Ramai-ramai
Merampok Negara
Marwan Batubara
Kwik Kian Gie
Dr. Frans Hendra Winarta, SH., MH.
Dr. Ahmad Erani Yustika
Dr. M. Fadhil Hasan
Dr. Hendri Saparini
Aviliani
Hak cipta dilindungi Undang-undang
Dilarang memperbanyak sebagian atau keseluruhan isi buku ini
tanpa seizin penerbit
Skandal BLBI:
Ramai-ramai
Merampok Negara
Marwan Batubara, dkk
Penerbit
Haekal Media Center
Januari 2008
Judul Buku:
Penulis:
PenyusunNaskah:
Wahyutama, ShalihanEdwar
M. Ikrar Dinata, Deni Wigunadi
Penyunting Naskah:
Wahyutama, ShalihanEdwar
Gumanti
Tata letak isi:
ShalihanEdwar
DesainCover:
TimHaekal Media Center
Penerbit:
Haekal Media Center
HP. 0816 23 0065, 0856 9765 3043
E-mail:
CetakanKedua, Maret 2008
ISBN: 978-979-15667-5-9
Skandal BLBI:
Ramai-ramai MerampokNegara
MarwanBatubara, dkk
haekal_mc@yahoo.co.id
Sri-Edi Swasono (Guru Besar Fakultas Ekonomi UI)
Rakyat telah menggugat, rakyat mulai mendesak, pemerintah pun
bergeming terhadap skandal Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyatakan tentang adanya upaya
pihak-pihak tertentu yang menghalangi pemerintahmemberantas korupsi.
Skandal BLBI adalah kasus penjarahan Indonesia, merampok rakyat,
meleceh negara, suatu persekongkolan luar biasa sepanjang sejarah
perbankan modern antara oknum-oknum pemerintahan yang menjadi
koruptor dengan para koruptor yang mendikte pejabat pemerintah. Ini
merupakan kejahatan akbar di dunia perbankan yang tidak ada duanya di
dunia.
Skandal BLBI dapat kita kategorikan sebagai suatu konspirasi global,
dengan sasaran untuk melumpuhkan Indonesia agar
selanjutnya mempermudah penaklukkan teritorial dan pengurasan kekayaan
Indonesia. Skenario pelumpuhan ini adalah awal dari upaya brutal untuk
menciptakanketergantungandanketertundukan.
(disempowering)
Kata
Pengantar
vii
Mengapa skenario global sejahat ini dapat berjalan begitu lancar? Ada
macam-macam jawaban dan penjelasan. Di dalam pengantar ini tidak
semuanya dapat dikemukakan. Namun yang paling pokok adalah hilangnya
patriotisme, nasionalisme, dan rasa berdaulat dari kepemimpinan nasional
kita dan tentu pula bersamaan dengan itu adalah mengganasnya globalisme-
imperialisme masing-masing dengan derivat-derivatnya. Satu sama lain
saling berkaitandansaling menumbuhkansinergisme kemalapetakaan.
Pemerintahan negara yang nepotistik, yang
mengabaikan meritokrasi dan tuntutan profesionalisme
merupakan awal segala malapetaka. Orang-orang medioker pun
bisa masuk ke dalampemerintah dan menikmati kewenangan dan kekuasaan
siap pakai. Dari sinilah kecerdikan dan kelicikan globalisme-imperialistik
memperoleh peluang lebih besar untuk melaksanakan skenario perampokan
danpenjarahan.
Dari dimensi lain, berkaitan dengan kejahatan akbar di atas, barangkali
menyangkut pula persistensi budaya minder bangsa bekas rakyat terjajah ini,
yang sebagiannya cenderung untuk mudah dirayu dan dipecah-belah, maka
jadilah itu. Belahan adalah mereka yang kurang memiliki percaya diri,
lalu mengundang kembalinya penjajahan baru, yang yang masa
bodoh terhadap masa depan bangsa dan negara, yang di masa disebut
sebagai kelompok Belahan adalah mereka yang teguh
cita-cita, tetap bertahan dalam mempertahankan kemerdekaan dan
kedaulatan nasional, demi kebebasan, kebesaran dan kejayaan bangsa dan
negaranya, yang kita kenal sebagai kelompok nasionalis
Dengan latar belakang aneka absurditas di atas, yang bukan misteri atau
ilusi fiktif, maka terbentuklah ketertundukan birokrasi (barangkali juga
ketertaklukkan) untuk melaksanakan perintah orang yang ditakuti (IMF),
ibarat kerbau dicocok hidung. Mengawali serangkaian kebijakan bunuh diri
adalah sikap yang dengan serta merta melaksanakan
perintah IMF untuk melikuidasi 16 bank tanpa persiapan dan pertimbangan
matang tentang segala akibatnya pada awal November 1997, semata-mata
karena merasa tak berdaulat lagi, lalu menerima begitu saja hasil evaluasi dan
rekomendasi IMF/LoI 31 Oktober 1997.
adigang-adigung-adiguna
the right man in the
right place
pertama
hanging-loose,
doeloe
Co (NICA). yang lain
doeloe Republikein.
(series of suicidal policy)
***
viii
IMF jelas tidak berpengalaman dengan psikologi dan alam pikiran
masyarakat Indonesia. Oleh karena itu, kebijaksanaan melikuidasi 16 bank
itu, yang oleh IMF semula diharapkan dapat memulihkan kepercayaan
masyarakat terhadap perbankan, pastilah meleset. Akibatnya malahan
direspon oleh masyarakat secara sebaliknya. Masyarakat justru makin ragu,
makin dirongrong oleh lalu makin melakukan penarikan
danpengalihandana secara besar-besaran.
Perbankan Indonesia, yang lebih mengenal dan sangat berpengalaman
menangani psikologi masyarakat Indonesia, mestinya berani menolak saran
IMF ini. Namun keminderan terhadap IMF membuat para otoritas moneter
kita mudahtunduk dantakluk sebagai
Evaluasi dan rekomendasi IMF ternyata tidak saja keliru, tetapi malah
merupakan penyulut bagi makin meluasnya ketidakseimbangan antara
penarikan dan penerimaan perbankan. Makin banyak, bahkan
nyaris menyeluruh, terjadi saldo debet negatif pada giro-giro mereka di
Bank Indonesia.
Presiden Soeharto terperangkap pada skenario logis sebab-akibat ini,
diteror secara sistematis untuk lebih terjerumus. Dengan kenyataan kausal
terjadinya pembengkakan saldo debet di perbankan, maka pada tanggal 12
Desember 1997, Presiden Soeharto menyetujui Bank Indonesia menempuh
kebijakan pengganti saldo debet bank-bank dengan SBPUK (Surat
Berharga Pasar Uang Khusus) supaya tidak terjadi lagi likuidasi bank.
Namun, sebagaimana bisa diduga dari pengalaman-pengalaman
perbankan Indonesia masa lalu yang ringkih terhadap spekulasi dan
ketidakpastian, krisis justru makin memuncak, saldo debet makin meluas
dan berkelanjutan. Istana Negara makin terteror, tergiring ke arah jurang
pelumpuhan kegiatan ekonomi, meskipun harapan yang ada cukup rasional,
yaitu untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat pada perbankan. Para
pembantu Presiden tiarap, membiarkan Presiden tergencet dalam
kesendirian.
Dalam situasi krisis itu maka dikucurkanlah mekanisme kliring
baru, yaitu BLBI (Bantuan Likuidasi Bank Indonesia), berdasarkan
keputusan Rapat Kabinet 3 September 1997 yang dipimpin Presiden
uncertainties, (rush)
(bank-run)
the yes man.
(mismatch)
mismatch
***
ix
Soeharto, sebagai dana talangan pemerintah lewat Bank Indonesia untuk
perbankanyang bersaldodebet.
Tahap pertama BLBI (3 September 1997 29 Juni 1999) ditetapkan
sebesar Rp 144,536 triliun (kemudian membengkak menjadi Rp 164,536
triliun).
Pada tanggal 15 Januari 1998, kita semua melihat Camdessus
bersilang-tangan di dada, disertai sikap congkak seorang mandor mengawasi
Presiden Soeharto menandatangani LoI. Presiden Soeharto mestinya tak
seharusnya semacam itu, mestinya tidak dibiarkan terteror
sedahsyat itu, mengingat Prof. Widjojo Nitisastro berada tidak jauh berdiri
di situ.
Kelanjutan dari LoI itu adalah Keputusan Presiden No. 26/1998
tentang jaminan pemerintah untuk membayar seluruh kewajiban
perbankan, sebesar Rp 57,779 triliun, suatu program penjaminan yang
acapkali disebut sebagai Pemerintah melakukan
penjaminan melewati dana talangan dari Bank Indonesia yang kemudian kita
kenal dengan BLBI tahap kedua. Malapetaka yang besar mulai dari sini,
ibarat Lucifer turun ke bumi menyebar serba menggelembung
danfiktif.
Kemudian, sebagai tindak lanjutnya, pemerintah pun mendirikan
BPPN (Badan Penyehatan Perbankan Nasional) berdasar Keputusan
Presiden No. 27/1998 untuk mengalihkan program penjaminan. BPPN
gagal total, suatu badan korup penuh dengan persekongkolan bisnis makelar
jahat.
