu, DTV diberikan sebagai pelaksanaan
pada tanggal 4 Juni 1998, yaitu kesepakatan pemerintah dengan komite
perbankan internasional untuk menalangi utang-utang pihak swasta dalam
negeri (termasuk bank-bank dalam negeri) kepada pihak perbankan luar
negeri.
Seperti juga DTR, DTV sarat dengan sejumlah penyimpangan, antara
lain BI menalangi semua kewajiban luar negeri yang dilaporkan bank
termasuk kewajiban yang tidak layak ditalangi, tidak adanya prosedur
verifikasi dan konfirmasi yang memadai sebelum pembayaran DTV
dilaksanakan, tidak dilakukannya pengikatan hukum atas sebagian
pembayaran DTV, dan tidak dipersiapkannya prosedur pengendalian yang
6. Fasilitas Dana Talangan
Frankfurt Agreement
Definisi dan Pengertian BLBI 7 /
layak atas penggunaan DTV oleh bank dalam negeri (debitur) dan
pengembalianDTV( ) olehbank luar negeri (kreditur).
Meskipun kasus BLBI secara khusus lebih sering dirujuk pada jumlah
dana BLBI yang dialihkan hak tagihnya dari BI kepada pemerintah (melalui
Badan Penyehatan Perbankan Nasional/BPPN) pada tanggal 29 Januari
1999 sejumlah Rp 144,5 triliun, kasus BLBI sesungguhnya melibatkan angka
yang lebihbesar danberlangsung dalambeberapa tahap.
Tahap pertama, adalah pengucuran dana kepada 54 bank nasional yang
dilakukan pada kurun waktu krisis (yaitu sekitar bulan September 1997
setelah Rapat Kabinet yang dipimpin oleh Soeharto memutuskan untuk
memberi dana bantuan BLBI kepada pihak perbankan) hingga 29 Januari
1999 (posisi terakhir saat hak tagih BLBI dialihkan BI kepada BPPN).
Meskipun, jika dirunut lebih jauh, pengucuran BLBI tahap pertama ini
sebenarnya telah dilakukan sejak sekitar tahun 1996 saat BI mulai memberi
dispensasi bagi bank-bank yang telah bersaldo debet untuk terus mengikuti
kliring. Beberapa bank yang menerima dispensasi itu antara lain Bank Artha
Prima, Bank Harapan Sentosa, Bank Pacific, dan Bank Asta (Sukowaluyo
Mintorahardjo, ,
Jakarta: RESI, 2001). Nilai uang yang dikucurkan pada tahap awal ini
sejumlahRp144,536 triliun.
Awalnya, jumlah dana BLBI yang dikucurkan pada tahap satu ini
diperhitungkan sejumlah Rp 164,54 triliun. Namun, saat terjadi pengalihan
hak tagih BLBI dari BI kepada pemerintah melalui BPPN pada 29 Januari
1999, dinyatakan sejumlah Rp 20 triliun diperhitungkan menjadi penyertaan
modal pemerintah pada PT Bank Ekspor Impor Indonesia (Persero),
sehingga jumlah yang dialihkan menjadi sebesar Rp 144,5 triliun. Jumlah Rp
144,5 triliun itu terdiri atas surat utang pemerintah kepada BI pada 25
September 1998 sebesar Rp 80 triliun dan surat utang pemerintah pada 8
Februari 1999 senilai Rp64,536 triliun.
Penerima kucuran dana BLBI tahap satu ini antara lain Syamsul
Nursalim (BDNI) Rp 37,04 triliun, Soedono Salim atau Liem Sioe Liong
(BCA) Rp 26,596 triliun, Usman Admajaya (Bank Danamon) Rp 23,050
refund
BLBI Simalakama: Pertaruhan Kekuasaan Presiden Soeharto
Beberapa Tahap Pengucuran BLBI dan Jumlahnya
8 Definisi dan Pengertian BLBI /
triliun, Bob Hasan (BUN) Rp 12,068 triliun, dan Hendra Rahardja (BHS) Rp
3,866 triliun.
Tahap kedua, terjadi pada kurun waktu Februari 1999 hingga Mei 1999.
Hal ini terjadi karena BI ternyata masih mengucurkan dana BLBI kepada
pihak perbankan setelah pengalihan hak tagih BLBI dari BI ke BPPN.
Penyaluran BLBI diberikan dalam bentuk fasilitas saldo debet kepada
sejumlah bank, baik yang berstatus BDP(Bank DalamPenyehatan) maupun
berstatus non BDP. BI beralasan, penyaluran BLBI itu dilakukan karena
program penyelamatan bank-bank saat itu belum selesai dilaksanakan.
Sementara itu, pemerintah sendiri belum dapat menyediakan dana. Karena
itulah, kebijakan penyaluran tambahan BLBI akhirnya dilakukan oleh BI.
Jumlah tambahan BLBI ini adalah sebesar Rp 14,447 triliun (sesuai dengan
perhitungan penyaluran BLBI pada tanggal 29 Januari 1999 hingga 14 Mei
1999).
Tahap selanjutnya dalam pengucuran BLBI adalah melalui program
penjaminan perbankan yang disebut dengan Program
penjaminan perbankan dilaksanakan berdasarkan Keppres No. 26 Tahun
1998 tentang Jaminan terhadap Kewajiban Pembayaran Bank Umum.
Program ini terutama dimaksudkan untuk memulihkan kepercayaan publik
terhadap perbankan yang saat itu sedang terpuruk, yang ditandai dengan
derasnya pada sejumlah bank. Melalui program ini, pemerintah
menjamin pembayaran dana nasabah yang terdapat pada sejumlah bank,
berapapunjumlahnya.
Dalam rangka menyediakan dana untuk program penjaminan tersebut,
pada tanggal 28 Mei 1999, pemerintah menerbitkan Surat Utang Pemerintah
(SUP) bernomor SU-004/MK/1999 sebesar Rp 53,779 triliun (seperti
terlihat, dana untuk program penjaminan perbankan baru dapat disediakan
pemerintah lebih dari setahun setelah kebijakan itu dikeluarkan). Dari
jumlah itu, kemudian ditetapkan bahwa dana yang digunakan untuk
program penjaminan adalah sebesar Rp 39,322 triliun, sedangkan sisanya
sebesar Rp 14,447 triliun digunakan untuk mengambil alih hak tagih
tambahan BLBI dari BI (sempat terjadi kontroversi karena pemerintah pada
awalnya tidak bersedia menerima pengalihan hak tagih tambahan BLBI
tersebut dari BI). Sehingga, jumlah BLBI yang dikucurkan untuk tahap
penjaminanperbankanini adalahRp39,322 triliun.
blanket guarantee.
rush
Definisi dan Pengertian BLBI 9 /
Setelah tiga tahap penyaluran BLBI tersebut, suntikan dana ke pihak
perbankan
Walaupun dinyatakan terpisah dengan kasus BLBI, namun pada hakikatnya
program ini merupakan kelanjutan dari pengucuran BLBI, sebagai bagian
tak terpisahkan dari rangkaian kebijakan penyelamatan perbankan di saat
krisis. Bank-bank yang mengikuti program ini pun, sebagian besarnya
merupakanbank-bank yang sebelumnya telahmenerima dana BLBI.
Dalam hal jumlah uang negara yang dikeluarkan, program rekapitalisasi
perbankan bahkan menghabiskan uang yang jauh lebih besar. Untuk
program ini, pemerintah menyuntikkan dana berupa obligasi atau surat
utang (dikenal dengan ) sekitar Rp 431,6 triliun
kepada pihak perbankan. Penerbitan obligasi dilakukan karena pemerintah
tidak memiliki dana tunai untuk menyetorkan modal dalam bentuk uang
kepada bank-bank rekap. Namun akibatnya, pemerintah harus menyisihkan
dana setiap tahunnya dari APBN untuk membayar pokok dan bunga
obligasi rekapkepada perbankan.
Ditambah dengan bunga yang harus dibayarkan, jumlah total uang yang
harus dikeluarkan pemerintah dalam program ini paling sedikit mencapai
nilai Rp 1.031 triliun. Jumlah ini akan kian membengkak jika pemerintah
melakukan pengunduran jadwal atas pembayaran pokok maupun bunga
obligasi tersebut. Dalam skenario yang paling buruk, nilai total obligasi
rekapyang harus dibayarkanpemerintahmencapai Rp2.000 triliun.
Pengucuran obligasi rekap sendiri merupakan implementasi dari
rekomendasi IMF untuk meningkatkan rasio pemodalan bank-bank
nasional (dikenal dengan istilah /CAR) hingga di atas
angka 8% pada tahun 2001. Peningkatan modal itu dinyatakan diperlukan
untuk menstabilkan kondisi perbankan nasional. Dengan modal yang
cukup, bank dapat menjamin kemampuannya dalam membayar kewajiban-
kewajibannya, sehingga kepercayaan masyarakat terhadap perbankan
kembali pulih.
Pada kenyataannya, pengucuran obligasi rekap memang berdampak
pada peningkatan kinerja beberapa bank penerimanya. Hal ini terutama
karena bank-bank tersebut memperoleh pendapatan rutin dari pembayaran
bunga obligasi rekap yang diberikan pemerintah. Namun, yang perlu dicatat,
laba yang diperoleh pihak perbankan itu harus dibayar mahal oleh seluruh
dilanjutkan melalui program rekapitalisasi perbankan.
obligasi rekapitalisasi/OR
capital adequacy ratio
10 Definisi dan Pengertian BLBI /
rakyat Indonesia melalui beban pembayaran obligasi rekap tiap tahunnya
dalamAPBN.
Ada 3 kategori utama bank-bank peserta Program Rekapitalisasi
Perbankan untuk menerima obligasi rekap, berdasarkan jenis serta
kepemilikanbank tersebut, yaitu:
Bank Umum, diantaranya PT. Bank Lippo Tbk., PT. Bank Internasional
Indonesia Tbk., PT. Bank Bali Tbk., PT. Bank Umum Koperasi Indonesia,
PT. Bank Universal Tbk., PT. Bank Prima Express, PT. Bank Arta Media,
PT. Bank Patriot, PT. Bank Central Asia, PT. Bank Danamon Indonesia
Tbk., PT. Bank Tiara Asia Tbk., PT. Bank PDFCI Tbk. and PT. Bank Niaga
Tbk.;
Bank BUMN, diantaranya PT. Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk.,
PT. Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk., PT. Bank Tabungan Negara
(Persero) Tbk., and PT. Bank Mandiri.;
Bank Pembangunan Daerah, di antaranya BPDDaerah Istimewa Aceh,
BPD Sumatera Utara, BPD Bengkulu, BPD Lampung, BPD Daerah
Khusus Ibukota Jakarta, BPD Jawa Tengah, BPD Jawa Timur, BPD
Kalimantan Barat, BPDSulawesi Utara, BPDMaluku, BPDNusa Tenggara
Barat and BPDNusa Tenggara Timur.
Persoalan lebih serius muncul ketika bank-bank yang telah menerima
kucuran obligasi rekap dari pemerintah tersebut kemudian satu demi satu
dijual dengan harga yang jauh di bawah nilai asetnya. Hal ini terjadi karena
pada saat dilaksanakan divestasi atau penjualan atas bank-bank rekap, bank
yang bersangkutan masih memiliki obligasi rekap dalam
investasinya, yang nilainya berlipat-lipat lebih besar dibanding harga
penjualannya. Contoh paling fenomenal dalam hal ini adalah kasus
penjualan 51% saham BCA yang memiliki tagihan obligasi rekap senilai Rp
60,9 triliundenganharga hanya Rp5,3 triliunsaja.
portofolio
Definisi dan Pengertian BLBI 11 /
Bab 2
LATAR BELAKANG
DAN KRONOLOGI
SKANDAL BLBI
Marwan Batubara
Latar Belakang: Krisis Ekonomi 1997
Kebijakan pengucuran BLBI oleh pemerintah tak dapat dilepaskan dari
kondisi krisis ekonomi yang secara cepat menjalar ke berbagai sektor
perekonomiandi Indonesia saat itu, khususnya sektor perbankan.
Krisis bermula dari krisis ekonomi yang secara umum terjadi pada
negara-negara Asia di tahun 1997. Diawali dengan terpukulnya nilai rupiah
terhadap dolar, menyusul jatuhnya nilai Baht di Thailand. Baht yang selama
10 tahun terakhir diperdagangkan dengan nilai 25 per dolar, dalam waktu
semalam saja mendadak merosot nilainya hingga 25%. Hal ini memicu aksi
spekulan mata uang untuk menyebar dan menghantam Malaysia, Korea,
Filipina, danIndonesia.
Begitu besarnya kontribusi aksi spekulan terhadap krisis, sehingga
dinyatakan krisis ekonomi yang terjadi pada tahun 1997 di sejumlah wilayah
Latar Belakang dan Kronologi Skandal BLBI 13 /
Asia berakar pada terdepresiasinya nilai mata uang lokal (rupiah untuk kasus
Indonesia) terhadapdolar sebagai akibat dari permainanpara spekulan.
Selain aksi spekulan, penyebaran krisis juga terjadi sebagai akibat dari
. Yaitu dampak keterkaitan perdagangan antar negara,
dimana devaluasi di suatu negara (dalam hal ini Thailand) akan berimbas
pada dagangnya (negara-negara Asia lainnya, termasuk Indonesia).
Imbas tersebut akan kian kuat jika kedua negara memiliki fondasi ekonomi
yang sama-sama rapuh, seperti halnya Indonesia danThailand.
Ironisnya, meskipun bermula di Thailand, pada akhirnya Indonesia
merupakan negara yang paling parah mengalami dampak krisis. Tercatat,
pasar modal jatuh lebih dari 80% dan nilai tukar rupiah merosot 75%
terhadapdolar.
Mengatasi hal itu, Bank Indonesia lalu melakukan sejumlah upaya untuk
meredam gejolak rupiah. Diantara langkah-langkah yang dilakukan BI saat
itu adalah meningkatkan intervensi terhadap nilai tukar rupiah, menaikkan
suku bunga, dan menghentikan sementara transaksi surat berharga pasar
uang (SBPU). Melalui berbagai langkah itu, BI berupaya mengetatkan
likuiditas (membatasi jumlah uang beredar), sehingga nilai rupiah dapat
distabilkan.
