Anda di halaman 1dari 4

Catatan Najwa - Najwa Shihab

Ringkasan

Delapan belas tahun lamanya Ia tekuni hidupnya sebagai seorang presenter. RCTI, stasiun
pertama sebelum Ia memilih bergabung bersama Metro TV yang dianggapnya lebih mengembangkan
bakat jurnalistriknya. Mata Najwa, siaran yang sudah Ia pimpin selama tujuh tahun lamannya, tempat
Najwa Shihab, yang biasa dipanggil Nana, berkecimpung dalam jurnalistik, menggapai cita-citanya
dengan bertukar pikiran, ide, dan gagasan pada banyak masysrakat, dari golongan atas, menengah,
hingga ke bawah. Kecintaanya pada jurnalisme telah mendorongnya hingga membuka jutaan untuk
melihat, jutaan telinga untuk mendengar, dan jutaan mulut untuk beraspirasi terhadap persoalan-
persoalan yang telah terjadi di Indonesia, negara kita tercinta.
Peristiwa demi peristiwa dibincangkan dalam Mata Najwa, mereka yang selalu bungkam,
tidak ada keinginan untuk mengutarakan pendapatnya, spontan secara tak sadar mengatakannya
dihadapan publik karena pertanyaan santai yang selalu dilontarkan Najwa kepada narasumbernya.
Tak hanya secara verbal, tatapan serius yang meyakinkan seperti menyihir setiap narasumber untuk
berkata jujur seadanya.
Mengangkat narasumber Megawati, putri proklamator yang pertama, maju sebagai satu-
satunya presiden wanita pertama di Indonesia. Identik dengan diam, sikap inilah yang pernah
menentukan kostelasi politik dalam negeri ini. Najwa mengatakan bahwa visinya tak mudah
dimengerti, namun gagasanya lebur dalam aksi partai. Terbukti dengan Presiden kita yang sekarang,
Joko Widodo, yang akan memimpin kita lima tahun lamanya, setelah lima tahun sebelumnya sudah
membuktikan kerja nyatanya dalam membangun Indonesia. Hiruk pikuknya dalam pemerintahan
Indonesia masih jelas terasa. Delapan belas tahun yang lalu, sejak kelengseranya sebagai presiden,
pengaruhnya dalam dunia politik masih terasa hingga kini. Cukup lama berpengalaman sebagai ketua
umum PDIP, sindiran demi sindiran dilontarkan demi kebaikan bangsa. Sikap inilah menjadi panutan
bagi ganyak orang, bukan verbalnya melainkan keretorikannya.
Tidak jauh berbeda dengan Bodieono, wakil presiden pada masa pemerintahan Megawati. Pak
Boed, sapaan akrab Boediono, termasuk dalam pejabat yang bekerja dibalik layar. Jauh dari media,
hening dari ingar-ingar berita, begitulah yang Najwa katakan dalam bukunya. Pak Boed salah satu
contoh dari segelintir pejabat yang kerja tanpa membumbui dirinya dengan citra. Posisi Pak Boed
sangatlah rentan terhadap pemerintahan. Samsak amuk politik pun dilemparkan padanya ketika
skandal Century membetot dirinya. Banyak keteladanan yang Pak Boed berikan pada kita semua.
Dibalik lamanya ia berkuasa namun tetap santun dalam batasan, hidup sederhana tanpa perhiasan.
Sudah menjadi ciri khasnya hidup dalam kesederhaan, meskipun lingkaran penguasa melilitnya. Pak
Boed paham betul akan posisinya sebagai wakil presiden, membantu sang presiden, bersiap di
gelanggang sebagai pengganti. Dari ratusan penjabat lainnya, keteladananya dalam jabatan adalah
yang nomor satu. Tak pernah berkeinginan melampaui atasan. Dalam artian tidak ingin mengkhianati
pasangannya, demi tahta kuasa yang bersifat sementara.
“Bekerja dengan tangan dan kaki sendiri, berkarya dengan memeras keringat sendiri. Sebab
Indonesia milik semua anak bangsa, tanah air bukan kapling warisan keluarga,” goresan catatan
Najwa, sederhana namun bermakna. Seperti sudah menjadi tradisi anak-anak pejabat mengeksploitasi
kedudukan orang tua yang menjadi petinggi. Sudah bukan menjadi rahasia apabila elit penguasa di
Indonesia, bersama dengan sanak keluarga menjabat secara turun-temurun. Sudah banyak pemimin
