Kenyataan yang terjadi, pasca reformasi rakyat Indonesia malah semakin melarat. Karena itu, timbul pikiran dari sebagian
kecil warga negara: kenapa tidak Indonesia kembali ke rezim lama saja? Pikiran-pikiran ini timbul karena kekecewaan dan
rasa putus asa warga negara yang mereka, dengan sisa-sisa semangat yang ada, masih setia berfikir untuk perubahan
bangsa. Sebagian besar lainnya sedah lelah berfikir (kalau memang tidak layak disebut 'putus asa'). Sebagian besar warga
negara sudah terlalu kecewa dengan rezim penguasa. Mereka telah lelah dengan janji-janji akan kesejahteraan dan
perbaikan ekonomi. Sebagian besar warga negara ini memang sudah mengubur dalam-dalam cita-cita dan berhenti
berkarya karena tidak pernah difasilitasi dan miskin apresiasi. Dedikasi tinggi bagi kebangkitan Bumi Pertiwi tidak yang tak
pernah diberi apresiasi telah membuat integritas kebangsaan kita lemah dan semangat nasionalisme (baca:
Krisis integritas dan rapuhnya semangat nasionalisme kebangsaan kita adalah karena elit penguasa yang berfikir terlalu
pragmatis dan krisis idealitas. Penyakit ini hinggap pada hampir semua elit penguasa karena mereka hanya berfikir untuk
kenikmatan pribadi dan golongan semata dan tidak pernah mau ambil pusing dalam menentukan arah kebangkitan bangsa
yang berpengaruh pada kesejahteraan yang mereta bagi segenat warga negara. Pikiran akan kesejahteraan warga negara
untuk tahap jangka panjang dan tak berkesudahan sering tidak menjanjikan apa-apa bagi cita-cita penumpukan harta
negara ke dalam kantong pribadi elit penguasa. Mereka (elit penguasa) yang senantiasa berbicara "nasionalisme" dan
"integritas bangsa" pada hakikatnya telah menjadi agen perusak nasionalisme dan integritas itu sendiri.
Dalam kelelahan yang luar biasa hampir semua masyarakat indonesia, seniman dan budayawan masih sedia mengajak
segelintir anak bangsa, pemuda-pelajar, untuk jauh dari putus asa. Mereka mengajak anak-anak bangsa untuk terus
Setia memelihara cita-cita dan berani bermimpi yang masih terus dijaga dan dirawat segelintir pemuda harapan masa depan
Indonesia ternyata tidak mudah mewujudkannya. Pragmatisme penguasa dan pesimisme luar biasa masyarakat sikitar
lingkungannya adalah ancaman luar biasa bagi terpelihara dan terawatnya mimpi-mimpi dan cita-cita segelintir
pemuda.Disinilah peran Lembaga Swdaya Masyarat, OKP, Ormas dan lembaga-lembaga non pemerintah lain (Non
Goverment Organisation [NGO])dibutuhkan. Kita harus mampu menjadi motifator, insprator, controller dan fasilitator mimi-
kecewa mayoritas masyarakat Indonesia.Banyak kalangan yang abai akan eksistensi pelajar sebagai bagian dari warga
negara juga mampu menghasilkan karya yang dapat meningkatkan harkat dan martabat serta menjaga integritas bangsa.
Karena itu, kita harus melihat pelajar sebagai pelaku subjek bukan objek dari perubahan dan penentuan kebijakan. (lihat
Falsafah Gerakan Pelajar Islam Indonesia (PII), Kodifikasi Hasil-hasil Muktamar Nasional PII XXVI, Ambon)
Pragmatisme dan hedonisme elit penguasa adalah realita yang dapat dilihat bersama namun hampir tidak ada yang bisa
mencegahnya. Secara de jure, eksekutif memang dipilih oleh rakyat, namun secara de facto, kehadiran mereka ditentukan
oleh penguasa perusahaan besar. Mereka menyokong segala kebutuhan yang bersangkutan untuk memenangkan pemilu.
