Anda di halaman 1dari 380

Benny Denar

Mengapa Gereja (Harus!)


Tolak Tambang?
Sebuah tinjauan etis, filosofis dan
teologis atas korporasi tambang

2015

Mengapa Gereja (Harus!) Tolak Tambang?


Sebuah Tinjauan Etis, Filosofis dan Teologis
Atas Korporasi Tambang
Penulis : Benny Denar
Lay Out : Moya Zam Zam
Hak cipta dilindungi oleh undang undang.
Dilarang memperbanyak karya tulis ini dalam bentuk
dan dengan cara apapun tanpa izin tertulis dari Penerbit Ledalero
Penerbit:
Penerbit Ledalero
Redaksi:
Seminari Tinggi Santo Paulus Ledalero
Maumere 86152, Flores-NTT Telp./Fax (0382) 242 6535
e-mail : ledaleropublisher@yahoo.com www.penerbitledalero.com
Mengapa Gereja (Harus!) Tolak Tambang?
Sebuah Tinjauan Etis, Filosofis dan Teologis
Atas Korporasi Tambang
Cetakan I, Juni 2015 Maumere : Penerbit Ledalero, xxii + 358
120 x 190 mm
ISBN: 978-602-1161-13-5

Dicetak oleh:
Moya Zam Zam
Jl. Bugisan Selatan No. 15 Yogyakarta
Telp/Fax : (0274)367302;
e-mail : zamzam_moya@yahoo.com/kenangaemiel@yahoo.co.id

KATA PENGANTAR PENULIS

eformasi yang diperjuangkan dengan susah


payah dari tangan rezim totaliter Suharto
seharusnya sudah cukup tua untuk mengubah
tatanan politik dan ekonomi negara ini ke arah
yang lebih baik. Namun kenyataannya negeri
ini semakin dirusakkan oleh berbagai krisis yang
menderanya, seperti krisis kepercayaan, krisis
moral, krisis kepemimpinan, krisis demokrasi,
krisis lingkungan hidup dan deretan krisis lainnya.
Sebagai contoh, Otonomi Daerah yang merupakan
salah satu tujuan utama dari agenda reformasi
tahun 1998 ternyata tidak semanis yang dicitacitakan. Sebab sistem Otonomi Daerah telah turut
serta membawa bias-bias destruktif yang cukup
meresahkan masyarakat lokal. Selain memunculkan
ladang baru terjadinya KKN, Otonomi Daerah
iii

ternyata melahirkan persoalan serius terkait pilihan


kebijakan politik pembangunan daerah.
Salah satu fenomena paling kentara yang
membahasakan adanya persoalan serius terkait
pilihan kebijakan politik pembangunan daerah
adalah munculnya perusahaan-perusahaan berskala
transnasional atau Multi National Corporation
(MNC) yang mengeruk kekayaan alam di
daerah-daerah. Perusahaan-perusahaan tersebut
mengadakan investasi besar-besaran di bidang
pertambangan yang justru membawa malapetaka
baru bagi masyarakat lokal. Fenomena ini amat
nyata dalam menjamurnya MNC yang berinvestasi
di bidang pertambangan di berbagai daerah,
termasuk di kabupaten-kabupaten di Propinsi
Nusa Tenggara Timur (NTT). Menjamurnya
MNC di NTT membahasakan pengaruh liberasi
pertambangan itu telah sampai ke seluruh pelosok
wilayah.
Namun pilihan kebijakan pertambangan
ini memunculkan banyak persoalan serius
terutama berkaitan dengan martabat manusia
dan lingkungan hidup. Banyaknya persoalan
iv

Mengapa Gereja (Harus!) Tolak Tambang?

serius terkait kehadiran pertambangan tersebut


mengharuskan kita mencermati kembali pilihan
kebijakan pembangunan di negara dan daerah
kita. Sebab neoliberalisme yang menopang
pembangunan global dan kini telah menjalar
secara masif ke Indonesia memang telah berhasil
mengiklankan impian-impian kemakmuran,
namun gagal mengidentifikasikan secara konkret
impian dasarnya itu berhadapan dengan kerakusan
yang menjadi cacat bawaannya. Mesin ekonomi
kapitalis telah mengeruk sumber daya alam secara
tak terbatas yang memunculkan ketakutan akan
masa depan bumi ini. Iklim pertumbuhan dan
pembangunan seperti ini yang ditopang secara kuat
oleh kepentingan rezim politik tertentu pasti akan
memicu pertumbuhan ekonomi yang dibarengi
oleh parahnya kerusakan sosial, sekaligus degradasi
lingkungan hidup.
Justru pada tempat inilah konsep seputar
pembangunan penuh kontroversi. Sebab dalam
kenyataan pembangunan tidak membawa
manfaat secara merata bagi semua orang. Bagi
kelompok tertentu pembangunan memang
Benny Denar

mendatangkan kesejahteraan dan kekayaan,


namun bagi banyak kelompok lain pembangunan
tidak hanya gagal mendatangkan kesejahteraan,
tetapi justru mendatangkan malapetaka karena
dapat mengancam keberlanjutan kehidupan,
menimbulkan
kerusakan
alam,
sekaligus
menyebabkan destruksi budaya. Pembangunan
direduksi hanya sebagai medan terjadinya
hegemoni kekuasaan politik dan pasar yang alihalih mendatangkan kesejahteraan, tetapi dalam
kenyataan justru menghasilkan kemiskinan
sistemik, kehancuran ekologis, dan destruksi
budaya. Pembangunan pada akhirnya hanya
melahirkan dominasi, pencaplokan sumber
daya, marginalisasi, subordinasi, eksploitasi,
dan kekerasan dalam berbagai bentuknya.
Di sinilah letak kontroversi atau ambiguitas
pembangunan itu. Pembangunan menjadi sesuatu
yang dikehendaki sekaligus ditentang, dirangkul
sekaligus diwaspadai, dijalankan sekaligus dilawan.
Buku ini secara khusus akan melacak
mafia pertambangan sebagai bagian dari arus
besar kapitalisme neoliberal. Refleksi tentang
vi

Mengapa Gereja (Harus!) Tolak Tambang?

keterlibatan Gereja dalam arus besar sistem


ekonomi yang berwatak liberal dan eksploitatif
itu akan menjadi perhatian kunci buku ini.
Keterlibatan Gereja berdasarkan pertimbangan
etis, filosofis dan teologis akan mengarah kepada
opsi untuk lebih mengabdi kepada kemanusiaan
yang sesunggguhnya, dan terutama dengan
menerapkan model pembangunan berkelanjutan.
Penulis menyadari bahwa penyelesaian proyek
intelektual ini tidak terlepas dari kontribusi
berbagai pihak. Atas dasar itu, dalam nada syukur,
penulis menyampaikan salam hormat dan terima
kasih. Terima kasih kepada Rm. DR. Mathias
Daven, Pr dan P. DR. Georg Kirchberger, SVD
serta P. DR. Otto Gusti, SVD yang telah banyak
membantu penulis dalam menyelesaikan buku ini.
Secara akademis, mereka telah memberikan rasa
kepercayaan diri yang membuat penulis berani
menerbitkan karya ini. Terima kasih yang tulus
disampaikan kepada P. DR. Paul Budi Kleden,
SVD dan Rm. Max Regus, Pr yang telah bersedia
membaca keseluruhan draf buku ini dan terutama
telah memberikan catatan pengantar dan catatan
Benny Denar

vii

penutup atas karya ini. Kesediaan Pater Budi dan


Rm. Max bagi saya merupakan sebuah kehormatan
dan memberikan rasa bangga tersendiri. Bagi saya,
keduanya merupakan inspirasi dalam pencarian
dan pengabdian intelektual saya di tengah belantara
kehidupan ini. Terima kasih kepada Bapak Edi
Danggur untuk kesediaan membaca naskah ini,
memberikan masukan dari perspektif hukum dan
turut memberikan catatan rekomendasi atas buku
ini.
Terima kasih kepada almamater STFK
Ledalero yang telah mengasah pedang intelektual
saya untuk semakin tajam dan berguna. Terima
kasih kepada Keluarga Besar Seminari Tinggi St.
Petrus Ritapiret untuk segala naungan dan segala
hal yang membuat saya hidup lebih teratur dan
memungkinkan saya berkarya dengan baik dan
bebas.
Terima kasih berlimpah untuk semua pihak
yang telah turut memberikan data-data dan
informasi-informasi penting seputar polemik
pertambangan di Manggarai Barat. Patut saya
sebutkan di sini, P. Marsel Agot, SVD, pejuang
viii

Mengapa Gereja (Harus!) Tolak Tambang?

perkasa tolak tambang di Manggarai Barat. Terima


kasih untuk semua spirit yang diberikan dan juga
contoh serta teladan dalam membuat advokasi
terhadap keadaban publik dan keutuhan ciptaan.
Terima kasih kepada para senior di Gerakan
Masyarakat Anti Tambang (GERAM); Om Very
Adu, Om Marianus Saridin, Om Stefan Rafael,
Om Gabriel Pampur, dan semua anggota GERAM
lainnya yang tidak sempat saya sebutkan namanya
satu per satu di sini. Terima kasih yang tulus kepada
Pater Simon Suban Tukan, SVD dan seluruh staf
JPIC SVD Ruteng, Rm. Martin Jenarut, Pr serta
seluruh staf JPIC Keuskupan Ruteng, dan P. Alsis,
OFM serta seluruh JPIC OFM cabang Ruteng.
Terima kasih kepada mentor saya, Rm.
Robertus Pelita, Pr yang telah menjadi inspirator
saya dalam banyak hal. Dia telah mengajarkan
saya untuk lebih berani menyuarakan kebenaran.
Teladan hidupnya yang mengagumkan sebagai
imam Tuhan sungguh mempengaruhi saya. Terima
kasih berlimpah kepada segenap anggota komunitas
Seminari Yohanes Paulus II Labuan Bajo atas segala
dukungan dan pengertiannya sehingga penulis
Benny Denar

ix

diizinkan untuk sedikit berkeliaran; berdiskusi,


mencari data, dan menulis berbagai analisis bahkan
protes seputar polemik tambang pada masa Tahun
Orientasi Pastoral (2011-2013) lalu.
Terima kasih berlimpah kepada Penerbit
Ledalero atas kesediaan penuh antusias
menerbitkan karya ini sehingga bisa dinikmati
oleh banyak kalangan. Terima kasih kepada
teman-teman Frater di Seminari Tinggi St. Petrus
Ritapiret atas semua semangat dan gairah hidup
bersama dalam semangat kerekanan. Secara
khusus terima kasih kepada Fr. Marto Rian Lesit,
Fr. Saver Jehatu, Fr. Lolyk Apung, Fr. Earlich
Herbert, Fr. Gusty Hadun dan Fr. Res Dakosta
yang telah dengan tekun membaca dengan teliti
serta mengoreksi ketepatan huruf dan kata dalam
keseluruhan naskah tulisan ini.
Terima kasih tak terhingga untuk ayah saya
Bapak Thobias Denar yang mengajarkan saya banyak
filosofi hidup yang amat penting dan berharga
serta bersedia menjadi teman diskusi yang baik
dan cerdas. Juga terima kasih tak terhingga kepada
mama saya, Regina Jebibu yang mengajarkan saya
x

Mengapa Gereja (Harus!) Tolak Tambang?

perihal ketekunan, kerja keras, tahan banting, dan


kasih sayang. Terima kasih kepada kakak-kakak saya:
John Sula - figur istimewa yang telah berjasa dalam
banyak hal untuk perziarahanku - , kakak Vens dan
Vene, Robert dan Helmy, Since dan Viktor, Get dan
Robert, Ety dan Tinus, Ferdy dan Erna, Leksy dan
Sin, Kardus dan Mensy, serta adik saya Efan. Juga
kepada semua ponakan saya Ratna, Narsi, Nasrin,
Rivan, Hesny, Efra, Salvy, Genus, Gens, Elvyn,
Igi, Tamy, Varlis, Niar, Chindy, Floriono, Mariana,
Asno, Jane, Foryn, Gilang, Econ, Angelo, Feby,
Erland.
Selanjutnya penulis menghaturkan limpah
terima kasih kepada semua pihak yang sudah
membantu dengan caranya masing-masing.
Akhirnya penulis menyadari bahwa tulisan ini
masih membutuhkan pembenahan dan perbaikan.
Untuk itu, penulis masih mengharapkan masukan
dan kritikan yang konstruktif demi kesempurnaan
tulisan dalam buku ini.
Ritapiret, awal Juni 2015
Penulis
Benny Denar

xi

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR PENULIS ..............


DAFTAR ISI ............................................

iii
xii

PROLOG .................................................

BAB I PENDAHULUAN .........................

17

BAB II KONTROVERSI DI SEPUTAR


PENGERTIAN PEMBANGUNAN ..
2.1. PEMBANGUNAN SEBAGAI
PERTUMBUHAN .............................
2.1.1. Batasan Konsep ...............................
2.1.2. Teori-Teori Di Seputar Ideologi
Pertumbuhan ......................................
2.1.2.1. Teori Modernisasi .........................
2.1.2.2. Teori Dependensi
(Ketergantungan) ...............................
xii

36
37
37
41
42
49

2.1.3. Melacak Faktum Kemenangan


Ideologisasi Pertumbuhan Bercorak
Kapitalistik dan Liberal .......................
2.1.3.1. Konteks Historis dan Postulat
Dasar Kapitalisme Noeliberal ..............
2.1.3.2. Tesis-Tesis Dasar Kapitalisme .......
2.1.3.3. Hubungan Kapitalisme Neoliberal
dengan Pembangunan .........................
2.1.3.4. Kesimpulan: Kemenangan
Neoimperialisme ................................
2.1.3.4.1. Pengertian dan Cara Kerja
Neoimperialisme ................................
2.1.3.4.2. Agen-Agen Neoimperialisme .....
2.1.3.5. Konteks Indonesia: Sekadar
Kesimpulan Singkat ............................
2.2. PEMBANGUNAN SEBAGAI
PENIADAAN PENDERITAAN ........
2.2.1. Penjernihan Konsep .........................
2.2.2. Ciri Khas dan Orientasi Praktis
Pendekatan Pembangunan Sebagai
Pembebasan Manusia dari Penderitaan
2.2.2.1. Menempatkan Manusia yang
Konkret Sebagai Pusat ........................

Benny Denar

52
52
62
64
67
67
70
75
78
79

81
81

xiii

2.2.2.2. Mendahulukan Orang yang


Menderita ...........................................
2.2.2.3. Menekankan Pentingnya
Demokrasi dan Partisipasi ...................
2.2.2.4. Pengejaran Tujuan Pembangunan
Tidak Menyebabkan Penderitaan ........
2.2.3. Manfaat Praktis Konsep
Pembangunan Sebagai Pembebasan
Manusia dari Penderitaan ...................
2.3. AGAMA DAN PEMBANGUNAN
BERTITIK TOLAK PENDERITAAN
2.4. KESIMPULAN .................................
BAB III AJARAN SOSIAL GEREJA
TENTANG KEUTUHAN CIPTAAN
DAN PENDERITAAN SEBAGAI
BASIS ETIS PENGEMBANGAN
MASYARAKAT .................................
3.1. LATAR BELAKANG
MUNCULNYA ASG .........................
3.2. PENGERTIAN ASG .........................
3.3. PRINSIP-PRINSIP POKOK ASG ....
3.3.1. Prinsip Penghormatan Terhadap
Martabat Manusia ..............................
xiv

Mengapa Gereja (Harus!) Tolak Tambang?

83
85
87

89
91
95

97
98
101
105
105

3.3.2. Prinsip Kesejahteraan Umum ..........


3.3.3. Prinsip Subsidiaritas ........................
3.3.4. Prinsip Keterlibatan .........................
3.3.5. Prinsip Solidaritas ............................
3.3.6. Kesimpulan: Pentingnya
Mengutamakan Orang Miskin ............
3.4. GARIS BESAR ASG TENTANG
LINGKUNGAN HIDUP ..................
3.4.1. Pandangan Kitab Suci Kristen
Tentang Lingkungan Hidup ...............
3.4.2. Sebab-Sebab Kerusakan Lingkungan
Hidup Menurut ASG .........................
3.4.2.1. Keserakahan Manusia ...................
3.4.2.2. Manusia dengan Peradaban
Teknokrasi ..........................................
3.4.2.3. Pandangan Berat Sebelah
Terhadap Alam Ciptaan ......................
3.4.2.4. Masalah-Masalah Konkret yang
Muncul ...............................................
3.4.3. Beberapa Petimbangan Kunci dari
ASG Perihal Pengelolaan Lingkungan
Hidup .................................................
3.4.3.1. Perlunya Menghargai dan
Mengikuti Maksud Awal Ciptaan .......
Benny Denar

108
112
114
116
118
121
121
126
126
128
131
134

138
138
xv

3.4.3.2. Pentingnya Tanggung Jawab .........


3.4.3.3. Menimbang Kegiatan Ekonomi ....
3.4.3.4. Perlunya Menghargai Masyarakat
Adat ....................................................
3.4.3.5. Dibutuhkan Solidaritas Global .....
3.5. FENOMENA PENDERITAAN
MENURUT ASG ..............................
3.5.1. Manusia Sebagai Citra Allah ............
3.5.2. Dosa Sebagai Sumber Penderitaan ...
3.5.3. Perlunya Solidaritas dengan Mereka
yang Menderita ...................................
3.5.4. Butuh Intervensi Ilahi .....................
3.5.5. Menghargai Inisiatif Dari Bawah ..

140
141

3.6. KESIMPULAN .................................

159

BAB IV KORPORASI TAMBANG


SEBAGAI PENAMPAKAN RIIL
KAPITALISME NEOLIBERAL DI
MANGGARAI BARAT .....................
4.1. GAGASAN UMUM SEPUTAR
PERTAMBANGAN ...........................
4.1.1. Pengertian .......................................
4.1.2. Tahap-Tahap Kegiatan
Pertambangan .....................................
xvi

Mengapa Gereja (Harus!) Tolak Tambang?

143
144
146
148
151
153
155
157

162
163
163
166

4.1.3. Dampak-Dampak Pertambangan ....


4.1.3.1. Dampak Positif ............................
4.1.3.1.1. Dari Sisi Ekonomi dan Sumber
Daya Manusia ....................................
4.1.3.1.2. Menyiapkan Kebutuhan Energi
4.1.3.1.3. Pertambangan Dapat Memacu
Pembangunan .....................................
4.1.3.2. Dampak Negatif ...........................
4.1.3.2.1. Terhadap Lingkungan Hidup ....
4.1.3.2.2. Terhadap Ekonomi Masyarakat .
4.1.3.2.3. Terhadap Aspek Sosial dan
Budaya Masyarakat Lokal ...................
4.1.3.2.4. Terhadap Institusi Politik ...........
4.2. MONSTER TAMBANG
MENGANCAM MASA DEPAN
MANGGARAI BARAT .....................
4.2.1. Profil Singkat Kabupaten Manggarai
Barat ...................................................
4.2.1.1. Catatan Historis: Telaah Singkat
Menuju Manggarai Barat ....................
4.2.1.2. Kondisi Geografis .........................
4.2.1.3. Keadaan Iklim dan Geologi ..........
4.2.1.4. Keadaan Demografis ....................

Benny Denar

169
170
170
171
172
173
173
176
178
179

181
181
181
185
187
188

xvii

4.2.1.5. Sektor-Sektor Unggulan ...............


4.2.1.5.1. Pertanian ...................................
4.2.1.5.2. Kelautan dan Perikanan .............
4.2.1.5.3. Pariwisata Sebagai Sektor Utama
4.2.1.5.4. Pertambangan dan Energi .........
4.2.2. Polemik Seputar Pertambangan di
Manggarai Barat .................................
4.2.2.1. Riwayat Kehadiran Pertambangan
di Manggarai Barat .............................
4.2.2.2. Beberapa Kejanggalan dalam
Proses Pertambangan di Manggarai
Barat ...................................................
4.2.2.2.1. Persoalan Berkaitan dengan

191
192
193
195
198

Partisipasi Masyarakat .........................


4.2.2.2.2. Ilusi Kesejahteraan .....................
4.2.2.2.3. Pertambangan Merusakkan
Lingkungan Hidup .............................
4.2.2.2.4. Kontraproduktif dengan
Industri Pariwisata ..............................
4.2.2.2.5. Sarat Praktik KKN ....................
4.2.2.2.6. Menelikung Hukum ..................
4.2.2.2.7. Tidak Menghargai Masyarakat
Lokal ..................................................

213
217

xviii

Mengapa Gereja (Harus!) Tolak Tambang?

204
204

213

218
222
227
230
235

4.2.2.2.8. Menimbulkan Konflik


Horisontal dan Vertikal .......................
4.3. KESIMPULAN .................................
BAB V GEREJA DIOSES RUTENG
TOLAK TAMBANG DAN
PILIHAN ETIS PEMBANGUNAN
SETURUT ASG ................................
5.1. PERIHAL KETERLIBATAN
GEREJA KEUSKUPAN RUTENG ...
5.1.1. Riwayat Keterlibatan dan
Pendampingan ....................................
5.1.2. Beberapa Alasan Penolakan .............
5.1.3. Tantangan dalam Perjuangan Tolak
Tambang ............................................
5.1.4. Beberapa Kritik Terhadap
Keterlibatan Gereja .............................
5.1.4.1. Gereja Tidak Siap .........................
5.1.4.2. Hanya Sedikit Pemimpin Gereja
yang Terlibat .......................................
5.1.5. Tolak Tambang Sebagai Sikap Gereja
Keuskupan Ruteng .............................
5.1.5.1. Surat dari Administrator
Keuskupan Ruteng .............................
Benny Denar

238
241

243
243
244
245
246
248
248
250
256
257
xix

5.1.5.1.1. Prinsip-Prinsip Pembangunan


Berkeadilan .........................................
5.1.5.1.2. Beberapa Rekomendasi ..............
5.1.5.2. Tolak Tambang Menjadi Sikap
Hierarki ..............................................
5.1.5.3. Rekomendasi Sinode Keuskupan
Ruteng ................................................
5.2. TOLAK TAMBANG DAN PILIHAN
ETIS PEMBANGUNAN ...................
5.2.1. Pilihan Mengutamakan Kaum
Miskin ................................................
5.2.1.1. Pendasaran Etis Seturut ASG ........
5.2.1.2. Dua Implikasi Penting ..................
5.2.1.2.1. Agen Pastoral Mesti Berdiri
dengan Kaum Miskin .........................
5.2.1.2.2. Menempatkan Rakyat Sebagai
Subjek Pembangunan .........................
5.2.2. Mengutamakan Pembangunan
Berkelanjutan .....................................
5.2.2.1. Gagasan Dasar Pembangunan
Berkelanjutan .....................................
5.2.2.2. Tiga Prinsip Pembangunan
Berkelanjutan .....................................

xx

Mengapa Gereja (Harus!) Tolak Tambang?

257
260
262
264
267
268
268
272
272
276
281
281
285

5.2.2.2.1. Prinsip Demokrasi .....................


5.2.2.2.2. Prinsip Keadilan ........................
5.2.2.2.3. Prinsip Keberlanjutan ................
5.2.3. Solusi Metodologis Pengembangan
Masyarakat .........................................
5.3. KESIMPULAN .................................

286
290
294

BAB VI PENUTUP .................................


6.1. KESIMPULAN .................................
6.2. BEBERAPA SARAN DAN
REKOMENDASI ..............................

301
301

EPILOG ...................................................

318

DAFTAR PUSTAKA ................................

338

Benny Denar

296
299

314

xxi

xxii

Mengapa Gereja (Harus!) Tolak Tambang?

PROLOG

GEREJA DALAM NARASI BESAR


KAPITALISME
(Oleh RD. Max Regus, Pr1)

Catatan Awal

olitik lokal, atau desentralisasi dalam ungkapan


lain, memperhadapkan masyarakat lokal
pada dua kenyataan pelik.2 Pertama, keterkejutan
tentang membesarnya volume wewenang untuk
mengurus diri. Kedua, serangan gencar perangkat
mesin kapitalisme yang siap merebut sumber1

Imam Keuskupan Ruteng, Master dalam bidang Sosiologi


Pembangunan, PhD Candidate the Graduate School of
Humanties, Tilburg University, Netherands, menulis ratusan
analisis sosial politik di media massa nasional; buku terbaru
berjudul Diskursus Politik Lokal (Sunspirit, 2015).

2 Max Regus (2015), Diskursus Politik Lokal, Sunspirit,


Flores.
1

sumber daya alam dengan bayangan kerusakan


lingkungan secara masif.3 Perspektif ekonomipolitik dalam ranah diskursus neoliberalisme
digunakan untuk membaca dua soal ini.4
Diskursus itu kemudian mengerucut pada
dua pertanyaan utama ini. Pertama, bagaimana
kapitalisme membelah dirinya dan memanfaatkan
ideologi politik, dalam hal ini demokrasi liberal
untuk proses itu. Kedua, bagaimana elemen-elemen
lokal, dalam diskusi ini Gereja, dapat melakukan
institutional adjustment agar dapat meladeni
serangan kasar kapitalisme. Tulisan pendek ini,
berusaha menjawab dua pertanyaan sebisanya,
untuk mengantar diskusi lebih lanjut ke dalam
buku yang sangat baik dari Benny Denar ini.
Kapitalisme Kolonialistik

Karl Marx sudah mendeteksi perilaku abadi


kapitalisme: menghisap tanpa merasa puas. Proses
3

S. Buechler (2007). Deciphering the Local in a Global


Neoliberal Age.Deciphering the Global: Its Scales, Spaces
and Subjects, 97.

D. Harvey (2005). A brief history of neoliberalism. Oxford


University Press.

Mengapa Gereja (Harus!) Tolak Tambang?

ini meninggalkan keterasingan personal dan sosial


pada kelas-kelas pekerja.5 Kapitalisme dalam
pandangan Marx bukan hanya sebatas sistem
ekonomi pasar. Kapitalisme bersentuhan dengan
persoalan ideologi, formasi sosial, ekspansi ekonomi
dan dominasi politik. Kapitalisme tidak lagi hanya
dapat dijelaskan dari sudut pandang kepentingan
ekonomi. Kapitalisme tidak hanya kombinasi
kepemilikan pribadi, pasar yang kompetitif dan
relatif bebas, tenaga kerja yang terlibat dalam
proses kerja, mesin produksi melainkan juga
berkaitan dengan ruang (wilayah) tertentu.6
Pemikir Marxist sering menyebut kapitalisme
sebagai satu bentuk sistem ekonomi politik.7
Kapitalisme terfokus pada dua gagasan yaitu
produksi untuk keuntungan dan keberadaan
kepemilikan pribadi. Negara menguasai sebagian

5 Karl Marx, (1979). Capital I, Penguin Harmondsworth.


6 N. Castree(2010). Crisis, continuity and change:
neoliberalism, the left and the future of capitalism.
Antipode, 41(s1), 185-213.
7

R. Albritton, Jessop, B., & Westra, R. (Eds.). (2010).


Political economy and global capitalism: the 21st century,
present and future. Anthem Press.
Benny Denar

darinya. Negara kemudian secara masif akan


menjelaskan mengapa kolonialisme merupakan
bagian dari kapitalisme itu sendiri. Ekspansi
Negara-negara eropa barat pada kurun 1800
hingga 1870an menjelaskan sebuah kebutuhan
kapitalisme memperluas dan melakukan sebuah
ekspansi besar-besaran berupa penguasaanpenguasaan teritori-teritori di seluruh Benua
Amerika.8
Kapitalisme memiliki beberapa tujuan
penting: pertama, menjaga dan memperluas net
profit, kedua, penjualan yang bisa menggerakkan
produksi komoditas, akumulasi kapital, privatisasi
dan surplus produksi. Kapitalisme harus
dilaksanakan dalam mekanisme perusahaan
transnasional melampaui kepentingan pemilik
modal saja. Tujuan-tujuan ini pada tahapan
tertentu akan membunuh kapitalisme itu sendiri
ketika ketiadaan ruang untuk menampung tingkat
pencapaian tujuan-tujuan ini.9
8

G. A. Cohen (1978) Karl Marxs Theory of History: a


Defence. Princeton: Princeton UP.

9 PeterHamilton (1974). Marxism I: Hegel and Marx.


Knowledge and Social Structure: an Introduction to
4

Mengapa Gereja (Harus!) Tolak Tambang?

Terutama akumulasi kapital, surplus produksi,


dan penjualan jelas membutuhkan wilayahwilayah baru. Kapitalisme membutuhkan wilayahwilayah baru dengan beberapa alasan penting.
Pertama, keterbatasan sumber-sumber produksi
dalam mesin kapitalisme. Mesin kapitalisme
akan kehilangan kekuatannya ketika mekanisme
produksi berhenti akibat ketiadaan sumbersumber mesin produksi. Kedua, logika pasar dalam
kapitalisme jelas memerlukan tingkat konsumsi
tertentu agar mesin produksi bisa tetap berfungsi.
Sebuah wilayah baru untuk menjadi target pasar
kapitalisme merupakan sebuah kebutuhan yang
penting. Ketiga, mesin produksi membutuhkan
ketersediaan tenaga kerja.10
Ekspansi ekonomi berjalan beriringan dengan
motivasi penguasaan daerah-daerah tertentu
yang menyediakan sumber-sumber baru dan

the Classical Argument in the Sociology of Knowledge.


London: Routledge and Kegan Paul.
10 G., Ritzer & N. Jurgenson (2010). Production,
Consumption, Prosumption The nature of capitalism
in the age of the digital prosumer. Journal of consumer
culture, 10(1), 13-36.
Benny Denar

memperluas jaringan keuntungan baru. Ekspansi


ekonomi kemudian menjelma menjadi sebuah
dominasi politik. Kapitalisme memunculkan
sebuah dominasi lain dalam pergerakkannya yaitu
mekanisme dominasi dan penguasaan ruang.
Monopoli kapitalistik mendorong keinginan yang
tidak terkendalikan untuk mengklaim wilayahwilayah baru sebagai tempat pemasaran komoditas,
penyedia alat-alat produksi baru, sumber-sumber
produksi baru.11
Kolonialisme dapat menjelaskan sebegitu luas
akibat-akibat kapitalisme dan kapitalisme juga
menjelaskan dirinya sebagai alasan terpenting
kolonialisme.12 Kolonialisme menjadi sebuah
paham yang berkembang sedemikian jauh dan
termanifestasikan dalam bentuk penjajahan
negara-negara kapitalis terhadap negara-negara
11 Peter Phillips and Kimberly Soeiro (2012), The Global
1 %: Exposing The Transnational Ruling Class in Project
Censored, August, 22, 2012. Sumber: Link. http://
www.projectcensored.org/the-global-1-exposing-thetransnational-ruling-class/ Accessed Mei, 24, 2015.
12 ZygmuntBauman (1978). Understanding as the Work of
History: Karl Marx. Hermeneutics and Social Science:
Approaches to Understanding. London: Hutchinson.
6

Mengapa Gereja (Harus!) Tolak Tambang?

miskin yang tidak memiliki alat-alat produksi


untuk
menggerakan
mesin
kapitalisme.
Kolonialisme
pada
awalnya
merupakan
terjemahan dari kebutuhan kelas kapitalis (pemilik
modal) untuk memperoleh garansi keamanan
dalam menjalankan kapitalisme. Kelas kapitalis
membutuhkan seperangkat kekuasaan politik dan
militer untuk menjaga kepentingan-kepentingan
mereka termasuk mencari wilayah-wilayah (kolonikoloni) baru.13
Profitisasi Oligarkis

Kita tiba pada ranah yang lebih dekat dan


konkret; Indonesia. Segera terungkap sebuah tesis
penting bahwa kekuasaan sedang menjadi medan
pergaulan para pemilik modal dan politikus.
Peran-peran ini sudah amat sulit untuk dibedakan
sekarang ini. Rata-rata para pemuka politik di
negeri ini datang dari dua kubu ini. Ketika dua
kelompok ini menghuni ruang-ruang kekuasaan,
13 PeterHamilton (1974). Marxism III. Knowledge and
Social Structure: an Introduction to the Classical Argument
in the Sociology of Knowledge. London: Routledge and
Kegan Paul.
Benny Denar

batasan-batasan itu segera melenyap dengan cepat.


Mereka bergerak dengan inti orientasi yang sama
berupa akumulasi keuntungan ekonomi, yang
sedapatnya mengalir tanpa batas ke dalam pundipundi kelompok politik mereka.14
Kelompok pertama memiliki dukungan
politik kuat. Basis massa yang signifikan.
Jaringan kultural yang mumpuni. Latar belakang
organisasi massa yang besar. Kelompok pertama
ini biasanya segera kelihatan bermandikan uang
dengan cepat. Baik dengan halal maupun tidak
halal. Tidak terbantahkan bencana korupsi
yang sedang memendamkan harapan-harapan
demokrasi mengisahkan bagaimana kelompok
pertama ini sedang kehilangan akal sehat untuk
mendahulukan kepentingan rakyat di atas nafsu
sesat pribadi dan kepentingan politik. Publik
dibuat tidak berkutik akibat kekejian politik yang
dimainkan dan diperkuat kelompok pertama ini.
Modal sosial politik yang kuat untuk merebut jatah
14 Anto Sangaji (2011), Krisis dan Kelas yang dimuat
dalam Indoprogress edisi 11 Januari. Sumber. Link: http://
indoprogress.com/2011/01/krisis-dan-kelas/
Accessed
Mei, 24, 2015.
8

Mengapa Gereja (Harus!) Tolak Tambang?

kekuasaan yang dipersyaratkan demokrasi seolah


menjadi basis keserakahan untuk merampok uang
pembangunan.
Kelompok kedua memiliki basis ekonomi
yang kuat. Jaringan bisnis yang meraksasa.
Kelompok kedua memanfaatkan kekuasaan untuk
memantapkan akses ke sumber-sumber finansial
pembangunan. Kekuasaan akan memagari
kepentingan bisnis mereka. Untuk meraih
akumulasi serentak melindungi operasi bisnis yang
meninggalkan kerusakan kemanusiaan, lingkungan
dan peradaban. Sulit untuk menampik kenyataan
menakutkan ini di tengah hamparan praktekpraktek kekuasaan. Kisah tragis korban lumpur
lampindo yang berusia hampir sama dengan
era reformasi ini mencontohkan kemelekatan
kekuasaan pada segelintir elite politik dengan
dukungan ekonomi raksasa di negeri ini.
Berada dalam pusaran seperti ini, dengan arus
yang semakin kuat, demokrasi sudah sejak awal
memasuki wilayah berbahaya. Monosentrisme
kekuasaan sedang mencapai bentuk dalam cara
dan penampilan yang lain. Kekuasaan secara
Benny Denar

sempurna sedang dikendalikan para pemilik


modal, baik politik maupun ekonomi. Richard
Robison dan Vedi R. Hadiz menulis analisis
yang bagus tentang prospek politik Indonesia
dalam tulisan dengan judul; Reorganizing Power
in Indonesia: The Politics of Oligarchy in an Age of
Markets (2004). Oligarki tidak hanya terjadi dalam
tatanan politik, melainkan dalam ranah ekonomi.
Dapat pula dikatakan bahwa dalam figur baru
politik kekuasaan Indonesia dikuasai kekuatan
yang memiliki akar yang sama. Mereka menguasai
sumber-sumber ekonomi-politik di Indonesia.
Nicholas Newman, World Policy Institute,
menulis sebuah analisis dengan judul Indonesia:
Telling Lies (2012), ketika kasus korupsi seolah
menemukan bentuk paling sempurna. Jaringan
yang begitu luas, melibatkan para petinggi
partai politik, wakil rakyat, birokrasi. Belum
lagi tangkisan-tangkisan yang dilancarkan para
terduga/tersangka pelaku korupsi seolah tanpa
rasa salah, paling tidak rasa sesal karena melukai
rasa keadilan publik dengan ucapan dan peryataan
politik tidak terdidik. Kita seolah sedang menikmati
10

Mengapa Gereja (Harus!) Tolak Tambang?

ketersesatan politik manakala ucapan dan sikap


kekuasaan seringkali mewartakan kebohongan.
Janji di podium propaganda politik menjauh
dari kenyataan. Tesis-tesis utama demokrasi
sedang memasuki masa suram dan nihil harapan.
Rentenokratisasi demokrasi sebagai kepanjangan
tangan kapitalisme mewadahi segala aklak antipublik yang secara tiba-tiba begitu liar menistakan
ruang sosial.15
Gereja dan Perlawanan Seadanya?

Marx menuduh agama sebagai institusi


penyedia obat penenang bagi kaum proletar. Karena
efek obat penenang itu, mereka menerima begitu
saja mekanisme eksploitatif kelas kapital.16 Pada
awal pembahasan ini, untuk menjawab pertanyaan
kedua dari tulisan ini, saya mau menaruh posisi
Gereja dalam konteks Tambang di NTT dalam
ranah kritik Marx. Dalam salah satu artikel
15 L. I. Xiang (2010). Critique on Environmental
Colonialism. Journal of Nanjing Forestry University
(Humanities and Social Sciences Edition), 4, 007.
16 K. Marx&F. Engels (2012). On religion. Courier
Corporation.
Benny Denar

11

untuk buku 100 tahun Gereja Manggarai yang


diterbitkan Puspas Keuskupan Ruteng, saya pernah
menjelaskan persoalan ini dengan gamblang. Saya
anggap baik untuk mengulangi secara singkat
gagasan tersebut dalam tulisan ini.
Saat melakukan riset tentang Tambang dan
Resistensi Lokal di Manggarai (2009),17 saya
menyimpulkan bahwa Gereja Katolik merupakan
stakeholder utama dalam kerangka dinamika
hubungan tripolar antara negara, korporasi dan
komunitas lingkar tambang. Saya menemukan
kenyataan bahwa peran Gereja memunculkan
implikasi positif signifikan pada pencapaian
resistensi lokal terhadap pola-pola massif industri
tambang, regulasi yang cenderung mengutungkan
korporasi, sekaligus merumuskan dan menegaskan

17 Riset yang dilakukan di kawasan tambang Manggarai


untuk mendeteksi Resistensi Lokal terhadap industri
tambang. Resistensi lokal ini dijelaskan dalam konteks
dinamuka hubungan tripolar antara negara, korporasi
dan masyarakat lokal (masyarakat lingkar tambang).
Riset ini tiba pada salah satu kesimpulan penting bahwa
Gereja Katolik muncul sebagai salah satu stakeholder
utama proses penyelesaian masalah, secara khusus dalam
persoalan tambang, secara umum dalam keseluruhan
proses pembangunan.
12

Mengapa Gereja (Harus!) Tolak Tambang?

proses yang mengutamakan gerakan sosial lokal


tanpa kekerasan.18
Posisi utama Institusi Gereja Katolik
terutama berhubungan dengan keberpihakan atas
prinsip-prinsip utama seperti keberlangsungan,
kesejahteraan, keadilan dan kehidupan.19 Prinsipprinsip ini melampaui kepentingan-kepentingan
parsial yang dimiliki negara, korporasi maupun
masyarakat lingkar tambang. Institusi Gereja
Lokal memiliki kekuatan sosial yang dapat
menentukan pola hubungan dalam konteks
pembangunan lokal. Posisi Gereja lokal melebihi
peran yang dapat ditunjukkan lembaga swadaya
masyarakat, pers lokal maupun kelompok sosial
lainnya. Elemen-elemen lain di luar Institusi
Gereja Lokal tidak memiliki pola sistematis untuk
membentuk resistensi lokal yang efektif terhadap
mekanisme pembangunan yang destruktif. Di
sini, nuansa resistensi sosial tanpa kekerasan
18 Max Regus (2009), Tambang dan Resistensi Lokal:
Analisis Hubungan Tripolar antara State, Market and
Society, Depertamen Sosiologi, FISIP, UI, Depok.
19 S. J. Massaro (2011). Living justice: Catholic social teaching
in action. Rowman & Littlefield Publishers.
Benny Denar

13

menjadi pencapaian yang sangat mendasar dalam


keseluruhan ruang keterlibatan Gereja.20
Sekurangnya, dalam konteks perlawanan
terhadap masifikasi industri tambang, Gereja
Katolik Manggarai berusaha menangkis tuduhan
Marx. Meskipun, koreksi yang diberikan Gereja
Katolik terhadap serangan Marx, sama sekali belum
menyediakan jawaban yang memuaskan tentang
peran yang lebih kentara lagi dari Gereja dalam
keseluruhan konstruksi politik lokal. Sebuah ruang
politik yang dikendalikan secara tidak terbatas oleh
tangan-tangan kasar kapitalisme. Gereja seharusnya
mengasah keberanian untuk melawan kekuasaan
yang memanfaatkan demokrasi dan pembangunan
untuk meraup keuntungan ekonomi-politik tanpa
batas. Ini akan menjadi sebuah jawaban yang
cukup telat bahwa Gereja tidak melawan seadanya
terhadap tipu muslihat kapitalisme.

20 J. Casanova (2011). Public religions in the modern world.


University of Chicago Press.
14

Mengapa Gereja (Harus!) Tolak Tambang?

Penutup: Merancang Institutional


Adjustment?

Kapitalisme dan demokrasi membawa serta


perubahan-perubahan kelembagaan yang sangat
beragam. Membesarnya wewenang para penguasa
di level lokal merupakan bagian dari fenomena
ini. Pemanfaatan wewenang yang sekian besar
itu, yang tidak disertai basis etika politik yang
memadai, sebegitu sering menghadirkan tragika
pembangunan yang tidak terelakkan. Pengingkaran
terhadap prinsip keberlangsungan kehidupan
dalam politik pembangunan lahir dari perubahan
kelembagaan politik yang salah kaprah ini. Politik
Tambang hanya satu kisah dari sekian banyak
implikasi yang mengalir dari kerangka perubahan
kelembagaan ekonomi-politik ini.
Untuk semua ini, pernahkah Gereja secara
kritis
membongkar
pendirian-pendiriannya
tentang politik, hubungan agama dan negara,
kemanusiaan, yang mungkin saja akan kelihatan
seperti barang usang ketika dikonfrontasikan
dengan institutional changes ini. Gereja, dalam
menghadapi transformasi sejarah yang sedemikian
Benny Denar

15

pekat ini, harus berani menerobos keterbatasanketerbatasan institusional yang justru dibuatnya
sendiri. Gereja harus berani melakukan institutional
adjustment untuk menjadi pemain penting dalam
ruang sosial, ekonomi dan politik.21 Salah satunya
dengan mempertanyakan kembali secara kritis dan
terbuka tentang keunggulan dan ketertinggalan
muatan-muatan gagasan dari Ajaran Sosial Gereja
ketika ditaruh dalam cangkang kapitalisme global
berserta keturunannya hingga sekarang ini. Buku
karya Benny Denar ini merupakan salah satu usaha
yang baik untuk melihat persoalan ini secara lebih
serius. Berhubungan dengan Gereja dalam narasi
besar kapitalisme, buku ini membahasakan dua
aspek yang sangat mendasar. Pertama, penegasan
akan panggilan pastoral Gereja untuk melayani
kemanusiaan dan peradaban. Kedua, mempertajam
otokritik eklesialistik seputar keengganan Gereja
mejalani pertarungan terbuka melawan serangan
brutal kapitalisme.

21 S. Pejovich (2012). The effects of the interaction of formal


and informal institutions on social stability and economic
development. Journal of Markets & Morality, 2(2).
16

Mengapa Gereja (Harus!) Tolak Tambang?

BAB I

PENDAHULUAN

istem Otonomi Daerah yang berlaku pascaruntuhnya pemerintahan Orde Baru tidak
saja berdampak positif bagi pembangunan daerahdaerah di Indonesia, tetapi juga melahirkan
berbagai ketimpangan yang meresahkan. Otonomi
Daerah sebagai salah satu tuntutan dasar reformasi
ternyata tidak hanya menampakkan diri sesuai
yang dicita-citakan, tetapi justru membawa biasbias destruktif yang mencemaskan. Bila pada
zaman Orde Baru korupsi tersentralisasi di Jakarta,
maka kini pada zaman diberlakukannya Otonomi
Daerah, korupsi ikut terdesentralisasi ke daerahdaerah. Dengan demikian, daerah-daerah otonom
kini menjadi ladang baru lahirnya Korupsi, Kolusi
dan Nepotisme (KKN).
17

Selain memunculkan ladang baru terjadinya


KKN, Otonomi Daerah ternyata melahirkan
persoalan serius terkait pilihan kebijakan politik
pembangunan daerah. Salah satu fenomen paling
kentara yang membahasakan adanya persoalan serius
terkait pilihan kebijakan politik pembangunan
daerah adalah munculnya perusahaan-perusahaan
berskala transnasional atau Multi National
Corporation (MNC) yang mengeruk kekayaan
alam yang tersebar di daerah-daerah. Perusahaanperusahaan tersebut mengadakan investasi besarbesaran di bidang pertambangan yang justru
membawa malapetaka baru bagi masyarakat lokal.
Hal ini amat nyata dalam menjamurnya MNC
di berbagai daerah, termasuk daerah-daerah di
Propinsi Nusa Tenggara Timur (NTT).22
Masalah-masalah di atas mengharuskan
kita untuk merefleksikan kembali bagaimana
sistem kerja modal dalam tata ekonomi global
yang didukung oleh regulasi yang dibuat
22 Alex Jebadu, Relasi Pertambangan, Kekejaman
Neoliberalisme, dan Ilusi Pertumbuhan Ekonomi, dalam
Rikard Rahmat (ed.), Gereja Itu Politis, (Jakarta: JPIC
OFM, 2012), p. 159.
18

Mengapa Gereja (Harus!) Tolak Tambang?

negara (pemerintah) dapat menyelamatkan


kepentingan masyarakat/warga lokal. Inilah salah
satu tantangan yang tidak ringan dari dominasi
globalisasi ekonomi dewasa ini yang amat kuat
dilandasi oleh rasionalitas instrumental/strategis
demi keuntungan ekonomi.23 Apalagi sudah
menjadi faktum umum bahwa globalisasi ekonomi
itu menghendaki munculnya totalitas pasar.
Dominasi pasar tersebut telah bersifat ideologis
sebab dia telah secara sistematis menguasai semua
lini kehidupan manusia dan berjuang untuk
kemandiriannya.24 Hal ini melahirkan malapetaka
besar sebab hukum pasar selalu hanya berorientasi
pada maksimalisasi keuntungan, walaupun
orientasi tersebut menimbulkan ketidakadilan,

23 Paulus Budi Kleden, Teologi Terlibat, (Maumere: Ledalero,


2003), p. 56.
24 Totalitas pasar (bebas) disebutkan dalam Nota Pastoral
Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) Tahun 2007
sebagai salah satu gejala kemenduaan globalisasi. Menurut
KWI, globalisasi memang di satu sisi membawa dampak
positif bagi kemajuan peradaban manusia, tetapi di sisi
lain justru membawa bias-bias destruktif yang salah
satunya lahir dalam imperalisme pasar bebas. Bdk. Nota
Pastoral KWI, Habitus Baru: Ekonomi yang Berkeadilan,
dikeluarkan pada 3 Januari 2007.
Benny Denar

19

sekaligus dapat merusakkan lingkungan hidup.


Justru kecenderungan dominasi pasar itulah
yang sedang terjadi di Indonesia, yakni menguatnya
liberasi pasar yang bersifat transnasional. Investasi
pertambangan yang semakin masif merupakan
salah satu contoh paling kentara menguatnya
liberalisme ekonomi di Indonesia. Liberasi
pertambangan itu memang sudah mulai muncul
sebelum zaman reformasi, namun semakin
menguat pasca-reformasi yang melahirkan
Otonomi Daerah. Setidaknya penguatan terhadap
liberasi pertambangan setelah Orde Baru dapat
diteliti dari tiga aspek.25 Pertama, penguatan
terhadap liberasi pertambangan tersebut dapat
dilihat dari produk hukum yang dihasilkan atau
diperbarui pasca-reformasi yang lebih condong
mendukung sistem liberasi pertambangan, bahkan
cenderung mengarah kepada deregulasi.26
25 Max Regus, Tambang, Kewargaan Lokal, dan Hak
Ekonomi Politik, dalam Boni Hargens (ed.), Kebuntuan
Demokrasi Lokal di Indonesia, (Jakarta: Parrhesia, 2009),
pp. 76-80.
26 B. Herry Priyono melihat bahwa deregulasi tidak dimaknai
sebagai peniadaan atau pengurangan aturan. Deregulasi
pada hakikatnya hanya sekadar pengalihan wewenang
20

Mengapa Gereja (Harus!) Tolak Tambang?

Kedua, kemudahan akses bagi investor


transnasional dalam mendapatkan perizinan.
Kalau pada zaman Orde Baru, izin untuk
investasi pertambangan tersentralisasi di Jakarta,
maka pada era Otonomi Daerah, para pemodal
transnasional bisa langsung berhubungan dengan
kepala daerah untuk memperoleh izin melakukan
segala jenis investasi, termasuk investasi di bidang
pertambangan. Atas nama investasi dan optimalisasi
khas daerah, para kepala daerah mempermudah
memberikan izin investasi pertambangan demi
terhadap pengaturan. Jika regulasi umumnya (sebelum
dilakukan deregulasi) dikeluarkan oleh pemerintah, maka
deregulasi mengalihkan wewenang tersebut menjadi selfregulation. Self- regulation bermakna pengaturan oleh diri
sendiri. Diri sendiri di sini dapat berbentuk individu,
lembaga, perusahaan nasional maupun multinasional,
maupun oleh pemerintah daerah. Dengan konteks
semacam ini, jika dulu regulasi hanya diciptakan oleh
pihak yang berwenang dan ditujukan untuk semua pihak,
sekarang karena self memegang kekuasaan membuat
aturan, maka kemungkinan terbesar adalah aturan
tersebut akan saling berbenturan. Dan tentunya aturan
yang memiliki kekuatanlah yang akan menang. Kekuatan
yang sangat menentukan sekarang ini adalah modal, dan
hal itu menjadi kekuatan utama MNC. Dialah yang
berhak memenangkan permainan regulasi ini. Lebih
lengkap mengenai definisi deregulasi dan seluk beluknya,
lihat Herry B. Herry Priyono, Filsafat Deregulasi dalam
Kompas 1 Juni 2005.
Benny Denar

21

meraup keuntungan.27 Ketiga, menguatnya liberasi


pertambangan juga ditandai oleh kemesraan/
kedekatan hubungan antara investor dengan
penguasa. Akibatnya semua kebijakan terkait izin
melakukan investasi pertambangan dipermudah.
Para penguasa lebih mudah melayani kepentingan
investasi para pemodal daripada mendengar suara
dan kepentingan rakyatnya sendiri.28
Penguatan kapitalisme-liberalisme semakin
menegaskan pandangan beberapa pemikir (terutama
Fukuyama) bahwa paham tersebutlah yang menang
atas paham sosialis/komunis dalam perdebatan
terkait sistem politik dan ekonomi dunia. Ideologi di
belakang kapitalisme adalah liberalisme. Liberalisme
ditandai oleh privatisasi segala potensi ekonomi,
pencarian untung sebesar-besarnya dan kompetisi
dalam tata ekonomi pasar bebas. Di sini akumulasi
modal menjadi penggerak dan tujuan utama. 29 Oleh
27 Ada banyak media yang melansir adanya fenomena ini,
salah satunya pernah dibahas dalam kolom editorial
Victory News, edisi 13 Desember 2013.
28 Max Regus, Tobat Politik, (Jakarta: Parrhesia, 2011), p. 9.
29 K. Bertens, Pengantar Etika Bisnis, (Yogyakarta: Kanisius,
2000), p. 135.
22

Mengapa Gereja (Harus!) Tolak Tambang?

para pendukungnya sistem ini sangat didukung


karena menurut mereka, selain dapat mempercepat
kemajuan dan kemakmuran ekonomi, sistem tersebut
juga secara fundamental memiliki kesesuaian dengan
sifat-sifat dasariah manusia yang selalu ingin lebih
tahu, lebih bebas, lebih maju, serta lebih mampu
berinteraksi dengan berbagai manusia dengan latar
belakang yang berbeda.30
Walaupun memunculkan optimisme akan
kemajuan dan kemakmuran, namun sistem
kapitalisme-liberalisme ternyata memunculkan
berbagai keresahan yang sangat mendasar. Pertama,
paham ini cenderung menginstrumentalisasi
manusia. Manusia dihargai sejauh dia produktif
secara ekonomis.31 Oleh karena itu, paham
ini cenderung menolak kekhasan manusia
berdasarkan kelompok sosial atau rasnya.32 Kedua,
paham liberalisme juga membuat ambruk sistem
30 Martin Wolf, Globalisasi Jalan Menuju Kesejahteraan, Terj.
Samsudin Berlian, (Jakarta: Freedom Institute, 2007), p.
xii.
31 Paulus Budi Kleden, op. cit., p. 62.
32 Maurice Duverger, Sosiologi Politik, Terj. Daniel Dhakidae,
(Jakarta: Rajawali Press, 2010), p. 157.
Benny Denar

23

politik sebuah negara. Sebab paham ini meyakini


adanya kesamaan antara manusia sebagai homo
politicus dan manusia sebagai homo economicus.
Jadi menurut paham ini, perjuangan politik
mempunyai motif yang sama dengan perjuangan
ekonomi.33 Keyakinan inilah yang merusak dunia
politik, karena kebijakan politik diambil alih oleh
para pemodal (the invisible hand). Hal ini dengan
sangat bagus digambarkan oleh Noreena Hertz,
Direktur Eksekutif Center for International Business
Universitas Cambridge, sebagai berikut;
Inilah dunia pengambilalihan diam-diam, dunia
pada saat fajar milenium menyingsing. Tangantangan pemerintah tampak terikat dan kita semakin
hari semakin bergantung kepada korporasi. Bisnis
sedang menduduki bangku sopir, korporasi
menentukan aturan main, dan pemerintah telah
menjadi sekadar wasit yang hanya menerapkan
aturan-aturan yang dibuat oleh pihak-pihak lain.
Perusahaan-perusahaan yang mudah berpindah
(portable) dan pemerintah bergerak sangat jauh
untuk menarik atau memelihara mereka agar
mereka tetap berada di wilayah mereka.34
33 Ibid.
34 Noreena Hertz, Penjajahan Kapitalisme, Terj. Dindin
Solahudin, (Bandung: Nuansa, 2011), p.17.
24

Mengapa Gereja (Harus!) Tolak Tambang?