Maka lengkaplah skenario penjerumusan, suatu skenario
untuk menumbuhkan dependensi Indonesia kepada kekuatan asing,
khususnya kepada IMF, yaitu tatkala pemerintahan bangsa ini menurut saja
terhadap ide obligasi rekap (BLBI tahap ketiga) dan rekayasa MSAA
. MSAA di samping tidak masuk akal dan
tidak adil terhadap negara, juga sangat bertentangan dengan sistem hukum
Indonesia, antara lain yang berkaitan dengan yang
mengabaikan supremasi hukum publik (pidana) terhadap hukum privat
(perdata). Seperti dikatakan oleh Kwik Kian Gie berkali-kali dalamberbagai
ketika MSAA dimintakan dari Kantornya Kartini
Mulyadi/Fred Tumbuan dan opini mereka menyatakan bahwa MSAA
sedekap
off-guarded
blanket guarantee.
moral hazards,
disempowerment
(Master
Settlement of Acquisition Agreement)
release and discharge
fora, draft legal opinion
x
melanggar sistem hukum Indonesia khususnya UU Perbankan, ahli hukum
berkebangsaan AS, yang diperkirakan suruhan IMF, dengan congkaknya
bilang suatu arogansi tiada tara.
MSAA menginjak-injak UU Perbankan dan banyak menteri termasuk
Menteri Keuangan dan Menko, bahkan Presiden, ikut menginjak-injak UU
Perbankan. Presiden menerbitkan SKL atas dasar MSAA. Sementara itu
DPR-MPR ibaratnya mengamini semuanya ini. Lebih memalukan lagi,
ketika dibuat perjanjian (MSAA) antara obligor berkewarganegaraan
Indonesia dengan pemerintah Indonesia, perjanjian itu dibuat dalambahasa
Inggris, bukan dalam bahasa nasional. Lagi-lagi, di sinilah, di dalam
pemerintahankita, absurditas bertemu denganmediokritas.
Pengantar saya ini hanyalah mempertegas betapa (maaf) mediokernya
para otoritas moneter kita yang telah dengan mudah terdikte oleh resep-
resep keliru IMF dalam penanganan krisis moneter. Dengan resep-resep
IMF itu justru krisis malahan memuncak, padahal secara teoretis kita
mestinya cukup paham dan andal untuk menolak, bahkan bisa dengan tegas
menuding dan memprotes kekonyolan dan kenorakan teori-teori IMF,
yang kami sebut sebagai Kami memprotes
keras, protes ini disusun oleh (yaitu Oppusunggu,
Hartojo Wignjowijoto, Amin Aryoso, Dimyati Hartono, Farid
Prawiranegara, Arie Suta, Ichsanuddin Noorsy, dan saya sendiri, Sri-Edi
Swasono), setelah ditandatangani oleh sejumlah banyak anggota DPR, kami
kirimkan kepada Mr. Horst Koehler (IMF Chairman of Executive Board)
dan Mr. D. Wolfensohn (President of the World Bank) pada pertengahan
tahun 2001, dengan tembusan kepada Bank Indonesia, Menteri Keuangan,
DPR, danlain-lain.
Resep-resep IMF untuk Indonesia bukan saja berdasar teori-teori
konvensional ortodoks yang menjerumuskan, yang serba generik yang tidak
akan cocok untuk Indonesia, tetapi sangat tegas terarah kepada
kepentingan IMF sendiri. Bantuan dana IMF yang disertai pendiktean-
pendiktean bukan diarahkan kepada efektivitas
pembiayaan pembangunan, tetapi untuk perbaikan neraca pembayaran dan
pengamananrutinitas pembayaranutang luar negeri Indonesia.
...Then you change your law..., in optima forma
fallacious orthodox macro-economics.
the Eight Musketeers
local specifics
(forceful instructions)
***
***
xi
Saudara Marwan Batubara selalu konsisten dengan sikap patriotik dan
nasionalistiknya. Tahun lalu dengan keras ia menentang asingisasi, ia
melawan melalui berbagai khususnya melalui bukunya
menggambarkan ketertekuklututan kita pada tekanan asing,
menyerahkanpeluang emas anak cucu kita kepada EXXON
Sekarang para kelompok termasuk di sini Sdr. Marwan
Batubara dan kawan-kawannya, sekali lagi memberikan data dan informasi
tentang betapa jahatnya penjarahan, perampokan, serta konspirasi para
penyamun BLBI terhadap kelangsungan hidup bangsa ini dan terhadap
generasi mendatang, melalui buku ini. Konspirasi global untuk
melumpuhkan dan menguasai perekonomian Indonesia sebenarnya tidak
akan berhasil bila tidak didukung oleh konspirator-konspirator Indonesia,
oleh orang-orang kelompok baru yang dengan suka cita menjadi
komprador atau kaki tangan asing, yang atau lengah
misi, ataupunbarangkali memang benar-benar medioker.
Saya ingin Saudara Marwan dan teman-temannya perlu meniti
kemungkinan untuk melakukan operasi darurat, antara lain:
mengupayakan membekukan dana curian (BLBI) yang disembunyikan di
perbankan luar negeri. Ini tidak mudah, sikap luar negeri pun tidak memihak
Indonesia. Saya bisa pertemukan dengan para profesional kenalan
saya untuk melacak dana curian itu sebagaimana mereka telah berhasil
melacak dan menemukan dana haramPresiden Ferdinand Marcos. Bila dana
curian itu tidak dapat ditarik, maka diatur agar dapat dibekukan. Jumlah
yang sama yang dibekukan itu membuka jalan bagi negara untuk dapat
mencetak uang baru sejumlah yang sama. bunga obligasi rekap yang
harus dibayar negara seharusnya segera dihentikan saja, paling tidak segera
diturunkan nya bertahap-tahap dan menjadi nol dalam waktu singkat,
sehingga negara bebas dari bebanrekaannya sendiri.
Bila baru-baru ini kita baca besar-besaran di surat-
surat kabar seperti antara lain, Interpelasi BLBI: Awas DPR Dibeli
Konglomerat Hitam, dan Hanya Dari Satu Obligor BLBI Negara
Dirugikan Rp 100 Triliun Lebih, dan seterusnya dan seterusnya, hanyalah
lagu lama yang sejak dulu kita pekikkan dan sekarang diteriakkan ulang oleh
tokoh-tokohDPRyang bangunkesiangan.
fora, Tragedi dan Ironi
Blok Cepu,
.
Republikein,
Co
ideologically disempowered
pertama,
tracers
Kedua,
rate-
headlines front pages
xii
Saya menyambut hadirnya buku yang ditulis Saudara Marwan Batubara
dkk ini dengan gembira, moga-moga buku ini bisa memberi pencerahan
kepada banyak kalangan yang selama ini tidak menyadari adanya skenario
pelumpuhannasional terhadapIndonesia.
Saya pun menyambut baik sikap Presiden SBY yang terang-terangan
menyatakan (dua hari yang lalu) tentang adanya upaya pihak-pihak tertentu
yang menghalangi pemerintah untuk mencuci piring kotor setelah ramai
berpesta BLBI dan Presiden nampak bertekad maju terus membersihkan
yang kotor-kotor itu.
akarta, 30 November 2007
Sri-Edi Swasono
J
xiii
Marwan Batubara (Anggota DPD RI Provinsi DKI Jakarta)
Pengantar
Penulis
Ketika skandal BLBI kembali diangkat ke permukaan, mungkin
sebagian orang akan mempertanyakan mengapa catatan hitam Indonesia di
masa krisis tersebut kembali diungkit. Apa relevansinya? Apakah
bermanfaat menguak kembali berkas-berkas korupsi masa lalu untuk
kepentingan masa sekarang? Tidakkah lebih baik kasus tersebut dikubur dan
diterima saja sebagai ongkos krisis, meskipun sangat mahal harganya,
sehingga kita dapat memfokuskan diri pada agenda-agenda perbaikan
ekonomi di masa depan?
Jawabannya jelas: karena selain penyelesaiannya sarat dengan rekayasa
dan KKN, kasus BLBI juga memiliki dampak yang sangat luas pada
perekonomian bangsa saat ini dan bahkan hingga beberapa waktu ke depan.
Demikian besarnya kerusakan yang diakibatkan skandal BLBI, hingga
bebannya harus ditanggung seluruh rakyat Indonesia berupa pembayaran
utang dalam APBN setiap tahunnya yang diperkirakan baru berakhir pada
sekitar tahun 2033. Jumlah minimal utang yang harus dibayar tersebut
mencapai Rp 630 triliun (berupa BLBI sebesar Rp 144,5 triliun, tambahan
BLBI Rp 14,47 triliun, program penjaminan Rp 39,3 triliun, dan obligasi
xv
rekap Rp 431,6 triliun) . Bahkan, dalam skenario terburuk (seperti misalnya
jika pemerintah terus melakukan penjadwalan ulang terhadap utang-utang
tersebut), bebanyang harus dibayar dapat mencapai Rp2.000 triliun.
Membengkaknya jumlah utang negara itu sendiri terutama diakibatkan
oleh kebijakan pengucuran obligasi rekapitalisasi (OR) perbankan, yang tak
lain merupakan upaya lanjutan penyelamatan dan penyehatan bank-bank
nasional di saat krisis setelah kebijakan BLBI. Total dana yang dikucurkan
dalam kebijakan ini mencapai sekitar Rp 431 triliun, yang disuntikkan
pemerintah melalui penerbitan obligasi (surat utang). Karena diberikan
dalambentuk obligasi, maka jumlah dana yang harus dibayarkan pemerintah
pun menjadi jauh lebih besar, sebagai akibat tambahan bunga obligasi yang
harus dibayarkan (yang nilainya bahkan lebih besar dari nilai pokoknya, yaitu
paling tidak sekitar Rp 600 triliun, dengan cicilan sekitar Rp 40-50 triliun tiap
tahunnya).
