Anda di halaman 1dari 8

Nama

NPM
Mata Kuliah
Pengajar

: Petsy Jessy Ismoyo


: 1206339090
: Filsafat Eropa (Paper Presentasi)
: DR. J. Haryatmoko
Suma Riella R., M.Hum.
PROGRAM PASCASARJANA
KAJIAN WILAYAH EROPA UNIVERSITAS INDONESIA

BANALITAS KEJAHATAN
MENURUT HANNAH ARENDT
Pendahuluan
Totalitarianisme merupakan kondisi sosial politik yang dikritisi oleh Hannah
Arendt. Ia merujuk pada Nazisme dan Stalinisme sebagai contoh terjadinya banalitas
kejahatan yang dilakukan oleh negara. Hannah Arendt menekankan bahwa adanya
kebebasan adalah alasan dari berpolitik. Konsep manusia politis erat kaitannya
dengan ruang publik dan meredefinisi arti kekuasaan (totalitarianisme).
Tulisan ini menguraikan pemikiran Hannah Arendt mengenai banalitas
kejahatan yang dimulai dengan konsep manusia dan hubungannya dengan manusia
lain. Hubungan itu mengarah pada konsep ruang publik, kewarganegaraan, dan
tindakan politis individu yang berada dalam bingkai negara. Kemudian, penulis akan
menjelaskan mengenai banalitas kejahatan dari penyebab, model kekerasan, hingga
contoh reportase Eichmann in Jerusalem. Penulis juga akan memberikan contoh
banalitas kejahatan yang terjadi di Indonesia dan diakhiri dengan penutup.
Manusia, Kewarganegaraan, dan Ruang Publik
Eksistensi manusia ada karena kehadiran manusia lain. Untuk itu, manusia
disebut sebagai homo politicus. Politik adalah field di mana manusia mampu
mencapai puncak eksistensinya. Jika politik diibaratkan sebagai sebuah persidangan,
manusia adalah pihak yang memaparkan pemikiran dan tindakannya untuk mencapai
sebuah kebenaran. Eddie S. Riyadi dalam tulisannya mengenai pemikiran Hannah
Arendt menjelaskan bahwa secara antropologi filosofis manusia adalah makhluk
plural dan bebas. Manusia satu berbeda dengan manusia lainnya baik dari tutur,
tindakan, ekspresi, dan cara berkomunikasinya dengan manusia lain. Satu-satunya
kesamaan manusia adalah ketidaksamaan pribadinya. Hal ini menjelaskan pentingnya
hubungan 'manusia' dengan 'manusia' dalam bentuk plural (men), bukan dalam bentuk

singular (man). Hubungan plural itu yang menghubungkan konsep manusia ke dalam
masyarakat.
Adanya

kebebasan

menimbulkan

implikasi

seorang

manusia

dalam

masyarakat. Manusia dituntut untuk melakukan pilihan. Pilihan-pilihan ini


dicerminkan dari tindakannya. Proses untuk memulai dan menciptakan pilihan adalah
kebebasan bagi manusia. Pilihan ini dipahami sebagai politik dalam penerapannya
dalam masyarakat. Tindakan dan ucapan yang dilakukan setiap individu dibagi dalam
ruang publik di mana kepentingan setiap manusia saling bergesekkan, saling
berargumentasi, dan saling mengobjektivikasi sesuai dengan tujuan masing-masing.
Wadah manusia untuk mengemukakan pendapatnya dalam ruang publik
membuat manusia harus berada dalam satu tujuan besar yang sama, dalam hal ini
adalah negara. Untuk itu, kelompok masyarakat bergabung dalam sebuah
kewarganegaraan untuk mengekspresikan diri dan bertindak dengan gagasan
politiknya.
Konsep kewarganegaraan dan ruang publik berbasis pada teori tindakan
Hannah Arendt. Ia berpendapat bahwa manusia dilihat dari tiga viva activa-nya, yaitu
kerja (labor), karya (work), dan tindakan (action). Ketiganya mengemulsikan
tindakan sebagai bagian dari politik. Politik dapat dilihat sebagai suatu yang 'dibuat',
bukan merupakan bawaan. Namun 'tindakan' adalah sebuah keniscayaan. Manusia
dedefinisikan dari tindakannya, berbeda dengan kerja dan karya. Dari pentingnya
'tindakan', Arendt membawa pemikirannya yang bersetuju dengan Aristoteles di mana
bios politikos (kehidupan politik) dibangun dengan adanya tindakan (praxis) dan
ucapan (speech, lexis). Keberadaan keduanya bagaikan keping mata uang yang ada
bersama. Tindakan tidak mungkin dilakukan tanpa ucapan, begitu juga sebaliknya.
Manusia dinilai hanya sejauh kemampuannya untuk bertindak dan kemampuannya
menyampaikan kepentingannya lewat ujaran.
Konsep tindakan Arendt erat kaitannya dengan ruang publik. Masyarakat dan
negara adalah contoh ruang privat dan ruang publik. Definisi ruang publik yaitu ruang
di mana manusia diidentifikasi oleh 'yang lain' karena ia berada di antara manusia
lainnya (inter homines esse). Ruang publik juga dipahami sebagai dunia bersama
(common world), dalam pengertiannya dunia yang dipahami dan dihidupi bersama.
Arendt mengasosiasikan ruang publik seperti keberadaan sebuah meja dalam ruang
diskusi. Meja adalah milik semua orang yang duduk di meja itu. Apabila meja
dihilangkan, kebersamaan setiap orang yang duduk di meja itu pun akan hilang.
2

