Anda di halaman 1dari 3

Nama : Made Arya Hartawan

NIM : 15114042

Nawacita : Carut-Marut Hukum dan Perpolitikan Indonesia


Nawa Cita atau Nawacita adalah istilah umum yang diserap dari bahasa Sanskerta, nawa
(sembilan) dan cita (harapan, agenda, keinginan). Dalam perpolitikan di Indonesia konsep Nawacita
digunakan oleh Presiden Indonesia ketujuh yaitu Ir.Joko Widodo atau yang lebih dikenal dengan Jokowi.
Nawacita menjadi program unggulan oleh Presiden Jokowi dalam membangun Indonesia lima tahun ke
depan. Program ini digagas untuk menunjukkan prioritas jalan perubahan menuju Indonesia yang
berdaulat secara politik, serta mandiri dalam bidang ekonomi dan berkepribadian dalam kebudayaan.
Berikut inti dari sembilan program tersebut :
1. Menghadirkan kembali negara untuk melindungi segenap bangsa dan memberikan rasa aman pada
seluruh warga negara, melalui politik luar negeri bebas aktif, keamanan nasional yang terpercaya
dan pembangunan pertahanan negara Tri Matra terpadu yang dilandasi kepentingan nasional dan
memperkuat jati diri sebagai negara maritim.
2. Membuat pemerintah tidak absen dengan membangun tata kelola pemerintahan yang bersih, efektif,
demokratis, dan terpercaya, dengan memberikan prioritas pada upaya memulihkan kepercayaan
publik pada institusi-institusi demokrasi dengan melanjutkan konsolidasi demokrasi melalui
reformasi sistem kepartaian, pemilu, dan lembaga perwakilan.
3. Membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan desa dalam kerangka
negara kesatuan.
4. Menolak negara lemah dengan melakukan reformasi sistem dan penegakan hukum yang bebas korupsi,
bermartabat, dan terpercaya.
5. Meningkatkan kualitas hidup manusia Indonesia melalui peningkatan kualitas pendidikan dan pelatihan
dengan program "Indonesia Pintar"; serta peningkatan kesejahteraan masyarakat dengan program
"Indonesia Kerja" dan "Indonesia Sejahtera" dengan mendorong land reform dan program
kepemilikan tanah seluas 9 hektar, program rumah kampung deret atau rumah susun murah yang
disubsidi serta jaminan sosial untuk rakyat di tahun 2019.
6. Meningkatkan produktivitas rakyat dan daya saing di pasar internasional sehingga bangsa Indonesia bisa
maju dan bangkit bersama bangsa-bangsa Asia lainnya.
7. Mewujudkan kemandirian ekonomi dengan menggerakkan sektor-sektor strategis ekonomi domestik.
8. Melakukan revolusi karakter bangsa melalui kebijakan penataan kembali kurikulum pendidikan nasional
dengan mengedepankan aspek pendidikan kewarganegaraan, yang menempatkan secara
proporsional aspek pendidikan, seperti pengajaran sejarah pembentukan bangsa, nilai-nilai