Beban pembayaran utang yang fantastis tersebut pada akhirnya
berujung pada minimnya kemampuan APBNdalam mengongkosi berbagai
kebutuhan negara. Berbagai pos pengeluaran terpaksa harus dipangkas
untuk menyesuaikan diri dengan kondisi keuangan APBN yang pas-pasan.
Sasaran paling mudah untuk penghematan tersebut, lagi-lagi adalah rakyat.
Anggaran berbagai pos kesejahteraan sosial, seperti pendidikan, kesehatan,
subsidi listrik, dan BBM harus ditekan semaksimal mungkin agar tidak
mengganggu kemampuannegara dalammembayar utang.
Minimnya anggaran negara juga memaksa pemerintah setiap tahunnya
harus menjual sejumlah aset untuk menutup defisit anggaran. Padahal,
penjualan berbagai aset ini pun umumnya tidak menghasilkan keuntungan
maksimal, karena harga jualnya yang jauh di bawah pasar. Hal ini sendiri
memang sesuatu yang sulit dihindarkan, mengingat penjualan aset-aset
1
1
Menurut perhitungan tim interpelator BLBI, jumlah dana yang dikeluarkan
pemerintah untuk rangkaian program penyehatan perbankan adalah sebesar
minimal Rp 702,5 triliun yang terdiri dari BLBI senilai Rp 144,5 triliun, obligasi
rekap Rp 425,5 triliun, program penjaminan Rp 73,8 triliun, dana talangan Rp 4,9
triliun, dan dana rekening 502 Rp 53,8 triliun. Sedangkan, berdasarkan jawaban
Presiden atas interpelasi BLBI, total biaya penyehatan perbankan selama periode
1997-2004 adalah sebesar Rp 640,9 triliun yang terdiri dari BLBI Rp 144,5 triliun,
program penjaminan Rp 53,8 triliun, penjaminan Bank Exim Rp 20 triliun, dan
programrekapitalisasi Rp422,6 triliun.
xvi
negara tersebut umumnya dilakukan untuk mengejar target penerimaan
negara dalam waktu yang relatif singkat. Obral aset pun menjadi pilihan
yang paling mudahuntuk diambil pemerintah.
Penjualan aset-aset negara ini bahkan memiliki dampak yang lebih
buruk dalam jangka panjang. Patut diingat, bahwa aset-aset negara
merupakan penyumbang rutin bagi pemasukan negara dalam APBN.
Sehingga, dengan dijualnya aset-aset tersebut, maka negara sesungguhnya
juga kehilangan potensi penerimaannya di masa mendatang .
Sumber penerimaan negara setiap tahunnya akan berkurang. Dengan
demikian, Indonesia akan semakin terjebak dalam lilitan paceklik ekonomi,
karena himpitan beban utang yang harus dibayar di satu sisi bertemu dengan
terlucutinya sumber-sumber penerimaannegara di sisi yang lain.
Berbagai situasi sulit ini merupakan warisan segelintir orang di masa lalu
yang melakukanKKNdan secara sembronomenyimpangkan ratusantriliun
rupiah uang negara dalamskandal BLBI. Karena itu, sangat wajar jika pihak-
pi ha k y a ng t e r l i ba t da l a m s ka nda l BLBI di mi nt a ka n
pertanggungjawabannya atas kesalahan yang mereka lakukan, baik secara
perdata dengan mengembalikan uang negara yang telah mereka kuras,
maupun secara pidana dengan menjalani hukuman yang sepantasnya, sesuai
denganhukumyang berlaku.
Ironisnya, penyelesaian kasus ini tidak pernah dapat dilakukan secara
tuntas, meskipun telah melalui empat periode pemerintahan (Habibie, Gus
Dur, Megawati, dan Susilo Bambang Yudhoyono). Masing-masing
pemerintahan justru mengeluarkan kebijakan kontroversial yang
merendahkan supremasi hukum dan mencederai rasa keadilan masyarakat.
Misalnya saja, pemerintahan Habibie yang memulai pola penyelesaian kasus
BLBI melalui (penyelesaian di luar jalur pengadilan),
pemerintahan Megawati yang menerbitkan Inpres No. 8 Tahun 2002
tentang yang memberi ampunan penuh bagi obligor, dan
pemerintahan SBYyang menjanjikan pemberian
Kini, pemerintahan SBY dikabarkan tengah berupaya melakukan
penuntasan skandal BLBI dengan mengusut kembali kasus sejumlah
obligor. Dua nama yang kerap disebut adalah Soedono Salim dan Sjamsul
(future earning)
out of court settlement
release and discharge
Surat Keterangan Penyelesaian
Kewajiban (SKPK) bagi obligor yang melunasi utangnya (sehingga akan
mengesampingkan kasus pidana yang dilakukannya).
xvii
Nursalim. Kasus keduanya memang melibatkan jumlah uang yang sangat
besar, yaitu masing-masing Rp 52 triliun dan Rp 27 triliun. Keduanya diusut
terkait dugaan penggelembungan nilai aset yang mereka serahkan ke BPPN
sebagai pelunasan utang-utang mereka. Penggelembungan nilai aset ini
menyebabkan tingkat pengembalian uang negara dari penyelesaian kasus
BLBI menjadi sangat rendah.
Langkah pemerintah yang melakukan pengusutan terhadap kasus kedua
obligor besar BLBI tersebut tentu layak didukung. Meski demikian, kita
berharap penyelesaian kasus BLBI kali ini dapat dilakukan berdasarkan
hukum secara serius, tuntas, dan benar-benar berjalan adil. Kita tidak
menginginkan pemerintah kembali mengulang kesalahan pada masa-masa
sebelumnya, yaitu ketika pemerintah tidak bersikap tegas dan justru terus
menerus mengakomodasi kepentingan obligor, bahkan dengan melanggar
ketentuan hukum yang berlaku sekalipun.
Selain itu, pemerintah juga harus menyelesaikan kasus-kasus obligor
lain yang hingga kini belum jelas statusnya. Terakhir (saat tulisan ini
disusun), terdapat delapan obligor yang masih belum menyelesaikan
kewajibannya, dengan nilai total kewajiban sebesar Rp 2,54 triliun (menurut
perhitungan Depkeu, disamping sejumlah Rp 9,36 triliun yang dinyatakan
tak akan terbayar/ ). Dari kedelapan obligor tersebut, satu orang
diantaranya (Agus Anwar), bahkan buron ke Singapura dan telah berganti
kewarganegaraan. Sangat disayangkan, pada kenyataannya sikap pemerintah
terhadap delapan obligor ini tidak tegas, setidaknya hingga tulisan ini
disusun.
Dalam kaitan itu, buku ini sesungguhnya merupakan wujud dari
dan protes kami terhadap penanganan kasus BLBI selama ini
yang tidak dilakukan sebagaimana mestinya. Dengan banyaknya uang
negara yang telah terhamburkan, pemerintah tidak dengan tegas menindak
koruptor BLBI dan melakukan penegakan hukum. Para pengemplang BLBI
justru menikmati berbagai kemudahan hingga sebagian mereka kini telah
kembali bertengger sebagai orang-orang terkaya di Indonesia.
Untuk itu, melalui buku ini kami berupaya menyusun rangkaian
peristiwa di seputar skandal BLBI dan proses penyelesaiannya dalamsebuah
Terlebih, kita juga tidak ingin
penyelesaian kasus ini justru dijerumuskan dalam perangkap ketidakpastian hukum
sehingga menjadi sarana permainan para politisi untukmengerukkeuntungan pribadi.
default
ketidakpuasan
xviii
kerangka yang diharapkan cukup memadai agar peristiwa ini dapat lebih
mudahdimaknai, dandengandemikianjuga dapat secara lugas disikapi.
Atas tersusunnya buku ini, kami sampaikan ucapan terima kasih dan
penghargaan setinggi-tingginya kepada para kontributor yang telah
menyumbangkan pikirannya: Bapak Kwik Kian Gie, Dr. Frans Hendra
Winarta, S.H., M.H., Dr. Fadhil Hasan, Dr. Ahmad Erani Yustika, Dr.
Hendri Saparini, dan Ibu Aviliani. Ucapan terima kasih sebesar-besarnya
juga kami sampaikan kepada Prof. Dr. Sri-Edi Swasono yang telah berkenan
memberikan kata pengantarnya untuk buku ini. Kami beruntung, dalam
kesibukan mereka yang luar biasa, para intelektual lintas generasi ini masih
bersedia meluangkan waktunya untuk berpartisipasi dalam penyusunan
buku ini.
Tak lupa, juga kami ucapkan terima kasih kepada Bapak Faisal Ba'asyir
atas diskusi dan masukan yang diberikan serta Badan Pemeriksa Keuangan
RI (BPK RI) yang telah menyediakan data-data yang sangat kami perlukan
untuk penulisan buku ini. Ucapan yang sama kami tujukan kepada Saudara
Djoko Retnadi atas kesediaannya memberi penjelasan seputar kebijakan
obligasi rekapitalisasi dalambeberapa kesempatan.