Kekerasan terjadi karena ketiadaan nurani pada manusia yang menular pada
masyarakat. Arendt menjelaskan bahwa kekerasan yang dilakukan negara akan
menular pada masyarakat. Hal ini terjadi karena logika, konstitusi, dan perintah
negara menjadi sistem yang digunakan untuk mengatur masyarakat. Untuk itu, peran
negara menjadi penting dalam infeksi aksi kekerasan dalam masyarakat.
Banalitas Kejahatan (Banality of Evil)
Definisi banalitas kejahatan adalah situasi sosial dan politik di mana kejahatan
"dianggap" biasa karena seseorang yang berpandangan dangkal dalam berpikir dan
menilai suatu hal. Adanya banalitas kejahatan disinyalir karena manusia kehilangan
spontanitas dalam diri manusia. Hilangnya spontanitas disebabkan oleh tiga faktor,
yaitu ketumpulan hati nurani manusia, kegagalan berpikir kritis, dangkal dan banal
dalam menilai serta menghakimi sesuatu.
Banalitas kejahatan seringkali ditandai dengan seseorang yang gagal
'berdialog' dengan dirinya sendiri. Kegagalan ini dicerminkan dengan tindakan untuk
menyalahkan orang lain atas praxis dan lexis yang dilakukannya dalam kegiatan
berpolitik. Ketidakberanian mengambil keputusan menimbulkan pemahaman agentic
shift. Stanley Milgrain menjelaskan bahwa tendensi orang yang gagal berdialog
dengan dirinya sendiri akan memahami kejahatan yang dilakukan negara sebagai
sebuah 'kewajiban' yang patut dilaksanakan demi kebaikan bersama. Pada fase ini,
seseorang telah menumpulkan hati nuraninya dan gagal berpikir kritis.
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, aksi kekerasan muncul akibat
ketiadaan nurani. Ketiadaan nurani pada manusia akan menyebar pada masyarakat
lewat ruang publik. Ketika nurani dibungkam, cara berpikir manusia otomatis hilang
dengan hilangnya nurani. Hal ini yang menyebabkan manusia gagal berdialog karena
ia berpikir dirinya memiliki nalar yang buruk, sehingga mematuhi tugas yang
diperintahkan negara.
Penyebab dasar ketiadaan nurani adalah modernisasi yang terjadi saat ini.
Modernisasi juga yang melesapkan batas antara ruang privat dan ruang publik,
sehingga menimbulkan bias konsep kekerasan pada masyarakat dan negara. Arendt
memaparkan bahwa modernitas dianggap sebagai penyebab utama kekerasan yang
mengarah pada setiap kejahatan kemanusiaan. Modernitas membentuk sebuah konsep
'masyarakat massa' di mana manusia hidup bersama tanpa adanya kebersamaan.