Ketiga, paham kapitalisme-liberalisme sangat


kuat memarginalisasi kaum miskin.35 Sebab
sistem liberalisme cenderung berorientasi pada
penumpukan kekayaan pada para pemodal
besar dan sangat kuat menciptakan banyak
orang miskin baru, termasuk mereka yang kalah
dalam persaingan. Keempat, arus neoliberalismekapitalisme global cukup kuat merusakkan
lingkungan
hidup.
Pemutlakan
terhadap
keuntungan dan akumulasi modal memang
menimbulkan kemakmuran, namun kemakmuran
itu banyak dicapai dengan merusakkan lingkungan
hidup. Apalagi saat ini, ada ketakutan yang sangat
mendasar berkaitan dengan kerusakan lingkungan
hidup apabila suatu saat Asia dan Amerika Selatan
mencapai kemakmuran seperti di Eropa dan
Amerika Serikat. Hal ini mengindikasikan bahwa
pada taraf global, hampir dipastikan akan terjadi
kerusakan lingkungan hidup yang luar biasa jika
di seluruh dunia menggunakan kuantitas energi
yang sama besarnya dengan dengan negara-negara

35 Paulus Budi Kleden, loc. cit.


Benny Denar

25

industri maju (Eropa dan Amerika).36


Daya rusak neoliberalisme seperti yang
dijelaskan di atas hampir semuanya telah terlihat
dalam berbagai akibat aktivitas pertambangan selama
ini di berbagai tempat, termasuk di Manggarai
Barat yang menjadi locus utama penelitian buku ini
dilakukan.37 Pertambangan misalnya, rentan dengan
perampasan secara sepihak hak-hak masyarakat
seputar lingkar tambang dan bisa menciptakan
konflik horizontal. Perusahaan tambang juga
bisa seenaknya meminta bantuan pemerintah
untuk menggunakan alat negara (polisi, tentara,
dan lain-lain) guna mengintimidasi masyarakat.
Selain itu, perusahaan tambang kerap melakukan
pembohongan dengan memanfaatkan keluguan
masyarakat. Sementara di pihak lain, pemerintah
sering melakukan pembiaran terhadap perusahaan
tambang melakukan ketidakadilan terhadap pemilik
lahan, juga terhadap masyarakat yang terkena
dampak akibat aktivitas pertambangan. Lebih parah
lagi, dengan berkolusi dengan perusahaan tambang,
36 K. Bertens, op. cit., p. 136.
37 Alex Jebadu, dkk (ed.), pp. viii-xi.
26

Mengapa Gereja (Harus!) Tolak Tambang?

pemerintah sebenarnya sedang menjual murah


rakyatnya sendiri, atau menjual daerah, bangsa dan
negaranya.
Polemik seputar pertambangan seperti
dijelaskan di atas mengharuskan kita mencermati
kembali pilihan kebijakan pembangunan di
negara dan daerah kita. Sebab neoliberalisme
yang menopang pembangunan global memang
telah berhasil mengiklankan impian-impian
kemakmuran, namun gagal mengidentifikasikan
secara konkret impian dasarnya itu berhadapan
dengan kerakusan yang menjadi cacat bawaannya.
Mesin ekonomi kapitalis telah mengeruk sumber
daya alam secara tak terbatas yang memunculkan
ketakutan akan masa depan bumi ini. Iklim
pertumbuhan dan pembangunan seperti ini yang
ditopang secara kuat oleh kepentingan rezim
politik tertentu, pasti akan memicu pertumbuhan
ekonomi yang dibarengi oleh parahnya kerusakan
sosial, sekaligus degradasi lingkungan hidup.38
38 Max Regus, Membongkar Aib Pembangunan, dalam
Paul Budi Kleden, Otto Gusti Madung dan Anselmus Meo
(eds.), Allah Menggugat Allah Menyembuhkan, (Maumere:
Ledalero, 2012), pp. 371-376.
Benny Denar

27

Justru pada tempat inilah konsep seputar


pembangunan penuh kontroversi. Sebab dalam
kenyataan pembangunan tidak membawa
manfaat secara merata bagi semua orang. Bagi
kelompok tertentu pembangunan memang
mendatangkan kesejahteraan dan kekayaan,
namun bagi banyak kelompok lain pembangunan
tidak hanya gagal mendatangkan kesejahteraan,
tetapi justru mendatangkan malapetaka karena
dapat mengancam keberlanjutan kehidupan,
menimbulkan
kerusakan
alam,
sekaligus
menyebabkan destruksi budaya. Pembangunan
direduksi hanya sebagai medan terjadinya
hegemoni kekuasaan politik dan pasar yang alihalih mendatangkan kesejahteraan, tetapi dalam
kenyataan justru menghasilkan kemiskinan
sistemik, kehancuran ekologis, dan destruksi
budaya. Pembangunan pada akhirnya hanya
melahirkan dominasi, pencaplokan sumber
daya, marginalisasi, subordinasi, eksploitasi,
dan kekerasan dalam berbagai bentuknya.
Di sinilah letak kontroversi atau ambiguitas
pembangunan itu. Pembangunan menjadi sesuatu
yang dikehendaki sekaligus ditentang, dirangkul
28

Mengapa Gereja (Harus!) Tolak Tambang?

sekaligus diwaspadai, dijalankan sekaligus dilawan.39


Dalam buku ini, penulis membedah polemik
seputar pertambangan dengan segala kekuatan
korporasinya dalam bingkai kontroversi pengertian
seputar pembangunan. Oleh karena itu, ada dua
gagasan dasar yang akan dipakai dalam penulisan
buku ini. Pertama, penulis menolak kerangka
teoritis dan paradigma dominan dalam studi
tentang pembangunan, kekuasaan dan kemiskinan,
yang menempatkan sistem kapitalisme neoliberal40
39 Cypri Jehan Paju Dale, Kuasa, Pembangunan dan
Pemiskinan Sistemik, (Labuan Bajo: Sunspirit Books,
2013), pp. x-xi.
40 Kapitalisme neoliberal (neoliberalisme) yang dimaksudkan
di sini dimengerti sebagai paham dan proyek besar untuk
mengatur manusia dan tata masyarakat yang berisi dua lapis
agenda. Pertama, neoliberalisme adalah paham dan agenda
pengaturan manusia dan masyarakat yang didasarkan pada
prioritas dimensi manusia ekonomi (homo economicus)
atas dimensi-dimensi lain hidup manusia dan masyarakat
(manusia sebagai makhluk kultural, spiritual, politis,
komuniter, dan sebagainya). Kedua, dalam kaitan dengan
lapis agenda pertama, neoliberalisme juga dipahami sebagai
dominasi sektor ekonomi finansial (financial economy) atas
sektor ekonomi riil (real economy) dalam tata ekonomipolitik suatu masyarakat. Kondisi neoliberal biasanya
ditandai oleh dua ciri berikut ini. Pertama, semakin
banyak bidang-bidang kehidupan pribadi dan masyarakat
yang mengalami proses komodifikasi dan komersialisasi
yang mendalam. Artinya, akses terhadap semakin banyak
Benny Denar

29

sebagai senjata utama yang dipakai kekuasaan untuk


melaksanakan pembangunan yang tujuannya
kebutuhan hidup (seperti pendidikan, kesehatan, gizi,
dan sebagainya) kian ditentukan bukan oleh hak manusia
untuk hidup, melainkan oleh kemampuan keuangan
pribadi dan daya beli (purchasing power). Itulah yang
menjelaskan mengapa dalam kondisi ekonomi-politik
neoliberal gelombang privatisasi sangat kencang terjadi
(meskipun tidak semua jenis privatisasi adalah bagian
neoliberalisme). Dan karena akses terhadap pemenuhan
kebutuhan hidup seperti kesehatan dan pendidikan makin
ditentukan oleh daya beli, tentu saja kaum miskin yang
punya daya beli rendah juga semakin tidak punya akses
pada kesehatan dan pendidikan yang layak. Itu juga
berlaku dalam hal akses pada hukum. Kedua, proses
ekonomi ditandai oleh ketercerabutan (disembeddedness)
aktivitas ekonomi dari konsern ekonomi orang-orang biasa
(seperti petani, buruh, nelayan, dan sebagainya). Artinya,
transaksi saham, spekulasi uang, transaksi sekuritas,
lindung-nilai (hedge), derivatives, dan semacamnya jauh
lebih berkembang daripada proses ekonomi produktif
seperti produksi sepatu, pakaian, beras, mebel, minyak
goreng, jalan, jembatan, dan sebagainya. Pola inilah yang
rupanya ada di balik gejala kemandegan sektor ekonomi
riil di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir, sementara
sektor ekonomi finansial berkembang sangat pesat. Jadi,
istilah neoliberalisme menunjuk pada ketercerabutan
tata ekonomi (disembedded economy) dari kemampuan
dan kebutuhan riil orang-orang biasa. Bdk. B. Herry
Priyono, Marginalisasi ala Neoliberal, dalam Jurnal
BASIS, No. 05-06, Tahun ke-53, Mei-Juni 2004, pp. 1820. Atau dalam B. Herry Priyono, Ekonomi dan Budaya
yang Menjelma, dalam Departemen Dokumentasi dan
Penerangan KWI, Refleksi dan Evaluasi Nota Pastoral
KWI Tahun 2003, 2004 dan 2006, Spektrum No. 4
Tahun XXXV, 2007, pp. 109-112.
30

Mengapa Gereja (Harus!) Tolak Tambang?

untuk mengurangi kemiskinan. Sebab dalam


kenyataannya, paradigma kapitalistik neoliberal
dalam tata ekonomi politik pembangunan
hanya mengukuhkan hegemoni peran pemodal
dan semakin bebasnya mekanisme pasar serta
terminimalisirnya peran negara. Akibatnya
ketidakadilan sosial semakin meruncing, kerusakan
lingkungan semakin masif, dan membuat budaya
lokal semakin terdegradasi.
Kedua, penulis menunjukkan sebuah model
pembangunan alternatif yang pada intinya
ingin menempatkan penderitaan sebagai dalil
utama pembangunan. Di sini pembangunan
dilihat sebagai jalan pembebasan manusia dari
penderitaan. Dengan pendasaran seperti ini, semua
kebijakan, konsep dan strategi pembangunan akan
dinilai secara etis apakah dia sanggup meniadakan
atau membebaskan manusia dari penderitaan atau
tidak. Dia menghendaki agar segala kebijakan
dan upaya pengembangan masyarakat semestinya
diarahkan untuk mengatasi, atau paling tidak
sedapat mungkin mengurangi penderitaan

Benny Denar

31

manusia dalam semua bentuk dan dimensinya. 41


Konsep pembangunan berbasis penderitaan
ini memiliki kesamaan orientasi dengan konsep
Ajaran Sosial Gereja (ASG). Kesamaannya terletak
pada perhatian yang sama terhadap martabat
manusia terutama kaum miskin dan menderita,
juga mengenai pentingnya menjaga keutuhan
ciptaan. Maka sebagai implikasi, tulisan ini akan
menawarkan model pembangunan alternatif yang
memang harus ditawarkan dan dilaksanakan oleh
Gereja sendiri, yaitu model pembangunan yang
mengutamakan kaum miskin sekaligus model
pembangunan berkelanjutan.
Tatkala Gereja menyadari kuatnya daya rusak
neoliberalisme yang terlihat jelas dalam liberalisasi
pertambangan yang sudah ada di berbagai daerah,
maka amat penting sebagai salah satu kekuatan civil
society, Gereja melibatkan diri memperkuat arus
perlawanan rakyat. Pelibatan diri ini bukan tanpa
pendasaran. ASG dengan amat jelas menghendaki
terciptanya keutuhan ciptaan. ASG misalnya
41 Johanes Muller, Perkembangan Masyarakat Lintas Ilmu
(Jakarta: Gramedia, 2006), p. 162.
32

Mengapa Gereja (Harus!) Tolak Tambang?

menentang pembangunan ekonomi berbasis


keserakahan manusia dan menentang penggunaan
teknologi tanpa mengindahkan nilai-nilai etis,
termasuk nilai penghormatan terhadap alam
ciptaan. Sebaliknya ASG menghendaki terjadinya
sistem pembangunan ekonomi berkelanjutan,
menghargai komunitas masyarakat adat dan sukusuku pribumi, serta menekankan pentingnya
tanggung jawab untuk menjaga keutuhan ciptaan.42
Ada beberapa dokumen Gereja yang patut
disebutkan yang menyinggung soal ekologi dan
kosmologi,43 seperti Gaudium et Spes, Populorum
Progressio, Sollicitudo Rei Sosialis, Centesimus Annus,
Katekismus Katolik, Gereja Ekaristi, Deus Caritas
Est, Caritas in Veritatem, Lumen Fidei, Evangelii
Gaudium, dan ada banyak kotbah, pesan, surat dari
para Paus tentang ekologi. Selain itu ada juga Nota
Pastoral dan Surat Gembala yang dikeluarkan oleh
42 Yosef Maria Florisan, Paul Budi Kleden, dan Otto Gusti
Madung (Penterj.), Kompendium Ajaran Sosial Gereja
(Maumere: Ledalero, 2009), pp. 316-319.
43 Inosensius Sutam, Bersinode: Berjalan Bersama Alam,
dalam Liturgi Ekologis (Sebuah Refleksi Teologis tentang
Ekologi), makalah yang disampaikan pada kesempatan
Sinode Keuskupan Ruteng pada 13-17 Januari 2014, p. 7.
Benny Denar

33

KWI dan pimpinan Dioses Ruteng yang menjadi


acuan bagaimana Gereja Keuskupan Ruteng terlibat
dalam persoalan pertambangan, termasuk yang
terjadi di Manggarai Barat. Pendasaran-pendasaran
inilah yang menjadi pijakan penulis dalam membuat
kajian yang dihasilkan dalam buku ini.
Keseluruhan tulisan dalam buku ini akan
dibagi ke dalam enam bab. Bab I merupakan
pendahuluan sebagai pengatar untuk masuk ke
dalam keseluruhan isi buku. Bab II berisi ulasan
mengenai kontroversi pengertian pembangunan.
Di sini gagasan pembangunan yang bertumpu pada
paham-paham seputar ideologisasi pertumbuhan
seperti
neoliberalisme,
kapitalisme
dan
globalisasi ekonomi yang menjadi fundasi kokoh
munculnya liberalisasi pertambangan akan coba
dipertentangkan dengan konsep pembangunan
yang bertumpu pada penderitaan manusia. Bab III
berisi perkenalan singkat seputar ASG, termasuk
pandangan ASG tentang hakikat pembangunan
manusia seutuhnya, terutama tentang pentingnya
pembelaan terhadap martabat manusia. Selain
itu, akan diulas juga mengenai perhatian ASG
34

Mengapa Gereja (Harus!) Tolak Tambang?

terhadap lingkungan hidup yang kiranya menjadi


jalan alternatif bagi menguatnya neoliberalisme
global yang menyata dalam semakin kencangnya
liberalisasi pertambangan. Bab IV berisi ulasan
deskriptif perihal polemik pertambangan di
Manggarai Barat yang pada intinya bermaksud
untuk membuat pembuktian bahwa investasi
pertambangan yang dilakukan merupakan bagian
dari ideologisasi pertumbuhan dan karena itu
justru mengorbankan atau membebani biaya-biaya
manusiawi (fisik dan makna). Dengan kata lain,
penulis ingin menunjukkan bahwa pertambangan
di Manggarai Barat bukannya menghilangkan
atau paling kurang mengurangi penderitaan,
tetapi justru menyebabkan penderitaan yang kian
bertambah. Sedangkan dalam Bab V berisi ulasan
terkait keterlibatan Gereja Keuskupan Ruteng
dalam persoalan seputar aktivitas pertambangan
di Manggarai Barat. Kemudian penulis akan
menunjukkan model pembangunan alternatif
sebagai implikasi dari konsep pembangunan
berbasis penderitaan yang sesuai dengan ASG.
Bab VI akan menjadi penutup keseluruhan tulisan
dalam buku ini.
Benny Denar

35

BAB II

KONTROVERSI DI SEPUTAR
PENGERTIAN PEMBANGUNAN

anyaknya masalah seputar pengembangan


masyarakat akhir-akhir ini menuntut kita
untuk merefleksikan kembali konsep-konsep
fundamental seputar pembangunan. Sebab dalam
kenyataannya, pembangunan ternyata tidak saja
berhasil memanusiawikan peradaban tetapi juga
turut membawa serta bias-bias destruktif yang
mengancam martabat manusia dan lingkungan. Di
titik inilah konsep seputar pembangunan melahirkan
kontroversi. Kontroversi itu menarik minat penulis
untuk membedahnya secara lebih tajam. Pada
bagian pertama penulis akan memunculkan konsep
positif seputar pembangunan terutama perihal
pembangunan dengan logika pertumbuhan,
36

termasuk ekses-eksesnya. Selanjutnya penulis akan


menunjukkan pendekatan lain, yaitu pendekatan
negatif terhadap pembangunan. Pendekatan negatif
yang menempatkan penderitaan sebagai dalil
utama pembangunan akan menjadi konsep kunci
bagi penulis untuk pembahasan dalam buku ini,
terutama untuk turut mempertimbangkan hadirnya
korporasi tambang di berbagai tempat, terutama di
Manggarai Barat; termasuk untuk dijadikan sebagai
acuan dalam menilai dan menyumbang gagasan
bagi keterlibatan Gereja dalam menyikapi polemik
pertambangan dimaksud.
2.1. PEMBANGUNAN SEBAGAI
PERTUMBUHAN

2.1.1. Batasan Konsep


Pertumbuhan yang dimaksudkan adalah
pertumbuhan ekonomi. Pembangunan yang
berorientasi pertumbuhan merupakan suatu
strategi pembangunan yang berorientasi pada
terciptanya keadaan di mana terjadi kenaikan
Produk Domestik Bruto (PDB) tanpa memandang
apakah kenaikan tersebut lebih besar atau lebih
Benny Denar

37

kecil dari tingkat pertumbuhan penduduk.44


Untuk meningkatkan PDB itu, maka fokus utama
pembangunan adalah pada peningkatan laju
ekonomi dengan mengembangkan sektor industri.
Tidak heran apabila negara yang menerapkan
strategi pembangunan berorientasi pertumbuhan
pasti mengalami proses industrialisasi secara masif,
sebab industri menjadi lokomotif utama pergerakan
ekonomi. Indikasi riil dari kesuksesan dalam
pengejaran pertumbuhan adalah meningkatnya
produksi barang dan jasa serta adanya peningkatan
pada sektor ekonomi nasional. Semua itu diukur
dari perspektif ekonomi makro.
Untuk mengejar keberhasilan itu, pemerintah
lebih berperan meningkatkan bahkan meliberalisasi
investasi di bidang industri. Liberalisme ekonomi
dan globalisasi kapital tidak terelakkan sebab strategi
pembangunan untuk mengejar pertumbuhan
menjadikan laju modal sebagai kekuatan utama.
Selain itu, dibutuhkan kualitas tenaga kerja,
manajemen ekonomi yang mumpuni, teknologi
44 Willard A. Beling dan George 0. Totten, Modernisasi
Masalah Model Pembangunan, Terj. Mien Joebhaar,
(Jakarta: Rajawali, 1980), p. 31.
38

Mengapa Gereja (Harus!) Tolak Tambang?

canggih, sumber daya alam yang melimpah dan


kultur kewirausahaan yang meluas. Namun,
pengejaran yang berlebihan akan pertumbuhan
ekonomi akan menciptakan marginalisasi
masyarakat miskin dan sederhana, kerusakan alam
lingkungan yang semakin masif serta melahirkan
ketimpangan sosial yang semakin melebar.
Ketimpangan sosial terjadi sebab pengejaran
kenaikan Gross National Product (GNP) dari tahun
ke tahun tanpa disertai peningkatan kesejahteraan
masyarakat dan pemerataan pendapatan.
Sebagai kesimpulan, kiranya perlu diangkat
ke permukaan sekurang-kurangnya tiga patologi
mendasar dari strategi pembangunan yang
mementingkan
ideologisasi
pertumbuhan.
Pertama, strategi ini tidak sejalan dengan konsep
pemberdayaan dan pembangunan masyarakat
yang menekankan pada aspek manusia sebagai
agen pembangunan dan pertumbuhan. Asumsi
dasar dari teori pemberdayaan masyarakat, yakni
masyarakat terlebih dahulu diberdayakan agar
mampu meningkatkan pendapatannya yang
akan berdampak pada peningkatan pendapatan
Benny Denar

39

nasional. Kedua, strategi pembangunan berorientasi


pertumbuhan menekankan agar pemerintah
mempunyai dan memanfaatkan sumber daya
modal yang besar sehingga dapat meningkatkan
pendapatan penduduk yang akan berdampak
pada peningkatan pendapatan nasional. Namun
persoalannya negara-negara berkembang sedang
menghadapi persoalan pada sumber daya modal
tersebut. Apalagi negara-negara berkembang yang
miskin sumber daya alamnya. Hal ini diperparah
oleh sumber daya manusia yang masih lemah di
negara-negara berkembang. Jadi, bukan hanya
modal yang didatangkan dari negara maju,
melainkan juga para pekerja ahli yang memiliki
kompetensi di bidang industri. Justru hal-hal
seperti inilah yang mendorong negara-negara
berkembang berutang kepada negara maju yang
pada akhirnya justru menciptakan kebergantungan
tanpa akhir.45
45 Terkait hal ini teori ketergantugan menjelaskan bahwa
kapitalisme mendistribusikan manfaat atau keuntungan
dari produksi ekonomi secara tidak merata, sehingga
kelompok-kelompok atau individu-individu dari kelas
tertentu mendapat keuntungan lebih besar daripada
kelas yang lain dalam ekonomi domestik. Logika ini
40

Mengapa Gereja (Harus!) Tolak Tambang?

Ketiga, konsep dan strategi pembangunan yang


berorientasi pertumbuhan ekonomi berambisi
meningkatkan laju pertumbuhan perekonomian
nasional lewat peningkatan pertumbuhan
industri. Ambisi peningkatan industri tersebut
tentu saja mengandalkan sumber daya alam
sebagai modal utama produksi. Hal inilah yang
mendorong pemerintah memanfaatkan sumber
daya alam secara tidak terkendali dan justru
mengesampingkan aspek lingkungan hidup yang
dapat merusak ekosistem.46
2.1.2. Teori-Teori Di Seputar Ideologi
Pertumbuhan
Sesuai penjelasan sebelumnya bahwa dalam
ideologi pertumbuhan, pembangunan dipandang
diperluas ke sistem internasional di mana struktur pasar
global memastikan bahwa kekayaan menjadi terkosentrasi
pada suatu kelompok kecil negara dengan beban besar di
pundak kelompok negara-negara berkembang. Bdk. Frank
A. Boyd Jr, Ketergantungan dan Pembangunan, dalam
John T. Ishiyama dan Marijke Breuning (eds.), Ilmu Politik
dalam Paradigma Abad 21, Jilid I, Terj. Ahmad Fedyani
Saifudin, (Jakarta: Kencana, 2013), p. 160.
46 Frumens Gions, Globalisasi, Panggilan Moral dan
Harapan, dalam Rikard Rahmat (ed.), Gereja Itu Politis,
op. cit., p. 81.
Benny Denar

41

pertama-tama sebagai ikhtiar untuk meningkatkan


laju pertumbuhan ekonomi. Teori ini didukung
oleh sejumlah teori pembangunan, yaitu teori
modernisasi, teori ketergantungan, dan teori
imperalisme. Pelbagai teori yang tercakup dalam
teori modernisasi menjelaskan bahwa kemiskinan
terutama disebabkan oleh faktor-faktor internal
sebuah negara. Sedangkan teori pembangunan yang
tercakup dalam teori imperalisme dan dependensi
lebih banyak menyoroti faktor-faktor eksternal
sebagai penyebab kemiskinan. Dua kelompok teori
itu sama-sama mendasarkan diri pada paradigma
yang sama, yaitu mengejar kemajuan dengan
tujuan menciptakan masyarakat industri modern.
Kelompok teori modernisasi berkiprah menurut
cita-cita ekonomi kapitalis, sedangkan kelompok
teori imperalisme dan teori ketergantungan bekerja
menurut pola ekonomi sosialis.
2.1.2.1. Teori Modernisasi
Pelbagai kelompok teori yang tercakup dalam
teori modernisasi berpandangan bahwa kemiskinan
yang terjadi di suatu negara lebih disebabkan oleh
faktor-faktor internal, yakni oleh karena berbagai
42

Mengapa Gereja (Harus!) Tolak Tambang?

faktor yang terdapat dalam negara itu sendiri. Adapun


faktor-faktor internal tersebut antara lain kelemahan
intelektual, mentalitas yang buruk serta tidak mau
berubah/berkembang, dan juga ketidakcukupan
sumber daya alam. Faktor-faktor inilah yang divonis
sebagai penyebab kemiskinan dan keterbelakangan di
negara-negara dunia ketiga/berkembang.
Teori modernisasi berpandangan bahwa agar
masyarakat di negara dunia ketiga bisa keluar
dari kemiskinan dan keterbelakangan, maka
perlu diusahakan peningkatan pertumbuhan
ekonomi. Peningkatan pertumbuhan ekonomi
itu diukur dari sisi pendapatan. Di sinilah letak
tujuan pembangunan versi teori modernisasi.
Segala usaha pembangunan mesti diarahkan
kepada peningkatan pertumbuhan ekonomi yang
ditandai oleh semakin meningkatnya pendapatan
perkapita. Pada tempat inilah modernisasi
mendapat tempatnya. Modernisasi dilihat sebagai
segala usaha untuk mengejar kemajuan. Kemajuan
yang didefinisikan seturut teori modernisasi dapat
dijalankan melalui proses industrialisasi. Jadi,
proses industrialisasi dan pertumbuhan ekonomi
Benny Denar

43

diklaim identik dengan perkembangan masyarakat.


Sebuah masyarakat baru dikatakan berkembang
jika sudah melalui proses industrialisasi yang masif.
Sebab dengan jalan itulah pertumbuhan ekonomi
dan kemajuan akan diperoleh.
Salah satu contoh teori modernisasi yang
menekankan faktor internal, yaitu teori motivasi
berprestasi atau etos kerja dari McClleland.
Dari sudut pandang teori modernisasi psikologis,
McClleland membuktikan hubungan erat antara
keinginan berprestasi secara individual, perubahan
sosial dan juga pertumbuhan ekonomi sebuah
negara. McClleland melihat bahwa hambatan
pembangunan itu terletak pada motivasi berprestasi.
Psikolog sosial ini melihat motivasi prestasi sebagai
faktor penentu terjadinya pembangunan ekonomi.
McClleland tercatat pernah menawarkan teori
modernisasi ilmu psikologi sosial dengan semboyan
Need for Achievement (kebutuhan untuk meraih
hasil atau prestasi).47 Teori ini hendak menegaskan
47 McClleland, Dorongan Hati Menuju Modernisasi,
dalam Myron Weiner (Ed.), Modernisasi Dinamika
Pertumbuhan (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press,
1994), p. 2.
44

Mengapa Gereja (Harus!) Tolak Tambang?

bahwa kekurangan yang dialami oleh masyarakat


tradisional perlu dijangkiti virus motivasi berprestasi
untuk bisa ke luar dari segala bentuk kekurangan
tersebut. Maka jalan yang ditempuh adalah perlu
menghadirkan mentalitas berwiraswasta yang
mampu memanfaatkan peluang-peluang dan
mengatasi kesulitan masyarakat. Tesis McClleland
ini bisa benar jika dilihat dalam konteks Asia.
Kehadiran kaum minoritas Cina di berbagai negara
di Asia seperti di Indonesia mendorong masyarakat
untuk meningkatkan prestasi dengan sistem pasar
yang efektif.48
Walaupun memunculkan optimisme akan
kemajuan, namun teori ini patut dikritik karena
beberapa patologi mendasar. Patologi tersebut
terutama disebabkan oleh paradigma pembangunan
dalam kaca mata teori modernisasi yang mendorong
segala kebijakan politik pembangunan mengarah
pada strategi prioritas industrialisasi. Segala upaya
diarahkan demi kemajuan indutrialisasi. Dalam
kenyataan, memang benar bahwa modernisasi
industri sudah membantu manusia dalam segala
48 Johannes Mller, op. cit., p. 88.
Benny Denar

45

bidang, termasuk kesehatan dan pendidikan,


misalnya peralatan medis atau komputerisasi
dalam pendidikan. Namun ada beberapa patologi
mendasar dari proses industrialisasi yang masif ini.
Pertama, terjadi kerusakan ekologis yang semakin
masif yang tentu saja mengancam masa depan
peradaban manusia dan mengancam keutuhan
ciptaan itu sendiri.
Kedua, proses industrialisasi yang sama
mengabaikan perkembangan daerah pedesaan dan
memperkuat urbanisasi.49 Di sini terjadi proses
pelemahan dan bahkan penghilangan budaya
dan kearifan lokal. Ketiga, industrialisasi memang
sangat menjanjikan peningkatan produktivitas,
namun masalah sosial yang kerap terjadi adalah
banyak tenaga kerja yang tidak diperlakukan
secara manusiawi, khususnya kaum wanita. Bisa
benar bahwa dalam negara yang mengedepankan
industrialisasi, kaum perempuan telah selamat dari
jerat eksploitasi patriarkal dan masuk dalam ruang
publik, termasuk menjadi tenaga kerja, baik dalam
negeri maupun luar negeri, baik di negara maju
49 Ibid., p. 92.
46

Mengapa Gereja (Harus!) Tolak Tambang?

maupun di negara sedang berkembang. Namun di


balik semuanya itu, kaum wanita sering menjadi
korban dari proses mekanisasi dan modernisasi.50
Keempat, terjadi proses ekonomisasi yang
justru mempermiskin jati diri manusia. Dalam
hal ini proses ekonomisasi tersebut menyebabkan
kematian subjek. Sebab dalam kenyataannya,
prioritas industrialisasi justru bersikap berat
sebelah karena mereka memakai tolok ukur
modernisasi sebagai upaya meningkatkan
pertumbuhan ekonomi semata. Menurut aliran ini,
pembangunan sektor industri harus didahulukan
sehingga bisa menampung jumlah tenaga kerja
yang semakin besar (dengan upah yang naik terus).51
Hal ini bisa jadi secara ekonomis menguntungkan
namun sebenarnya terjadi proses pemiskinan jati
diri manusia. Terjadi proses kolonialisasi dimensi
ekonomi terhadap dimensi-dimensi lain hidup
manusia, seperti dimensi moral, politik, kebebasan,
spiritual, dan sebagainya.

50 Soedjatmoko, Pembangunan dan Kebebasan, (Jakarta:


LP3ES, 1980), p. 93.
51 Ibid., p. 95.
Benny Denar

47

Salah satu tokoh Asia yang mengkritik teori


modernisasi adalah Amartya Sen. Ekonom India
sekaligus pemenang nobel ekonomi tahun 1998
ini menegaskan bahwa pembangunan itu tidak
semata-mata
mendahulukan
pertumbuhan
ekonomi, tetapi harus dilihat sebagai satu
kesatuan yang memastikan manusia ke luar dari
segala bentuk situasi ketidakbebasan (unfreedom).
Maka dalam buku Development As Freedom, Sen
mendefinisikan pembangunan lebih sebagai ikhtiar
pengurangan ketidakbebasan yang menghambat
pelbagai kemungkinan tindakan dan pilihan
hidup manusia. Pengurangan ketidakbebasan
itu munurut Sen tidak dapat ditempuh melalui
peningkatan pendapatan seturut hukum ekonomi
semata. Sebaliknya Sen menuntut dibukanya
akses bagi kaum miskin pada jaminan sosial dasar,
seperti pelayanan kesehatan, pendidikan dan juga
hak-hak dasar manusia sebagai prasyarat bagi
partisipasi dalam proses sosial.52

52 Amartya Sen, Development As Freedom, (New York: Anchor


Books, 2000), pp. 13-17.
48

Mengapa Gereja (Harus!) Tolak Tambang?

2.1.2.2. Teori Dependensi (Ketergantungan)


Teori ketergantungan (dependency theory)
adalah salah satu teori yang melihat permasalahan
pembangunan dari sudut pandang negara-negara
dunia ketiga. Menurut teori ini, keadaan ekonomi,
terutama di negara-negara dunia ketiga, dominan
dipengaruhi oleh perkembangan dan ekspansi
ekonomi dari negara-negara lain, terutama dari
negara-negara maju. Sedangkan negara-negara
dunia ketiga itu hanya berperan sebagai penerima
akibat saja. Dalam hal ini, teori dependensi lebih
menitikberatkan perhatian dan kritiknya pada
persoalan keterbelakangan dan pembangunan
negara pinggiran dan terbelakang. Jadi, dapat
dikatakan bahwa teori dependensi sebenarnya
mewakili suara negara-negara pinggiran untuk
menentang hegemoni ekonomi, politik, budaya,
intelektual dari negara-negara maju.
Teori dependensi menekankan bahwa sebab
utama kemiskinan dan keterbelakangan negaranegara berkembang lebih diakibatkan oleh
kolonialisme dan imperalisme, bukan terutama oleh
faktor-faktor internal negara-negara bersangkutan.
Benny Denar

49

Secara tegas teori ketergantungan sebenarnya


mengkritik sistem ekonomi kapitalis-liberal yang
pada intinya menekankan bahwa negara dapat
mempromosikan pembangunan dengan membatasi
concern politik dan sosial dari pembuatan kebijakan
dan dengan mengintegrasikan ekonomi nasional
mereka ke dalam pasar global.53
Salah satu ahli yang cukup mewakili aliran
teori ketergantungan adalah Baran (1967).54
Menurutnya, sistem kapitalis telah membuat
hubungan eksploitatif antara negara-negara
industri sebagai sentral dengan negara-negara
berkembang sebagai periferi atau pinggiran.
Menurut Baran, berfungsinya model ekonomi
kapitalis memerlukan relasi pertukaran yang
menimbulkan laju pertumbuhan ekonomi yang
lebih cepat pada sekelompok negara maju tetapi
menempatkan beban kepada negara berkembang.
53 Frank A. Boyd Jr, loc.cit.
54 Para ahli menyebut Baran sebagai ahli neo-Marxis pertama
dari aliran teori ketergantungan. Dalam teorinya, dia
menghubungkan banyak asumsi dasar Marx mengenai
politik ekonomi sambil mempertajamnya dengan
penjelasan perihal perkembangan negara-negara dunia
ketiga abad ke-20. Bdk. Ibid.
50

Mengapa Gereja (Harus!) Tolak Tambang?

Secara umum terdapat dua catatan kritis yang


cukup penting terhadap teori ketergantungan.
Pertama, teori ini memandang bahwa negaranegara dunia ketiga sedang bergantung kepada
negara-negara dunia pertama. Namun secara
empiris, kritik ini sulit dibenarkan. Sebab dalam
kenyataan yang sebenarnya, negara-negara dunia
pertama atau negara-negara maju juga banyak
bergantung kepada negara berkembang.55 Negaranegara maju membutuhkan bahan mentah,
terutama berupa Sumber Daya Alam (SDA)
untuk aktivitas industrinya dan untuk itu mereka
juga harus mengimpor dari negara yang sedang
berkembang.
Kedua, teori ketergantungan secara implisit
menjelaskan bahwa negara maju adalah super
dalam segala hal. Padahal dalam kenyataannya
tidaklah demikian. Mereka misalnya memang
mempunyai sumber-sumber produksi yang baik
dan modern, namun harus diakui bahwa mereka
kesulitan dalam hal pemasaran (marketing), untuk
menjual hasil produksinya itu. Oleh karena itu,
55 Ibid.
Benny Denar

51

mereka membutuhkan tempat untuk memasarkan


hasil produksi mereka dan itu ada di negara-negara
berkembang.
2.1.3. Melacak Faktum Kemenangan
Ideologisasi Pertumbuhan Bercorak
Kapitalistik dan Liberal
2.1.3.1. Konteks Historis dan Postulat Dasar
Kapitalisme Noeliberal
Secara historis, kita dapat menemukan
dalam diri Adam Smith (1723-1790) sebagai
salah satu pencetus utama neoliberalisme. Pada
intinya Adam Smith menolak intervensi negara
terhadap urusan ekonomi warga. Adam Smith
terutama mengkritik rezim merkantilis Inggris
yang pada saat itu memiliki prinsip bahwa
kepentingan nasional harus diperjuangkan dengan
cara memanfaatkan kekuatan negara untuk
mendapatkan kekayaan sehingga dapat dicapai
akumulasi kekuatan nasional.56 Rezim merkantilis
meletakkan semua usaha ekonomi di bawah
penguasaan serta dijalankan oleh negara dan

56 K. Bertens, op. cit., p. 113.


52

Mengapa Gereja (Harus!) Tolak Tambang?

memangkas inisiatif individual yang pada akhirnya


tidak memanusiawikan warga negaranya.
Senada dengan Smith, David Ricardo (17721823) mengemukakan pendapatnya tentang
liberalisme, khususnya dalam perdagangan
internasional. Ia menganjurkan perdagangan bebas
antarbangsa sebagai landasan hubungan ekonomi
antarnegara. Sebab bagi Ricardo, perdagangan
bebas dapat mempersatukan bangsa-bangsa seluruh
dunia sebagai satu ikatan kepentingan dan interaksi.
Dengan ikatan semacam itu maka hubungan
antarnegara menjadi efektif dan efisien. Efektif dan
efisien di sini digambarkan sebagai parameter yang
sederajat dengan kebebasan. Di sinilah letaknya
postulat liberalisme itu. Postulat liberalisme dimulai
dari perspektif filsafat liberal yang mengasumsikan
manusia sebagai makhluk yang penuh damai
dan memiliki kemauan bekerja sama, kompetitif
namun konstruktif, dan langkah-langkahnya
dibimbing oleh nalar, bukan emosi. Pada sisi lain,
negara digambarkan sebagai monster yang sangat
menyeramkan. Oleh karena itu, kaum liberal klasik
sangat membenci negara dan menganggap negara
Benny Denar

53

menyalahgunakan kekuasaan dan selalu bertindak


sewenang-wenang. Mereka kemudian melakukan
langkah-langkah reformasi untuk memperlemah
kekuatan dan posisi negara terhadap warganya.
Madzhab liberal menegaskan bahwa ketegangan
antara negara dan pasar merupakan bentuk
konflik antara penindasan dengan kebebasan,
kekuasaan dengan hak individu, dogma otokratik
dengan logika rasional. Anggapan ini berakar pada
feodalisme raja-raja Eropa dan dogmatisme Gereja
yang pada saat itu bertindak sangat sewenangwenang. Dengan berlandaskan pada pengalaman
itu, ketika terjadi konflik antara negara dengan
pasar, maka jelas kaum liberal akan berpihak pada
pasar dan dengan serta merta mencerca negara.
Dalam praktik politik ekonomi, kaum liberal
berpandangan bahwa negara cukup menjalankan
sedikit urusan di mana hal itu memang tidak dapat
dikerjakan oleh individu. Urusan itu misalnya
mengenai keamanan, pembentukan sistem hukum,
dan pembuatan mata uang.
Perang dunia II mengubah paradigma politik
ekonomi dunia. Secara singkat dapat digambarkan
54

Mengapa Gereja (Harus!) Tolak Tambang?

bahwa runtuhnya Uni Soviet dengan sistem


politik dan ekonomi komunisnya membawa
babak baru dalam sejarah dunia. Paling kentara,
runtuhnya Soviet memberikan indikasi signifikan
akan kegagalan paham komunisme dalam
bersaing dengan paham kapitalisme, sekaligus
sebagai pratanda kegagalan paham sovietik dan
kekuasaan mutlak oleh suatu negara atau partai
politik komunis. Maka hasilnya dunia seakan telah
memenangkan paham demokrasi di bidang politik
dan sistem kapitalis di bidang ekonomi. Terhadap
fenomena ini oleh Francis Fukuyama, dalam
artikelnya The End of History dan kemudian
dalam bukunya The End of History and the Last
Man mengatakan bahwa demokrasi liberal
merupakan tujuan akhir dari evolusi ideologi umat
manusia, sekaligus merupakan bentuk final dari
pemerintahan manusia.57
Menurut Fukuyama, demokrasi liberal
sebagai sistem pemerintahan telah memperoleh
legitimasi kuat di seluruh dunia. Perdebatan
57 Francis Fukuyama, The End of History and the Last Man,
(New York: Rouledge, 1992), p. 20.
Benny Denar

55

antara ideologi yang ada terbukti dimenangkan


oleh demokrasi (liberal) di bidang politik dan
dalam bidang ekonomi dimenangkan oleh sistem
ekonomi kapitalis dengan pasar bebas sebagai
sebuah keniscayaan. Sampai di sini maka dapat
dimengerti bahwa kapitalisme global itu mendapat
pendukung yang kokoh dalam sistem politik dan
pemerintahan yang menganut sistem demokrasi
(liberal). Kapitalisme menjalar ke seluruh dunia
melalui globalisasi ekonomi (termasuk oleh
lembaga keuangan dan ekonomi transnasional
seperti IMF, WTO) yang didukung penuh oleh
sistem pemerintahan demokrasi (liberal) yang
menganut sistem perekonomian liberal juga.58
58 Menguatnya kapitalisme yang melegalkan totalitas pasar
secara amat kuat dimulai pada pemerintahan Margareth
Thatcher di Inggris (1979) dan Ronald Reagen di AS
(1980). Mereka menolak sistem ekonomi Keynesianisme
yang cukup banyak dipakai tahun 1940-an sampai 1960an. Bdk. Noreena Hertz, op. cit., pp. 28-38. Keberhasilan
gerakan neoliberal di Amerika Serikat dan Inggris yang
dibarengi dengan runtuhnya komunisme Eropa Timur
yang mendorong persebaran secara revolusioner dari
gerakan ini ke seluruh dunia. Deregulasi dan privatisasi
menjadi tren di seluruh dunia pada tahun 1990-an sampai
sekarang ini. Hal-hal yang konsisten diserukan dalam
kampanye neoliberal ini adalah pengurangan intervensi
negara atas pasar dengan kebijakan deregulasi industri,
56

Mengapa Gereja (Harus!) Tolak Tambang?

Secara historis, kapitalisme industrial


berkembang sejak revolusi industri di Eropa. Oleh
globalisasi, perkembangan paham tersebut telah
menembus batas-batas negara di seluruh dunia.
Konsep utama dari paham ini adalah mencetak
produksi sebesar-besarnya (mass production)
melalui teknologi permesinan guna menjawab
kebutuhan hidup manusia. Namun ide tersebut
tidak hanya berhenti sampai pada penemuan
teknologi baru, memperbaiki organisasi produksi
dan memperbaiki hubungan produksi, tetapi
juga bagaimana pasar itu diperluas dan dibentuk.
Konsekuensi perubahan teknologis ke arah
permesinan mendorong kebangkitan produksi
hasil pabrikan. Hal ini selanjutnya memengaruhi
kehidupan sosial, politik, ekonomi dan budaya.59
Jika pasar dalam sebuah kawasan tidak lagi sanggup
menyerap semua hasil produksi, sementara proses
privatisasi BUMN, dan pengurangan beban pajak bagi
bisnis dan individu. Bdk. Mochtar Masoed, Ekonomi
Politik Internasional, (Yogyakarta: Jurusan Ilmu Hubungan
Internasional FISIPOL UGM, 1997), p. 5.
59 Susetiawan, Konflik Sosial, Kajian Sosiologis Hubungan
Buruh, Perusahaan dan Negara di Indonesia, (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2000), p. 7.
Benny Denar

57

produksi melalui mesin berjalan terus, maka


perluasan pasar merupakan syarat mutlak untuk
menghindari kelebihan produksi (over production).
Logika produksi di atas biasanya bergerak
melingkar. Apabila terjadi perubahan teknologi
produksi, maka hampir pasti perubahan itu
juga menuntut perubahan pola konsumsi
masyarakat.60 Sebaliknya, perkembangan pola
konsumsi juga mendorong kreativitas perubahan
teknologi produksi yang semakin berkembang
untuk menciptakan produk-produk baru dalam
industri manufaktur. Namun perubahan tersebut
tidak hanya berhenti sampai di sini. Pasar akan
berkembang dengan baik apabila terjadi perubahan
sosial ekonomi masyarakat guna menyongsong
60 Salah satu konsekuensi dari globalisasi ekonomi adalah
timbulnya mentalitas konsumtif dengan uang dan
kedudukan sosial ekonomi sebagai primadona. Bdk.
Frumens Gions, op. cit., pp. 80-81. Atau dalam bahasa
Ignas Kleden terjadi semacam transnasionalisasi gaya
hidup di mana konsumerisme menjadi nada dasarnya.
Di sini manusia tidak lagi membedakan antara keinginan
dengan kebutuhan. Menurut Ignas Kleden peran iklan
dalam media massa menjadi senjata ampuh dari globalisasi
ekonomi untuk menciptakan semacam kebutuhan pada
manusia. Bdk. Ignas Kleden, Sikap Ilmiah dan Kritik
Kebudayaan, (Jakarta: LP3S, 1978), pp. 259-263.
58

Mengapa Gereja (Harus!) Tolak Tambang?

produk baru. Oleh karena itu, agar perluasan pasar


mampu menembus batas-batas negara di seluruh
dunia maka kerja ekonomi saja tidak cukup, tetapi
juga dibutuhkan kerja politik, ilmu pengetahuan,
dan teknologi.
Pada akhirnya kerja politiklah yang menjadi
kunci penting dalam perluasan pasar. Tanpa
kerja politik, pasar (liberal) sulit diciptakan.
B. Herry Priyono menyebut pasar merupakan
hubungan sosial bentukan manusia, dan karena itu
membutuhkan tindakan politik.61 Ini adalah salah
satu sisi perbedaan antara pemikiran liberal dan
neoliberal. Pemikiran liberal membiarkan pasar
bekerja secara bebas. Sementara para neoliberalis
berpikir bahwa pasar harus diintervensi secara
politik, dibentuk dan diarahkan sesuai dengan
kepentingan untuk memenangkan persaingan.
Negara yang menjadi sasaran perluasan pasar,
selain padat penduduknya juga pendapatan per
kapita penduduknya rendah seperti negara-negara
Afrika, Asia dan Amerika Latin. Oleh karena itu,
61 B. Herry Priyono, Dalam Pusaran Neoliberalisme dalam
Wibowo dan Francis Wahono (Ed.), Neoliberalisme,
(Yogyakarta: Pustaka Rakyat, 2003), p. 49.
Benny Denar

59

upaya memengaruhi para pemimpin politik negara


berkembang untuk mengikuti prinsip perluasan
pasar negara industri menjadi sangat penting
dalam kerja politik.
Perkembangan model produksi tidak hanya
terbatas pada barang industri manufaktur yang
hak-hak patennya seperti hak-hak cipta dan
intelektualnya telah diatur dalam tata dunia
internasional yang mendahului kemajuan negara
berkembang di era pembangunannya. Dalam
kerja politik berikutnya diciptakan kebijakan
yang memungkinkan uang tidak hanya sekadar
berfungsi sebagai alat tukar. Namun, uang telah
berdiri sebagai produk yang layak diperdagangkan
sebagaimana produk industri manufaktur.62 Baik
produk industri manufaktur maupun uang,
posisinya telah diatur dalam tata organisasi
internasional yang keberadaannya jauh mendahului
majunya negara-negara berkembang itu sendiri.
Konstruksi kelembagaan untuk mengatur tata
dunia dilakukan melalui organisasi internasional
62 John Clark, Changing Welfare Changing States; New
Direction in Social Policy, (London: SAGE Publications,
2004), p. 88.
60

Mengapa Gereja (Harus!) Tolak Tambang?

seperti GATT (General Agreement on Trade and


Tariff) yang kemudian menjadi WTO (World
Trade Organization)63, Bank Dunia (World Bank),
IMF (International Monetary Fund) dan berbagai
lembaga lainnya.64 Perluasan konstruksi pasar telah
dipersiapkan secara matang, bahkan tata ekonomi
politik global telah dipersiapkan mengikuti pola
perkembangan paham kapitalisme industrial yang
berwatak neoliberal.65
63 Pada Januari 1995 GATT (General Agreement on Tariffs
and Trade) secara resmi berubah menjadi WTO (World
Trade Organization) yang dihasilkan melalui negosiasi
multirateral dalam Uruguay Round tahun 1986 sampai
1994. Bdk. http://fkp-uh.blogspot.com/2014/01/sejarahgatt-sampai-bertransformasi.html, diakses 28 Mei 2015.
64 Tabb dan William K, Tabir Politik Globalisasi, (Yogyakarta:
Lafandel Pustaka, 2003), p.73.
65 Untuk mengukuhkan gerakan neoliberal, di Amerika
Serikat pernah disusun sebuah kesepakatan antara IMF,
Bank Dunia dan pemerintah Amerika Serikat yang
tersusun ke dalam sepuluh (10) poin yang kemudian
disebut dengan Washington Consensus. Kesepuluh poin
dalam konsensus tersebut adalah: (1) disiplin fiskal, dengan
maksud untuk mengurangi defisit perdagangan, (2) public
expenditure, kebijakan pemotongan anggaran subsidi
untuk keperluan publik, (3) pembaruan pajak, salah
satunya adalah pemberian kelonggaran dalam pembayaran
pajak bagi para pengusaha (4) liberalisasi keuangan, dalam
bentuk penentuan bunga bank menurut mekanisme pasar
(5) nilai tukar uang yang lebih kompetitif, dengan jalan
Benny Denar

61

2.1.3.2. Tesis-Tesis Dasar Kapitalisme


Dalam sistem ekonomi pasar liberal (free market
economy), pasar dilihat memiliki kemampuannya
sendiri untuk mengatur dirinya sendiri. Totalitas
pasar berlaku. Campur tangan pemerintah
dalam mengurus lalu lintas perekonomian tidak
diperlukan. Persaingan bebas berlaku dengan
asumsi dasar bahwa mekanisme pasar bersifat
sempurna dalam dirinya sendiri (perfect competition
system). Setidaknya ada enam karakter dasar yang
diasumsikan atau dimiliki oleh sistem kompetisi
pasar bebas yang diyakini sempurna ini.66

melepaskan nilai tukar uang menurut mekanisme pasar


tanpa kontrol pemerintah (6) trade liberalisation barrier,
berupa kebijakan untuk menyingkirkan segala hal yang
merintangi berlakunya perdagangan bebas dalam bentuk
mengganti lisensi perdagangan tarif atau pengurangan tarif
(7) foreign direct investment, dalam bentuk menghilangkan
segala peraturan pemerintah yang menghambat masuknya
modal asing (8) privatisasi, kebijakan negara untuk
memberikan kewenangan pengelolaan perusahaan negara
kepada swasta (9) deregulasi kompetisi, (10) intellectual
property right atau hak paten. Bdk. Mansour Fakih, Jalan
Lain: Manifesto Intelektual Organik, (Yogyakarta: Insist
Press & Pustaka Pelajar, 1999), pp. 20-21.
66 Jimly Asshidiqie, Konstitusi Ekonomi, (Jakarta: Kompas
Gramedia, 2010), pp. 334-335.
62

Mengapa Gereja (Harus!) Tolak Tambang?

Pertama, privatisasi aset (private property).