Kami juga menyampaikan penghargaan setinggi-tingginya kepada
sejumlah sahabat yang telah konsisten melakukan advokasi skandal BLBI,
seperti antara lain Adnan Topan Husodo dari Indonesia Corruption Watch
(ICW), Patra M. Zen (YLBHI), Munarman (Tim Pembela Muslim/ TPM),
Chandra T. Wijaya dan Bagus Satrianto (Iluni UI Jakarta) dan Ismed Hasan
Putro(Masyarakat Profesional Madani/ MPM).
Harapan kami, buku ini dapat bermanfaat dalammemberi pemahaman
kepada masyarakat luas tentang duduk persoalan BLBI dan implikasi-
implikasi yang diakibatkannya. Termasuk pula bagi rekan-rekan di DPD RI,
khususnya di PAH IV (bidang APBN dan tindak lanjut hasil audit BPK)
tempat dimana kami bertugas. Meskipun, tentu saja terdapat banyak
kekurangan dalam buku ini, mengingat pengetahuan kami yang terbatas,
disamping kompleksnya permasalahanBLBI itu sendiri.
Akhirnya, melalui buku ini, kami berharap dapat menggugah kesadaran
berbagai pihak atas masih terus berlangsungnya ketidakadilan demi
ketidakadilan dalam penyelesaian kasus BLBI, sehingga kita bertanggung
jawab untuk melakukan segala upaya sesuai dengan kemampuan, untuk
xix
meluruskan berbagai kesalahan tersebut. Pemerintah dan DPR pun
bertanggung jawab untuk mengoreksi berbagai keputusan yang salah terkait
kasus ini. Termasuk diantaranya adalah meluruskan kebijakan obligasi rekap
(OR), dengan menghentikan pembayaran bunganya yang selama ini telah
menjadi bebanAPBNsetiaptahun.
Kepada masyarakat, kami menghimbau partisipasi Anda dalam
berbagai gerakan dan aksi untuk mendesak dituntaskannya penyelesaian
kasus BLBI.
Jakarta, 2 Januari 2008
Marwan Batubara
Kepada pemerintah dan para penyelenggara negara, kami menuntut
Anda untuk segera menuntaskan penyelesaian kasus BLBI yang sudah berlangsung
selama satu dekade ini secara konsisten, menjunjung tinggi supremasi hukum, dan
berkeadilan.
xx
Daftar Isi
Kata Pengantar
Pengantar Penulis
Daftar Isi
BAB 1
Definisi dan Pengertian BLBI
BAB 2
Latar Belakang dan Kronologi Skandal BLBI
BAB 3
Korupsi dan Penyelewengan BLBI
......................................................................................x
Sri-Edi Swasono...............................................................................................vii
...............................................................................................1
............................................................................................13
............................................................................................25
v
.......................................................................................................xxi
Marwan Batubara
Marwan Batubara
Marwan Batubara
xxi
BAB 4
Inkonsistensi Penegakan Hukum dalam Kasus BLBI
BAB 5
Mekanisme PKPS: Menyelesaikan Kasus Korupsi dengan
Mengabaikan Hukum
BAB 6
Inpres No. 8/2002: Jalan Menuju Ketidakadilan dan Pemiskinan
BAB 7
Obligasi Rekapitalisasi: Cara Sistematis Menghisap
Uang Rakyat
BAB 8
Siapa yang Harus Bertanggung Jawab?
BAB 9
Kejahatan Obligor Menjarah BLBI
BAB 10
Peran BI dan BPPN dalam Skandal BLBI
BAB 11
Peran IMF dalam Kasus BLBI
BAB 12
BLBI: Pemiskinan dan Pembunuhan Generasi
Marwan Batubara
Marwan Batubara
Marwan Batubara
Marwan Batubara
Marwan Batubara
Marwan Batubara
Marwan Batubara
Marwan Batubara
Marwan Batubara
............................................................................................49
............................................................................................61
............................................................................................99
..........................................................................................119
..........................................................................................157
..........................................................................................175
..........................................................................................223
..........................................................................................243
......................................................................................... 261
xxii
BAB 13
Ikhtisar tentang Penghancuran Keuangan Negara
BAB 14
MSAA dan Drama Penerbitan R & D
BAB 15
Kilas Balik Krisis Moneter, Penyimpangan BLBI, dan
Kejanggalan MSAA
BAB 16
Tinjauan Kelembagaan Kasus BLBI
BAB 17
Penyelesaian BLBI: Menebus Ketidakadilan dan Membayar
Kerugian
BAB 18
Mengupayakan Penyelesaian BLBI dan Obligasi Rekap Bank
dengan Pemerintah
Penutup
Rakyat Menggugat Skandal BLBI
Referensi
Tentang Penulis
Political Will
Kwik Kian Gie
Kwik Kian Gie
Frans Hendra Winarta...................................................................................
Ahmad Erani Yustika dan M. Fadhil Hasan
Hendri Saparini
Aviliani
Marwan Batubara
....................................................................................................375
........................................................................................385
................................................................................................299
................................................................................................303
307
...................................................313
..............................................................................................331
...........................................................................................................343
..........................................................................................351
xxiii
Bab 1
DEFINISI DAN
PENGERTIAN BLBI
Marwan Batubara
Setelah lebih dari satu dekade berlalu dan melewati empat era
pemerintahan, kasus korupsi BLBI hingga kini tidak kunjung terselesaikan
secara tuntas. Padahal, kasus yang melibatkan persekongkolan jahat antara
pengusaha, banyak pihak penyelenggara pemerintahan, dan IMF ini, telah
merugikan negara setidaknya Rp 138,4 triliun (jumlah penyimpangan dalam
penyaluran BLBI menurut audit BPK). Angka ini belum lagi
memperhitungkan kerugian dari kebijakan pengucuran obligasi
rekapitalisasi perbankan yang memakan biaya sekitar Rp 431 triliun
(ditambah dengan bunga obligasi rekap sekitar Rp 600 triliun yang angkanya
masih terus bertambah seiring dengan penundaan pembayaran utang yang
dilakukan pemerintah). Akibat penyimpangan dan korupsi pada berbagai
rangkaian kebijakan tersebut, negara dan rakyat harus menanggung beban
cicilan pembayaran utang dalamAPBN, yang bunganya saja dapat mencapai
Rp50 triliunper tahun.
Namun, sebelummemasuki pembahasan lebih lanjut, kita perlu terlebih
dahulu membahas beberapa pengertian dasar tentang apa yang disebut
Definisi dan Pengertian BLBI 1 /
sebagai BLBI, agar dapat memahami letak permasalahan kasus ini dengan
lebihbaik.
Mantan Gubernur Bank Indonesia Prof. Dr. Soedradjad Djiwandono
pada sebuah tulisannya mendefinisikan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia
(BLBI) sebagai fasilitas yang diberikan BI untuk menjaga kestabilan sistem
pembayaran dan sektor perbankan agar tidak terganggu karena
ketidakseimbangan antara penerimaan dan penarikan dana pada
bank-bank baik jangka pendek maupun panjang (Soedradjad Djiwandono,
, www.pacific.net.id).
Berdasarkan definisi tersebut, dapat dipahami dua hal pokok sebagai
berikut. Pertama, BLBI merupakan sebuah fasilitas khusus yang diberikan
BI kepada pihak perbankan. Kedua, pemberian BLBI dimaksudkan untuk
menanggulangi masalah yang dihadapi perbankan akibat adanya
ketidakseimbangan antara dana yang diterima dengan kewajiban
pembayaranyang harus dikeluarkannya.
Menurut Soedradjad, bantuan likuiditas dari BI kepada pihak
perbankan sebenarnya sudah berlangsung sejak lama. Namun, istilah BLBI
baru dipergunakan secara khusus sejak 1998 untuk merujuk pada bantuan
likuiditas yang diberikan BI kepada pihak perbankan di saat terjadinya krisis
moneter dan krisis ekonomi di Indonesia. Istilah BLBI sendiri diambil dari
istilah , yang dipergunakan dalam (LoI) antara
IMF dengan pemerintah Indonesia dan dinyatakan sebagai bagian dari
programpemulihanekonomi.
Soedradjad juga menyatakan, BLBI dibedakan dengan fasilitas BI
lainnya seperti KLBI (Kredit Likuiditas Bank Indonesia) berdasarkan aspek
tujuan pengucurannya. Jika BLBI ditujukan untuk mengatasi kondisi
likuiditas perbankan dalam situasi krisis, maka KLBI ditujukan untuk
membantu perbankan dalam menyukseskan program-program
pembangunan ekonomi yang dicanangkan pemerintah seperti
pembangunan rumah sederhana, peningkatan hasil pertanian, mendorong
pertumbuhanUKM, dansebagainya.
Definisi BLBI
(mismatch)
Permasalahan BLBI
liquidity supports letter of intent
2 Definisi dan Pengertian BLBI /
Terdapat lima jenis fasilitas perbankan yang digolongkan sebagai BLBI,
yaitu antara lain:
1. Fasilitas dalam rangka mempertahankan kestabilan sistem pembayaran
yang bisa terganggu karena adanya mismatch atau kesenjangan antara
penerimaandanpenarikandana perbankan.
2. Fasilitas dalam rangka operasi pasar terbuka sejalan dengan program
moneter (Surat Berharga Pasar Uang/SBPU) lelang danbilateral
3. Fasilitas dalam rangka penyehatan bank atau kredit likuiditas darurat
dankredit subordinasi
4. Fasilitas untuk mempertahankan kestabilan sistem perbankan dan
sistem pembayaran sehubungan dengan terjadinya rush dalam bentuk
penarikan cadangan wajib (Giro Wajib Minimum/GWM) atau adanya
saldonegatif (saldodebet atau overdraft) bank di BI.