Hal ini menjelaskan bagaimana manusia dapat merasa 'kesepian' di ruangan


yang penuh dengan eksistensi orang lain. Mengutip Rieke Diah Pitaloka dalam
tesisnya mengenai pemikiran Arendt, kesepian tidak sama dengan kesunyian. Dalam
kesunyian, manusia sesungguhnya menjadi dua, 'Aku' dan 'Diriku'. Arendt
menyebutnya kedaan "dua-dalam-satu." Dalam kesunyian, 'Aku' masih dapat
berdialog dengan 'Diriku' dan tidak kehilangan hubungan dengan dunia karena adanya
refleksi dalam dialog 'Aku-Diriku'. Sementara itu, kesepian terjadi jika 'Aku'
ditinggalkan oleh 'Diriku' dan tidak ada lagi dialog yang terjadi.
Atomisasi ini adalah fenomena masyarakat modern yang membagi masyarakat
menjadi dua golongan, yaitu masyarakat apatis dan masyarakat borjuis. Untuk
mengatasi 'kesepian'-nya, masyarakat apatis menutup diri dari masyarakat dan
membentuk komunitas eksklusif yang memisahkan dirinya dari kelompok besar
masyarakat modern. Masyarakat apatis cenderung netral dan bersikap tidak peduli
terhadap hak politiknya. Sementara itu, masyarakat borjuis tetap berada pada
kelompok besar masyarakat modern dan menjadikan tindak konsumsi sebagai bagian
gaya hidup sebagai eskapisme dari atomisasi yang dirasakan setiap individu.
Masyarakat borjuis saling bersaing dan serakah dalam pencapaian kelas sosial tanpa
tendensi ke arah politik. Baik masyarakat apatis maupun borjuis, atomisasi memiliki
dampak yang sama dengan mengisolasi individu dari kenyataan.
Kesepian membuat 'ideologi' yang masuk dalam masyarakat berupa
propaganda menjadi eskapis manusia modern yang telah teratomisasi. Definisi
propaganda menurut Marx adalah ekspresi keinginan kelas dominan untuk mencapai
ambisi dan mempertahankan posisi dominannya. Pandangan Arendt mengenai
ideologi serupa dengan gagasan Marx di mana kekuasaan dapat menjadi sebuah
dominasi totaliter apabila realitas diubah menjadi klaim-klaim sesuai ideologi
penguasa. Kekerasan dalam kekuasaan tergabung dalam rezim totalitarian yang
mengedepankan ideologi sebagai alat. Ciri pemikiran ideologis yang berorientasi pada
sejarah, antara lain menjanjikan penjelasan total terhadap berbagai hal. Lalu, ideologi
menumpulkan kemampuan untuk menilai dan berpikir yang menjadi awal terjadinya
banalitas kejahatan. Terakhir, ideologi tidak sanggup mengubah realitas (kecuali
melalui propaganda dan teror).
Totalitarianisme dapat menyusup dalam masyarakat melalui ideologi dengan
mudah karena ciri manusia modern yang telah kehilangan dialog antara 'Aku' dan
'Diriku' seperti yang dijelaskan di atas. Kekuasaan akan masuk dalam bentuk ideologi
4

berbentuk logika, hukum, dan manipulasi-manipulasi yang dikenal dengan


propaganda. Propaganda adalah cara membalikkan realitas, sehingga tujuan ideologi
terlihat bersetuju dengan realitas. Ciri-ciri propaganda, yaitu adanya kebohongan
besar, menolak adanya perspektif baru, muncul sesosok pemimpin yang selalu benar,
dan massa diasingkan dari realita. Setelah ideologi dan propaganda, kekuasaan dapat
dicapai lewat konspirasi atau persekongkolan berbagai pihak untuk mendominasi
masyarakat. Apabila konspirasi telah dilakukan, penguasa akan melakukan teror untuk
melengangkan kekuasaannya.
Totalitarianisme adalah bentuk kekerasan yang dilakukan oleh negara. Pada
prakteknya rezim totaliter yang berkuasa akan mendapatkan kekuasaan lewat cara
yang sama. Pertama, penguasa akan melakukan kekerasan untuk mendapatkan kontrol
terhadap negara. Kedua, kontrol didapatkan dari propaganda dan konspirasi. Ketiga,
penguasa akan melakukan teror untuk mempertahankan kekuasannya itu. Jika dibagi
lebih lanjut cara-cara rezim totaliter melakukan tiga tahapan itu dapat terwujud
melalui empat cara, yaitu represi, militer sebagai eksekutor untuk teror dan intimidasi,
preman untuk membuat kerusuhan (kemudian militer akan menghilangkan jejaknya),
dan konflik antar-etnis/agama/ras/suku.
Salah satu contoh yang terjadi adalah kasus Eichmann in Jerusalem. Arendt
menggunakan kasus ini sebagai contoh banalitas kejahatan. Eichmann adalah seorang
kepala eksekutor NAZI yang membunuh begitu banyak orang Yahudi. Ia disinyalir
telah membunuh lebih dari 150.000 orang Yahudi kurang dari 18 bulan (melebihi 60%
Yahudi di Austria). Dilihat dari sejarah hidupnya, Eichmann adalah orang yang tidak
tertarik dengan politik. Ia selalu melakukan sesuatu yang diberikan padanya untuk
memenuhi tujuan hidupnya. Mengutip pernyataan Eichmann, "Saya kehilangan
kesenangan dalam pekerjaan saya, saya kehilangan segalanya, seluruh kesenangan
dalam pekerjaan saya, seluruh inisiatif, seluurh minat." Hal ini memeprlihatkan
kegagalan Eichmann untuk berpikir kritis. Fakta bahwa keterlibatannya dengan
Freemason Lodge Schlaraffia, dikeluarkan, lalu bergabung dengan Partai NasionalSosialis. Kejadian yang berlangsung secara tiba-tiba ini memperlihatkan statusnya
sebagai manusia kesepian yang kehilangan dialog antara 'Aku-Diriku', sehingga
mencari sesuatu di luar dirinya untuk mengisi hal itu.
Eichmann adalah contoh nyata di mana warga negara patuh pada otoritas yang
didapat lewat propaganda, teror, dan kekerasan. Terjebaknya Eichmann dalam
kepatuhan memperlihatkan juga cirinya sebagai manusia modern yang apolitis dan
5

