Anda di halaman 1dari 2

HALAMAN TERAKHIR

Yogyakarta di dekade ketiga pasca kemerdekaan menjadi saksi bisu atas kasus pemerkosaan
yang dialami oleh Sumaryah, si penjual telur yang baru berusia 16 tahun. Jalanan di Jakarta
tahun 1970an ikut menjadi saksi bisu atas mobil-mobil mewah yang tiba-tiba memenuhinya. Dan
Mabak Polri (Markas Besar Kepolisian) saat itu, punya kisahnya sendiri.

Kasus Sumaryah terjadi pada suatu senja yang sepi. Saat sedang berjalan sendirian, gadis lugu itu
dipaksa masuk ke dalam sebuah mobil, dibius, dan digilir oleh tiga laki-laki di dalam mobil
tersebut. Tidak ada saksi mata, hanya kelebatan ingatan Sumaryah saat sekali waktu dia tersadar,
atau mungkin saat sedikit kesadarannya masih ada. Mulanya, kasus ini semacam kejahatan biasa,
tetapi sejak Djaba Kresna, jurnalis harian Pelopor, mengangkat kasus ini dalam tulisan-
tulisannya, serta menerbitkan dugaan-dugaan berikut investigasi amatirnya, kasus ini semakin
ramai, hingga terdengar di Jakarta. Kesimpulan Kresna mengarah pada sebuah keluarga yang
cukup berada, mengingat jenis mobil yang cukup mewah, serta deskripsi yang cocok dengan
yang dikatakan oleh Sumaryah. Namun, kepolisian daerah dan pengadilan semacam mencari-cari
celah tidak logis, serta menempatkan Sumaryah—yang notabene adalah korban—seperti
penjahat itu sendiri. Hal ini semakin menguatkan adanya ‘permainan’ yang dilakukan untuk
melindungi pihak-pihak tertentu. Oleh karena rumitnya kasus ini, Hoegeng sampai-sampai
mengirim tim investigasi khusus dari Jakarta untuk membantu.

Dalam waktu yang hampir bersamaan, Polri sedang meyelidiki kasus penyelundupan mobil-
mobil mewah. Rangkaian penyelidikan panjang, penyamaran, hingga pengejaran sudah
dilakukan dengan hasil yang cukup memuaskan. Akan tetapi, ternyata kejahatan beromset
puluhan juta rupiah ini teramat kuat untuk ditangani sendirian. Banyak pihak yang sudah
terlanjur terlibat, dari dalam maupun luar negeri, dari petugas rendahan hingga pejabat. Pihak-
pihak inilah; pihak-pihak yang ingin melindungi dirinya, pihak-pihak yang tak ingin kehilangan
pendapatan tambahan yang sangat besar, yang sulit untuk dihentikan karena proses hukum yang
berjalan belum bisa menghentikan mereka. Tantangan ini tak bisa dihadapi dengan cara-cara
yang biasa.
Dua kasus tersebut dipilih oleh penulis sebagai sarana untuk menceritakan kisah hidup Jenderal
Polisi Hoegeng yang pada saat itu menjabat sebagai Kapolri. Hoegeng yang dikenal dengan
kejujuran dan ketegasannya cukup tercermin dari caranya menangani kasus-kasus ini. Tak
sebatas itu saja, penulis juga dengan lihai menyusun sekilas potret-potret penting dari perjalanan
hidup Hoegeng, mulai dari masa kanak-kanaknya, perjalanan pendidikan dan karirnya,
kehidupan pribadi, serta—yang utama—peranannya dalam kepolisian yang mengantarkannya
menuju kursi Kapolri.

Cara penulisan buku ini cukup mudah diikuti, dengan bab-bab pendek, bahasa yang mengalir,
ritme yang teratur, hingga tak memerlukan waktu lama bagi saya untuk menyelesaikannya.
Walaupun bukan jenis buku yang kisahnya akan mengejutkan kita, sesekali terselip juga adegan-
adegan seru seperti pengejaran yang digambarkan dengan detail, termasuk bagaimana cara
penulis mengakhiri kisah ini cukup membuat saya ingin segera menyelesaikan membacanya,
apalagi bagian sejarah ini cukup asing untuk saya. Ini bukan kali pertama saya membaca fiksi
sejarah karya penulis, tetapi perasaan bahwa fakta-fakta sejarah ditampilkan dengan terlalu kaku
masih ada, meskipun tak sebanyak yang sebelumnya.

Sudah bukan rahasia lagi bahwa Orde Baru menyimpan kisah-kisah kebobrokan moral dan sosial
di kalangan para pejabat. Buku ini menegaskan beberapa di antaranya; budaya suap-menyuap,
KKN, sampai pada pembungkaman pers. Hoegeng sebagai karakter yang jujur termasuk sosok
yang langka. Prinsipnya untuk menolak pemberian yang berpotensi sebagai suap, juga kehati-
hatiannya dalam mengambil keputusan pribadi yang berpotensi sebagai penyalahgunaan jabatan,
memaksa keluarganya untuk hidup sederhana.

“Menerima pemberian pertama itu seperti menaruh kuman di lengan. Akan terasa sedikit gatal,
lantas kita akan menggaruknya pelan-pelan dengan rasa nikmat luar biasa. Makin sering dan
makin banyak diterima, gatal itu akan semakin intens, menggaruknya pun harus semakin keras,
hingga bernanah. Karena itu, jauhi kuman dan upayakan untuk jangan sampai menempel pada
bagian tubuh kita. Uang akan membuat tubuh kita selalu gatal bagai luka korengan.” (hal.131)

Namun, keberadaan sosok semacam Hoegeng adalah duri dalam daging bagi pihak lain yang
terlibat dalam ‘permainan kotor’ bisnis dan politik. Pencopotan Hoegeng sebagai Kapolri pada
akhirnya tak lepas dari unsur tersebut. Realitas yang sampai saat ini tidak langka di negara kita,
kejujuran seringkali dikalahkan oleh kewenangan dan kebiasaan, meskipun itu salah. Hukum
yang tumpul ke atas dan tajam ke bawah, mentalitas menghalalkan segala cara demi
mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya, dan budaya yang mengagungkan hedonisme di atas
harga diri.

Buku ini bisa jadi salah satu dari sekian buku yang merekam Indonesia di masa Orde Baru. Buku
yang menunjukkan sekelumit alasan mengapa kekuasaan yang berlangsung selama 32 tahun
menghasilkan masalah yang masih dialami sampai sekarang. Meski tidak secara terang-terangan
mengkritik pemerintahan Presiden Soeharto pada masa itu, buku ini memberi petunjuk-petunjuk
kecil tentang apa yang mungkin luput dari pengetahuan masyarakat kala itu. Apalagi sebagian
besar masalah itu sudah berakar sejak zaman penjajahan, dan dipupuk sampai sekarang.

Anda mungkin juga menyukai