5. Fasilitas untuk mempertahankan kepercayaan masyarakat pada
perbankan dalambentuk dana talangan untuk membayar kewajiban luar
negeri bank danuntuk pelaksanaansistempenjaminan.
Berdasarkan uraian-uraian tersebut, secara sederhana dapat dinyatakan,
BLBI adalah bantuan pinjaman dana yang diberikan BI kepada sejumlah
bank yang mengalami krisis likuiditas atau krisis persediaan uang saat
terjadinya krisis moneter pada tahun 1997. Bantuan dana itu terutama
disalurkan melalui mekanisme yang disebut dengan kliring, yaitu penalangan
yang dilakukan BI terhadap pembayaran kewajiban-kewajiban bank yang
tidak mampu melunasi kewajibannya. Dengan demikian, melalui
pengucuran BLBI, bank-bank dibantu untuk dapat memenuhi kewajiban-
kewajibanpembayarannya kepada pihak ketiga, khususnya nasabah.
Seperti diketahui, pada saat krisis moneter, terjadi aksi atau
penarikan uang besar-besaran oleh masyarakat yang membuat persediaan
likuiditas bank terkuras. Kondisi tersebut membuat bank kesulitan dalam
membayar dana nasabah-nasabahnya, sehingga membutuhkan bantuan dari
BI. Jadi, pengucuran BLBI terutama ditujukan untuk menjamin pembayaran
dana nasabah oleh bank yang bersangkutan. Dengan penjaminan tersebut,
diharapkanmasyarakat dapat pulihkepercayaannya kepada perbankan.
Pengucuran BLBI juga merupakan implementasi dari salah satu langkah
ketahanan ekonomi nasional yang diputuskan dalam Rapat Kabinet pada
rush
3
Definisi dan Pengertian BLBI 3 /
September 1997 . di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto Langkah
ketahananekonomi nasional yang dimaksudadalahkeputusanbahwa:
Bank-bank nasional yang sehat namun mengalami kesulitan
likuiditas untuk sementara akandibantu.
Bank-bank yang secara nyata tidak sehat diupayakan
penggabungan atau akuisisi dengan bank-bank lain yang sehat. Jika
upaya itu tidak berhasil, akan dilikuidasi sesuai dengan peraturan
perundangan yang berlaku dengan mengamankan semaksimal
mungkinkepentinganpara deposan, terutama deposankecil.
Seperti telah disinggung sebelumnya, dana BLBI dikucurkan kepada
pihak perbankan dalam sebuah mekanisme yang disebut kliring. Kliring
adalah proses yang menunjukkan posisi tagihan dan kewajiban yang dimiliki
setiap bank kepada bank lainnya. Proses kliring umumnya dilakukan setiap
hari di lembaga penyelenggara kliring, yaitu BI atau bank lain yang ditunjuk
BI. Melalui kliring, bank-bank ditetapkan posisi hak dan kewajibannya
(menerima pembayaran dan sebaliknya melakukan pembayaran) pada
periode tersebut.
Ketika terjadi krisis, karena mengalami penarikan dana besar-besaran
oleh nasabah, posisi pembayaran sejumlah bank yang mengikuti proses
kliring menunjukkan kedudukan negatif. Artinya, jumlah kewajiban yang
harus dibayarkan lebih besar daripada jumlah pembayaran yang diterima.
Dinyatakan, bank tersebut mengalami kalahkliring.
Dalam kegiatan kliring yang dilaksanakan BI, suatu bank tidak dapat
menolak penarikan dana nasabah dan kreditur lainnya, meskipun dana yang
ada pada rekening giro bank tersebut tidak mencukupi lagi. Karena itu, jika
hasil penghitungan kliring (disebut sebagai ) suatu bank menunjukkan
mereka telah kalah kliring, maka mereka harus mencari sumber pendanaan
untuk menutupi kekurangantersebut.
Pada awalnya, sumber pendanaan diperoleh dari dana simpanan bank
itu sendiri atau pinjaman yang diperoleh dari bank lain (yang biasanya
memberlakukan bunga sangat tinggi). Ketika kedua sumber pinjaman ini
4. NewFasilitas Diskonto
Korupsi dan Penyelewengan BLBI 35 /
BPK kemudian juga menyimpulkan bahwa pemberian fasilitas ini tidak
dapat dipertanggungjawabkan 100%dengan potensi kerugian mencapai Rp
28,53 triliun.
Tidak jauh berbeda dengan pelanggaran yang terjadi dalam pemberian
fasilitas-fasilitas BLBI sebelumnya, pelanggaran dalam pemberian fasilitas
ini juga berupa tetap diberikannya FSD kepada bank-bank yang tidak
menyerahkan jaminan yang dipersyaratkan. Padahal, FSD bertujuan untuk
mengikat kewajiban perbankan dalam pelunasan saldo debetnya dengan
jaminandanakta notariil.
Penyelewengan fasilitas ini, menurut BPK, menimbulkan potensi
kerugian negara mencapai Rp 54,46 triliun atau 100% dari dana yang
dikucurkan.
Dalam pemberian fasilitas DTV, BPK menilai BI telah mengabaikan
prinsip kehati-hatian dan justru memberi penafsiran berlebihan terhadap
(kesepakatan pemerintah dengan perbankan
internasional untuk menanggung kewajiban pembayaran utang bank-bank
nasional). Bentuk pengabaianprinsipkehati-hatiantersebut adalah:
Tidak melakukan prosedur verifikasi dan konfirmasi yang memadai
sebelum memberikan DTV kepada perbankan (membayarkan
utang bank nasional kepada perbankaninternasional);
Pengikatan jaminan yang dilakukan kepada bank-bank nasional
sebagai debitur tidak sepenuhnya dapat menjamin pengembalian
DTVyang telahdikucurkan;
Melakukan pembayaran kewajiban-kewajiban yang tidak
memenuhi syarat untuk ditalangi denganfasilitas DTV;
Tidak menciptakan prosedur pengendalian atas penggunaan DTV
oleh debitur (bank nasional) dan pengembalian dana ( ) oleh
kreditur (pihak perbankanluar negeri).
5. Fasilitas Saldo Debet
6. Dana TalanganValas danDana TalanganRupiah
Frankfurt Agreement
refund
Pelanggaran BMPK
Pelanggaran BMPK, sesuai
dengan pasal 49 ayat (2) jo pasal 50 jo pasal 50 A UU No 10
Tahun1998, merupakantindakpidana.
mengizinkan perbankan untuk
tetap mengikuti proses kliring
Penggelembungan nilai aset
Group
financial due
diligence
blanket guarantee
Penyimpangan BLBI dalamPenyaluran Tambahan BLBI
danProgramPenjaminanPerbankan
38 Korupsi dan Penyelewengan BLBI /
Menkeu memberikan kewenangan kepada BI dan BPPN, sesuai dengan
kewenangannya masing-masing, untuk menggunakanrekening 502.
Pengisian rekening 502 sendiri merupakan pelaksanaan dari
rekomendasi IMF kepada pemerintah untuk menyediakan dana yang
dibutuhkan untuk melaksanakan program penjaminan perbankan dan
agenda restrukturisasi perbankan lainnya, termasuk mengantisipasi
terjadinya likuidasi atau merger perbankan. Program ini juga bertujuan
mendukung program rekapitalisasi perbankan, yaitu mencapai target BI
bahwa pada akhir tahun 2001 seluruh perbankan nasional harus memiliki
CAR ( /rasio kecukupan modal) minimum 8% dan NPL
( /kredit bermasalah) maksimum5%.
Setelah sempat tertunda pelaksanaannya, pengisian rekening 502
akhirnya direalisasikan pemerintah pada September 2001. Segera setelah itu,
BI mendebet rekening 502 untuk keperluan program penjaminan
perbankan dan mengganti tambahan BLBI yang telah dikucurkannya.
Hingga 30 September 2001, tercatat BI telah mendebet dana dari rekening
502 sebesar Rp23,623 triliun.
Dari total penggunaan tersebut, sejumlah Rp 14,447 triliun didebet dan
ditampung dalam rekening khusus . Hal ini, menurut BI,
dilakukan atas dasar rekomendasi BPK RI dalam audit atas Laporan
Keuangan Tahunan Bank Indonesia tahun 1999 sebagai pengganti dana
talangan perbankan (tambahan BLBI) yang telah dikeluarkan BI
sebelumnya. Sedangkan, selebihnya, yaitu sekitar Rp 39,322 triliun dijadikan
sebagai dana penjaminanperbankan.
Terkait tambahan BLBI, hal itu dilakukan karena BI masih
mengucurkan BLBI kepada pihak perbankan setelah pengucuran BLBI
tahap pertama sejumlah Rp 144,5 triliun. Menurut BI, tambahan BLBI
dikucurkan karena programpenyelamatan bank-bank nasional masih belum
selesai, sedangkan pemerintah belum menyediakan dana untuk program
tersebut. Karena itu, BI untuk sementara menalanginya untuk kemudian
akan menagihkannya kepada pemerintah. Dana tambahan BLBI
diperhitungkan berdasarkan jumlah dana yang dikucurkan BI kepada
perbankansetelahpengalihanhak tagihBI ke BPPNper 29 Januari 1999.
capital adequacy ratio
non performing loan
(escrow account)
Korupsi dan Penyelewengan BLBI 39 /
Meski demikian, pada kenyataannya, implementasi dari kebijakan ini
diwarnai dengan berbagai penyimpangan. Laporan Hasil Audit Investigasi
BPK RI menemukan telah
(terdapat alokasi penggunaan dana yang dinyatakan
tidak sah/tidak semestinya dibebankan pada rekening 502)
Hal ini menyebabkan pemerintah tidak segera
menerima pendebetan rekening 502 oleh BI dan meminta BI untuk mengisi
kembali rekening tersebut.