teratomisasi. Eichmann gagal berpikir kritis dan tidak ada lagi dialog dalam dirinya.
Ia tidak mampu mengambil keputusan dan nuraninya tumpul dengan menjadikan
hukum dan Nazi sebagai pembenaran atas kejahatan yang dilakukannya. Ideologi
yang ditawakan Nazi nampak sebagai sebuah kebenaran yang mengisi kekosongan
akibat kesepian yang terjadi atas atomisasi itu. Hal ini menjelaskan alasan setiap
anggota partai Nazi yang berlindung di balik hukum apabila dipertanyakan tentang
hati nuraninya terkait tindakan kejahatan kemanusiaan yang dilakukan. Dua alasan
yang menjadikan Eichmann contoh banalitas kejahatan adalah kejenuhannya dalam
hidup, sehingga ia cenderung melarikan diri dari masalah serta menyalahkan sesuatu
di luar dirinya.
Banalitas Kejahatan di Indonesia
Pada contohnya di Indonesia, banalitas kejahatan terjadi pada rezim orde baru.
Demikian adanya melihat kondisi Indonesia yang memenuhi empat model kekerasan
yang dilakukan negara. Pertama, tidak adanya kebebasan dengan pembredelan surat
kabar

seperti

Abadi,

Pedoman,

Indonesua

Raya,

dan

Tempo.

Penguasa

menghancurkan ruang publik dan ruang privat untuk melanggengkan kekuasaan.


Adanya penyimpangan posisi militer menjadi poros dalam pemerintahan yang tidak
lagi pada bidang pertahanan dan keamanan. Pemerintahan orde baru juga tidak
menganggap demokrasi dan nilai hak asasi manusia sebagai hal yang penting.
Pemerintahan menggunakan hukum, terutama Pancasila dan Pemilu sebagai
legitimasi kekuasaannya. Pemilu digunakan untuk menyampaikan ideologi palsu.
Partai Golkar dianggap

penawar akan traumatis komunisme yang terjadi dalam

peristiwa Gerakan 30 September. Teror dan konspirasi pun terjadi. Militer menghabisi
orang-orang yang dianggap tidak sejalan dengan ideologi orde baru. Manifestasi teror
ini pun memningkat seiring banyaknya preman yang digunakan untuk memburu
pihak-pihak yang dianggap menyuarakan demokrasi. Preman-preman ini kemudian
akan dihabisi oleh militer agar informasi negara tetap terjaga.
Tidak

hanya

itu,

kekerasan

yang

terjadi

lewat

konflik

antar

etnis/ras/agama/kelompok juga muncul lewat kerusuhan, konflik, dan perkelahian


yang tidak pernah usai. Contoh saja pada kerusuhan Ambon yang melibatkan agama
Kristen dan Islam yang menewaskan kurang lebih 5.000 jiwa. Konflik serupa terjadi
antara Dayak dan Madura. Bentrokkan antar-geng juga terjadi di beberapa daerah di