Aset produktif dikuasai sepenuhnya atau sebagian
besar oleh perorangan swasta. Kedua, terdapat
jaminan kebebasan untuk menggunakan kekayaan
perorangan untuk kegiatan usaha atau investasi dan
kebebasan memilih pekerjaan (freedom of enterprise
and choice). Ketiga, motif orang perorangan dalam
kaitan dengan kegiatan ekonomi bersifat selfinterest. Keempat, oleh karena motif perorangan
yang bersifat self interest diakui, maka tidak
terelakkan terjadinya persaingan yang bersifat
terbuka yang mengendalikan motif kepentingan
antarpribadi itu (open competition).
Kelima, untuk menjamin persaingan bebas,
semua barang yang dibutuhkan tersedia secara
bebas, informasi bersifat terbuka untuk umum, dan
harga ditentukan oleh mekanisme pasar (market and
prices), yakni dari keseimbangan antara permintaan
dan penawaran (equilibrium by demand-supply
interaction). Keenam, sebagai konsekuensi dari
adanya totalitas pasar, intervensi pemerintah sedapat
mungkin dibatasi dan kalau perlu ditiadakan (limited
role of government). Lalu lintas ekonomi sepenuhnya
Benny Denar

63

digerakkan oleh para pelaku pasar (invisible hand),


yaitu oleh motif setiap orang dalam memenuhi
kepentingan mereka masing-masing.
2.1.3.3. Hubungan Kapitalisme Neoliberal
dengan Pembangunan
Apa hubungan antara laju kapitalisme
dan neoliberalisme itu dengan pembangunan?
Pertanyaan ini bisa dijawab dengan memikirkan
kompleksitas pasar itu sendiri. Tentu saja semua
menyadari bahwa perluasan pasar bukan pekerjaan
gampang atau sederhana. Jika dilacak secara teliti
maka kita bisa menemukan bahwa lokus pasar
yang akan menjadi sasaran produksi negara-negara
maju adalah negara-negara yang sebagian besar
penduduknya berpendapatan per kapita rendah
yang sangat tidak mendukung perluasan pasar
sebagaimana dikehendaki oleh negara industri
maju tersebut. Justru di sinilah letaknya penilaian
dan kecurigaan bahwa pembangunan negara
berkembang sebenarnya merupakan gagasan
yang bukan lahir dari pemikiran negara-negara
berkembang itu sendiri, melainkan merupakan
desain dan produk dari negara industri untuk
64

Mengapa Gereja (Harus!) Tolak Tambang?

mendukung perluasan pasar mereka yang


didukung oleh para elit politik negara berkembang
yang pro pasar bebas. Tidak heran bahwa dalam
kenyataan, pembangunan ekonomi negara
berkembang yang dianggap sebagai obat mujarab
untuk menyelesaikan persoalan keterbelakangan,
semuanya disponsori oleh negara-negara maju
dengan pola pinjaman luar negeri. Institusi
keuangan yang menjadi sponsor tersebut telah
dipersiapkan oleh lembaga-lembaga keuangan
negara-negara maju. Bank Dunia merupakan
organisasi ekonomi yang dipercaya oleh negaranegara kaya untuk mempromosikan pembangunan
di negara berkembang.67 Bukan hanya sponsor
finansial saja, ilmu pengetahuan, teknologi sampai
dengan ukuran maju dan terbelakang, tradisional
dan modern, kaya dan miskin, welfare dan illfare,
bahkan termasuk gaya hidup, semuanya tidak lepas
dari campur tangan para sponsor.
Berdasarkan alur kerja neoliberalisme
tersebut, setiap kepemimpinan nasional dalam
67 Graham Hancock, Dewa-Dewa Pencipta Kemiskinan;
Kekuasaan, Prestise, dan Korupsi Bisnis Bantuan
Internasional, (Yogyakarta: Pustaka Rakyat, 2005), p. 98.
Benny Denar

65

periode pembangunan kemungkinan besar tidak


akan lepas dari campur tangan para sponsor
untuk melapangkan jalannya perluasan pasar.
Dalam posisi seperti ini negara menjadi tidak
berdaya melawan konstruksi pasar yang dibangun
oleh paham neoliberal. Tidak heran apabila
semua persoalan masyarakat negara berkembang
ditentukan melalui sistem keuangan internasional,
bukan oleh keadaan regional maupun nasional.
Ketika semua aturan ditentukan oleh lembaga
keuangan internasional, maka lembaga keuangan
tersebut akan mengontrol pemberlakuannya dan
penyeragamannya secara global tanpa peduli
kondisi spesifik masyarakat.68 Lembaga keuangan
internasional seperti IMF misalnya, menyediakan
sarana bagi stabilisasi ekonomi, tetapi mereka tidak
menunjukkan cara bagaimana ekonomi itu tumbuh
dengan baik. Campur tangan untuk menjaga
pertumbuhan ekonomi tersebut penting sekadar
untuk menjaga agar berjalan dengan mulusnya
agenda-agenda neoliberal terutama privatisasi dan
68 Ivan A Hadar, Utang, Kemiskinan, dan Globalisasi;
Pencarian Solusi Alternatif, (Yogyakarta: Pustaka Mandiri,
2004), p. 13.
66

Mengapa Gereja (Harus!) Tolak Tambang?

liberalisasi ekonomi di era pembangunan negara


berkembang.69
2.1.3.4. Kesimpulan: Kemenangan
Neoimperalisme
2.1.3.4.1. Pengertian dan Cara Kerja
Neoimperalisme
Kemenangan
ideologi
pertumbuhan
yang menjadikan kapitalisme sebagai motor
penggeraknya seperti dijelaskan di atas melahirkan
praktik neoimperalisme pada era globalisasi ini.
Neoimperalisme merupakan bentuk baru dan
kelihatannya lebih kejam dari imperalisme.70
Neoimperalisme merupakan paham imperalisme baru
yang muncul setelah terjadinya perubahan zaman,
dari zaman kolonialisme ke zaman kemerdekaan.
Neoimperalisme merujuk kepada kolonialisasi
model baru di mana kapitalisme menjadi senjata
69 Yoseph E. Stiglitz, Globalization and Its Discontents,
(London: Penguin Groups, 2002), p. 169.
70 Rudiaji Mulia membedakan antara Imperalisme fase I,
Imperalisme fase II dan Imperalisme fase III. Imperalisme
fase III disebutnya sebagai neoimperalisme. Bdk. Rudiaji
Mulia, Feodalisme dan Imperalisme di Era Global, (Jakarta:
Kompas Gramedia, 2012), pp. 465-475.
Benny Denar

67

penghisapnya. Oleh karena itu, neoimperalisme


sering disebut dekolonialisasi atau neokolonialisme.
Neokolonialisme dan neokapitalisme menjadi senjata
ampuh dari neoimperalisme.
Tujuan utama dari neoimperalisme kurang
lebih masih mirip dengan imperalisme sebelumnya,
yakni mengeruk sumber kekayaan alam dan
memperbudak rakyat di negara-negara dunia ketiga
yang menjadi wilayah jajahan. Jadi neoimperalisme
hampir tidak ada bedanya dengan imperalisme yang
pada substansinya adalah memindahkan sumbersumber ekonomi dari negara-negara dunia ketiga
ke negara-negara industri maju. Namun dalam
neoimperalisme kapasitasnya jauh lebih besar
karena menyangkut pengurasan sumber-sumber
ekonomi secara besar-besaran. Hal ini berakibat
pada pengeringan sumber-sumber ekonomi bagi
kehidupan rakyat di negara-negara dunia ketiga.
Tidak hanya itu, neokolonialisme juga menyebabkan
munculnya bencana-bencana kemanusiaan, seperti
penyakit, kelaparan, perbudakan dan bencanabencana alam akibat kerusakan alam.71
71 Ibid.
68

Mengapa Gereja (Harus!) Tolak Tambang?

Walaupun menimbulkan berbagai akibat yang


riil, neoimperalisme kelihatan sulit ditolak. Sebab
dia bisa hadir dengan berbaju kedermawanan
yang seolah-olah ingin membantu negara-negara
di dunia ketiga. Faktanya memang mereka selalu
membantu negara-negara dunia ketiga dalam
proyek pembangunan tertentu. Namun di balik
itu, ada maksud terselubung, terutama untuk
melebarkan sayap neoimperalisme. Sekurangkurangnya ada beberapa cara yang mereka sering
praktikkan.72 Pertama, mereka memberikan paket
bantuan sambil mengikat perjanjian-perjanjian
yang menguntungkan mereka sendiri dan
merugikan negara yang dibantu. Kedua, bantuan
itu diberikan semata-mata agar aktivitas ekonomi
tetap berjalan meski sangat terbatas yang tidak lain
tujuannya agar potensi pemasaran barang-barang
produksi dari negara maju tersebut tetap lancar
dan terpelihara. Ketiga, dalam situasi demikian,
terciptalah rasa ketergantungan dari negara-negara
dunia ketiga yang dibantu sehingga tidak ada kesan
pemaksaan dalam pengendaliannya. Keempat,
72 Ibid.
Benny Denar

69

dengan semuanya itu, negara-negara pemberi


bantuan dari industri maju tersebut bisa dengan
leluasa melaksanakan praktik imperalismenya.
2.1.3.4.2. Agen-Agen Neoimperalisme
Neoimperalisme membutuhkan agen atau
pilar-pilar yang memungkinkan dia bisa bekerja
secara sistematis di negara-negara dunia ketiga.
Ada beberapa pilar utama yang patut disebutkan.73
Pertama, pemerintah. Neoimperalisme yang
dialami negara-negara dunia ketiga salah satunya
digerakkan oleh pemerintah, baik pemerintah
negara imperalis maupun pemerintah di negara
dunia ketiga itu sendiri. Lembaga pemerintahan,
dalam imperalisme berfungsi sebagai fasilitator
sekaligus pelindung bagi unsur lainnya seperti
kaum kapitalis dan segala sistem kolonialismenya.
Dalam sistem neoimperalisme semua jajaran
pemerintahan atau ketatanegaraan baik di sektor
eksekutif, legislatif, yudikatif, dari pusat sampai
daerah menjadi komponen utama penggerak
neoimperalisme. Di sinilah letak ambruknya

73 Ibid., pp. 476-494.


70

Mengapa Gereja (Harus!) Tolak Tambang?

institusi politik. Terkait hal ini, Peter L. Berger


menulis;
Sebagai akibat dari persekutuan antara kekuatan
ekonomi dan politik asing ini, bukan saja
perekonomian tetapi juga kehidupan politik
negara yang tergantung itu diporak-porandakan.
Dalam hubungan ini, akan muncul persekutuanpersekutuan politis antara pihak asing dengan
lapisan masyarakat setempat (biasanya suatu
perpaduan antara kelas lama dari masa sebelum
pembangunan dengan kelompok-kelompok
borjuis nasional baru) yang melihat bisa memetik
keuntungan dari kerja sama dengan pihak luar.
Ditemukan suatu kolonialisme intern yang
berpasangan dengan penguasaan kolonial dari luar
negeri. Sebagaimana metropolis menghisap daerah
jajahan, demikian pula kelas penjajah pribumi
menghisap penduduk lainnya. Kesejajaran ini
bukan sekadar kiasan, melainkan merupakan
hakikat tata hubungan ekonomi dan politik antara
kedua kelompok ini.74

Kedua, unsur kapitalis. Kaum kapitalis


menjadi penegak utama neoimperalisme terhadap
negara-negara dunia ketiga. Sasaran utama dari
neoimperalisme bukan semata-mata dominasi
74 Peter L. Berger, Piramida Kurban Manusia, Terj. A.
Rahman Tolleng, (Jakarta: LP3ES, 1982), pp. 49-50.
Benny Denar

71

politik, melainkan berusaha untuk merampas


segala aspek kehidupan, terutama sumber-sumber
ekonomi. Melalui target pada produktivitas
industri dan permainan teknologi canggih, telah
terjadi apa yang disebut sebagai neokolonialisme
dan neokapitalisme.
Ketiga, lembaga-lembaga dunia. Menurut
Rudiaji Mulia, lembaga-lembaga dunia seperti
lembaga yang menangani kesehatan (WHO),
lembaga yang menangani perdagangan (WTO),
lembaga yang menangani keuangan atau
perkreditan (IMF), lembaga yang menangani
perburuhan (ILO) dan berbagai lembaga dunia
lainnya sekarang ini lebih berperan sebagai
perpanjangan tangan dari kapitalisme global
atau neoimperalisme.75 Lembaga-lembaga ini
sering dikendalikan oleh negara-negara maju
yang mengusung ideologi kapitalisme. Tidak
heran apabila dalam praktiknya, lembagalembaga ini lebih berperan mengembangkan dan
melindungi kepentingan kapitalisme global yang
75 Sulastomo, Cita-Cita Negara Pancasila, (Jakarta: Kompas,
2014), p. 157.
72

Mengapa Gereja (Harus!) Tolak Tambang?

menguntungkan negara-negara industri maju.


Keempat, lembaga-lembaga non-pemerintah
(NGO). Non Government Organization (NGO)
juga sering menjadi pilar dan sarana yang menopang
imperalisme modern. Mereka masuk atas nama
perjuangan kemanusiaan dan konservasi alam
lingkungan, tetapi terdapat berbagai kepentingan
tersembunyi lain yang sulit terdeteksi seperti
mengamankan kepentingan kapitalisme global.
Sebagai contoh, NGO yang bernama The Nature
Conservancy (TNC) pernah terlibat lebih dari 10
tahun dalam mengelola Taman Nasional Komodo di
Kabupaten Manggarai Barat. Mereka mulai terlibat
sejak tahun 1994. Dari pengakuan mereka sendiri
diketahui bahwa mereka diundang oleh Direktorat
Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam,
Departemen Kehutanan RI. Mereka mengelola
banyak proyek dengan sokongan dana dari Global
Environment Facility (GEF), Bank Dunia dan dari
bantuan-bantuan bilateral. Walaupun lembaga ini
sering terlibat dalam proyek konservasi raksasa,
namun lembaga ini tidak sepi dari kritik. Kritik yang
paling utama adalah perihal keseimbangan antara
Benny Denar

73

kepentingan bisnis dengan kepentingan alam dan


masyarakat lokal. Sebab dalam kenyataan, lembaga
ini sering melakukan pendekatan yang bersifat
kompromistis, pragmatis, dan market-based. Maka
tak heran lembaga ini mendapat protes keras dari
masyarakat pada tahun 2003. Selain itu, lembaga
ini juga dipersoalkan oleh Departemen Kehutanan
RI karena ternyata dia melakukan penanaman
modal yang mana hal itu tidak diperbolehkan di
Indonesia.76
Kelima, media massa. Sejak perang dunia II,
media massa memiliki peran penting menegakkan
76 Ada juga cukup banyak masalah lain dari lembaga ini
sehingga akhirnya pemerintah Indonesia mencabut
izinnya. Masalah yang paling mencolok misalnya tidak
adanya audit internal maupun eksternal terhadap kegiatankegiatan yang dilakukannya. Ulasan lengkap mengenai
track record TNC di Manggarai Barat bisa dilihat dalam
Cypri Jehan Paju Dale, op. cit., pp. 97-99. Selain itu,
lembaga ini juga sering meresahkan masyarakat setempat
terutama yang bermata pencaharian sebagai nelayan. Sebab
atas nama konservasi, TNC sering melarang masyarakat
menangkap ikan di seputar perairan komodo. Padahal
masyarakat melihat TNC sendiri sering menangkap ikan
di wilayah yang sama untuk kepentingan bisnis. Kesaksian
ini disampaikan oleh Florianus Surion, tokoh masyarakat
di Labuan Bajo yang terlibat langsung melakukan protes
terhadap lembaga ini sampai akhirnya lembaga ini dicabut
izinnya oleh pemerintah Indonesia tahun 2003 silam.
74

Mengapa Gereja (Harus!) Tolak Tambang?

imperalisme. Media massa menjadi senjata utama


dalam mempropagandakan ideologi kapitalisme
global.77 Bahkan, dalam praktiknya, ada kerja sama
antara media massa lokal dengan media massa dari
negara industri maju untuk memuluskan langkah
mereka. Di Indonesia misalnya, banyak media
massa yang dikuasai modal asing dan bukan tidak
mungkin banyak bekerja untuk kepentingan asing
juga. Melalui iklan misalnya, media massa dapat
memengaruhi publik untuk mengikuti cara pikir
dan gaya hidup yang mendukung kapitalisme
global.
2.1.3.5. Konteks Indonesia: Sekadar
Kesimpulan Singkat
Keseluruhan keadaan di atas menegaskan model
pembangunan Indonesia sebagai salah satu negara
dunia ketiga. Memang secara konstitusi, Indonesia
menggunakan sistem ekonomi kerakyatan,78 tetapi
77 Fenomena kapitalisme media ini ditandai dengan semakin
hilangnya ruang publik, kebangkitan infotainment,
turunnya jurnalisme investigasi, dan adanya tendensi
homogenisasi. Bdk. http://komunikasi.um.ac.id/?p=298,
diakses 25 Februari 2015.
78 Sistem ekonomi yang dianut Indonesia sebagai landasan
Benny Denar

75

dalam praktik ideologisasi pertumbuhan justru


cukup kentara terjadi di Indonesia. Memang
pertumbuhan oleh banyak pihak dinilai sebagai
model pembangunan yang realistis untuk saat ini,
tetapi menjadi persoalan bahwa akibat ideologisasi

pembangunan dari waktu ke waktu adalah sistem


ekonomi kerakyatan. Dalam sistem ini, kedaulatan di
bidang ekonomi berada di tangan rakyat dan karena itu
ekonomi kerakyatan itu terkait dengan gagasan demokrasi
ekonomi yang tidak lain adalah paham kedaulatan rakyat
di bidang ekonomi. Yang menjadi sasaran dari sistem
ekonomi kerakyatan adalah pembebasan kehidupan rakyat
dari kemiskinan, ketergantungan, kebodohan, perlakuan
tidak adil, kerusakan lingkungan dan ketidakpastian
menghadapi masa depan. Karena itu, menurut Soeharsono
Sagir, kebijakan pembangunan nasional seharusnya tidak
keluar dari asas ekonomi kerakyatan yang tercermin dalam
prinsip triple track development, yaitu pro-poor, pro-job,
dan pro-growth. Dalam mengimplementasikan ketiga
prinsip itu, ada enam tolok ukur yang dapat dipakai untuk
menilai berhasil atau tidaknya suatu proses pembangunan,
yaitu: Pertama, rakyat bebas dari kemiskinan dengan
laju pertumbuhan ekonomi yang berkualitas. Kedua,
rakyat bebas dari kebodohan dan terberdayakan menjadi
sumber daya insani (human capital) yang produktif.
Ketiga, rakyat bebas dari pengangguran dengan bekerja
kreatif dan produktif untuk meningkatkan penghasilan
sendiri dan orang lain. Keempat, negara bebas dari utang
luar negeri. Kelima, negara bebas dari kekurangan devisa
karena nilai ekspor melebihi impor. Keenam, negara
bebas dari kerusakan ekosistem sehingga pembangunan
dapat dikembangkan secara berkelanjutan. Bdk. Jimly
Asshidiqie, op. cit., pp. 354-355.
76

Mengapa Gereja (Harus!) Tolak Tambang?

pertumbuhan itu menyebabkan terjadinya


ketimpangan sosial serta semakin jauhnya citacita keadilan sosial. Sebab memang benar ada
pertumbuhan ekonomi, tetapi pertumbuhan itu
tidak didistribusikan secara merata. Akibatnya
jumlah orang miskin semakin meningkat.79
Ketimpangan sosial bukan menjadi akibat
satu-satunya dari ideologisasi pertumbuhan di
Indonesia. Namun yang lebih penting lagi adalah
ideologisasi pertumbuhan menyebabkan Indonesia
menjadi salah satu negara dunia ketiga yang
dijadikan objek neoimperalisme global. Salah satu
contoh riil dari hal ini adalah munculnya investasi
oleh perusahaan-perusahaan transnasional di
Indonesia, termasuk perusahaan-perusahaan
yang berinvestasi di bidang pertambangan.
79 Sulastomo, op. cit., p. 158. Sebagai perbandingan,
menurut laporan Harian Kompas pemerintahan SBYBoediono mewariskan 28 juta penduduk miskin dan
kesenjangan sosial yang kian melebar. Memang menurut
laporan Sekretaris Eksekutif Tim Nasional Percepatan
Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K) Bambang
Widianto menunjukkan sudah ada penurunan jumlah atau
persentase penduduk miskin dalam lima tahun terakhir.
Meskipun demikian ketimpangan atau kesenjangan
sosial justru semakin meningkat. Bdk. Berat, Tantangan
Presiden Baru, Headline dalam Kompas, 13 Agustus 2014.
Benny Denar

77

Investasi tidak terkendali seperti ini menempatkan


Indonesia hanya sebagai penyedia bahan mentah
bagi industri di negara-negara industri.
2.2. PEMBANGUNAN SEBAGAI PENIADAAN
PENDERITAAN

Setelah memperlihatkan daya rusak ideologisasi


pertumbuhan yang berujung pada lahirnya
neoimperalisme global, kini penulis menampilkan
model pembangunan berbeda, yaitu pendekatan
pembangunan bertitik tolak dari realitas penderitaan.
Pembangunan akan dilihat sebagai jalan bagi
pembebasan manusia dari penderitaan. Penjabaran
konsep pembangunan sebagai jalan pembebasan
dari penderitaan ini akan diakhiri dengan melihat
kecenderungan umum konsep teologis agama-agama
(besar) terhadap penderitaan. Konsep teologis seputar
penderitaan yang hampir ditemukan dalam setiap
agama tersebut akan menjadi jalan masuk bagi penulis
untuk pembahasan buku ini di bab selanjutnya,
terutama untuk melihat bagaimana Gereja mesti
bersikap terhadap pertambangan yang adalah salah
satu bentuk penampakan riil neoimperalisme global
dewasa ini.
78

Mengapa Gereja (Harus!) Tolak Tambang?

2.2.1. Penjernihan Konsep


Tema pembangunan sebagai pembebasan
manusia dari penderitaan hendak menempatkan
penderitaan sebagai etika dasar politik
pembangunan. Dengan pendasaran seperti
ini, semua kebijakan, konsep, dan strategi
pembangunan akan dinilai secara etis apakah
dia sanggup meniadakan atau membebaskan
manusia dari penderitaan atau tidak. Maka seturut
pendekatan ini, pembangunan merupakan usaha
pembebasan manusia dari penderitaan. Dia
menghendaki agar segala kebijakan dan upaya
pengembangan masyarakat semestinya diarahkan
untuk mengatasi, atau paling tidak, mengurangi
sedapat mungkin penderitaan manusia dalam
semua bentuk dan dimensinya.80
Konsep di atas senada dengan konsep Peter
L. Berger dalam bukunya Piramida Korban
yang melihat bahwa tolok ukur segala kebijakan
pengembangan masyarakat haruslah berorientasi
untuk menghindari penderitaan atau paling tidak

80 Johanes Mller, op. cit., p. 162.


Benny Denar

79

ikut memperhitungkan biaya-biaya manusiawi.81


Berger menyebut dua kriteria penderitaan, yakni
tolok ukur sakit yang mengacu pada penderitaan
fisik dan tolok ukur makna.82 Penderitaan
sebagai etika pembangunan menghendaki agar
pembangunan hendaknya bertitik tolak dari segala
yang dialami sebagai penderitaan fisik; seperti
kelaparan, penyakit, kemelaratan, penyiksaan,
penggusuran, diskriminasi, atau penindasan.
Namun manusia juga menderita dan bahkan lebih
menderita lagi jika misalnya hanya diperlakukan
sebagai objek politik pembangunan, atau jika
dipaksa tunduk pada pola sosio-budaya asing, atau
juga sebaliknya jika menjadi budak tradisi-tradisi
pribumi yang tidak manusiawi.

81 Johanes Mller, Pembebasan Manusia Dari Penderitaan,


dalam P. L. Berger, op. cit., pp. xiv-xxi.
82 Gagasan seputar makna ini sangat luas dibahas P. L. Berger
dalam bukunya Piramida Korban. Perhitungan makna
yang dimaksudkannya termasuk mengenai tradisi-tradisi
keagamaan. Bdk. Ibid., pp. 168-191.
80

Mengapa Gereja (Harus!) Tolak Tambang?

2.2.2. Ciri Khas dan Orientasi Praktis


Pendekatan Pembangunan Sebagai
Pembebasan Manusia dari Penderitaan
2.2.2.1. Menempatkan Manusia yang Konkret
Sebagai Pusat
Etika pengembangan masyarakat yang
menempatkan penderitaan sebagai basis etis
dari pembangunan mengandung tuntutan agar
menjadikan manusia yang konkret dengan segala
penderitaannya sebagai pusat dari pembangunan.
Sebab menurut pandangan ini, ada bahaya jika
manusia ditempatkan dalam sebuah gambaran yang
abstrak dan terlepas dari konteks budayanya. Maka
menurut pendekatan ini, titik tolak dari segala
kebijakan pembangunan haruslah manusia itu sendiri
yang tidak pernah boleh diinstrumentalisasi demi
tujuan lain, termasuk kepentingan ideologi tertentu.83
Penjabaran dari pendekatan pembangunan
yang berorientasi pada manusia bisa terlihat dari
penjelasan Goulet. Menurutnya, pembangunan
mesti menyentuh tiga elemen utama, yaitu
kelangsungan hidup (life sustenance), kehormatan
83 Johanes Mller, op. cit., p. 168.
Benny Denar

81

diri (self-esteem), dan kebebasan (freedom).84 Ketiga


elemen ini memiliki keterkaitan. Pertama-tama
pembangunan mesti berorientasi pada pemenuhan
kebutuhan-kebutuhan dasar (pangan, papan,
kesehatan, dan perlindungan) dari sebanyak
mungkin orang yang merupakan prasyarat dari
kelayakan hidup manusia itu sendiri. Namun,
pembangunan tidak boleh berhenti pada orientasi
pemenuhan akan kebutuhan dasar tersebut,
apalagi untuk sekadar mengakumulasi kekayaan.
Sebaliknya, pemenuhan kebutuhan-kebutuhan
dasar tersebut mesti mengarah kepada tujuan
yang lebih tinggi, yaitu munculnya rasa harga diri
atau kehormatan diri dalam diri manusia. Rasa
kehormatan diri itu muncul dalam pribadi-pribadi
yang memiliki keautentikan (authenticity), identitas
(identity), kemuliaan (dignity), kehormatan
(respect), dan pengakuan (recognition).

84 Moeljarto T., Politik Pembangunan, Cetakan kedua,


(Yogyakarta: Tiara Wacana, 1993), pp. 9-10. Tujuan
pembangunan versi Goulet ini hampir mirip dengan
tujuan pembangunan yang dikehendaki oleh konstitusi
negara Indonesia, yaitu pembangunan manusia Indonesia
seutuhnya. Bdk. Emi Salim, Pembangunan Berwawasan
Lingkungan, (Jakarta: LP3ES, 1986), p. 3.
82

Mengapa Gereja (Harus!) Tolak Tambang?

Sementara dimensi ketiga dari pembangunan


menurut Goulet adalah kebebasan. Kebebasan
yang dimaksudkan Goulet menyentuh aspeknya
yang paling fundamental, yaitu kebebasan dari
pengasingan terhadap hak hidup material yang
layak, kebebasan dari perbudakan manusia lain,
kebebasan dari ketidakacuhan orang lain, dan
kebebasan dari penderitaan serta kemelaratan.
2.2.2.2. Mendahulukan Orang yang Menderita
Menempatkan penderitaan sebagai titik tolak
kebijakan pembangunan mengandung tuntutan
etis lain, yaitu kemendesakan pilihan untuk
mendahulukan orang yang menderita. Di sini ada
semacam tuntutan agar segala usaha pembangunan
mesti diarahkan sebagai bentuk solidaritas terhadap
orang yang paling menderita, terutama orangorang miskin. Dalam konteks ini, pembangunan
dilihat sebagai upaya untuk mengurangi bahkan
meniadakan penderitaan dari orang-orang miskin,
terutama dari mereka yang tidak memiliki kekuatan
sendiri mengatasi penderitaan yang mereka alami.
Ketika usaha pengembangan masyarakat
diarahkan terutama untuk mereka yang paling
Benny Denar

83

menderita, maka pada tempat yang sama


pembangunan akan dilihat sebagai jalan solidaritas.
Solidaritas karena pengalaman penderitaan
merupakan pengalaman universal dan memiliki
kans untuk dihayati secara intersubjektif.85 Semua
manusia memiliki kemampuan untuk mengambil
bagian (solider) dalam penderitaan sesamanya. Rasa
solider itu lahir karena semua manusia yakin bahwa
pengalaman penderitaan merupakan pengalaman
negatif yang harus dijauhkan atau dihindari.
Keinginan seperti ini selalu bersifat spontan dan
selalu mendahului segala penalaran dan tanggapan.
Penderitaan dalam dirinya sendiri mengundang
tuntutan untuk dihilangkan. Inilah dasar epistemis
yang memungkinkan pembangunan bisa dijadikan
jalan solidaritas terhadap kaum penderita.86

85 Johanes Mller, op. cit., pp. 158-159.


86 Johanes Mller mengambil rumusan teori epistemologi
Adorno yang disebut negatio negationis (peniadaan dari
peniadaan), yaitu usaha mengatasi keadaan negatif yang
menghilangkan apa yang seharusnya ada atau apa yang
seharusnya menjadi hak. Bdk. Ibid.
84

Mengapa Gereja (Harus!) Tolak Tambang?

2.2.2.3. Menekankan Pentingnya Demokrasi


dan Partisipasi
Ciri khas dan orientasi lain dari pengembangan
masyarakat yang menempatkan penderitaan sebagai
titik tolak pembangunan adalah menempatkan
rakyat sebagai subjek pembangunan. Menurut
pendekatan ini, pembangunan selalu harus
merupakan inisiatif dari bawah. Pilihan partisipasi
tidak bergantung pada keahlian teknis melainkan
pada pertimbangan-pertimbangan moral.87
Sebab pembangunan selalu harus mengandaikan
persetujuan moral, di samping adanya tujuan
politik. Pembangunan selalu berarti pertumbuhan
yang baik dan modernisasi yang dikehendaki.88
Maka pembangunan yang berpangkal pada
penderitaan diharapkan selalu berorientasi pada selfsustaining capacity masyarakat itu sendiri. Artinya
masyarakat diubah posisinya dari penerima pasif
layanan pemerintah menjadi subyek pembangunan
aktif yang memberdayakan dirinya sendiri. Di sini
pembangunan lebih menekankan pengelolaan
87 Peter L. Berger, op. cit., p. 56.
88 Ibid., p. 33.
Benny Denar

85

sumber daya yang bertumpu pada komunitas.


Pembangunan dilihat sebagai medan partisipasi di
mana prinsip subsidiaritas dan solidaritas menjadi
tuntutan etis sekaligus sosiologis yang penting.
Sebab ada keyakinan bahwa selama orang-orang
miskin yang menjadi subjek pembangunan
diremehkan dan tetap disingkirkan secara sosial
dan politik, maka perubahan sebagai orientasi
pembangunan pasti mereka tolak.89
Ada beberapa ciri strategi model pembangunan
dari bawah.90 Pertama, prakarsa dan proses
pengambilan keputusan dilakukan secara bertahap
dan melibatkan masyarakat. Kedua, fokus utama
strategi pembangunan ini adalah semakin kuatnya
kemampuan masyarakat dalam mengelola dan
memobilisasi sumber-sumber daya yang terdapat
pada komunitas dalam rangka pemenuhan
kebutuhan mereka. Ketiga, strategi ini menghargai
kearifan dan sumber daya lokal. Keempat,
pendekatan ini sangat menekankan proses social
learning yang di dalamnya terdapat interaksi
89 Johanes Mller, op. cit., pp. 256-259.
90 Moeljarto T., op. cit., pp. 26-27.
86

Mengapa Gereja (Harus!) Tolak Tambang?

kolaboratif antara birokrasi dengan komunitas,


mulai dari perencanaan sampai tahap evaluasi,
dengan mendasarkan diri pada keinginan untuk
saling belajar.
Kelima, terdapat keterhubungan/jaringan
(networking) antara birokrat, Lembaga Swadaya
Masyarakat (LSM) dan berbagai satuan organisasi
tradisional yang bersifat mandiri. Jaringan seperti
ini dimaksudkan agar masyarakat memiliki
kemampuan sendiri dalam mengidentifikasi dan
mengelola pelbagai sumber daya yang tersedia,
juga untuk menjaga keseimbangan berbagai
struktur sosial yang ada, terutama antara struktur
yang vertikal dengan struktur horisontal.
Strategi pembangunan seperti ini diyakini akan
mengurangi tingkat ketergantungan masyarakat
kepada birokrasi, sekaligus lebih menjamin
tumbuhnya self-sustaining capacity masyarakat
menuju sustained development.
2.2.2.4. Pengejaran Tujuan Pembangunan
Tidak Menyebabkan Penderitaan
Pembangunan bertitik tolak pada penderitaan
juga mendalilkan bahwa kebijakan pembangunan
Benny Denar

87

yang berusaha mengejar tujuannya tidak boleh


menyebabkan penderitaan berat dalam bentuk lain.
Oleh karena itulah pendekatan menolak penderitaan
ini sering disebut sebagai suatu etika realistis-utopis.
Sebab dia berusaha mencari utopia di tengah realitas
konkret penderitaan, sekaligus membela realisme
yang bertujuan mengurangi penderitaan. Dengan
cara pandang dan cara kerja seperti ini, suatu bahaya
berganda yang mengancam setiap etika dalam bentuk
rumusan positif bisa dihindari. Di satu pihak, cita-cita
yang diperjuangkan sekalipun teramat luhur tidak
boleh dijadikan dalih untuk hanya mendengungdengungkannya, tanpa berbuat apa-apa. Sementara
di pihak lain, realisme dalam merumuskan tujuan
pembangunan tidak boleh begitu dimutlakkan
sehingga hanya bisa diwujudkan secara otoriter atau
bahkan dengan paksaan fisik yang mau tidak mau
akan melahirkan penderitaan dalam bentuk baru.
Sebab jika ini yang terjadi justru tidak ada tempat lagi
bagi manusia yang lemah.91
Secara tegas dapat dikatakan bahwa
pendekatan ini tidak menawarkan suatu resep
91 Johanes Mller, op. cit., p. 170.
88

Mengapa Gereja (Harus!) Tolak Tambang?

jitu atau pemecahan definitif terhadap derita.


Sebab masalah penderitaan hanya bisa diperbaiki
selangkah demi selangkah. Perjuangan melawan
penderitaan merupakan proses terus-menerus
yang tidak pernah kunjung habis. Jadi, terdapat
kesadaran dan pengalaman bahwa penderitaan
manusia tidak pernah bisa diatasi sampai tuntas.
Sebab segala usaha, sekalipun ditopang oleh
penalaran yang sehat dan itikad baik, tidak jarang
melahirkan penderitaan dalam bentuk baru,
bertentangan dengan apa yang diinginkan atau
direncanakan dan seringkali tidak terduga. Namun
kesadaran tersebut tidak boleh menjadi dalih untuk
tidak berbuat apa-apa, melainkan harus menjadi
kesempatan untuk mengevaluasi diri/kebijakan
berdasarkan tolok ukur penderitaan.92
2.2.3. Manfaat Praktis Konsep Pembangunan
Sebagai Pembebasan Manusia dari
Penderitaan
Ada beberapa manfaat praktis dari pendekatan
pembangunan berbasis penderitaan. Pertama,
pendekatan ini memiliki relevansi praktis, bukan
92 Ibid.
Benny Denar

89

hanya permainan intelektual semata. Sebab


penderitaan itu riil dan subjeknya jelas. Kedua,
mayoritas orang secara intuitif mengenal hierarki
penderitaan. Jadi, semua orang bisa memahami apa
itu penderitaan, tingkatan-tingkatan penderitaan
dan akibat-akibat yang ditimbulkan dari
penderitaan itu. Ketiga, pendekatan ini juga berguna
dalam menerangkan mengapa tindakan aktif tanpa
kekerasan (active non violence) bisa menjadi strategi
dan sarana perubahan yang efisien.93
Keuntungan-keuntungan praktis di atas tidak
menghilangkan karakter dasar pendekatan ini
yang hanya bersifat normatif etis. Maksudnya, dia
selalu hanya bisa menawarkan orientasi dasar dan
karena itu memerlukan bantuan analisis sosiologis
(sosio-kemasyarakatan) yang seksama agar bisa
diterjemahkan ke dalam kebijakan dan tindakan
politik. Analisis kemasyarakatan yang dimaksudkan
tersebut harus menelaah dan membongkar sebabsebab dan keterkaitan antara berbagai bidang/
faktor, seperti politik, ekonomi, dan sosio-budaya
yang ada di balik penderitaan. Sebab analisis yang
93 Ibid., pp. 174-175.
90

Mengapa Gereja (Harus!) Tolak Tambang?

menyeluruh seperti itu dapat membantu mencari


dan menawarkan jalan-jalan keluar untuk kebijakan
politik dan upaya praktis. Tanpa analisis demikian,
rasa ikut menderita sebagai dorongan etis yang kuat
hanya akan selalu berada dalam bahaya menguap,
menjadi perasaan tanpa keterlibatan.
2.3. AGAMA DAN PEMBANGUNAN BERTITIK
TOLAK PENDERITAAN

Merefleksikan
pembangunan
berbasis
penderitaan dalam kerangka teologis berarti harus
membuat tinjauan perihal bagaimana agamaagama merefleksikan penderitaan.94 Hal ini penting
sebab masalah kemanusiaan, termasuk penderitaan
menduduki tempat penting dalam refleksi teologis
agama-agama.95 Pertama, hampir semua agama
94 Salah satu teolog Kristen yang secara khusus
membicarakan penderitaan ini adalah Johann Baptist
Metz. Ia menggunakan gagasan memoria passionis
(ingatan akan penderitaan). Menurutnya teologi harus
menghadirkan para penderita dan para korban, terutama
dalam diskursusnya tentang masa depan (eskatologi). Bdk.
Paul Budi Kleden, Teologi Terlibat, op. cit., p. 71.
95 Johanes Mller, op. cit., pp. 188-189. Buku yang secara khusus
berbicara tentang penderitaan dari sisi teologis-filosofis adalah
buku yang ditulis Paul Budi Kleden. Di dalamnya bahkan
Benny Denar

91

berefleksi dan memiliki pandangan perihal


penderitaan. Kurang lebih mereka mempunyai
ajaran tentang makna penderitaan, tentang
bagaimana cara penderitaan itu ditanggung dan
tentang asal-usul penderitaan.
Kedua, hampir semua agama berkeyakinan
bahwa Tuhan peduli terhadap penderitaan manusia
dan selalu berkehendak menyelamatkan serta
membebaskan manusia dari penderitaan. Dalam
agama-agama, penderitaan sering dikaitkan dengan
dosa manusia. Dosa merupakan keadaan negatif
yang harus dilawan. Namun kekuatan manusia
tidak cukup untuk melawan dosa, karena itu
membutuhkan bantuan Tuhan, sebab hanya Tuhan
yang sanggup mengatasi dosa secara definitif. Itulah
janji dan harapan besar semua agama dan harapan
itu melebihi segala penalaran ilmu dan etika.
Ketiga, masih berkaitan dengan penderitaan;
hampir semua agama mengajarkan pentingnya
perhatian, belas kasih, dan solidaritas antarsesama

digambarkan konsep penderitaan dalam tradisi Hinduisme


dan Budhisme. Bdk. Paul Budi Kleden, Membongkar Derita,
(Maumere: Ledalero, 2006), pp.128-131.
92

Mengapa Gereja (Harus!) Tolak Tambang?

manusia, terutama terhadap para korban. Mereka


berkeyakinan bahwa jika Tuhan yang diimani
itu penuh belas kasih, maka manusia pun harus
menaruh sikap yang sama dan berkewajiban
meringankan penderitaan sesamanya. Tuhan
mempercayakan alam dengan segala kekayaannya
kepada manusia sebagai wakil-Nya agar semua
orang bisa hidup secara wajar. Namun harus tetap
diperhatikan bahwa setiap agama menguraikan halhal pokok itu sesuai dengan iman dan ajarannya
sehingga dalam penjabaran konkret ada perbedaan.
Keempat, semua agama memandang manusia
sebagai puncak ciptaan yang tidak pernah boleh
diinstrumentalisasi. Selain itu, semua agama
menekankan pentingnya praksis iman yakni
mempraktikkan ajaran iman dalam praksis hidup
harian melalui tindakan yang benar dan adil.
Kelima, dalam konsep tentang keselamatan
dan pembebasan, hampir semua agama bersifat
realistis-utopis. Maksudnya, mereka meyakini
bahwa keselamatan di satu pihak harus
diperjuangkan sekarang di dunia, tetapi di pihak
lain, keselamatan itu akhirnya hanya bisa diberikan
Benny Denar

93

oleh Tuhan sendiri sebagai hidup abadi. Justru


karena pendasaran teologis itu, semua agama
mempunyai pilihan mengutamakan perdamaian
dan menolak kekerasan. Walaupun keselamatan
itu pemberian Allah, namun harus ada usaha dari
manusia untuk menanggapi tawaran Allah itu.
Manusia mengusahakan keselamatan itu secara
terus-menerus dengan jalan pertobatan.
Keenam, dalam kaitan dengan pembangunan
dan perkembangan masyarakat, hampir semua
agama mencita-citakan perkembangan menyeluruh
dan seutuhnya dari seluruh umat manusia. Hal ini
berkaitan dengan klaim agama-agama besar sebagai
agama universal. Artinya mereka ingin meresapi
semua bangsa dan kebudayaan. Namun mereka juga
mengakui keanekaragaman bentuk agama sesuai
dengan masing-masing budaya. Dengan demikian,
paling tidak secara implisit mereka menganggap
semua budaya bersifat ambivalen. Dikatakan
demikian karena di satu sisi agama-agama biasanya
mengakui segi-segi positif kebudayaan setempat,
namun di sisi lain agama-agama tersebut justru
berpegang pada ajaran universal mereka sebagai
94

Mengapa Gereja (Harus!) Tolak Tambang?

sesuatu yang bisa dan harus mengoreksi serta


menyempurnakan kebudayaan setempat. Dalam arti
itu, semua agama juga menekankan pembangunan
dari bawah/mengakui kearifan lokal.
2.4. KESIMPULAN

Ulasan terkait kontroversi pengertian di sekitar


pembangunan amat penting untuk membuat
kajian etis terhadap persoalan pertambangan.
Sebab pertambangan merupakan salah satu pilihan
kebijakan politik pembangunan. Pilihan kebijakan
politik pembangunan itulah yang menjadi pintu
masuk untuk membuat pertimbangan etis terhadap
pertambangan. Dalam kontroversi pengertian
pembangunan, kita melihat bahwa pada tempat
pertama ada geliat mengejar pertumbuhan
yang justru mengabaikan keadilan sosial dan
keselamatan lingkungan. Penulis melihat bahwa
pertambangan lahir dalam model pembangunan
seperti ini.
Untuk memberikan alternatif terhadap
model pembangunan berideologi pertumbuhan,
terutama untuk menilai pertambangan, maka
Benny Denar

95

penulis menampilkan konsep pembangunan yang


lain, yaitu pembangunan yang dilihat sebagai jalan
pembebasan manusia dari penderitaan. Konsep
pembangunan sebagai jalan pembebasan manusia
dari penderitaan ini akan dipakai penulis untuk
melihat kebijakan pemerintah meliberalisasi
pertambangan. Dari sisi agama, terutama dari
teologi Kristen, konsep pembangunan bertitik
tolak penderitaan tentu saja memiliki pendasaran
yang kuat karena teologi Kristen juga merefleksikan
realitas penderitaan.

96

Mengapa Gereja (Harus!) Tolak Tambang?

BAB III

AJARAN SOSIAL GEREJA


TENTANG KEUTUHAN CIPTAAN
DAN PENDERITAAN SEBAGAI
BASIS ETIS PENGEMBANGAN
MASYARAKAT

embahasan di Bab III ini akan difokuskan


pada beberapa pokok kunci. Pertama, penulis
akan memperkenalkan pengantar umum hal-hal
yang berkaitan dengan ASG, seperti latar belakang
munculnya ASG, pengertian ASG, prinsipprinsip dasar yang ada dalam ASG, termasuk
memperkenalkan opsi paling dasar ASG, yaitu
mengutamakan kaum miskin dan menderita.
Kedua, penulis akan menampilkan secara khusus
perhatian ASG terhadap persoalan lingkungan
97

hidup atau keutuhan ciptaan. Ketiga, penulis


akan menunjukkan konsep penderitaan menurut
ASG, termasuk menurut pandangan teologi
Kristiani. Pembahasan-pembahasan tersebut
bermaksud menunjukkan letak perbedaan antara
pembangunan berorientasi pertumbuhan dengan
etika pengembangan masyarakat menurut ASG
Katolik. Konsep penderitaan menurut ASG juga
begitu krusial untuk menunjukkan opsi Gereja
terhadap kaum miskin dan menderita dalam hal
pengembangan masyarakat.
3.1. LATAR BELAKANG MUNCULNYA ASG

ASG lahir dalam konteks pertentangan Gereja


sejak abad ke-19 terhadap perkembangan ilmu
pengetahuan dan faktum modernitas.96 Pertama,
terkait perkembangan ilmu pengetahuan,
sejak abad ke-17 muncul berbagai eksperimen
terhadap dunia yang melahirkan ilmu-ilmu alam.
Penemuan ilmu alam itu berhasil memunculkan
96 Katekismus Gereja Katolik, Terj. Herman Embuiru, (Ende:
Propinsi Gerejani Ende, 1995), No. 2421, p. 610. Bdk.
Georg Kirchberger, Garis Besar Ajaran Sosial Gereja (Ms.),
(Maumere: STFK Ledalero, 1996), pp. 3-4.
98

Mengapa Gereja (Harus!) Tolak Tambang?

ke permukaan banyak kenyataan duniawi dan


hal tersebut menjadi dasar munculnya teknologi.
Dari sinilah lahir pelbagai produksi permesinan
dan metode produksi yang semuanya mengubah
hidup manusia secara radikal. Kedua, terdapat
kegoncangan dalam bidang sosial dan politik, di
mana pada abad ke-18 muncul Revolusi Perancis
yang substansinya menolak sistem pemerintahan
monarki dan menghendaki sistem demokrasi.
Selain itu dituntut kebebasan pers dan kebebasan
beragama.
Dua perkembangan radikal di atas mendapat
penolakan serius dari Gereja.97 Gereja menolak
perkembangan ilmu pengetahuan karena menurut
Gereja gambaran tentang dunia hanya boleh
disingkapkan oleh naskah Kitab Suci, bukan oleh
ilmu pengetahuan. Bagi magisterium Gereja, Kitab
Suci merupakan teks final yang diajarkan oleh
Allah sendiri dan hanya perlu diterima sebagai
kebenaran dalam segala aspeknya. Sedangkan
dalam bidang politik, Gereja menolak demokrasi
dan menganggap demokrasi sebagai pikiran
97 Georg Kirchberger, Ibid.
Benny Denar

99

dan usaha yang bertentangan dengan kehendak


ilahi. Gereja terus membela sistem pemerintahan
monarki karena memang pada saat itu Gereja amat
dekat dengan kaum bangsawan.
Dari latar historis di atas, maka bisa
dipahami bahwa Gereja abad ke-19 berada
dalam pertentangan dengan modernitas. Dalam
keadaan demikian, di satu sisi Gereja selalu sibuk
mempertahankan status quo-nya, sementara di
sisi lain muncul semakin banyak kelompok yang
mencintai modernitas dan semakin anti terhadap
Gereja (agama). Ketika Gereja sibuk membela
diri dan menyerang kelompok yang mendukung
modernitas, maka pada saat yang sama Gereja
tidak memperhatikan nasib kaum buruh yang
pada saat itu sering diperlakukan secara tidak adil.
Nasib kaum buruh tersebut justru diperjuangkan
oleh para pengikut Marxisme yang melihat adanya
patologi dalam sistem ekonomi liberal yang amat
berkembang di Eropa pada saat itu.98 Sistem
ekonomi liberal pada hakikatnya menguntungkan
para pemilik modal dan menghisap orang-orang
98 Ibid.
100

Mengapa Gereja (Harus!) Tolak Tambang?

lemah, terutama kaum buruh.


Dalam situasi ketidakadilan tersebut, semakin
banyak kaum buruh meninggalkan Gereja dan
menjadi pengikut kaum Marxisme yang ateis serta
anti-agama itu. Baru dalam keadaan demikian,
pemimpin Gereja menjadi sadar akan bahaya
meninggalkan kaum buruh. Kesadaran ini
lahir pada akhir abad ke-19 yang ditandai oleh
munculnya Ensiklik Rerum Novarum pada tahun
1891 dari Paus Leo XIII.99 Ensiklik ini menjadi
ensiklik sosial pertama yang dikeluarkan Gereja
dan secara umum mengangkat tema seputar kaum
buruh dan menentang sistem sosialisme dan
komunisme.
3.2. PENGERTIAN ASG

Dalam pengertian yang lebih komprehensif,


ASG dapat dimaknai sebagai tanggapan Gereja
terhadap persoalan-persoalan sosial, baik dalam
bidang ekonomi, politik, sosial, lingkungan

99 William Chang, Mengenal Ajaran Sosial Gereja, dalam


Eddy Kristiyanto (ed.), Spiritualitas Sosial Suatu Kajian
Kontekstual, (Yogyakarta: Kanisius, 2010), p. 28.
Benny Denar

101

hidup (ekologi) maupun kebudayaan. ASG lebih


merupakan perspektif, pemikiran dan sikap
Gereja dalam menanggapi persoalan-persoalan
zaman. ASG yang tertuang dalam berbagai
ensiklik berusaha mencermati, merefleksikan dan
menawarkan nilai-nilai sebagai pedoman arah
bagi umat beriman kristiani dalam menanggapi
berbagai masalah sosial yang muncul.100 Dengan
kata lain, ASG merupakan sintesis rangkaian
pemahaman tentang tatanan dalam masyarakat
dalam terang keselamatan kristiani.101 Dengan
demikian, ASG bukan hanya sekadar himpunan
doktrin sosial tentang hidup menggereja, tetapi
merupakan sebuah filsafat hidup sosial Gereja
yang berkembang dari zaman ke zaman. ASG
berusaha mengemukakan garis-garis pokok untuk
berefleksi, mengusahakan pedoman bagi penilaian
dan memberi orientasi untuk bertindak.102 Sebab
sebagai bagian dari dunia dan masyarakat, Gereja
100 Ibid. Bdk. blogspot.com/2013/05/istilah-ajaran-sosialgereja.html, diakes pada 23 Januari 2015.
101 William Chang, Mengenal Ajaran Sosial Gereja, op. cit.,
p. 30.
102 Katekismus Gereja Katolik, loc. cit.
102

Mengapa Gereja (Harus!) Tolak Tambang?

tidak mungkin hidup tertutup tanpa keterkaitan


dengan dunia sekitar. Keadaan di dalam Gereja
dan hidup sosial saling terkait, saling melengkapi
dan saling menyempurnakan.
Secara lebih spesifik, ASG berisikan ajaran
Gereja tentang permasalahan keadilan yang
memang harus tetap diperjuangkan di tengah
dunia. ASG berusaha membawakan terang Injil
ke dalam persoalan keadilan sosial di tengah
jaringan relasi masyarakat yang begitu kompleks.
Dengan kata lain, ASG berusaha mengaplikasikan
ajaran-ajaran Injil ke dalam realitas sosial hidup
bermasyarakat di dunia. Tujuannya adalah
menghadirkan kepada manusia rencana Allah bagi
realitas sekular dan menerangi serta membimbing
manusia dalam membangun dunia seturut rencana
Tuhan.
Penjelasan seputar pemahaman dasar ASG
di atas menerangkan kesadaran Gereja bahwa
masalah sosial kemasyarakatan yang terjadi dan
berkembang tidak berada di luar tanggung jawab
Gereja. Kesadaran akan perkembangan strukturstruktur sosial tersebut berkembang dalam tiga
Benny Denar

103

tahap.103 Pertama, tahap karitatif. Pendekatan


ini didorong oleh cinta Allah sendiri yang
hidup dalam Roh Kudus untuk secara langsung
memberi perhatian kepada sesama yang lapar,
haus, telanjang, dipenjara, lemah, dan miskin.
Pendekatan ini adalah secara langsung mencoba
memberi apa yang secara fisik-material diperlukan.
Kedua, tahap ajaran sosial. Pendekatan ini
berbeda dengan pendekatan karitatif. Tahap ini
lebih menitikberatkan pada akar masalah sosialnya,
yaitu pada struktur sosialnya. Untuk membantu
orang lapar, haus, telanjang, dipenjara, lemah, dan
miskin, maka harus diubah struktur sosial yang
menyebabkan keadaan itu terjadi.
Ketiga, tahap himbauan profetis dan solidaritas
praktis. Mulai zaman Yohanes XXIII muncul
sebuah dimensi baru dalam pendekatan ASG.
Gereja mulai menyadari bahwa menyelesaikan
masalah sosial tidak cukup hanya dengan
memberikan ajaran saja. Ketidakadilan yang

103 Georg Kirchberger, op. cit., pp. 28-29. Bdk. blogspot.


com/p/ajaran-sosial-gereja.html, diakses pada 18
Desember 2014. \
104

Mengapa Gereja (Harus!) Tolak Tambang?

bercokol dalam struktur-struktur kekuasaan


ekonomis, politis, sosial dan budaya yang
berkaitan dengan kepentingan-kepentingan masif
kelas sosial dan individual yang berkuasa hanya
bisa diatasi dengan tindakan nyata, tindakan
dalam dimensi politik, yaitu maklumat profetis
dan solidaritas praktis. Maklumat profetis berarti
berusaha memaklumkan nilai dan sikap injili secara
terbuka dan konkret dalam situasi, masalah dan
tantangan hidup sehari-hari. Sedangkan solidaritas
praktis berarti berusaha untuk selalu berada di
sisi mereka yang diperlakukan tidak adil, mereka
yang memerlukan dukungan dan pembebasan,
dan ikut serta melakukan secara praktis apa yang
dikehendaki Allah dalam cahaya Injil.
3.3. PRINSIP-PRINSIP POKOK ASG

3.3.1. Prinsip Penghormatan Terhadap


Martabat Manusia
Penghormatan terhadap martabat manusia
menjadi salah satu tema dan prinsip sentral dalam
ASG. Gagasan mengenai martabat manusia ini
bersumber dari keyakinan bahwa manusia diciptakan
Benny Denar

105

menurut citra Allah sendiri. Sebagai ciptaan yang


secitra dengan Allah, hidup manusia dipandang suci
dan bermartabat. Martabat manusia ini sama sekali
tidak dihasilkan oleh usaha atau prestasi manusia itu
sendiri, melainkan semata-mata sebagai anugerah
Allah. Oleh karena itu, setiap orang memiliki
martabat yang sama yang tidak bisa dicabut dari
padanya. Bahkan dalam Ensiklik Redemptor Hominis,
Paus Yohanes Paulus II menyebut manusia sebagai
persona. Menurut Yohanes Paulus II, manusia adalah
makhluk yang bermartabat luhur yang diterimanya
dari Allah sendiri, dan karena itu ia merupakan
persona, makhluk yang berakal budi dan berkehendak
bebas serta bersuara hati.104
Penegasan bahwa ASG berusaha menopang
martabat manusia bisa juga terlihat dari ulasan
Yohanes Paulus II dalam Ensikliknya Centesimus
Annus artikel 11. Dalam dokumen yang dibuat
sebagai kenangan 100 tahun Ensiklik Rerum
Novarum dari Paus Leo XIII tersebut, Paus Yohanes
Paulus II menyebutkan; sesungguhnya benang
104
Yohanes Paulus II, Redemptor Hominis, Terj. R.
Hardawiryana, (Jakarta: Departemen Dokumentasi dan
Penerangan KWI, 1995), Artikel 12, pp. 27-30.
106

Mengapa Gereja (Harus!) Tolak Tambang?

merah dan dalam arti tertentu, prinsip pemandu


bagi ensiklik Paus Leo XIII, begitu pula bagi
seluruh ASG, yakni pengertian yang seksama
tentang pribadi manusia beserta nilainya yang
istimewa.105 Selanjutnya dalam artikel 53 dari
ensiklik yang sama, Yohanes Paulus II mengatakan;
Selama seratus tahun terakhir ini Gereja sudah
cukup sering mengungkapkan pandangannya,
sambil dari dekat memantau perkembangan
terus-menerus masalah sosial. Jelas Gereja tidak
menjalankan itu untuk memperoleh kembali
hak-hak istimewa di masa lampau atau untuk
menonjol-nonjolkan pandangannya. Satu-satunya
maksudnya ialah menjalankan reksa dan tanggung
jawabnya atas pribadi manusia yang telah
dipercayakan Kristus kepadanya, yakni tentang
manusia yang menurut amanat Konsili Vatikan II
merupakan satu-satunya makhluk yang oleh Allah
dikehendaki demi dirinya sendiri, yakni supaya
ia ikut menikmati keselamatan kekal. Jelaslah
yang dibicarakan di sini bukan manusia abstrak,
melainkan manusia menurut kenyataannya yang
konkret dan menyejarah. Kita berhadapan
dengan setiap individu, karena setiap orang adalah

105 Yohanes Paulus II, Centesimus Annus, Terj. R. Hardawiryana,


Cetakan II, (Jakarta: Departemen Dokumentasi dan
Penerangan KWI, 1992), Artikel 11, p. 20.
Benny Denar

107

bagian dari misteri penebusan, dan melalui misteri


ini Kristus menyatakan diri-Nya dengan setiap
orang selamanya. Karena itu, Gereja tidak dapat
mengabaikan kemanusiaan, dan bahwa pribadi
manusia ini adalah langkah utama yang harus
ditapaki Gereja dalam melaksanakan misinya
langkah yang telah dijejaki oleh Kristus sendiri,
satu-satunya jalan menuju misteri inkarnasi dan
penebusan. Inilah satu-satunya prinsip yang
menginspirasi Ajaran Sosial Gereja.106

Jadi salah satu tema sentral ASG adalah


penghormatan terhadap martabat manusia sebagai
persona. Sebagai persona, manusia tidak pernah
boleh diinstrumentalisasi atau diperlakukan
sebagai sarana atau alat. Usaha pengembangan
manusia atau masyarakat hanya menjadi
usaha pengembangan yang benar bila sanggup
mengembangkan dan tidak mencederai martabat
manusia sebagai persona yang berpengetahuan dan
berkendak, berkebebasan, dan bersuara hati.
3.3.2. Prinsip Kesejahteraan Umum
Konstitusi Pastoral Gaudium et Spes artikel 26
mendefinisikan kesejahteraan umum sebagai;
106 Artikel 53, Ibid., p. 71.
108

Mengapa Gereja (Harus!) Tolak Tambang?

keseluruhan kondisi kemasyarakatan yang


memungkinkan
baik
kelompok-kelompok
maupun anggota-anggota perorangan untuk
secara lebih penuh dan lebih lancar mencapai
kesempurnaan mereka sendiri.107

Dari pengertian ini maka dapat dilihat bahwa


kesejahteraan umum tidak bisa dimengerti sebagai
akumulasi dari kesejahteraan setiap pribadi atau
kelompok-kelompok, tetapi lebih merupakan
keadaan kesejahteraan baik pribadi maupun
masyarakat secara keseluruhan yang diperoleh,
ditingkatkan, dan dilestarikan secara bersamasama. Kesejahteraan umum adalah dimensi sosial
dan komunal dari kebaikan moral.
107 Dokumen Konsili Vatikan II, Terj. R. Hardawiryana,
Cetakan XI, (Jakarta: Obor, 2012), p. 552. Sebagai
perbandingan bisa dilihat konsep Franz Magnis Suseno.
Menurutnya kesejahteraan umum merupakan sejumlah
syarat dan kondisi yang perlu tersedia agar para anggota
masyarakat dapat sejahtera. Dengan kata lain, kesejahteraan
dirumuskan sebagai keseluruhan prasyarat-prasyarat sosial
yang memungkinkan atau mempermudah manusia untuk
mengembangkan semua nilainya, atau sebagai jumlah
semua kondisi kehidupan sosial yang diperlukan agar
masing-masing individu, keluarga-keluarga dan kelompokkelompok masyarakat dapat mencapai keutuhan atau
perkembangan mereka dengan lebih utuh dan cepat. Bdk.
Franz Magnis Suseno, Etika Politik, (Jakarta: Gramedia,
2003), p. 305.
Benny Denar

109

Terkait tanggung jawab terhadap kesejahteraan


umum, Katekismus Gereja Katolik menjelaskan
bahwa perwujudan kesejahteraan umum amat
bergantung pada kondisi-kondisi sosial dari setiap
masa dan juga terkait dengan penghormatan
terhadap pribadi manusia dan hak-hak dasarnya.108
Perwujudan kesejahteraan umum erat kaitannya
dengan komitmen pada perdamaian, manajemen
kekuasaan negara, sistem peradilan dan hukum,
perlindungan terhadap lingkungan hidup, serta
penyediaan pelayanan publik yang adil dan
memadai. Selain itu, tuntutan akan kesejahteraan
umum juga berkaitan erat dengan penyediaan hakhak dasar seperti makanan, perumahan, pekerjaan,
kesehatan, pendidikan, kebudayaan, dan
kebebasan beragama.109 Selain menuntut tanggung
jawab negara, kesejahteraan umum juga menuntut
adanya kerja sama dan solidaritas antara bangsa.110

108 Katekismus Gereja Katolik, Artikel 1906, op. cit., p. 498.


109 Dokumen Konsili Vatikan II, GS Artikel 26,2 , loc. cit.
110 Yohanes XXIII, Mater et Magistra, Terj. R. Hardawiryana,
(Jakarta: Departemen Dokumentasi dan Penerangan
KWI, 1994), Artikel 417, p. 52.
110

Mengapa Gereja (Harus!) Tolak Tambang?

