NPM
Mata Kuliah
Pengajar
BANALITAS KEJAHATAN
MENURUT HANNAH ARENDT
Pendahuluan
Totalitarianisme merupakan kondisi sosial politik yang dikritisi oleh Hannah
Arendt. Ia merujuk pada Nazisme dan Stalinisme sebagai contoh terjadinya banalitas
kejahatan yang dilakukan oleh negara. Hannah Arendt menekankan bahwa adanya
kebebasan adalah alasan dari berpolitik. Konsep manusia politis erat kaitannya
dengan ruang publik dan meredefinisi arti kekuasaan (totalitarianisme).
Tulisan ini menguraikan pemikiran Hannah Arendt mengenai banalitas
kejahatan yang dimulai dengan konsep manusia dan hubungannya dengan manusia
lain. Hubungan itu mengarah pada konsep ruang publik, kewarganegaraan, dan
tindakan politis individu yang berada dalam bingkai negara. Kemudian, penulis akan
menjelaskan mengenai banalitas kejahatan dari penyebab, model kekerasan, hingga
contoh reportase Eichmann in Jerusalem. Penulis juga akan memberikan contoh
banalitas kejahatan yang terjadi di Indonesia dan diakhiri dengan penutup.
Manusia, Kewarganegaraan, dan Ruang Publik
Eksistensi manusia ada karena kehadiran manusia lain. Untuk itu, manusia
disebut sebagai homo politicus. Politik adalah field di mana manusia mampu
mencapai puncak eksistensinya. Jika politik diibaratkan sebagai sebuah persidangan,
manusia adalah pihak yang memaparkan pemikiran dan tindakannya untuk mencapai
sebuah kebenaran. Eddie S. Riyadi dalam tulisannya mengenai pemikiran Hannah
Arendt menjelaskan bahwa secara antropologi filosofis manusia adalah makhluk
plural dan bebas. Manusia satu berbeda dengan manusia lainnya baik dari tutur,
tindakan, ekspresi, dan cara berkomunikasinya dengan manusia lain. Satu-satunya
kesamaan manusia adalah ketidaksamaan pribadinya. Hal ini menjelaskan pentingnya
hubungan 'manusia' dengan 'manusia' dalam bentuk plural (men), bukan dalam bentuk
singular (man). Hubungan plural itu yang menghubungkan konsep manusia ke dalam
masyarakat.
Adanya
kebebasan
menimbulkan
implikasi
seorang
manusia
dalam
Kekerasan terjadi karena ketiadaan nurani pada manusia yang menular pada
masyarakat. Arendt menjelaskan bahwa kekerasan yang dilakukan negara akan
menular pada masyarakat. Hal ini terjadi karena logika, konstitusi, dan perintah
negara menjadi sistem yang digunakan untuk mengatur masyarakat. Untuk itu, peran
negara menjadi penting dalam infeksi aksi kekerasan dalam masyarakat.
Banalitas Kejahatan (Banality of Evil)
Definisi banalitas kejahatan adalah situasi sosial dan politik di mana kejahatan
"dianggap" biasa karena seseorang yang berpandangan dangkal dalam berpikir dan
menilai suatu hal. Adanya banalitas kejahatan disinyalir karena manusia kehilangan
spontanitas dalam diri manusia. Hilangnya spontanitas disebabkan oleh tiga faktor,
yaitu ketumpulan hati nurani manusia, kegagalan berpikir kritis, dangkal dan banal
dalam menilai serta menghakimi sesuatu.
Banalitas kejahatan seringkali ditandai dengan seseorang yang gagal
'berdialog' dengan dirinya sendiri. Kegagalan ini dicerminkan dengan tindakan untuk
menyalahkan orang lain atas praxis dan lexis yang dilakukannya dalam kegiatan
berpolitik. Ketidakberanian mengambil keputusan menimbulkan pemahaman agentic
shift. Stanley Milgrain menjelaskan bahwa tendensi orang yang gagal berdialog
dengan dirinya sendiri akan memahami kejahatan yang dilakukan negara sebagai
sebuah 'kewajiban' yang patut dilaksanakan demi kebaikan bersama. Pada fase ini,
seseorang telah menumpulkan hati nuraninya dan gagal berpikir kritis.
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, aksi kekerasan muncul akibat
ketiadaan nurani. Ketiadaan nurani pada manusia akan menyebar pada masyarakat
lewat ruang publik. Ketika nurani dibungkam, cara berpikir manusia otomatis hilang
dengan hilangnya nurani. Hal ini yang menyebabkan manusia gagal berdialog karena
ia berpikir dirinya memiliki nalar yang buruk, sehingga mematuhi tugas yang
diperintahkan negara.
Penyebab dasar ketiadaan nurani adalah modernisasi yang terjadi saat ini.
Modernisasi juga yang melesapkan batas antara ruang privat dan ruang publik,
sehingga menimbulkan bias konsep kekerasan pada masyarakat dan negara. Arendt
memaparkan bahwa modernitas dianggap sebagai penyebab utama kekerasan yang
mengarah pada setiap kejahatan kemanusiaan. Modernitas membentuk sebuah konsep
'masyarakat massa' di mana manusia hidup bersama tanpa adanya kebersamaan.
teratomisasi. Eichmann gagal berpikir kritis dan tidak ada lagi dialog dalam dirinya.
Ia tidak mampu mengambil keputusan dan nuraninya tumpul dengan menjadikan
hukum dan Nazi sebagai pembenaran atas kejahatan yang dilakukannya. Ideologi
yang ditawakan Nazi nampak sebagai sebuah kebenaran yang mengisi kekosongan
akibat kesepian yang terjadi atas atomisasi itu. Hal ini menjelaskan alasan setiap
anggota partai Nazi yang berlindung di balik hukum apabila dipertanyakan tentang
hati nuraninya terkait tindakan kejahatan kemanusiaan yang dilakukan. Dua alasan
yang menjadikan Eichmann contoh banalitas kejahatan adalah kejenuhannya dalam
hidup, sehingga ia cenderung melarikan diri dari masalah serta menyalahkan sesuatu
di luar dirinya.
Banalitas Kejahatan di Indonesia
Pada contohnya di Indonesia, banalitas kejahatan terjadi pada rezim orde baru.
Demikian adanya melihat kondisi Indonesia yang memenuhi empat model kekerasan
yang dilakukan negara. Pertama, tidak adanya kebebasan dengan pembredelan surat
kabar
seperti
Abadi,
Pedoman,
Indonesua
Raya,
dan
Tempo.
Penguasa
peristiwa Gerakan 30 September. Teror dan konspirasi pun terjadi. Militer menghabisi
orang-orang yang dianggap tidak sejalan dengan ideologi orde baru. Manifestasi teror
ini pun memningkat seiring banyaknya preman yang digunakan untuk memburu
pihak-pihak yang dianggap menyuarakan demokrasi. Preman-preman ini kemudian
akan dihabisi oleh militer agar informasi negara tetap terjaga.
Tidak
hanya
itu,
kekerasan
yang
terjadi
lewat
konflik
antar
2014
(http://www.voaindonesia.com/content/icw-pemberantasan-
korupsi-di-indonesia-dalam-3-tahun-terakhir-meningkat/1847983.html)