Namun, sejumlah kebijakan moneter pemerintah tersebut justru
mengakibatkan krisis semakin menjadi. Pelebaran rentang intervensi
terhadap nilai tukar rupiah, misalnya, ternyata sama sekali tidak berhasil
menstabilkan nilai tukar rupiah. Padahal, kebijakan tersebut menguras habis
cadangan devisa dalam waktu singkat. Dalam waktu tiga hari saja selama
intervensi dilakukan (11 Juli14 Juli 1997), negara harus menggelontorkan
dana US$ 500 juta untuk membantu posisi nilai tukar rupiah dengan
membanjiri pasar uang dengandolar.
Akhirnya, ketika rupiah terus tertekan, BI pun menyerah dan
memutuskan untuk mengambil kebijakan kurs mengambang
(menghentikan intervensi terhadap nilai tukar rupiah). Hal ini membuat
kepercayaan investor jatuh, dan menarik modalnya dari pasar modal dan
pasar mata uang.
Sementara itu, kebijakan pemerintah menaikkan tingkat suku bunga BI,
diikuti dengan melonjaknya suku bunga antar bank secara drastis dari
spillover (trade linkages)
partner
14 Latar Belakang dan Kronologi Skandal BLBI /
semula berada pada kisaran 16%-17% menjadi 100%. Suku bunga antar
bank bahkan sempat mencapai angka 300% pada 22 Agustus 1997. Hal ini
membuat bank mengalami kelangkaan likuiditas (persediaan uang) yang
kemudiansemakinmembuat kondisi perbankanpada kondisi kritis.
Kesulitan likuiditas yang dialami perbankan memaksa bank untuk
menghimpun dana masyarakat melalui peningkatan suku bunga deposito.
Tetapi, kenaikan suku bunga deposito ini juga menyebabkan naiknya suku
bunga pinjaman. Akibatnya, kredit bermasalah atau pun
bertambah karena sejumlah kreditor tidak sanggup membayar utang-
utangnya.
Kesulitan likuiditas juga membuat banyak bank melanggar ketentuan
Giro Wajib Minimum (GWM) di Bank Indonesia. GWM merupakan dana
cadangan yang wajib disetorkan setiap bank ke BI agar dapat mengikuti
kliring, yang jumlah minimumnya ditetapkan sebesar 5% (hal ini meningkat
dari sebelumnya 3%).
Kelangkaan likuiditas mengakibatkan banyak bank mengalami kalah
kliring atau saldo rekening gironya di BI berada dalam posisi debet/minus.
Berita mengenai kalah kliring sejumlah bank ini, ditambah dengan rumor-
rumor lain seperti bank yang rugi dalamtransaksi valas dan larinya beberapa
bankir ke luar negeri, memicu keresahan masyarakat atas kondisi perbankan
dan akhirnya mengakibatkan terjadinya (penarikan uang dari bank
secara serentak). Apalagi, kemudian pemerintah melakukan likuidasi atas 16
bank nasional, sehingga membuat keresahanmasyarakat kianmeluas.
Dalam situasi kritis itulah, kebijakan untuk mengucurkan BLBI secara
besar-besaran diputuskan pemerintah. Program ini dimaksudkan untuk
membantu bank-bank yang sehat namun mengalami kesulitan likuiditas.
Melalui hal itu, diharapkan kondisi perbankan nasional yang tengah kritis
dapat diselamatkan. Meskipun, pada kenyataannya, BLBI ternyata juga
dikucurkan kepada bank-bank yang terbukti tidak sehat. Hal ini akhirnya
menimbulkan pertanyaan tentang maksud sesungguhnya di balik
pengucuran BLBI, yang dicurigai hanya sebagai bentuk penyelamatan
kekayaankeluarga penguasa.
non performing loan
rush
Latar Belakang dan Kronologi Skandal BLBI 15 /
Kronologi Peristiwa Skandal BLBI
Selanjutnya, secara kronologis, pengucuran BLBI dan praktik korupsi
yang terdapat di dalamnya, terjadi melalui tahapan-tahapan peristiwa sebagai
berikut.
Rangkaian krisis dimulai dengan terjadinya gejolak moneter, yaitu
merosotnya secara tajamkepercayaan terhadap rupiah. Menyikapi hal ini, BI
memperluas rentang intervensi kurs dari Rp 192 (8%) menjadi Rp 304
(12%). BI juga melakukan pengetatan likuiditas dan menaikkan suku bunga
SBI dari 6% menjadi 14%. Pemerintah pun kemudian terus memperketat
likuiditas dengan menghentikan untuk sementara pembelian SBPU dari
bank-bank.
Pemerintah melepaskan intervensi terhadap dolar dengan menerapkan
sistem mengambang ( ), sehingga nilai rupiah mengambang
bebas ( ). Hal ini dilakukan untuk menyelamatkan devisa yang
terkuras akibat dikucurkannya dolar dalam tindakan intervensi kurs yang
dilakukan sebelumnya. Dolar melonjak drastis, sehingga terjadi kepanikan
dangerakanpembeliandolar dalamjumlahbesar.
Pemerintah akhirya mengambil kebijakan moneter sangat ketat. Dana
yayasan milik pemerintah dan BUMN dialihkan ke SBI. BI menaikkan suku
bunga menjadi sebesar 30%(jangka waktu 1 bulan) dan 28%(jangka waktu 3
bulan). SBI Repo, fasdis, KLBI, dan fasilitas-fasilitas BI lainnya juga
dihentikansementara.
Saldo debet bank-bank selanjutnya meningkat drastis, sehingga mereka
meminta kebijakan pelonggaran likuiditas dari BI. Hal ini pada gilirannya
membuat BI melonggarkan penyaluran BLBI. Direksi BI juga menyetujui
beberapa bank bersaldo debet untuk melakukan penarikan tunai (Bank
HarapanSentosa, Bank Nasional, Bank Nusa).
Tingkat bunga di pasar uang melonjak drastis, seperti misalnya tingkat
bunga pinjamanantar bank ( ) meningkat hingga 100%.
Investor, terutama luar negeri, melakukan aksi jual saham sehingga
menyebabkanIHSGanjlok. Para juga menarik dana mereka.
Juli 1997
Agustus 1997
managed floating
free floating
overnight
fund managers
16 Latar Belakang dan Kronologi Skandal BLBI /
September 1997
Oktober 1997
November 1997
Pada tanggal 3 September, Presiden Soeharto memimpin rapat kabinet
yang menyetujui pengucuran BLBI untuk menolong permodalan bank-
bank yang sedang kritis.
Pemerintah mulai melonggarkan likuiditas, ditandai dengan
diturunkannya suku bunga SBI sebanyak 3 kali.
Beredar rumor di masyarakat tentang bank-bank kalah kliring, transaksi
valas merugi, larinya beberapa bankir ke luar negeri, dan bahkan penculikan
pemilik bank. Kondisi-kondisi ini praktis membuat masyarakat panik dan
kehilangan kepercayaan terhadap bank. Akibatnya, terjadi besar-
besaran. Hal ini membuat pemerintah mengeluarkan kebijakan pengucuran
BLBI untuk memadamkan (setelah rapat kabinet yang dipimpin
langsung Presidenpada 3 September 1997).
Dalam kondisi perekonomian yang kian terpuruk, pemerintah akhirnya
meminta bantuan kepada IMF. Pada tanggal 30 Oktober 1997, LoI
pemerintah dengan IMF ditandatangani (pemerintah diwakili Menkeu
Mar'ie Muhammad dan Gubernur BI Soedradjad Djiwandono). Dengan
penandatanganan ini, pemerintah sepakat untuk mengikatkan diri pada
syarat-syarat ketat yang diberlakukanIMF.
Inti dari kesepakatan dengan IMF mencakup agenda-agenda seperti
restrukturisasi perbankan, restrukturisasi perekonomian, pengetatan
likuiditas, serta menaikkan tingkat suku bunga. Salah satu kesepakatan yang
menonjol adalahrencana penutupan16 bank nasional.
Pada saat itu beredar selebaran gelap tentang bank-bank yang akan
ditutup. Akibatnya, kembali terjadi .
Pada tanggal 1 November, 16 bank dilikuidasi berdasarkan SK Menteri
Keuangan No. Peng 86/1997. Kepercayaan terhadap bank semakin
merosot, kembali terjadi besar-besaran. Beredar pula rumor tentang
bank-bank yang akan dilikuidasi tahap kedua. Bank-bank akhirnya meminta
bantuanfasilitas BI sebagai .
rush
rush
rush
rush
the lender of the last resort
Latar Belakang dan Kronologi Skandal BLBI 17 /
Kemudian terjadi . BLBI meningkat karena terus terjadi.
Akibatnya jumlahbank yang bersaldonegatif bertambahbanyak.
Terjadi perombakan Direksi BI (4 orang diberhentikan), diangkat
direktur baru (Miranda Gultom dan Aulia Pohan). Sementara itu, dan
terus meningkat.
Pada pekan awal Desember, BI kemudian mempersiapkan kebijakan
untuk menukar saldo debet bank-bank di BI yang kian membengkak dengan
pemberian fasilitas SBPUK. Misalnya Bank Danamon, disetujui untuk
memperolehSBPUKsenilai Rp6 triliun.
Kebijakan pemberian SBPUKkepada beberapa bank akhirnya disetujui
Presiden pada 27 Desember 1997. Hal ini dilakukan untuk menjaga agar
tidak banyak bank-bank yang bersaldo debet semakin kekurangan likuiditas
pada akhir tahun1997.
Sehingga, pada bulan ini terjadi lonjakan penyaluran BLBI dalam
jumlah yang signifikan, hingga mencapai Rp 66 triliun. Pada waktu
bersamaan, terjadi pula lonjakan harga dolar yang sudah menembus Rp
5.000 per dolar. Angka ini terus melonjak hingga mencapai Rp 15.000 per
dolar pada Januari 1998.
Jadi terlihat ada kaitan antara terjadinya yang menggunakan dana
BLBI, dengan kenaikan dolar. Terindikasi, dana BLBI yang di- , justru
digunakanuntuk membeli dolar.
Pada bulan ini pemerintah mengumumkan RAPBN 1998 yang antara
lain mengasumsikan kurs rupiah Rp 4.000 per dollar, inflasi 9%, serta
pertumbuhan ekonomi sebesar 4%. Namun, RAPBN ini tidak mendapat
kepercayanpasar.
(Lol) antara pemerintah dengan IMF ditandangani p
Tidak seperti sebelumnya, kali ini untuk pertama
kalinya Presiden Soeharto sendiri yang menandatangani LoI, disaksikan
oleh Michael Camdesus di kediaman Soeharto di Cendana. Hal ini juga
mengundang pertanyaan tentang keretakan hubungan Soeharto dengan
Menteri Keuangan dan Gubernur BI (sebagai buntut dari pencabutan izin
capital flight rush
rush
capital flight
rush
rush
Letter of intent
Desember 1997
Januari 1998
ada
tanggal 15 Januari.
18 Latar Belakang dan Kronologi Skandal BLBI /
16 bank). Presiden Soeharto kemudian membentuk Dewan Pemantapan
dan Ketahanan Ekonomi dan Keuangan (DPKEK), sehingga memegang
sendiri kendali perekonomian nasional. Muncul juga gagasan tentang
pemberlakuan (CBS).
Pada 22 Januari, nilai dolar mencapai Rp 17.000 per dolar. Sementara
itu, (L/C) perbankan nasional di luar negeri ditolak. Termasuk
L/Cuntuk impor bahan-bahan baku dan barang-barang modal berorientasi
ekspor. Hal ini membuat sektor riil macet. Kondisi perbankan nasional pun
memburuk dankebutuhanlikuiditas meningkat.
Selanjutnya, pada tanggal 26 Januari, pemerintah mengeluarkan
Keppres No.26/1998 tentang program Penjaminan Pemerintah untuk
mengatasi krisis kepercayaan terhadap perbankan. Intinya Keppres ini
menyatakan bahwa pemerintah memutuskan untuk menjamin seluruh
kewajiban pembayaran bank umum kepada para pemilik simpanan dan
krediturnya. Keputusan ini juga didorong oleh kenyataan tingginya
penarikandana masyarakat dari perbankansaat itu.
BPPN melalui Keppres No. 27 tahun 1998 yang bertugas melakukan
penagihan utang kepada pihak obligor. Dengan demikian, penyelesaian
kewajibanBLBI dialihkandari BI ke BPPN.
Pada saat yang hampir bersamaan, pemerintah juga membentuk Tim
Penanggulangan Masalah Utang-Utang Swasta (TPMSUI) yang diketuai
Radius Prawiro. Tim mengumumkan pilihan bebas dalam pembayaran
utang luar negeri. Debitur yang sanggup membayar dipersilakan jalan terus.
Sedangkan, bagi debitur yang tidak mampu, pemerintah akan mencarikan
jalan keluar melalui negosiasi dengan kreditur. Di kemudian hari,
pemerintah akhirnya menanggung pembayaran debitur yang tak mampu
bayar melalui fasilitas BLBI yang dinamai dana talangan valas (DTV). Dalam
kaitan itu, pada tanggal 15 Januari, Menko Ekuin Ginandjar Kartasasmita
memerintahkan BI untuk membayar L/C bank swasta senilai US$ 900 juta
berdasarkan .
Menteri Keuangan Mar'ie Muhammad memberikan persetujuan atas
pembayaran penuh simpanan dana pihak ketiga yang ada di 16 bank yang
currency board system
letter of credit
Frankfurt Agreement
,
Sebagai wujud dari pelaksanaan program penjaminan, dibentuk
Februari 1998
Latar Belakang dan Kronologi Skandal BLBI 19 /
dilikuidasi. Sebelumnya, terjadi pemecatan atas Gubernur BI Soedradjad
Djiwandono dan Boediono. Posisi Soedradjad kemudian digantikan Sjahril
Sabirin.
BI menaikkan suku bunga SBI dan denda Giro Wajib Minimumsebesar
150%, 200%, dan 400% dari suku bunga JIBOR (
) . BI juga menaikkan bunga saldo debet sebesar 500% dari
suku bunga JIBOR . Kenaikan besar-besaran tingkat suku bunga ini
dimaksudkan agar bank-bank tidak menggunakan saldo debet dan bisa
dengancepat mengembalikanBLBI yang diterimanya.
Pada bulan ini, pemerintah juga menetapkan ketentuan permodalan
bagi bank-bank umum melalui PP No.38 Tahun 1998, yaitu mewajibkan
penyesuaian modal setor menjadi Rp 1 triliun pada 1 Desember 1998, Rp 2
triliunpada 31 Desember 2000, danRp3 triliunpada 31 Desember 2003.
