Anda di halaman 1dari 3

Peran Pelajar Dalam Menjaga Integritas Bangsa

Posted by Abu Muhammad Ibrahim on 21:53


Ketika intelektual dan politikus idealis menjadi pahlawan dengan berhasil melahirkan demokrasi untuk indonesia, kita selaku
rakyat hanya bisa larut dalam euforia demolrasi yang entah sampai kapan akan berakhir. Telah lebih dari satu dekade
demokrasi di Indonesia, namun kita masih saja belum mampu menentukan kemana indonesia harus melangkah? Apa cita-
cita Indonesia? Dan indikator apa yang dicanangkan untuk mengukur keberhasilan cita-citanya?

 Kenyataan yang terjadi, pasca reformasi rakyat Indonesia malah semakin melarat. Karena itu, timbul pikiran dari sebagian

kecil warga negara: kenapa tidak Indonesia kembali ke rezim lama saja? Pikiran-pikiran ini timbul karena kekecewaan dan

rasa putus asa warga negara yang mereka, dengan sisa-sisa semangat yang ada, masih setia berfikir untuk perubahan

bangsa. Sebagian besar lainnya sedah lelah berfikir (kalau memang tidak layak disebut 'putus asa'). Sebagian besar warga

negara sudah terlalu kecewa dengan rezim penguasa. Mereka telah lelah dengan janji-janji akan kesejahteraan dan

perbaikan ekonomi. Sebagian besar warga negara ini memang sudah mengubur dalam-dalam cita-cita dan berhenti

berkarya karena tidak pernah difasilitasi dan miskin apresiasi. Dedikasi tinggi bagi kebangkitan Bumi Pertiwi tidak yang tak

pernah diberi apresiasi telah membuat integritas kebangsaan kita lemah dan semangat nasionalisme (baca:

persatuan/ukwah) menjadi rapuh.

Krisis integritas dan rapuhnya semangat nasionalisme kebangsaan kita adalah karena elit penguasa yang berfikir terlalu

pragmatis dan krisis idealitas. Penyakit ini hinggap pada hampir semua elit penguasa karena mereka hanya berfikir untuk

kenikmatan pribadi dan golongan semata dan tidak pernah mau ambil pusing dalam menentukan arah kebangkitan bangsa

yang berpengaruh pada kesejahteraan yang mereta bagi segenat warga negara. Pikiran akan kesejahteraan warga negara

untuk tahap jangka panjang dan tak berkesudahan sering tidak menjanjikan apa-apa bagi cita-cita penumpukan harta

negara ke dalam kantong pribadi elit penguasa. Mereka (elit penguasa) yang senantiasa berbicara "nasionalisme" dan

"integritas bangsa" pada hakikatnya telah menjadi agen perusak nasionalisme dan integritas itu sendiri.

Dalam kelelahan yang luar biasa hampir semua masyarakat indonesia, seniman dan budayawan masih sedia mengajak

segelintir anak bangsa, pemuda-pelajar, untuk jauh dari putus asa. Mereka mengajak anak-anak bangsa untuk terus

memelihara cita-cita dan berani bermimpi.

Setia memelihara cita-cita dan berani bermimpi yang masih terus dijaga dan dirawat segelintir pemuda harapan masa depan

Indonesia ternyata tidak mudah mewujudkannya. Pragmatisme penguasa dan pesimisme luar biasa masyarakat sikitar

lingkungannya adalah ancaman luar biasa bagi terpelihara dan terawatnya mimpi-mimpi dan cita-cita segelintir

pemuda.Disinilah peran Lembaga Swdaya Masyarat, OKP, Ormas dan lembaga-lembaga non pemerintah lain (Non

Goverment Organisation [NGO])dibutuhkan. Kita harus mampu menjadi motifator, insprator, controller dan fasilitator mimi-

mimpi pemuda-pelajar yang luarbiasa besar.


Disamping itu, kita juga harus mampu meminimalisir ancaman bagi mimpi-mimpi pemuda-pelajar dari penguasa dan budaya

kecewa mayoritas masyarakat Indonesia.Banyak kalangan yang abai akan eksistensi pelajar sebagai bagian dari warga

negara juga mampu menghasilkan karya yang dapat meningkatkan harkat dan martabat serta menjaga integritas bangsa.

Karena itu, kita harus melihat pelajar sebagai pelaku subjek bukan objek dari perubahan dan penentuan kebijakan. (lihat

Falsafah Gerakan Pelajar Islam Indonesia (PII), Kodifikasi Hasil-hasil Muktamar Nasional PII XXVI, Ambon)

Pragmatisme dan hedonisme elit penguasa adalah realita yang dapat dilihat bersama namun hampir tidak ada yang bisa

mencegahnya. Secara de jure, eksekutif memang dipilih oleh rakyat, namun secara de facto, kehadiran mereka ditentukan

oleh penguasa perusahaan besar. Mereka menyokong segala kebutuhan yang bersangkutan untuk memenangkan pemilu.