ASG juga menuntut agar kesejahteraan umum


harus mencakup semua anggota masyarakat
tanpa kecuali. Tuntutan agar mencakup semua
masyarakat ini berkaitan dengan partisipasi dalam
usaha atau kerja sesuai dengan kemampuan dan
talenta masing-masing, termasuk partisipasi dalam
menikmati buah-buah usaha pembangunan dan
kemajuan bersama.111 Berkaitan dengan tuntutan
pemerataan kesempatan untuk mendapatkan
kesejahteraan tersebut, maka ASG menganjurkan
agar segala potensi alamiah dan harta benda
mesti digunakan oleh semua orang dan sekalian
bangsa secara adil. Tuntutan ini bisa dilihat dalam
Gaudium et Spes artikel 69 yang menyebutkan;
Allah menghendaki, supaya bumi beserta segala
isinya digunakan oleh semua orang dan sekalian
bangsa, sehingga harta benda yang tercipta dengan
cara yang wajar harus mencapai semua orang,
berpedoman pada keadilan, diiringi dengan cinta
kasih. 112 Setiap orang mesti memiliki akses
yang sama terhadap sumber-sumber hidup dari
111 Katekismus Gereja Katolik, Artikel 1911, op. cit., p. 499.
112 Dokumen Konsili Vatikan II, GS Artikel 69, op. cit., p. 617.
Benny Denar

111

bumi untuk kesejahteraan hidupnya (pribadi dan


bersama).
3.3.3. Prinsip Subsidiaritas
Prinsip subsidiaritas merupakan prinsip yang
selalu ada dan paling khas dalam ASG. Pada intinya
prinsip ini menghendaki agar institusi-institusi
yang lebih tinggi mesti membantu, mendukung
dan mengembangkan institusi-institusi yang
lebih rendah. Dengan demikian, satuan-satuan
sosial yang lebih kecil dapat menjalankan fungsifungsi yang diembankan kepada mereka dan
dengan demikian martabat, eksistensi, dan
kegunaan mereka tidak diingkari. Dalam arti yang
lebih positif, prinsip subsidiaritas menghendaki
agar segala bantuan atau intervensi apapun
yang dilakukan negara sedapat mungkin tidak
membatasi keberadaan dan ruang gerak dari sel-sel
atau satuan-satuan sosial kecil dalam masyarakat.
Prakarsa, kebebasan, dan tanggung jawab mereka
mesti tidak boleh digantikan. Satuan-satuan
sosial yang kecil itu mencakup institusi keluarga,
kelompok-kelompok,
paguyuban-paguyuban,
termasuk kenyataan teritorial setempat. Satuan112

Mengapa Gereja (Harus!) Tolak Tambang?

satuan seperti inilah yang seringkali menjadi


penyokong pranata-pranata sosial yang lebih besar,
seperti ekonomi, sosial, budaya dan politik.
Prinsip subsidiaritas begitu penting karena
dia dapat membantu melindungi orang dari
penyalahgunaan kewenangan oleh otoritas sosial
yang lebih tinggi. Sebab pengalaman menunjukkan
bahwa pengingkaran terhadap prinsip subsidiaritas
justru dapat mengekang atau malah merusakkan
kebebasan dan semangat berprakarsa. Maka
prinsip subsidiaritas menentang sistem sentralisasi,
birokratisasi, bantuan kesejahteraan yang
melemahkan inisiatif masyarakat, juga menentang
kehadiran negara yang tidak sah dan terlalu
berlebihan dalam mekanisme-mekanisme publik.
Terkait adanya bahaya intervensi negara yang
terlalu berlebihan seperti terungkap dalam pola
negara kemakmuran (welfare state), Paus Yohanes
Paulus II dalam Ensiklik Centesimus Annus artikel
48 mengatakan;
Dengan bercampur tangan secara langsung
dan dengan demikian merebut tanggung jawab
masyarakat, negara bantuan sosial menekan daya
kekuatan sosial dan manusiawi dan mengakibatkan
Benny Denar

113

munculnya semakin banyak dinas pemerintah


yang seringkali lebih dikemudikan oleh sistemsistem birokrasi daripada oleh kepedulian untuk
sungguh-sungguh melayani anggota masyarakat
dan yang disertai dengan pembiayaan besar.113

Selanjutnya agar prinsip subsidiaritas dapat


terlaksana dengan baik, maka diperlukan adanya
penghormatan dan usaha memajukan pribadi
manusia dan keluarga, mengakui dan menghargai
keberadaan serikat-serikat dan organisasiorganisasi, serta mendorong peran serta swasta
dalam melayani kesejahteraan umum. Selain itu,
perlu juga dihargai fakta kemajemukan dalam
masyarakat, menjaga dan membela hak asasi
manusia dan hak-hak kaum minoritas. Lebih dari
itu, prinsip subsidiaritas juga menuntut upaya
desentralisasi birokrasi dan administrasi, serta
mengupayakan keseimbangan antara ranah publik
dengan ranah privat.
3.3.4. Prinsip Keterlibatan
Keterlibatan adalah implikasi khas dari prinsip
subsidiaritas. Inti pokok dari prinsip keterlibatan
113 Yohanes Paulus II, Centesimus Annus, Artikel 48, op. cit., p. 66.
114

Mengapa Gereja (Harus!) Tolak Tambang?

menurut Konstitusi Pastoral Guadium et Spes


artikel 75 adalah pemberian kesempatan kepada
warga negara entah sebagai pribadi maupun
dalam kerjasamanya dengan pihak lain, baik
secara langsung maupun melalui mekanisme
perwakilan untuk memberi andil bagi kehidupan
budaya, politik, dan sosial di tengah masyarakat
dan negara.114 Selain sebagai hak, keterlibatan
juga merupakan bentuk kewajiban atau tanggung
jawab untuk mengusahakan kesejahteraan umum.115
Ada beberapa pokok kunci terkait prinsip
keterlibatan. Pertama, ASG menghendaki adanya
keterbukaan akses dan rangsangan yang mendorong
keterlibatan orang-orang paling tidak beruntung,
mereka yang paling miskin dan menderita. Kedua,
berkaitan dengan prinsip keterlibatan, ASG
menghendaki adanya pergantian secara berkala para
pemimpin politik untuk mencegah kemapanan
privilese-privilese tersembunyi, termasuk mencegah
munculnya rezim-rezim totaliter atau diktator. Ketiga,

114 Dokumen Konsili Vatikan II, Artikel 75, op. cit., pp. 626628.
115 Katekismus Gereja Katolik, Artikel 1914, op. cit., p. 499.
Benny Denar

115

masih berkaitan dengan pokok sebelumnya, menurut


ASG keterlibatan warga dalam berbagai bidang
urusan kemasyarakatan merupakan salah satu pilar
kunci dan jaminan bagi kelestarian demokrasi. Sebab
menurut ASG, setiap pemerintahan yang demokratis
pasti bercorak partisipatif.116 Itu berarti sistem
demokrasi menghendaki agar masyarakat sipil dalam
setiap tingkatannya mesti diberitahu, didengarkan
dan dilibatkan dalam tata kelola pemerintahan.
3.3.5. Prinsip Solidaritas
Prinsip solidaritas meneguhkan sifat sosial
keberadaan manusia, sekaligus memperkokoh
kesetaraan martabat dan hak-hak dasar yang
ada dalam diri manusia. Maka solidaritas selalu
dilihat dalam dua segi yang pada dasarnya saling
melengkapi, yaitu sebagai sebuah prinsip sosial dan
sebagai sebuah kebajikan moral. Kedua prinsip ini
saling berkaitan. Sebagai prinsip moral dan sosial,
dia mesti menjiwai pelayanan yang ada dalam
lembaga-lembaga sosial, sehingga struktur-struktur
tersebut dapat diubah menjadi struktur-struktur

116 Yohanes Paulus II, Centesimus Annus, Artikel 46, op. cit., p. 61.
116

Mengapa Gereja (Harus!) Tolak Tambang?

penuh solidaritas yang tercermin dalam produk


perundang-undangan, aturan-aturan pasar dan
sistem-sistem hukum yang menunjang keadilan.
Dengan disertai prinsip moral, solidaritas dapat
dilihat sebagai kebajikan sosial sebab ia sanggup
menunjang terciptanya keadilan. Dengan demikian,
tepatlah kesimpulan yang diberikan oleh Paus
Yohanes Paulus II dalam Ensikliknya Sollicitudo
Rei Socialis artikel 38 yang melihat solidaritas
sebagai kesediaan untuk membaktikan diri kepada
kesejahteraan umum karena adanya rasa tanggung
jawab terhadap kebaikan semua orang.117
Dari penjelasan di atas maka dapat dilihat
bahwa menurut ASG, solidaritas memiliki kaitan
dengan kesejahteraan umum, maksud universal
harta benda, kesetaraan semua manusia dan bangsa,
serta terciptanya perdamaian di bumi.118 Maka
solidaritas menurut ASG menuntut diakuinya
ikatan-ikatan antara warga yang mempersatukan
117 Yohanes Paulus II, Sollicitudo Rei Socialis, Terj. Petrus
Turang, (Jakarta: Departemen Dokumentasi dan
Penerangan KWI, 1988), Artikel 38, p. 57.
118 Artikel 17, Ibid., pp. 59-60. Bdk. Dokumen Konsili Vatikan
II, GS Artikel 83-86, op. cit., pp. 640-647.
Benny Denar

117

dan terciptanya ruang yang memungkinkan semua


orang bertumbuh dalam segala keutuhannya
sebagai manusia. Dasar fundamental dari
solidaritas seperti itu adalah teladan hidup Kristus
sendiri yang rela menghampakan diri-Nya menjadi
manusia, bahkan rela wafat di kayu salib penuh
kehinaan. Dalam keseluruhan hidup dan kematian
Yesus terlihat dengan jelas makna solidaritas
sesungguhnya. Dalam Dia terdapat kaitan yang
cemerlang antara solidaritas dengan praktik cinta
kasih.119 Dalam terang keteladanan Yesus tersebut
ditunjukkan bahwa solidaritas selalu merupakan
usaha melampaui diri dan golongan, menghidupi
nilai-nilai khas Kristen, yaitu kemurahan hati,
pengorbanan, pengampunan, dan perdamaian.
3.3.6. Kesimpulan: Pentingnya Mengutamakan
Orang Miskin
Keseluruhan penjelasan mengenai pengantar
ASG, terutama yang terkait dengan prinsip-prinsip
dasar ASG mengerucut pada salah satu tema kunci,
yakni pentingnya cinta kasih terhadap kaum

119 Yohanes Paulus II, Sollicitudo Rei Socialis, Artikel 40, Ibid.
118

Mengapa Gereja (Harus!) Tolak Tambang?

miskin. Banyak sekali dokumen Gereja termasuk


yang berkaitan dengan ASG yang berbicara tentang
pentingnya opsi terhadap kaum miskin. Berikut
ini ditunjukkan dua kutipan yang cukup mewakili
dari dokumen resmi Gereja yang menegaskan
pentingnya perhatian terhadap kaum miskin.
Pertama, Ensiklik Sollicitudo Rei Socialis dari
Paus Yohanes Paulus II. Dalam dokumen ini,
Yohanes Paulus II secara eksplisit menunjukkan
pentingnya perhatian terhadap kaum miskin.
Ini merupakan pilihan atau prioritas dalam
mengamalkan cinta kasih Kristen yang tentangnya
diberi kesaksian oleh seluruh tradisi Gereja.
Pilihan atau sikap itu mewarnai kehidupan
setiap orang Kristen, sejauh ia meneladani
kehidupan Kristus, namun diterapkan juga pada
pokok-pokok tanggung jawab sosial kita, serta
pada keputusan-keputusan sewajarnya yang
perlu diambil mengenai hak kepemilikan dan
penggunaan harta benda. Lagi pula, mengingat
bahwa dewasa ini masalah sosial meluas meliputi
seluruh dunia, cinta kasih yang mengutamakan
kaum miskin itu, begitu juga keputusankeputusan yang diilhamkannya kepada kita, mau
tidak mau harus merangkul sejumlah besar mereka
yang lapar, serba kekurangan, tunawisma, orangorang tanpa pelayanan kesehatan dan terutama
Benny Denar

119

orang-orang tanpa harapan akan masa depan yang


lebih baik. Merupakan suatu keharusan untuk
memperhitungkan eksistensi dari kenyataankenyataan ini. Mengabaikannya berarti menjadi
seperti orang kaya yang berpura-pura tidak
mengetahui pengemis Lazarus yang terbaring di
depan pintunya (Luk 16:19-31).120

Kedua, dalam Katekismus Gereja Katolik


terutama dalam ulasannya terkait ASG dijelaskan
juga pentingnya perhatian terhadap kaum
miskin. Dengan pendasaran biblis yang cukup
kental, Katekismus Gereja Katolik menggariskan
pentingnya mengikuti teladan Tuhan Yesus dalam
mengutamakan orang miskin.
Tuhan memberkati mereka yang membantu orangorang miskin dan mengecam orang-orang yang
memalingkan diri dari mereka: Berilah kepada orang
yang meminta kepadamu dan jangan juga menolak
yang mau meminjam dari padamu (Mat 5:24).
Kalian sudah memperoleh semuanya itu dengan
cuma-cuma, karena itu berikanlah pula dengan
cuma-cuma (Mat 10:8). Menurut apa yang telah
mereka lakukan kepada orang miskin, Yesus Kristus
akan mengenal orang-orang pilihan-Nya. Apabila
kepada orang miskin diberitakan kabar baik (Mat
120 Artikel 42, Ibid., pp. 64-65.
120

Mengapa Gereja (Harus!) Tolak Tambang?

11:5), maka itulah tanda kehadiran Kristus.121

Katekismus Gereja Katolik menegaskan


bahwa kaum miskin tetap selalu dipercayakan
kepada kita dan itulah tanggung jawab kita dan
padanya kita akan dihakimi pada akhir zaman
(Mat 25:3-46). Tuhan kita memperingatkan kita
bahwa kita akan dipisahkan dari Dia apabila kita
mengabaikan perhatian kita kepada kebutuhankebutuhan mendesak dari orang miskin dan kecil,
yang adalah saudara dan suadari-Nya.122 Jadi cinta
akan Kristus mewajibkan kaum beriman kristiani
untuk juga mencintai orang-orang miskin.
3.4. GARIS BESAR ASG TENTANG
LINGKUNGAN HIDUP

3.4.1. Pandangan Kitab Suci Kristen Tentang


Lingkungan Hidup123
Semua agama besar terutama tradisi Kristen
memandang ciptaan termasuk lingkungan hidup
121 Katekismus Gereja Katolik, Artikel 2443, op. cit., p. 615.
122 Ibid., Artikel 1033, p. 295.
123 Dasar biblis seperti ini menjadi salah satu acuan dasar dari
ASG dalam menyuarakan pentingnya keutuhan ciptaan.
Benny Denar

121

sebagai kenyataan yang mulia dan bermartabat.


Sebab dunia dengan segala isinya sungguh
dikehendaki oleh Allah dan karena itu semua baik
adanya (Kej 1:31).124 Allah adalah Sang Pencipta.
Dialah awal dan akhir, asal dan tujuan seluruh
alam ciptaan.125 Kitab Suci, baik Perjanjian Lama
maupun Perjanjian Baru melihat alam secara fisik
sungguh baik adanya dan bahwa alam semesta ini
sanggup merefleksikan pencipta-Nya.
Karena dunia diciptakan Allah dengan berfirman
dan manusia diciptakan seturut gambar Allah,
maka ciptaan merupakan pernyataan diri Allah,
wahyu Allah yang pertama dan melalui dunia,
dengan memandang dunia dan pelbagai fenomena
di dalam dunia, manusia bisa mengenal Allah
sebagaimana kita lihat dalam pelbagai agama alam
yang terutama memandang Allah seturut apa yang
tampak dalam ciptaan.126

Dengan demikian, semua makhluk, dengan


segala keanekaragaman dan keunikannya hanyalah
124 Georg Kirchberger, Allah Menggugat Sebuah Dogmatik
Kristiani, (Maumere: Ledalero, 2007), p. 258.
125 Berthold A. Pareira, Guido Tisera, dan Martin Harun,
Keadilan, Perdamaian dan Keutuhan Ciptaan, (Jakarta:
Lembaga Biblika Indonesia, 2007), p. 136.
126 Georg Kirchberger, Allah Menggugat, op. cit., p. 259.
122

Mengapa Gereja (Harus!) Tolak Tambang?

menggambarkan keagungan dan kemahakuasaan


Allah. Kemuliaan Tuhan dalam pekerjaan tanganNya dan dalam taurat-Nya. Langit menceritakan
kemuliaan Allah, dan cakrawala memberitakan
pekerjaan tangan-Nya (Mazmur 19:1-2). Namun
selain untuk kemuliaan Tuhan, ciptaan juga bertujuan
agar semua makhluk bahagia. Kemuliaan Allah dan
kebahagiaan makhluk rohaniah merupakan kedua
tujuan karya penciptaan dan sebenarnya bukan dua,
melainkan satu tujuan yang rangkap.127 Kebahagiaan
manusia yang diberikan Allah ini menuntut tanggung
jawab dari manusia sendiri.
Secara singkat, pandangan Kristen tentang
ciptaan dan mengenai tanggung jawab manusia
di dalamnya mengerucut kepada dua aspek
penting, yaitu kepemilikan Allah dan kepelayanan
manusia. Dua aspek penting ini memperlihatkan
bahwa Allah sebagai Sang Pencipta menempatkan
manusia sebagai ciptaan-Nya yang hidup bersama
makhluk ciptaan-Nya yang lain.128 Di antara

127 Ibid.
128 William Chang, Moral Lingkungan Hidup, (Yogyakarta:
Kanisius, 2001), p. 46.
Benny Denar

123

segala ciptaan, manusia adalah satu-satunya


makhluk yang secitra dengan Allah (Kej 1:27).
Sebagai citra Allah, manusia mempunyai martabat
sebagai pribadi yang mampu mengenali dirinya
sendiri, menyadari kebersamaan dirinya dengan
orang lain, dan bertanggung jawab atas makhluk
ciptaan yang lain. Manusia adalah rekan kerja
Allah dalam menata, menjaga, memelihara dan
mengembangkan seluruh alam semesta ini. Allah
memberikan kepercayaan kepada manusia untuk
memelihara dan mengolah dengan bijaksana alam
semesta ini serta berupaya menciptakan hubungan
yang harmonis di antara semua ciptaan (Kej
2:15). Oleh karena itu, manusia harus mengelola
bumi dengan segala isinya ini dalam kesucian dan
keadilan. Manusia tidak berhak memboroskan dan
merusak alam serta sumber-sumbernya dengan
alasan apapun.
Kehadiran Allah di dunia dalam diri Yesus
Kristus ingin menyatakan bahwa kasih-Nya amat
besar terhadap manusia dan semua ciptaan. Allah
tidak hanya mencipta, tetapi juga melindungi dan
memelihara. Allah adalah kasih (1 Yoh 4:16) dan
124

Mengapa Gereja (Harus!) Tolak Tambang?

kasih itu tidak hanya ditujukan kepada manusia


tetapi kepada semua makhluk yang telah Ia ciptakan.
Solidaritas dan kepedulian Allah terhadap ciptaanNya dalam peristiwa inkarnasi, menjadi pegangan
manusia untuk memperlakukan ciptaan yang lain
secara baik. Sehubungan dengan hal itu, manusia
harus melepaskan diri dari berbagai kelekatan
seperti kekayaan dan kekuasaan (bdk. Mat 6:1921), yang sering dicapai dengan mengorbankan
sesamanya atau makhluk ciptaan Tuhan yang lain.129
Karya penebusan Allah dalam diri Yesus
Kristus juga ingin menjangkau semua ciptaan.
Dengan darah salib Kristus, segala sesuatu di bumi
dan di surga diperdamaikan oleh Allah (Kolose
1:19-20). Rasul Paulus dengan tegas menyatakan
bahwa karya penyelamatan Allah tidak hanya
untuk manusia yang berdosa tetapi meliputi segala
makhluk dan seluruh alam semesta. Oleh karena
itu, sikap pemberian diri yang disertai dengan

129
Refleksi biblis dalam Nota Pastoral KWI tentang
Keterlibatan Gereja dalam Melestarikan Alam Ciptaan,
dikeluarkan di Jakarta pada April 2013 dan ditandatangani
oleh Mgr. Ignatius Suharyo, Pr selaku ketua dan Mgr.
Johanes Pujasumarta, Pr selaku Sekretaris Jenderal.
Benny Denar

125

kerendahan hati manusia terhadap yang lain


sebagaimana telah dilakukan oleh Yesus Kristus
(Flp 2:1-11) mesti diperluas untuk semua makhluk
ciptaan.
3.4.2. Sebab-Sebab Kerusakan Lingkungan
Hidup Menurut ASG
3.4.2.1. Keserakahan Manusia
Menurut ASG, penyebab yang mendasari
masalah-masalah kerusakan lingkungan hidup
adalah pretensi manusia yang melakukan
penguasaan tanpa syarat atas segala sesuatu
termasuk alam ciptaan, tanpa mengindahkan
pertimbangan moral apa pun. Pretensi buruk
tersebut menyata dalam tindakan eksploitasi
secara masif tanpa memperhatikan keseimbangan
lingkungan. Tentang hal ini, Paus Yohanes Paulus
II pernah mengatakan;
Abad modern telah menyaksikan kesanggupan
manusia yang semakin berkembang untuk
melakukan intervensi transformatif. Segi
penaklukan serta eksploitasi atas sumber-sumber
daya alam telah menjadi dominan dan invansif
dan dewasa ini hal itu telah mencapai titik yang
mengancam segi keramahan lingkungan hidup:
126

Mengapa Gereja (Harus!) Tolak Tambang?

lingkungan hidup sebagai sumber daya alam,


berisiko mengancam lingkungan hidup sebagai
rumah. Oleh karena sarana transformasi yang
ditawarkan peradaban teknologis, kadang kala
tampak bahwa keseimbangan antara manusia
dengan lingkungan hidup telah mencapai suatu
titik kritis.130

Menurut ASG, latar belakang dari semua


eksploitasi invansif manusia atas alam adalah
adanya pandangan yang memisahkan apa yang
kelihatan dari rujukan yang transenden. Hal
ini menyebabkan penolakan gagasan tentang
penciptaan dan memisahkan eksistensi manusia
dengan alam. Di sini ikatan-ikatan yang
mempersatukan dunia dengan penciptanya
(Allah) diputuskan. Hal ini menyebabkan
adanya pandangan yang memisahkan manusia
dari dunia yang justru mempermiskin jati diri
manusia sendiri. Manusia berpikir bahwa ia asing
terhadap konteks lingkungan hidup di mana ia
hidup. Padahal menurut ASG, relasi manusia
130 Yohanes Paulus II, Amanat kepada para peserta dalam
sebuah pertemuan bertajuk The Environment and Health
pada 24 Maret 1997, seperti dikutip dalam Kompendium
Ajaran Sosial Gereja, op. cit., pp. 316-317.
Benny Denar

127

dengan Allah amat menentukan relasinya dengan


sesamanya dan dengan lingkungan hidupnya. Oleh
karena itulah kebudayaan Kristen selalu mengakui
makhluk-makhluk hidup termasuk lingkungan
hidup sebagai karunia Allah yang mesti dipelihara
dan dilindungi dengan rasa terima kasih kepada
Sang Pencipta.
3.4.2.2. Manusia dengan Peradaban Teknokrasi
Keserakahan manusia dalam berelasi dengan
alam ciptaan sangat tampak dalam penggunaan
teknologi secara serampangan yang justru dapat
merusak lingkungan hidup. Dengan Ilmu
Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) yang
tidak digunakan secara bijak, alam hanya dilihat
sebagai sarana dalam tangan manusia yang secara
konstan dimanipulasi. Di sini ada pemahaman
reduksionistis yang melihat alam dalam bingkai
mekanistik. Selain itu, terdapat pemahaman
mengenai perkembangan serta pembangunan
dalam bingkai konsumerisme yang justru membuat
manusia terasing.
Menurut ASG, fenomena penggunaan IPTEK
secara serampangan tidak berasal dari IPTEK itu
128

Mengapa Gereja (Harus!) Tolak Tambang?

sendiri dalam dirinya sendiri atau tidak muncul


dari riset ilmiah dan teknologis. IPTEK bukanlah
penyebab dari sekularisasi menggusarkan yang
berujung pada nihilisme. Sebaliknya penggunaan
IPTEK secara serampangan justru muncul
dari ideologi saintisme dan ideologi-ideologi
teknokratis yang cenderung mengkondisikan
atau menggunakan IPTEK dimaksud untuk
memanipulasi alam ciptaan. Akar terdalam
dari fenomena ini adalah adanya cara pandang
antroposentrisme yang kemudian diperkuat oleh
paradigma IPTEK modern yang cartesian dengan
ciri utama mekanistis-reduksionistis.131
Dalam paradigma cartesian, ada pemisahan
yang tegas antara alam sebagai objek ilmu
pengetahuan dan manusia sebagai subjek.
Demikian juga ada pemisahan yang tegas antara
fakta dengan nilai. Maka paham ini membela
paham bebas nilai dalam ilmu pengetahuan. Ilmu
pengetahuan bersifat otonom sehingga seluruh
perkembangannya dikembangkan dan diarahkan
131 Sonny Keraf, Etika Lingkungan Hidup, (Jakarta: Buku
Kompas, 2010), p. 8.
Benny Denar

129

hanya demi ilmu pengetahuan itu sendiri. Dengan


demikian penilaian tentang baik buruknya IPTEK
beserta segala dampaknya dari segi moral atau
agama adalah penilaian yang tidak relevan. Pada
tempat inilah IPTEK jatuh pada patologi karena
cenderung berwatak sentralis dan totaliter.132
Paradigma ini melahirkan sikap dan perilaku
132 Ignas Kleden melihat adanya dua tafsiran mengenai sifatsifat teknik. Pertama sekali teknik dilihatnya berada dalam
tafsiran secara liberal, yaitu bahwa teknik mempunyai
kemampuan membebaskan manusia dari beban-bebannya,
baik dengan cara memperbesar kekuatan normal organorgan manusia, maupun dengan menggantikan sama
sekali tenaga manusia. Namun menurut Ignas Kleden,
sifat-sifat baik dari teknik itu hanya akan terjamin jika
teknik tersebut masih tunduk kepada kehendak dan
kesadaran manusa. Itu berarti ia harus mengabdi kepada
kepentingan manusia. Tetapi perkembangan teknik pada
tingkat sekarang menunjukkan kecenderungan sebaliknya:
saling pengaruh ilmu dan teknik dengan dampak yang
kumulatif, ketergantungan teknik pada produksi industri
maupun ketergantungannya kepada keperluan perang dan
persenjataan menyebabkan perkembangannya tidak sesuai
dan tidak jarang malah bertentangan dengan kepentingan
manusia. Lebih jauh, persekutuan antara teknik, ilmu,
industri dan birokrasi kekuasaan ternyata membentuk
suatu sistem yang seakan-akan mahakuasa, sehingga
kemerdekaan manusia, baik perorangan maupun keinginan
suatu masyarakat, praktis tidak berdaya menghadapinya
dan terpaksa harus menyesuaikan diri dengannya. Salah
satu sebabnya ialah karena teknik, khususnya dalam
bentuknya yang modern, cenderung berwatak sentralis
dan totaliter. Bdk. Ignas Kleden, op. cit., pp. 88-89.
130

Mengapa Gereja (Harus!) Tolak Tambang?

manipulatif dan eksploitatif terhadap alam dan


pada gilirannya melahirkan krisis ekologi.
3.4.2.3. Pandangan Berat Sebelah Terhadap
Alam Ciptaan
ASG juga menyoroti adanya pandangan yang
berat sebelah terhadap alam ciptaan. Pertama
sekali ASG mengkritik paham antroposentrisme133
133 Paham antroposentrisme ini berakar pada tiga argumentasi
yang amat kuat dalam berbagai tradisi. Pertama, dari tradisi
Kristen, terutama dari Kitab Kejadian 1:26-28 yang secara
eksplisit menyatakan bahwa manusia secitra dengan Allah
dan diciptakan pada hari keenam sebagai puncak seluruh
karya ciptaan Allah itu. Selanjutnya Allah memberikan alam
semesta beserta isinya kepada manusia untuk dikuasai dan
ditaklukkan. Kisah ini seolah memberi pendasaran bahwa
Allah memberi kewenangan penuh kepada manusia untuk
mengeksploitasi alam demi kepentingannya. Tafsiran ini
menyebabkan manusia menjadi arogan dan bertindak
sebagai penguasa yang lalim atas alam ciptaan. Kedua,
argumen antroposentrisme juga ditemukan dalam tradisi
aristotelian sebagaimana dikembangkan oleh Thomas
Aquinas dengan fokus utama pada rantai kehidupan
(the great chain of being). Menurut argumen ini, semua
kehidupan di bumi membentuk dan berada dalam sebuah
rantai kesempurnaan kehidupan, mulai dari yang paling
sederhana sampai kepada Yang Maha Sempurna yaitu
Allah sendiri. Dalam rantai kesempurnaan kehidupan itu,
manusia menempati posisi sebagai yang paling mendekati
Yang Maha Sempurna. Itu berarti manusia menempati
urutan teratas dari rantai ciptaan sehingga dianggap lebih
superior dari semua ciptaan yang lainnya. Ketiga, argumen
antroposentrisme juga ditemukan dalam pandangan yang
Benny Denar

131

termasuk argumen instrumentalistiknya134 yang


melihat manusia lebih tinggi dan terhormat dibandingkan
dengan makhluk ciptaan lain karena manusia adalah satusatunya makhluk bebas dan rasional (the free and rational
being) sebagaimana dipahami oleh Thomas Aquinas, Rene
Descartes, dan Immanuel Kant. Menurut paham ini
manusia merupakan satu-satunya makhluk hidup yang
mampu menggunakan dan memahami bahasa, khususnya
bahasa simbol untuk berkomunikasi. Oleh karena itu,
dalam argumen ini manusia dilihat sebagai satu-satunya
makhluk hidup yang menguasai dan menggerakkan
aktivitasnya sendiri secara sadar dan bebas. Manusia adalah
makhluk yang berakal budi yang mendekati keilahian
Tuhan sekaligus mengambil bagian dalam keilahian Tuhan
itu. Sebagai makhluk yang lebih tinggi karena bebas dan
rasional, Tuhan menciptakan dan menyediakan segala
sesuatu di bumi ini untuk kepentingan manusia. Bdk.
Sonny Keraf, op. cit., pp. 50-54.
134 Paham ini berakar pada argumen instrumental yang
melihat pentingnya manusia mengenakan nilai-nilai
tertentu pada alam dan segala isinya, namun nilai alam
di sini hanya sebatas nilai instrumental. Dengan argumen
ini manusia terdorong untuk melestarikan alam tetapi
hanya sebatas sebagai alat bagi pemenuhan kebutuhan dan
kepentingan manusia. Manusia mengembangkan sikap
hormat terhadap alam (respect for nature), tetapi bukan
karena alam mempunyai nilai dalam dirinya sendiri,
melainkan karena nilai instrumental alam, yaitu demi
kepentingan manusia. Ada tiga kelemahan utama etika
model ini. Pertama, model etika ini mengabaikan masalahmasalah lingkungan hidup yang tidak langsung menyentuh
kepentingan manusia. Kedua, kepentingan manusia
selalu berubah-ubah dan berbeda-beda pula kadarnya.
Konsekuensinya, sejauh menyangkut kepentingan
manusia maka alam dipertimbangkan secara serius dari segi
moral. Sebaliknya, sejauh tidak menyangkut kepentingan
132

Mengapa Gereja (Harus!) Tolak Tambang?

mereduksi alam ciptaan hanya sebagai pemuas


kebutuhan manusia. ASG melihat kerusakan alam
ciptaan disebabkan oleh adanya pandangan yang
melihat alam hanya sebagai sarana dalam tangan
manusia dan karena itu terus-menerus boleh
dimanipulasi.135
Di pihak lain, ASG mengingatkan adanya
bahaya dari munculnya pandangan yang
mentransendensi atau mengilahikan alam ciptaan
(overestimate). Sikap ini terutama diperlihatkan
oleh masyarakat tradisional atau pejuang ekologi
ekstrim sekarang ini, seperti deep ecology, yaitu
gerakan ekologi radikal (ecologism). Gerakan
(ideologi) ekologi ini ingin hidup selaras alam dalam
segala-galanya. Sikap ini menghantar orang kepada

manusia, maka alam akan diabaikan. Ini sangat berbahaya


karena pertimbangan moral pun berubah-ubah sejalan
dengan perubahan kepentingan manusia. Padahal etika
berkaitan dengan prinsip dan nilai moral yang universal
dan lestari. Ketiga, yang menjadi perhatian dari paham ini
adalah kepentingan jangka pendek khususnya kepentingan
ekonomi. Akibatnya lingkungan hidup selalu dikorbankan
demi kepentingan jangka pendek tersebut. Padahal
masalah dan dampak lingkungan hidup berdimensi jangka
panjang. Bdk. Ibid., pp. 58-63.
135 Kompendium Ajaran Sosial Gereja, op. cit., p. 317.
Benny Denar

133

kosmosentrisme sekaligus pengkultusan terhadap


alam. Alam dilihat lebih besar daripada manusia
dan justru karena itu tentu dapat membahayakan
manusia sendiri.136 Manusia takut terhadap alam
dan tidak mempunyai tempat di alam. Hal ini bisa
membuat manusia jatuh dalam irasionalisme.
3.4.2.4. Masalah-Masalah Konkret yang Muncul
Pandangan yang berat sebelah terhadap alam
yang menyata dalam keserakahan manusia dan
pemujaan terhadap peradaban teknokrasi seperti
telah dijelaskan di atas, telah melahirkan masalahmasalah serius dan amat nyata bagi peradaban
global dewasa ini. Peradaban teknokrasi yang
melahirkan kemakmuran di negara-negara maju
di satu sisi dan angka kemiskinan yang kian
membengkak di negara-negara berkembang di sisi
yang lain, telah menyebabkan beberapa masalah
global yang semakin nyata.137
Pertama, semakin tingginya angka kemiskinan
dan ketergantungan di negara-negara berkembang.
136 Ibid.
137 Johannes Mller, op. cit., pp. 62-65.
134

Mengapa Gereja (Harus!) Tolak Tambang?

Hal ini melahirkan beberapa persoalan nyata,


seperti perdagangan narkoba kelas internasional,
semakin banyaknya masalah kriminalitas, sampai
pada munculnya terorisme internasional.
Kedua, semakin terancamnya peradaban
global oleh adanya bahaya efek rumah kaca. Hal
ini disebabkan oleh semakin tingginya konsumsi
energi terutama di negara-negara maju dan
juga disebabkan oleh pembabatan hutan-hutan
tropis di negara-negara berkembang dengan
berbagai tujuan termasuk menghasilkan devisa
yang digunakan untuk membayar utang kepada
negara-negara maju. Jadi kenyataan semakin
meningkatnya konsumsi energi di negara-negara
maju dan semakin banyaknya kaum miskin di
negara-negara berkembang dapat mengakibatkan
semakin tingginya produksi karbondioksida (CO2).
Hal ini akan menyebabkan semakin naiknya suhu
bumi atau efek rumah kaca yang justru semakin
mengancam kelangsungan kehidupan dunia
dewasa ini.
Ketiga, semakin banyaknya penduduk miskin
dan pencari kerja dari negara-negara dunia ketiga
Benny Denar

135

yang bermigrasi ke negera-negara maju. Migrasi


global yang kian meningkat ini disebabkan oleh
berbagai faktor, terutama oleh kenyataan semakin
dalamnya jurang kemakmuran antara negaranegara maju (utara) dengan negara-negara dunia
ketiga (selatan). Kenyataan migrasi yang kian
meningkat ini bisa dikatakan sebagai suatu proses
penyesuaian struktural, sebab tren migrasi global
itu memang sepadan dengan logika globalisasi dan
sistem ekonomi dunia yang semakin liberal.
Keempat, masalah yang paling rumit adalah
semakin masifnya penyebarluasan model ekonomi
dan pola/gaya hidup negara-negara kaya ke
seluruh dunia, termasuk ke negara-negara miskin
di dunia ketiga. Fenomen ini menimbulkan
masalah yang amat krusial sebab penyebarluasan
model ekonomi dan gaya hidup dari negaranegara kaya itu hampir pasti akan menyebabkan
ambruknya tatanan bumi secara ekologis. Dunia
akan segera musnah jika semua orang di seluruh
dunia menikmati kemakmuran dan gaya hidup
yang kurang lebih sama dengan orang-orang di
negara-negara industri maju. Sebagai contoh,
136

Mengapa Gereja (Harus!) Tolak Tambang?

jika semua orang di dunia ketiga mengkonsumsi


energi yang sama besarnya dengan orang-orang
di negara-negara maju, maka sulit dibayangkan
betapa besarnya perubahan iklim yang akan
terjadi. Dengan tesis sederhana ini, maka dapat
disimpulkan bahwa pola hidup dari masyarakat
industri maju termasuk pola hidup dari kaum elite
di negara-negara berkembang (yang meniru suatu
taraf hidup oligarkis layaknya di negara industri)
sebenarnya ditopang dan dipertahankan oleh
mayoritas penduduk dunia yang tidak menikmati
pola hidup seperti itu. Dengan tesis ini pula,
maka dapat ditunjukkan bahwa sebenarnya usaha
pembangunan yang mengejar kemajuan yang
kini tengah gencar dilakukan di negara-negara
berkembang termasuk Indonesia untuk mencapai
taraf hidup mendekati atau seperti di negara-negara
maju, sebenarnya merupakan khayalan belaka dan
hampir pasti akan gagal.138
138
Negara-negara industri maju memiliki kepentingan
agar penduduk di negara-negara miskin tetap miskin,
sebab kemiskinan di negara miskin justru menopang
kemakmuran di negara-negara industri. Dalam hal ekologi
misalnya, terdapat peraturan yang berstandar ganda.
Di satu sisi negara-negara maju menuntut agar negaraBenny Denar

137

3.4.3. Beberapa Petimbangan Kunci dari ASG


Perihal Pengelolaan Lingkungan Hidup
3.4.3.1. Perlunya Menghargai dan Mengikuti
Maksud Awal Ciptaan
Telah diuraikan sebelumnya bahwa kerusakan
lingkungan lebih banyak dipengaruhi oleh
keserakahan manusia. Selain itu, menurut ASG
ada juga kesesatan di bidang antropologi terutama
berkaitan dengan konteks dan maksud awal
ciptaan. Kesanggupan manusia dalam arti tertentu
mengubah dan menciptakan dunia membuat dia
lupa bahwa segala kemampuan dan kegiatannya
itu selalu didasarkan pada pengaruniaan segalanya
oleh Allah menurut maksud-Nya semula.
Manusia telah bertindak salah kaprah seolah
dia boleh seenaknya menaklukkan bumi tanpa
syarat. Manusia bukannya menjalankan tugasnya
bekerja sama dengan Allah, tetapi malahan ia
menggantikan tempat Allah. Hal itulah yang
negara miskin menerapkan kebijakan yang tegas di bidang
perlindungan hutan tropis, namun di sisi lain mereka tidak
rela menerapkan kebijakan tegas untuk mengurangi emisi
gas yang justru berdampak langsung bagi perubahan iklim.
Kenyataan ini bisa disebut sebagai imperalisme ekologi.
Bdk. Ibid.
138

Mengapa Gereja (Harus!) Tolak Tambang?

justru membangkitkan pemberontakan alam yang


sebenarnya telah diatur Allah, tetapi dirusakkan
oleh manusia sendiri.139
Menyadari semakin meluasnya kerusakan
alam ciptaan, maka manusia diminta untuk
kembali menghargai dan mengikuti maksud awal
ciptaan. Menurut ASG, Allah telah mengaruniakan
segalanya kepada manusia dan manusia hanya
diminta untuk menghormati kebaikan Allah itu.
Allah tidak saja mengaruniakan bumi dan segala
harta benda kepada manusia, tetapi manusia
sendiri adalah karunia Allah sendiri. Oleh karena
itu, manusia wajib juga menghormati struktur
kodrati dan moril yang diterimanya dari Allah.140

Secara lebih jelas, Ensiklik Sollicitudo Rei


Socialis artikel 34 menggariskan;
Kekuasaan yang dianugerahkan kepada manusia
oleh Sang Pencipta bukanlah suatu kekuasaan
mutlak. Orang juga tidak dapat berbicara
tentang kebebasan untuk menggunakan
dan menyalahgunakan atau menghabiskan

139 Yohanes Paulus II, Centesimus Annus, Artikel 37, op. cit., p.
50.
140 Artikel 38, Ibid., p. 52.
Benny Denar

139

barang-barang menurut kesenangan seseorang.


Pembatasan yang diberikan sejak permulaan
oleh Sang Pencipta sendiri dan secara simbolis
diungkapkan dengan larangan untuk tidak makan
dari buah pohon itu (Kej 2:16-17) dengan cukup
jelas menyatakan bahwa dalam kaitannya dengan
dunia alami, kita takluk bukan saja pada hukumhukum biologis tetapi hukum moral yang tidak
dapat diperkosa tanpa keraguan.141

3.4.3.2. Pentingnya Tanggung Jawab


Kepedulian terhadap lingkungan hidup
menyajikan sebuah tantangan kepada setiap orang
untuk menghormati alam lingkungan sebagai harta
milik bersama yang diperuntukkan bagi semua
orang dengan mencegah siapa pun yang merusakkan
lingkungan, termasuk yang bermotif ekonomi
sekadar untuk menumpukkan kekayaan. Tanggung
jawab terhadap lingkungan hidup tidak saja karena
kebutuhan-kebutuhan saat sekarang tetapi juga
kebutuhan-kebutuhan generasi mendatang.
Tentang pentingnya tanggung jawab untuk
menyiapkan lingkungan yang nyaman bagi
141 Yohanes Paulus II, Sollicitudo Rei Socialis, Artikel 34, op.
cit., p. 53.
140

Mengapa Gereja (Harus!) Tolak Tambang?

generasi mendatang, Paus Paulus VI dalam Ensiklik


Populorum Progressio menulis;
Kita menjadi ahli waris angkatan-angkatan sebelum
kita dan kita menuai keuntungan dari usaha-usaha
orang-orang sezaman. Kita mempunyai kewajiban
terhadap semua orang. Oleh karena itu, kita tidak
dapat mengabaikan kesejahteraan mereka yang
akan menyusul kita untuk menumbuhkan bangsa
manusia.142

Inilah tanggung jawab yang mesti dipegang


oleh
generasi-generasi
sekarang
terhadap
143
generasi-generasi yang akan datang. ASG juga
menekankan tanggung jawab yang harus tertuang
dalam produk dan penegakan hukum yang
membela keutuhan ciptaan.
3.4.3.3. Menimbang Kegiatan Ekonomi
ASG juga memberi catatan khusus terkait
pola pengembangan ekonomi yang berdampak
langsung bagi lingkungan hidup. Menurut ASG,
program-program
pengembangan
ekonomi

142 Kompendium Ajaran Sosial Gereja, loc. cit.


143 Yohanes Paulus II, Centesimus Annus, Artikel 37, op. cit., p.
52.
Benny Denar

141

mesti secara seksama memperhatikan perlunya


menghormati keutuhan serta irama-irama alam
karena sumber-sumber daya alam itu terbatas dan
beberapa darinya tidak dapat dibarui. Di sini ada
kebutuhan untuk menentang irama eksploitasi
yang membahayakan ketersediaan beberapa
sumber daya alam, baik untuk saat ini maupun
untuk masa yang akan datang.
Secara tegas ASG menggariskan agar segala
kegiatan ekonomi mesti menghormati lingkungan.
Sistem ekonomi yang menghormati lingkungan
hidup tidak akan menempatkan maksimalisasi
keuntungan sebagai satu-satunya tujuannya,
karena perlindungan atas lingkungan hidup
tidak dapat dijamin semata-mata berdasar pada
perhitungan finansial menyangkut biaya dan laba.144

Di sini harus ada keseimbangan antara usaha


pembangunan ekonomi dengan kebutuhankebutuhan perlindungan lingkungan hidup.
Setiap kegiatan ekonomi yang mendayagunakan
sumber-sumber daya alam mesti juga peduli
untuk melindungi lingkungan hidup. Untuk
144 Kompendium Ajaran Sosial Gereja, op. cit., p. 323.
142

Mengapa Gereja (Harus!) Tolak Tambang?

itu ASG berharap agar kekuatan pasar tidak


terlalu mendominasi sistem ekonomi. Sebab
menurut ASG, lingkungan hidup adalah salah
satu harta milik yang tidak dapat dilindungi atau
dikembangkan secara memadai oleh kekuatan
pasar.145
3.4.3.4. Perlunya Menghargai Masyarakat Adat
Terkait dengan usaha menjaga keutuhan
ciptaan, ASG juga berusaha memberikan
perlindungan terhadap masyarakat adat dari
kepentingan industri/ekonomi. Sebab menurut
ASG, hubungan suku-suku pribumi dengan tanah
serta sumber daya merupakan sebuah ungkapan
yang hakiki tentang jati diri mereka.146 Dengan
demikian, perlindungan terhadap masyarakat adat
penting dilakukan sebab kepentingan industri
termasuk pertambangan sering kali sangat kuat
mengusir mereka dari tanah mereka sendiri yang
merupakan simbol jati diri mereka. Oleh karena
itu, berhadapan dengan investasi ekonomi yang
145 Yohanes Paulus II, Centesimus Annus, Artikel 40, op. cit.,
pp. 54-55.
146 Kompendium Ajaran Sosial Gereja, op. cit., p. 324.
Benny Denar

143

semakin masif, hak-hak suku pribumi mesti tetap


dilindungi sewajarnya.
Bahkan menurut ASG, suku-suku pribumi
menyajikan teladan tentang satu kehidupan yang
dilakoni dalam keselarasan dengan lingkungan
hidup yang telah mereka kenal dengan sangat baik
dan telah mereka pelihara pula.147 Pengalaman
mereka yang luar biasa itu, yang merupakan
sumber daya yang tak tergantikan bagi semua
umat manusia, terancam risiko akan punah
jika arah pengembangan masyarakat tetap tidak
memperhatikan secara wajar masyarakat pribumi
dan lingkungan hidup mereka.
3.4.3.5. Dibutuhkan Solidaritas Global
Secara khusus dalam Ensiklik Centesimus Annus,
Paus Yohanes Paulus II mengingatkan masalah
lingkungan hidup dan ekologi yang kian berat. Kritik
tajam telah dilontarkan terhadap sikap manusia dalam
memanfaatkan kekayaan alam yang begitu serakah.
Menurut Yohanes Paulus II, manusia seharusnya
menjadi kolaborator dengan Tuhan dalam karya
147 Ibid.
144

Mengapa Gereja (Harus!) Tolak Tambang?

penciptaan dan bukannya mengganti kedudukan


dan peran Tuhan. Dalam hal ini, Yohanes Paulus II
menekankan pentingnya tanggung jawab manusia
dalam memperlakukan alam ciptaan.
Terkait pandangan Yohanes Paulus II tersebut,
Bernard J. Przewosny menunjukkan enam pandangan
Yohanes Paulus II tentang masalah ekologi.148 Pertama,
menurut Yohanes Paulus II, seluruh keberadaan
kosmos saling bergantung. Ketergantungan tersebut
seharusnya membuat semua orang sadar bahwa
sejatinya masalah ekologi adalah masalah global.
Kedua, sumber-sumber alam jumlahnya amat
terbatas dan terdapat sejumlah sumber alam yang
tidak dapat diperbarui. Oleh karena itu, dituntut agar
manusia tidak begitu serakah menggunakan sumbersumber alam yang langkah dan sebagian tidak dapat
diperbarui tersebut.
Ketiga, kekayaan alam milik bersama seluruh
umat manusia. Oleh karena itu, tidak pernah
dibenarkan memonopoli penggunaannya sekadar
untuk akumulasi kekayaan. Penggunaan sumber
daya alam mesti juga mempertimbangkan
148 William Chang, Moral Lingkungan Hidup, op. cit., p. 50.
Benny Denar

145

kebutuhan manusia lain termasuk mereka yang


menjadi generasi mendatang. Keempat, masih
terkait dengan masalah alam ciptaan, Yohanes
Paulus II menekankan bahwa manusia bebas untuk
mengalami perkembangan secara manusiawi.
Manusia termasuk mereka yang hidup sebagai
suku-suku asli tidak boleh diinstrumentalisasi
dan diusir dari keutuhan hidup mereka. Kelima,
masalah demografi adalah masalah rumit. Artinya,
perluasan demografi bukan hanya menimbulkan
perendahan lingkungan, tetapi juga menyebabkan
bertambahnya kelaparan di dunia. Dengan
demikian, masalah demografi juga menjadi salah
satu penyebab utama masalah-masalah ekonomi.
Keenam, menurut Yohanes Paulus II, krisis ekologi
adalah masalah moral yang seharusnya sanggup
mendorong kesetiakawanan baru di antara seluruh
umat manusia yang berdiam di planet ini.
3.5. FENOMENA PENDERITAAN MENURUT
ASG

Penjelasan seputar ASG termasuk prinsipprinsip yang terkandung di dalamnya, juga


terkait perhatian ASG terhadap lingkungan
146

Mengapa Gereja (Harus!) Tolak Tambang?

hidup sanggup mengangkat ke permukaan Etika


Kristiani seputar pengembangan masyarakat dan
lingkungan hidup. Secara umum ASG memberi
petunjuk perihal pentingnya membela martabat
manusia, menghargai hak-hak asasinya, juga
menjamin kebebasan beragama. Selain itu, ASG
juga mengingatkan pentingnya peran negara dalam
menjamin kesejahteraan umum. Selanjutnya, ASG
juga menuntut adanya solidaritas antara sesama
ciptaan. ASG mendukung partisipasi dan kerja
sama di dalam kelompok dan antarkelompok
dalam masyarakat. Semua pandangan ASG
tersebut mengerucut pada kehendak ASG dalam
etika pengembangan masyarakat, yaitu pentingnya
keberpihakan kepada kaum miskin dan menderita.
Sedangkan terkait alam ciptaan, ASG menekankan
pentingnya tanggung jawab manusia dalam
mengelola lingkungan hidup. Penulis coba
menunjukkan beberapa kesimpulan terutama yang
berkaitan dengan konsep penderitaan menurut
ASG yang kiranya bisa menjadi dasar bagi etika
pengembangan masyarakat yang akan ditawarkan
dan dijalankan oleh Gereja Keuskupan Ruteng
nantinya.
Benny Denar

147

3.5.1. Manusia Sebagai Citra Allah


Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya
bahwa Gereja Katolik melihat manusia sebagai
citra Allah. Jrgen Moltmann memberikan
pendasaran mengapa manusia disebut sebagai citra
Allah sebagai berikut:
What constitutes the human beings likeness to
God? The answers which theological tradition
has given to this question may be briefly summed
up as follows. 1. According to the analogy of
substance, the soul (which is the human beings
reasonable and volitional nature) is the seat of
human likeness to God, for it is immortal, and
similar to the divine nature. 2. According to the
analogy of form, it is the human beings upright
walk and his upward glance. 3. According to
the analogy of proportionality, the likeness is to
be found in mans lordship over the earth, since
this corresponds to Gods general lordship over
the world. 4. According to analogy of relation,
finally, if consists in the community of man and
wife, which corresponds on the fellowship of God
within the Trinity. We find the starting point
for all this answers in the phenomenon human
being. They all begin with characteristics which
with distinguish the human being from animals,
and interpret what ever is specifically human
about men and woman in religious terms as their
148

Mengapa Gereja (Harus!) Tolak Tambang?

likeness to Godlikeness to God then means the


human beings general relationship to God, which
distinguishes him from animals.149

Manusia memiliki martabat yang sama yang


harus dihargai. Oleh karena manusia adalah
citra Allah dan merupakan ciptaan-Nya yang
paling sempurna, maka tindakan merendahkan
martabat manusia dapat dimaknai sebagai upaya
untuk merendahkan Allah sendiri. Di sini ada
tuntutan agar manusia tidak pernah boleh
diinstrumentalisasi. Sebab instrumentalisasi atau
objektivikasi dapat mengakibatkan penderitaan
dalam diri manusia yang tentu tidak dikehendaki
oleh Allah sendiri. Terkait perhatian kepada sesama
ini, Konstitusi Pastoral Gaudium et Spes menulis;
Beranjak kepada konsekuensi-konsekuensi praktis
yang cukup mendesak, Konsili menekankan sikap
hormat terhadap manusia sehingga setiap orang
wajib memandang sesamanya, tak seorang pun
terkecualikan, sebagai dirinya yang lain, terutama
mengindahkan perihidup mereka beserta upayaupaya yang mereka butuhkan untuk hidup secara
149 Jrgen Moltmann, God in Creation: A New Theology of
Creation and the Spirit of God, Terj. Margareth Kolh, (New
York: Fortress Press, 1993), pp. 219-220.
Benny Denar

149

layak, supaya jangan meniru orang yang sama


sekali tidak mempedulikan Lazarus yang miskin
itu (Luk 16:19-31). Terutama pada zaman kita
ini mendesak kewajiban menjadikan diri sendiri
sebagai sesama bagi setiap orang, siapa pun dia
itu, dan bila ia datang, adalah wajib melayaninya
secara aktif, entah ia itu orang yang lanjut usia
yang sebatang kara, entah tenaga kerja asing yang
dihina tanpa alasan, entah seorang perantau, atau
anak yang lahir dari hubungan haram dan tidak
sepatutnya menderita karena dosa yang tidak
dilakukannya, atau orang lapar yang menyapa
hati nurani kita seraya mengingatkan sabda
Tuhan, Apa pun yang kamu jalankan terhadap
salah seorang dari saudaraku yang hina ini, kamu
perbuat terhadap Aku (Mat 25:40).150

Menurut ASG, martabat manusia pada


hakikatnya sama dan sederajat. Ia merupakan
gambar dan citra Allah sendiri. Semua manusia
sama-sama telah ditebus Kristus dan mengemban
panggilan dan tujuan ilahi yang sama. Ini tidak
berarti ASG tidak mengakui perbedaan-perbedaan
aktual yang memang ada di antara manusia, seperti
adanya perbedaan kemampuan fisik, intelektual,
dan moral. Namun menurut ASG perbedaan150 Dokumen Konsili Vatikan II, GS Artikel 27, op. cit., p. 553.
150

Mengapa Gereja (Harus!) Tolak Tambang?

perbedaan itu tidak boleh dijadikan modal atau


alasan bagi munculnya diskriminasi.
Memang karena pelbagai kemampuan fisik
maupun kemacamragaman daya kekuatan
intelektual dan moral tidak dapat semua orang
disamakan. Akan tetapi, setiap cara diskriminasi
dalam hak-hak asasi pribadi, entah bersifat sosial,
entah budaya, berdasarkan jenis kelamin, suku,
warna kulit, kondisi sosial, bahasa atau agama,
harus diatasi dan disingkirkan karena bertentangan
dengan maksud Allah.151

3.5.2. Dosa Sebagai Sumber Penderitaan


Gereja Katolik melihat sumber utama
penderitaan adalah dosa manusia sendiri, entah
dosa dari orang menderita itu sendiri atau dosa
dari orang lain yang menyebabkan dia menderita.
Kisah kunci dalam Kitab Suci Perjanjian Lama
misalnya, mengangkat salah satu tema utama, yaitu
pengalaman kejatuhan dan pembuangan yang
dialami umat Israel yang diyakini sebagai akibat
dosa penyelewengan mereka terhadap Yahwe.
Pengaruh dosa itu pun masih tetap berlangsung

151 Artikel 29, Ibid., p. 55.


Benny Denar

151

sampai sekarang ini. Terkait hal tersebut, Gaudium


et Spes artikel 37 menulis; Sebab seluruh sejarah
manusia sarat dengan perjuangan sengit melawan
kekuasaan kegelapan. Pergulatan itu mulai sejak
awal dunia dan menurut amanat Tuhan tetap
berlangsung hingga hari kiamat.152
Terhadap
pengaruh
dosa
yang
berkesinambungan itu, manusia diminta untuk
terus melawan dosa dengan cara bertahan dalam
kebaikan dan menjauhi dosa itu. Sebab ASG
amat meyakini bahwa segala kegiatan manusia
yang ditopang oleh dosa, seperti kesombongan
dan cinta diri pasti akan mendatangkan bahaya.
Oleh karena itu, dalam Gaudium et Spes artikel
37 ditegaskan agar manusia berhati-hati terhadap
berbagai bentuk kemajuan terutama yang amat
potensial melahirkan dosa.
Oleh sebab itu, seraya mengakui bahwa kemajuan
manusiawi memang dapat menunjang kebahagiaan
manusia yang sejati, Gereja Kristus percaya akan
rencana Sang Pencipta, tidak dapat lain kecuali
menggemakan pesan Rasul Paulus: Janganlah
kamu menjadi serupa dengan dunia ini (Rm
152 Artikel 37, Ibid., p. 564.
152

Mengapa Gereja (Harus!) Tolak Tambang?