Pemerintah melalui Menkeu Fuad Bawazier membekukan 7 bank dan
mengambil alih 7 bank lainnya. Diantara bank-bank yang dibekukan
tersebut (BBO) adalah Bank Kredit Asia, Bank Subentra, Bank Hokindo,
dan Bank Surya. Diantara bank-bank yang diambil alih ( ) adalah
Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI), Bank Danamon, Bank Umum
Nasional, Bank Modern, dan Bank Exim. Selain itu, pemerintah juga
mengumumkan40 bank merupakanbank dalampenyehatan.
Kebijakan ini akhirnya menyebabkan terjadinya peningkatan atas
jumlah BLBI yang dikucurkan, karena bank-bank tersebut mengalami saldo
debet yang kian besar, seiring dengan jatuhnya kepercayaan masyarakat
kepada perbankan. Pemerintah juga terus mengetatkan likuiditas, seperti
menaikkan suku bunga SBI menjadi berada pada kisaran 9,52%-16,67%.
Hasilnya, rupiah menguat menjadi Rp 7.800 per dolar, namun inflasi juga
meningkat.
Sementara itu, tingginya suku bunga dan kenaikan kurs dolar
mengakibatkan sejumlah kredit perbankan mengalami macet. Akibatnya,
CAR bank mengalami penurunan drastis. Bank-bank yang menerima BLBI
juga mengalami tekanan bunga yang sangat tinggi, sehingga ikut menambah
Maret 1998
April 1998
Jakarta Inter Bank Offer
Rate Overnight
Overnight
take over
20 Latar Belakang dan Kronologi Skandal BLBI /
pembengkakan jumlah BLBI yang dikucurkan (akibat tingginya bunga yang
diberlakukan).
Dilakukan penggantian lagi atas Direksi BI, sehingga anggota Direksi
BI di bawah kepemimpinan Soedradjad telah diganti sepenuhnya.
Kepemimpinan BI menjadi di tangan Syahril Sabirin (Gubernur BI), Aulia
Pohan, Miranda Gultom, Iwan Prawiranata, Soebardjo Djojosumarto,
Achwan, Achjar Ilyas, danDonoIskandar.
Kerusuhan meluas di Medan dan Jakarta. Situasi politik yang memanas
menyebabkan IMF menunda pencairan pinjaman senilai 1 miliar dolar AS
yang sedianya diberikan pada 4 Juni 1998. Terjadi peristiwa penembakan
yang menewaskanmahasiswa di Trisakti pada demonstrasi 13-15 Mei 1998.
Ketidakpastian politik menyebabkan terjadinya aksi
(pelarian dana ke luar negeri), sehingga terjadi kelangkaan likuiditas di dalam
negeri. Rupiah tertekan pada Rp 12.600 per dolar dan nilainya terus
merosot.
Sejumlah menteri ekonomi menolak duduk kembali dalam kabinet.
Beberapa tokohmasyarakat juga menolak diangkat dalamDewanReformasi
yang dibentuk Presiden Soeharto. Tekanan demi tekanan ini akhirnya
membuat Soehartomengundurkandiri sebagai Presidenpada 20 Mei 1998.
Pada tanggal Pemerintah menandatangani skema PKPS
(Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham) dalambentuk MSAAdan MRA
dengan Anthony Salim (BCA), Sjamsul Nursalim (BDNI), Sudwikatmono
(Surya-Subentra), danUsmanAdmadjaja (Danamon).
Menteri Keuangan menerbitkan Surat Utang Pemerintah sebesar Rp 20
triliun untuk mengkonversikan BLBI menjadi penyertaan modal sementara
pemerintah pada Bank Exim. Dengan demikian, utang Bank Exim kepada
BI sebesar Rp20 triliuntelahdipindahkanmenjadi kewajibanpemerintah.
Mei 1998
Agustus 1998
Oktober 1998
capital flight
21 Agustus,
Latar Belakang dan Kronologi Skandal BLBI 21 /
September 1998
November 1998
Januari 1999
Februari 1999
Maret 1999
Dibuat klausul
dari tuntutan hukum asalkan sudah membayar utangnya
melalui penyerahanaset.
Pada 10 November, pemerintah menetapkan pola PKPS dengan
ketentuan pengembalian BLBI dijadwalkan selama 4 tahun, yaitu 27% (dari
pokok dan bunga) dalam tahun pertama, dan sisanya dibagi rata selama 3
tahun berikutnya dengan bunga 30% per tahun. Pembayaran diambil dari
penjualanaset bank danaset pemilik BBOdanBTO.
Namun, atas keberatan IMF, skema jangka waktu pembayaran ini
diubah dari satu tahun menjadi 4 tahun. IMF beralasan skema tersebut tidak
mungkinterlaksana danakanmengganggu pemulihanekonomi.
Hak tagih BLBI sebesar Rp 144,5 triliun dialihkan dari BI ke BPPN pada 29
Januari 1999. Pengalihan hak tagih ke pemerintah ini merupakan
pelaksanaan agenda reformasi struktural yang disepakati dengan IMF.
Keputusan pengalihan hak tagih sesuai dengan Surat Menko Ekuin
Ginanjar Kartasasmita No.1799/MK/4/1998
Pada 6 Februari 1999, pengalihan hak tagih BLBI dari BI kepada
pemerintah secara resmi ditandatangani oleh Syahril Sabirin (Gubernur BI)
dan Bambang Subianto (Menteri Keuangan RI). Selanjutnya, pada 8
Februari 1999 pemerintah menerbitkan surat utang sebesar Rp 64,5 triliun
untuk membayar tambahan dana BLBI kepada BI. Hal ini karena ternyata BI
diketahui mengucurkan lagi BLBI kepada sejumlah perbankan di luar BLBI
senilai Rp144,5 triliunyang dilaporkanper 29 Januari 1999.
Pada 13 Maret 1999 pemerintah membekukan 38 bank, mengambil alih
29 bank, dan merekapitalisasi 7 bank. 74 bank lainnya tidak mengikuti
programrekapitalisasi karena pemiliknya memilihmerekapsendiri banknya.
Penting dicatat, sebagian besar bank yang dibekukan pemerintah
ternyata merupakan bank yang sejak April menerima program rekapitalisasi
release and discharge (R & D) pada 21 September, yang
membebaskan obligor
.
22 Latar Belakang dan Kronologi Skandal BLBI /
dari BPPN dalam rangka penyehatan perbankan. Artinya, bank-bank
tersebut tetap tak terselamatkan meskipun telah menghabiskan uang negara
dalam jumlah besar melalui program pengucuran BLBI maupun
rekapitalisasi.
Pada 5 Januari, pemerintah berbeda pendapat dengan BI soal jumlah
BLBI. Menurut pemerintah, BLBI adalah sejumlah Rp 164,5 triliun, yaitu
jumlah awal Rp 144,5 triliun ditambah dengan pengucuran dana ke Bank
Exim sejumlah Rp 20 triliun untuk menutup kerugian bank tersebut.
Namun, BI mengklaim terdapat Rp 51 triliun lagi dana BLBI yang harus
dibayar pemerintah dari tambahan BLBI yang dikucurkan BI kepada bank-
bank yang mengalami kesulitan likuiditas selama periode November 1997-
Januari 1998.
Tak lama berselang, pada tanggal 29 Januari, BPK menyatakan
berdasarkan audit yang dilakukannya, 95,78% dari total BLBI yang
dikucurkan(Rp144,5 triliun) tak bisa dipertanggungjawabkan.
Beberapa waktu berikutnya, pada 22 Juli, audit BPKP juga
menunjukkan terjadi penyelewengan sejumlah Rp 54,5 triliun dari Rp 106
triliun BLBI yang diberikan kepada 10 bank beku operasi dan 32 bank beku
kegiatanusaha (posisi audit per 31 Januari 2000).
Sebulan kemudian, pada 5 Agustus, BPK mengumumkan hasil audit
final BLBI bahwa terdapat potensi kerugian negara sebesar Rp 138,4 triliun
dari Rp 144,5 triliun yang dikucurkan. BPK juga menyatakan terjadi
penyelewengan penggunaan BLBI sebesar Rp 84,8 triliun oleh 48 bank
penerima. Sehingga, hanya Rp 34,7 triliun (25%) dana BLBI yang dapat
dipertanggungjawabkan.
Januari 2000
Juli 2000
Agustus 2000
Latar Belakang dan Kronologi Skandal BLBI 23 /
Bab 3
KORUPSI DAN
PENYELEWENGAN
BLBI
Marwan Batubara
Telah diuraikan, pengucuran BLBI pada dasarnya bertujuan untuk
mengatasi kekurangan likuiditas yang dialami dunia perbankan saat terjadi
krisis moneter tahun 1997. Pengucuran BLBI diharapkan dapat
menyelamatkan dunia perbankan dari ancaman kematian setelah persediaan
uang mereka terkuras akibat macetnya pembayaran sejumlah debitur
dibarengi denganpenarikanbesar-besarandana nasabah.
Dalam konteks itu, pengucuran BLBI, berupa penyuntikkan dana tunai
kepada pihak perbankan dapat dipahami sebagai upaya untuk
mempertahankan kestabilan perbankan. Stabilnya perbankan sendiri
merupakan salah satu pilar penopang kestabilan perekonomian negara
secara umum.
Namun, dalam praktiknya, pengucuran BLBI ternyata tidak berfungsi
maksimal menolong kondisi perbankan nasional seperti tujuannya. Setelah
Korupsi dan Penyelewengan BLBI 25 /
ratusan triliun rupiah dana dikucurkan kepada pihak perbankan, kondisi
bank-bank bermasalah penerima BLBI bukannya membaik, namun malah
kian sekarat. Bahkan, bank-bank tersebut satu demi satu bangkrut, sehingga
dibekukan atau ditutup oleh pemerintah. Hal ini membuktikan bahwa BLBI
sesungguhnya tidak banyak membawa manfaat bagi pemulihan
perekonomiannasional.
Di sisi lain, pengucuran BLBI justru telah menghabiskan uang negara
dalam jumlah yang sangat besar, yang bebannya harus ditanggung oleh
rakyat hingga saat ini dan bahkan sampai beberapa waktu mendatang.
Ironisnya lagi, dana BLBI sebagian besar justru diselewengkan dan mengalir
masuk ke kantong-kantong pribadi oknum perbankan, pejabat BI, maupun
pemerintah.
Karena itulah, oknum-oknum tersebut mutlak harus bertanggung
jawab atas kerugian besar yang dialami negara akibat pengucuran BLBI.
Tidak selayaknya terkurasnya uang negara hingga ratusan triliun rupiah
akibat BLBI dianggapsebagai ongkos krisis yang wajar ditanggung negara.
Berikut akan diuraikan penyimpangan-penyimpangan yang terjadi
dalam skandal korupsi terbesar sepanjang sejarah Republik Indonesia
berdiri tersebut.
Korupsi BLBI telah secara gamblang ditunjukkan dalamaudit BPKdan
BPKP atas 48 bank penerima BLBI dari BI. Hasil audit kedua lembaga
negara tersebut menemukan terdapat penyimpangan dalam penyaluran dan
penggunaan dana BLBI.
(posisi per 29 Januari 1999). Sedangkan
dari total BLBI yang dikucurkan (data
selengkapnya terkait bank-bank penerima BLBI, jenis penyimpangan yang
terjadi, dan jumlah penyimpangan yang dilakukan masing-masing bank
dapat dilihat pada lampiran1, 2, 3, dan4 babini).
Hasil Audit BPK dan BPKP atas Penyaluran dan
Penggunaan BLBI
Dalamhal penyaluran BLBI, kerugian negara
yang diakibatkan adalah senilai Rp 138,4 triliun atau 95,8% dari total
dana BLBI Rp144,5 triliun dalam
hal penggunaan BLBI, kerugian negara yang diakibatkan adalah
senilai Rp84,842 triliunatau58,7%
26 Korupsi dan Penyelewengan BLBI /
48 bank yang diaudit mencakup 5 Bank Take Over, 15 Bank Dalam
Likuidasi, 10 Bank Beku Operasi, dan 18 Bank Beku Kegiatan Usaha. Audit
dilaksanakan sejak akhir Februari 2000 s.d. 31 Juli 2000, dengan periode
audit sejak bank-bank menerima BLBI s.d. 29 Januari 1999.
Berikut secara garis besar temuan-temuanhasil audit BPKdanBPKP:
1. Terdapat kelemahan sistem pembinaan dan pengawasan terhadap
Bank;
2. Bank-bank yang tidak sehat tetap dibiarkan beroperasi, sehingga
akhirnya tergantung pada bantuanlikuiditas Bl;
3. Bl tidak tegas dalam menerapkan prinsip (kehati-
hatianperbankan);
(pemeriksaan langsung) yang wajib dilakukan BI
terhadap bank minimal setahun sekali, tidak dapat terlaksana karena
ketidakseimbangan jumlah bank yang harus diawasi dan jumlah
pengawas yang tersedia;
5. Laporan-laporan berkala yang dijadikan dasar penilaian kinerja dan
kesehatanbank tidak menggambarkankondisi sebenarnya;
6. Banyak bank melakukan rekayasa laporan, sehingga penilaian tingkat
kesehatan bank tidak dapat dilakukan secara obyektif. Pelanggaran yang
paling umum adalah rekayasa transaksi untuk menghindari BMPK
(Batas Maksimum Pemberian Kredit) dengan berbagai modus
operandi.
BI tidak menghentikan proses kliring (pencairan dana simpanan) pada
bank-bank yang rekening gironya di BI sudah bersaldo negatif ( ),
bahkan hingga kekurangan saldo tersebut sudah melampaui jumlah aset
yang dimiliki bank. Dengan alasan menghindari efek domino krisis
perbankan, BI terus mengizinkan proses kliring tanpa memberi batas nilai
. Hal ini akhirnya dimanfaatkan bankir nakal untuk melakukan
penarikan tunai dan transfer dana ke cabang-cabang sampai kondisi pasar
uang mereda.
prudential banking
4. On site supervision
overdraft
overdraft
Terdapat Kelemahan pada Manajemen Penyaluran BLBI
Korupsi dan Penyelewengan BLBI 27 /
Penyaluran BLBI melalui mekanisme kliring menyebabkan BI tidak
dapat mengetahui apakah BLBI digunakan sepenuhnya untuk
menanggulangi kesulitan likuiditas akibat nasabah, atau justru untuk
kepentingangruppemilik bank.