Penggunaan dana penjaminan perbankan oleh para bankir juga kental
dengan praktik penyimpangan. Sejumlah kantor akuntan publik
menyatakan bahwa sebagian besar klaim antarbank yang diajukan untuk
memperoleh penjaminan merupakan klaim yang tidak layak. Ernst &
Young, misalnya menemukan
, secara substansi dan transaksi sesuai ketentuan program
penjaminanpemerintah.
Sementara itu, hasil audit kantor akuntan publik lainnya, Hans
Tuanakotta dan Mustofa (HTM), mengungkapkan dari realisasi pemakaian
dana Rekening 502 sebesar Rp 12 triliun untuk pembayaran klaim
antarbank, .
Berbagai penyimpangan tersebut menunjukkan bahwa pengucuran
tambahan BLBI dan program penjaminan perbankan tidak sepenuhnya
dijalankan sesuai dengan tujuan yang ditetapkan. Bahkan, dapat dinyatakan
kebijakan-kebijakan tersebut hanya meneruskan rangkaian penyelewengan
yang telah terjadi sebelumnya. Sehingga, dengan demikian, juga menambah
besar jumlahuang negara yang terkuras melalui skandal BLBI.
Sudah hampir 7 tahun sejak Laporan BPK tentang penyimpangan-
penyimpangan BLBI disampaikan kepada DPR dan juga dipublikasikan
pada tahun 2000 yang lalu. Namun, sejak era pemerintahan Habibie,
Megawati hingga SBY, belum memperlihatkan keseriusan untuk
menindaklanjuti temuan BPK tersebut. Pada masa pemerintahan SBY
terjadi penyimpangan penggunaan dana
rekening 502 oleh BI
dengan jumlah
mencapai Rp17,762 triliun.
dari 216 klaim antarbank, bank beku
operasi (BBO) dan bank beku kegiatan usaha (BBKU), hanya ada 11
klaim antarbank yang (layak) dibayarkan dengan dana
Rekening 502
hanya senilai Rp1,075 triliunyanglayak(11 klaim)
eligible
Tindak Lanjut Temuan
40 Korupsi dan Penyelewengan BLBI /
misalnya, kita mencatat bahwa mantan Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh
gagal memenuhi janjinya mengeluarkan memorandum khusus untuk
memaparkan dan menelaah penyelesaian korupsi BLBI. Kegagalan Abdul
Rahman ini kita khawatirkan akan diikuti oleh Jaksa Agung Hendarman
Supandji, yang pada awal masa jabatannya melantik 35 jaksa khusus untuk
menangani BLBI, tetapi belumjuga menampakkanhasil nyata.
Laporan BPK sangat jelas menunjukkan berbagai penyimpangan BLBI
yang merugikan negara paling tidak sebesar Rp 138 triliun (jika ditambah
dengan kerugian dari penyaluran obligasi/SUN untuk penyehatan
perbankan, nilai kerugian membengkak menjadi senilai minimal Rp 600
triliun). Kerugian negara ini akan ditanggung oleh rakyat hingga berpuluh
tahun mendatang. Namun, seperti kita saksikan, pemerintah dari satu
presiden ke presiden lain tidak serius menuntaskan skandal korupsi ini.
Mereka seperti sama sekali tidak memiliki dan komitmen untuk
memberantas korupsi di negeri ini.
Pantaskahkita juga diam?
political will
Korupsi dan Penyelewengan BLBI 41 /
JUMLAH
NO URAIAN
BANK
PENYALURAN
(dalam
juta Rp)
POTENSI
KERUGIAN
NEGARA
(dalam juta Rp)
%
I SALDO DEBET
1. BBO 10 6,175,250 6,175,250 100
2. BBKU 13 5,474,776 5,474,776 100
3. BDL 13 6,161,001 6,161,001 100
4. BTO 1 352,142 352,142 100
Jumlah I 37 18,163,169 18,163,169 100
II FASILITAS SALDO DEBET
1. BBO 3 30,065,401 30,065,401 100
2. BBKU 11 4,265,753 4,265,753 100
3. BDL 0 - -
4. BTO 2 18,134,741 18,134,741 100
Jumlah II 16 52,465,895 52,465,895 100
III NEW FASDIS
1. BBO 0 - -
2. BBKU 2 634,691 634,691 100
3. BDL 0 - -
4. BTO 3 29,891,277 29,891,277 100
Jumlah I 5 30,525,968 30,525,968 100
IV FSBPUK
1. BBO 8 15,165,818 15,165,818 100
2. BBKU 11 5,587,906 5,587,906 100
3. BDL 0 - -
4. BTO 3 7,477,757 7,477,757 100
Jumlah I 22 28,231,481 28,231,481 100
V DANA TALANGAN RUPIAH
1. BBO 1 680,496 - 0
2. BBKU 0 - -
3. BDL 15 5,335,003 142,903 2.68
4. BTO 0 - -
Jumlah I 16 6,015,499 142,903 2.38
VI DANA TALANGAN VALAS
1. BBO 5 5,599,982 5,599,982 100
2. BBKU 9 1,357,862 1,357,862 100
3. BDL 3 392,932 171,468 43.64
4. BTO 3 1,783,298 1,783,298 100
Jumlah I 20 9,134,074 8,912,610 97.58
Total 144,536,086 138,442,026 95.78
Lampiran1
Daftar Potensi KerugianNegara dalamPenyaluranBLBI
42 Korupsi dan Penyelewengan BLBI /
Lampiran2
Bank-bank Penerima BLBI per 29 Januari 1999
No. NAMA BANK TOTAL PENANGGUNGJAWAB
I. BANK BEKU OPERASI (BBO)
1. Bank Centris Internasional 629.624 Hubertus Setyawan
2. Bank Dagang Indonesia 37.039.766 Sjamsul Nursalim
3. Bank Deka 152.918 Dewanto Kurniawan
4. Bank Hokindo 214.228 Hokianto
5. Bank Istimarat Indonesia 520.236 Hasim S. Djojohadikusumo
6. Bank Modern 2.557.693 Samadikun Hartono
7. Bank Pelita 1.989.832 Hasim S. Djojohadikusumo
8. Bank Subentra 860.853 Benny Suherman
9. Bank Surya 1.653.836 H. Sudwikatmono
10. Bank Umum Nasional 12.067.961 Mohammad Hasan, Kaharudin Ongko
Sub Total 57.686.947
II. BANK TAKE OVER (BTO)
1. Bank Central Asia 26.596.277 Sudono Salim
2. Bank Danamon Indonesia 23.049.526 Usman Atmadjaja
3. Bank PDFCI 1.995.000 -
4. Bank Tiara Asia 2.978.093 -
5. Bank Nusa Nasional/BNN 3.020.319 -
Sub Total 57.639.215
III. BANK BEKU KEGIATAN USAHA (BBKU)
1. Bank Aken 301.318 Indra Haryono SE
2. Bank Asia Pacific 2.054.975 Thomas Suyatno
3. Bank Baja Internasional 35.769 Riyanto
4. Bank Central Dagang 1.403.491 Sam Handojo
5. Bank Dagang Industri 481.548 Prof DR. H Sukamdani SG
6. Bank Danahutama 184.818 Sofjan Wanandi
7. Bank Dewa Rutji 609.408 Rudolf Kasenda
8. Bank Ficorinvest 917.853 Deddy Nurjaman
9. Bank Indonesia Raya 4.018.236 Atang Latief
10. Bank Intan 401.548 Fadel Muhammad
11. Bank Lautan Intan 240.817 Ulung Bursa
12. Bank Papan Sejahtera 928.911 Hasim S. Djojohadikusumo
13. Bank Pesona (d/h Bank Utama) 2.334.896 Sigit Harjojudanto
14. Bank Putra Surya Perkasa 1.938.945 Slamet S. Gondokusumo
15. Bank Tata Internasional 221.276 Ny. Susilawati Wijaya NG
16. Bank Umum Sertivia 361.976 Rijanto Sastroatmodjo
17. Bank Upindo 242.956 Miranda S Gultom
18. Sewu Internasional Bank 642.247 Dasuki Angkosubroto
Sub Total 17.320.988
Korupsi dan Penyelewengan BLBI 43 /
(dalam juta rupiah)
IV. BANK DALAM LIKUIDASI (BDL)
1. Bank Anrico 210.081 Prof. Harun Alrasjid Zain
2. Bank Astria Raya 578.918 Henry Liem
3. Bank Citrahasta Danamanunggal 201.802 Suyoso Sukarno
4. Bank Dwipa Semesta 110.105 Dr Yoga Sugomo
5. Bank Guna Internasional 251.055 Letjen TNI (Purn) Sutopo Yuwono
6. Bank Harapan Sentosa 3.866.182 Hendra Rahardja
7. Bank Industri 511.470 Hasim Djojohadikusumo
8. Bank Jakarta 210.994 H. Probosutedjo
9. Bank Kosagraha Semesta 201.812 Setiawan Chandra
10. Bank Mataram Dhanarta 336.763 Sri Sultan HB X
11. Bank Pacific 2.133.366 Hendrik Willem T
12. Bank Pinaesaan 681.084 HR Rembert
13. Bank Umum Majapahit Jaya 8.555 Roy E. Tirtadji
14. Sejahtera Bank Umum 1.687.350 Hasudungan Tampubolon
15. South East Asia Bank 899.399 Tidjan Ananto
Sub Total 11.888.936
TOTAL 144.536.086
*)
*) Angka dari BI adalah Rp 144.536.094.294.530, perbedaan terjadi karena
pembulatan.