12:2), artinya dengan semangat kesia-siaan dan


kejahatan yang mengubah kegiatan insani
sebenarnya dimaksudkan untuk mengabdi kepada
Allah dan manusia menjadi alat dosa.153

3.5.3. Perlunya Solidaritas dengan Mereka


yang Menderita
Terhadap fenomena penderitaan, Gereja
Katolik mengajarkan pentingnya perhatian,
belas kasih dan solidaritas antarsesama manusia,
terutama terhadap mereka yang benar-benar
menderita. Di sini solidaritas Kristus yang rela
menghampakan diri-Nya menjadi manusia dan
menderita menjadi teladan kunci bagi solidaritas
kristiani. Berkaitan dengan itu, Gereja juga melihat
sumbangan kunci dari orang-orang miskin dalam
teologi kristiani, yakni bahwa keadaan mereka itu
menjelaskan keadaan kelemahan bawaan dalam
diri manusia dan tentang pentingnya keselamatan.
Inilah salah satu ajaran kunci Gereja Katolik.
Mengingat teladan Kristus dan peran penting
kaum miskin, maka Gereja mewajibkan dirinya
untuk melaksanakan hukum cinta kasih terutama
153 Artikel 37, Ibid.
Benny Denar

153

kepada kaum miskin, seperti yang diajarkan dan


diteladankan Kristus sendiri. Oleh karena itulah
Gereja Katolik amat menekankan pentingnya
praksis iman, yakni mempraktikkan ajaran iman
dalam praksis hidup harian melalui tindakan yang
benar dan adil, juga melalui solidaritas kepada
mereka yang miskin dan menderita.
Dalam aneka ragam bentuknya kekurangan
material,
ketidakadilan
dan
penindasan,
penyakit jasmani dan rohani dan akhirnya
kematian penderitaan manusiawi adalah bukti
nyata tentang keadaan kelemahan bawaan dan
perlunya keselamatan, di dalam mana manusia
menemukan dirinya sendiri sebagai akibat dosa
asal. Karena itu, ia menggerakkan kerahiman
Kristus, Penebus, yang hendak menanggung
penderitaan ini dan mengidentikkan diri dengan
saudaranya yang paling hina. Karena itu, Gereja
mengarahkan pandangan kepada mereka semua
yang memprihatinkan itu dengan cinta utama.
Gereja yang sejak awal tanpa memperhitungkan
kelemahan dari banyak anggotanya, bekerja tanpa
henti-hentinya, supaya membantu, membela dan
membebaskan yang tertindas. Ia melakukan itu
melalui karya amal yang tidak terhitung jumlahnya
yang masih dibutuhkan selalu dan di mana-mana.154
154 Katekismus Gereja Katolik, Artikel 2448, op. cit., p. 617.
154

Mengapa Gereja (Harus!) Tolak Tambang?

3.5.4. Butuh Intervensi Ilahi


Terkait konsep tentang keselamatan dan
pembebasan dari penderitaan, Gereja Katolik
mengajarkan bahwa keselamatan dan kebebasan
itu pertama-tama harus diperjuangkan sekarang
di dunia, tetapi di pihak lain, keselamatan itu
akhirnya hanya bisa diberikan oleh Tuhan sendiri
ketika Dia datang kembali pada akhir zaman.
Usaha yang dapat dilakukan di dunia adalah
dengan menjauhi dosa, berbuat baik dan terusmenerus memperbarui diri atau bertobat. Selain
itu umat Kristen juga diminta untuk memiliki
pengharapan bahwa Tuhan akan membebaskan
mereka dari berbagai bentuk dosa dan penderitaan
serta memberikan keselamatan kekal di sisi-Nya
pada hari akhirat. Jadi Gereja Katolik memiliki
pandangan yang realistis tentang keselamatan dan
pembebasan. Maksudnya dunia dan manusia yang
rusak karena dosa tidak bisa diubah secara radikal
dan diselamatkan oleh manusia sendiri, tetapi
membutuhkan intervensi ilahi.155
155
Menurut Yohanes Paulus II, dalam Yesus Kristus
penderitaan dikalahkan oleh kasih. Bdk. Yohanes Paulus
II, Surat Apostolik Salvifici Doloris, Terj. J. Hadiwikarta,
Benny Denar

155

Pandangan Kristen yang realistis tentang


pembebasan dan keselamatan di atas patut
digarisbawahi terutama untuk melihat posisi Gereja
dalam mengusahakan pengembangan masyarakat.
Pesan kunci yang bisa ditarik dari realisme Kristen
ini adalah bahwa di satu pihak Gereja menghargai
upaya-upaya oleh siapa pun untuk mengalahkan
kemiskinan dan ketidakadilan, namun di pihak lain
Gereja juga bersikap hati-hati terutama terhadap
berbagai posisi ideologis dan keyakinan mesianik
yang menyokong ilusi bahwa ada kemungkinan
untuk mengentaskan masalah kemiskinan
seluruhnya dari dunia ini.156 Oleh karena itulah
Gereja terus menyatakan keyakinannya bahwa
keselamatan dan pembebasan manusia dari
penderitaan dan kemiskinan hanya akan terjadi
pada kedatangan kembali Kristus, tatkala Ia
sekali lagi akan ada beserta manusia ciptaan-Nya
untuk selama-lamanya.157 Untuk itulah, Gereja

(Jakarta: Departemen Dokumentasi dan Penerangan


KWI, 1993), pp. 25-34.
156 Kompendium Ajaran Sosial Gereja, op. cit., p. 124.
157 Georg Kirchberger, Allah Menggugat, op. cit., pp. 292-293.
156

Mengapa Gereja (Harus!) Tolak Tambang?

mengajarkan bahwa kaum miskin tetap selalu


dipercayakan kepada kita dan itulah tanggung
jawab kita. Perhatian kita terhadap kaum miskin
menjadi salah satu penentu yang menentukan
posisi kita tatkala kita dihakimi pada akhir zaman
(Mat 25:31-46).
3.5.5. Menghargai Inisiatif Dari Bawah
Dalam kaitan dengan usaha pengembangan
manusia atau masyarakat, Gereja Katolik
mencita-citakan model pengembangan manusia
menyeluruh dan seutuhnya. Gereja menghendaki
agar keselamatan itu mencakupi keseluruhan
aspek hidup manusia baik jasmani maupun
rohani, juga menyangkut segala bidang kehidupan
seperti politik, ekonomi, budaya, pendidikan,
dan lingkungan hidup.158 Oleh karena itulah
maka kegiatan misi dalam Gereja Katolik selalu
bersifat menyeluruh, mencakup keseluruhan
aspek kehidupan manusia termasuk budayanya.
Agar mencapai maksud itu maka Gereja amat
menekankan prinsip partisipasi, yakni agar semua

158 Ibid.
Benny Denar

157

orang terlibat mengurus kepentingan orang lain


dan bukan hanya pemegang otoritas saja. Sebab
menurut ASG, prinsip partisipasi menjamin baik
pribadi maupun masyarakat untuk bersama-sama
peduli dan terlibat memberikan kontribusinya
yang beragam bagi pemenuhan kesejahteraan
umum.159 Partisipasi memperlihatkan keberadaan
manusia sebagai makhluk pribadi dan sosial.
Dalam partisipasi, keunikan pribadi tidak hilang
dalam kebersamaan dan kebersamaan tidak tunduk
pada individualitas.
Selain prinsip partisipasi, amat diperlukan
juga prinsip subsidiaritas, sebab dengan prinsip
subsidiaritas, maka partisipasi dari kalangan bawah
dalam menentukan sendiri dan dalam kehidupan
bersama akan lebih besar. Orang-orang atau
kelompok yang secara langsung terkena dampak
dari suatu keputusan atau kebijakan memiliki
peran dalam pengambilan keputusan atau
kebijakan tersebut. Prinsip subsidiaritas menjamin
pelibatan masyarakat kelas bawah dalam setiap
159 Dokumen Konsili Vatikan II, GS Artikel 75, op. cit., pp.
626-628.
158

Mengapa Gereja (Harus!) Tolak Tambang?

pengambilan keputusan yang akibatnya dirasakan


oleh masyarakat kelas bawah itu.160 Pesan kunci
dari amanat ASG ini sebenarnya menegaskan
salah satu etika pengembangan masyarakat yang
dipegang teguh oleh Gereja Katolik, yakni model
pengembangan masyarakat dengan inisiatif dari
bawah. Dengan etika pengembangan masyarakat
seperti ini, Gereja pada hakikatnya mengakui
semua kearifan lokal. Oleh karena itulah teologi
kristiani selalu ingin bersifat kontekstual yang pada
intinya ingin mengindahkan konteks-konteks
lokal yang terjadi.
3.6. KESIMPULAN

Dilihat dari segi latar belakang kemunculannya


dan berbagai prinsip dasar yang dibawanya, terlihat
bahwa ASG memiliki nada dasar yang spesial, yakni
perhatian terhadap kaum miskin, menderita, dan
para korban ketidakadilan. Oleh karena itu, ASG
menyerukan kepada semua pihak termasuk institusi
negara (pemerintah) untuk lebih peduli terhadap
160 Yohanes Paulus II, Centesimus Annus, Artikel 48, op. cit.,
pp. 64-66.
Benny Denar

159

kaum menderita dan agar segala kebijakan sedapat


mungkin tidak memunculkan para penderita
baru. Martabat manusia termasuk martabat dari
para penderita harus menjadi titik tolak segala
kebijakan publik. Dalam kaitan dengan lingkungan
hidup, ASG menolak keserakahan manusia dalam
setiap bentuknya termasuk dalam wujud sistem
ekonomi kapitalis dan peradaban teknokrasi yang
cenderung merusakkan lingkungan hidup serta
mengorbankan keadilan sosial.
Nada dasar ASG tersebut menurut penulis
amat sesuai dengan etika pembangunan yang
menekankan penderitaan sebagai basis etis atau
titik tolak pengembangan masyarakat. Dalam etika
pembangunan seperti ini terdapat tuntutan agar
menjadikan manusia yang konkret dengan segala
penderitaannya sebagai pusat dari pembangunan.
Di sini terkandung implikasi lain, yakni pilihan
untuk mendahulukan orang yang menderita.
Ketika orientasi pembangunan menempatkan
manusia konkret dengan segala penderitaannya
sebagai titik tolak, maka muncul tuntutan
etis lain, yakni menempatkan rakyat sebagai
160

Mengapa Gereja (Harus!) Tolak Tambang?

subjek pembangunan. Semua tuntutan etis ini


mendalilkan suatu tuntutan implikatif lain, yakni
agar segala kebijakan pembangunan yang berusaha
mengejar tujuannya tidak boleh menyebabkan
penderitaan dalam bentuk lain.

Benny Denar

161

BAB IV

KORPORASI TAMBANG
SEBAGAI PENAMPAKAN RIIL
KAPITALISME NEOLIBERAL
DI MANGGARAI BARAT

alam uraian di bab terdahulu, penulis


telah membuat pembuktian bahwa nada
dasar perjuangan ASG memiliki kesamaan visi
dan orientasi dengan etika pembangunan yang
menempatkan penderitaan sebagai titik tolak
pembangunan. Pendekatan inilah yang menjadi
acuan utama bagi penulis dalam membuat analisis
terkait keterlibatan Gereja Keuskupan Ruteng dalam
persoalan seputar pertambangan di Kabupaten
Manggarai Barat. Dalam Bab IV ini, penulis akan
membuat deskripsi perihal polemik pertambangan
162

di Manggarai Barat yang pada intinya bermaksud


untuk membuat pembuktian bahwa investasi
pertambangan yang dilakukan merupakan bagian
dari ideologisasi pertumbuhan dan karena itu
justru mengorbankan atau membebani biaya-biaya
manusiawi (fisik dan makna). Dengan kata lain,
penulis ingin menunjukkan bahwa pertambangan
di Manggarai Barat bukannya menghilangkan
atau paling kurang mengurangi penderitaan,
tetapi justru menyebabkan penderitaan yang kian
bertambah.
4.1. GAGASAN UMUM SEPUTAR
PERTAMBANGAN

4.1.1. Pengertian
Secara umum pertambangan dimengerti
sebagai suatu proses menggali cadangan bahan
tambang yang berada dalam tanah secara
sistematik dan terencana untuk mendapatkan
produk yang dapat dipasarkan.161 Dengan kata
161 h t t p% 3 A % 2F %2F p eng er ti a n- d efini si .bl ogspot.
com%2F2012%2F02%2F, diakses pada 28 September
2014.
Benny Denar

163

lain, pertambangan merupakan suatu proses


pengambilan endapan galian berharga dan bernilai
ekonomis dari dalam kulit bumi, baik secara
mekanis maupun manual, pada permukaan bumi
dan di bawah permukaan bumi.162 Hasil kegiatan
pertambangan, antara lain minyak dan gas bumi
(migas), biji mangan, biji emas, perak, batu bara,
pasir besi, biji timah, biji nikel, biji bauksit, biji
tembaga, dan granit.
Sejarah
mencatat
bahwa
kegiatan
pertambangan di Indonesia sudah dimulai
sejak zaman penjajahan Belanda. Perusahaan
Billiton (Billiton Maatschappij) yang didirikan
pada awal tahun 1852 merupakan perusahaan
yang mengeksploitasi mineral. Selain itu, ada
Royal Dutch yang didirikan pada tahun 1892.
Perusahaan-perusahaan inilah yang mengawali
sejarah pengeksplorasian dan pengeksploitasian
migas di Indonesia. Perubahan dari sistem tanam
paksa yang bertujuan mengurangi investasi
162 http://www.google.co.id/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&s
ource=web&cd=7&ved=0CE8QFjAG&url=http%3A%
2F%2Fwww.bangazul.com%2Fpengertian-dan-jenis-p,
diakses pada 10 Oktober 2014.
164

Mengapa Gereja (Harus!) Tolak Tambang?

modal kepada kolonialisme liberal sebagai


pengaruh kemenangan Partai Liberal di Belanda
mempengaruhi penerapan sistem ekonomi Belanda
yang berbau liberal di Indonesia. Perubahan ini
mendorong investasi modal dan kredit dari bankbank mulai mengalir dan mengusahakan usahausaha ekonomi yang membutuhkan modal besar,
seperti pertambangan.
Pasca-kemerdekaan, kegiatan menambang
mulai berlangsung secara masif di Indonesia
terutama sejak berkuasanya Orde Baru. Hal
ini dipengaruhi oleh berbagai peraturan yang
memungkinkan modal asing masuk berinvestasi di
Indonesia. Maka tidak heran, dari zaman kolonial
Belanda sampai sekarang, Indonesia menjadi
tempat penyedia bahan mentah yang diekspor
untuk perusahaan-perusahaan multinasional di
luar negeri. Indonesia selalu ingin menunjukkan
dirinya sebagai negara pengekspor bahan mentah
terbaik bagi negara-negara Eropa, Amerika, dan
Jepang, terutama bahan-bahan mineral yang
berorientasi ekspor seperti emas. Sebagai contoh,
dari sebesar 142,2 ribu kg total produksi emas
Benny Denar

165

pada tahun 2002, sebanyak 73 persennya diekspor


ke luar negeri.163
4.1.2. Tahap-Tahap Kegiatan Pertambangan
Sesuai dengan penjelasan tentang pengertian
pertambangan di atas, pertambangan terjadi dalam
sebuah aliran proses secara bertahap.164 Pertama,
tahap prospeksi atau penyelidikan umum. Dalam
tahap ini, biasanya pengusaha tambang melalui tim
teknisnya melakukan penyelidikan dan pencarian
untuk menemukan bagian endapan bahan galian
atau mineral berharga yang ingin digali. Tujuan
utamanya adalah untuk mengetahui kondisi
geologi regional, termasuk menemukan adanya
indikasi mineral yang ingin ditambang.
Kedua, eksplorasi. Setelah diketahui adanya
indikasi mineral, maka selanjutnya akan dilakukan
kegiatan eksplorasi untuk mengetahui informasi
yang lebih teliti perihal lokasi, ukuran, bentuk,
posisi, dimensi, kadar rata-rata dan besarnya

163 Salamudin, Penjajahan dari Lubang Tambang, (Malang:


In-TRANS Publishing, 2011), pp. 38-39.
164 UU No. 4 Tahun 2009.
166

Mengapa Gereja (Harus!) Tolak Tambang?

cadangan mineral yang ada. Ketiga, studi


kelayakan. Setelah mengetahui bahwa di sebuah
lokasi terdapat potensi mineral atau batu bara dan
sebelum sebuah perusahaan melakukan eksploitasi
atasnya, maka perusahaan bersangkutan wajib
melakukan studi kelayakan untuk mengetahui
apakah lokasi itu layak dilakukan penambangan
atau tidak. Studi kelayakan ini penting terutama
untuk mendapatkan informasi secara terperinci
tentang kelayakan ekonomis dan teknis usaha
pertambangan dimaksud, termasuk melakukan
analisis terkait dampak lingkungan serta
perencanaan pasca-tambang. Baru setelah
melakukan studi kelayakan, kegiatan operasi
produksi boleh dilakukan.
Keempat, eksploitasi atau operasi produksi.
Dalam tahap ini dilakukan kegiatan konstruksi,
penambangan, pengolahan dan pemurnian,
termasuk
pengangkutan
dan
pemasaran.
Konstruksi yang dimaksudkan dalam tahap ini
merupakan tahap pembangunan seluruh fasilitas
operasi produksi termasuk perangkat pengendalian
dampak lingkungan. Sementara penambangan
Benny Denar

167

merupakan bagian inti di mana sebuah perusahaan


melakukan produksi mineral atau batu bara.
Untuk meningkatkan mutu dari mineral atau
batu bara tersebut biasanya akan dilakukan
pengolahan dan pemurnian. Jika sudah diolah atau
dimurnikan maka bahan tambang tersebut sudah
bisa dipasarkan.
Kelima, reklamasi. Yang dimaksudkan
dengan kegiatan reklamasi ini adalah usaha untuk
menata, memulihkan, dan memperbaiki kualitas
lingkungan di daerah pertambangan agar dapat
berfungsi kembali sesuai peruntukanya selanjutnya.
Kegiatan ini sepatutnya dilakukan selama proses
penambangan berlangsung.
Keenam, pemulihan pascatambang. Kegiatan
ini dilakukan secara terencana, sistematis, dan
berkelanjutan setelah akhir dari sebagian atau
seluruh usaha penambangan. Inti kegiatan dalam
proses ini adalah memulihkan kembali fungsi
lingkungan alam yang telah dirusakkan akibat
pertambangan serta melakukan pemulihan fungsi
sosial kemasyarakatan menurut konteks sosial di
wilayah atau daerah pertambangan dimaksud.
168

Mengapa Gereja (Harus!) Tolak Tambang?

Sebagai perbandingan bisa dibaca dalam bagan


tahap-tahap pertambangan berikut!165

4.1.3. Dampak-Dampak Pertambangan


Pertambangan tentu sangat penting untuk
kehidupan manusia. Namun, di sisi lain
165 http://ilmugeologitambang.com/arti-atau-pengertiantambang-dan-pertambangan.html/tahapan-kegiatantambang, diakses pada 25 Januari 2015.
Benny Denar

169

pertambangan juga bisa menimbulkan berbagai


dampak negatif tidak hanya bagi manusia, tetapi
juga terhadap alam ciptaan. Penulis menampilkan
beberapa dampak positif dan negatif dari industri
pertambangan sebagai bahan acuan pembahasan
buku ini selanjutnya.
4.1.3.1. Dampak Positif166
4.1.3.1.1. Dari Sisi Ekonomi dan Sumber Daya
Manusia
Industri pertambangan apabila dikelola
dengan baik dan transparan tentu saja dapat
memajukan pertumbuhan perekonomian suatu
daerah atau negara. Sebab industri pertambangan
dapat menarik investasi baik lokal maupun
luar negeri yang tentu saja dapat meningkatkan
penerimaan daerah atau negara dari sektor pajak.
Hasil produksi tambang dapat digunakan untuk
memenuhi permintaan pasar domestik maupun
pasar internasional, sehingga hasil ekspor tambang
tersebut dapat meningkatkan pendapatan dan
166 h t t p % 3 A % 2 F % 2 F m i n e r i t y s r i w i j a y a . b l o g s p o t .
com%2F2012%2F12%2F, diakses pada 28 September
2014.
170

Mengapa Gereja (Harus!) Tolak Tambang?

pertumbuhan ekonomi negara.


Bagi masyarakat, industri pertambangan
juga berdampak secara sistemik pada segi
ekonomi masyarakat suatu daerah baik secara
langsung maupun tidak langsung sebab industri
pertambangan tentu saja dapat menciptakan
lapangan kerja. Dengan adanya lapangan kerja,
maka pendapatan masyarakat akan semakin
meningkat dan angka pengangguran semakin
berkurang. Namun, hal ini sangat bergantung
pada kesiapan masyarakat sendiri sehingga bisa
dipekerjakan di industri pertambangan dimaksud.
Apabila tidak, masyarakat hanya akan menjadi
pekerja kasar dari industri itu, sedangkan tenaga
utamanya didatangkan dari daerah lain atau
bahkan dari luar negeri.
4.1.3.1.2. Menyiapkan Kebutuhan Energi
Hingga saat ini dunia masih mengandalkan
industri pertambangan sebagai pemasok utama
energi. Oleh karena itu, industri pertambangan
sebagai sumber utama energi pasti secara langsung
akan berdampak pada peningkatan dan pemenuhan
permintaan pasokan energi di suatu negara.
Benny Denar

171

Sebagai contoh, penambangan bahan galian


batu bara yang umumnya digunakan sebagai bahan
bakar pembangkit listrik tentunya akan mampu
meningkatkan pasokan energi listrik di suatu
daerah dikarenakan ketersediaan bahan bakar yang
besar bagi pembangkit listrik, Pembangkit Listrik
Tenaga Uap (PLTU) khususnya. Bahkan, adanya
kegiatan pertambangan batu bara yang cukup
besar akan merangsang investasi pendirian PLTU
pada daerah di sekitar penambangan batu bara
sehingga kebutuhan energi daerah tersebut dapat
dipenuhi.
4.1.3.1.3. Pertambangan Dapat Memacu
Pembangunan
Orientasi dari kegiatan pertambangan tentu
saja untuk memacu pembangunan ekonomi dari
suatu daerah atau negara. Selalu diandaikan bahwa
pembangunan di daerah tempat berlangsungnya
kegiatan pertambangan akan berkembang pesat
sejalan dengan kegiatan pertambangan itu sendiri.
Pembangunan infrastruktur pendukung kegiatan
penambangan, misalnya, tentu akan memicu
peningkatan pembangunan di daerah tersebut.
172

Mengapa Gereja (Harus!) Tolak Tambang?

Dampak lanjutannya adalah pertambangan


itu sendiri akan merangsang pembangunan
perusahaan-perusahaan pengguna dari bahan
tambang
tersebut.
Perusahaan-perusahaan
tersebut akan berimbas secara berkelanjutan
terhadap pemenuhan kebutuhan infrastruktur
sosial seperti tempat ibadah, fasilitas-fasilitas
ekonomi berupa perbankan dan pasar, serta
sarana pendidikan. Selain itu, masyarakat juga
bisa mendapat kemudahan dalam pembangunan
sebagai pemenuhan tanggung jawab sosial (social
responsibility) dari industri-industri yang ada.
Semua itu tentu akan mengarah kepada semakin
meningkatnya kesejahteraan masyarakat.
4.1.3.2. Dampak Negatif
4.1.3.2.1. Terhadap Lingkungan Hidup
Kegiatan pertambangan di mana pun rentan
menimbulkan kerusakan lingkungan hidup.167
167 Berdasarkan data yang didapat dari Harian Kompas,
ditemukan bahwa sekitar 70 % kerusakan lingkungan
di Indonesia akhir-akhir ini justru disebabkan oleh
operasi pertambangan yang terjadi secara masif di
hampir seluruh wilayah Indonesia, termasuk di wilayah
Propinsi NTT yang rawan bencana. Bdk. http://regional.
Benny Denar

173

Apabila tidak dikelola dengan baik, pertambangan


dapat menyebabkan kerusakan lingkungan dalam
bentuk pencemaran air, tanah, dan udara. Dalam
waktu yang relatif singkat pertambangan dapat
mengubah bentuk topografi dan keadaan muka
tanah (land impact), sehingga dapat mengubah
keseimbangan sistem ekologi bagi daerah
sekitarnya. Pertambangan yang dilakukan tanpa
mengindahkan keselamatan kerja dan kondisi
geologi lapangan dapat menimbulkan tanah
longsor, ledakan dan keruntuhan tambang serta
gempa.
Pertambangan juga dapat menyebabkan
perubahan bentang alam dan krisis air. Hal ini
disebabkan oleh penggalian di lokasi tambang
yang akan merusakkan hutan termasuk sumbersumber mata air. Permukaan tanah dikupas
dan digali menjadi lubang-lubang raksasa yang
kompas.com/read/2012/09/28/17313375/70.Persen.
Kerusakan.Lingkungan.akibat.Operasi.Tambang. Ulasan
lain mengenai dampak negatif pertambangan terhadap
lingkungan hidup dapat dilihat dalam: http://www.
wedaran.com/6165/dampak-negatif-pertambanganterhadap-lingkungan-hidup/. Bdk. , diakses pada 22
Januari 2015
174

Mengapa Gereja (Harus!) Tolak Tambang?

mengakibatkan hilangnya keanekaragaman hayati.


Akibatnya kemampuan tanah untuk menyerap dan
menahan air menjadi berkurang. Padahal industri
pertambangan sendiri sangat rakus air. Sementara
itu, pertambangan di dekat aliran sungai atau laut
akan menyebabkan limbah tambang yang asam
dan beracun merusak ekosistem serta sumber
daya pesisir dan laut. Selanjutnya kerusakankerusakan lingkungan yang terjadi dan juga zat-zat
beracun dari industri pertambangan menyebabkan
munculnya berbagai penyakit dan mengganggu
kesehatan manusia.168 Sampai di sini dapat
dilihat bahwa di satu sisi, industri pertambangan
memberikan manfaat terhadap perekonomian
domestik, membuka lapangan kerja secara
nasional dan regional, serta mengembangkan
unit-unit ekonomi di sekitar kawasan tambang.
Namun, di sisi lain, pembukaan kawasan hutan
yang dimulai dari penebangan hingga penggalian
dan pembuangan limbah hasil tambang telah
mengubah lahan dan merusak ekosistem setempat.
168 Parameter Pencemaran Udara dan Dampaknya Terhadap
Kesehatan, www.depkes.go.id, diakses pada 28 Oktober
2014.
Benny Denar

175

Reklamasi lahan bekas tambang tidak akan mampu


mengembalikan keadaan semula. Setidaknya
akan tetap tersisa wilayah dengan lubang bekas
tambang.169
4.1.3.2.2. Terhadap Ekonomi Masyarakat
Kerusakan lingkungan yang ditimbulkan oleh
adanya industri pertambangan tentu saja akan amat
berpengaruh terhadap perekonomian masyarakat.
Industri pertambangan akan menyebabkan
rusaknya lahan perkebunan dan pertanian mereka.
Apalagi dalam jangka waktu yang panjang,
lahan kritis bekas wilayah tambang sangat sulit
dikembalikan lagi sesuai fungsi awalnya. Sementara
itu, orang yang menggantungkan hidupnya dari
hasil-hasil laut juga pasti dirugikan sebab limbah
pertambangan kerap mematikan ekosistem
laut. Sangat jelas bahwa industri pertambangan
menyebabkan banyak orang kehilangan lahan
pekerjaannya.
Pertambangan
menyebabkan
kekayaan alam dan lingkungan yang seharusnya
169 JATAM, Catatan Akhir Tahun 2012, Sektor Pertambangan
Indonesia Kejahatan Terhadap Keselamatan Rakyat, 28
Desember 2012.
176

Mengapa Gereja (Harus!) Tolak Tambang?

diperuntukkan bagi semua orang, telah dimonopoli


dan dirusakkan oleh keserakahan segelintir orang
yang terus mengejar keuntungan pribadi.170
Di pihak lain, terdapat kecenderungan
terjadinya pola hidup konsumtif-materialistik
pada masyarakat di sekitar daerah industri
pertambangan.
Hal
ini
ditandai
oleh
ketergantungan luar biasa pada ekonomi uang
kontan/tunai karena semua kebutuhan mereka
telah terintegrasi pada sistem pasar. Masyarakat
mengalami pemiskinan secara masif karena tidak
lagi memiliki jaminan hidup dari tanahnya sendiri.
Pola pemiskinan model inilah yang menyebabkan
sulitnya melakukan advokasi tolak tambang di
daerah pertambangan. JPIC (Justice, Peace, and
Integration Creation) Gereja, misalnya, sering
dicibir oleh orang yang pro-tambang karena tidak
sanggup memberi uang tunai kepada masyarakat
setempat. Berbeda dengan perusahaan tambang
yang langsung memberi masyarakat uang. Namun,
sebenarnya inilah model pemiskinan paling masif
170 Bob Goudzwaard dan Harry de Lange, Di Balik Kemiskinan
dan Kemakmuran, (Yogyakarta: Kanisius, 1998), p. 25.
Benny Denar

177

karena membuat masyarakat menggantungkan


hidupnya kepada investor. Masyarakat diakali
sehingga masuk dalam mekanisme pasar yang
justru menempatkan mereka pada posisi tawar
lemah berhadapan dengan kekuatan korporasi.
4.1.3.2.3. Terhadap Aspek Sosial dan Budaya
Masyarakat Lokal
Industri pertambangan juga amat berdampak
buruk terhadap kebudayaan masyarakat lokal.
Hal ini disebabkan oleh perubahan masif yang
ditimbulkan akibat industri pertambangan
di suatu tempat. Salah satu akibat besar yang
ditimbulkan adalah lenyapnya daya ingat sosial
(social memory). Generasi baru yang lahir setelah
tambang beroperasi, akan mewarisi tata nilai
dan sosial baru yang merupakan dampak operasi
tambang dan bukan tata nilai yang semula dimiliki
masyarakat setempat.
Rontoknya tatanan sosial dan ikatan
kekeluargaan
antarwarga
menyebabkan
perpecahan, persengketaan, dan bahkan ke taraf
konflik yang mengarah kepada usaha melenyapkan
eksistensi mereka sendiri satu sama lain. Di sisi lain,
178

Mengapa Gereja (Harus!) Tolak Tambang?

mekanisme resolusi konflik tradisional yang telah


hidup lama dalam masyarakat tidak lagi dijadikan
kontrol dalam kehidupan sosial. Masyarakat
tercabut dari realitas sosial dan kulturalnya sendiri
yang membuat mereka seolah menjadi orang
asing di tanah leluhur mereka. Perasaan terusir
dari lingkungannya sendiri, ketidakmampuan
untuk ikut menikmati hasil bumi yang dipijaknya,
dampak ekonomi dan sosial yang tidak selalu
positif, semuanya menjadi dampak yang harus
ditanggung oleh masyarakat.171
4.1.3.2.4. Terhadap Institusi Politik
Investasi pertambangan apalagi yang
melibatkan perusahaan-perusahaan transnasional
juga memungkinkan rontoknya kelembagaan
politik. Kelembagaan politik digantikan oleh tata
kelembagaan yang patuh kepada kepentingan
korporasi. Hal ini pada gilirannya menyebabkan
lenyapnya ruang aspirasi dan partisipasi warga
dalam pengambilan keputusan politik. Pemerintah
171 Komisi Keadilan, Perdamaian dan Pastoral MigranPerantau KWI, Animasi Keadilan dan Perdamaian,
(Jakarta: KWI, 2008), p. 35.
Benny Denar

179

termasuk para elit politik lebih berperan sebagai


perpanjangan tangan dari para investor tambang
daripada menjadi pengurus kesejahteraan rakyat.
Proses politik selanjutnya hanya menjadi ajang
legitimasi sosial bagi beroperasinya tambang di
tanah-tanah milik warga.
Dalam kasus praktis, ambruknya kelembagaan
politik tersebut dapat terbaca dari kemudahan
atau proteksi yang dilakukan pemerintah terhadap
perusahaan tambang. Hal ini, misalnya, terlihat
dari perusahaan tambang yang bisa seenaknya
meminta bantuan pemerintah untuk menggunakan
alat negara (polisi, tentara, dan lain-lain) guna
mengintimidasi masyarakat. Sementara di pihak
lain, pemerintah membiarkan perusahaan tambang
melakukan ketidakadilan terhadap pemilik lahan,
juga terhadap masyarakat yang terkena dampak dari
aktivitas pertambangan. Lebih parah lagi, dengan
berkolusi dengan perusahaan tambang, pemerintah
sebenarnya sedang menjual murah rakyatnya
sendiri, atau menjual daerah, bangsa dan negaranya.172
172 Benny Denar, Marsel Agot dan Perjuangan Keutuhan
Ciptaan, Opini dalam Flores Pos, 22 Januari 2014.
180

Mengapa Gereja (Harus!) Tolak Tambang?

4.2. MONSTER TAMBANG MENGANCAM


MASA DEPAN MANGGARAI BARAT

4.2.1. Profil Singkat Kabupaten Manggarai


Barat
4.2.1.1. Catatan Historis: Telaah Singkat
Menuju Manggarai Barat
Rentetan catatan historis perihal Manggarai
Barat secara garis besar dapat dipetakan dalam
tiga bagian. Pertama, Manggarai sebagai sebuah
wilayah otonom dengan sistem pemerintahan
lokal.173 Perangkat-perangkat sistem pemerintahan
lokal tradisional Manggarai ini dikenal dengan
tua golo, tua teno, lingko, dan mbaru gendang/
tembong. Tua golo adalah perangkat tertinggi
yang mengepalai pemerintahan kampung yang
bisa terdiri dari satu atau lebih suku di dalamnya.
Tua golo dibantu oleh tua teno yang berfungsi
mengurus pembagian lingko (tanah garapan). Di
setiap kampung terdapat mbaru gendang (rumah
173 Bandingkan dengan artikel yang ditulis oleh W. van
Bekkum, Terdesaknya Kekuasaan Asli Manggarai Oleh
Pengaruh Goa dan Bima dalam W. van Bekkum, Sejarah
Manggarai, diterjemahkan oleh Mikhel Agus di Ruteng
pada 26 Januari 1975, pp. 1-10.
Benny Denar

181

adat) yang menjadi simbol kampung tersebut


sekaligus menjadi tempat berlangsungnya acaraacara adat.
Sistem pemerintahan lokal di Manggarai
menempatkan tua golo sebagai perangkat tertinggi
yang mengepalai sebuah kampung. Sistem
pemerintahan lokal seperti ini masih hidup dan
dipraktikkan di kampung-kampung, kecuali
di kampung-kampung di wilayah Kedaluan
Nggorang. Kampung-kampung di wilayah
Kedaluan Nggorang langsung dikepalai oleh dalu.
Dengan demikian, terlihat jelas bahwa nenek
moyang orang Manggarai sebenarnya berasal dari
banyak keturunan dan salah satunya dari Sulawesi
Selatan. Hal ini sekaligus mempertegas kesalahan
dalam mereduksi keberagaman asal orang
Manggarai yang membuat kesimpulan seolah-olah
nenek moyang orang Manggarai hanya berasal dari
Minangkabau saja.174
Kedua, Manggarai dalam sejarah penaklukan.
Tiga kekuatan luar yang pernah menoreh sejarah
penaklukan yaitu Goa, Bima, dan Belanda. Analisis
174 Ibid.
182

Mengapa Gereja (Harus!) Tolak Tambang?

linguistik Toda berkaitan dengan pergeseran


sistem pemerintahan menemukan bahwa kata dalu
kemungkinan berasal dari kata datu yang berarti
raja di masa Kerajaan Luwu (Bugis). Kata datu
ini diadopsi dan mengalami pergeseran bunyi
dalam bahasa Manggarai menjadi kata dalu.
Demikianpun kata gelarang yang berasal dari kata
gallarang yang berarti penguasa kecil dalam tradisi
Kerajaan Goa-Tallo.175
Pada tahun 1907 Belanda mulai mengontrol
Manggarai secara langsung. Belanda tidak
meninggalkan pengaruh apa-apa selain sejarah
penjajahan. Pada tahun 1924, Belanda mengangkat
Bagung menjadi raja pertama Manggarai. Bagung
menjadi raja sampai tahun 1930. Selanjutnya
raja-raja yang menyusul memerintah masyarakat
Manggarai, yaitu Aleksander Baruk (1931-1945)
dan Konstantinus Ngambut (1945-1958).
Ketiga, Manggarai dalam sistem pemerintahan
dan birokrasi modern. Pergantian kepemimpinan
raja Ngambut oleh Karolus Hambur (1958-1967)
175 Bdk. Adi M. Nggoro, Budaya Manggarai Selayang Pandang,
(Ende: Nusa Indah, 2006), pp. 26-28.
Benny Denar

183

tidak lagi dalam sistem kerajaan tetapi Karolus


Hambur menjadi bupati pertama di Manggarai.
Selanjutnya, rezim Orde Baru 1968-1998
melahirkan Bupati Frans Sales Lega (1968-1978),
Frans Dula Burhan (1978-1988), Gaspar Ehok
(1988-1998).176 Pergantian rezim Orde Baru oleh
Reformasi kemudian menggantikan Bupati Ehok
oleh Anton Bagul Dagur. Pada masa pemerintahan
Bupati Bagul inilah Manggarai Barat dibentuk
dan terpisah secara administratif dari Kabupaten
Manggarai.
Kabupaten Manggarai Barat dibentuk
berdasarkan UU No. 8 Tahun 2003 tentang
Pembentukan Kabupaten Manggarai Barat di Provinsi
Nusa Tenggara Timur.177 Bupati pertama Manggarai
Barat hasil Pilkada pada tanggal 27 Juni 2005 adalah
W. Fidelis Pranda (2005-2010). Kemudian pada
Pilkada tahun 2010 terpilih Agustinus CH Dula
sebagai Bupati sampai tahun 2015.
176 Ibid., pp. 18-19.
177 Bdk. Pemerintah Kabupaten Manggarai Barat, Dokumen
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD)
2005-2010, (Labuan Bajo: Pemda Manggarai Barat,
2005), p. 5.
184

Mengapa Gereja (Harus!) Tolak Tambang?

4.2.1.2. Kondisi Geografis


Secara geografis, posisi Kabupaten Manggarai
Barat terletak antara 0814 LS - 0900 LS dan
antara 11921 BT - 12020 BT. Batas-batas
wilayah administratifnya, yaitu sebelah selatan
dengan Laut Sawu, sebelah utara dengan Laut
Flores, sebelah barat dengan Selat Sape dan sebelah
timur dengan wilayah Kabupaten Manggarai.
Wilayah Kabupaten Manggarai Barat merupakan
daerah kepulauan dengan luas daratan 2.947,50
km2 atau hanya sekitar 6,22 % dari luas daratan
Provinsi Nusa Tenggara Timur. Manggarai
mencakup sebagian kecil daratan Pulau Flores
dan beberapa pulau besar seperti Pulau Komodo,
Rinca, Longos, serta beberapa buah pulau kecil
lainnya.
Suhu udara rata-rata di Manggarai Barat
berkisar antara 24,40 C sampai dengan 29,30 C.
Kelembaban udara bervariasi antara 67 % sampai
dengan 86 %. Ada tiga jenis tanah yang terdapat
di Kabupaten Manggarai Barat, yaitu mediteran,
litosol, dan latosol. Tanah mediteran meliputi areal
seluas 1.334,21 km2 atau 31,85 %, tanah litosol
Benny Denar

185

seluas 1.504,25 km2 atau 35,91 %, dan tanah


latosol seluas 109,00 km2 atau 2,6 % dari luas
wilayah Manggarai Barat.
Dipandang dari aspek topografis, sebanyak
675,87 km2 atau 16,13 % memiliki ketinggian
kurang dari 100 m di atas permukaan air
laut; sementara 1.413,33 km2 atau 33,74 %
berketinggian 100-500 m dan sisanya 95,19 km2
atau 2,27 % berketinggian di atas 500 m. Sejak
tahun 2011 jumlah kecamatan di Kabupaten
Manggarai Barat bertambah dari 7 menjadi 10
kecamatan, terdiri dari Kecamatan Komodo,
Boleng, Sano Nggoang, Mbeliling, Lembor,
Welak, Lembor Selatan, Kuwus, Ndoso, dan
Macang Pacar. Dari 121 desa/kelurahan yang
ada, terdapat 23 desa yang secara geografis letak
wilayahnya dikategorikan sebagai desa/daerah
pantai atau pesisir. Sedangkan 98 desa lainnya
merupakan desa bukan pesisir. Dari 10 kecamatan
yang ada di Manggarai Barat ada lima kecamatan
yang mempunyai desa pesisir, yaitu Kecamatan
Komodo, Boleng, Sano Nggoang, Lembor Selatan,
dan Macang Pacar. Sedangkan lima kecamatan
186

Mengapa Gereja (Harus!) Tolak Tambang?

sisanya, yaitu Kecamatan Mbeliling, Lembor,


Welak, Kuwus, dan Ndoso tidak mempunyai desa
yang berada di wilayah pesisir.178
4.2.1.3. Keadaan Iklim dan Geologi
Secara umum, iklim di Kabupaten Manggarai
Barat terdiri dari dua jenis, yaitu di daerah
pegunungan cenderung basah dan di kawasan
pantai cenderung kering. Curah hujan rata-rata
1.905,22 mm/tahun. Di Manggarai Barat pada
umumnya terjadi dua musim, yaitu musim kering
yang berlangsung antara bulan Mei sampai bulan
September dan musim hujan yang berlangsung
antara bulan Oktober sampai bulan April.179
Sementara itu, kondisi geologi Kabupaten
Manggarai Barat cukup kompleks. Pada umumnya,
satuan geologi yang ditemukan dibagi menjadi
empat jenis, yaitu intermediate basic (basah
178 Bdk. Badan Pusat Statistik Kabupaten Manggarai Barat,
Manggarai Barat dalam Angka 2012, (Labuan Bajo: BPS
Manggarai Barat, 2012), p. 4.
179 Bdk. Pemerintah Kabupaten Manggarai Barat, Dokumen
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD)
2011-2015 (Labuan Bajo: Pemda Manggarai Barat, 2011),
p. 11.
Benny Denar

187

menengah), neogen, alluvidum deposited dan coral


reff (alluvium rendah dan coral), serta silific efusives
(efusives berasam kesik). Jenis batuan logam yang
telah diketahui adalah emas, timah hitam, mangan,
dan pasir besi. Sedangkan jenis bahan galian nonlogam antara lain toseki, tras, lempung, marmer,
batu gamping, fosil, kayu, dan bentonit.180
4.2.1.4. Keadaan Demografis
Jumlah penduduk di Manggarai Barat mengalami
peningkatan menjadi 215.545 jiwa pada tahun 2009
dari tahun 2008 yang berjumlah 209.962 jiwa. Pada
tahun 2010 meningkat menjadi 224.861 jiwa dan
tahun 2011 menjadi 229.860 jiwa. Pada tahun 2012
jumlah penduduk Manggarai Barat menjadi 234.235
jiwa dan tahun 2013 menjadi 263.773 jiwa. Data ini
menunjukkan tren pertumbuhan jumlah penduduk
Manggarai Barat yang kian cepat dengan angka
kelahiran yang cukup tinggi. Selain karena angka
kelahiran, peningkatan jumlah penduduk Kabupaten
Manggarai Barat juga disebabkan oleh tingginya
angka perpindahan penduduk dari daerah lain yang

180 Ibid.
188

Mengapa Gereja (Harus!) Tolak Tambang?

masuk menjadi warga Kabupaten Manggarai Barat,


terutama di Kota Labuan Bajo.
Persoalan krusial berkaitan dengan penduduk
tersebut adalah berkaitan dengan mutu dan tingkat
pendidikan. Secara keseluruhan, mutu pendidikan
Kabupaten Manggarai Barat masih di bawah rata-rata.
Apalagi sarana dan prasarana penunjang pendidikan
masih cukup terbatas. Selain itu, angka putus sekolah
masih tinggi. Hal ini menyebabkan Sumber Daya
Manusia (SDM) masih rendah dan kurang berdaya
saing. Maka tidak heran yang menguasai pasar
tenaga kerja di Kabupaten Manggarai Barat justru
berasal dari luar daerah. Faktor-faktor seperti inilah
yang membuat angka kemiskinan yang masih sangat
tinggi.181 Data BPS tahun 2011 menunjukkan angka
rumah tangga miskin di Manggarai Barat mencapai
29.703 keluarga, dengan perincian; 4.131 keluarga
yang digolongkan sangat miskin, 5.939 keluarga
dinyatakan miskin, 2.870 keluarga yang hampir
miskin, dan 16.763 keluarga yang digolongkan
rentan miskin.182 Supaya lebih jelas penulis
181 Ibid., p. 70.
182 Bdk. Badan Pusat Statistik Kabupaten Manggarai Barat,
Benny Denar

189

menunjukkan tabel Indeks Pembangunan Manusia


(IPM)183 Manggarai Barat berikut!184
Manggarai Barat dalam Angka 2012, op. cit., p. 365.
183
Indeks Pembangunan Manusia (IPM) atau dalam
bahasa Inggrisnya Human Development Index (HDI)
merupakan tolok ukur untuk mengukur pencapaian hasil
dari pembangunan suatu daerah atau wilayah dalam 3
dimensi dasar pembangunan yaitu: (1) lamanya hidup, (2)
pengetahuan/tingkat pendidikan, dan (3) standar hidup
layak. IPM dikembangkan oleh seorang pemenang nobel
India, Amartya Sen, dan seorang ekonom Pakistan Mahbub
ul Haq, serta dibantu oleh Gustav Ranis dari Yale University
dan Lord Meghnad Desai dari London School of Economics
pada tahun 1990. Sekali lagi, komponen pembentuk
indikator IPM ada 3 yaitu: Angka Harapan Hidup, Angka
Melek Huruf atau Lama Sekolah, serta Pengeluaran
Perkapita. Angka harapan hidup adalah perkiraan lama hidup
rata-rata penduduk menurut umur. Angka ini adalah angka
pendekatan yang menunjukkan kemampuan untuk bertahan
hidup lebih lama. Standar UNDP besarnya adalah 25 < x >
85 (minimal 25 tahun dan maksimal 85 tahun). Rata-rata
lama sekolah adalah rata-rata jumlah tahun yang dihabiskan
oleh penduduk berusia 15 tahun ke atas untuk menempuh
semua jenis pendidikan formal yang pernah dijalani.
Indikator ini dihitung dari variabel pendidikan tertinggi yang
ditamatkan dan tingkat pendidikan yang sedang diduduki.
Standar UNDP adalah minimal 0 tahun dan maksimal 15
tahun. Sedangkan pengeluaran perkapita adalah PDB riil
perkapita yang telah disesuaikan untuk menggambarkan daya
beli masyarakat dari suatu daerah atau negara. Bdk. http://
bappeda.purworejokab.go.id/index.php?option=com_con
tent&view=article&id=49&Itemid=17. Lihat juga: http://
ipsgampang.blogspot.com/2014/09/indeks-pembangunanmanusia-dan.html, diakses pada 20 Maret 2015.
184
190

Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten


Mengapa Gereja (Harus!) Tolak Tambang?