Lembaga kliring yang semula hanya sebagai media tukar-menukar surat
berharga (warkat) dalam rangka memperlancar sistem pembayaran dan lalu
lintas giral, berubah menjadi sarana penyediaan dana bagi bank-bank yang
mengalami kesulitanlikuiditas.
BI dinilai tidak konsisten melaksanakan Program Penjaminan
Kewajiban Bank Umum sebagaimana ditetapkan dalam Keppres
No.26/1998, dan justru bertahan untuk memberi bantuan likuiditas kepada
perbankanmelalui mekanisme kliring.
Dalam penyaluran dana BLBI dari BI kepada pihak perbankan,
ditemukan penyimpangan, kelemahan sistem, dan kelalaian yang
menimbulkan potensi kerugian negara sebesar Rp 138,442 triliun atau
95,78% dari total BLBI sejumlah Rp 144,536 triliun (posisi per 29 Januari
1999).
Penyimpangan dalam penyaluran BLBI meliputi penyimpangan dalam
penyaluran Saldo Debet, Fasilitas Diskonto (I, II, dan NewFasdis), Fasilitas
Surat Berharga Pasar Uang Khusus (FSBPUK), Fasilitas Saldo Debet, Dana
TalanganRupiah, danDana TalanganValas (selengkapnya lihat lampiran1).
Ditemukan pula penyimpangan dalam penggunaan dana BLBI oleh
pihak perbankanyaitu sebesar Rp84,842 triliunatau 58,70%dari total BLBI.
PenyimpangandalampenggunaanBLBI tersebut meliputi antara lain:
1. Peng gunaan BLBI unt uk membayar /mel unas i modal
pinjaman/pinjaman subordinasi (Rp46,08 miliar);
2. Penggunaan BLBI untuk membayar kewajiban pembayaran bank
umum yang tidak dapat dibuktikan kebenarannya (nilai penyimpangan
Rp46,088 miliar);
rush
Terdapat Potensi Kerugian Negara Akibat Penyaluran BLBI
Terdapat Penyimpangan dalam Penggunaan BLBI
28 Korupsi dan Penyelewengan BLBI /
3. Penggunaan BLBI untuk membayar kewajiban kepada pihak terkait /
kelompok terafiliasi (Rp20,36 triliun);
4. Penggunaan BLBI untuk membayar kewajiban kepada pihak ketiga di
luar ketentuan(Rp4,47 triliun);
5. PenggunaanBLBI untuk transaksi surat berharga (Rp136,90 miliar);
6. Penggunaan BLBI untuk membiayai kontrak derivatif baru atau
kerugiankarena kontrak derivatif lama jatuhtempo(Rp22,46 triliun);
7. Penggunaan BLBI untuk membiayai /penempatan baru di
Pasar Uang Antar Bank/PUAB(Rp9,82 triliun);
8. Penggunaan BLBI untuk membiayai ekspansi kredit atau merealisasikan
kelonggarantarik dari komitmenyang sudahada (Rp16,81 triliun);
9. Penggunaan BLBI untuk membiayai investasi dalam aktiva tetap (aset
tak bergerak) seperti pembukaan cabang baru, rekrutmen karyawan
baru, peluncuran produk baru, dan penggantian sistembaru (Rp 456,35
miliar);
10. Penggunaan BLBI untuk membiayai (biaya operasional) bank
umum(Rp87,14 miliar);
11. Penggunaan BLBI untuk keperluan lain yang tidak dapat
dipertanggungjawabkan(Rp10,06 triliun);
12. Penggunaan BLBI untuk berbagai keperluan di atas, merupakan hal
yang melanggar ketentuan karena pengucuran BLBI ditujukan untuk
mengatasi krisis likuiditas pada bank akibat terjadinya nasabah.
Berdasarkan temuan-temuan tersebut, sangat wajar jika BPK
menyimpulkan bahwa terdapat sangkaan tindak pidana dalam penyaluran
dan penggunaan BLBI yang mengakibatkan kerugian negara. Meski
demikian, pada kenyataannya, temuan BPK itu hingga saat ini belum
sepenuhnya digunakan untuk mengusut tuntas penyimpangan-
penyimpanganyang terjadi.
placement
over head
rush
Korupsi dan Penyelewengan BLBI 29 /
Jenis-jenis Penyimpangan dalam Penyaluran BLBI
BPK dan BPKP juga mengungkapkan bahwa secara umum,
penyimpangan BLBI terjadi terutama karena penyalurannya yang dilakukan
melalui mekanisme kliring, padahal pemerintah telah menetapkan
mekanisme program penjaminan untuk memberi bantuan kepada pihak
perbankan. Program penjaminan merupakan prosedur pemberian bantuan
kepada pihak perbankan yang ditetapkan pemerintah dalam Keppres No.
26/1998 tentang JaminanterhadapKewajibanPembayaranBank Umum
Keppres No. 26/1998 ditetapkan pada tanggal 26 Januari 1998 dan
berisi keputusan bahwa pemerintah menjamin seluruh kewajiban
pembayaran bank umum kepada para pemilik simpanan dan kreditur.
Dengan program penjaminan, diharapkan kepercayaan masyarakat
terhadapdunia perbankandapat dipulihkan.
Dapat disimpulkan bahwa sebenarnya program ini merupakan bagian
tak terpisahkan dari kebijakan pengucuran BLBI, yaitu dalam rangka
penyelamatan kondisi perbankan nasional. Karena itu, pengucuran BLBI
sudah seharusnya mengacu pada prosedur yang ditetapkan dalam program
ini.
Berdasarkan program penjaminan, setiap bank umum nasional
diperbolehkan mengikuti program ini selama mereka bersedia menerima
pengawasan yang lebih ketat, menyampaikan laporan yang diminta,
memberikan jaminan, membayar premi, dan melaksanakan hal-hal lain yang
dianggap perlu. Sehingga, pada intinya, program penjaminan memberikan
persyaratan yang lebih ketat dan selektif bagi pihak perbankan untuk dapat
memperolehpenjaminandari pemerintah.
Namun, dalam kenyataannya, BI dan BPPN sebagai institusi pelaksana
program penyehatan perbankan, justru tidak segera melaksanakan program
penjaminan. Penyaluran BLBI dibiarkan terjadi melalui mekanisme kliring.
Padahal, dengan mekanisme kliring, BI dan BPPN tidak dapat mengetahui
apakah kewajiban-kewajiban bank merupakan kewajiban yang dapat dijamin
denganprogrampemerintahatau tidak.
Atas dasar hal ini, maka dapat dinyatakan bahwa tidak dilaksanakannya
program penjaminan merupakan salah satu penyebab dari berbagai
penyimpanganyang terjadi dalampenyaluranBLBI.
30 Korupsi dan Penyelewengan BLBI /
Akibatnya, penyimpangan BLBI terjadi pada hampir setiap jenis
fasilitas BLBI yang diberikan BI kepada pihak perbankan. Hal ini sekali lagi
menguatkan dugaan bahwa pengucuran BLBI sesungguhnya tidak didasari
oleh niat baik untuk menyelamatkan kondisi perbankan, namun lebih pada
upaya penyelamatan pribadi dan upaya menangguk keuntungan sebesar-
besarnya dari oknum-oknumtertentu.
Hal ini akhirnya membuat BPKdan BPKP mengaitkan ketidakseriusan
BI dalam melaksanakan program penjaminan, dan sebaliknya membiarkan
BLBI mengalir melalui mekanisme kliring, dengan keuntungan yang
diperoleh BI dari pembayaran denda maupun bunga oleh pihak perbankan.
Padahal, beban ini menjadi tanggungan pemerintah. Menurut BPK, dari
kebijakan penyaluran BLBI, BI setidaknya memperoleh pendapatan sebesar
Rp34,57 triliunatau sekitar 23,92%dari jumlahBLBI yang dialihkan.
Penyimpangan BLBI dalam setiap jenis fasilitas BLBI beserta dengan
nilai penyimpangannya, dapat dilihat pada uraianberikut:
Penyimpangan dalam fasilitas saldo debet terjadi dalam bentuk
pemberian dispensasi kepada setiap bank untuk terus mengikuti kliring,
meskipun rekening gironya di BI telah berada pada posisi negatif dalam
jumlah yang besar dan berlangsung dalam jangka waktu yang lama. BI
bahkan memberikan dispensasi ini tanpa menyebutkan batas jumlah dan
batas waktu yang tegas.
Hal tersebut antara lain dapat dilihat pada Keputusan Rapat Direksi
Bank Indonesia tertanggal 15 Agustus 2007 yang menyatakan, Untuk
mengatasi kesulitan likuiditas bank-bank yang disebabkan penarikan dana
pihak ketiga dalam jumlah besar sehingga terjadi saldo giro debet di BI,
diputuskan untuk diberikan kelonggaran berupa fasilitas saldo debet,
sampai dengangejolak pasar uang mereda.
Dalamkeputusan tersebut, dinyatakan pula bahwa bank-bank di kantor
pusat maupun cabang diperkenankan untuk menarik dana secara tunai di
kantor pusat BI maupun kantor BI dalam rangka melayani yang
dilakukan nasabah, meskipun rekening giro mereka telah bersaldo negatif
(saldodebet).
1. Saldo debet
rush
Korupsi dan Penyelewengan BLBI 31 /
Setelah keluarnya keputusan tersebut, maka dispensasi diberikan BI
kepada bank-bank untuk terus mengikuti kliring, melakukan pengambilan
tunai, dan melakukan transfer dana ke cabang-cabang walau telah bersaldo
debet. Dispensasi juga diberikan kepada bank yang sebenarnya tidak
mengajukan permohonan akan hal tersebut. Hal ini dapat terjadi karena
keputusan direksi tidak menjelaskan secara detil nama-nama bank yang
perlu memperoleh dispensasi, melainkan berlaku bagi semua bank secara
umum. Sehingga, potensi ketidaktepatan penyaluran bantuan sangat besar
terjadi.
Apalagi, BI juga tidak melakukan pengecekan atas jenis-jenis transaksi
yang dibayar, karena penyaluran dana melalui mekanisme kliring tidak
memungkinkan hal tersebut. Sehingga, BI tidak dapat mengetahui apakah
BLBI yang disalurkan melalui mekanisme kliring tersebut benar-benar
mengalir ke nasabah.
Perlu pula dicatat, pemberian dispensasi kepada perbankan untuk
bersaldo debet sebenarnya sudah melanggar ketentuan hukum yang
dikeluarkan oleh BI sendiri. Dalam Pasal 9 Ayat 1 Keputusan Direksi BI
No.14/35/KEP/DIR/UPPB tentang penyelenggaraan kliring lokal,
disebutkan bahwa peserta dapat dihentikan sementara dari kliring lokal
apabila peserta (bank) yang bersangkutan mengalami salah satu kondisi
berikut :
Tidak dapat menyelesaikansaldonegatif;
Keadaan administratif, pimpinan, dan keuangannya tidak
memungkinkan untuk memenuhi kewajiban-kewajiban dalam
kliring lokal;
Melanggar ketentuan Bank Indonesia yang memuat sanksi
penghentiansementara dari kliring lokal.
Hal-hal di atas menunjukkan mekanisme kliring telah berubah fungsi
dari mekanisme untuk memperlancar sistem pembayaran menjadi sarana
penyediaan dana tunai kepada bank-bank. Karena itulah, BPK menyatakan
kebijakan ini sebagai sesuatu yang tidak lazim dalam praktik bisnis
perbankan.
Terbukti, jumlah kerugian yang dialami negara akibat penyimpangan
dalam fasilitas ini mencapai Rp 18,16 triliun atau 100% dari total dana yang

32 Korupsi dan Penyelewengan BLBI /


dikucurkan. Artinya, BPK menyimpulkan keseluruhan dana yang
dikucurkanmelalui fasilitas saldodebet tidak dapat dipertanggungjawabkan.
Pemberian Fasdis I maupun II seharusnya mengacu pada ketentuan BI
yang berlaku, yaitu Surat Keputusan Direksi BI No. 21/54/KEP/DIR
tanggal 17 Oktober 1998 jo. No. 23/64/KEP/DIR tanggal 28 Feburari
1991. Menurut ketentuan tersebut, Fasdis I disediakan sebagai fasilitas
untuk memperlancar pengaturan dana sehari-hari dengan jumlah
maksimum sebesar 5% dari Dana Pihak Ketiga (DPK) dalam rupiah.
Sedangkan, Fasdis II disediakan untuk menanggulangi kesulitan likuiditas
sementara sebagai akibat ketidaksesuaian ( ) dalam rangka
pemberian kredit jangka menengah/panjang dengan jumlah maksimum
sebesar 3%dari DPKdalamrupiah.
Padahal, seperti telah diuraikan sebelumnya, pada kasus BLBI,
pemberian Fasdis I dan II dilakukan untuk mengkonversi saldo debet
rekening bank di BI. Karena itu, pemberian fasilitas Fasdis I dan II oleh BI
kepada perbankan pada kasus BLBI telah melanggar ketentuan yang
berlaku.
Pemberian Fasdis kepada pihak perbankan juga dilakukan sebagiannya
tanpa permohonan dari bank yang bersangkutan. Fasdis diberikan secara
umum kepada semua bank yang mengalami saldo debet berdasarkan rapat
Direksi BI.
Selain itu, penyimpangan juga terjadi ketika BI tidak melakukan sita atau
eksekusi jaminan terhadap kebendaan terhadap bank-bank yang hingga
Fasdis II jatuh tempo, tetap tidak dapat menutup kekurangan rekening
gironya di BI (tetap bersaldo debet). Akhirnya, BI membebani kembali
pelunasan Fasdis kepada rekening giro mereka di BI, yang membuat saldo
debet mereka kian besar. Sementara itu, aset jaminan bank justru
dikembalikankepada bank atau pemilik bank.