44 Korupsi dan Penyelewengan BLBI /
No. NAMA BANK
TOTAL BLBI
(dalam juta Rp)
TOTAL
(dalam juta Rp)
I BANK BEKU OPERASI (BBO)
1. Bank Centris Internasional 629.624 629.624
2. Bank Dagang Nasional Indonesia 37.039.766 36.359.270
3. Bank Deka 152.918 152.918
4. Bank Hokindo 214.228 214.228
5. Bank Istimarat Indonesia 520.236 520.236
6. Bank Modern 2.557.693 2.557.693
7. Bank Pelita 1.989.832 1.989.832
8. Bank Subentra 860.853 860.853
9. Bank Surya 1.653.836 1.653.836
10. Bank Umum Nasional 12.067.961 12.067.961
Sub Total 57.686.947 57.686.947
II BANK TAKE OVER (BTO)
1. Bank Central Asia 26.596.277 26.596.277
2. Bank Danamon Indonesia 23.049.526 23.049.526
3. Bank PDFCI 1.995.000 1.995.000
4. Bank Tiara Asia 2.978.093 2.978.093
5. Bank Nusa Nasional/BNN 3.020.319 3.020.319
Sub Total 57.639.215 57.639.215
III BANK BEKU KEGIATAN USAHA (BBKU)
1. Bank Aken 301.318 301.318
2. Bank Asia Pacific 2.054.975 2.054.975
3. Bank Baja Internasional 35.769 35.769
4. Bank Central Dagang 1.403.491 1.403.491
5. Bank Dagang Industri 481.548 481.548
6. Bank Danahutama 184.818 184.818
7. Bank Dewa Rutji 609.408 609.408
8. Bank Ficorinvest 917.853 917.853
9. Bank Indonesia Raya 4.018.236 4.018.236
10. Bank Intan 401.548 401.548
11. Bank Lautan Berlian 240.817 240.817
12. Bank Papan Sejahtera 928.911 928.911
13. Bank Pesona (d/h Bank Utama) 2.334.896 2.334.896
14. Bank Putra Surya Perkasa 1.938.945 1.938.945
15. Bank Tata Internasional 221.276 221.276
16. Bank Umum Sertivia 361.976 361.976
17. Bank Upindo 242.956 242.956
18. Sewu Internasional Bank 642.247 642.247
Sub Total 17.320.988 17.320.988
Lampiran3
Daftar Potensi Kerugian Negara dalam Penyaluran BLBI
berdasarkanBank Penerima per 29 Januari 1999
Korupsi dan Penyelewengan BLBI 45 /
IV BANK DALAM LIKUIDASI (BDL)
1. Bank Anrico 210.081 9.804
2. Bank Astria Raya 578.918 456.969
3. Bank Citrahasta Danamanunggal 201.802 158.404
4. Bank Dwipa Semesta 110.105 103.135
5. Bank Guna Internasional 251.055 0
6. Bank Harapan Sentosa 3.866.182 1.766.590
7. Bank Industri 511.470 232.346
8. Bank Jakarta 210.994 0
9. Bank Kosagraha Semesta 201.812 154.940
10. Bank Mataram Dhanarta 336.763 283.265
11. Bank Pacific 2.133.366 1.925.514
12. Bank Pinaesaan 681.084 411.118
13. Bank Umum Majapahit Jaya 8.555 8.555
14. Sejahtera Bank Umum 1.687.350 231.415
15. South East Asia Bank 899.399 733.317
Sub Total 11.888.936 6.475.372
TOTAL 144.536.086 138.442.026
46 Korupsi dan Penyelewengan BLBI /
NO NAMA BANK
JUMLAH TEMUAN
(dalam juta Rp)
I BBO
1. Bank Centris Internasional 294.634
2. Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI) 24.472.424
3. Bank Deka 105.668
4. Bank Hokindo 202.317
5. Bank Istimarat 60.743
6. Bank Modern 666.583
7. Bank Pelita 1.066.308
8. Bank Subentra 515.738
9. Bank Surya 281.196
10. Bank Umum Nasional (BUN) 5.093.545
II BTO
1. Bank Central Asia (BCA) 15.818.750
2. Bank Danamon 13.803.739
3. Bank Nusa Nasional/BNN 1.192.494
4. Bank PDFCI 982.222
5. Bank Tiara Asia 2.216.691
III BBKU
1. Bank Aken 127.322
2. Bank Asia Pacific (ASPAC) 850.467
3. Bank Baja Internasional 17.683
4. Bank Central Dagang (BCD) 1.554.565
5. Bank Dagang dan Industri (BDI 215.033
6. Bank Danahutama 88.282
7. Bank Dewa Rutji 459.580
8. Bank Ficorinvest 305.682
9. Bank Indonesia Raya (BIRA) 3.659.486
10. Bank Intan 103.458
11. Bank Lautan Berlian 18.103
12. Bank Papan Sejahtera 539.434
13. Bank Pesona (d/h Bank Utama) 2.042.095
14. Bank Putra Surya Perkasa (PSP) 1.875.575
15. Bank Sewu 494.891
16. Bank Tata 348.526
17. Bank Umum Sertivia 911.002
18. Bank Upindo 633.708
Lampiran4
Daftar Potensi Kerugian Negara dalam Peyimpangan Penggunaan
BLBI berdasarkanBank Penerima per 29 Januari 1999
Korupsi dan Penyelewengan BLBI 47 /
IV BDL
1. Bank Anrico -
2. Bank Astria Raya 162.741
3. Bank Citrahasta Danamanunggal 4.181
4. Bank Dwipa Semesta 32.021
5. Bank Guna Internasional 2.251
6. Bank Harapan Sentosa 539.486
7. Bank Industri 183.458
8. Bank Jakarta 85.353
9. Bank Kosagraha Semesta 22.134
10. Bank Mataram Dhanarta 17.909
11. Bank Pacific 2.249.785
12. Bank Pinaesaan 213.106
13. Bank Sejahtera Bank Umum (SBU) 151.668
14. Bank South East Asia Bank (SEAB) 154.403
15. Bank Umum Majapahit 5.722
885.784
-
IKHTISAR
JUMLAH BBO (10 Bank) 32.759.156
JUMLAH BTO (5 Bank) 34.013.896
JUMLAH BBKU (18 Bank) 14.244.892
JUMLAH BDL (15 Bank) 3.824.218
JUMLAH (48 Bank ) 84.842.162
48 Korupsi dan Penyelewengan BLBI /
Bab 4
INKONSISTENSI
PENEGAKAN HUKUM
DALAM KASUS BLBI
Marwan Batubara
Pada bagian sebelumnya, telah dinyatakan bahwa pengucuran BLBI
sarat dengan berbagai penyimpangan dan penyelewengan, hampir pada
setiap bentuk fasilitas yang diberikan. Akibat berbagai penyimpangan
tersebut, negara harus menanggung kerugian sangat besar, yang jika ditotal
secara keseluruhan, termasuk untuk program obligasi rekapitalisasi dan
bunganya, setidaknya mencapai lebih dari Rp 600 triliun. Dampaknya pun
masih harus ditanggung rakyat saat ini dan bahkan hingga beberapa waktu
yang akandatang.
Dengan dampak yang luar biasa tersebut, sangat wajar dan logis jika
pemerintah melakukan penanganan kasus BLBI secara sangat serius dan
meletakkannya sebagai prioritas utama agenda pemerintah. Hal ini terutama
agar uang negara yang telah terkucurkan dalam jumlah besar tersebut dapat
kembali, sehingga dapat digunakan untuk mengurangi beban berat
Inkonsistensi Penegakan Hukum dalam Kasus BLBI 49 /
pembayaran utang pemerintah dalam APBN (yang sebagian besarnya juga
merupakanakibat dari perbuatanpara koruptor BLBI tersebut).
Keseriusan penanganan kasus BLBI seharusnya dapat terlihat dari
jumlah koruptor BLBI yang berhasil diadili dan dimintakan
pertanggungjawaban. Keseriusan itu juga seharusnya terlihat dari
pemberian sanksi hukum setimpal yang dikenakan kepada masing-masing
koruptor. Terakhir, adalah pada bagaimana mereka menyelesaikan
kewajiban-kewajibanpembayaranutang mereka kepada pemerintah.
Namun, pada kenyataannya proses penyelesaian kasus BLBI sama
sekali jauh dari indikasi keseriusan itu. Bahkan, proses itu sangat nyata
menampakkan ketidakadilan. Untuk memperoleh kembali uang negara yang
telah dikucurkan, pemerintah dengan sangat mudah memberikan
keringanan bagi obligor BLBI, seperti antara lain dengan memangkas
jumlah utang tunai yang harus dibayar dan membebaskan mereka dari
tuntutan hukum. Padahal, hasil yang didapat pun tidak maksimal, karena
tingkat pengembalian uang BLBI (termasuk obligasi rekap) nyatanya hanya
berkisar 28%saja.