patriotisme dan cinta Tanah Air, semangat bela negara dan budi pekerti di dalam kurikulum
pendidikan Indonesia.
9. Memperteguh kebhinnekaan dan memperkuat restorasi sosial Indonesia melalui kebijakan memperkuat
pendidikan kebhinnekaan dan menciptakan ruang-ruang dialog antarwarga.
Salah satu program aksi utamanya adalah penegakan hukum dan pemberantasan korupsi. Disebutkan
lebih lanjut, salah satu masalah utama bangsa Indonesia yang menghambat kemajuan adalah wibawa
negara yang rendah karena tidak mampu menegakkan hukum. Tulisan kali ini coba mengkritisi spirit dari
program aksi Nawacita pada sektor penegakan hukum dan pemberantasan korupsi dengan mengacu pada
kenyataan politik-hukum yang ada.
Tentu saja, melakukan kritik atas program aksi jangka panjang Nawacita pada saat pemerintahan
berkuasa baru berjalan dalam hitungan bulan bisa dianggap tidak adil. Namun, strategi pengelolaan
kekuasaan, kualitas kepemimpinan, dan keberanian Presiden dan Wakil Presiden terpilih selama periode
berkuasanya dapat menjadi patokan akan ke mana nasib penegakan hukum dan pemberantasan korupsi
berakhir, apakah akan kembali mundur beberapa langkah, bertahan, ataukah melesat jauh untuk
merealisasikan mimpi Nawacita itu.
Rapuhnya kuasa Presiden. Presiden dalam sistem pemerintahan presidensial seperti di Indonesia
idealnya memiliki kekuasaan besar untuk mengendalikan, mengontrol, dan menggerakkan semua sumber
daya yang ada untuk menggapai tujuan. Namun, kenyataan politik sering mengecohnya.
Jokowi dalam periode awal pemerintahan tampak gagap menggunakan otoritas yang dimilikinya,
terganggu oleh berbagai manuver politik lingkarannya sendiri, dan terbelenggu jejaring kepentingan
ekonomi-politik yang tersambung dengan kepentingan elite penegak hukum. Akibatnya, salah satu
lembaga negara yang lahir dari semangat reformasi, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), lumpuh
dalam hitungan bulan sejak Jokowi berkuasa.
Para pendukung KPK pun satu per satu mengalami situasi yang paling pahit, di era di mana publik
semestinya dapat berharap lebih kepada Jokowi-Kalla daripada penguasa sebelumnya.
Penegakan hukum yang saat ini tengah berjalan tampak seperti zombie yang tidak memiliki jiwa,
terutama jiwa keadilan. Motif politis lebih kental mengendalikan aksi penegakan hukum dibandingkan
dengan cita-cita luhur untuk memastikan hadirnya negara dalam memberikan perlindungan dan rasa aman
bagi warganya.
Teror oleh negara dalam bentuk kesewenang-wenangan penegak hukum untuk membungkam daya
kritis publik dalam melawan korupsi dan melumpuhkan berbagai institusi kuasi negara yang menjadi ciri
utama dari negara demokrasi modern justru dilakukan atas nama penegakan hukum. Modus operandi
yang digunakan secara logis dapat dicerna dengan mudah oleh masyarakat awam sekalipun.
Membabi buta. Merencanakan aksi penegakkan hukum dengan membabi buta melalui berbagai
elemen pendukung yang mendapat akses luas untuk melaporkan pihak-pihak yang disasar demi
pembalasan dendam berjalan dengan sangat rapi dan leluasa.

Titah Jokowi untuk menghentikan semua bentuk kriminalisasi tak mampu menembus telinga dan
nurani penegak hukum. Sebab, pada saat yang sama, suara Presiden dan wakilnya tidak pada frekuensi
yang sama.
Dalam politik Indonesia, banyak anomali terjadi. Presiden, karena bukan ketua umum partai politik,
tak sanggup mengendalikan partainya sendiri. Alih-alih memberikan dukungan politik, justru partai yang
mengusung Jokowi menjadi presiden menggembosi dan menggerogoti wibawa Presiden dengan pemicu
sederhana: karena "gula-gula" yang diminta tak diberikan.
Presiden yang bukan ketua umum parpol, setinggi apa pun derajat dan kekuasaannya, tetap petugas
partai. Pada saat yang sama, ada titik temu kepentingan karena elite partai, pengacara kotor, pengusaha
korup, dan elite penegak hukum yang selama ini menikmati kekuasaan dan hidup senang dalam sistem
yang korup harus diadili oleh KPK.
Mereka sadar bahwa KPK adalah kekuasaan lain yang dapat mengancam keberlangsungan sistem
kemaruk yang sering disebut oligarki. Dalam realitas politik seperti ini, masih dapatkah kita bermimpi
untuk mewujudkan koalisi politik tanpa bagi-bagi kursi?
Sepertinya ide untuk memisahkan jabatan politik dengan jabatan publik untuk menghindari konflik
kepentingan dan penyalahgunaan kekuasaan belum dapat berjalan dalam konteks Indonesia. Untuk bisa
berkuasa dan kuat, seorang presiden tampaknya perlu secara langsung mengendalikan partai.

Anda mungkin juga menyukai