Fasilitas SBPUKdiberikan kepada pihak perbankan untuk menghindari
besarnya saldo debet bank di rekening giro BI. Berdasarkan ketentuan yang
berlaku, FSBPUK hanya dapat diberikan dengan sejumlah persyaratan
tertentu. Beberapa persyaratanyang harus dipenuhi itu antara lainadalah:
2. Fasilitas Diskonto I danII
3. Fasilitas Surat Berharga Pasar Uang Khusus
mismatch
Korupsi dan Penyelewengan BLBI 33 /

FSBPUKhanya diberikan kepada bank yang terkategori (nilai


CAR/rasiokecukupanmodal di atas 2%);
Bank harus menyerahkan jaminan berupa aset bank/pemilik/
pengurus sebesar 50% dari FSBPUK yang diterima. Bank juga
harus menyerahkan seluruh sahamnya (untuk bank yang belum
) atau seluruhsahampendiri (untuk bank yang telah );
Bank tidak lagi bersaldo negatif setelah 31 Desember 1997. Jika
bank masih bersaldo debet, maka bank harus dapat melunasinya
dalam waktu 1 x 24 jam. Jika belum juga mampu melunasi, maka
diberikan waktu lagi selama 5 hari. Jika setelah 5 hari berturut-turut
bank tidak mampu juga melunasi, maka akan dikenakan sanksi stop
kliring kepada perbankan;
Bank harus melaksanakan program rehabilitasi yang disusun
pengurus/pemilik bank dandisetujui olehBI.
Namun, dalam praktiknya, ternyata bank-bank melanggar berbagai
persyaratanyang telahditentukantersebut. Pelanggaranitu antara lain:
Ditemukan bank yang mempunyai CAR di bawah 2% (Bank
Pesona Kriyadana, d/hBank Utama);
Promes nasabah yang diserahkan oleh bank kepada BI lebih kecil
dari FSBPUKyang diterima;
Promes nasabah yang diserahkan bank, tidak di- (didukung)
oleh bank yang bersangkutan. Artinya, promes-promes nasabah
yang diserahkan tersebut bukan promes yang terkategori lancar
bayar;
Skala angsuran pembayaran promes nasabah yang diserahkan bank
lebih pendek dibandingkan dengan skala angsuran pembayaran
kembali FSBPUKyang diterima bank bersangkutan;
Nilai jaminan yaitu aset bank/pemilik/pengurus yang diserahkan
kepada BI ternyata tidak mencapai 50% dari FSBPUK yang
diterimanya;
Sebagiansahambank belumdiserahkankepada BI.
solven
go
public go public
endorse
34 Korupsi dan Penyelewengan BLBI /
Selain itu, bank-bank juga tidak mentaati kewajiban-kewajibannya
sebagaimana yang dipersyaratkan sebelumnya untuk menerima fasilitas
SBPUK. Bentuk-bentuk ketidaktaatanitu adalah:
Bank tidak melakukan pembelian kembali promes nasabah yang
dijualnya kepada BI sesuai jadwal angsuran yang ditetapkan dan
disepakati dalamakta perjanjian;
Bank tidak mengganti promes nasabah yang telah jatuh tempo
sebelum jadwal pembelian kembali yang ditetapkan BI dan
disepakati dalamakta perjanjian;
Bank tidak melaksanakan programrehabilitasi yang telah disepakati
bersama denganBI;
Bank tetap membiarkan rekening saldonya negatif di BI, lebih dari
lima hari berturut-turut.
Atas berbagai pelanggaran dan ketidaktaatan pihak bank tersebut, BI
tidak mengambil tindakan tegas sebagaimana yang menjadi kewenangannya,
yaitu mengeksekusi jaminan berupa aset bank yang diserahkan ke BI dan
mengambil alih penguasaan atas bank. Melainkan, BI langsung mendebet
tagihan SBPUK yang telah jatuh tempo tersebut ke dalam rekening giro
bank-bank bersangkutan di BI. Hal ini membuat jumlah saldo debet bank-
bank bermasalah tersebut di BI justru berlipat, bukannya hilang
sebagaimana yang menjadi tujuanawal pemberianfasilitas ini.
Karena itu, BPK menyimpulkan penyaluran fasilitas ini 100% tidak
dapat dipertanggungjawabkan dengan potensi kerugian negara mencapai
Rp28,23 triliun.
Pelanggaran yang terjadi dalam pemberian fasilitas ini adalah tetap
disalurkannya NewFasdis kepada bank-bank yang tidak dapat menyerahkan
jaminan berupa promes bank dan jaminan lainnya senilai dengan fasilitas
yang diterimanya. Padahal, penyerahan jaminan tersebut merupakan
persyaratan yang diwajibkan bagi pihak perbankan untuk dapat menerima
fasilitas ini.

4. NewFasilitas Diskonto
Korupsi dan Penyelewengan BLBI 35 /
BPK kemudian juga menyimpulkan bahwa pemberian fasilitas ini tidak
dapat dipertanggungjawabkan 100%dengan potensi kerugian mencapai Rp
28,53 triliun.
Tidak jauh berbeda dengan pelanggaran yang terjadi dalam pemberian
fasilitas-fasilitas BLBI sebelumnya, pelanggaran dalam pemberian fasilitas
ini juga berupa tetap diberikannya FSD kepada bank-bank yang tidak
menyerahkan jaminan yang dipersyaratkan. Padahal, FSD bertujuan untuk
mengikat kewajiban perbankan dalam pelunasan saldo debetnya dengan
jaminandanakta notariil.
Penyelewengan fasilitas ini, menurut BPK, menimbulkan potensi
kerugian negara mencapai Rp 54,46 triliun atau 100% dari dana yang
dikucurkan.
Dalam pemberian fasilitas DTV, BPK menilai BI telah mengabaikan
prinsip kehati-hatian dan justru memberi penafsiran berlebihan terhadap
(kesepakatan pemerintah dengan perbankan
internasional untuk menanggung kewajiban pembayaran utang bank-bank
nasional). Bentuk pengabaianprinsipkehati-hatiantersebut adalah:
Tidak melakukan prosedur verifikasi dan konfirmasi yang memadai
sebelum memberikan DTV kepada perbankan (membayarkan
utang bank nasional kepada perbankaninternasional);
Pengikatan jaminan yang dilakukan kepada bank-bank nasional
sebagai debitur tidak sepenuhnya dapat menjamin pengembalian
DTVyang telahdikucurkan;
Melakukan pembayaran kewajiban-kewajiban yang tidak
memenuhi syarat untuk ditalangi denganfasilitas DTV;
Tidak menciptakan prosedur pengendalian atas penggunaan DTV
oleh debitur (bank nasional) dan pengembalian dana ( ) oleh
kreditur (pihak perbankanluar negeri).
5. Fasilitas Saldo Debet
6. Dana TalanganValas danDana TalanganRupiah
Frankfurt Agreement
refund

36 Korupsi dan Penyelewengan BLBI /


Tak heran, dengan berbagai penyimpangan tersebut, kerugian yang
dialami negara mencapai Rp 8,91 triliun atau 90,81% dari total DTV yang
dikucurkan(Rp9,81 triliun).
Sementara itu, pengucuran DTR kepada bank-bank yang akan
dilikuidasi, menyeleweng karena daftar nominatif nasabah (daftar tagihan
pembayaran nasabah yang akan ditalangi oleh DTR) tidak dibuat secara
akurat. Akibatnya, jumlah dana talangan yang disalurkan BI melebihi
kebutuhanpembayarannasabahyang sebenarnya.
Selain itu, jangka waktu pelunasan yang ditetapkan yaitu selama 1 tahun
(terhitung mulai Maret 1998), namun hingga akhir Maret 2000 (saat audit
dilakukan BPK) hanya sebagian kecil dana talangan tersebut yang sudah
dikembalikankepada pemerintah.
Nilai kerugian negara akibat penyelewengan dalam penyaluran DTR ini
adalah Rp 142,9 miliar atau 2,68% dari total DTR yang dikucurkan sebesar
Rp5,335 triliun.
Hasil audit BPK juga mengungkapkan bahwa terjadi sejumlah
penyimpangan dalam penggunaan dana BLBI oleh pihak perbankan,
sehingga menyebabkan kerugian bagi negara. Karena itu, BPK
menyimpulkan terdapat sangkaan tindak pidana dalam kasus ini sehingga
para pelakunya harus diproses secara hukum.
Unsur-unsur tindak pidana dalam penggunaan BLBI ditunjukkan pada
hal-hal sebagai berikut :
(yaitu untuk pembayaran dana nasabah), seperti untuk melunasi
pinjaman dan kewajiban pembayaran yang tidak dapat dibuktikan
kebenarannya, membayar utang kepada kelompok usahanya
sendiri, transaksi surat berharga, melunasi dana pihak ketiga yang
melanggar ketentuan, membiayai kontrak derivatif baru,
membiayai ekspansi kredit, membiayai investasi dalam bentuk
aktiva tetap, dan membiayai (biaya operasional bank). Total
penyimpangan yang terjadi adalah senilai Rp 84.842.164 juta
Penyimpangan dalam Penggunaan BLBI
Penggunaan BLBI diluar kepentingan yang telah ditentukan
overhead
Korupsi dan Penyelewengan BLBI 37 /
(Rp 84,84 triliun) atau 58,70% dari jumlah BLBI yang dikucurkan
per 29 Januari 1999 (sebesar Rp144,5 triliun).
(Batas Maksimum Pemberian Kredit), yaitu
nilai maksimum kredit yang dapat dikucurkan perbankan pada
kelompok usahanya sendiri.
Pemberian fasilitas oleh BI yang
walaupun rekening gironya di BI
telahbersaldonegatif.
oleh para obligor BLBI untuk
menutupi kewajiban yang harus dilunasinya dalam skema pola
Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham. Salim , misalnya,
menyatakan nilai seluruh aset yang diserahkannya pada tahun 1998
adalah Rp 52 triliun (hal ini diterima oleh konsultan BPPN, yakni
Lehman Brothers, PTDanareksa, dan PTBahana tanpa
terlebih dulu). Namun, audit PricewaterhouseCoopers
pada tahun 2000 ternyata menemukan nilai aset Salim hanya
berkisar Rp12 triliunsampai denganRp20 triliun.
Selain terjadi pada penyaluran BLBI tahap pertama senilai Rp 144,5
triliun, penyimpangan juga terjadi pada pengucuran BLBI tahap berikutnya,
yaitu pada pemberian tambahan BLBI dan program penjaminan perbankan
(dikenal dengan istilah ). Hal ini terungkap setelah BPK
menemukan penyimpangan terhadap penggunaan dana milik pemerintah di
rekening bernomor 502.000002 oleh Bank Indonesia. Karena itulah, kasus
ini sering pula disebut sebagai kasus Rekening 502.
Rekening 502 adalah rekening milik pemerintah atas nama Menteri
Keuangan di Bank Indonesia. Rekening ini khusus dibentuk dalam rangka
pelaksanaan program penjaminan pemerintah terhadap bank-bank
nasional. Dalam pelaksanaan program penjaminan perbankan tersebut,

Pelanggaran BMPK
Pelanggaran BMPK, sesuai
dengan pasal 49 ayat (2) jo pasal 50 jo pasal 50 A UU No 10
Tahun1998, merupakantindakpidana.
mengizinkan perbankan untuk
tetap mengikuti proses kliring
Penggelembungan nilai aset
Group
financial due
diligence
blanket guarantee
Penyimpangan BLBI dalamPenyaluran Tambahan BLBI
danProgramPenjaminanPerbankan
38 Korupsi dan Penyelewengan BLBI /
Menkeu memberikan kewenangan kepada BI dan BPPN, sesuai dengan
kewenangannya masing-masing, untuk menggunakanrekening 502.
Pengisian rekening 502 sendiri merupakan pelaksanaan dari
rekomendasi IMF kepada pemerintah untuk menyediakan dana yang
dibutuhkan untuk melaksanakan program penjaminan perbankan dan
agenda restrukturisasi perbankan lainnya, termasuk mengantisipasi
terjadinya likuidasi atau merger perbankan. Program ini juga bertujuan
mendukung program rekapitalisasi perbankan, yaitu mencapai target BI
bahwa pada akhir tahun 2001 seluruh perbankan nasional harus memiliki
CAR ( /rasio kecukupan modal) minimum 8% dan NPL
( /kredit bermasalah) maksimum5%.
Setelah sempat tertunda pelaksanaannya, pengisian rekening 502
akhirnya direalisasikan pemerintah pada September 2001. Segera setelah itu,
BI mendebet rekening 502 untuk keperluan program penjaminan
perbankan dan mengganti tambahan BLBI yang telah dikucurkannya.
Hingga 30 September 2001, tercatat BI telah mendebet dana dari rekening
502 sebesar Rp23,623 triliun.
Dari total penggunaan tersebut, sejumlah Rp 14,447 triliun didebet dan
ditampung dalam rekening khusus . Hal ini, menurut BI,
dilakukan atas dasar rekomendasi BPK RI dalam audit atas Laporan
Keuangan Tahunan Bank Indonesia tahun 1999 sebagai pengganti dana
talangan perbankan (tambahan BLBI) yang telah dikeluarkan BI
sebelumnya. Sedangkan, selebihnya, yaitu sekitar Rp 39,322 triliun dijadikan
sebagai dana penjaminanperbankan.
Terkait tambahan BLBI, hal itu dilakukan karena BI masih
mengucurkan BLBI kepada pihak perbankan setelah pengucuran BLBI
tahap pertama sejumlah Rp 144,5 triliun. Menurut BI, tambahan BLBI
dikucurkan karena programpenyelamatan bank-bank nasional masih belum
selesai, sedangkan pemerintah belum menyediakan dana untuk program
tersebut. Karena itu, BI untuk sementara menalanginya untuk kemudian
akan menagihkannya kepada pemerintah. Dana tambahan BLBI
diperhitungkan berdasarkan jumlah dana yang dikucurkan BI kepada
perbankansetelahpengalihanhak tagihBI ke BPPNper 29 Januari 1999.
capital adequacy ratio
non performing loan
(escrow account)
Korupsi dan Penyelewengan BLBI 39 /
Meski demikian, pada kenyataannya, implementasi dari kebijakan ini
diwarnai dengan berbagai penyimpangan. Laporan Hasil Audit Investigasi
BPK RI menemukan telah
(terdapat alokasi penggunaan dana yang dinyatakan
tidak sah/tidak semestinya dibebankan pada rekening 502)
Hal ini menyebabkan pemerintah tidak segera
menerima pendebetan rekening 502 oleh BI dan meminta BI untuk mengisi
kembali rekening tersebut.
Penggunaan dana penjaminan perbankan oleh para bankir juga kental
dengan praktik penyimpangan. Sejumlah kantor akuntan publik
menyatakan bahwa sebagian besar klaim antarbank yang diajukan untuk
memperoleh penjaminan merupakan klaim yang tidak layak. Ernst &
Young, misalnya menemukan
, secara substansi dan transaksi sesuai ketentuan program
penjaminanpemerintah.