yang terpilih hanya karena memiliki suara dalam kancah politik, mengesampingkan yang lain, yang
bekerja dibalik layar. Keadilan terasa runtuh, budaya turun temurun mengalahkan mereka yang
bekerja tanpa pamrih. “Semua orang dapat menjadi pemimpin”, kiasan yang hanya menjadi memori,
wacana bertahun-tahun yang tidak dapat teruwujud.
Berbeda dengan anak presiden ketujuh, Gibran dan Kaesang, beraktivitas seperti biasa,
menyikapi konstelasi politik yang tak jarang menghujam Jokowi. Najwa menulis bahwa Indonesia
bukanlah kerajaan, tidak ada putra mahkota, semua warga punya hak setara. Hanya satu saksi buta
yang dapat menceritakan segalanya. Istana Merdeka menjadi gudang bertumpuk kisah pemerintahan,
jatuh bangun kekuasaan, hingga kisah romantis yang terjalin di dalamnya. Fasilitas yang
diberikannyamembuat siapapun dapat terlena, melakukan segala cara agar tetap menjadi orang nomor
satu di Indonesia. Kelak penerus bukanlah terobosan baru, melainkan jalur khusus bagi yang masih
memiliki hubungan darah.
Kepintaran bukanlah hal utama dalam menjadi pemimpin. Nyali yang kuat tak lepas dari
sekian banyak syarat utama yang harus dimiliki. Tidak ada pemimpin yang tidak dkritik, dicela,
bahkan dihina. Terjebak dalam macetnya pemerintahan, terkurung dalam realitas yang berantakan.
Berkedok mendobrak keadaan meskipun berujung mengokohkan kemapanan. Sistem pemerintahan
demokrasi tak jarang menggelitik badan ketika politik penuh dengan kekeliruan. “Demokrasi
seharusnya menjadi rusng terbuka, dimana membutuhkan usaha anda, ikthiar saya, dan usaha kita
semua” cuitan Najwa dalam catatanya.
Satu-satunya cara yang dapat membawa terobosan baru hanyalah gebrakan mahasiswa muda,
aset besar negara dengan sejuta potensi yang terpendam. Dalam salah satu episode Mata Najwa,
Najwa mengundang pemimpin muda yang meggebrak kepemimpinan. Dalam simpulan episodenya,
Najwa mengatakan pemimpin muda harus punya cara, memoerbaharaui keburukan lama, galak demi
rakyat lemah, marah untuk membela kekuasaan. Perjuangan kaum mahasiswa sudah terbukti lewat
Sumpah Pemuda yang selalu kita peringati pada tanggal 28 Oktober. Perlahan tapi pasti bukti nyata
mahasiswa berperan besar dalam membawa kemerdekaan Indonesia. Namun dalam semua keinginan
kaun muda mendobrak jeadaan, oenghalang besar sudah menghadang. Tradisi turun temurun seakan
membatasi mereka yng ingin berksrya membangun bangsa, membawa perubahan, tanpa mengincar
kekuasaan. Belum lagi keputusan keputusan pemerintahan yang semakin membatasi diri maju dalam
kancah politik. Otonomi dan desentralisasi contoh nyatanya. Kewenangan menjadi semakin luas,
mengatasnamakan pemerataan, membuat para walikota dan bupati bebas terjun menelusuri jaring
kekuasaanya. “Dimanakah hakikat desentralisasi, jika yang ramai korupsi dan politik dinasti ?”,
sebuah pertanyaan yang menyadarkan kita keanehan pemerintahan yang selama ini tidak kita sadari.
Lemahnya pengawasan dan jauhnya jangkauan, membuka akses melenarkan sayap kekuasaan. Belum
lagi peraturan daerah yang diventuk bukan sebagai solusi atas suatu permasalahan, melainkan
mengatur urusan pribadi guna kepentingan kegiatan elit. Hukum yang haursnya menjadi alat
perubahan sosialm menjadi ajang pembakuan moral demi mengukir citra di depan masyrakat.
Beralih ke topik jual diri. Strategi yang sudah tak asing lagi ketika pmilu sudah dekat. Politik
kotor tampak di setiap sudut pemerintahan. Pemakaian spanduk dibatasi, memaksa mereka untuk
mencari cara mengumpulkan suara. Makelar suara jadi solusi, demi mendapatkan popularitas. Secara
tidak sadar harga diri telah terjual, hanya untuk sebuah bangku yang hanya bersifat sementara.
