Anda di halaman 1dari 5

Oetimu, Persimpangan Tempat Bertemunya Orang-Orang

dengan Masa Lalu Kelam dan Penuh Dendam


*Dedy Ahmad Hermansyah

Judul : Orang-Orang Oetimu


Penulis : Felix K. Nesi
Halaman : i- viii + 220 hlm
Cetakan : pertama, Juli 2019

“Jangan dibunuh, sekalipun itu orang jahat. Jangan diperkosa sekalipun itu kuda,”
Am Siki.

“Sebuah contoh fiksi etnografis yang digarap dengan baik,” begitu kutipan
pertanggungjawaban Dewan Juri Sayembara Novel DKJ 2018 atas novel yang ditulis
oleh Felix K. Nesi, laki-laki asal Nusa Tenggara Timur (NTT) ini. Novel etnografis? Di
bayangan saya novel ini akan ‘mengeksploitasi’ sedalam-dalamnya perihal kehidupan
dan tradisi suatu daerah lengkap dengan permasalahan dan kebijaksanaannya. Rupanya
saya keliru.
Memang pada bagian saat memperkenalkan tokoh bernama Am Siki ada nuansa
‘etnografis’ yang saya bayangkan sebelumnya. Ada aroma magis di mana keluarga Am
Siki percaya jika leluhur mereka dulunya tercipta dari pohon lontar. Seluruh
keluarganya mati tersebab pohon lontar. Ayah hingga buyut Am Siki semuanya mati di
bawah naungan lontar. “Sebab tercipta dari lontar, maka mati terhempas dari pohon
lontar adalah jalan pulang yang mulia untuk bersatu dengan leluhurnya.”

Suku Am Siki sendiri tidak suka berperang. Mereka punya prinsip bijak: “segala yang
tumbuh di atas tanah itu hanya milik leluhur semata. Jika membutuhkan sesuatu,
ambillah, tetapi untuk apa berperang?”

Namun gambaran magis dan mistis tersebut hanya bertahan tak sampai dua bab penuh.
Sisanya adalah hamparan peristiwa tragis, kelam, suram, dan berbalut dendam di
antara tokoh-tokohnya. Seluruh jenis peristiwa tersebut berlangsung pada wilayah kecil
bernama Oetimu di pelosok NTT dalam kurun waktu 1990an, saat Orde Baru sedang
garang-garangnya.

Oetimu dalam Novel yang memenangkan Sayembara Novel DKJ ini sebetulnya daerah
yang unik dan menarik. Ia adalah persimpangan tempat bertemunya orang-orang
dengan masa lalu yang menyedihkan, kelam, dan menyimpan dendam. Oetimu adalah
daerah di mana cermin dan simbol praktik kekuasaan yang menindas dihamparkan.
Oetimu adalah garba yang berisi segala macam keliaran, kelicikan, dan tindakan
kesewenang-wenangan berlangsung.

Cinta yang kandas hingga dendam akibat peristiwa politik yang kisruh

Setidaknya dalam empat bagian pertama novel ini, kita dihadapkan pada fragmen latar
peristiwa dan tokoh yang berbeda-beda. Sementara bab-bab berikutnya beberapa tokoh
dari bagian sebelumnya mulai bertemu dan berjalinlah cerita yang baru.

Pada bagian-bagian awal kita direntangkan kisah peristiwa penyerbuan rumah Matin
Kabiti pada malam final piala dunia antara Brazil dan Prancis. Berikutnya kita diajak
mengikuti peristiwa politik berupa kudeta di Lisabon, Ibukota Portugal, tahun 1974,
yang ikut berimbas pada peristiwa politik lainnya di Timor Timur. Kemudian kita akan
berkenalan dengan tokoh lokal penting dan dianggap pahlawan karena telah
membunuh banyak sekali tentara Nipon di wilayah Kamp Kerja Paksa: Am Siki. Lalu
sebagai akibat dari peristiwa kisruh politik di bagian sebelumnya, kita akan berkenalan
dengan gadis remaja Portugis bernama Laura, korban perkosaan masa perang, yang lalu
melahirkan tokoh ‘penting’ di bagian-bagian sisa novel: Sersan Ipi.

Sebetulnya, ada banyak sekali tokoh dalam novel ini. Dan penulisnya terlihat berupaya
menceritakan secara detail kisah masa lalu mereka. Mungkin bagi sebagian pembaca hal
ini nampak membosankan. Namun demikian cara penulis menggambarkan peristiwa
yang kadang konyol dan kocak, liar dan cukup vulgar, dan tragis mengharu-biru,
menjadikan bagian yang berpotensi menjemukan ini sedikit tertanggungkan.