Sementara itu, hasil audit kantor akuntan publik lainnya, Hans
Tuanakotta dan Mustofa (HTM), mengungkapkan dari realisasi pemakaian
dana Rekening 502 sebesar Rp 12 triliun untuk pembayaran klaim
antarbank, .
Berbagai penyimpangan tersebut menunjukkan bahwa pengucuran
tambahan BLBI dan program penjaminan perbankan tidak sepenuhnya
dijalankan sesuai dengan tujuan yang ditetapkan. Bahkan, dapat dinyatakan
kebijakan-kebijakan tersebut hanya meneruskan rangkaian penyelewengan
yang telah terjadi sebelumnya. Sehingga, dengan demikian, juga menambah
besar jumlahuang negara yang terkuras melalui skandal BLBI.
Sudah hampir 7 tahun sejak Laporan BPK tentang penyimpangan-
penyimpangan BLBI disampaikan kepada DPR dan juga dipublikasikan
pada tahun 2000 yang lalu. Namun, sejak era pemerintahan Habibie,
Megawati hingga SBY, belum memperlihatkan keseriusan untuk
menindaklanjuti temuan BPK tersebut. Pada masa pemerintahan SBY
terjadi penyimpangan penggunaan dana
rekening 502 oleh BI
dengan jumlah
mencapai Rp17,762 triliun.
dari 216 klaim antarbank, bank beku
operasi (BBO) dan bank beku kegiatan usaha (BBKU), hanya ada 11
klaim antarbank yang (layak) dibayarkan dengan dana
Rekening 502
hanya senilai Rp1,075 triliunyanglayak(11 klaim)
eligible
Tindak Lanjut Temuan
40 Korupsi dan Penyelewengan BLBI /
misalnya, kita mencatat bahwa mantan Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh
gagal memenuhi janjinya mengeluarkan memorandum khusus untuk
memaparkan dan menelaah penyelesaian korupsi BLBI. Kegagalan Abdul
Rahman ini kita khawatirkan akan diikuti oleh Jaksa Agung Hendarman
Supandji, yang pada awal masa jabatannya melantik 35 jaksa khusus untuk
menangani BLBI, tetapi belumjuga menampakkanhasil nyata.
Laporan BPK sangat jelas menunjukkan berbagai penyimpangan BLBI
yang merugikan negara paling tidak sebesar Rp 138 triliun (jika ditambah
dengan kerugian dari penyaluran obligasi/SUN untuk penyehatan
perbankan, nilai kerugian membengkak menjadi senilai minimal Rp 600
triliun). Kerugian negara ini akan ditanggung oleh rakyat hingga berpuluh
tahun mendatang. Namun, seperti kita saksikan, pemerintah dari satu
presiden ke presiden lain tidak serius menuntaskan skandal korupsi ini.
Mereka seperti sama sekali tidak memiliki dan komitmen untuk
memberantas korupsi di negeri ini.
Pantaskahkita juga diam?
political will
Korupsi dan Penyelewengan BLBI 41 /
JUMLAH
NO URAIAN
BANK
PENYALURAN
(dalam
juta Rp)
POTENSI
KERUGIAN
NEGARA
(dalam juta Rp)
%
I SALDO DEBET
1. BBO 10 6,175,250 6,175,250 100
2. BBKU 13 5,474,776 5,474,776 100
3. BDL 13 6,161,001 6,161,001 100
4. BTO 1 352,142 352,142 100
Jumlah I 37 18,163,169 18,163,169 100
II FASILITAS SALDO DEBET
1. BBO 3 30,065,401 30,065,401 100
2. BBKU 11 4,265,753 4,265,753 100
3. BDL 0 - -
4. BTO 2 18,134,741 18,134,741 100
Jumlah II 16 52,465,895 52,465,895 100
III NEW FASDIS
1. BBO 0 - -
2. BBKU 2 634,691 634,691 100
3. BDL 0 - -
4. BTO 3 29,891,277 29,891,277 100
Jumlah I 5 30,525,968 30,525,968 100
IV FSBPUK
1. BBO 8 15,165,818 15,165,818 100
2. BBKU 11 5,587,906 5,587,906 100
3. BDL 0 - -
4. BTO 3 7,477,757 7,477,757 100
Jumlah I 22 28,231,481 28,231,481 100
V DANA TALANGAN RUPIAH
1. BBO 1 680,496 - 0
2. BBKU 0 - -
3. BDL 15 5,335,003 142,903 2.68
4. BTO 0 - -
Jumlah I 16 6,015,499 142,903 2.38
VI DANA TALANGAN VALAS
1. BBO 5 5,599,982 5,599,982 100
2. BBKU 9 1,357,862 1,357,862 100
3. BDL 3 392,932 171,468 43.64
4. BTO 3 1,783,298 1,783,298 100
Jumlah I 20 9,134,074 8,912,610 97.58
Total 144,536,086 138,442,026 95.78
Lampiran1
Daftar Potensi KerugianNegara dalamPenyaluranBLBI
42 Korupsi dan Penyelewengan BLBI /
Lampiran2
Bank-bank Penerima BLBI per 29 Januari 1999
No. NAMA BANK TOTAL PENANGGUNGJAWAB
I. BANK BEKU OPERASI (BBO)
1. Bank Centris Internasional 629.624 Hubertus Setyawan
2. Bank Dagang Indonesia 37.039.766 Sjamsul Nursalim
3. Bank Deka 152.918 Dewanto Kurniawan
4. Bank Hokindo 214.228 Hokianto
5. Bank Istimarat Indonesia 520.236 Hasim S. Djojohadikusumo
6. Bank Modern 2.557.693 Samadikun Hartono
7. Bank Pelita 1.989.832 Hasim S. Djojohadikusumo
8. Bank Subentra 860.853 Benny Suherman
9. Bank Surya 1.653.836 H. Sudwikatmono
10. Bank Umum Nasional 12.067.961 Mohammad Hasan, Kaharudin Ongko
Sub Total 57.686.947
II. BANK TAKE OVER (BTO)
1. Bank Central Asia 26.596.277 Sudono Salim
2. Bank Danamon Indonesia 23.049.526 Usman Atmadjaja
3. Bank PDFCI 1.995.000 -
4. Bank Tiara Asia 2.978.093 -
5. Bank Nusa Nasional/BNN 3.020.319 -
Sub Total 57.639.215
III. BANK BEKU KEGIATAN USAHA (BBKU)
1. Bank Aken 301.318 Indra Haryono SE
2. Bank Asia Pacific 2.054.975 Thomas Suyatno
3. Bank Baja Internasional 35.769 Riyanto
4. Bank Central Dagang 1.403.491 Sam Handojo
5. Bank Dagang Industri 481.548 Prof DR. H Sukamdani SG
6. Bank Danahutama 184.818 Sofjan Wanandi
7. Bank Dewa Rutji 609.408 Rudolf Kasenda
8. Bank Ficorinvest 917.853 Deddy Nurjaman
9. Bank Indonesia Raya 4.018.236 Atang Latief
10. Bank Intan 401.548 Fadel Muhammad
11. Bank Lautan Intan 240.817 Ulung Bursa
12. Bank Papan Sejahtera 928.911 Hasim S. Djojohadikusumo
13. Bank Pesona (d/h Bank Utama) 2.334.896 Sigit Harjojudanto
14. Bank Putra Surya Perkasa 1.938.945 Slamet S. Gondokusumo
15. Bank Tata Internasional 221.276 Ny. Susilawati Wijaya NG
16. Bank Umum Sertivia 361.976 Rijanto Sastroatmodjo
17. Bank Upindo 242.956 Miranda S Gultom
18. Sewu Internasional Bank 642.247 Dasuki Angkosubroto
Sub Total 17.320.988
Korupsi dan Penyelewengan BLBI 43 /
(dalam juta rupiah)
IV. BANK DALAM LIKUIDASI (BDL)
1. Bank Anrico 210.081 Prof. Harun Alrasjid Zain
2. Bank Astria Raya 578.918 Henry Liem
3. Bank Citrahasta Danamanunggal 201.802 Suyoso Sukarno
4. Bank Dwipa Semesta 110.105 Dr Yoga Sugomo
5. Bank Guna Internasional 251.055 Letjen TNI (Purn) Sutopo Yuwono
6. Bank Harapan Sentosa 3.866.182 Hendra Rahardja
7. Bank Industri 511.470 Hasim Djojohadikusumo
8. Bank Jakarta 210.994 H. Probosutedjo
9. Bank Kosagraha Semesta 201.812 Setiawan Chandra
10. Bank Mataram Dhanarta 336.763 Sri Sultan HB X
11. Bank Pacific 2.133.366 Hendrik Willem T
12. Bank Pinaesaan 681.084 HR Rembert
13. Bank Umum Majapahit Jaya 8.555 Roy E. Tirtadji
14. Sejahtera Bank Umum 1.687.350 Hasudungan Tampubolon
15. South East Asia Bank 899.399 Tidjan Ananto
Sub Total 11.888.936
TOTAL 144.536.086
*)
*) Angka dari BI adalah Rp 144.536.094.294.530, perbedaan terjadi karena
pembulatan.
44 Korupsi dan Penyelewengan BLBI /
No. NAMA BANK
TOTAL BLBI
(dalam juta Rp)
TOTAL
(dalam juta Rp)
I BANK BEKU OPERASI (BBO)
1. Bank Centris Internasional 629.624 629.624
2. Bank Dagang Nasional Indonesia 37.039.766 36.359.270
3. Bank Deka 152.918 152.918
4. Bank Hokindo 214.228 214.228
5. Bank Istimarat Indonesia 520.236 520.236
6. Bank Modern 2.557.693 2.557.693
7. Bank Pelita 1.989.832 1.989.832
8. Bank Subentra 860.853 860.853
9. Bank Surya 1.653.836 1.653.836
10. Bank Umum Nasional 12.067.961 12.067.961
Sub Total 57.686.947 57.686.947
II BANK TAKE OVER (BTO)
1. Bank Central Asia 26.596.277 26.596.277
2. Bank Danamon Indonesia 23.049.526 23.049.526
3. Bank PDFCI 1.995.000 1.995.000
4. Bank Tiara Asia 2.978.093 2.978.093
5. Bank Nusa Nasional/BNN 3.020.319 3.020.319
Sub Total 57.639.215 57.639.215
III BANK BEKU KEGIATAN USAHA (BBKU)
1. Bank Aken 301.318 301.318
2. Bank Asia Pacific 2.054.975 2.054.975
3. Bank Baja Internasional 35.769 35.769
4. Bank Central Dagang 1.403.491 1.403.491
5. Bank Dagang Industri 481.548 481.548
6. Bank Danahutama 184.818 184.818
7. Bank Dewa Rutji 609.408 609.408
8. Bank Ficorinvest 917.853 917.853
9. Bank Indonesia Raya 4.018.236 4.018.236
10. Bank Intan 401.548 401.548
11. Bank Lautan Berlian 240.817 240.817
12. Bank Papan Sejahtera 928.911 928.911
13. Bank Pesona (d/h Bank Utama) 2.334.896 2.334.896
14. Bank Putra Surya Perkasa 1.938.945 1.938.945
15. Bank Tata Internasional 221.276 221.276
16. Bank Umum Sertivia 361.976 361.976
17. Bank Upindo 242.956 242.956
18. Sewu Internasional Bank 642.247 642.247
Sub Total 17.320.988 17.320.988
Lampiran3
Daftar Potensi Kerugian Negara dalam Penyaluran BLBI
berdasarkanBank Penerima per 29 Januari 1999
Korupsi dan Penyelewengan BLBI 45 /
IV BANK DALAM LIKUIDASI (BDL)
1. Bank Anrico 210.081 9.804
2. Bank Astria Raya 578.918 456.969
3. Bank Citrahasta Danamanunggal 201.802 158.404
4. Bank Dwipa Semesta 110.105 103.135
5. Bank Guna Internasional 251.055 0
6. Bank Harapan Sentosa 3.866.182 1.766.590
7. Bank Industri 511.470 232.346
8. Bank Jakarta 210.994 0
9. Bank Kosagraha Semesta 201.812 154.940
10. Bank Mataram Dhanarta 336.763 283.265
11. Bank Pacific 2.133.366 1.925.514
12. Bank Pinaesaan 681.084 411.118
13. Bank Umum Majapahit Jaya 8.555 8.555
14. Sejahtera Bank Umum 1.687.350 231.415
15. South East Asia Bank 899.399 733.317
Sub Total 11.888.936 6.475.372
TOTAL 144.536.086 138.442.026
46 Korupsi dan Penyelewengan BLBI /
NO NAMA BANK
JUMLAH TEMUAN
(dalam juta Rp)
I BBO
1. Bank Centris Internasional 294.634
2. Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI) 24.472.424
3. Bank Deka 105.668
4. Bank Hokindo 202.317
5. Bank Istimarat 60.743
6. Bank Modern 666.583
7. Bank Pelita 1.066.308
8. Bank Subentra 515.738
9. Bank Surya 281.196
10. Bank Umum Nasional (BUN) 5.093.545
II BTO
1. Bank Central Asia (BCA) 15.818.750
2. Bank Danamon 13.803.739
3. Bank Nusa Nasional/BNN 1.192.494
4. Bank PDFCI 982.222
5. Bank Tiara Asia 2.216.691
III BBKU
1. Bank Aken 127.322
2. Bank Asia Pacific (ASPAC) 850.467
3. Bank Baja Internasional 17.683
4. Bank Central Dagang (BCD) 1.554.565
5. Bank Dagang dan Industri (BDI 215.033
6. Bank Danahutama 88.282
7. Bank Dewa Rutji 459.580
8. Bank Ficorinvest 305.682
9. Bank Indonesia Raya (BIRA) 3.659.486
10. Bank Intan 103.458
11. Bank Lautan Berlian 18.103
12. Bank Papan Sejahtera 539.434
13. Bank Pesona (d/h Bank Utama) 2.042.095
14. Bank Putra Surya Perkasa (PSP) 1.875.575
15. Bank Sewu 494.891
16. Bank Tata 348.526
17. Bank Umum Sertivia 911.002
18. Bank Upindo 633.708
Lampiran4
Daftar Potensi Kerugian Negara dalam Peyimpangan Penggunaan
BLBI berdasarkanBank Penerima per 29 Januari 1999
Korupsi dan Penyelewengan BLBI 47 /
IV BDL
1. Bank Anrico -
2. Bank Astria Raya 162.741
3. Bank Citrahasta Danamanunggal 4.181
4. Bank Dwipa Semesta 32.021
5. Bank Guna Internasional 2.251
6. Bank Harapan Sentosa 539.486
7. Bank Industri 183.458
8. Bank Jakarta 85.353
9. Bank Kosagraha Semesta 22.134
10. Bank Mataram Dhanarta 17.909
11. Bank Pacific 2.249.785
12. Bank Pinaesaan 213.106
13. Bank Sejahtera Bank Umum (SBU) 151.668
14. Bank South East Asia Bank (SEAB) 154.403
15. Bank Umum Majapahit 5.722
885.784
-
IKHTISAR
JUMLAH BBO (10 Bank) 32.759.156
JUMLAH BTO (5 Bank) 34.013.896
JUMLAH BBKU (18 Bank) 14.244.892
JUMLAH BDL (15 Bank) 3.824.218
JUMLAH (48 Bank ) 84.842.162
48 Korupsi dan Penyelewengan BLBI /
Bab 4
INKONSISTENSI
PENEGAKAN HUKUM
DALAM KASUS BLBI
Marwan Batubara
Pada bagian sebelumnya, telah dinyatakan bahwa pengucuran BLBI
sarat dengan berbagai penyimpangan dan penyelewengan, hampir pada
setiap bentuk fasilitas yang diberikan. Akibat berbagai penyimpangan
tersebut, negara harus menanggung kerugian sangat besar, yang jika ditotal
secara keseluruhan, termasuk untuk program obligasi rekapitalisasi dan
bunganya, setidaknya mencapai lebih dari Rp 600 triliun. Dampaknya pun
masih harus ditanggung rakyat saat ini dan bahkan hingga beberapa waktu
yang akandatang.