Klasifikasi
(1)
Angka Harapan Hidup
(Tahun)
Rata-Rata Lama Sekolah
(Tahun)
Angka Melek Huruf
(Persen)
Pengeluaran Riil
Perkapita Disesuaikan
(Rp. 000)
Indeks Pembangunan
Manusia (IPM)

2011
(2)
66,6

2012
(3)
66,84

2013
(4)
66,84

6,6

6,58

6,87

90,5

92,46

93,04

593,7

596,02

598,49

66,09

66,84

67,38

4.2.1.5. Sektor-Sektor Unggulan


Untuk melihat polemik pertambangan secara
lebih komprehensif, maka penulis merasa perlu
untuk menampilkan gambaran umum mengenai
sektor-sektor produksi yang menjadi sektor-sektor
unggulan di Kabupaten Manggarai Barat. Namun,
penulis hanya menyebutkan beberapa yang
representatif.

Manggarai Barat, diunduh dari http://manggaraibaratkab.


bps.go.id/?hal=publikasi_detil&id=64, diakses pada 3
Maret 2015.
Benny Denar

191

4.2.1.5.1. Pertanian
Walaupun secara umum Propinsi NTT
sering distigmatisasi sebagai daerah gersang dan
terbelakang, namun dalam kenyataan potensi
pertaniannya tidaklah kecil. Salah satu daerah di
NTT yang memiliki potensi pertanian yang cukup
besar adalah Manggarai Barat. Selain memproduksi
tanaman perdagangan, seperti cengkeh, fanili,
kopi, kemiri, jambu mete, Kabupaten Manggarai
Barat juga menghasilkan tanaman pangan, seperti
padi, jagung, ubi-ubian, kedelai, kacang tanah,
kacang hijau, dan lain-lain.185 Bahkan persawahan
Lembor pernah dinobatkan sebagai salah satu
lumbung padi di NTT. Pada tahun 2013 jumlah
petani mencapai 62.311 orang atau 63,75 % dari
keseluruhan jumlah penduduk Manggarai Barat.
Jadi, secara umum pertanian menjadi salah
satu sektor utama di Manggarai Barat dan memiliki
potensi yang cukup bagus, bukan hanya karena
185 Bandingkan Statistik Pertanian Kabupaten Manggarai
Barat Tahun 2014, dalam laporan/data dari Badan Pusat
Statistik Kabupaten Manggarai Barat, diunduh dari
http://manggaraibaratkab.bps.go.id/?hal=publikasi_
detil&id=64, diakses pada 3 Maret 2015.
192

Mengapa Gereja (Harus!) Tolak Tambang?

lahannya yang luas tetapi juga karena iklim dan


ketersediaan air yang mendukung. Dengan modal
potensi seperti itu dan ditambah dengan anggaran
pembangunan yang mendukung, niscaya sektor
pertanian dapat menjadi salah satu jalan utama
menuju kesejahteraan.186
4.2.1.5.2. Kelautan dan Perikanan
Luas wilayah perairan laut yang sebesar
6.052,50 km2 menjadikan sektor perikanan dan
kelautan sebagai sektor yang sangat penting
dalam meningkatkan perekonomian Manggarai
Barat. Data yang bersumber dari Dinas Kelautan
dan Perikanan Kabupaten Manggarai Barat
menunjukkan bahwa dari tahun 2005 sampai
dengan tahun 2013 produksi ikan (terutama
ikan air laut) meningkat. Produksi ikan air laut
pada tahun 2005 sebesar 3.019,29 ton kemudian
meningkat menjadi 11.397,38 ton pada tahun
2006. Pada tahun 2007 produksi meningkat
menjadi 23.552,30 ton, kemudian pada tahun
2008 juga meningkat menjadi 28.105,00 ton.

186 Cypri Jehan Paju Dale, op. cit., pp. 130-131.


Benny Denar

193

Pada tahun 2011 produksi ikan meningkat


34.785,66 ton, tahun 2012 menjadi 46.183,76
ton dan pada tahun 2013 menjadi 46.320,18
ton dengan jumlah rumah tangga perikanan laut
mencapai 2.669 keluarga, sedangkan jumlah
semua nelayan mencapai 7.564 orang. Produksi
terbesar bersumber dari perairan laut Kecamatan
Komodo.
Selain produksi ikan laut, Manggarai Barat
juga ternyata memiliki produksi ikan darat
walaupun jumlahnya relatif kecil. Pada tahun 2011
produksi ikan darat mencapai 14,77 ton, tahun
2012 mencapai 13,55 ton dan pada tahun 2013
mencapai 13,50 ton.187 Selain memproduksi ikan,
keadaan wilayah laut di Manggarai Barat dengan
garis pantai yang cukup panjang dan didukung
sinar matahari sepanjang tahun, menjadikan
Manggarai Barat sebagai daerah dengan potensi
garam yang luar biasa.

187 Bandingkan Statistik Pertanian Kabupaten Manggarai


Barat Tahun 2014, dalam laporan/data dari Badan Pusat
Statistik Kabupaten Manggarai Barat, diunduh dari
http://manggaraibaratkab.bps.go.id/?hal=publikasi_
detil&id=64, diakses pada 3 Maret 2015.
194

Mengapa Gereja (Harus!) Tolak Tambang?

4.2.1.5.3. Pariwisata Sebagai Sektor Utama


Pariwisata merupakan salah satu sektor
unggulan di Kabupaten Manggarai Barat. Potensi
wisata Manggarai Barat berupa wisata alam,
wisata budaya, dan wisata bahari. Tercatat ada 68
tempat yang menjadi obyek wisata di Manggarai
Barat. Aset-aset wisata ini sanggup menarik minat
wisatawan untuk berkunjung ke Labuan Bajo
dan tempat-tempat lainnya di Manggarai Barat.188
Apalagi setelah Komodo dinobatkan sebagai salah
satu dari tujuh keajaiban dunia pada tahun 2013
lalu. Bahkan pada tahun 2013, pemerintah pernah
menyelenggarakan event pariwisata raksasa yang
disebut Sail Komodo, dengan anggaran 3,7 triliun
rupiah. Tema Sail Komodo waktu itu, yakni; Sail
Komodo, Jembatan Emas Menuju Nusa Tenggara
188 Sejak tahun 2009 jumlah wisatawan yang berkunjung ke
Manggarai Barat, terutama ke Komodo terus mengalami
peningkatan. Pada tahun 2009 terdapat 36.000
wisatawan, meningkat menjadi 45.000 wisatawan pada
2010. Sekitar 95 persen di antaranya wisatawan asing.
Pada tahun-tahun setelahnya, sekurang-kurangnya ada
50.000 wisatawan yang berkunjung ke Komodo setiap
tahunnya. Ada kecenderungan kunjungan wisatawan
selalu meningkat. Bdk. http://edukasi.kompas.com/
read/2011/11/26/03420011/Percepat.Pengembangan.
Labuan.Bajo, diakses pada 3 Maret 2015.
Benny Denar

195

Timur Menjadi Destinasi Wisata Dunia, tentu


saja menegaskan keberadaan Manggarai Barat
sebagai daerah kunci pariwisata NTT.
Penjelasan di atas menunjukkan dengan jelas
potensi pariwisata di Manggarai Barat yang luar
biasa. Apabila dikelola dan dipromosi lebih baik
akan berkembang menjadi leading sektor yang
menghidupkan sektor-sektor lain seperti sektor
pertanian, perkebunan, perhotelan, perdagangan,
dan lain sebagainya. Sebagai contoh, jumlah
kunjungan wisatawan yang menggunakan jasa
perhotelan terus meningkat. Jumlah tamu yang
menginap di hotel pada triwulan IV tahun 2014
di Manggarai Barat adalah sebanyak 18.580
tamu. Pada hotel berbintang sebanyak 8.748
tamu dan pada hotel tidak berbintang sebanyak
9.832 tamu. Jumlah tamu mancanegara sebanyak
8.351 tamu dan jumlah tamu nusantara sebanyak
10.229 tamu. Dalam kurun waktu yang sama,
secara keseluruhan rata-rata lama menginap tamu
pada hotel berbintang (2,07 hari) lebih lama
dibandingkan tamu yang menginap pada hotel

196

Mengapa Gereja (Harus!) Tolak Tambang?

tidak berbintang (1,42 hari).189


Antusiasme wisatawan berkunjung ke
Manggarai Barat tentu saja menjadi peluang
untuk sektor-sektor lain, seperti sektor pertanian,190
kerajinan tangan, jasa transportasi, kuliner dan
lain sebagainya. Dengan peluang seperti inilah
maka tidak diragukan lagi bahwa sektor pariwisata
Manggarai Barat merupakan industri baru yang
mampu mempercepat pertumbuhan ekonomi
dan penyediaan lapangan kerja, peningkatan
penghasilan, standar hidup serta menstimulasi
sektor-sektor produktif lainnya. Jadi sektor
pariwisata dapat diandalkan menjadi salah satu
sektor kunci untuk kesejahteraan masyarakat.
Tentu saja hal ini perlu didukung oleh sistem
189 Bandingkan Berita Resmi Statistik Kabupaten Manggarai
Barat Triwulan IV Tahun 2014, No.01/02/5315/Th. IV,
dikeluarkan 2 Februari 2015.
190 Cypri Jehan Paju Dale coba membuat perhitungan
mendetail bagi potensi pertanian memiliki keterkaitan
dengan sektor pariwisata. Ada yang disebut sebagai
tourism related agriculture dan ada yang disebut sebagai
agro-tourism. Intinya kemajuan sektor pariwisata akan
membantu meningkatkan penghasilan petani, pengusaha
restoran dan sebagainya. Juga bagaimana lahan pertanian
sendiri bisa dijadikan sebagai objek wisata. Bdk. Cypri
Jehan Paju Dale, op. cit., pp. 132-135.
Benny Denar

197

pengelolaannya yang maksimal dan efektif.


4.2.1.5.4. Pertambangan dan Energi
Usaha pertambangan masih didominasi oleh
pertambangan bahan galian C. Sementara galian
A dan B masih bersifat potensi yang tersebar
dan belum dimanfaatkan. Bahan-bahan mineral,
seperti emas, seng, tembaga, mangan, dan marmer
tersebar di Kecamatan Komodo, Sano Nggoang,
Kuwus, dan Macang Pacar. Potensi pertambangan
tersebut bisa dilihat dalam tabel Inventaris Potensi
Pertambangan di Manggarai Barat berikut!

198

Mengapa Gereja (Harus!) Tolak Tambang?

Benny Denar

199

Komodo

No Kecamatan

Emas

Toseki

Probable: (m3)
Hasil pemetaan
O p t i m a l : semi mikro Dinas
934.735.416
Pe r t a m b a n g a n
M a k s i m a l : Propinsi
NTT
1.870.000.000
tahun 1996/1997

Jumlah Cadangan Sumber

Probable: (m3)
Hasil pemetaan
O p t i m a l : semi Mikro Dinas
13.365.000
Pe r t a m b a n g a n
M a k s i m a l : Propinsi
NTT
22.500.000
tahun 1996/1997
Loh Mbongi
Hasil Inventarisasi
dan Sirimese
D i n a s
Pe r t a m b a n g a n
dan Energi Kab.
Manggarai tahun
2003

Tanjung Batu
Putih, Pungi
Besar
dan
Pungi Kecil

Jenis Bahan Lokasi


Galian
Marmer
W a t u
Nggelek,
Nggorang,
G u n u n g
Wangga dan
Wae Lakang

Sedang
dilakukan
penyelidikan umum
oleh PT. Aneka
Tambang Tbk dan
PT. Selatan Arc
Mineral

Marmer
memiliki
mutu yang baik
sebagai batu ornamen.
Sebarannya
tidak
menentu, tidak dapat
dipisahkan secara tegas
dari batuan asalnya,
yaitu gamping.
Toseki yang ada
mempunyai tingkat
alterasi yang belum
merata.

Keterangan

200

Mengapa Gereja (Harus!) Tolak Tambang?

Pasir Besi

Tras

M a c a n g Marmer
Pacar

Lembor

Hasil Inventarisasi
Dinas Pertambang
an dan Energi Kab.
Manggarai tahun
2003
P a n t a i
Hasil survei Dinas
Mberenang
Pe r t a m b a n g a n ,
Dinas Kehutanan
dan Lingkungan
Hidup Kabupaten
Manggarai Barat
Bari
Probable: (m3)
Hasil pemetaan
O p t i m a l : Semi Mikro Dinas
72.074.377
Pe r t a m b a n g a n
M a k s i m a l : Propinsi
NTT
120.833.333
tahun 1996/1997

Beci

Marmer dengan mutu


yang baik, hanya
warnanya cenderung
gelap, abu-abu kehijau
an.
Keberadaannya
berasosiasi
dengan
dengan gamping se
hingga penambangan
harus dilakukan secara
selektif.

Benny Denar

201

Kuwus

Tras

Golo Welu

Nggilat, Naga
Acu,
dan
Metang

Mangan

Hasil Survei Dinas


Pe r t a m b a n g a n ,
Kehutanan
dan
Lingkungan Hidup
Probable: (m3)
Hasil pemetaan
O p t i m a l : Semi Mikro Dinas
124.701.250
Pe r t a m b a n g a n
M a k s i m a l : Propinsi
NTT
209.895.833
tahun 1996/1997

dan Probable: (m3)


Hasil pemetaan
O p t i m a l : Semi Mikro Dinas
2.122.502.500
Pe r t a m b a n g a n
Maksimal:
Propinsi
NTT
34.496.666.667 tahun 1996/1997

Nangka
Loger

Gamping

Tras memiliki mutu


rendah karena butirbutir andesit. Terdapat
di daerah pemukiman
padat penduduk.
Tidak menguntung
kan jika dilakukan
penambangan.

Gamping
dengan
mutu standar industri.
Akan sangat baik
digunakan
sebagai
bahan baku industri.
Baik pula digunakan
untuk kapur tohor
atau bahan pengganti
pondasi.

202

Mengapa Gereja (Harus!) Tolak Tambang?

Dahang

Wera, Purek
dan Tuwa

Timbal Te h o n g ,
( T i m a h Waning, Kalo
H i t a m ) dan Metang
dan Seng

Bentonit

Hasil eksplorasi
yang
dilakukan
oleh Direktorat
Inventarisasi
Mineral Bandung,
2006
Hasil penyelidikan
umum PT. Aneka
Tambang dalam
kerja sama dengan
JOCMEG Jepang
Hasil penyelidikan
umum oleh PT.
Sumber Jaya Asia

Benny Denar

203

T i m a h Wae Jare
Hitam

S a n o P a n a s Wae Sano
Nggoang
Bumi

Terduga:
Mega Watt
Terukur:
Mega Watt

Hasil Penyelidikan
Umum oleh PT.
Sumber Jaya Asia

33 Hasil Pengeboran
Tingkat Eksplorasi
3-5 oleh Direktorat
Inventarisasi
Mineral Bandung

Terdapat lapangan
fumarola, solfatara
dan air panas sebagai
sumbernya
yang
muncul di dalam
danau. Panas danau
mencapai 960 derajat
celcius.

Sumber: Laporan Evaluasi Program Masyarakat Lingkar Tambang di Manggarai (JPIC SVD Ruteng) Dioses
Ruteng (Projetct No: 416-004-1028

4.2.2. Polemik Seputar Pertambangan di


Manggarai Barat
4.2.2.1. Riwayat Kehadiran Pertambangan di
Manggarai Barat
Sesuai uraian yang telah penulis paparkan
sebelumnya bahwa Kabupaten Manggarai Barat
adalah salah satu kabupaten dengan potensi bahan
tambang yang cukup melimpah dengan jenis yang
bervariasi. Oleh karena potensi itulah, maka banyak
investor telah terlibat dalam melakukan penjajakan
agar dapat berinvestasi pada sektor pertambangan
di Manggarai Barat. Namun, izin resmi untuk
mulai melakukan eksplorasi baru dikeluarkan
pada masa kepemimpinan Bupati Wilfridus Fidelis
Pranda. Izin pertama diberikan kepada PT. Aneka
Tambang pada tahun 2007 untuk melakukan
eksplorasi emas di Waning, Kecamatan Ndoso.
Walaupun selanjutnya menimbulkan resistensi dari
berbagai elemen masyarakat, namun Bupati Fidelis
Pranda tetap kukuh mengeluarkan cukup banyak
izinan yang semuanya berjumlah 10 izinan.191
191 Awalnya izinan tidak diketahui publik. Data ini baru
terungkap saat terjadi rapat dengar pendapat di gedung
204

Mengapa Gereja (Harus!) Tolak Tambang?

Ada beberapa argumentasi pokok yang


mendasari Bupati Fidelis Pranda ngotot untuk
terus mengeluarkan cukup banyak izinan.192
Pertama, Bupati Pranda tetap berpendirian bahwa
pertambangan sangat mendukung pembangunan,
yakni untuk kesejahteraan masyarakat. Kedua,
menurut Bupati Pranda kebijakan pertambangan
sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku,193 berbasis masyarakat dan berwawasan
DPRD Manggarai Barat pada 23 Juli 2009, ketika arus
penolakan (polemik) sudah mulai terjadi. Pada saat itu
Bupati Wilfridus Fidelis Pranda ditanya oleh seorang
anggota DPRD (Thobias Wanus) tentang waktu persisnya
aktivitas pertambangan di Manggarai Barat dimulai. Rapat
dihadiri oleh bupati dan unsur pemerintahan lainnya
termasuk Kepala Dinas Pertambangan (Yohanes Jinus),
para anggota DPRD Manggarai Barat, para anggota
Gerakan Masyarakat Anti Tambang (GERAM) dan
anggota masyarakat lainnya. Data ini diambil dari notulen
rapat dengar pendapat itu yang dicatat dan diposkan
oleh GERAM. Bdk. http://gerammabar.blogspot.
com/2009/07/pernyataan-bupati-mabar-dalam-rapat.
html, diakses pada 20 November 2013.
192 Bdk. Surat Bupati Manggarai Barat, Nomor DPE.540/202/
VII/2009, Perihal Kegiatan Eksplorasi Emas, dikeluarkan
di Labuan Bajo pada 7 Juli 2009, ditandatangani oleh
Wilfridus Fidelis Pranda sebagai bupati.
193 Ada cukup banyak produk Undang-Undang yang dijadikan
referensi oleh Fidelis Pranda untuk membenarkan
kebijakannya mengeluarkan izinan pertambangan. Fidelis
Benny Denar

205

lingkungan. Ketiga, kegiatan penambangan yang


dilakukan berdasarkan potensi dan pertimbangan
teknis dari berbagai sektor. Keempat, berbagai
penolakan yang dilakukan berbagai elemen
masyarakat termasuk yang dilakukan oleh kelompok
Gerakan Masyarakat Anti Tambang (GERAM)194
tidak dapat diterima karena alasan penolakan tersebut
tidak memiliki dasar-dasar pertimbangan yang kuat.
Argumentasi-argumentasi tersebut meyakin
kan Bupati Fidelis Pranda untuk tidak mengubah
kebijakannya. Kebijakan memberikan izinan
pertambangan baru terhenti ketika pasangan
Agustinus CH. Dula dan Maxi Gasa terpilih menjadi

Pranda bahkan menyebut Pancasila dan UUD 1945


sebagai dasar yuridis pertambangan. Sebagai contoh,
Fidelis Pranda sering mengutip pasal 33 UU 1945; Bumi,
air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya
dikuasai negara dan dipergunakan sebesar-besarnya bagi
kemakmuran rakyat. Maka bagi Fidelis Pranda menolak
pertambangan sama saja berarti menolak Pancasila dan
UUD 1945. Bdk. Fidelis Pranda, Kebijakan Investasi
Pertambangan, makalah dalam seminar di Labuan Bajo
pada 25 April 2009.
194 GERAM dibentuk pada tanggal 25 Mei 2009 di komunitas
St. Joseph Freinademetz, Labuan Bajo. Kelompok ini
beranggotakan tokoh agama, tokoh masyarakat, anggota
LSM yang semuanya peduli lingkungan hidup.
206

Mengapa Gereja (Harus!) Tolak Tambang?

bupati dan wakil bupati periode 2010-2015 lewat


Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pemilukada)
Manggarai Barat yang terjadi pada 3 Juni 2010.
Pasangan ini kemudian mengeluarkan arah
kebijakan yang tertuang dalam RPJMD 2010-2015
yang pada intinya menekankan arah pembangunan
Manggarai Barat yang ramah lingkungan. Bupati
pun mengeluarkan surat keputusan mengenai
pemberhentian sementara kegiatan pertambangan
Nomor: SDA.500/214/X/2010 yang ditujukan
ke para pemegang izin Kuasa Pertambangan (KP)
dan pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP)
untuk menghentikan segala bentuk kegiatan
pertambangan di Manggarai Barat.195 Dengan
surat ini Bupati Agustinus CH. Dula membekukan
semua izinan yang pernah dikeluarkan oleh bupati
sebelumnya sampai dengan batas waktu yang tidak
ditentukan. Bandingkan tabel Daftar Izin Usaha
Pertambangan atau Kuasa Pertambangan (IUP/
KP) yang pernah dikeluarkan pemerintah berikut!
195 Surat Keputusan Bupati Manggarai Barat, Peringatan
Kepada Para Pemegang Izin KP/IUP, dikeluarkan di
Labuan Bajo pada 2 Oktober 2010 dan ditandatangani
Bupati Manggarai Barat Agustinus CH. Dula.
Benny Denar

207

208

Mengapa Gereja (Harus!) Tolak Tambang?

PT. Aneka Tambang


Emas
DPELH: 197/KEP/
DMP
HK/2007
DPE.540/390/XII/2009
Tgl: 10/11/2007 10/11/
2010

No Nama Perusahan
Jenis
Tambang
Tambang
No. Perijinan, Tanggal
SK Bupati, Masa Berlaku
Luas Area
(m2)

DAV
1

Metang
Ojang,
Labar
Kolang
Kolong
Ajo
Nanu
Sirimese
Tentang
Bajak
Codong
Nunang
Batok
Reo

IAV
2

Cakupan Dampak Kegiatan Tambang

Waning,
120. 700.000 Waning
Kecamatan
Tehong
Ndoso
Kalo
Sumar
Deru
Pateng

Lokasi

Aktivitas
Kemungkinan Tambang
Saat ini
Dampak
Buruk
Hilangnya
Terhenti
lahan garapan
Pencemaran
air minum,
sawah dan
tanaman
masyarakat

Benny Denar

209

Nggilat,
19.980.000
Kecamatan
Macang
Pacar

Betong,
20.000.000
Kecamatan
Boleng

PT. Napindo Primatama Mangan,


DPELH. 540/472/
DMP
XII/2008
DPE.540/383/XII/2009
15/12/2008
15/12/2009

PT. Bangun Usaha


Timah
Mineral Indonesia
Hitam,
DPELH.540/352/
DMP
IX/2008
DPE.540/196/VIII/2009
2/9/2008 2/9/2009

Areal
sawah
Terang
Golo
Ketak
Tanjung
Boleng
Mbuit
Golo
Sepang

Teluk
Terang
Desa Batu
Tiga

Nggilat
Londar
Mbakung

Rusaknya
Terhenti
tanah dan
hutan
Pencemaran
air
Hilangnya
sawah dan
tanaman
masyarakat
Pencemaran Terhenti
air
Hilangnya
mata
pencaharian
(petani sawah
dan nelayan)
Hilangnya
mata air

210

Mengapa Gereja (Harus!) Tolak Tambang?

PT Sejahtera Prima
Nusa
DPELH.540/272/
VII/2008
DPE.540/382/XII/2009
9/7/2008 9/7/2010

PT Grand Nusantara
DPELH.540/273/
VII/2008
DPE.540/381/XII/2009
9/7/2008 9/7/2010

Tededo
22.220.000
Kecamatan
Boleng dan
Dalong
Kecamatan
Komodo

Batu
28.310.000
Gosok
Kecamatan
Komodo

Emas
DMP

Emas
DMP

Hotel
Emera

Lohmbongi
Pulau
Seraya
Kecil
Pulau
Seraya
Besar

Nterlaing
Rai
Tebedo
Sawah
Nggorang
Golo
Bilas
Sawah
Satar
Walang

Ranco
Taman
Nasional
Komodo
(TNK)
Kota
Labuan
Bajo

Air
minum
Batu
Cermin
Labuan
Bajo

Musnahnya Terhenti
hutan
Hilangnya
mata air
Rusaknya
tanah
masyarakat
Hilangnya
mata
pencaharian
Polusi udara
Rusaknya
ekosistem
Hilangnya
Terhenti
mata
pencaharian
Rusaknya
tanah dan
ekositem serta
biota laut

Benny Denar

211

Metang
1.920.000
Kalo
Kecamatan
Ndoso

Wae
286.200.075
Ncuring
Kecamatan
Ndoso,
Macang
Pacar dan
Reok Barat
(Kab.
Manggarai)

PT Indomas Pritama
Mangan
Mineral
DPELH.540/174/
VII/2008
DPE.540/273/VIII/2010
2/7/2008 2/7/2010

PT Nusa Mega
Mangan
Keputusan Gubernur 22/
KEP/HK/2009
236/KEP/HK/2011
Mahidana Tantragata
DPELH.540/02/1/2009
5/1/2009 5/1/2010

Sirimese
Wae
Ncuring
Rokab
Nanu
Ajo

Metang
Kalo

Kakor
Lumut
Raca
Labar
Kolang
Ajo
Kubur

Rewas
Wae
Ncuring
Ojang
Labar
Kolang
Lumut
Sirimese
Ajo
Repu
Arah
timur Reo

Kampung
Terhenti
Metang dan
Kalo akan
hancur
Air minum
tercemar
Satwa air
musnah
Masyarakat
kehilangan
lahan garapan
Mata
pencaharian
masyarakat
juga hilang

212

Mengapa Gereja (Harus!) Tolak Tambang?

PT Prima
Komodotindo Utama
DPELH.540/214/
IX/2008
DPE.540/386/XII/2009
29/9/2008-29/9/2010
PT Napindo Karya
Alam
DPELH.540/08/I/2009
DPE.540/384/XII/2009
5/1/2009-5/1/2010
PT Nusa Energi Raya
DPELH.540/9/I/2009
DPE.540/40/II/2010
7/1/2009-7/1/2010
Tuwa,
19.950.000
Kecamatan
Macang
Pacar
Rokab,
Kecatan
Macang
Pacar

Emas

Mangan

19.960.000

Wae Jare
35.940.000
Kecamatan
Sano
Nggoang

Timah
Hitam

Terhenti

Terhenti

Terhenti

Sumber: Laporan Evaluasi Program Masyarakat Lingkar Tambang (JPIC SVD Ruteng) di Manggarai Dioses
Ruteng. Projetct No: 416-004-1028. Bdk. Data Ijin Usaha Pertambangan dari Dinas Pertambangan Kabupaten
Manggarai Barat Bulan Mei Tahun 2011.

10

4.2.2.2. Beberapa Kejanggalan dalam Proses


Pertambangan di Manggarai Barat
Kejanggalan-kejanggalan yang penulis akan
paparkan sekaligus merupakan pembuktian bahwa
pertambangan tidak membawa kesejahteraan
seperti yang dijanjikan tetapi justru dapat
menimbulkan penderitaan bagi masyarakat.
4.2.2.2.1. Persoalan Berkaitan dengan
Partisipasi Masyarakat
Salah satu persoalan utama terkait
pertambangan di Manggarai Barat adalah bahwa
rencana dan program pertambangan dirancang
pemerintah dan pengusaha tambang dengan
menempuh suatu proses yang tidak terbuka
bagi akses publik. Tentu saja ini menjadi sebuah
kejanggalan sebab Pemerintah Kabupaten
(Pemkab) merancang program untuk masyarakat
tanpa sepengetahuan masyarakat dan tanpa
partisipasi mereka. Proses ini jelas menabrak
prinsip partisipasi dalam etika dan moral politik
serta pembangunan.
Dalam kenyataan, apa yang disebut sosialisasi
oleh pemerintah selalu dengan suatu asumsi bahwa
Benny Denar

213

masyarakat tinggal menerima program industri


tambang karena dimaksudkan untuk kesejahteraan
mereka.196Padahal jika sungguh dimaksudkan
untuk kesejahteraan masyarakat, maka amatlah
pantas jika masyarakat dilibatkan, misalnya
melalui mekanisme konsultasi publik, teristimewa
masyarakat yang wilayahnya akan diambil atau
dialihfungsikan.
Di balik alienasi masyarakat dari partisipasi
mereka
dalam
pengambilan
kebijakan
pertambangan dapat ditelusuri sejumlah persoalan
dari perspektif etika politik.197 Pertama, menyangkut

196 Bahkan biasanya sosialisasi dilakukan setelah izinan


dikeluarkan oleh bupati. Waktu mengeluarkan izinan,
masyarakat tidak akan didengarkan pendapatnya
terkait kebijakan tersebut, apakah, misalnya mereka
menerima atau menolak. Dalam pertambangan di Batu
Gosok, misalnya, izinannya sudah keluar pada Juli 2008
sedangkan sosialisasinya baru terjadi pada 23 Desember
2008. Bahkan banyak izinan yang hanya diketahui oleh
bupati sendiri tanpa ada konsultasi atau pemberitahuan
kepada lembaga DPRD. Semua kejanggalan terungkap
dalam rapat dengar pendapat Bupati Fidelis Pranda di
depan DPRD Labuan Bajo terkait investasi pertambangan
pada Selasa 25 Juni 2009.
197 Dokumen JPIC OFM, Tambang Proses Pemiskinan dan
Pemusnahan Peradaban Bangsa Manggarai Kompilasi
Diskusi tentang Tambang di Manggarai, pp. 15-16.
214

Mengapa Gereja (Harus!) Tolak Tambang?

persepsi pemerintah tentang masyarakat. Proses


yang ditempuh untuk meloloskan industri
pertambangan memperlihatkan bahwa Pemkab
mengabaikan eksistensi dan peran masyarakat.
Masyarakat dilihat sebagai objek atau sekadar
sarana yang digunakan untuk perwujudan
kepentingan Pemkab sendiri tanpa adanya korelasi
dengan kepentingan dan eksistensi masyarakat.
Kedua, masyarakat dilecehkan perannya. Proses
pengucilan masyarakat dari proses juga terlihat
dari tidak transparan dan tertutupnya akses bagi
masyarakat untuk menyatakan pandangan dan
pendapat mereka. Wakil-wakil masyarakat yang
ingin menyampaikan pendirian dan sikap mereka
tidak menemukan peluang dan kesempatan. Hal
ini jelas bertentangan dengan budaya politik
demokratis dan beradab.
Ketiga, dalam kenyataan riilnya, apa yang
disebut Pemkab sebagai sosialisasi sebenarnya
adalah suatu pembohongan publik. Sebab materi
sosialisasi ibarat menjual mimpi, memberikan
janji-janji kemakmuran, dan kesejahteraan
semata-mata. Sebaliknya dampak dan efek negatif
Benny Denar

215

pertambangan bagi ekologi, ekosistem, budaya,


kesehatan, sosial, dan ekonomi masyarakat sama
sekali tidak ditampilkan. Pemkab menampilkan
diri sebagai agen promosi perusahaan tambang.
Padahal pemerintah seharusnya mengutamakan
transparansi dan memberikan informasi berimbang
kepada masyarakat agar masyarakat berpikir dan
mempertimbangkan sikap serta keputusan mereka
terhadap rencana pertambangan.
Keempat, dengan tidak dilibatkannya masyarakat
dalam proses pengambilan keputusan terkait
pertambangan, maka pemerintah sebenarnya
melanggar hak masyarakat untuk menentukan sendiri
nasibnya. Masyarakat seharusnya mempunyai hak,
termasuk hak asasi untuk mendapatkan informasi
dan pengetahuan seluas-luasnya, terutama informasi
dan pengetahuan yang terkait dengan keberadaan,
peran dan masa depan mereka. Ketika suatu rencana
dan program untuk masyarakat mengalienasikan
masyarakat itu sendiri baik dalam proses maupun
hasilnya kelak, maka rencana dan program tersebut
telah kehilangan legitimasi etis-moral, sekaligus
melanggar prinsip etis politik dan moral kekuasaan,
216

Mengapa Gereja (Harus!) Tolak Tambang?

yaitu prinsip kedaulatan rakyat. Inilah yang terjadi


dalam kasus pertambangan di Manggarai Barat.
4.2.2.2.2. Ilusi Kesejahteraan
Pemerintah dan perusahaan tambang
seringkali memperdayai masyarakat dengan
jalan mempropagandakan bahwa pertambangan
akan sanggup menghadirkan kesejahteraan dan
lapangan pekerjaan. Namun kenyataannya justru
tidak demikian. Dalam penelusuran tim dari JPIC
SVD Ruteng ditemukan bahwa masyarakat lokal
hanya dipekerjakan oleh perusahaan tambang
sebagai buruh kasar dengan upah murah. Selain
itu, mereka juga bekerja tanpa sarana dan jaminan
keselamatan kerja. Hubungan para buruh dengan
perusahaan tanpa disertai dokumen kontrak kerja,
sehingga memungkinkan perusahaan memecat
seenaknya para buruh tersebut kapan saja.
Dalam laporan yang sama ditemukan bahwa
penguasa/pemerintah justru lebih mungkin menerima
uang dari perusahaan tambang, termasuk juga ada
tokoh masyarakat setempat yang suaranya mudah
dibeli perusahaan tambang. Masyarakat lokal justru
merasakan penderitaan akibat kehadiran aktivitas
Benny Denar

217

pertambangan.198 Eksploitasi sumber daya alam oleh


perusahaan-perusahaan multinasional justru hanya
memarjinalkan masyarakat lokal. Mereka tak hanya
terusir dari tanah tinggalnya, tapi sekaligus tergusur
secara sosial dan ekonomi karena hanya sedikit dari
mereka yang bisa dipekerjakan mengingat tingkat
pendidikan mereka yang kurang memenuhi syarat.
Selain itu, aktivitas pertambangan juga membuat
masyarakat kehilangan lapangan pekerjaannya
yang asli. Sebab aktivitas pertambangan membuat
curah hujan menurun drastis yang menyebabkan
sawah atau lahan pertanian lainnya dari para petani
sulit dikerjakan sebagaimana biasanya. Masyarakat
nelayan juga harus mencari ikan jauh dari pantai
karena air laut sekitar pantai sudah tercemar oleh
limbah industri pertambangan.
4.2.2.2.3. Pertambangan Merusakkan
Lingkungan Hidup
Pertambangan di Manggarai Barat juga
berdosa

terhadap

lingkungan

hidup

yang

198 Bdk. Dokumen JPIC SVD Ruteng, Laporan Evaluasi


Program Penguatan Masyarakat Lingkar Tambang di
Manggarai Dioses Ruteng, Project No. 416-004-1028,
Juli 2010, p. 6.
218

Mengapa Gereja (Harus!) Tolak Tambang?

tentu saja pada akhirnya berdampak buruk bagi


kelangsungan hidup semua ciptaan, termasuk
manusia.199 Pertambangan, misalnya menyebabkan
rusaknya habitat flora dan fauna, mematikan
sumber mata air, merusakkan tanah, dan membuat
pencemaran terhadap sungai dan air laut. Dengan
itu, tambang bisa menjadi penyebab bagi bencana
alam, seperti erosi, longsor, dan banjir. Selain itu,
pertambangan tentu saja dapat membahayakan
kesehatan manusia.
Bukti nyata pertambangan di Manggarai
Barat terutama di Batu Gosok telah merusakkan
lingkungan dirasakan secara langsung oleh PT.
Keramba yang bergerak di bidang budi daya ikan.
Partikel-partikel debu dari lokasi pertambangan
Batu Gosok merusakkan tempat penangkaran
benih ikan mereka.200 Masih banyak temuan
lain yang menunjukkan betapa pertambangan di
Manggarai Barat merusak lingkungan termasuk

199 Bdk. Tambang Banyak Dosanya Untuk Lingkungan,


Berita dalam Flores Pos, Sabtu 29 Juni 2009.
200 Bdk. PT. Keramba Terkena Dampak Tambang, Berita
dalam Flores Pos, Jumat 20 Juni 2009.
Benny Denar

219

merusakkan hutan.201 Semua kerusakan itu pada


akhirnya merusakkan sektor-sektor usaha lainnya
seperti perikanan, kelautan, pariwisata, dan
pertanian.202
Berdasarkan fakta bahwa pertambangan
tersebut merusakkan lingkungan maka terdapat
banyak tuntutan dan rekomendasi yang meminta
agar kegiatan pertambangan dihentikan, termasuk
di antaranya rekomendasi dari Kementerian
Kehutanan dan Kementerian Lingkungan Hidup
RI. Rekomendasi dari Kementerian Kehutanan
201 Kegiatan pertambangan jelas-jelas merusakkan hutan
di Tebedo, Kecamatan Boleng. Bahkan hasil tinjauan
staf Dinas Kehutanan Manggarai Barat menunjukkan
bahwa pertambangan di Tebedo jelas-jelas melanggar
hukum karena sebagian lokasinya adalah wilayah hutan.
Mereka pun menganjurkan agar pertambangan tersebut
dihentikan dan meminta supaya memproses hukum
pihak PT. Sejahtera Prima Nusa Mining dan Kepala
Dinas Pertambangan Manggarai Barat. Bdk. Surat
Kepala Bidang Perlindungan dan Penyuluhan Hutan,
No. DK.522.11/564/VIII/2009, Perihal Pertimbangan
Terhadap Kegiatan Eksplorasi Tambang di Tebedo Kecamatan Boleng, dikeluarkan di Labuan Bajo pada 22
Agustus 2009, ditandatangani oleh Hilarius Madin selaku
Kepala Bidang Perlindungan dan Penyuluhan Hutan
Kabupaten Manggarai Barat.
202 Bdk. Labuan Bajo, Kota Kontras, Bentara (Tajuk
Rencana) dalam Flores Pos, Sabtu 27 Juni 2009.
220

Mengapa Gereja (Harus!) Tolak Tambang?

berkaitan dengan aktivitas pertambangan di Tebedo


yang sebagian lokasi tambangnya berada dalam
daerah hutan produksi.203 Sementara Kementerian
Lingkungan
Hidup
merekomendasikan
penghentian aktivitas pertambangan terutama di
Batu Gosok. Rekomendasi ini didasarkan pada
hasil pemantauan lapangan oleh tim Pengelolahan
Lingkungan Hidup Regional BaliNusa Tenggara.
Menurut laporan dari tim ini, lokasi tambang di
Batu Gosok mesti dihentikan dengan beberapa
alasan, di antaranya lokasi tambang tersebut berada
dalam kawasan penyangga konservasi binatang
langka komodo. Selain itu, aktivitas pertambangan
tersebut menyalahi peraturan mengenai tata ruang
Kabupaten Manggarai Barat yang menetapkan
Batu Gosok sebagai kawasan hijau dan kawasan
wisata. Apalagi kegiatan pertambangan di Batu
Gosok tidak didahului oleh penyusunan dokumen

203 Bdk. Surat Direktorat Jenderal Planologi dan Direktorat


Jenderal Penggunaan Kawasan Hutan, Nomor: S. 214/
PKH-1/2010, Perihal Laporan Pelaksanaan Eksplorasi
Emas di Tebedo Kabupaten Manggarai Barat Propinsi
Nusa Tenggara Timur, dikeluarkan di Jakarta pada 29
Maret 2010, ditandatangani oleh Deddy Sufredy selaku
Direktur Jenderal Penggunaan Kawasan Hutan.
Benny Denar

221

Upaya Pengelolahan Lingkungan dan Upaya


Pemantauan Lingkungan sebagaimana disyaratkan
oleh ketentuan yang berlaku.204
4.2.2.2.4. Kontraproduktif dengan Industri
Pariwisata
Isu terganggunya potensi pariwisata Manggarai
Barat akibat pertambangan menjadi salah satu
isu yang sangat mendapat perhatian secara
serius dalam konteks polemik seputar kehadiran
pertambangan di Manggarai Barat. Isu pariwisata
ini begitu krusial karena memang Manggarai Barat
dikenal sebagai daerah dengan potensi pariwisata
yang mendunia. Pariwisata telah lama menjadi
salah satu sektor primadona bagi Manggarai Barat.
Apalagi pada saat polemik pertambangan ini
muncul, komodo sedang dinominasikan sebagai
New Seven Wonders of The World, yakni sejak
Desember 2007 bersama 220 nominator lainnya
204 Jadi terhitung satu tahun, yakni sejak tahun 2008
berjalannya tambang di Batu Gosok tanpa ada dokumen
Upaya Pengelolaan Lingkungan dan Upaya Pemantauan
Lingkungan. Padahal dokumen ini seharusnya diadakan
sebelum kegiatan pertambangan dimulai. Bdk. Konservasi
Komodo Meneg LH: Hentikan Penambangan, Berita di
Harian Kompas, Rabu 15 Juli 2009.
222

Mengapa Gereja (Harus!) Tolak Tambang?

dari 220 negara oleh Yayasan New Seven Wonders


of The World. Dalam konteks itulah maka banyak
pihak menyesalkan tindakan Bupati Fidelis Pranda
yang justru mengeluarkan izin pertambangan yang
tentu saja dapat merusak citra Manggarai Barat
sebagai daerah pariwisata. 205
Kebijakan
Fidelis
Pranda
disesalkan
karena seharusnya kelestarian lingkungan
wajib diperhatikan sebagai salah satu cara agar
sektor pariwisata bisa dikembangkan. Pada
dasarnya pembangunan pariwisata tidak bisa
hadir berdampingan dengan pertambangan
karena pariwisata membutuhkan lingkungan
yang terpelihara, sedangkan pertambangan
justru merusakkan lingkungan. Dampak yang
paling gampang dilihat adalah dalam konteks
pertambangan Batu Gosok yang mengancam
zona pariwisata Taman Nasional Komodo (TNK)
yang di dalamnya hidup 2.500 ekor populasi
komodo, sekitar 1.000 jenis ikan hias dan berbagai
jenis ikan lain seperti ikan kerapu dan napoleon.
205
Taman
Nasional
Komodo
Dirusak Aktivitas
Penambangan, Berita dalam Harian Kompas, 2 Juli 2009.
Benny Denar

223

Selain itu terdapat sedikitnya 55 titik (lokasi)


yang cocok dijadikan sebagai lokasi untuk rekreasi
menyelam. 206 Jadi, pertambangan Batu Gosok
berpotensi kuat merusakkan pariwisata di TNK.
Apalagi lokasi pertambangan emas di Batu Gosok
berada hanya 12 km dari batas zona TNK. Oleh
karena itu, seharusnya Batu Gosok tidak boleh
dirusakkan karena merupakan daerah penyangga
untuk TNK.207
Selain keterkaitannya dengan TNK, lokasi
Batu Gosok juga memiliki potensi pariwisata
dengan keindahan laut di sekitarnya. Lokasi Batu
Gosok yang berada di ketinggian sekitar 200
meter dari permukaan laut dan merupakan daerah
perbukitan dengan kemiringan di atas 40 derajat,
jelas sangat berisiko terhadap terganggunya
ekosistem perairan. Kepala Pusat Pengelolahan
206 Bdk. Pendatang Baru Jangan Menggusur Putra Mahkota,
Berita Harian Kompas, Selasa 7 Juli 2009.
207 Penegasan bahwa Batu Gosok dijadikan sebagai penyangga
TNK sebenarnya sudah lama tertera dalam Perautan
Daerah (Perda) Manggarai Barat sendiri. Hal ini juga
yang menjadikan Kementerian Lingkungan Hidup
merekomendasikan kepada Bupati Manggarai Barat untuk
menghentikan aktivitas pertambangan di Batu Gosok.
Bdk. Berita di Harian Kompas, Rabu 15 Juli 2009.
224

Mengapa Gereja (Harus!) Tolak Tambang?

Lingkungan Hidup Regio Nusa Tenggara, R.


Sudirman pernah menyatakan bahwa material
penambangan emas di Batu Gosok berpotensi
merusak daerah sekitar.208 Debu dan material
lepasan penambangan akan merusak ekosistem
mangrove di pantai, melenyapkan padang lamun,
merusak terumbu karang, serta mematikan
biota laut di perairan sekitarnya. Selain itu, di
sekitar Batu Gosok juga terdapat beberapa pulau
dengan pemandangan laut sangat indah, seperti
Pulau Seraya Kecil. Di Pulau ini terdapat banyak
penginapan untuk para wisatawan. Bahkan di Batu
Gosok sendiri terdapat sebuah hotel yang bernama
Hotel Batu Gosok. Jarak hotel ini dengan lokasi
tambang hanya sekitar 300-an meter.209 Jadi, tanpa
208
Bdk. Konservasi Komodo Meneg LH: Hentikan
Penambangan, Berita Harian Kompas, Rabu 15 Juli 2009.
209 Jarak 300-an meter ini pernah dimanipulasi oleh Bupati
dan Pemda Mabar dalam laporannya ke Kementerian
Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). Dalam
laporan tersebut, bupati dan Pemda menjelaskan bahwa
jarak lokasi tambang dengan Hotel Batu Gosok sangat
jauh, yaitu kira-kira 5 km. Masih banyak juga kebohongan
yang dilakukan oleh bupati dan Pemda Mabar dalam
meloloskan pertambangan. Bdk. Robertus Pelita dan
Silvester Manca, Menyingkap Kebohongan Bupati,
Opini dalam Flores Pos, Senin 19 Oktober 2009.
Benny Denar

225

analisis yang terlalu mendalam pun sudah bisa


dipastikan pertambangan di Batu Gosok dan juga
beberapa tempat lain di Manggarai Barat sungguh
merusak potensi pariwisata yang ada.
Jadi, dari sisi pariwisata kebijakan pertambangan
yang pernah dikeluarkan oleh Pemkab Manggarai
Barat terkesan serampangan. Sebab kebijakan
pertambangan tersebut tidak memerhatikan
arah kebijakan pembangunan Manggarai Barat
secara holistik dan sistemik. Padahal pemerintah
seharusnya perlu memerhatikan keterkaitan
tambang dengan aspek-aspek lainnya seperti
rencana tata ruang, lingkungan hidup, kehutanan,
kepariwisataan, kawasan lindung, persepsi
masyarakat dan agraria. Apalagi potensi utama
yang dimiliki Manggarai Barat adalah pariwisata
dengan objek utama Varanus komodoensis, terumbu
karang menduduki nomor urut dua dunia, Istana
Ular, Gua Batu Cermin dan objek wisata lain.210
Oleh karena itulah seharusnya pengembangan
kepariwisataan penting sebagai payung utama
210 Bandingkan dengan uraian penulis sebelumnya tentang
pariwisata sebagai salah satu sektor utama pembangunan
di Manggarai Barat.
226

Mengapa Gereja (Harus!) Tolak Tambang?

dalam kebijakan pembangunan daerah guna


meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Dengan
demikian, sektor-sektor lainnya yang berada
di bawah payung kepariwisataan mesti saling
bersinergi.
4.2.2.2.5. Sarat Praktik KKN
Dalam skala nasional, terdapat berbagai temuan
yang pada intinya menunjukkan bahwa sejak adanya
Otonomi Daerah terjadi peningkatan jumlah izin
tambang dari hanya 340 izinan pada tahun 2004
menjadi 10.922 pada tahun 2014 lalu. Dari jumlah
10.922 itu terdapat 4.880 di antaranya bermasalah,
yakni tidak clear and clean. Di samping itu, terdapat
1.335 yang tidak memiliki nomor pokok wajib pajak,
tetapi tetap beroperasi dan mengekspor hasilnya.
Hal ini membenarkan penelusuran KPK beberapa
waktu lalu yang menemukan bahwa besarnya ekspor
hasil-hasil pertambangan ke luar negeri justru
berbanding terbalik dengan penerimaan negara dari
sektor tersebut.211 Dengan itu, kiranya menjadi jelas
211 Pengakuan ini pernah dilontarkan oleh seorang komisioner
KPK dan diangkat kembali secara lebih luas oleh Menteri
Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI, Siti Nurbaya. Bdk.
Benny Denar

227

bahwa sektor pertambangan ternyata dipenuhi oleh


para mafia yang merusakkan lingkungan untuk
penumpukan kekayaan dan kekuasaan, tetapi tidak
berkorelasi positif dengan kesejahteraan masyarakat
lokal. Pertambangan justru berkorelasi dengan
praktik-praktik KKN untuk menunjang ongkos
politik perebutan kekuasaan di daerah. Dengan
sistem persaingan politik yang sangat liberal dan
kapitalis, maka ongkos politik salah satunya berasal
dari praktik mafia di sektor sumber daya alam. Izin
pertambangan menjadi komoditi yang menunjang
kesuksesan para politisi daerah merebut kekuasaan.
Munculnya pertambangan di Manggarai Barat
juga tidak lepas dari isu adanya praktik KKN
yang menyertainya. Ada cukup banyak indikasi
yang menguatkan dugaan terjadinya KKN dalam
urusan pertambangan di Manggarai Barat. Salah
satunya adalah adanya indikasi atau dugaan praktik
gratifikasi antara investor asal negeri Cina dengan
Bupati Fidelis Pranda serta beberapa pejabat lainnya.
Dugaan ini dibuktikan dengan adanya fakta yang
http://theglobejournal.com/Lingkungan/siti-nurbayapaparkan-data-menyeramkan-tentang
tambang/index.
php#.VRKSqbaPg18.twitter, diakses 20 Maret 2015.
228

Mengapa Gereja (Harus!) Tolak Tambang?

memperlihatkan bahwa pada bulan Oktober 2008,


Bupati Fidelis Pranda bersama istrinya, Kepala
Dinas Pertambangan, Yohanes Jinus bersama
istrinya, Kepala Bidang Pertambangan, Martinus
Ban bersama istrinya mengadakan perjalanan
menuju Beijing-Cina. Memang perjalanan bupati
dan para pejabat dengan istrinya masing-masing
berlabel perjalanan dinas212, namun cukup sulit
dibantah bahwa perjalanan dinas tersebut berbau
gratifikasi. Apalagi seluruh biaya perjalanan
tersebut ditanggung oleh PT. Grand Nusantara.
Dalam penelusuran tim JPIC ditemukan
bahwa ternyata masih banyak pemimpin, baik
pemimpin formal maupun informal yang
justru mudah dibeli perusahaan dan kemudian
berseberangan dengan rakyat. Dari berbagai
referensi yang tersedia hampir semuanya
mengungkapkan fakta menguatnya jalinan
perselingkuhan antara penguasa lokal (Pemda)
dengan korporasi dalam investasi pertambangan
212
Surat
Bupati
Manggarai
Barat
Nomor:
DPELH.540308/X/2008 berisi permohonan izin atas
perjalanan tersebut. Perjalan tersebut dimaksudkan untuk
mengamati secara langsung pengelolahan emas di sana.
Benny Denar

229

di Flores termasuk di Manggarai Barat. Mereka


membangun relasi saling menguntungkan; bupati
mendapat dana untuk kampanye pemilu guna
mempertahankan kekuasaan, sementara investor
mendapat kemudahan untuk mendapatkan
IUP.213 Selain itu, ditemukan juga beberapa kepala
desa dan tokoh adat yang justru berseberangan
dengan sikap rakyatnya yang menolak tambang.
Pemimpin-pemimpin seperti itu diduga kuat
memiliki ikatan finansial dengan investor.
4.2.2.2.6. Menelikung Hukum
Banyak izinan pertambangan di Manggarai
Barat yang dikeluarkan secara serampangan dari
aspek hukum oleh Pemda dan Bupati Fidelis

213 Tragisnya, praktik seperti ini kelihatannya dilegitimasi


Undang-Undang. Menurut mantan Wakil Ketua Komisi
Pemberantasan Korupsi Busyro Muqoddas, Undang-Undang
pemilihan kepala daerah saat ini tak mencerminkan Indonesia
sebagai negara demokratis. Ia menilai, Undang-Undang
tersebut justru membuka peluang kepala daerah meraih
jabatannya secara transaksional. Secara praktis, hal tersebut
akan memunculkan hubungan simbiosis mutualisme antara
partai politik, investor, dan kepala daerah yang dipilih,
terutama dalam hal perizinan pertambangan. Bdk. http://
nasional.kompas.com/read/2014/11/25/20112371/Busyro,
diakses pada Sabtu 10 Desember 2014.
230

Mengapa Gereja (Harus!) Tolak Tambang?