Sehingga, prioritas utama mereka setelah menjadi penguasa adalah menuruti keinginan perusahaan-perusahaan penyokong
yang hampir selalu merugikan rakyat. Sokongan seperti ini tidak jarang juga terjadi pada anggota legislatif. Karena
pengendalian negara yang tanpa arah dan tiada visi oleh pejabat sarat kopusi, maka kebebasan yang diberikan kepada
rakyat seharusnya dibarengi dengan orientasi kebangsaan yang jelas dan terah sehingga rakyat bisa bertanggung jawab
atas kebebasan yang dimiliki. Karena kebebasan itu barulah ideal bila core tanggungjawab. (Habibie, 2010 h.247)
Kebijakan-kebijakan hukum yang melanggengkan para elit pejabat dan perusahaan dalam mencuri dan mengkebiri hak-hak
rakyat untuk berkarya dan berekspresi secara positif guna meningkatkan harkat dan marwah bangsa adalah karena idealitas
dan moralitas para wakil rakyat yang bobrok. Bahkan hampir semua kebijakannya menghambat anak bangsa untuk
berkarya. Salah pilih wakil oleh rakyat adalah karena rakyat itu sendiri telah salah menentukan indikator baik-buruknya
seseorang.Lembaga yudikatif yang seharusnya dapat mengawal terciptanya kebijakan yang pro-rakyat tidak bisa berbuat
banyak karena segala produk hukumnya yang, bagaikan kitab sastra, mudah sekali ditafsirsan secara subjektif, sehingga
dapat memenangkan siapa saja yang punya uang. Hal ini telah menggoda hampir semua aparat yang berkaitan dengan
penegakan hukum untuk ikut "memperkosa" produk hukum yang memang telah "aneh" itu demi
Dominasi korporasi bahkan telah menghambat lembaga TNI untuk berwira usaha. Dengan iming-iming kenaikan anggaran
belanja keamanan, TNI telah dijadikan semacam orang lain di negeri sendiri. Ini adalah salah satu bukti dimana korporasi
semakin berkuasa atas kedaulatan sebuah bangsa. Dengan berkedok domokratisasi, mereka mengendalikan semua
***
Sebaik apapun mekanisme yang dirancang bagi terfasilitasi dan terapresiasikannya potensi-potensi besar dari pemuda-
pelajar, keberhasilan akan tercapainya cita-cita itu semuanya ditentukan oleh lingkungan.
Untuk dapat menemukan langkah-langkah yang dapat kita tempuh dalam rangka tercapainya mimpi dan cita-cita pemuda
pelajar, agar ini tidak dihambat oleh lingkungan masyarakat, terlebih dahulu kita harus dapat mengidentifikasi karakter
masyarakat.
Nabi Muhammad Saw. mengecam orang-orang yang yang memiliki sifat-sifat iri dan dengki. Dalam agama Islam kita
dilarang berburuk hati bila orang lain disekitar kita dikarunia kelebihan yang tidak kita punyai.Larangan ini bertujuan agar
kita dapat melihat kelebihan orang lain dengan jiwa lapang, terbukan dan turut memberi apresiasi. Ini dimaksud agar
pikiran kita terarah pada pencapaian yang dimiliki sehingga kita dapat berlajar dari proses-proses orang lain itu memperolah
sukses dan dapat menerapkannya pula dalam kehidupan kita pula. Karakter dan cara pandang seperti ini akan melahirkan
budaya persaingan yang sehat. Dan mungkin inilah yang dimaksud dalam Al-Qur'an: Berlomba-lombalah (dalam meraih)
kebaikan.
Semua orang akan menemukan dirinya sangat sempurna di hadapan cermin. Hal ini karena, bila mengarah pada diri sendiri,
kita hanya mampu melihat segelintir kelebihan kita dan mengabaikan sejuta kekurangan yang dimiliki. Bila kelebihannya
satupun tidak ada, akal kita akan mencari terus menerus kelebihan itu hingga menemukan satu yang paling baik diatara
semua yang buruk. Lebih parah lagi, untuk menutupi kekurangan diri, banyak diantara kita yang menghujat bakat, minat,
karir dan profesi orang lain. Dia menjadikan dirinya sendiri yang serba kekurangan itu sebagai indikator dari segala
sesuatu.Karakter imunitas diri seperti ini telah mengakar dalam diri masyarakat Indonesia.
Menciptakan pemuda pelajar yang militan, bekepribadian luhur serta berani bermimpi adalah tugas kita bersama.
Pemerintah boleh-boleh saja berusaha agar tidak ada NGOs lagi yang menangani persoalan-persoalan bangsa dengan
alasan negara sanggup meng-cover semua. Padahal usaha ini karena untuk memilimalisir kritik terhadap mereka.
Usaha licik ini takkan pernah terjadi.NGOs. akan terus hadir dalam rangka memperjuangkan nasib mereka yang tertindas.
Toleransi masih harus tumbuh dari dalam dirikita untuk mentang penguasa penguasa yang dzalim (Wahid, 2007 h.14). Dari
sekian banyak mereka yang hidup senang bergelimpangan harta, namun orang yang selalu teguh memperjuangkan hati
NGOs di struktur formal dan sekretariatnya memang terus berkurang, namun hati nurani sebagian manusia tidak akan
pernah mati. Meski mereka terlihat tiarap, sewaktu-waktu mereka dapat saja muncul dengan jumlah masa yang
mencengangkan karena mereka peka media, peka teknologi. Jejaring sosial adalah salah satu wadah dimana hati nurani
manusia masih diterima (Chapra, 2008) dan masih akan terus hadir "pembela-pembela Prita" yang setia