Pemberian keringanan bagi obligor BLBI juga melanggar hukum dan
peraturan perundang-undangan yang ada. Hukum menghendaki
diberikannya perlakuan yang sama kepada semua orang, tanpa pandang
bulu. Sementara itu, berbagai fasilitas yang diberikan pemerintah kepada
obligor BLBI jelas menunjukkan tidak digunakannya asas tersebut.
Bagaimana mungkin para obligor diberikan kemudahan, padahal mereka
adalahpihak yang telahmenyebabkankerugianbesar bagi negara?
Tulisan ini dan dua bab berikutnya akan menguraikan sejumlah
ketidakadilandaninkonsistensi penegakanhukumdalampenyelesaiankasus
BLBI. Disini penulis hendak menunjukkan bahwa proses penegakan hukum
dalam kasus BLBI selama ini tidak memenuhi asas-asas kepatutan maupun
keadilan. Sebaliknya, penegakan hukum dalam kasus BLBI justru sarat
dengan kompromi, inkonsistensi, dan bahkan manipulasi. Padahal, tindakan
penyelewengan BLBI yang dilakukan para obligor jelas merupakan tindak
pidana yang harus diproses sepenuhnya secara hukum.
Karena itulah, fasilitas-fasilitas pengampunan yang diberikan
pemerintah kepada para obligor, seperti mekanisme PKPS (Penyelesaian
Kewajiban Pemegang Saham) dapat dinyatakan sebagai langkah yang
50 Inkonsistensi Penegakan Hukum dalam Kasus BLBI /
mengabaikan dan tidak menghormati otoritas hukum. Terlebih lagi
kebijakan pemberian (R & D), yaitu penghapusan status
tindak pidana bagi para obligor kelas kakap yang telah melunasi sebagian
kecil utangnya. Hal ini jelas merupakan pelecehan dan penghinaan terhadap
supremasi hukum yang tidak akan pernah dapat dibenarkan dalam sebuah
negara bersendikanhukum seperti Indonesia.
Sebelumbentuk-bentuk inkonsistensi hukumdalampenyelesaian kasus
BLBI diuraikan, perlu disinggung terlebih dulu istilah mengenai .
Hal ini diperlukan, mengingat konsep kerap disebut sebagai
pijakanargumentasi dari pemberianampunkepada para obligor BLBI.
Istilah berasal dari bahasa Perancis yang secara literal berarti
kekuatan yang lebih besar . Istilah ini sering digunakan dalam
kontrak untuk menyatakan bebasnya salah satu atau kedua belah pihak
dalam kontrak, dari beban atau kewajiban jika terjadi hal-hal atau keadaan
luar biasa yang berada di luar kendali pihak-pihak yang berkontrak. Keadaan
luar biasa yang dimaksud mencakup antara lain perang, demonstrasi,
kerusuhan, dan /bencana alam (gempa bumi, banjir, gunung
meletus dansebagainya).
Dasar pembebasan para pihak dari kewajiban ini adalah karena situasi-
situasi dianggap merupakan penghalang bagi salah satu atau
kedua belah pihak untuk melaksanakan kewajibannya. Sehingga, dengan
pencantuman ketentuan mengenai , pihak-pihak yang
berkontrak dapat berlepas diri dari kewajiban jika terjadi hal-hal di luar
perhitungan atau kendali manusia. Meski demikian, aturan ini sama sekali
tidak dimaksudkan untuk membenarkan tindakan penghindaran atau
pelepasan diri dari tanggung jawab pihak yang berkontrak dalam memenuhi
kewajibannya.
Dalam kasus BLBI, bank-bank dan obligor penerima BLBI kerap
berlindung dibalik alasan untuk melepaskan diri dari tanggung
jawab memenuhi kewajiban membayar seluruh utang-utangnya kepada
pemerintah. Hal ini karena, menurut mereka, krisis moneter (yang membuat
mereka menerima kucuran BLBI) merupakan kondisi keterpaksaan yang
release and discharge
(rechstaat)
force majeure
force majeure
force majeure
(greater force)
act of God
force majeure
force majeure
force majeure
Force Majeure sebagai Alasan Bangkrutnya Perbankan
Inkonsistensi Penegakan Hukum dalam Kasus BLBI 51 /
tidak dapat dihindari. Atau dengan kata lain, krisis moneter merupakan
, sehingga sudah sewajarnya mereka menerima uluran bantuan dari
pemerintah melalui program BLBI untuk menyelamatkan diri dari krisis.
Atas dasar alasan itu pula, hendak diyakinkan bahwa bangkrutnya
perbankan meskipun telah menerima kucuran BLBI adalah sesuatu yang
harus ditanggung bersama sebagai ongkos krisis.
Padahal, argumentasi-argumentasi tersebut jelas tidak sepenuhnya
benar (bahkan sangat kental dengan aspek ), dan harus
dipertanyakanlebihjauh.
Hasil pemeriksaan BPK, misalnya, menemukan bahwa kolapsnya
perbankan pada tahun 1998 (sehingga menyebabkan dana BLBI tidak
banyak membantu dalam menyehatkan kondisi perbankan) ternyata lebih
disebabkan oleh faktor lemahnya sistem pembinaan dan pengawasan bank
oleh BI. Bentuk-bentuk lemahnya pengawasan BI tersebut mencakup
pelanggaran BMPK (Batas Maksimum Pemberian Kredit) dan pemberian
kesempatan kepada bank-bank untuk melakukan proses kliring meskipun
rekening gironya di BI telahbersaldonegatif.
Selain itu, anggapan bahwa krisis moneter yang terjadi di Indonesia
merupakan peristiwa a juga dapat dibantah. Seperti diketahui, krisis
yang melanda Indonesia pada tahun 1998 bermula di Thailand pada tahun
1997. Secara bertahap, krisis baru kemudian menyebar ke wilayah-wilayah di
sekelilingnya, termasuk Indonesia. Karena itulah, menurut pengacara senior
Frans Hendra Winarta, krisis moneter di Indonesia tidak dapat
dikategorikan sebagai . Menurut Frans, terjadinya krisis moneter di
Indonesia merupakan hal yang dapat diprediksi Sehingga,
antisipasi terhadap terjadinya krisis juga sudah sewajarnya merupakan
tanggung jawabpihak-pihak terkait.
Ketidakadilan dalam kasus BLBI sangat nampak dari proses
penyelesaian yang dilakukan pemerintah untuk menuntaskan kasus ini.
Walaupun uang yang dikucurkan pemerintah melalui BLBI demikian besar,
namun penyelesaiannya ternyata tidak dilakukan secara serius, konsekuen,
dan mempertimbangkan aspek keadilan masyarakat. Pemerintah justru
act of
God
moral hazard
ct of God
act of God
(predictable).
Penyelesaian Kasus BLBI melalui Mekanisme PKPS
52 Inkonsistensi Penegakan Hukum dalam Kasus BLBI /
memberikan banyak kemudahan dan fasilitas yang meringankan para
obligor BLBI dalam membayar dan melunasi utang-utangnya kepada
negara.
Pemberian sejumlah fasilitas itu, seperti dinyatakan pemerintah,
bertujuan agar pengembalian uang negara oleh para bankir dapat terealisasi
secara maksimal. Sehingga, fokusnya adalah agar uang pinjaman yang
dikucurkanmelalui BLBI dapat ditarik kembali ke kas negara.
Logika ini sekilas mungkin terdengar realistis, namun jelas mengandung
ketidakadilan. Obsesi untuk memperoleh kembali uang negara justru seakan
meremehkan tindakan hukum yang seharusnya diberlakukan kepada para
obligor yang telah melanggarnya. Asalkan para obligor mengembalikan
uang, kasus hukum ditutup. Para penikmat uang rakyat itu pun dapat
melenggang bebas tanpa konsekuensi hukumapapun.
Apalagi, ternyata fasilitas yang sudah sangat murah hati tersebut
disalahgunakan juga oleh para obligor dengan melakukan berbagai
manipulasi, seperti penyerahan aset-aset fiktif dan sebagainya. Sehingga,
tujuan untuk memperoleh pengembalian uang negara pun pada akhirnya
tidak tercapai, danobligor bebas tanpa sanksi pidana.
Untuk jelasnya, berikut akan dipaparkan sejumlah langkah yang
dilakukan pemerintah dalam penyelesaian kasus BLBI dan fasilitas yang
diberikan kepada para obligor BLBI dalam rangka pelunasan utang-
utangnya.
Dalam rangka mengoptimalkan pengembalian dana BLBI ke kas
negara, pemerintah melalui BPPN membuat beberapa langkah, yang pada
intinya berbentuk tiga hal sebagai berikut:
Mengalihkan kewajiban bank menjadi kewajiban pemegang saham
pengendali (pemilik bank). Perjanjian ini khususnya diberlakukan
bagi bank-bank beku operasi (BBO) dan bank beku kegiatan usaha
(BBKU). Pemerintah, bersama pemegang saham bank-bank
tersebut menandatangani perjanjian yang dinamakan sebagai
(MSAA) dan
(MRNIA).
Mengkonversi BLBI menjadi Penyertaan Modal Sementara (PMS).
Pola ini diberlakukanpada bank-bank (BTO).