Dengan dampak yang luar biasa tersebut, sangat wajar dan logis jika
pemerintah melakukan penanganan kasus BLBI secara sangat serius dan
meletakkannya sebagai prioritas utama agenda pemerintah. Hal ini terutama
agar uang negara yang telah terkucurkan dalam jumlah besar tersebut dapat
kembali, sehingga dapat digunakan untuk mengurangi beban berat
Inkonsistensi Penegakan Hukum dalam Kasus BLBI 49 /
pembayaran utang pemerintah dalam APBN (yang sebagian besarnya juga
merupakanakibat dari perbuatanpara koruptor BLBI tersebut).
Keseriusan penanganan kasus BLBI seharusnya dapat terlihat dari
jumlah koruptor BLBI yang berhasil diadili dan dimintakan
pertanggungjawaban. Keseriusan itu juga seharusnya terlihat dari
pemberian sanksi hukum setimpal yang dikenakan kepada masing-masing
koruptor. Terakhir, adalah pada bagaimana mereka menyelesaikan
kewajiban-kewajibanpembayaranutang mereka kepada pemerintah.
Namun, pada kenyataannya proses penyelesaian kasus BLBI sama
sekali jauh dari indikasi keseriusan itu. Bahkan, proses itu sangat nyata
menampakkan ketidakadilan. Untuk memperoleh kembali uang negara yang
telah dikucurkan, pemerintah dengan sangat mudah memberikan
keringanan bagi obligor BLBI, seperti antara lain dengan memangkas
jumlah utang tunai yang harus dibayar dan membebaskan mereka dari
tuntutan hukum. Padahal, hasil yang didapat pun tidak maksimal, karena
tingkat pengembalian uang BLBI (termasuk obligasi rekap) nyatanya hanya
berkisar 28%saja.
Pemberian keringanan bagi obligor BLBI juga melanggar hukum dan
peraturan perundang-undangan yang ada. Hukum menghendaki
diberikannya perlakuan yang sama kepada semua orang, tanpa pandang
bulu. Sementara itu, berbagai fasilitas yang diberikan pemerintah kepada
obligor BLBI jelas menunjukkan tidak digunakannya asas tersebut.
Bagaimana mungkin para obligor diberikan kemudahan, padahal mereka
adalahpihak yang telahmenyebabkankerugianbesar bagi negara?
Tulisan ini dan dua bab berikutnya akan menguraikan sejumlah
ketidakadilandaninkonsistensi penegakanhukumdalampenyelesaiankasus
BLBI. Disini penulis hendak menunjukkan bahwa proses penegakan hukum
dalam kasus BLBI selama ini tidak memenuhi asas-asas kepatutan maupun
keadilan. Sebaliknya, penegakan hukum dalam kasus BLBI justru sarat
dengan kompromi, inkonsistensi, dan bahkan manipulasi. Padahal, tindakan
penyelewengan BLBI yang dilakukan para obligor jelas merupakan tindak
pidana yang harus diproses sepenuhnya secara hukum.
Karena itulah, fasilitas-fasilitas pengampunan yang diberikan
pemerintah kepada para obligor, seperti mekanisme PKPS (Penyelesaian
Kewajiban Pemegang Saham) dapat dinyatakan sebagai langkah yang
50 Inkonsistensi Penegakan Hukum dalam Kasus BLBI /
mengabaikan dan tidak menghormati otoritas hukum. Terlebih lagi
kebijakan pemberian (R & D), yaitu penghapusan status
tindak pidana bagi para obligor kelas kakap yang telah melunasi sebagian
kecil utangnya. Hal ini jelas merupakan pelecehan dan penghinaan terhadap
supremasi hukum yang tidak akan pernah dapat dibenarkan dalam sebuah
negara bersendikanhukum seperti Indonesia.
Sebelumbentuk-bentuk inkonsistensi hukumdalampenyelesaian kasus
BLBI diuraikan, perlu disinggung terlebih dulu istilah mengenai .
Hal ini diperlukan, mengingat konsep kerap disebut sebagai
pijakanargumentasi dari pemberianampunkepada para obligor BLBI.
Istilah berasal dari bahasa Perancis yang secara literal berarti
kekuatan yang lebih besar . Istilah ini sering digunakan dalam
kontrak untuk menyatakan bebasnya salah satu atau kedua belah pihak
dalam kontrak, dari beban atau kewajiban jika terjadi hal-hal atau keadaan
luar biasa yang berada di luar kendali pihak-pihak yang berkontrak. Keadaan
luar biasa yang dimaksud mencakup antara lain perang, demonstrasi,
kerusuhan, dan /bencana alam (gempa bumi, banjir, gunung
meletus dansebagainya).
Dasar pembebasan para pihak dari kewajiban ini adalah karena situasi-
situasi dianggap merupakan penghalang bagi salah satu atau
kedua belah pihak untuk melaksanakan kewajibannya. Sehingga, dengan
pencantuman ketentuan mengenai , pihak-pihak yang
berkontrak dapat berlepas diri dari kewajiban jika terjadi hal-hal di luar
perhitungan atau kendali manusia. Meski demikian, aturan ini sama sekali
tidak dimaksudkan untuk membenarkan tindakan penghindaran atau
pelepasan diri dari tanggung jawab pihak yang berkontrak dalam memenuhi
kewajibannya.
Dalam kasus BLBI, bank-bank dan obligor penerima BLBI kerap
berlindung dibalik alasan untuk melepaskan diri dari tanggung
jawab memenuhi kewajiban membayar seluruh utang-utangnya kepada
pemerintah. Hal ini karena, menurut mereka, krisis moneter (yang membuat
mereka menerima kucuran BLBI) merupakan kondisi keterpaksaan yang
release and discharge
(rechstaat)
force majeure
force majeure
force majeure
(greater force)
act of God
force majeure
force majeure
force majeure
Force Majeure sebagai Alasan Bangkrutnya Perbankan
Inkonsistensi Penegakan Hukum dalam Kasus BLBI 51 /
tidak dapat dihindari. Atau dengan kata lain, krisis moneter merupakan
, sehingga sudah sewajarnya mereka menerima uluran bantuan dari
pemerintah melalui program BLBI untuk menyelamatkan diri dari krisis.
Atas dasar alasan itu pula, hendak diyakinkan bahwa bangkrutnya
perbankan meskipun telah menerima kucuran BLBI adalah sesuatu yang
harus ditanggung bersama sebagai ongkos krisis.
Padahal, argumentasi-argumentasi tersebut jelas tidak sepenuhnya
benar (bahkan sangat kental dengan aspek ), dan harus
dipertanyakanlebihjauh.
Hasil pemeriksaan BPK, misalnya, menemukan bahwa kolapsnya
perbankan pada tahun 1998 (sehingga menyebabkan dana BLBI tidak
banyak membantu dalam menyehatkan kondisi perbankan) ternyata lebih
disebabkan oleh faktor lemahnya sistem pembinaan dan pengawasan bank
oleh BI. Bentuk-bentuk lemahnya pengawasan BI tersebut mencakup
pelanggaran BMPK (Batas Maksimum Pemberian Kredit) dan pemberian
kesempatan kepada bank-bank untuk melakukan proses kliring meskipun
rekening gironya di BI telahbersaldonegatif.
Selain itu, anggapan bahwa krisis moneter yang terjadi di Indonesia
merupakan peristiwa a juga dapat dibantah. Seperti diketahui, krisis
yang melanda Indonesia pada tahun 1998 bermula di Thailand pada tahun
1997. Secara bertahap, krisis baru kemudian menyebar ke wilayah-wilayah di
sekelilingnya, termasuk Indonesia. Karena itulah, menurut pengacara senior
Frans Hendra Winarta, krisis moneter di Indonesia tidak dapat
dikategorikan sebagai . Menurut Frans, terjadinya krisis moneter di
Indonesia merupakan hal yang dapat diprediksi Sehingga,
antisipasi terhadap terjadinya krisis juga sudah sewajarnya merupakan
tanggung jawabpihak-pihak terkait.
Ketidakadilan dalam kasus BLBI sangat nampak dari proses
penyelesaian yang dilakukan pemerintah untuk menuntaskan kasus ini.
Walaupun uang yang dikucurkan pemerintah melalui BLBI demikian besar,
namun penyelesaiannya ternyata tidak dilakukan secara serius, konsekuen,
dan mempertimbangkan aspek keadilan masyarakat. Pemerintah justru
act of
God
moral hazard
ct of God
act of God
(predictable).
Penyelesaian Kasus BLBI melalui Mekanisme PKPS
52 Inkonsistensi Penegakan Hukum dalam Kasus BLBI /
memberikan banyak kemudahan dan fasilitas yang meringankan para
obligor BLBI dalam membayar dan melunasi utang-utangnya kepada
negara.
Pemberian sejumlah fasilitas itu, seperti dinyatakan pemerintah,
bertujuan agar pengembalian uang negara oleh para bankir dapat terealisasi
secara maksimal. Sehingga, fokusnya adalah agar uang pinjaman yang
dikucurkanmelalui BLBI dapat ditarik kembali ke kas negara.
Logika ini sekilas mungkin terdengar realistis, namun jelas mengandung
ketidakadilan. Obsesi untuk memperoleh kembali uang negara justru seakan
meremehkan tindakan hukum yang seharusnya diberlakukan kepada para
obligor yang telah melanggarnya. Asalkan para obligor mengembalikan
uang, kasus hukum ditutup. Para penikmat uang rakyat itu pun dapat
melenggang bebas tanpa konsekuensi hukumapapun.
Apalagi, ternyata fasilitas yang sudah sangat murah hati tersebut
disalahgunakan juga oleh para obligor dengan melakukan berbagai
manipulasi, seperti penyerahan aset-aset fiktif dan sebagainya. Sehingga,
tujuan untuk memperoleh pengembalian uang negara pun pada akhirnya
tidak tercapai, danobligor bebas tanpa sanksi pidana.
Untuk jelasnya, berikut akan dipaparkan sejumlah langkah yang
dilakukan pemerintah dalam penyelesaian kasus BLBI dan fasilitas yang
diberikan kepada para obligor BLBI dalam rangka pelunasan utang-
utangnya.
Dalam rangka mengoptimalkan pengembalian dana BLBI ke kas
negara, pemerintah melalui BPPN membuat beberapa langkah, yang pada
intinya berbentuk tiga hal sebagai berikut:
Mengalihkan kewajiban bank menjadi kewajiban pemegang saham
pengendali (pemilik bank). Perjanjian ini khususnya diberlakukan
bagi bank-bank beku operasi (BBO) dan bank beku kegiatan usaha
(BBKU). Pemerintah, bersama pemegang saham bank-bank
tersebut menandatangani perjanjian yang dinamakan sebagai
(MSAA) dan
(MRNIA).
Mengkonversi BLBI menjadi Penyertaan Modal Sementara (PMS).
Pola ini diberlakukanpada bank-bank (BTO).

Master Settlement and Acquisition Agreement Master


Refinancing Agreement and Note Issuance Agreement
take over
Inkonsistensi Penegakan Hukum dalam Kasus BLBI 53 /
Mengalihkan utang bank ke pemegang saham pengendali, melalui
penandatangananAkta PengakuanUtang (APU).
Sejalan dengan langkah-langka di atas, ada beberapa pola perjanjian
yang dibuat pemerintah dengan obligor dalam rangka penyelesaian kasus
BLBI, yaitu :
Skema ini digunakan pada penerima BLBI yang asetnya dinilai mampu
mencukupi pembayaran seluruh kewajiban-kewajibannya. MSAA
dibedakan menjadi dua jenis, yaitu terhadap pemegang saham pengendali
BBKU dan BTO. Berdasarkan skema ini, obligor BLBI diberikan jangka
waktu 4 tahun untuk menyerahkan aset-asetnya kepada negara sebagai
bentuk pelunasan utang-utangnya. MSAA dikritik keras sejumlah kalangan
karena dinilai terlalu meringankan obligor dan banyak terjadi pelanggaran
dalampelaksanaannya. Aset-aset yang diserahkan para obligor BLBI kepada
negara, pada kenyataannya, jauh lebih rendah daripada nilai kewajiban yang
harus dibayarnya. Hal ini karena para obligor me- nilai aset yang
diserahkannya kepada negara. Diantara bank yang memasuki perjanjian ini
adalah Bank Central Asia (BCA), Bank Umum Nasional, Bank Dagang
Nasional Indonesia, Bank Surya, danBank RisyadSalimInternasional.