Mereka yang bimbang dengan mudah disodorkan iming iming segepokx uang, satu demi satu suara
terkumpul. Atas nama popularitas, hakikat demokrasi pun diterabas. “Tak kenal maka tak sayang, tak
ada uang caleg siap ditendang”, sebuah kalimat tamparan bagi mereka yang sekarang duduk karena
sebuah popularitas.
Puncaknya terjadi pada Pilpres tahun 2014. Menurut penglihatanya, Najwa menyimpulkan
siapa saja bisa menjadi rpesiden, dari rakyat jelata hingga selebritas. Bermodal popularitas,
kemampuan tak diperhitungkan, percaya diri didahulukan. Miris memang mendengar bahwa hal ini
nyata benar adanya. Untungnya presiden pilihan kita sudah menunjukkan kerja nyatanya, meskipun
tak lepas dari hujatan karena masyarajat yang hanya ingin menikmati hasil tanpa melihat kembali
usaha yang sudah diklakukan dalam membangun bangsa kita.
Rezim demi rezim terus diperbaharui, terus maju dengan harapan membawa negara masuk
kembali pada masa kejayaanya. Korupsi, penyelewangan atau penyalahgunaan uang negara, sudah
seperti kerja sampingan yang tampaknya wajib dimiliki oleh tiap tikus berdasi seraya mengabdi
kepada masyarakat. Tidak mengejutkan bahwa banyak pejabat yang melakukan korupsi. Alih alih
mengabdi pada negeri, malah sibuk memeprkaya diri. Puncak korupsi pernah terjadi pada kasus yang
menimpa ketua MK. Kebobrokan eksekutif makin terlihat. Harapan satu-stunya bagi keadlian negara,
malah terciduk melakukan korupsi. Trias Koruptika yang menjadi ungkapan Najwa dalam
menggambarkan dinamika korupsi ini. Hidup bagai sapi perah, sembari melihat antrian pejabat masuk
penjara. Bukan sembarang penjara yang mereka tempati. Penjara Istimewa, tempat yang sangat
mudah untuk dibayangkan. Sederet fasilitas menemani layaknya tinggal dirumah sendiri. Segala
aturan diterabas karena mudahnya suap menyuap.
Negara hukum dengan penegakkan hukum yang lemah, apakah masih bisa disebut negara
hukum ? Kekuasaan yang diberikanndengan harapan membebaskan, bermetamorfosis menjadi alat
penindasan, membungkam siapapun yang mengungkapan kedok busuk, segala kritik pun dianggap
pembangkangan. Lucunya negeri ini apabila masih bertahan dengan Negara Hukum, dimana hukum
menghukum rakyatnya tanpa status yang jelas. Upaya demi upaya didemokan oleh kaum kecil.
Namun apa daya apabila kita tidak memiliki uang, citra, dan popularitas ? Memberangus kebenaran,
memerdekakan kebohongan. Dalam salah satu episode Mata Najwa, Najwa mengundang wong cilik,
yang mencoba menggugat negara. Mereka yang berdompet tipis, maju sendiri melawan nagara, tanpa
dampingan pengacara.
Sang Whistle Blower, sebutan bagi mereka yang melindungi negara, dengan menyingkirkan
hoax hoax, membuka kedok kedok kebusukan, dan dimusuhi sebagai pengkhianat. Keberanian seperti
merekalah yang patut kita teladani dan kita contoh agar negara ini dapat bersih dari korupsi,
permasalahan utama penghambat majunya Indonesia. Orang orang seperti mereka yang seharusnya
dan sepatutnya dilindungi negara.

Kesimpulan Kelompok
menurut kelompok kami hanya ada satu cara yang pasti dalam mengatasi dinamika
yang terjadi di Indonesia ini. Hal ini disebabkan karena masiswa dipercaya dapat membawa
perubahan, mendobrak situasi yang mnegepung indonesia saat ini. Sudah sepatutnya apabila
mahasiswalah yang berperan membawa perubahan bagi negeri ini. Catatan Najwa yang
dituliskan dalam buku ini, sudah merangkum peristiwa peristiwa besar yang pernah terjadi di
Indonesia, yang mungkin sudah kita lupakan. Kami menyimpulkan bahwa secara tidak sadar
buku ini seperti ingin mengajak para kaum muda untuk lebih kritis dalam membawa Indonesia
kembali pada masa kejayaanya.

Anda mungkin juga menyukai