Pranda. Dikatakan secara serampangan karena


IUP-IUP yang dikeluarkan hampir semuanya
menabrak aturan yang ada dan terutama menabrak
kehendak masyarakat. Sebagai bukti, penulis
menyebutkan beberapa contoh.214 Pertama, IUP
No. DPE.540/381/XII/2009 untuk PT. Grand
Nusantara yang dikeluarkan tanggal 15 Desember
2009, lokasi Batu Gosok/Gusongea/Toro
Sintangga/Puncak Samson215 Kecamatan Komodo
214
Pelanggaran-pelanggaran hukum yang terjadi untuk
meloloskan investasi pertambangan di Manggarai Barat bisa
dibaca dalam pemberitahuan moratorium pertambangan
yang dikeluarkan oleh Bupati Agustinus CH. Dula dalam
SK bernomor: SDA.500/214/X/2010 perihal peringatan
yang ditujukan kepada seluruh pemegang KP/IUP di
Manggarai Barat.
215 Dalam IUP pertama No. DPELH.540/273/VII/2008
yang dikeluarkan para 7 Juli 2008 kepada PT. Grand
Nusantara lokasi eksplorasi emas tetap disebutkan Batu
Gosok. Namun karena banyaknya gugatan dan produk
hukum yang menyatakan Batu Gosok adalah wilayah
wisata komersial dan kawasan hijau, maka Bupati Fidelis
Pranda menerbitkan IUP yang kedua No. DPE.540/381/
XII/2009 kepada investor yang sama. Rupanya modus
dari IUP kedua ini hanya untuk memanipulasi nama
Batu Gosok. Hal ini dibuktikan oleh tidak disebutkannya
nama Batu Gosok dalam IUP kedua tersebut. Nama Batu
Gosok disamarkan menjadi Gusongea, Toro Sintangga,
dan Puncak Samson supaya terkesan bahwa itu bukan
tempat wisata Batu Gosok. Padahal dalam kenyataan
wilayah-wilayah yang disebutkan itu adalah bagian dari
Benny Denar

231

dengan luas wilayah 2.831 ha, dengan jenis bahan


galian emas adalah bertentangan dengan Peraturan
Daerah (Perda) Kabupaten Manggarai Barat No.
30 Tahun 2005 Tentang Rencana Tata Ruang
Wilayah Kabupaten Manggarai Barat. Dalam pasal
23 huruf (a) Perda tersebut disebutkan secara jelasjelas bahwa Batu Gosok diperuntukkan sebagai
objek wisata komersial.216
Kedua, IUP NO. DPE.540/382/XII/2009
Tentang Izin Usaha Pertambangan Eksplorasi
kepada PT. Sejahtera Prima Nusantara dengan
lokasi Tebedo, Kecamatan Boleng seluas 2.222
ha, dengan jenis galian emas. Sebagian wilayah
yang disebutkan dalam IUP tersebut merupakan
kawasan hutan produksi Nggorang Bowo Sie
Batu Gosok. Bdk. Keputusan Bupati Manggarai Barat
No. DPE.540/381/XII/2009, Persetujuan Izin Usaha
Pertambangan Eksplorasi Kepada PT. Grand Nusantara,
Ditetapkan di Labuan Bajo pada 15 Desember 2009,
ditandatangani oleh Wilfridus Fidelis Pranda sebagai
Bupati Manggarai Barat.
216 Bunyi pasal 23 huruf (a) Perda tersebut, yaitu: Obyek
wisata komersil meliputi di antaranya Pulau Komodo,
Pulau Rinca, Pulau Padar, Pantai Pede, Puncak Waringin,
Batu Gosok, Pulau Pungu, Pulau Kanawa, Pulau Seraya
Kecil, Gorontalo, Pantai Wae Cicu, Gua Batu Cermin,
Pulau Kalong.
232

Mengapa Gereja (Harus!) Tolak Tambang?

RTK 108. Dengan demikian, IUP tersebut


jelas bertentangan dengan Peraturan Menteri
Kehutanan No. P.40/Menhut-II/2008 Tentang
Pedoman Pinjam Pakai Kawasan Hutan.217
Dua izinan di atas, yakni untuk Batu Gosok
dan Tebedo sama-sama juga melanggar UndangUndang No. 26 Tahun 2007 tentang penataan
ruang yang secara umum mengatur agar setiap
wilayah atau lokasi mesti dimanfaatkan sesuai
peruntukannya.218 Masih banyak pelanggaran dan
kejanggalan hukum lain yang dilakukan hanya
untuk memuluskan investasi pertambangan di

217 Dalam pasal 2 Undang-Undang tersebut disebutkan


bahwa untuk kegiatan pertambangan dalam kawasan
hutan produksi diperlukan izin pinjam pakai kawasan
hutan produksi dari Menteri Kehutanan. Namun diduga
pada saat itu pemegang IUP belum memiliki izin dari
Menteri Kehutanan sebagaimana diharuskan oleh produk
hukum dimaksud.
218 Dalam pasal 27 ayat (2) Undang-Undang No. 26 Tahun
2007, misalnya menyebutkan: izin pemanfaatan ruang
yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang wilayah
dibatalkan oleh pemerintah dan pemerintah daerah
menurut kewenangan masing-masing sesuai dengan
peraturan perundang-undangan. Atau dalam ayat 3
disebutkan: izin pemanfaatan ruang yang dikeluarkan
dan/atau diperoleh tidak melalui prosedur yang benar
batal demi hukum.
Benny Denar

233

Manggarai Barat. Walaupun jelas-jelas melanggar


hukum, namun pelanggarnya nyaris tidak disentuh
dan kegiatan pertambangan seolah-olah dibiarkan
saja oleh aparat penegak hukum. Dalam hal ini
aparat penegak hukum berlaku diskriminatif
untuk meloloskan investasi pertambangan.
Sebagai contoh, dalam kasus peralihan fungsi/
pengrusakan hutan Nggorang Bowo Sie RTK
108 yang dilakukan Bupati Fidelis Pranda dan
dilaporkan oleh berbagai elemen masyarakat219,
aparat penegak hukum nyaris sulit memprosesnya
secara benar dan adil. Namun ketika masyarakat
kecil hanya menebang kayu di hutan yang sama
langsung ditangkap, diproses, dan dipenjara.220
219 Salah seorang yang melaporkan kasus ini adalah Florianus
Surion. Bdk. Polres Mabar, Tunggu Apa?, dalam Bentara
(Tajuk Rencana) Flores Pos, Senin 24 Agustus 2009.
220 Waktu penulis masih aktif sebagai anggota GERAM tahun
2012 silam, penulis bersama tiga orang petinggi GERAM
(Florianus Surion, Marianus Saridin, dan Stefan Rafael)
pernah menanyakan perkembangan kasus pengalihan
fungsi hutan Nggorang oleh Bupati Fidelis Pranda kepada
Kepala Satuan Reskrim dan Kapolres Manggarai Barat. Di
depan kami, mereka menjelaskan bahwa kasus ini tidak
bisa dilanjutkan karena hutan Nggorang belum ditetapkan
sebagai hutan negara. Menurut mereka Surat Keputusan
Menteri Kehutanan dan Perkebunan RI No. 423.KPts.
II/1999 tanggal 15 Juni 1999 belum ada penetapan dan
234

Mengapa Gereja (Harus!) Tolak Tambang?

4.2.2.2.7. Tidak Menghargai Masyarakat Lokal


Investasi pertambangan di Manggarai Barat
diwarnai oleh tidak dihargainya masyarakat lokal
termasuk para pemangku adat dan pemilik ulayat.
Bahkan terdapat dugaan kuat bahwa Pemda dan
investor melakukan penyerobotan terhadap tanah
masyarakat. Hal ini bisa dibuktikan dengan
beberapa hal.
pengukuhan hutan Nggorang sebagai kawasan hutan. Bdk.
Surat Kepolisian Resor Manggarai Barat kepada Florianus
Surion selaku ketua GERAM, No. SP2HP/50/XI/2012,
Perihal Pemberitahuan Perkembangan Hasil Penyidikan,
dikeluarkan di Labuan Bajo pada 27 November 2012 dan
ditandatangani oleh Inspektur Polisi Edy selaku Kepala
Satuan Reskrim Polres Manggarai Barat. Padahal hanya
karena tebang kayu di hutan yang sama, John Badar dan
Hama (dua petani miskin tamatan Sekolah Dasar) telah
dihukum. John Badar dihukum 1 tahun kurungan dan
denda Rp 500.000 seperti tertuang dalam petikan putusan
No. 27/Pid.B/2010/PN.RUT tanggal 29 Februari 2010
dengan dakwaan melanggar pasal 50 ayat 3 huruf (c), jo
pasal 78 ayat 5 UU No. 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan
dan UU Nomor 8 Tahun 1981 Tentang KUHP, yang pada
intinya dinyatakan bersalah karena melakukan penebangan
pohon tanpa izin dari pejabat yang berwewenang di hutan
produksi di Bowosie Rtk 108 Nggorang. Sedangkan Hama
dihukum 1 tahun kurungan dengan putusan pidana No.
30/Pid.B/2009/PN.RUT tanggal 28 Januari 2010. Dia
didakwa melanggar pasal 50 ayat 3 huruf (c), jo pasal 78 ayat
5 UU No. 41 tahun 1999 jo pasal 64 ayat 1 KUHP yang
pada intinya juga dinyatakan bersalah karena menebang
kayu di hutan yang sama.
Benny Denar

235

Pertama, dalam kasus tambang mangan di


Metang, Desa Wae Buka, Kecamatan Ndoso,
masyarakat mengirim surat pernyataan penolakan
kepada Bupati Fidelis Pranda karena mereka merasa
pertambangan mangan tersebut selain merusakkan
lahan pertanian, merusakkan pemukiman,
menghilangkan mata pencaharian, merusakkan
lingkungan, juga menyebabkan hilangnya nilai
budaya yang diwariskan para leluhur mereka.221
Kedua, kasus pertambangan Batu Gosok.
Pertambangan tersebut juga kental dengan pelecehan
dan penyerobotan tanah yang hak ulayatnya
dimiliki warga Kedaluan Nggorang. Pelecehan ini
dibuktikan oleh tidak disosialisasikannya eksplorasi
emas itu kepada pemilik lahan atau sekurangkurangnya kepada pemangku adat tanah ulayat
Nggorang, Haji Ramang Ishaka.222 Dalam banyak
221 Bdk. Surat Pernyataan Tolak Tambang dari Persatuan
Masyarakat Metang Tolak Tambang (PERMATA), No. 01/
PERMATA/X/2010, Perihal Tolak Tambang, dikeluarkan
di Metang pada 25 Oktober 2010 dan ditandatangani oleh
Melkior Jenarum selaku ketua dan Ambrosius Meto selaku
sekretaris, juga ditandatangani oleh 123 orang warga
Kampung Metang lainnya.
222 Pernyataan dari Haji Ramang Ishaka selaku pemangku
adat tanah ulayat Nggorang disampaikan di Labuan Bajo
236

Mengapa Gereja (Harus!) Tolak Tambang?

kesempatan masyarakat yang menjadi pemilik


lahan yang telah dibagi oleh pemangku adat juga
menyatakan sikap penolakan terhadap kehadiran
pertambangan,223 namun investor yang didukung
penuh oleh pemerintah tetap saja melanjutkan
aktivitasnya. Padahal Bupati Fidelis Pranda sudah
diperingati Menteri Lingkungan Hidup untuk
memerhatikan amanat Pasal 9 ayat (1) UndangUndang No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan
Lingkungan Hidup yang pada intinya menekankan
agar segala kebijakan nasional tentang pengelolaan
lingkungan hidup dan penataan ruang tetap harus
pada Senin 29 Juni 2009. Bdk. Tambang Emas di Mabar
Belum Ada Sosialisasi ke Pemangku Adat, Berita dalam
Pos Kupang, Rabu 29 Juni 2009. Bandingkan juga dengan
berita di Flores Pos edisi Rabu, 1 Juli 2009 dengan judul:
Tambang Jangan Lecehkan Hak Ulayat. Padahal izinan
yang dikeluarkan Bupati Fidelis Pranda kepada PT. Grand
Nusantara sudah diberikan satu tahun sebelumnya, yaitu
pada 7 Juli tahun 2008.
223
Bahkan jauh sebelum Kabupaten Manggarai Barat
terbentuk, para pemilik lahan di Desa Labuan Bajo pernah
mengirim surat yang menyatakan penolakan kepada bupati
Manggarai terhadap rencana penambangan emas yang
waktu itu investornya adalah PT. Aneka Tambang. Bdk.
Surat: No: -, Perihal: Keberatan Atas Adanya Kegiatan
Penambangan Emas Dalam Kawasan Desa Labuan Bajo,
dikeluarkan di Labuan Bajo, 17 Juli 1996, ditandatangani
oleh para pemilik lahan kurang lebih 122 orang.
Benny Denar

237

memerhatikan nilai-nilai agama, adat-istiadat dan


nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat.224
4.2.2.2.8. Menimbulkan Konflik Horisontal
dan Vertikal
Pertambangan yang dilakukan di Manggarai
Barat juga melahirkan banyak konflik, baik yang
bersifaf horisontal maupun yang bersifat vertikal.
Ada konflik antara masyarakat yang mendukung
tambang dengan masyarakat yang menolak tambang.
Ada juga konflik antara elemen masyarakat tolak
tambang dengan pemerintah dan investor. Bahkan
ada konflik antara perusahaan yang satu dengan
perusahaan yang lainnya, seperti pernah terjadi di
Labuan Bajo antara PT. Keramba Loh Dorah yang
menjalankan usaha pembudidayaan mutiara dengan
PT. Grand Nusantara yang melakukan eksplorasi
emas di Batu Gosok. Konflik ini dipicu karena
PT. Keramba Loh Dorah yang berada berdekatan
224 Bdk. Surat Menteri Negara Lingkungan Hidup Republik
Indonesia,
No.8.6094/MENLH/08/2008,
Perihal
Kegiatan Penambangan Emas di Batu Gosok, Kecamatan
Komodo Kabupaten Manggarai Barat Propinsi Nusa
Tenggara Timur, dikeluarkan di Jakarta, 31 Agustus 2009,
ditandatangani oleh Rahmat Witoelar selaku Menteri
Negara Lingkungan Hidup.
238

Mengapa Gereja (Harus!) Tolak Tambang?

dengan PT. Grand Nusantara merasa terganggu oleh


adanya debu akibat kegiatan penambangan emas
PT. Grand Nusantara. Karena merasa terganggu,
maka PT. Keramba Loh Dorah mengirim surat
pertama pada tanggal 22 Mei 2009 bernomor
0054/PT-K/V/Tamb/2009 berisi meminta PT.
Grand Nusantara untuk mengosongkan areal
PT. Keramba Loh Dora yang dijadikan tempat
penyimpanan tendon dan tangki air oleh PT. Grand
Nusantara. Poin berikut dalam surat tersebut berisi
pemberitahuan kepada PT. Grand Nusantara untuk
sesegera mungkin memindahkan jalur transportasi
yang menghubungkan Labuan Bajo dengan Batu
Gosok yang melewati areal lahan perusahaan karena
berpotensi mengganggu kegiatan PT. Keramba Loh
Dora.225 PT. Keramba Loh Dora kemudian kembali
mengirim surat kepada PT. Grand Nusantara pada
tanggal 19 Juni 2009 bernomor 0055/PT-K/VI/
Tamb/2009 karena poin kedua berkaitan dengan
225 Bdk. Surat PT. Keramba Loh Dora, Nomor: 0054/PTK/V/Tamb/2009, Perihal: Pemberitahuan, dikeluarkan di
Labuan Bajo, 22 Mei 2009, ditandatangani oleh Frederick
Bataona selaku manajer. Tembusan surat ini dikirim juga
kepada Kepala Dinas Pertambangan Kabupaten Manggarai
Barat.
Benny Denar

239

pemberitahuan untuk segera memindahkan jalur


transportasi agar tidak melewati areal PT. Keramba
Loh Dora tidak dihiraukan. PT. Keramba Loh Dora
memberikan batas waktu selama enam hari sebelum
PT. Keramba Loh Dora menutup akses jalan menuju
PT. Grand Nusantara. 226 Tembusan kedua surat
tersebut juga dikirim kepada Dinas Pertambangan
Manggarai Barat. Namun, PT. Grand Nusantara
dan pemerintah tidak menghiraukan sehingga PT.
Keramba Loh Dora bersama-sama dengan GERAM
melakukan pemblokiran pada 26 Juni 2009.227
Konflik ini tidak hanya merupakan konflik
vertikal tetapi juga menyebar dalam bentuk
horisontal. Sebagai contoh, pada 6 Juli 2009
sekelompok orang menyerang rumah Kornelis
Rahalaka, direktur sekaligus wartawan majalah
DIASPORA yang juga merupakan salah satu
Koordinator GERAM terkait pemberitaannya
226 Bdk. Surat PT. Keramba Loh Dora, Nomor: 0055/PT-K/
VI/Tamb/2009, Perihal: Surat Susulan, dikeluarkan di
Labuan Bajo, 19 Juni 2009, ditandatangani oleh Frederick
Bataona selaku manajer.
227 Bdk. Lokasi Tambang Emas Batu Gosok di Labuan Bajo
Diblokir, Berita dalam Harian Kompas, Minggu 28 Juni
2009.
240

Mengapa Gereja (Harus!) Tolak Tambang?

mengenai pertambangan Batu Gosok.228 Orangorang tersebut mengancam Kornelis melalui


SMS (Short Message Service) agar hati-hati dalam
pemberitaannya. Mereka juga mempertanyakan
kapasitas sekaligus legalitas Kornelis sehingga
berani menentang kebijakan pemerintah.
Berdasarkan informasi yang didapat, orang-orang
yang menyerang rumah Kornelis tersebut adalah
orang dari luar daerah. Banyak konflik lain entah
horisontal juga vertikal, baik yang jelas maupun
yang tidak terlalu tampak di permukaan terjadi
berkaitan dengan polemik pertambangan.229
4.3. KESIMPULAN

Keseluruhan penjelasan penulis di Bab IV


telah menunjukkan bahwa pertambangan di
Manggarai Barat merupakan bentuk perwujudan
riil penampakan kapitalisme neoliberal dalam tata

228 Bdk. Geram Kutuk Tindakan Premanisme, Berita dalam


Harian Timex, 14 Juli 2009.
229 Bahkan khotbah dari para imam yang getol menolak
tambang seringkali dimata-matai. Pengakuan ini
disampaikan oleh Romo Robertus Pelita, Pr dan Pater
Marsel Agot, SVD kepada penulis.
Benny Denar

241

ekonomi dan politik pembangunan kita. Ulasan


seputar riwayat kehadiran pertambangan di
Manggarai Barat sampai dengan pembeberan fakta
seputar kejanggalan-kejanggalan yang muncul
terkait aktivitas pertambangan dimaksud, telah
menunjukkan bahwa pertambangan di Manggarai
Barat merupakan penampakan langsung dari
imperalisme global yang justru membawa
penderitaan bagi masyarakat. Pertambangan di
Manggarai Barat apalagi kalau terus dipaksakan
justru akan menjadi monster yang mengancam
masa depan Manggarai Barat sendiri.

242

Mengapa Gereja (Harus!) Tolak Tambang?

BAB V

GEREJA DIOSES RUTENG


TOLAK TAMBANG DAN PILIHAN
ETIS PEMBANGUNAN
SETURUT ASG

5.1. PERIHAL KETERLIBATAN GEREJA


KEUSKUPAN RUTENG230

ktivitas pertambangan di Manggarai Barat


terbukti melahirkan beberapa patologi
mendasar, termasuk melecehkan martabat
masyarakat lokal sekaligus merusakkan lingkungan
230 Gereja yang dimaksudkan di sini tidak dimengerti secara
reduksionistis, hanya kaum klerus dan biarawan atau
biarawati semata. Jadi Gereja Keuskupan Ruteng yang
dimaksudkan dalam keseluruan buku ini mencakup
keseluruhan umat Allah yang mau bergiat di bawah
payung Gereja Lokal Keuskupan Ruteng.
243

hidup. Pertambangan terbukti bukan menjadi


peta jalan yang baik untuk membawa rakyat
keluar dari kemiskinan dan penderitaan, tetapi
justru memunculkan sebuah model pemiskinan
dan mengakibatkan penderitaan baru. Tentu saja
hal tersebut amat bertentangan dengan amanat
ASG yang menghendaki adanya penghormatan
terhadap martabat manusia dan penghargaan
terhadap masyarakat lokal, sekaligus terpeliharanya
lingkungan hidup. Berikut ini penulis akan
paparkan keterlibatan Gereja Keuskupan Ruteng
dalam persoalan pertambangan di Manggarai Barat.
5.1.1. Riwayat Keterlibatan dan Pendampingan
Keterlibatan Gereja Keuskupan Ruteng
dalam melakukan penolakan terhadap aktivitas
pertambangan di Manggarai Barat awalnya bersifat
sporadis, yakni hanya melibatkan aktivis JPIC dan
beberapa orang imam yang bergerak sebagai pribadi,
bukan sebagai keuskupan. Walaupun bersifat sporadis
namun gerakan mereka itu dirasakan cukup signifikan.
Ada beberapa kegiatan yang bisa disebutkan.231
231 Ibid.
244

Mengapa Gereja (Harus!) Tolak Tambang?

Pertama, mengidentifikasi tempat-tempat yang


memiliki potensi pertambangan. Kedua, sejak tahun
2007 mendampingi masyarakat dalam menolak
kehadiran pertambangan. Ketiga, sejak tahun 2009
mengidentifikasi stakeholder dan tokoh masyarakat
yang menjadi relawan dalam pendampingan
masyarakat di lingkar tambang. Keempat, melakukan
seminar-seminar dan workshop dengan tema seputar
lingkungan hidup, dampak pertambangan terhadap
keutuhan ciptaan, pandangan Kristen tentang
keutuhan ciptaan, hukum pertambangan dan hakhak masyarakat, strategi advokasi kebijakan, termasuk
berkaitan dengan peran relawan dalam perjuangan
advokasi kebijakan dan tolak tambang. Kelima,
berperan sebagai mediator antara perusahaan tambang
dengan masyarakat dan juga masyarakat dengan
pemerintah. Keenam, memberikan tekanan dengan
jalan melakukan aksi demonstrasi terhadap kebijakan
pemerintah yang melegalisasi pertambangan.
5.1.2. Beberapa Alasan Penolakan
Selain karena berbagai kejanggalan yang telah
diuraikan di atas, Keuskupan Ruteng terutama
melalui JPIC resmi milik Gereja memiliki beberapa
Benny Denar

245

alasan spesifik sehingga menolak pertambangan.


Ada beberapa alasan yang patut disebutkan di sini.232
Pertama, terdapat dorongan untuk memerhatikan
dan memperjuangkan nilai keadilan, perdamaian,
dan keutuhan ciptaan yang tentu saja bersifat
hakiki dalam hidup Kristen.
Kedua, memperjuangkan salah satu misi
Keuskupan Ruteng yang mengharapkan peningkatan
peran profetis Gereja dalam membangun peradaban
politik yang bermoral serta menegakkan keadilan.
Ketiga, memperjuangkan visi komisi JPIC
Keuskupan Ruteng yang menghendaki masyarakat
Manggarai Raya yang damai, berwawasan, dan
berperilaku cinta lingkungan.
5.1.3. Tantangan dalam Perjuangan Tolak
Tambang
Ada cukup banyak tantangan yang dihadapi
232 Alasan-alasan ini merupakan hasil wawancara penulis
dengan Rm. Marten Jenarut, Pr selaku Ketua JPIC
Keuskupan Ruteng pada 29 Juli 2014 dan Pater Simon
Suban Tukan, SVD selaku Ketua JPIC SVD Provinsi SVD
Ruteng pada 28 Juni 2014. Tentu tidak saja hanya karena
alasan ini, tetapi ada cukup banyak alasan lain dan alasanalasan itu bisa terbaca secara eksplisit dan implisit dalam
keseluruhan tulisan di buku ini.
246

Mengapa Gereja (Harus!) Tolak Tambang?

oleh JPIC-JPIC milik Gereja, juga termasuk


berbagai LSM peduli lingkungan lainnya,
dalam perjuangan menolak pertambangan.233
Pertama, pemerintah terutama kepala daerah
rajin mengeluarkan izinan pertambangan
tanpa memerhatikan resistensi masyarakat.
Kedua, perusahaan-perusahaan tambang sering
memanipulasi data, seperti mengganti-ganti nama
dan alamat perusahaan. Ketiga, untuk mencapai
target, perusahaan seringkali menggunakan strategi
yang memecah belah masyarakat lingkar tambang
yang pada akhirnya berorientasi menguasai
masyarakat lingkar tambang dimaksud.
Keempat, terbatasnya kemampuan masyarakat
dalam memahami dampak-dampak negatif
pertambangan. Kelima, kelompok-kelompok
masyarakat yang menolak kehadiran pertambangan
biasanya disingkirkan atau ditekan oleh kelompok
dan tokoh-tokoh masyarakat yang mendukung
investasi pertambangan. Keenam, masyarakat sering
mudah tergiur oleh tawaran-tawaran sesaat, seperti
uang tunai dan berbagai hadiah lainnya untuk
233 Ibid.
Benny Denar

247

kemudian menerima kehadiran pertambangan.


Ketujuh, perusahaan tambang seringkali mendapat
bantuan dari pemerintah termasuk aparat keamanan
untuk menakut-nakuti warga.
5.1.4. Beberapa Kritik Terhadap Keterlibatan
Gereja
Di tengah berkecamuknya konflik seputar
pertambangan seperti halnya terjadi di Manggarai
Barat, ada banyak pihak yang menyoroti peran
Gereja Keuskupan Ruteng. Secara umum sorotansorotan tersebut dapat diringkaskan dalam
beberapa poin berikut.
5.1.4.1. Gereja Tidak Siap
Menurut George J. Aditjondro, Gereja-Gereja di
Flores termasuk Gereja Keuskupan Ruteng belum siap
menjadi kekuatan alternatif yang memperjuangkan
nasib rakyat/umat menghadapi arogansi kekuasaan
yang berselingkuh dengan kekuatan korporasi.
Bahkan Aditjondro menilai Gereja-Gereja di Flores
masih dominan menjadi palang merah dan bukan
menjadi palang pintu.234 George J. Aditjondro
234 George J. Aditjondro, Gereja Belum Siap Komunikasikan
248

Mengapa Gereja (Harus!) Tolak Tambang?

menyebutkan lima kelemahan yang melatarbelakangi


ketidaksiapan Gereja.235Pertama, kompleks minoritas
yang menghinggapi sebagian besar pemimpin Gereja
yang membuat mereka takut mengkritisi proyekproyek raksasa yang didukung pemerintah.
Kedua, mentalitas tertinggal yang mendorong
para pemimpin informal seperti juga para pemimpin
formal mendukung industrialisasi secara tidak kritis,
dengan mendukung proyek-proyek raksasa yang
diharapkan menciptakan lapangan kerja secara luas
bagi kepentingan ekonomi setempat. Ketiga, latar
belakang pendidikan para pemimpin Gereja yang
didominasi oleh ilmu teologi dan ilmu sosial tanpa
mendalami masalah lingkungan, ekonomi, politik;
membuat mereka melihat proyek-proyek raksasa
semata-mata sebagai berkat Tuhan buat daerah atau
jemaat-jemaat Gereja tanpa mengkritisinya lebih jauh.
Keempat, tersebar secara meratanya satuansatuan dan personil militer di desa-desa atau paling
tidak sampai ke kecamatan-kecamatan. Bisa jadi
Dampak Negatif Pertambangan, dalam Alex Jebadu, dkk
(ed.), op. cit., pp. 53-55.
235 Ibid.
Benny Denar

249

hal itu ikut menciutkan nyali para gembala jemaat


dan pemimpin Gereja untuk bersuara berbeda
dengan pemerintah. Kelima, rasa terima kasih
berlebihan dari para pemimpin Gereja terhadap
donatur-donatur besar yang paling besar andilnya
dalam pembangunan fisik gereja.
Aditjondro melihat faktor keempat dan kelima
di atas paling parah akibatnya bagi kemandirian
Gereja untuk mengekspresikan suara kenabiannya
dalam membela warga dan kaum miskin
menghadapi dampak negatif dari pengelolahan
alam yang strategis.
5.1.4.2. Hanya Sedikit Pemimpin Gereja yang
Terlibat
Analisis lain menyebutkan bahwa dalam
menghadapi derasnya arus investasi pertambangan
yang ditopang oleh Pemda, terdapat empat variasi sikap
gembala umat/pemimpin Gereja di Flores selama ini.236
Pertama,

sikap

mendukung

eksploitasi

tambang. Alasan para gembala umat yang

236 Robert Mirsel, Masalah Tambang Sebagai Masalah


Pastoral, dalam Alex Jebadu, dkk (ed.), Ibid., pp. 363-383.
250

Mengapa Gereja (Harus!) Tolak Tambang?

mendukung itu hampir sama persis dengan


alasan yang disampaikan Pemda bahwa tambang
menyejahterakan masyarakat. Sikap seperti ini
bisa dibaca sebagai upaya saling dukung antara
pemerintah dengan pihak pemimpin Gereja.
Sikap saling dukung ini boleh jadi dilatari oleh
suatu janji dan pengharapan bahwa Gereja juga
akan mengambil bagian dari keuntungan yang
akan diperoleh dari perusahaan tambang. Dalam
keadaan seperti ini, pemerintah dan pengusaha
akan merasa di-back up oleh pemimpin Gereja
sebagai salah satu kekuatan alternatif dan pada
sisi yang lain mereka meremehkan berbagai usaha
perlawanan baik oleh umat sendiri maupun oleh
umat dan para aktivis. Pada saat seperti ini, entah
sadar atau tidak, para pemimpin Gereja sebenarnya
sedang diinstrumentalisasi oleh penguasa dan
pengusaha untuk membungkam, melemahkan,
dan menjinakkan umat.
Kedua, sikap ragu-ragu. Keraguan itu muncul
karena beberapa alasan. Pertama, bisa jadi
pemimpin Gereja takut kehilangan hubungan
baik dengan Pemda dan pengusaha yang dianggap
Benny Denar

251

potensial menjadi penyumbang Gereja. Kedua,


bisa jadi keraguan yang sama disebabkan oleh
kurangnya pengetahuan terhadap masalah
yang ada, sehingga ragu-ragu mengambil sikap.
Kekurangan pengetahuan boleh jadi dilatari oleh
kurangnya minat dan kemauan untuk memahami
masalah dengan sungguh-sungguh. Atau karena
takut mengambil risiko bertabrakan dengan
pemerintah dan korporasi. Tetapi yang jauh lebih
memprihatinkan adalah kurangnya rasa percaya
diri dan rasa harga diri para pemimpin Gereja
berhadapan dengan penguasa politik.
Ketiga, masa bodoh (indifferent). Dalam
penelusuran Robert Mirsel, ditemukan bahwa tidak
sedikit pemimpin Gereja, entah karena tidak mau
tahu, tidak berminat atau karena memang tidak
memiliki pemahaman komprehensif tentang tugas
kegembalaan, lalu menganggap keterlibatan dalam
advokasi bukan sebagai sesuatu yang mewajibkan
melainkan hanya sebagai pilihan. Dengan sikap
seperti ini, maka tidak mengherankan jika sebagian
gembala umat tidak melihat jeritan umatnya yang
sedang memohon bantuan pembelaan. Sebagian
252

Mengapa Gereja (Harus!) Tolak Tambang?

pemimpin umat mengelak dari rasa tanggung


jawab dengan mengatakan bahwa terhadap hal-hal
semacam itu tidak semua gembala umat memiliki
kompetensi. Lebih buruk lagi, mereka menganggap
tugas semacam itu hanya tugas dari JPIC.
Gembala-gembala umat ini tidak mau berbicara
apalagi melibatkan diri dalam aksi nyata. Mereka
malah bisa menjadi penjual kelompok-kelompok
gembala umat yang benar-benar berada di sisi umat
yang menderita. Mereka bisa menjadi kelompok
oportunis yang mengais keuntungan dari situasi
keterpecahan semacam ini. Puncak dari sikap
masa bodoh adalah cuci tangan. Sikap semacam
ini paling nyata ketika sudah terjadi represi dari
pihak pemerintah yang di-back up oleh polisi
maupun militer. Gembala semacam ini melarikan
diri dan malah berkhianat dengan mengatakan
bahwa memang masyarakat belum memahami
rencana baik pemerintah untuk kesejahteraan
mereka. Gembala semacam ini bersama gembala
yang pro-tambang dan yang bersikap ragu-ragu
akan gampang dirangkul sebagai alat kekuasaan
untuk membungkam umat dan para pembela/
aktivis HAM dengan menggunakan berbagai cara,
Benny Denar

253

termasuk penjinakan lewat khotbah, renungan


saleh, dan sebagainya. Mereka juga mengatakan
bahwa tugas gembala umat adalah mempersatukan
semua umat Allah, menjaga keutuhan Gereja
dan menyingkirkan semua benih perpecahan
dan keretakan. Di sini jelas terlihat bahwa
mereka sengaja menggeser substansi persoalan
dari isu tambang yang merugikan rakyat/umat
kepada isu persatuan dan kesatuan Gereja. Pada
akhirnya penggeseran isu semacam itu justru bisa
dimanfaatkan oleh pemerintah untuk menekan
para aktivis serta umat yang menolak eksploitasi
tambang. Bahkan oleh pergeseran isu yang sama,
aksi menolak pertambangan bisa dianggap sebagai
isu makar (perlawanan terhadap pemerintah yang
sah).
Keempat, sikap menolak. Kajian Robert
Mirsel menemukan bahwa tidak banyak gembala
umat yang memiliki sikap tegas menolak arogansi
pertambangan. Walaupun tidak banyak, namun
mereka adalah golongan orang kritis dan sadar
bahwa mereka harus berada bersama umat untuk
menolak mafia pertambangan. Opsi semacam
254

Mengapa Gereja (Harus!) Tolak Tambang?

ini didasarkan pada keberpihakan yang jelas


terhadap kepentingan masyarakat akar rumput
yang tanah dan lingkungan hidupnya sedang
terancam rusak oleh aktivitas eksploitasi tambang.
Pada umumnya, gembala umat yang menolak
tambang adalah mereka yang telah lebih dahulu
membuat kajian atas masalah tambang, terutama
kajian atas dampak-dampak negatif kehadiran
tambang baik dari sisi ekologis, ekonomis, politis,
maupun sosio-kultural. Karena itu, sikap mereka
mencerminkan suatu sikap kritis-profetis selain
atas dasar pertimbangan rasional, tetapi juga atas
dasar kemauan dan minat yang sungguh untuk
terlibat dalam perjuangan keadilan, perdamaian,
dan keutuhan ciptaan yang telah menjadi salah satu
primadona perjuangan Gereja sejak akhir abad ke19. Menurut Robert Mirsel sikap menolak arogansi
pertambangan memang tampaknya diwakili oleh
sekelompok kecil kaum progresif dalam Gereja,
namun mereka justru mewakili hakikat Gereja
sesungguhnya, Gereja sebagai pelayan umat dan
Gereja sebagai persekutuan yang solider.

Benny Denar

255

5.1.5. Tolak Tambang Sebagai Sikap Gereja


Keuskupan Ruteng
Walaupun terdapat banyak kritik yang
dialamatkan kepada Gereja Keuskupan Ruteng,
namun terdapat beberapa hal yang sebenarnya
bisa dilihat sebagai titik terang bagaimana Gereja
Keuskupan Ruteng berjuang melawan arogansi
pertambangan. Seperti dijelaskan sebelumnya,
sebagian anggota hierarki memiliki kesadaran kritis
untuk menolak tambang. Bahkan Administrator
Keuskupan Ruteng pernah mengirim surat kepada
tiga bupati di wilayah Keuskupan Ruteng yang pada
intinya berisi sikap penolakan Gereja Keuskupan
Ruteng terhadap kehadiran pertambangan. Sikap
penolakan ini kemudian dilanjutkan secara
konsisten oleh Uskup Ruteng, Mgr. Hubertus
Leteng, Pr, dan pada akhirnya secara definitif
direkomendasikan sebagai hasil Sinode Keuskupan
Ruteng tahun 2013 silam. Berikut ini penulis akan
menunjukkan beberapa pokok penting terkait
sikap-sikap Keuskupan Ruteng dalam persoalan
pertambangan.

256

Mengapa Gereja (Harus!) Tolak Tambang?

5.1.5.1. Surat dari Administrator Keuskupan


Ruteng
Menyikapi polemik seputar pertambangan di
hampir semua wilayah Keuskupan Ruteng, Romo
Laurens Sopang, Pr selaku Administrator pernah
mengirim surat kepada tiga bupati di wilayah
Keuskupan Ruteng, yaitu Bupati Manggarai Barat,
Bupati Manggarai, dan Bupati Manggarai Timur.
Dalam surat tersebut, ada dua pokok utama yang
disampaikan oleh Administrator Keuskupan
Ruteng,
yaitu
mengenai
prinsip-prinsip
pembangunan berkeadilan dan rekomendasi
terkait pilihan pembangunan yang sesuai prinsipprinsip berkeadilan tersebut.
5.1.5.1.1. Prinsip-Prinsip Pembangunan
Berkeadilan
Menurut surat Administrator Keuskupan
Ruteng, dalam terang iman, pembangunan yang
dilaksanakan untuk kesejahteraan manusia harus
menempatkan manusia itu sendiri sebagai dasar,
sebab, dan tujuan dari pembangunan. Oleh karena

Benny Denar

257

itu, ada beberapa prinsip yang mesti diikuti.237


Pertama, kesejatian setiap usaha pembangunan
hanya bisa terlaksana apabila hak-hak asasi manusia
dalam semua dimensi kehidupannya dihormati
dan dilindungi. Jadi, perkembangan yang sejati
mesti menunjang manusia dalam martabatnya;
dan martabat manusia hanya dapat dihormati
apabila hak-hak asasinya dihormati.
Kedua, setiap manusia berhak atas
perkembangan mereka sendiri, bebas dari tekanan
dan paksaan dari luar. Pembangunan yang sejati
tidak hanya sekadar penimbunan kekayaan sematamata atau pada makin tersedianya harta benda
maupun jasa pelayanan seraya merugikan dan
mengorbankan manusia itu sendiri dan dengan
tidak mengindahkan dimensi-dimensi kehidupan
lainnya, seperti dimensi sosial, budaya, politik dan
terutama dimensi batinnya.238 Pembangunan yang
237 Bdk. Keuskupan Ruteng, Surat Pernyataan Sikap Terhadap
Kebijakan Industri Pertambangan di Manggarai, Manggarai
Barat, dan Manggarai Timur, dikeluarkan pada 2 Mei
2009 di Ruteng dan ditandatangani oleh Romo Laurensius
Sopang, Pr sebagai Administrator Keuskupan Ruteng.
238 Bdk. Ensiklik Sollicitudo Rei Socialis, Artikel 9, op. cit., pp.
13-15.
258

Mengapa Gereja (Harus!) Tolak Tambang?

sejati harus dinilai dan diarahkan seturut panggilan


manusia seutuhnya, yaitu menurut dimensi
batinnya dengan tetap membutuhkan hasil-hasil
ilmu pengetahuan dan teknologi serta secara
istimewa campur tangan otoritas publik demi
terciptanya kesejahteraan umum yaitu kondisikondisi kehidupan sosial yang memungkinkan
semua kelompok sosial maupun masing-masing
anggotanya mencapai kesempurnaannya sendiri
secara lebih penuh dan lebih mudah. Kesejahteraan
bersama dewasa ini menjadi makin menyeluruh
dan karenanya meliputi hak-hak dan kewajibankewajiban yang menyangkut seluruh umat
manusia.239
Ketiga, oleh karena pribadi manusia menjadi
dasar, sebab dan tujuan pembangunan, maka
Keuskupan Ruteng meminta agar otoritas publik
pada tingkat manapun melibatkan manusia itu
sendiri entah secara pribadi maupun kelompok,
bekerja sama dalam semangat solidaritas satu sama
lain dengan menempatkan keunggulan martabat
239 Bdk. Dokumen Konsili Vatikan II, GS 26, op. cit., pp. 552553.
Benny Denar

259

manusia sebagai yang utama dalam pembangunan


dengan tetap memerhatikan prinsip subsidiaritas,
yaitu apa yang dapat dilaksanakan oleh orang
perorangan atas prakarsa dan tenaga sendiri
sekali-kali tidak boleh dirampas dari padanya lalu
diserahkan kepada institusi yang lebih tinggi.
5.1.5.1.2. Beberapa Rekomendasi
Berdasarkan amanat iman kristiani dan
prinsip-prinsip pembangunan yang berkeadilan,
Keuskupan Ruteng, melalui surat Romo Laurens
Sopang, Pr memberikan beberapa rekomendasi.
Supaya rekomendasi tersebut bisa dibaca secara
utuh, maka di sini penulis mengutipnya secara
lengkap.
1/. Semua kebijakan dan model pembangunan
yang melanggar hak-hak asasi manusia dan
merendahkan martabat setiap pribadi sangat perlu
ditinjau ulang. 2/. Kami menolak semua aktivitas
pertambangan yang merugikan dan mengancam
masyarakat dan daerah serta seluruh alam tercipta;
dan mendesak agar pemerintah ketiga kabupaten di
Manggarai mencabut semua kuasa pertambangan
yang telah diberikan dan tidak memberikan izin
baru kepada perusahaan-perusahaan. Kehadiran
pertambangan di Manggarai telah merusak
260

Mengapa Gereja (Harus!) Tolak Tambang?

ekosistem kehidupan secara menyeluruh dan terus


mengancam keselamatan manusia dan dunia.
Usaha pertambangan juga telah menimbulkan
berbagai kerugian dan mengancam keselamatan
masyarakat di dalam dan di sekitar kawasan
penambangan akibat sering dilanggar dan
diabaikannya hak-hak masyarakat di sekitar
dan dalam kawasan pertambangan, baik itu hak
ekonomi, hak politik, hak budaya dan keagamaan
maupun hak-hak sosial lainnya. Demikan juga
sistem penambangan yang eksploitatif telah
membawa dampak kerusakan lingkungan yang
sangat besar dan bersifat permanen, mengeruk
lahan dan menguras air, mencemarkan udara
dan menimbulkan berbagai penyakit yang
sebelumnya tidak ada, bahkan pemukiman
penduduk terancam digusur. 3/. Dalam semangat
cinta kasih, demi keadilan, kami meminta
pemerintah melaksanakan pembangunan dengan
prioritas-prioritas yang sesuai dengan potensipotensi daerah. Adalah kontraproduktif jika
Manggarai yang telah menjadi lumbung padi
NTT karena tanahnya subur, kaya akan tanaman
perdagangan, memiliki potensi kelautan dan
perikanan yang besar, memiliki obyek wisata
yang banyak diubah fungsi kawasannya menjadi
wilayah pertambangan. 4/. Kami mendorong
pemerintah ketiga kabupaten di Manggarai agar
terus menggalakkan kerja sama dengan semua
elemen masyarakat, mengembangkan potensiBenny Denar

261

potensi unggulan yang ada di Manggarai untuk


meningkatkan kesejahteraan rakyat. Kami
memandang perlu untuk menegaskan bahwa
pengelolaan sumber daya alam yang eksploitatif
secara khusus yang dilakukan oleh perusahaanperusahaan pertambangan yang kini marak
beroperasi di wilayah Manggarai sama sekali tidak
mendukung pembangunan yang berkeadilan
dan kehidupan yang berkelanjutan. 5/. Kami
mengakui bahwa selama ini atas cara tertentu
kami kurang peka dan telah turut mendukung
usaha-usaha pengelolaan sumber daya alam yang
eksploitatif dan yang mengorbankan martabat
manusia. Karena itu, dengan rendah hati kami
meminta ampun dari Tuhan dan meminta maaf
kepada semua pihak yang telah dirugikan. 240

5.1.5.2. Tolak Tambang Menjadi Sikap


Hierarki
Walaupun ada pastor dan kalangan imam yang
tidak memiliki sikap jelas terhadap pertambangan,
namun ada beberapa indikasi yang patut disebutkan

240 Bdk. Keuskupan Ruteng, Surat Pernyataan Sikap


Terhadap Kebijakan Industri Pertambangan di Manggarai,
Manggarai Barat, dan Manggarai Timur, dikeluarkan pada
2 Mei 2009 di Ruteng dan ditandatangani oleh Romo
Laurensius Sopang, Pr sebagai Administrator Keuskupan
Ruteng.
262

Mengapa Gereja (Harus!) Tolak Tambang?

yang menunjukkan sikap penolakan hierarki


Keuskupan Ruteng terhadap pertambangan.
Pertama, keterlibatan cukup banyak pastor paroki
dalam kegiatan tolak tambang.241
Kedua, ketegasan sikap Mgr. Hubertus
Leteng, Pr, selaku Uskup Ruteng. Sikap penolakan
Gereja secara jelas dan konsisten ditunjukkan
oleh Mgr. Hubertus Leteng, Pr. Uskup Hubert
sungguh-sungguh
konsisten
menjalankan
motto kegembalaannya terutama dalam pilihan
sikap bersaudara dengan lingkungan hidup.
Pilihan sikap yang konsisten ini bisa terbaca dari
berbagai seruan dan aksi nyata yang dilakukan
Uskup Hubert dalam berbagai kesempatan. Mgr.
Hubertus Leteng, Pr, misalnya pernah membuat
misa ekologis di lokasi-lokasi pertambangan, seperti
pernah terjadi di Batu Gosok, Manggarai Barat. 242
241 Laporan Evaluasi Program Penguatan Masyarakat Lingkar
Tambang di Manggarai Dioses Ruteng, Project No. 416004-1028, Juli 2010, p. 8.
242 Dalam misa-misa seperti itu, Mgr. Hubertus mengajak umat
untuk bersama-sama menolak kehadiran pertambangan
di Manggarai Raya yang merusakkan lingkungan hidup.
Bdk.
http://indonesia.ucanews.com/2013/01/25/
uskup-ruteng-ajak-umat-tolak-tambang/, juga dalam;
http://www.jawaban.com/news/spiritual/detail.php?id_
Benny Denar

263

Dalam kesempatan-kesempatan seperti itu, Mgr.


Hubert dengan tegas menolak pertambangan dan
meminta semua komponen Gereja termasuk umat
untuk bersama-sama mendukung gerakan tolak
tambang. Bagi Mgr. Hubert penolakan terhadap
tambang, tidak hanya didasari alasan kemanusiaan,
ekologis dan sosiologis, tetapi juga didasari alasan
iman, bahwa alam ciptaan dan lingkungan hidup
adalah Taman Eden yang sudah disediakan
oleh Allah bagi manusia. Kalau dirusakkan oleh
aktivitas tambang, maka manusia tidak bisa lagi
mendapat dan menikmati, mempertahankan dan
melanjutkan hidupnya dari alam ciptaan dan
lingkungan hidup yang ada yang diberikan Allah.
5.1.5.3. Rekomendasi Sinode Keuskupan
Ruteng
Salah satu keputusan penting Sinode
Keuskupan Ruteng yang terjadi pada 13-17
Januari 2014 lalu adalah menolak aktivitas
pertambangan di Manggarai Raya karena dinilai
merusak alam ciptaan. Semua aktivitas yang
news=101119124716&off=, diakses pada 26 November
2013.
264

Mengapa Gereja (Harus!) Tolak Tambang?

merusak lingkungan, baik yang dilakukan oleh


masyarakat maupun oleh aktivitas pertambangan
ditolak. Semua pihak diminta menjaga keutuhan
ciptaan, termasuk pemerintah yang berwewenang
mengeluarkan IUP. Diangkatnya masalah ini
dalam Sinode Keuskupan Ruteng dan adanya
keputusan menolak pertambangan adalah energi
baru untuk meningkatkan kesadaran masyarakat
Manggarai tentang pentingnya menjaga keutuhan
ciptaan di mana lingkungan merupakan salah satu
pilar relasi segi tiga antara Tuhan, manusia, dan
ciptaan lainnya.
Uskup Ruteng Mgr. Hubert Leteng pada
awal sinode menegaskan pentingnya umat Katolik
Manggarai menjaga keutuhan ciptaan dan menolak
pembangunan yang merusak lingkungan hidup
dengan dalih meningkatkan Pendapatan Asli
Daerah (PAD). Menurut Uskup Hubert, tidaklah
benar kesejahteraan rakyat diwujudkan dengan
merusak lingkungan dan hutan. Gereja Katolik
Manggarai berkomitmen untuk membangun
kesadaran umat bahwa sumber daya alam itu
terbatas. Gereja punya hak dan tanggung jawab
Benny Denar

265

untuk membanguan kesadaran umat untuk


membangun keutuhan ciptaan.
Berikut kutipan langsung rekomendasi Sinode
Keuskupan Ruteng terkait ekologi.
Berdasarkan temuan masalah dominan di
bidang ekologi dan diterangi oleh cahaya iman,
kami peserta Sinode III Keuskupan Ruteng
menetapkan keputusan-keputusan berikut. A.
Kami mewajibkan diri untuk menjadi: 1. Gereja
yang dipanggil untuk menjadi mitra Allah dalam
menjaga dan memelihara keutuhan ciptaan
sebagai sumber penghidupan. 2. Gereja yang
membangun spiritualitas ekologis (semangat
cinta lingkungan hidup) dalam diri umat kristiani
melalui liturgi dan inkulturasi ekologis. 3. Gereja
yang senantiasa menggerakkan umat kristiani
untuk memulihkan dan melestarikan keutuhan
ciptaan serta berkomitmen bahwa ekologi
menjadi panggilan dan perutusan. 4. Gereja
yang senantiasa prihatin dan responsif terhadap
masalah perusakan dan pencemaran lingkungan
hidup serta dampak-dampaknya (pembabatan
hutan, eksploitasi tambang, pencemaran tanah,
pencemaran udara, pencemaran air, sampah,
dan perubahan iklim). 5. Gereja yang senantiasa
bertindak melawan segala bentuk perusakan dan
pencemaran lingkungan hidup serta dampakdampaknya. 6. Gereja yang memiliki komitmen
untuk memastikan bahwa tidak seorang pun boleh
266

Mengapa Gereja (Harus!) Tolak Tambang?

melakukan perusakan lingkungan hidup. 7. Gereja


yang aktif membangun jejaring dengan pihakpihak yang memiliki keprihatinan dan kepedulian
terhadap lingkungan hidup.243

5.2. TOLAK TAMBANG DAN PILIHAN ETIS


PEMBANGUNAN

Pertambangan sebagai sebuah pilihan


kebijakan politik pembangunan dalam praksisnya
justru mengorbankan atau menyebabkan
penderitaan manusia dan bukan sebaliknya
membawa masyarakat keluar dari penderitaannya.
Alasan-alasan inilah yang menjadikan Gereja
Keuskupan Ruteng menolak pertambangan.
Namun Gereja tidak boleh berhenti sampai di
situ. Seturut panggilan hakikinya, Gereja perlu
mengembangkan sekaligus menawarkan pilihan etis
pembangunan yang lebih menunjang kemanusiaan
dan ramah terhadap lingkungan. Sesuai amanat
ASG dan seturut etika pembangunan bertitik tolak

243 Bdk. Keputusan Sinode III Keuskupan Ruteng Sesi I


Tentang Pastoral Ekologi, dikeluarkan di Ruteng, 17
Januari 2014, dan ditandatangani oleh Mgr. Hubertus
Leteng, Pr selaku Uskup Dioses Ruteng.
Benny Denar

267

penderitaan, maka Gereja perlu mengembangkan


dan menawarkan model pembangunan yang
mengutamakan kaum miskin serta model
pembangunan yang mengutamakan keberlanjutan
kehidupan.
Keseluruhan pembahasan di buku ini
memuncak pada dua implikasi pokok, yakni
perhatian terhadap kaum miskin dan pengembangan
model pembangunan berkelanjutan. Intinya
Gereja Keuskupan Ruteng perlu memahami tugas
panggilan dan tanggung jawabnya untuk ikut
berperan dalam pengelolaan dan pelestarian alam
serta segala isinya yang telah disediakan Tuhan.
Oleh karena itu, Gereja perlu memiliki tanggung
jawab moral dalam rangka memperbaiki dan
mencegah terjadinya kerusakan dan pengrusakan
lingkungan sebagai akibat keserakahan manusia.
5.2.1. Pilihan Mengutamakan Kaum Miskin
5.2.1.1. Pendasaran Etis Seturut ASG
Etika pembangunan yang bertitik tolak
penderitaan dan amanat inti ASG memiliki salah
satu implikasi fundamental, yakni menjadikan
268

Mengapa Gereja (Harus!) Tolak Tambang?

orang miskin sebagai prioritas pilihan kebijakan


pembangunan. Sebab mereka adalah orang
yang paling menderita. Dengan demikian,
jika pembangunan bertitik tolak dari faktum
penderitaan, maka penderitaan orang miskin
itulah yang mesti dicegah dan ditanggulangi.
Pilihan untuk mengutamakan kaum miskin dan
menderita ini tentu saja sesuai dengan pilihan dasar
Gereja yang mengutamakan kaum miskin seperti
telah penulis jelaskan di Bab III buku ini. Bahkan
dalam Nota Pastoral KWI Tahun 2004 ditegaskan
paradigma baru dalam Gereja, yaitu Gereja adalah
sahabat bagi semua. Bersahabat dengan semua
pertama-tama berarti bahwa Gereja hadir untuk
semua, tanpa ada yang dikecualikan. Namun
demikian, eksistensi sebagai sahabat akan menjadi
konkret ketika Gereja hadir di mana-mana dan
melayani mereka yang menderita, yang berada
dalam kesulitan, yang sedang mengalami jalan
buntu dan dilanda bencana. Juga, apabila Gereja
mengembangkan kearifan budaya sendiri dan
ambil bagian dalam membangun keadilan sosial.
Gereja ingin menjadi sahabat bagi semua kalangan;
mendengar dengan hati dan jiwa para penderita,
Benny Denar

269

korban, kaum tergusur dan mendoakan mereka;


mengupayakan rasa kesenasiban dan keberpihakan
kepada para penderita; mengadakan pertemuanpertemuan untuk membagi keprihatinan dan
membangun nilai; menyediakan sarana atau
kesempatan untuk temu persaudaraan yang
mengatasi berbagai macam sekat sosial. Dalam
kehadiran dan pelayanannya, Gereja ingin
mengembangkan modal-modal sosial yang
amat bernilai seperti: kekayaan budaya nasional
sebagaimana tercantum dalam pembukaan
Undang-Undang Dasar 1945, terutama mengenai
keadilan sosial bagi seluruh bangsa, solidaritas,
kesejahteraan umum, cinta damai - hal yang
juga dapat digali dari kekayaan budaya setempat;
kerelaan membantu saudara-saudari yang
berkesusahan karena tertimpa bencana.244

Pilihan Gereja untuk mengutamakan


kaum miskin tentu saja tidak berarti bahwa
Gereja mengabaikan orang-orang kaya, karena
Gereja ada untuk semua orang, apapun status
244 Bdk. Nota Pastoral KWI, Keadaban Publik: Menuju
Habitus Baru Bangsa, dikeluarkan di Jakarta, pada 11
November 2004. Bdk. Armada Riyanto, Nota Meretas
Jalan Societas Dialogal Pembacaan Etis-Filosofis Nota
Pastoral KWI, dalam Departemen Dokumentasi dan
Penerangan KWI, Refleksi dan Evaluasi Nota Pastoral
KWI Tahun 2003, 2004 dan 2006, Spektrum No. 4
Tahun XXXV, 2007, pp. 28-42.
270

Mengapa Gereja (Harus!) Tolak Tambang?

sosialnya. Namun dalam situasi ketidakadilan dan


penindasan, Gereja perlu mengambil sikap dengan
mengutamakan kelompok-kelompok atau orangorang yang paling dikorbankan dan yang tidak
dapat membantu dirinya sendiri. Sebab mereka
yang miskin dan tidak berdayalah yang terkena
dampak paling berat dan karenanya membutuhkan
perhatian utama.
Tujuan utama dari pilihan mengutamakan
kaum miskin adalah agar mereka kembali
diberdayakan dan berpartisipasi aktif dalam
kehidupan bermasyarakat. Dalam konteks ini
sangat menarik Surat Pastoral dari para Uskup
Amerika Serikat yang berjudul Economic Justice for
All, yang mengatakan bahwa;
Tujuan utama komitmen spesial kepada orang
miskin ini adalah memungkinkan mereka
berpartisipasi aktif dalam hidup bermasyarakat.
Mereka diberdayakan untuk mampu berbagi
dalam dan menyumbang bagi kesejahteraan
umum. Karena itu, the option for the poor
bukanlah slogan permusuhan yang mengadu
satu kelompok atau kelas dengan kelompok atau
kelas lain. Tetapi prinsip tersebut menyatakan
bahwa ketidakberdayaan kaum miskin melukai
Benny Denar

271

keseluruhan komunitas. Tingkat penderitaan


mereka adalah ukuran sejauh mana kita telah
menjadi sebuah komunitas sejati. Luka-luka itu
hanya akan disembuhkan oleh solidaritas yang
lebih besar dengan kaum miskin dan di antara
kaum miskin sendiri.245

5.2.1.2. Dua Implikasi Penting


5.2.1.2.1. Agen Pastoral Mesti Berdiri dengan
Kaum Miskin
Dari berbagai referensi yang tersedia hampir
semuanya mengungkapkan fakta menguatnya
jalinan perselingkuhan antara penguasa lokal
(Pemda) dengan korporasi dalam investasi
pertambangan di Flores, termasuk di wilayah
Keuskupan Ruteng. Mereka membangun relasi
saling menguntungkan; bupati mendapat dana
untuk kampanye pemilu guna mempertahankan
kekuasaan, sementara investor mendapat
kemudahan untuk mendapat IUP. Anehnya, hanya

245 Dikutip dari artikel Martino Rengkuan berjudul


Prinsip-Prinsip Ajaran Sosial Gereja, dalam http://
martinorengkuan.blogspot.com/2013/01/prinsip-prinsipajaran-sosial-gereja_6846.html, diakses pada 6 Maret
2015.
272

Mengapa Gereja (Harus!) Tolak Tambang?

sedikit para gembala umat yang tidak terjebak


dalam arus perselingkuhan tersebut. Banyak
pemimpin Gereja yang justru jadi penopang atau
mendukung baik secara aktif maupun pasif
investasi pertambangan, walaupun mereka tahu
hal itu menyengsarakan rakyat/umatnya sendiri.246
Banyak pemimpin Gereja yang menjadi
penopang arogansi pertambangan karena
kemewahan hidup mereka ditopang oleh uang
dari korporasi dan pemerintah.247 Bukan tidak
mungkin juga, korporasi dan pekerja pemerintahan
yang korup sering menggunakan sebagian uang
curiannya untuk menyumbang di tempat-tempat
ibadah atau lembaga-lembaga amal. Mereka juga
kerap menggunakan istilah-istilah khas religius dan
mengumbar kesalehan ritualistik di depan publik
untuk menutup kejahatannya. Mereka berupaya
246
Dalam penelusuran George J. Aditjondro dalam
kunjungannya ke Manggarai tahun 2009 lalu, beliau
menemukan fakta perselingkuhan antara pemilik modal,
negara, dan Gereja. Bdk. George J. Aditjondro, Dialektika
Antara Pemekaran Daerah dan Pertambangan di NTT,
dalam Alex Jebadu, dkk, op. cit., pp. 326-328.
247 Ferdy Hasiman, Monster Tambang Gerus Ruang Hidup
Warga Nusa Tenggara Timur, (Jakarta: JPIC OFM
Indonesia, 2014), pp. 71-73.
Benny Denar

273

mengelabui publik dengan senjata kesalehan


simbolik yang dibangunnya untuk memunculkan
kesan bahwa mereka tidak bersalah. Di sinilah
kredibilitas para gembala umat dipertaruhkan.
Padahal, Yesus248 dan karena itu Gereja,
seharusnya pertama-tama berada di pihak orang
miskin, lemah dan mereka yang butuh bantuan.
Sebab tidak ada yang lebih buruk dan memberi
scandalum lebih besar daripada kalau aparat Gereja
berpihak pada mereka yang berkuasa dan berduit.
Oleh karena itu, tugas para gembala umat semestinya
adalah sepenuh tenaga membangun hubungan
baik antara umat dengan para penguasa lokal dan
daerah agar mereka bisa berpihak kepada masyarakat
terutama kepada mereka yang miskin dan lemah.249
248 Lihat ulasan terkait sikap Yesus terhadap orang miskin
dan tak berdaya, dalam Yvon Ambroise & R.G. Lobo,
Transformasi Sosial Gaya Yesus, Terj. Y.M. Florisan,
(Maumere: LPBAJ, 2000), pp. 77-88. Atau dalam
Leonardo Boff, Yesus Kristus Pembebas, Terj. Aleksius
Armanjaya dan G. Kirchberger, Cetakan ke III, (Maumere:
LPBAJ, 2001), pp. 69-75.
249 Franz Magnis Suseno, Iman dan Hati Nurani Gereja
Berhadapan dengan Tantangan Zaman, (Jakarta: Obor,
2014), pp. 125-127. Gerakan profetis tidak perlu ditakuti,
asalkan para gembala umat benar-benar mengikuti model
gerakan kenabian dalam Kitab Suci. Pertama, pewartaan
274

Mengapa Gereja (Harus!) Tolak Tambang?