Indonesia yang menewaskan banyak korban. Banyaknya kekerasan memperlihatkan


banalitas kejahatan yang terjadi di Indonesia.
Selain rezim orde baru, banalitas kejahatan terjadi melalui fenomena korupsi
yang menjamur di Indonesia. Data menyatakan bahwa kasus korupsi di Indonesia dari
tahun 2011 (699) terus meningkat di tahun 2012 (833) dan terakhir tercatat adanya
1.696 kasus korupsi pada tahun 2013. Awal mula kasus korupsi disinyalir dari tindak
pidana di tubuh KPU sejak tertangkapnya Mulyana W Kusumah dan ketua KPU,
Nazaruddin Sjamsuddin. Keuangan negara yang diselamatkan negara dari tahun 2013
mencapai empat trilyun Rupiah dan USD 500.000,- berdasarkan sumber dari VOA
Indonesia.
Adanya korupsi ini merupakan banalitas kejahatan karena tumpulnya hati
nurani dan kedangkapan berpikir. Seringkali ada beberapa ucapan bahwa korupsi
telah membudaya di negeri ini. Korupsi masuk dalam sistem dan berulang kali terjadi,
sehingga dianggap sebagai sesuatu yang biasa terjadi. Ideologi bahwa dunia politik
tidak lepas dari politik suap mengukuhkan legitimasi banalitas kejahatan yang terjadi.
Adanya teror dan konspirasi beberapa pihak membuat korupsi menjadi tidak
terelakkan, sehingga pelaku-pelaku dalam sistem maupun pihak yang mengetahui
tindak korupsi itu tidak angkat bicara karena takut akan dominasi penguasa dari
sistem 'politik suap' ini. Solusi yang dapat ditawarkan untuk mengakhiri banalitas
korupsi ini adalah evaluasi diri dan kembali berpikir kritis untuk mengambil
keputusan berdasarkan nurani. Perubahan harus dimulai dari masyarakat untuk
mengubah persepsinya. Keteladanan figur pemimpin politik juga diperlukan. agar ada
orang berani mendobrak sistem 'politik suap' dan korupsi yang telah lama menjamur
di negeri ini.
Penutup
Pemikiran Arendt mengenai banalitas kejahatan menjelaskan bahwa manusia,
pada hakikatnya, adalah manusia politis. Arendt juga menjelaskan bahwa
totalitarianisme adalah bukti nyata dari banalitas kekerasan. Arendt mengingatkan
kembali bahwa kejahatan dapat terjadi dan tidak disadari apabila negara juga
melakukannya. Hal ini berkaitan dengan keterlibatan manusia dalam dunia politik
yang disampaikan secara lisan maupun tertulis. Kejahatan ataupun kekerasan yang
terjadi adalah akibat kegagalan manusia untuk berpikir kritis dan tumpulnya nurani.
Apabila Seseorang dalam sistem yang sama menyadari akan sebuah tindak kekerasan
7

dan hanya mendiamkannya saja, telah melakukan kejahatan juga. Arendt


mengingatkan kembali bahwa masyarakat harus kembali berpikir kritis dan
memanusiawikan kekuasaan. Hal ini sesuai dengan pemikiran Arendt di mana
kekuasaan yang mengatasnamakan kekerasan (walaupun berlindung di balik
legitimasi hukum) harus dipertanyakan.
Referensi
Arendt, Hannah. 2012. Eichmann in Jerusalem. Yogyakarta: Penerbit Pustaka Pelajar
Pitaloka, Rieke Diah. 2010. Banalitas Kekerasan: Telaah Pemikiran Hannah Arendt
tentang Kekerasan Negara. Depok: Penerbit Koekoesan.
Riyadi Langgut Tere, Eddie S., 2011. Manusia Politis Menurut Hannah Arendt:
Pertautan antara Tindakan dan Ruang Publik, Kebebasan dan Pluralitas, dan
Upaya Memanusiawikan Kekuasaan dalam

Seri Kuliah Umum Filsafat

Komunitas Salihara. Jakarta: Salihara.


"Pemberantasan Korupsi di Indonesia" dalam VOA Indonesia pada tanggal 12
Februari

2014

(http://www.voaindonesia.com/content/icw-pemberantasan-

korupsi-di-indonesia-dalam-3-tahun-terakhir-meningkat/1847983.html)

Anda mungkin juga menyukai