Skema ini digunakan pada penerima BLBI yang nilai asetnya tidak
mencukupi pembayaran seluruh kewajiban-kewajibannya. Berdasarkan
skema ini, selain menyerahkan aset-aset yang dimilikinya, penandatangan
(obligor) juga harus menyerahkan jaminan pribadi ( ) dan
menyatakan kesediaan untuk menyerahkan tambahan aset jika aset yang
sudah diserahkan ternyata belum mencukupi. Jangka waktu yang diberikan
untuk pelunasan juga selama 4 tahun. Diantara bank yang menandatangani
perjanjian ini adalah Bank Modern, Bank UmumNasional, Bank Danamon,
danBank Hokindo.
Skema ini merupakan revisi dari model MSAA, sehingga inti perjanjian
sama dengan model tersebut, hanya saja pemegang saham pengendali harus
bertanggung jawab jika aset yang diserahkan ternyata tidak mencukupi
untuk melunasi pembayaran kewajibannya (mengembalikan dana BLBI
MSAA(
MRNIA(
APU (Akta PengakuanUtang)
MasterSettlement andAcqusitionAgreement)
MasterRefinancingandNotes IssuanceAgreement)
mark up
personal guarantee
54 Inkonsistensi Penegakan Hukum dalam Kasus BLBI /
yang diterima). Berdasarkan APU, pemegang saham harus menyelesaikan
kewajiban-kewajibannya secara tunai dan berkala dalam jangka waktu yang
ditentukan. Dalam pelaksanaannya, karena banyaknya obligor yang gagal
memenuhi target penyelesaian, sebagian skema APU telah direformulasi,
dimana jumlah kewajiban yang harus dibayar pemegang saham (JKPS)
dihitung ulang. Bank-bank yang menandatangani perjanjian ini adalah Bank
Bumi Raya Utama, BIRA, Bank Sewu, Bank Hastin, Bank Tata, Bank
Namura Yasonta, Bank Indotrade, Bank Putera, Bank Baja, Bank Lautan
Berlian, Bank Papan Sejahtera, Bank Yama, Bank Tamara, Bank Nusa
Nasional, Bank Intan, Bank PSP, Bank Namura Maduma, Bank
Metropolitan, Bank Umum Servitia, Bank Aken, Bank Mashill, dan Bank
Sanho.
Sejumlah pihak menilai skema-skema perjanjian di atas sesungguhnya
merugikan posisi pemerintah. Skema tersebut, misalnya, memungkinkan
obligor untuk menggelembungkan nilai asetnya, sehingga tidak sebanding
dengan jumlah kewajiban yang harus dibayarnya. Hal itu dapat terjadi karena
dalam perjanjian, kewajiban para obligor cukup dinyatakan dalam bentuk
pernyataan dan jaminan Obligor terlepas dari
kewajiban untuk menambah jumlah aset yang diserahkannya ke BPPN jika
ternyata ditemukan nilai aset tersebut di bawah estimasi awal. Akibatnya,
ditemukan aset yang diserahkan para obligor hanya sekitar 28
persendari nilai yang dinyatakannya.
Penyerahan aset-aset tersebut juga dinilai sebatas formalitas belaka,
mengingat pengelolaan aset tetap dilakukan pemilik lama (yaitu obligor
BLBI). Hal ini dikarenakan BPPN sebagai pihak yang diserahkan aset tidak
memiliki kelengkapan organisasi dan SDM yang diperlukan untuk
mengelola aset-aset tersebut. Artinya, secara , aset tetap di tangan
pemilik lama. Para pemilik lama tersebut, bahkan diberi gaji untuk mengurus
aset-asetnya. Karena itu, kesepakatan ini jelas sangat menguntungkan posisi
obligor.
(representation and warranties).
recovery rate
de facto
Tabel 1
Inkonsistensi Penegakan Hukum dalam Kasus BLBI 55 /
Ketidakadilan dalam Penyelesaian Kasus BLBI
Selain skema-skema yang lebih banyak menguntungkan obligor seperti
diuraikan di atas, ketidakadilan dalam penyelesaian kasus BLBI ditambah
lagi dengan keluarnya Inpres No.8 Tahun 2002 tentang Pemberian Jaminan
Kepastian Hukum kepada Debitur yang Telah Menyelesaikan
Kewajibannya atau Tindakan Hukum kepada Debitur yang Tidak
Menyelesaikan Kewajibannya Berdasarkan PKPS. Inpres ini lebih dikenal
dengan nama Inpres (R & D). Disebut demikian karena Release and Discharge
Keterangan MSAA MRNIA APU
Jangka Waktu 4 Tahun 4 Tahun 4 Tahun
Aset yang
Diserahkan
Sebagai Mekanisme
Penyelesaian
Kewajiban (Asset
Settlement)
Sebagai
Jaminan
Sebagai Jaminan
Kewajiban
Pemegang Saham
Sebatas Pernyataan
dan Jaminan yang
Disepakati dalam
Perjanjian
Sejumlah
Kewajiban
Melalui
Mekanisme
Jaminan Pribadi
(Personal
Guarantee)
Sejumlah
Kewajiban Melalui
Akta Pengakuan
Utang yang
Diterbitkan oleh
Pemegang Saham
Pembayaran Bersumber dari
Penjualan Aset yang
Dikuasai Pemerintah
Pemegang
Saham, Tapi
Tidak Ditetapkan
Secara Berkala
Pembayaran Pokok
dan Bunga Secara
Berkala
Tingkat Bunga - 20% per tahun SBI + 3% per tahun
Keterangan Lain Dibentuk Perusahaan
Induk untuk
Memonitor Proses
Penjualan Aset yang
Diserahkan
Dibentuk
Perusahaan
Induk untuk
Memonitor
Proses
Penjualan Aset
yang Diserahkan
Menggunakan
Prinsip "Co-
Debtor", Debitur
(Perusahaan) dan
Pemegang Saham
Menjadi Pengutang
Bersama
Sumber: I Putu Gede Arysuta, sebagaimana dimuat dalam Laporan
, Indonesia Corruption Watch, 2006.
Position Paper
Penyelesaian HukumKasus BLBI
Tabel 1
Struktur PerjanjianPKPS
56 Inkonsistensi Penegakan Hukum dalam Kasus BLBI /
Inpres ini pada dasarnya berisi instruksi pada sejumlah menteri dan
pejabat, khususnya di bidang ekonomi dan hukum (yaitu Menko Bidang
Perekonomian, Menteri Kehakiman dan HAM, Meneg BUMN, Jaksa
Agung, Kepala KepolisianRI, danKetua BPPN) untuk mengambil langkah-
langkah yang diperlukan untuk menyelesaikan seluruh kewajiban para
pemegang saham(obligor BLBI) kepada BPPN.
Namun, dalam rangka percepatan penyelesaian kewajiban tersebut,
pemerintah justru menetapkan peraturan yang sangat meringankan obligor,
yaitu bahwa mereka
dan membayar 70% sisanya dengan
sertifikat hak bukti kepada BPPN untuk memperoleh Surat Keterangan
Lunas (SKL). Dengan memegang SKL, semua obligor dibebaskan dari
tuntutan pidana.
Berbagai fasilitas tersebut tentu saja menunjukkan ketidakadilan Inpres
ini. Inpres ini sekaligus menunjukkan proses penegakan hukum dapat
dikorbankan oleh keputusan politik. ICW mencatat, akibat Inpres R & D,
Kejaksaan menghentikan proses penyidikan terhadap sekitar 10 tersangka
korupsi BLBI di tahun2004.
Sampai kini, proses penyelesaian kasus BLBI tidak juga berhasil
dituntaskan pemerintah (yang juga telah sekian kali berganti). Sejumlah
kasus hukum masih menunggu penyelesaian dan keputusan akhir dari
pengadilan. Menurut ICW, saat bubarnya, BPPN mewariskan 1.361 kasus
hukumyang meliputi 447 obligor dengan nilai utang mencapai Rp 25 triliun.
Dari 1.361 kasus hukum tersebut, sebanyak 178 kasus (13%) dimenangkan
BPPN, 56 perkara (4%) dimenangkan obligor, dan sejumlah 1.100 kasus
(81%) masih dalam proses di berbagai tingkat peradilan, baik banding
maupunkasasi.
Sementara itu, dari sekitar Rp 600 triliun dana BLBI dan rekapitalisasi
perbankan yang dikucurkan pemerintah, uang yang telah kembali adalah
Inpres ini membebaskan obligor BLBI dari semua tuntutan hukum
apabila mereka bersedia membayar sebagiankewajibannya.
cukup membayar secara tunai 30% saja dari
keseluruhan kewajiban mereka
Bahkan, mereka yang sedang dalam proses
penyidikan, akan memperoleh SP 3 (Surat Penghentian Pengusutan
Perkara). Sedangkan, bagi mereka yang telah memasuki proses di
pengadilan, SKL akan dijadikan sebagai atau bukti baru yang
akanmembebaskanmereka.
novum
Inkonsistensi Penegakan Hukum dalam Kasus BLBI 57 /
sebesar Rp 152,4 triliun, yang terdiri dari setoran tunai Rp 107,67 triliun,
obligasi Rp 14,994 triliun, tunai non APBN sejumlah Rp 9,7 triliun, dan
obligasi daur ulang ( ) sebesar Rp20,541 triliun.
Dalam upayanya menyelesaikan kasus BLBI, pemerintah (khususnya di
masa kepemimpinan Megawati) justru telah melakukan pelanggaran hukum
sangat serius. Pelanggaran itu adalah dikeluarkannya Instruksi Presiden No.
8/2002 tentang (R&D).
Inpres ini menginstruksikan segenap menteri dan pejabat terkait di
pemerintahan untuk mengambil langkah-langkah yang diperlukan bagi
penyelesaian kewajiban pemegang saham dalam rangka penyelesaian
seluruh kewajibannya kepada BPPN berdasarkan perjanjian MSAA,
MRNIAdanAPU
Seperti telah disebutkan di atas, dalam salah satu butirnya, Inpres ini
menginstruksikan agar obligor yang telah membayar utangnya secara tunai
sebesar minimum 30% dan bersedia membayar sisanya dengan sertifikat
bukti kepada BPPN, diberikan Surat Keterangan Lunas (SKL). Dengan
memegang SKL, mereka yang diperiksa dalam proses penyidikan akan
diberikan SP3 (Surat Penghentian Penyidikan Perkara), dan mereka yang
tengah diproses di pengadilan dapat dibebaskan dengan menjadikan SKL
sebagai atau bukti baru.
Dengan kata lain, Inpres ini pada intinya memberi putusan bebas bagi
obligor BLBI yang telah memenuhi skema penyelesaian utang yang
ditentukan pemerintah, meskipun mereka telah melakukan pelanggaran
hukumsekalipun.
Karena itu, melalui penerbitan Inpres R & D, pemerintah (saat itu
dipimpin Megawati) jelas telah
(persamaan kedudukan di mata hukum) Mereka yang telah melakukan
tindak pidana, dapat dibebaskan dari jerat hukum hanya karena membayar
kewajibannya (itupun hanya 30% saja). Padahal, pembayaran kewajiban
merupakan bagian dari proses penyelesaian pada aspek perdata yang tidak
dapat menghapus tindak pidana yang telahdilakukan.
recycled bonds
Release and Discharge
.
novum
Pelanggaran Hukum dalam Inpres No. 8/2002 tentang
Release and Discharge
melanggar prinsip
.
equality before the law
58 Inkonsistensi Penegakan Hukum dalam Kasus BLBI /
Dengan penerbitan Inpres ini, pemerintah juga dinilai telah melakukan
intervensi terhadap kekuasaan yudikatif karena memerintahkan
penghentian proses hukum yang sedang berlangsung. Kasus BLBI yang
merupakan kasus pidana, diselesaikan oleh Presiden Megawati hanya
denganpendekatankekuasaansemata.
Dapat dinyatakan, sejumlah ketentuan hukum yang secara nyata
dilanggar oleh Inpres No. 8 Tahun 2002 antara lain mencakup Pasal 1 Ayat 3
UUD1945, Tap MPRNo. IX/MPR/1998, Tap MPRNo. VIII/MPR/2001,
Tap MPRNo. X/MPR/2001, Pasal 4 UUNo. 31 Tahun 1999, Pasal 2 Ayat 1
UU No. 5 Tahun 1991, dan beberapa pasal dalam KUHP (penjelasan lebih
rinci tentang ketentuanyang dilanggar tersebut akandiuraikandalamBab7).
Berdasarkan hal-hal tersebut, maka keberadaan Inpres No. 8 Tahun
2002 tentang R & D dapat dinyatakan . Mahkamah Agung
sudahsepatutnya membatalkan Inpres ini dan membatalkan pula pemberian
fasilitas kepada para obligor BLBI, termasuk
membatalkan SP3 yang dikeluarkan Kejaksaan Agung. Perlu dicatat,
pemberian Surat Keterangan Lunas (SKL) kepada obligor yang telah
menyelesaikan kewajibannya hanya dapat menghilangkan aspek
keperdataannya saja. Sedangkan, secara pidana, proses hukum terhadap
obligor BLBI tetap harus dilaksanakan hingga tahap persidangan di
pengadilan.
Kalaupun pemerintah tetap merasa perlu untuk memberi fasilitas
keringanan bagi obligor yang kooperatif (dengan tujuan agar pengembalian
uang negara dapat cepat terlaksana), hal itu hanya dapat dimungkinkan
melalui mekanisme pemberian grasi dari Presiden setelah ada putusan
hukum di pengadilan yang berkekuatan hukum tetap dan obligor
telah mengembalikan seluruh utangnya. Artinya, obligor tetap harus
mengikuti proses hukum dan memperoleh vonis pengadilan terlebih dulu,
setelah itu baru dapat diberikan keringanan atau dibebaskan dari hukuman.
Pemberian grasi merupakan hak prerogatif Presiden sehingga bukan
merupakanintervensi terhadapkekuasaanyudikatif.
Sampai saat ini, penyelesaian hukum kasus BLBI belum juga tuntas
meskipun sudah melalui empat kali pergantian masa pemerintahan. Hal ini
mengindikasikan kasus BLBI tak lepas dari keterlibatan sejumlah oknum
cacat hukum
release and discharge
(inkracht)
Inkonsistensi Penegakan Hukum dalam Kasus BLBI 59 /
pejabat di eksekutif, legislatif dan yudikatif. Termasuk pula, indikasi
olehoknumpenegak hukumdi pengadilan.
judicial
corruption
60 Inkonsistensi Penegakan Hukum dalam Kasus BLBI /

Anda mungkin juga menyukai