Sehingga, prioritas utama mereka setelah menjadi penguasa adalah menuruti keinginan perusahaan-perusahaan penyokong

yang hampir selalu merugikan rakyat. Sokongan seperti ini tidak jarang juga terjadi pada anggota legislatif. Karena

pengendalian negara yang tanpa arah dan tiada visi oleh pejabat sarat kopusi, maka kebebasan yang diberikan kepada

rakyat seharusnya dibarengi dengan orientasi kebangsaan yang jelas dan terah sehingga rakyat bisa bertanggung jawab

atas kebebasan yang dimiliki. Karena kebebasan itu barulah ideal bila core tanggungjawab. (Habibie, 2010 h.247)

Kebijakan-kebijakan hukum yang melanggengkan para elit pejabat dan perusahaan dalam mencuri dan mengkebiri hak-hak

rakyat untuk berkarya dan berekspresi secara positif guna meningkatkan harkat dan marwah bangsa adalah karena idealitas

dan moralitas para wakil rakyat yang bobrok. Bahkan hampir semua kebijakannya menghambat anak bangsa untuk

berkarya. Salah pilih wakil oleh rakyat adalah karena rakyat itu sendiri telah salah menentukan indikator baik-buruknya

seseorang.Lembaga yudikatif yang seharusnya dapat mengawal terciptanya kebijakan yang pro-rakyat tidak bisa berbuat

banyak karena segala produk hukumnya yang, bagaikan kitab sastra, mudah sekali ditafsirsan secara subjektif, sehingga

dapat memenangkan siapa saja yang punya uang. Hal ini telah menggoda hampir semua aparat yang berkaitan dengan

penegakan hukum untuk ikut "memperkosa" produk hukum yang memang telah "aneh" itu demi

ekeping uang dan setingkat jabatan.

Dominasi korporasi bahkan telah menghambat lembaga TNI untuk berwira usaha. Dengan iming-iming kenaikan anggaran

belanja keamanan, TNI telah dijadikan semacam orang lain di negeri sendiri. Ini adalah salah satu bukti dimana korporasi

semakin berkuasa atas kedaulatan sebuah bangsa. Dengan berkedok domokratisasi, mereka mengendalikan semua

kebijakan negara dan rakyat semakin sengsara (bandingkan, Wolf, 2007). 

***

Sebaik apapun mekanisme yang dirancang bagi terfasilitasi dan terapresiasikannya potensi-potensi besar dari pemuda-

pelajar, keberhasilan akan tercapainya cita-cita itu semuanya ditentukan oleh lingkungan.

Untuk dapat menemukan langkah-langkah yang dapat kita tempuh dalam rangka tercapainya mimpi dan cita-cita pemuda

pelajar, agar ini tidak dihambat oleh lingkungan masyarakat, terlebih dahulu kita harus dapat mengidentifikasi karakter

masyarakat.
Nabi Muhammad Saw. mengecam orang-orang yang yang memiliki sifat-sifat iri dan dengki. Dalam agama Islam kita

dilarang berburuk hati bila orang lain disekitar kita dikarunia kelebihan yang tidak kita punyai.Larangan ini bertujuan agar

kita dapat melihat kelebihan orang lain dengan jiwa lapang, terbukan dan turut memberi apresiasi. Ini dimaksud agar

pikiran kita terarah pada pencapaian yang dimiliki sehingga kita dapat berlajar dari proses-proses orang lain itu memperolah

sukses dan dapat menerapkannya pula dalam kehidupan kita pula. Karakter dan cara pandang seperti ini akan melahirkan

budaya persaingan yang sehat. Dan mungkin inilah yang dimaksud dalam Al-Qur'an: Berlomba-lombalah (dalam meraih)

kebaikan.

Semua orang akan menemukan dirinya sangat sempurna di hadapan cermin. Hal ini karena, bila mengarah pada diri sendiri,

kita hanya mampu melihat segelintir kelebihan kita dan mengabaikan sejuta kekurangan yang dimiliki. Bila kelebihannya

satupun tidak ada, akal kita akan mencari terus menerus kelebihan itu hingga menemukan satu yang paling baik diatara

semua yang buruk. Lebih parah lagi, untuk menutupi kekurangan diri, banyak diantara kita yang menghujat bakat, minat,

karir dan profesi orang lain. Dia menjadikan dirinya sendiri yang serba kekurangan itu sebagai indikator dari segala

sesuatu.Karakter imunitas diri seperti ini telah mengakar dalam diri masyarakat Indonesia. 

Menciptakan pemuda pelajar yang militan, bekepribadian luhur serta berani bermimpi adalah tugas kita bersama.

Pemerintah boleh-boleh saja berusaha agar tidak ada NGOs lagi yang menangani persoalan-persoalan bangsa dengan

alasan negara sanggup meng-cover semua. Padahal usaha ini karena untuk memilimalisir kritik terhadap mereka.

Usaha licik ini takkan pernah terjadi.NGOs. akan terus hadir dalam rangka memperjuangkan nasib mereka yang tertindas.

Toleransi masih harus tumbuh dari dalam dirikita untuk mentang penguasa penguasa yang dzalim (Wahid, 2007 h.14). Dari

sekian banyak mereka yang hidup senang bergelimpangan harta, namun orang yang selalu teguh memperjuangkan hati

nurani pasti akan terus ada. 

NGOs di struktur formal dan sekretariatnya memang terus berkurang, namun hati nurani sebagian manusia tidak akan

pernah mati. Meski mereka terlihat tiarap, sewaktu-waktu mereka dapat saja muncul dengan jumlah masa yang

mencengangkan karena mereka peka media, peka teknologi. Jejaring sosial adalah salah satu wadah dimana hati nurani

manusia masih diterima (Chapra, 2008) dan masih akan terus hadir "pembela-pembela Prita" yang setia

Anda mungkin juga menyukai