Tokoh-tokoh dalam novel ini, secara garis besar, berurusan dengan kisah pribadi
masing-masing seperti masalah percintaan (yang kandas), namun terikat dan berjalin
kelindan dengan peristiwa politik yang lebih besar. Ambil contoh, kisah cinta terlarang
Romo Josef dan Maria yang beririsan dengan kebencian Maria terhadap aparat dan elit
negara serta sedikit banyak pada gereja. Puncak kebencian Maria ini meledak pada
acara pemakaman suami dan anaknya yang masih kecil karena ditabrak oleh Unimog,
kendaraan buatan Jerman yang digunakan oleh militer Indonesia saat kisruh Timor
Timur. Kendaraan militer ini ternyata sudah memakan banyak korban sipil, namun
anehnya dianggap biasa saja. Maria lalu mengakhiri hidupnya dengan terjun ke bawah
jembatan setelah Romo Josef memilih tinggal di daerah pedalaman, Oetimu.

Atau Sersan Ipi sendiri, dia berasal dari keluarga Portugis yang turut menjadi korban
peristiwa kudeta di Timor Timur. Atau juga Silvy, perempuan muda yang menjadi
rebutan laki-laki di Oetimu, yang lahir dan besar dalam keluarga yang kacau setelah
ibunya meninggalkan ayahnya dan dia, dan ayahnya menghabiskan seluruh hartanya
untuk membeli minuman keras dan menyewa pelacur. Atau terakhir Martin Kabiti yang
didatangi oleh Atino untuk balas dendam atas kematian keluarganya saat meledak
kekacauan politik di Timor Timur.

Liar, konyol dan jenaka, juga sekaligus tragis


Kesan paling kuat yang terkandung dalam setiap lembar novel ini adalah keliaran,
kekonyolan, kejenakaan, juga kesedihan yang tragis. Kita akan tertawa dengan berbagai
jenis tawa macam tawa tertahan hingga yang terbahak-bahak. Kita akan sedih dengan
berbagai tingkatan kesedihan. Nyaris tak ditemukan warna sentimental di dalam novel
ini.

Simak saja alasan nyaris absurd Am Siki yang membunuh tentara Belanda. “…Saya
membunuh bukan untuk menyelamatkan Bangsa, tetapi untuk menyelamatkan kuda
saya.” Ya, dia sakit hati karena kudanya diperkosa tentang Jepang. Peristiwa ini dia
ulang-ulang terus dalam dongeng yang diceritakan kepada anak-anak Oetimu—yang
membikin resah para orang tua—dengan mengulang-ulang bagian nasib kudanya.
“Jangan dibunuh, sekalipun itu orang jahat. Jangan diperkosa sekalipun itu kuda.”

Kekonyolan semacam yang dialami Am Siki juga dengan mudah kita dapatkan pada
bagian-bagian dan tokoh-tokoh lain dalam novel ini.

Keliaran juga berceceran di beberapa bab, khususnya berkaitan dengan seks dan
minum-minuman keras. Penggambaran hubungan ‘panas’ ini cukup vulgar dan liar.
Namun demikian, kita bisa menangkap makna dan simbol lain dari hubungan asmara
tersebut. Kita akan menemukan bagaimana praktik tersembunyi dan rahasia beberapa
pastor berkaitan dengan seks. Atau cermin klise di mana hasil dari hubungan seks
sangat merugikan perempuan dan laki-laki hanya bisa tertawa dan tidak merasa
bersalah sama sekali.

Kesan yang tidak kalah kuatnya adalah soal nasib (cinta) yang tragis. Entah kenapa
banyak tokoh di dalam novel ini mati ‘begitu saja’ meninggalkan luka dan harapannya.
Laura, perempuan muda Portugis ibu kandung Sersan Ipi memutuskan mengakhiri
hidupnya setelah melahirkan anaknya. “Saya sudah melahirkan dengan selamat,
Kek,…Sekarang, biarkan saya bertemu dengan ayah ibu.”

Sersan Ipi sendiri juga mati dengan kepala terpotong tertebas kelewang saat bertarung
dengan orang yang menyerang rumah Matin Kabiti—sementara dia tengah
mempersiapkan pernikahannya dengan Silvy. Dan Maria, perempuan aktivis yang
pernah menjalin affair dengan Romo Josef bunuh diri dengan terjun ke bawah jembatan
Liliba tak lama setelah suami dan anak kecilnya mati ditabrak kendaraan militer
Indonesia dan menyusul Josef yang memilih pindah ke pedalaman Oetimu. Sungguh
tragis. Dan penggambaran tentang kematian mereka tidak diceritakan dengan
sentimental. Mereka mati, ya mati begitu saja!

*Bergiat di Komunitas Literasi Teman Baca Kota Mataram, NTB. Penulis


dan peneliti lepas.

Alamat: Jl Pemuda no 69 (Samping Gereja Bethlehem), Kelurahan Dasan


Agung Baru, Kecamatan Selaparang, Kota Mataram, Nusa Tenggara Barat
(NTB) (83125). No kontak: 082339244839.

No rekening: 0400833709. Bank BNI a/n Dedy Hermansyah.

Anda mungkin juga menyukai