Supaya opsi terhadap orang miskin ini tidak


dimengerti secara salah, maka ada dua hal yang
perlu diperhatikan.250 Pertama, Gereja Katolik
menolak perspektif pertentangan kelas dari Karl
Marx, seakan-akan para gembala umat mesti
berdiri di pihak umat dan harus berlawanan dengan
pejabat atau harus berlawanan dengan kelas-kelas
atas. Gereja termasuk kaum hierarki dan biarawanbiarawati wajib mengabdikan diri kepada seluruh
umat, semua kelas. Gereja dan kaum terpanggil
tidak mencari, apalagi memanaskan konflik sosial,
tetapi apabila pemerintah atau para penguasa
ekonomi berhadapan dengan rakyat, maka mereka
wajib berada di pihak rakyat.
Kedua, aparat Gereja sendiri tidak boleh
korup.251 Sebaliknya Gereja harus memberi
dan tindakan profetis itu bukan pesanan dari kekuatan/
kekuasaan tertentu. Kedua, pewartaan dan tindakan profetis
yang sama dilakukan tidak mengindahkan konstelasi
kekuasaan yang ada. Singkatnya, pewartaan dan tindakan
profetis hanya dilakukan semata-mata untuk membela
kebaikan umum. Bdk. Paul Budi Kleden, op. cit., p. 217.
250 Franz Magnis Suseno, Iman dan Hati Nurani , loc. cit.
251 Kritik Paus Fransiskus terhadap para mafia di Italia
layak dijadikan contoh. Pada 8 November 2013 silam,
Paus Fransiskus secara blak-blakan menegur kelompok
Benny Denar

275

teladan terutama dalam hal transparansi keuangan.


Administrasi keuangan mesti transparan dan harus
dapat dikontrol. Itu berlaku di tingkat paroki dan
juga tingkat keuskupan. Di dalam suatu negara
di mana korupsi merajalela dan mengancam jati
diri moral bangsa serta mutu pembangunan, maka
aparat Gereja wajib memelopori perang melawan
korupsi dengan menjadikan diri sendiri bersih dari
segala praktik KKN.
5.2.1.2.2. Menempatkan Rakyat Sebagai
Subjek Pembangunan
Konsekuensi dari pilihan ASG dan etika
mafia Italia dengan menyebut mereka sebagai; devotees of
the goddess of kickbacks (para penyembah dewi korupsi)
yang membawa pulang dirty bread (roti kotor) yang
menyebabkan starved of dignity (kelaparan harga diri)
pada keluarganya. Kata-kata Paus Fransiskus tersebut
lahir dari konteks kecemasannya bahwa para mafia
Italia dimaksud sering kali menampilkan kesalehan
religiusnya, seperti mengenakan salib dan patung-patung
suci, termasuk bahkan mencium rosario sebelum mereka
membunuh orang. Paus Fransiskus mencemaskan adanya
pembauran antara kesalehan simbolik dengan kejahatan
yang dilakukan para mafia Italia. Ketika pemimpin Gereja
bersekutu dengan mereka, maka pemimpin Gereja pun
bisa masuk dalam golongan mafia, yang sepatutnya juga
mendapat kritik tajam dari Paus Fransiskus dan karena
itu sudah saatnya Gereja harus bertobat. Bdk. www.
catholicnews.com, diakses pada Sabtu, 5 April 2014.
276

Mengapa Gereja (Harus!) Tolak Tambang?

pembangunan bertitik tolak penderitaan yang


mengutamakan kaum miskin dalam pembangunan
adalah menempatkan mereka sebagai subjek utama
pembangunan. Di sini partisipasi masyarakat
perlu mendapat tempat yang layak. Hal ini
sesuai dengan pandangan etika politik modern
yang melihat tugas pemerintah hanyalah sebagai
fasilitator pembangunan, sedangkan pelaku atau
agen pembangunan adalah masyarakat itu sendiri.
Pemerintah bertugas mempermudah, membantu,
mendorong, memotivasi, memfasilitasi agar rakyat
dengan pengetahuan, kemampuan dan sumbersumber daya yang ada padanya, termasuk sumbersumber alamnya, dapat dipermudah untuk
mencapai tingkat serta mutu hidup yang lebih baik
dalam segala aspeknya.
Menempatkan masyarakat sebagai subjek
pembangunan berarti melihat pembangunan
sebagai
akta
pemberdayaan
masyarakat.
Pembangunan yang dilihat sebagai akta
pemberdayaan masyarakat paling kurang memiliki
tiga jalan untuk mengurangi penderitaan atau

Benny Denar

277

menanggulangi kemiskinan.252 Pertama, proses


252 Eben Nuban Timo, Anak Matahari Teologi Rakyat Bolelebo
Tentang Pembangunan, (Maumere: Ledalero, 2012), pp.
89-93. Terhadap sistem ekonomi yang menjauhkan sumber
daya dari kaum kecil, Nota Pastoral KWI Tahun 2007
memberikan respon sebagai berikut: Prioritas gerakan
kita adalah pemberdayaan potensi dan energi ekonomi
rakyat. Segala upaya dalam rupa kebijakan publik serta
kerja sama dengan kekuatan ekonomi berskala besar hanya
punya arti apabila diarahkan untuk proses pemberdayaan
itu. Sekali lagi, proses itu tidak boleh mengakibatkan
ketergantungan kaum miskin dan lemah kepada kekuatankekuatan ekonomi berskala besar maupun pemerintah,
tetapi membebaskan mereka dari ketergantungan.
Prioritas ini mendesak, dan untuk itu beberapa langkah
berikut perlu ditempuh. Pertama, gerakan untuk
memenuhi kebutuhan dasar warga masyarakat yang
miskin, bukan dengan program dan proses yang membuat
mereka semakin tergantung, tetapi melalui upaya-upaya
yang membuat potensi dan energi ekonomi mereka
muncul serta bergerak. Semua pihak perlu melakukan
evaluasi sejauh mana sumbangannya terhadap proses
ini sungguh-sungguh membuat kaum miskin semakin
berdaya dalam kehidupan ekonomi. Kedua, gerakan
untuk memberdayakan kelompok-kelompok khusus di
antara kaum miskin, yang secara ekonomi aktif dan yang
mempunyai potensi serta energi untuk berkembang.
Terutama sangat penting gerakan pemberdayaan melalui
pendidikan kewirausahaan dan pembentukan modal tanpa
menggantungkan diri pada kekuatan-kekuatan ekonomi
berskala besar maupun pemerintah. Ketiga, gerakan
pendidikan dan pengadaan modal secara mandiri. Hal
ini tentu tidak dapat dilepaskan dari proses pembentukan
sikap saling percaya, kejujuran dalam usaha, kreativitas,
inovasi, kualitas kerja, ketepatan waktu, pola hidup
hemat dan sebagainya. Kita dapat bercermin pada kisahkisah mereka baik dari dalam maupun luar negeri yang
278

Mengapa Gereja (Harus!) Tolak Tambang?

penyadaran. Dalam proses ini pendidikan


rakyat memainkan peranan yang penting. Di
sini tekanan perlu diberikan kepada nilai-nilai,
tradisi-tradisi, dan pendapat-pendapat orang

memperjuangkan pemberdayaan kaum miskin. Keempat,


gerakan untuk mendesakkan pengadaan prasarana sosial
ekonomi yang lebih seimbang di Indonesia, dengan
memberi perhatian khusus pada pengembangan berbagai
prasarana yang mendorong perkembangan ekonomi
rakyat di daerah-daerah tertinggal. Kelima, gerakan
untuk memantau arah kebijakan publik dalam bidang
ekonomi, agar semakin memberi perhatian khusus pada
usaha memberdayakan potensi dan energi ekonomi kaum
miskin dan lemah. Keenam, gerakan untuk memantau
arah kebijakan publik, dengan perhatian khusus pada
pelaksanaan tata kelola yang baik dan pencegahan korupsi,
kolusi serta jual beli kebijakan publik. Ketujuh, gerakan
bersama mereka yang berkehendak baik dan semua pihak,
baik pemerintah maupun dunia usaha, untuk membentuk
jaringan usaha-usaha kecil dan mikro yang melatih serta
menghadirkan lapangan kerja bagi mereka yang tidak
terampil dalam masyarakat. Kedelapan, gerakan untuk
melestarikan lingkungan sebagai upaya ekologis yang tidak
boleh diabaikan dalam usaha peningkatan kesejahteraan
ekonomi. Kesembilan, semua gerakan itu dapat menjadi
gerakan yang andal dan berkelanjutan apabila didukung
oleh gerakan para cerdik pandai yang terus-menerus
melakukan kajian kritis atas berbagai cara berpikir
dan praktik berekonomi yang berlangsung dewasa ini.
Tujuannya untuk menemukan gagasan, cara berpikir dan
praktik ekonomi baru yang lebih berorientasi pada kaum
miskin dan lemah serta cita-cita kesejahteraan bersama.
Bdk. Nota Pastoral KWI, Habitus Baru: Ekonomi yang
Berkeadilan, dikeluarkan di Jakarta, pada 3 Januari 2007.
Benny Denar

279

miskin. Namun yang tidak kalah penting adalah


rakyat harus menyadari potensi mereka dan
sumbangan positif apa yang mereka bisa berikan
kepada pembangunan. Mereka harus dilatih
untuk menghargai nilai-nilai, tradisi, dan sistemsistem ekonomi asli mereka. Mereka tidak boleh
cepat menyerahkan atau memusnahkan nilai-nilai
yang mereka miliki karena menganggap semua
itu terbelakang. Mereka perlu diyakinkan untuk
tidak menerima sesuatu yang datang dari luar jika
barang impor itu tidak membantu pengembangan
pribadi dan nilai-nilai yang mereka kenal.
Kedua, rakyat sendirilah yang harus melakukan
aksi memerangi dan melawan kemiskinan.
Partisipasi rakyat sebagai subjek pembangunan
sangat menentukan. Jika tidak begitu, maka
sulit untuk mengubah situasi mereka. Terlalu
sering pembangunan yang dimaksudkan untuk
memberantas kemiskinan dan menolong orang
miskin direncanakan dan dilakukan untuk
dan bukan bersama dengan orang miskin.
Pembangunan yang demikian akan menciptakan
ketergantungan kepada pihak yang menolong.
280

Mengapa Gereja (Harus!) Tolak Tambang?

Dengan cara ini sistem yang korup tetap


dipertahankan. Rakyat dengan sengaja dibiarkan
tetap hidup dalam kemiskinan.
Ketiga, perlunya organisasi. Namun ada dua
hal yang perlu diperhatikan terkait organisasi
ini. Pertama, organisasi ini harus bertolak dari
kebutuhan rakyat sendiri. Mereka harus membuat
perencanaan sendiri dan siap untuk bertindak.
Tindakan itu harus terus-menerus dievaluasi untuk
mengetahui apakah strategi itu dapat menolong
rakyat. Kedua, organisasi itu harus menciptakan
suatu proses di mana rakyat dipersiapkan
secara sukarela untuk mengambil bagian dalam
pembentukan masyarakat baru.
5.2.2. Mengutamakan Pembangunan
Berkelanjutan
5.2.2.1. Gagasan Dasar Pembangunan
Berkelanjutan
Sesuai dengan penjelasan penulis sebelumnya
bahwa
pilihan
mengembangkan
model
pembangunan berkelanjutan juga merupakan salah
satu implikasi penting dari model pembangunan
bertitik tolak penderitaan berdasarkan ASG. Konsep
Benny Denar

281

dasar pembangunan berkelanjutan adalah bahwa


usaha untuk memenuhi kebutuhan sekarang
tidak boleh mengorbankan pemenuhan kebutuhan
generasi masa depan.253 Dengan demikian, citacita dan agenda dasar pembangunan berkelanjutan
diarahkan agar terjadi sinkronisasi, pengintegrasian
dan memberi perhatian serta bobot yang sama bagi
tiga aspek pembangunan, yaitu aspek ekonomi,
aspek sosial budaya, dan aspek lingkungan hidup.254
Jadi, dalam pembangunan berkelanjutan terdapat
imperatif agar pembangunan ekonomi, sosial,
budaya, dan lingkungan hidup mesti dipandang
253 h t t p : / / w w w. b a n d u n g m a g a z i n e . c o m / a n a l y s i s /
pembangunan-berkelanjutan-gagasan-implementasi-dankecenderungan-realitas-di-indonesia, diakses pada 10
Februari 2015.
254 Sebenarnya agenda politik lingkungan hidup telah mulai
dipusatkan pada paradigma pembangunan berkelanjutan
sejak tahun 1980-an. Istilah pembangunan berkelanjutan
muncul pertama kali dalam World Conservation Stategy
dari The International Union For The Conservation Of
Nature pada tahun 1980. Secara politik, paradigma
pembangunan berkelanjutan ini sebenarnya telah diterima
sebagai sebuah agenda politik pembangunan untuk semua
negara di dunia dalam kesempatan Konferensi Tingkat
Tinggi (KTT) di Rio de Janeiro, pada tahun 1992.
Sayangnya hingga kini gagasan ini tidak banyak
diimplementasikan secara global termasuk di Indonesia.
Bdk. Soni Keraf, op. cit., pp. 190-192.
282

Mengapa Gereja (Harus!) Tolak Tambang?

secara lebih holistik, sehingga ketiganya tidak


saling dipertentangkan. Maka tepatlah definisi
pembangunan dari Johan Galtung yang melihat
pembangunan sebagai upaya untuk memenuhi
kebutuhan dasar manusia, baik secara individual
maupun kelompok, dengan cara-cara yang
tidak menimbulkan kerusakan, baik terhadap
kehidupan sosial maupun lingkungan alam.255
Konsep ini terbentuk oleh dua pokok pikiran yang
menggambarkan esensi sebuah pembangunan,
yaitu pemenuhan kebutuhan dasar, sekaligus
terjaganya tatanan sosial dan ekologis.
Esensi pembangunan menurut Galtung
yang mempertemukan pemenuhan kebutuhan,
kelestarian lingkungan, dan tatanan sosial merupakan
sebuah konsep pembangunan perdamaian.
Strategi pembangunan perdamaian tampak
dalam pandangan Bjorn Hettne yang menyebut
perspektif pembangunan perdamaian sebagai titik
balik pemikiran pembangunan dari arah lain, dari
arus lokal dan arus bawah, sebagai alternatif dari
255 Lambang Trijono, Pembangunan sebagai Perdamaian,
(Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2007), p. 3.
Benny Denar

283

model pembangunan arus utama, kapitalisme,


dan sosialisme.256 Definisi ini memperlihatkan
demokratisasi pembangunan dan pengabaian
determinisme ekonomi yang cenderung merusak
lingkungan. Sistem ini paling tidak sedapat mungkin
bisa mencegah sistem pembangunan ekonomi
yang menjadikan rakyat sebagai objek politik
pembangunan atau sengaja dipaksa tunduk pada
kekuatan asing yang justru memarginalisasi mereka.
Adapun hal yang ingin ditekankan dalam
pembangunan berkelanjutan adalah agar terjadi
suatu integrasi pembangunan sosial budaya
dan pembangunan lingkungan hidup ke dalam
arus utama pembangunan nasional agar kedua
aspek tersebut mendapat perhatian yang sama
bobotnya dengan aspek ekonomi.257 Tujuannya
agar pembangunan aspek sosial budaya dan
lingkungan hidup tidak dikorbankan demi dan
atas nama pembangunan ekonomi. Dengan kata
lain, paradigma pembangunan berkelanjutan
menegaskan kembali paham pembangunan sebagai
256 Ibid., p. 36.
257 Soni Keraf, loc. cit.
284

Mengapa Gereja (Harus!) Tolak Tambang?

sebuah proses membangun manusia seutuhnya dan


seluruhnya. Pembangunan bukan saja bertujuan
untuk meningkatkan derajat fisik manusia tertentu,
melainkan memungkinkan setiap orang dan
kelompok masyarakat dapat meningkatkan kualitas
hidup mereka, baik fisik-material maupun derajat
kualitas kehidupan secara luas: mental, budaya,
sosial, politik, spiritual, dan ideologis.
Model pembangunan seperti inilah yang
seharusnya dilakukan dan ditawarkan oleh
Gereja untuk melawan dominasi ideologi
pertumbuhan yang mengorbankan kaum miskin
dan menghancurkan lingkungan. Sebab seturut
keyakinan imannya akan Tuhan, maka orang
Kristen baik selaku individu maupun dalam wujud
persekutuan (Gereja) mengakui bahwa alam raya dan
seluruh isinya adalah ciptaan Tuhan yang diberikan
kepada manusia untuk dimanfaatkan dan dikelola
secara bertanggung jawab dan berkelanjutan.
5.2.2.2. Tiga Prinsip Pembangunan
Berkelanjutan
Untuk mencapai tujuan pembangunan
berkelanjutan seperti dijelaskan di atas maka seluruh
Benny Denar

285

agenda pembangunan seharusnya mengikuti tiga


prinsip pokok, yaitu prinsip demokrasi, prinsip
keadilan, dan prinsip keberlanjutan.258
5.2.2.2.1. Prinsip Demokrasi
Prinsip demokrasi merupakan prinsip moral
paling mendasar agar paradigma pembangunan
berkelanjutan
bisa
direalisasikan.
Prinsip
ini menghendaki agar pembangunan yang
dilaksanakan benar-benar merupakan perwujudan
kehendak bersama dan demi kepentingan bersama
seluruh rakyat. Prinsip demokrasi menolak
tendensi pembangunan yang dilaksanakan hanya
berdasarkan kehendak pemerintah atau partai
politik demi kepentingan rezim atau partai yang
sedang berkuasa.259 Amartya Sen, ekonom India
258 Ibid., pp. 200-208.
259
Taliziduhu Ndraha menunjukkan 8 akibat yang
ditimbulkan apabila pembangunan terlalu didominasi
oleh pemerintah (pola atas-bawah). Pertama, tugas-tugas
dari atas dengan berbagai target dan kontrol yang ketat,
serta datang bertubi-tubi justru membebani masyarakat
sehingga tidak ada kesempatan bagi mereka untuk
mengembangkan prakarsa dan swadayanya. Kedua,
masyarakat akan terbiasa menunggu biaya dari atas. Ketiga,
pembangunan berjalan terlampau cepat dalam arti semua
segi kehidupan ingin dijangkau secepat-cepatnya tanpa
286

Mengapa Gereja (Harus!) Tolak Tambang?

sekaligus pemenang hadiah nobel ekonomi tahun


1998 melihat pentingnya demokrasi dengan
mengatakan;
Orang-orang tidak akan mudah memahami
kebutuhan ekonominya secara tepat sampai
mereka menetapkan apa yang mungkin. Selain
kebutuhan ekonomi, orang membutuhkan saluran

memperhitungkan kondisi dan kemampuan masyarakat


dalam memikul beban pembangunan yang semakin
besar dan berat. Keempat, didorong oleh hasrat untuk
mencapai keberhasilan secepat-cepatnya, pemerintah
cenderung mengabaikan lembaga-lembaga sosial yang
ada dan yang sebenarnya bisa memberi peranan positif
dalam pembangunan desa. Kelima, pemerintah cenderung
mengabaikan efek sampingan dari pembangunan dalam
jangka panjang, yang biasanya dapat menghapuskan
hasil yang telah dicapai pada jangka pendek. Keenam,
pemerintah cenderung lebih memberi tekanan pada
pembangunan ekonomi yang dapat dilaksanakan secara
cepat melalui tindakan-tindakan rasional daripada
pembangunan masyarakat desa (lokal) yang mempunyai
sasaran jangka panjang dan tidak dapat dilaksanakan secara
cepat dan semata-mata rasional. Ketujuh, menurut PBB,
metode pembangunan masyarakat lokal harus disesuaikan
dengan kondisi psikologis, sosial, dan ekonomis setiap
masyarakat. Tetapi di bawah sistem yang bersifat sentralis,
penyesuaian tersebut sukar dilakukan. Kedelapan, dalam
kondisi tertentu, masyarakat tidak segera menunjukkan
tanggapan positif terhadap suatu hal yang baru. Hal ini bisa
mengundang ketidaksabaran pemerintah. Bdk. Taliziduhu
Ndraha, Pembangunan Masyarakat Mempersiapkan
Masyarakat Tinggal Landas, (Jakarta: Bina Aksara, 1987),
pp. 120-121.
Benny Denar

287

aspirasi politik. Demokrasi bukan barang mewah


yang menunggu datangnya kemakmuran, dan
hanya terdapat sedikit bukti di mana orang-orang
miskin yang akan menolak demokrasi jika mereka
diberikan suatu pilihan.260

Ada beberapa aspek utama dari prinsip


demokrasi.261 Pertama, dengan prinsip demokrasi,
maka agenda utama pembangunan harus
merupakan agenda dan inisiatif rakyat serta
demi kepentingan rakyat itu sendiri. Di sini
pembangunan dilihat sebagai implementasi dari
aspirasi dan kehendak masyarakat serta demi
kepentingan masyarakat. Maka tugas pemerintah
hanya menjadi pelaksana agenda pembangunan
yang diamanatkan oleh rakyat. Kalau pemerintah
hanya menjadi pelaksana, maka dia mesti menjamin
agar seluruh agenda dan kebijakan pembangunan
yang dilaksanakannya memang benar-benar berasal
dari rakyat dan untuk kepentingan seluruh rakyat.
Kedua, supaya pembangunan benar-benar
merupakan implementasi dari aspirasi dan
260 Amartya Sen, Democracy as Universal Value, dalam
Journal of Democracy edisi (10) 2:3 tahun 1999.
261 Soni Keraf, loc.cit.
288

Mengapa Gereja (Harus!) Tolak Tambang?

kehendak rakyat, maka partisipasi masyarakat


dalam merumuskan dan mengimplementasikan
kebijakan
pembangunan
adalah
sebuah
keniscayaan moral dan politik. Itu berarti, proses
perencanaan, termasuk perencanaan menyangkut
prioritas pembangunan dan implementasinya
harus dilaksanakan secara aspiratif.262
Ketiga, agar masyarakat bisa berpartisipasi
dengan baik, maka harus ada akses informasi yang
jujur dan terbuka tentang agenda pembangunan
dan proses perumusan agenda itu. Di sini
transparansi publik begitu krusial dibutuhkan.
Maka gagasan besar mengenai hak mendapatkan
informasi yang akurat dan benar merupakan sebuah
tuntutan moral dari demokrasi dan pembangunan
itu sendiri.
Keempat, prinsip demokrasi juga menghendaki
adanya akuntabilitas publik terutama tentang
agenda pembangunan, proses perumusan kebijakan
dan implementasi dari pembangunan tersebut.
Sebab akuntabilitas publik merupakan konsekuensi
logis dari prinsip demokrasi dalam pembangunan
262 Taliziduhu Ndraha, op. cit., pp. 100-109.
Benny Denar

289

berkelanjutan. Maksudnya, kesadaran dan


keyakinan bahwa agenda pembangunan berasal
dari rakyat dan demi kepentingan rakyat membawa
konsekuensi lebih jauh, yaitu pemerintah mesti
bisa mempertanggungjawabkan kepada publik
sejauh mana aspirasi rakyat telah didengar,
diakomodasi, dan diwujudkan serta sejauh mana
tujuan pembangunan yaitu kepentingan bersama
seluruh rakyat telah benar-benar diwujudkan
dengan komitmen dan upaya yang serius oleh
semua pihak.
5.2.2.2.2. Prinsip Keadilan
Tuntutan dasar dari prinsip keadilan dalam
pembangunan adalah agar semua orang dan semua
kelompok masyarakat memperoleh peluang yang
sama untuk ikut dalam proses pembangunan
dan kegiatan-kegiatan produktif, termasuk
selanjutnya ikut juga dalam menikmati hasilhasil pembangunan. Agar prinsip keadilan dalam
pembangunan ini bisa terlaksana dengan baik, maka
ada beberapa tuntutan yang mesti diperhatikan.263

263 Ibid.
290

Mengapa Gereja (Harus!) Tolak Tambang?

Pertama, prinsip keadilan menuntut agar ada


perlakuan yang sama bagi semua orang dan semua
kelompok masyarakat dalam proses pembangunan.
Perlakuan yang sama di sini terutama dimaksudkan
dalam berpartisipasi melaksanakan dan menikmati
hasil pembangunan, serta diberikan akses yang
sama terhadap peluang dan sumber-sumber
ekonomi, termasuk sumber daya alam. Prinsip
perlakuan yang sama ini menolak perlakuan
istimewa dari negara terhadap orang atau kelompok
masyarakat dalam proses pembangunan, terutama
dalam mendapatkan peluang dan akses terhadap
sumber-sumber ekonomi. Prinsip ini juga menolak
adanya monopoli politik-artifisial yang didukung
kekuasaan negara yang menguntungkan kelompok
tertentu dalam memanfaatkan peluang dan akses
pada sumber daya ekonomi negara. Peluang dan
akses itu harus terbuka secara sama bagi semua
orang dan kelompok.
Kedua, selain menuntut dibukanya akses yang
sama, prinsip keadilan juga menuntut terjadinya
distribusi manfaat dan beban secara proporsional
antara semua orang dan semua kelompok
Benny Denar

291

masyarakat. Maksudnya manfaat dan beban yang


diterima atau ditanggungkan oleh seseorang atau
sekelompok orang harus proporsional dengan
peran dan kontribusi mereka dalam proses
pembangunan. Dengan cara pandang seperti ini,
maka tetap harus dinilai adil bila ada orang atau
kelompok masyarakat tertentu yang mendapat
manfaat lebih daripada yang lain, asalkan telah
dijamin di tempat pertama bahwa peluang dan
akses lebih dibuka secara sama bagi semua orang
dan semua kelompok masyarakat. Sebaliknya
manfaat dan beban yang berbeda akan dianggap
tidak adil kalau peluang dan akses dibuka hanya
untuk kelompok tertentu, tetapi ditutup secara
sengaja bagi kelompok lain. Dalam kaitan dengan
akses dan peluang yang sama, maka tugas negara
adalah melakukan tindakan politik afirmatif
terutama untuk membantu kelompok masyarakat
yang tidak mempunyai peluang dan akses sama,
seperti kaum yang terpencil, kurang prasarana,
kurang pendidikan, dan sebagainya. Negara
juga perlu melakukan tindakan politik afirmatif
yang sama bagi kelompok-kelompok yang lemah
dan rentan dalam proses pembangunan, seperti
292

Mengapa Gereja (Harus!) Tolak Tambang?

kaum perempuan, masyarakat lokal dan berbagai


kelompok yang terkena dampak lingkungan
hidup.264
Ketiga, prinsip keadilan juga menyangkut
keadilan antargenerasi. Maksudnya prinsip ini
menuntut agar ada peluang yang sama bagi generasi
yang akan datang untuk juga mendapatkan manfaat
secara proporsional dari sumber daya ekonomi yang
ada. Maka prinsip ini menghendaki agar sumber
daya ekonomi yang ada harus dimanfaatkan secara
lebih bertanggung jawab dan kerusakannya harus
dipulihkan sedemikian rupa agar menjamin bahwa
generasi yang akan datang mempunyai peluang
yang sama untuk menikmati tingkat kehidupan
yang relatif sama dengan generasi yang sekarang.

264 Dalam konteks ini berlaku prinsip bahwa 1/. Mereka


yang mendapat manfaat ekonomi terbesar dari kegiatan
pembangunan harus menanggung kerugian terbesar akibat
proses pembangunan, khususnya di bidang lingkungan
hidup akibat kerusakan dan pencemaran lingkungan
hidup. 2/. Dalam kaitan dengan itu, pihak yang mencemari
dan merusak lingkugan hidup harus membayar secara
proporsional kerugian yang ditimbulkan, termasuk
proporsionalitas dalam hal lingkup dan dahsyatnya
kerugian akibat kerusakan dan pencemaran lingkungan
hidup yang ditimbulkan. Bdk. Ibid., p. 204.
Benny Denar

293

Keempat, prinsip keadilan juga menuntut agar


kerugian akibat pembangunan yang dialami oleh
kelompok masyarakat tertentu harus ditebus atau
dikompensasi secara seimbang atau proporsional
baik oleh negara atau pun oleh kelompok yang
menimbulkan kerugian tersebut.
5.2.2.2.3. Prinsip Keberlanjutan
Prinsip ini menuntut agar agenda pembangunan
dirancang dalam dimensi yang visioner dan
berjangka panjang. Dengan demikian, dampak
pembangunan baik positif maupun negatif dapat
dideteksi dan dievaluasi dalam segala aspeknya.
Maka prinsip ini menolak visi pembangunan yang
berorientasi pada kepentingan-kepentingan atau
dimensi jangka pendek. Pertimbangan pokoknya
adalah bahwa dalam kenyataan sumber daya
ekonomi terbatas, sedangkan aspek sosial budaya
dan lingkungan hidup adalah aspek yang berdimensi
jangka panjang. Selain itu pembangunan juga
mesti berorientasi jangka panjang karena dalam
kenyataan pembangunan berlangsung dalam ruang
ekosistem yang mempunyai interaksi yang rumit.

294

Mengapa Gereja (Harus!) Tolak Tambang?

Untuk menunjang model pembangunan


berkelanjutan, maka harus dipilih model
pembangunan alternatif, yaitu pembangunan
yang lebih hemat sumber daya dan mampu
mensinkronkan aspek konservasi dengan aspek
pemanfaatan secara arif. Implikasi lanjutnya adalah
mesti dipilih pola-pola pembangunan dan pola-pola
konsumsi yang lebih hemat energi, hemat bahan
baku, dan hemat sumber daya alam.265 Juga perlu
diterapkan secara serius prinsip produksi bersih
dengan melakukan seleksi ketat terhadap proses
produksi, penggunaan teknologi, penggunaan
265 Dalam hal ini, sebagai contoh, Gereja bisa mengembangkan
dan menawarkan gerakan ekopastoral. Ada beberapa
gerakan yang bisa dibuat untuk mengembangkan
ekopastoral. Pertama, menggali dan menemukan kembali
praktik-praktik pertanian yang didasarkan pada kearifan
lokal. Kedua, Gereja perlu mengajak umat dan masyarakat
untuk menghormati, menghargai, dan memuliakan
sumber-sumber pangan (air, tanah, dan tanaman) sebagai
bagian dari perwujudan hidup beriman dan beragama.
Di sini pewartaan iman harus juga menyentuh usaha
penyelamatan lingkungan hidup dari keserakahan
manusia. Ketiga, membangun dan memperkuat kelompokkelompok tani yang bersahabat dengan alam (pertanian
organik/pertanian lestari). Kelompok-kelompok tani
seperti inilah yang diharapkan mampu menjadi teladan
bagi model pertanian berwawasan lingkungan. Bdk. Benny
Denar, Pertobatan Ekologis dan Gerakan Ekopastoral,
Opini dalam Flores Pos, Senin 24 Februari 2014.
Benny Denar

295

bahan baku, termasuk memerhatikan dengan lebih


jeli manajemen industri yang memungkinkan
diminimalisasinya limbah dalam setiap kegiatan
pembangunan dan kegiatan produksi ekonomi.
Prinsip keberlanjutan dalam pembangunan
ini begitu penting karena prinsip ini pada akhirnya
sangat menunjang prinsip keadilan antargenerasi.
Kedua prinsip ini, yaitu prinsip keadilan dan
prinsip keberlanjutan pada dasarnya menuntut
agar segala kebijakan pembangunan tidak hanya
memerhatikan manfaat jangka pendek. Sebaliknya,
kegiatan pembangunan tidak boleh menimbulkan
dan dibayar mahal dengan kerugian jangka
panjang yang tidak sebanding dengan manfaat
jangka pendek yang diperoleh. Kerugian jangka
panjang yang dimaksudkan tidak saja yang bersifat
ekonomis-material-fisik, tetapi juga bersifat nonmaterial, mental, spiritual, kesehatan, sosial budaya
dan nilai serta mutu kehidupan manusia.
5.2.3. Solusi Metodologis Pengembangan
Masyarakat
Pembangunan alternatif kontra neoliberalisme
dan visi pengembangan masyarakat versi Gereja
296

Mengapa Gereja (Harus!) Tolak Tambang?

kristiani bisa diterapkan secara lebih implikatif


dengan salah satunya melalui kajian metodologis
yang memadai. Salah satu metodologi yang bisa
ditawarkan adalah melalui metode lingkaran
pastoral. Banawiratma266 memberikan uraian lebih
rinci tentang Lingkaran Pastoral, yaitu dalam
empat tahap.
Tahap pertama adalah mengenal dan
mengalami langsung secara partisipatif dan terlibat
dalam masalah-masalah sosial yang nyata. Kedua,
melakukan analisis sosial dengan menggunakan
pendekatan ilmu-ilmu sosial secara komprehensif
dan menempatkan kasus-kasus yang dialami
tersebut dalam konteks sosial politik kekinian.
Tahap ketiga adalah melakukan refleksi teologi
melalui pendekatan etis-sosial atas produk dari
analisis di atas. Pada tahap inilah dipertemukan
antara hasil analisis sebab-akibat dari gejala sosial
tersebut dengan komitmen teologi atau Kitab
Suci. Tahap keempat adalah tindakan atau realisasi
266 Lebih lengkap dapat dilihat dalam J.B. Banawiratma dan
Johanes Mller, Berteologi Sosial Lintas Ilmu, Kemiskinan
Sebagai Tantangan Hidup Beriman, (Yogyakarta: Kanisius,
1993).
Benny Denar

297

dari tahap ketiga tersebut.


Perhatikan digram lingkaran pastoral berikut!

Solusi metodologis di atas seharusnya bisa


juga dipakai untuk merancang pembangunan
daerah atau negara. Pembangunan mesti dimulai
dari partisipasi langsung (blusukan) para pembuat
kebijakan dalam kehidupaan riil masyarakat.
Selanjutnya dibuat analisis sosial yang komprehensif
terhadap masalah-masalah yang ada. Hasil kajian
terhadap masalah tersebut kemudian direfleksikan
dengan konstitusi yang seharusnya menjadi payung
298

Mengapa Gereja (Harus!) Tolak Tambang?

bagi kebijakan pembangunan negara atau daerah.


Dengan proses demikian, maka diharapkan akan
muncul pilihan kebijakan pembangunan dan opsi
yang benar-benar sesuai kebutuhan riil masyarakat
terutama masyarakat miskin dan juga tidak
mencederai keutuhan ciptaan.
5.3. KESIMPULAN

Melalui uraian tentang profil Kabupaten


Manggarai Barat dan sejarah polemik
pertambangan di daerah tersebut, penulis telah
membuktikan bahwa pembangunan dengan
ideologisasi pertumbuhan ternyata tidak membawa
kesejahteraan bagi masyarakat lokal. Pembangunan
dengan mekanisme ideologisasi pertumbuhan
yang mewujud dalam aktivitas pertambangan di
Manggarai Barat justru menyebabkan penderitaan
dan mengancam masa depan peradaban Manggarai
Barat sendiri. Oleh karena itulah, penulis
menganjurkan model pembangunan alternatif
dengan sasaran utamanya adalah perhatian
terhadap kaum miskin dan penerapan model
pembangunan berkelanjutan.
Benny Denar

299

Dua sasaran ini selain sesuai dengan arah


politik pembangunan yang bertitik tolak dari
faktum penderitaan manusia, juga sesuai dengan
amanat dasar ASG. Namun keberhasilan model
pembangunan alternatif yang ditawarkan tersebut
tentu saja memerlukan suatu sinergi positif
antara tiga kekuatan utama, yaitu negara dengan
kekuatan politik, sektor swasta dengan kekuatan
ekonomi dan masyarakat warga dengan kekuatan
moral. Gereja Keuskupan Ruteng sebagai salah
satu kekuatan moral dengan daya tawar cukup
besar mesti mengusahakan agar terus membumi
dengan terus mengupayakan keadaban publik yang
semakin manusiawi dan terpeliharanya keutuhan
ciptaan untuk masa depan peradaban.

300

Mengapa Gereja (Harus!) Tolak Tambang?

BAB VI

PENUTUP

6.1. KESIMPULAN

anyaknya persoalan seputar pilihan politik


pembangunan
menuntut
direfleksi-

ulangnya konsep seputar pembangunan. Sebab


pembangunan memang ternyata tidak saja
berhasil memanusiawikan peradaban tetapi
juga turut membawa bias-bias destruktif yang
mengancam martabat manusia dan alam ciptaan.
Di titik inilah konsep seputar pembangunan
melahirkan kontroversi. Kontroversi ini muncul
terutama terkait pilihan pembangunan yang
membenarkan ideologisasi pertumbuhan. Sebab
pembangunan yang berorientasi pertumbuhan
merupakan suatu strategi pembangunan yang
301

berorientasi pada terciptanya keadaan di mana


terjadi kenaikan Produk Domestik Bruto (PDB)
tanpa memandang apakah kenaikan tersebut lebih
besar atau lebih kecil dari tingkat pertumbuhan
penduduk. Untuk meningkatkan PDB, maka
fokus utama pembangunan adalah pada
peningkatan industri. Maka tidak heran apabila
di negara yang menerapkan strategi pembangunan
berorientasi pertumbuhan pasti mengalami proses
industrialisasi secara masif sebab industri menjadi
lokomotif utama pergerakan ekonomi. Indikasi riil
dari kesuksesan dalam pengejaran pertumbuhan
adalah meningkatnya produksi barang dan jasa
serta adanya peningkatan pada sektor ekonomi
nasional. Semua itu diukur dari perspektif ekonomi
makro.
Untuk
mengejar
keberhasilan
itu,
pemerintah lebih berperan meningkatkan
bahkan meliberalisasi investasi di bidang industri.
Liberalisme ekonomi dan globalisasi kapital tidak
terelakkan sebab strategi pembangunan untuk
mengejar pertumbuhan menjadikan laju modal
sebagai kekuatan utama. Selain itu, dibutuhkan
302

Mengapa Gereja (Harus!) Tolak Tambang?

kualitas tenaga kerja, manajemen ekonomi yang


mumpuni, teknologi canggih, sumber daya alam
yang melimpah, dan kultur kewirausahaan yang
meluas. Namun pengejaran yang berlebihan
akan pertumbuhan ekonomi akan menciptakan
marginalisasi masyarakat miskin dan sederhana,
kerusakan alam lingkungan yang semakin masif
serta ketimpangan sosial yang semakin melebar.
Ketimpangan sosial terjadi sebab usaha pengejaran
kenaikan GNP dari tahun ke tahun tanpa disertai
peningkatan kesejahteraan masyarakat dan
pemerataan pendapatan.
Sekurang-kurangnya ada tiga patologi
mendasar dari strategi pembangunan yang
mementingkan
ideologisasi
pertumbuhan.
Pertama, strategi ini tidak sejalan dengan konsep
pemberdayaan dan pembangunan masyarakat
yang menekankan aspek manusia sebagai agen
pembangunan dan pertumbuhan. Asumsi dasar
dari teori pemberdayaan masyarakat, yakni
masyarakat terlebih dahulu diberdayakan agar
mampu meningkatkan pendapatannya yang
akan berdampak pada peningkatan pendapatan
Benny Denar

303

nasional. Kedua, strategi pembangunan berorientasi


pertumbuhan menekankan agar pemerintah
mempunyai dan memanfaatkan sumber daya
modal yang besar sehingga dapat meningkatkan
pendapatan penduduk yang akan berdampak
pada peningkatan pendapatan nasional. Namun
persoalannya, negara-negara berkembang sedang
menghadapi persoalan pada sumber daya modal
tersebut. Apalagi negara-negara berkembang yang
miskin sumber daya alamnya. Hal ini diperparah
oleh sumber daya manusia yang masih lemah di
negara-negara berkembang. Jadi, bukan hanya
modal yang didatangkan dari negara maju,
melainkan juga para pekerja ahli yang memiliki
kompetensi di bidang industri. Justru hal-hal
seperti inilah yang mendorong negara-negara
berkembang berutang kepada negara maju yang
pada akhirnya justru menciptakan kebergantungan
tanpa akhir.
Ketiga, konsep dan strategi pembangunan yang
berorientasi pertumbuhan ekonomi berambisi
meningkatkan laju pertumbuhan perekonomian
nasional lewat peningkatan pertumbuhan
304

Mengapa Gereja (Harus!) Tolak Tambang?

industri. Ambisi peningkatan industri tersebut


tentu saja mengandalkan sumber daya alam
sebagai modal utama produksi. Hal inilah yang
mendorong pemerintah memanfaatkan sumber
daya alam secara tidak terkendali dan justru
mengesampingkan aspek lingkungan hidup serta
dapat merusakkan ekosistem.
Keseluruhan
patologi
ideologisasi
pertumbuhan seperti yang dijelaskan di atas hampir
pasti ditemukan dalam investasi pertambangan
yang terjadi secara serampangan di Kabupaten
Manggarai Barat. Maka tidak heran, pertambangan
di Manggarai Barat yang merupakan modus dari
ideologisasi pertumbuhan juga mengorbankan
keadilan sosial sekaligus merusakkan lingkungan
hidup. Dengan kata lain, pertambangan di
Manggarai Barat justru mengorbankan atau
menyebabkan penderitaan manusia dan bukan
sebaliknya
membawa
masyarakat
keluar
dari penderitaannya. Hal ini dibuktikan
oleh ditemukannya berbagai fakta bahwa
pertambangan tersebut merusakkan lingkungan
hidup, merusakkan mata pencaharian masyarakat,
Benny Denar

305

merusakkan sistem politik dan demokrasi, dan


mendepak masyarakat lokal dari daerah dan segala
kebajikannya sendiri. Singkatnya, pertambangan
tersebut justru melahirkan dan menambah
penderitaan masyarakat, baik penderitaan fisik
maupun penderitaan yang berkaitan dengan
makna hidup mereka.
Berhadapan dengan daya rusak pembangunan
yang berorientasi pertumbuhan tersebut, maka
penulis memunculkan sebuah model etika
pembangunan alternatif yang pada intinya
ingin menempatkan penderitaan sebagai dalil
utama pembangunan. Di sini pembangunan
dilihat sebagai jalan pembebasan manusia dari
penderitaan. Dengan pendasaran seperti ini, semua
kebijakan, konsep dan strategi pembangunan akan
dinilai secara etis apakah dia sanggup meniadakan
atau membebaskan manusia dari penderitaan atau
tidak. Dia menghendaki agar segala kebijakan
dan upaya pengembangan masyarakat semestinya
diarahkan untuk mengatasi, atau paling tidak
sedapat mungkin mengurangi penderitaan
manusia dalam semua bentuk dan dimensinya.
306

Mengapa Gereja (Harus!) Tolak Tambang?

Konsep penderitaan sebagai titik tolak


pembangunan senada dengan konsep Peter L.
Berger dalam bukunya Piramida Korban yang
melihat bahwa tolok ukur segala kebijakan
pengembangan masyarakat adalah menghindari
atau paling tidak ikut memperhitungkan biayabiaya manusiawi. Berger menyebut dua kriteria
penderitaan, yakni tolok ukur rasa sakit yang
mengacu pada penderitaan fisik dan tolok
ukur makna. Penderitaan sebagai titik tolak
pembangunan menghendaki agar pembangunan
hendaknya bertitik tolak dari segala yang dialami
sebagai penderitaan fisik; seperti kelaparan,
penyakit, kemelaratan, penyiksaan, penggusuran,
diskriminasi, atau penindasan. Namun manusia
juga menderita dan bahkan lebih menderita lagi
jika misalnya hanya diperlakukan sebagai objek
politik pembangunan, atau jika dipaksa tunduk
pada pola sosiobudaya asing, atau juga sebaliknya
jika menjadi budak tradisi-tradisi pribumi yang
tidak manusiawi.
Ada beberapa kekhasan etika pembangunan
yang bertitik tolak dari faktum penderitaan.
Benny Denar

307

Pertama, etika pengembangan masyarakat yang


menempatkan penderitaan sebagai basis etis
dari pembangunan mengandung tuntutan agar
menjadikan manusia yang konkret dengan segala
penderitaannya sebagai pusat dari pembangunan.
Sebab ada bahaya jika manusia ditempatkan dalam
sebuah gambaran yang abstrak dan terlepas dari
konteks budayanya. Maka menurut pendekatan
ini, titik tolak dari kebijakan pembangunan
haruslah manusia itu sendiri yang tidak pernah
boleh diinstrumentalisasi demi tujuan lain,
termasuk demi kepentingan ideologi tertentu.
Kedua, menempatkan penderitaan sebagai
titik tolak kebijakan pembangunan mengandung
tuntutan etis lain, yaitu kemendesakan pilihan
untuk mendahulukan orang yang menderita.
Di sini ada semacam tuntutan agar segala usaha
pembangunan mesti diarahkan sebagai bentuk
solidaritas terhadap orang yang paling menderita,
terutama orang-orang miskin. Dalam konteks
ini, pembangunan dilihat sebagai upaya untuk
mengurangi bahkan meniadakan penderitaan
dari orang-orang miskin, terutama dari mereka
308

Mengapa Gereja (Harus!) Tolak Tambang?

yang tidak memiliki kekuatan sendiri mengatasi


penderitaan yang mereka alami. Ketika usaha
pengembangan masyarakat diarahkan terutama
untuk mereka yang paling menderita, maka
pada tempat yang sama pembangunan akan
dilihat sebagai jalan solidaritas. Solidaritas karena
pengalaman penderitaan merupakan pengalaman
universal dan memiliki kans untuk dihayati secara
intersubjektif.
Ketiga, ciri khas dan orientasi lain dari
pengembangan masyarakat yang menempatkan
penderitaan sebagai titik tolak pembangunan
adalah menempatkan rakyat sebagai subjek
pembangunan. Menurut pendekatan ini,
pembangunan selalu harus merupakan inisiatif dari
bawah. Pilihan partisipasi tidak bergantung pada
keahlian teknis melainkan pada pertimbanganpertimbangan moral. Sebab pembangunan selalu
harus mengandaikan persetujuan moral, di samping
adanya tujuan politik. Pembangunan selalu berarti
pertumbuhan yang baik dan modernisasi yang
dikehendaki. Maka pembangunan yang berpangkal
pada penderitaan diharapkan selalu berorientasi
Benny Denar

309

pada self-sustaining capacity masyarakat itu


sendiri. Artinya masyarakat diubah posisinya dari
penerima pasif layanan pemerintah menjadi subjek
aktif pembangunan yang memberdayakan dirinya
sendiri. Di sini pembangunan lebih menekankan
pengelolaan sumber daya yang bertumpu pada
komunitas. Oleh karena itu, partisipasi dengan
menekankan prinsip subsidiaritas dan solidaritas
merupakan tuntutan etis sekaligus sosiologis yang
kian penting.
Keempat, pembangunan bertitik tolak pada
penderitaan juga mendalilkan bahwa kebijakan
pembangunan yang berusaha mengejar tujuannya
tidak boleh menyebabkan penderitaan dalam
bentuk lain. Oleh karena itu, pendekatan ini tidak
menawarkan suatu resep jitu atau pemecahan
definitif terhadap derita. Sebab masalah penderitaan
hanya bisa diperbaiki selangkah demi selangkah.
Perjuangan melawan penderitaan merupakan
proses terus-menerus yang tidak pernah kunjung
habis. Jadi, terdapat kesadaran dan pengalaman
bahwa penderitaan manusia tidak pernah bisa
diatasi sampai tuntas. Namun kesadaran tersebut
310

Mengapa Gereja (Harus!) Tolak Tambang?

tidak boleh menjadi dalih untuk tidak berbuat


apa-apa, melainkan harus menjadi kesempatan
untuk mengevaluasi diri/kebijakan berdasarkan
tolok ukur penderitaan.
Ada beberapa manfaat praktis dari pendekatan
pembangunan berbasis penderitaan. Pertama,
pendekatan ini memiliki relevansi praktis, bukan
hanya permainan intelektual semata. Sebab
penderitaan itu riil dan subjeknya jelas. Kedua,
mayoritas orang secara intuitif mengenal hierarki
penderitaan. Jadi, semua orang bisa memahami
apa
itu
penderitaan,
tingkatan-tingkatan
penderitaan dan akibat-akibat yang ditimbulkan
dari penderitaan itu. Ketiga, pendekatan ini juga
berguna dalam menerangkan mengapa tindakan
aktif tanpa kekerasan (active non violence) bisa
menjadi strategi dan sarana perubahan yang efisien.
Lalu apa kaitannya dengan Ajaran Sosial Gereja?
Etika pembangunan yang pusatnya adalah
penderitaan manusia tentu saja memiliki korelasi
dengan teologi sebab masalah kemanusiaan,
termasuk penderitaan menduduki tempat penting
dalam refleksi teologis agama-agama. Konsep
Benny Denar

311

teologis seputar penderitaan hampir ditemukan


dalam setiap agama termasuk Gereja Katolik.
Bahkan ASG Katolik menempatkan martabat
manusia terutama martabat dari mereka yang
menderita pada tempat yang spesial. Dapat
dikatakan bahwa ASG merupakan bentuk
komitmen nyata dari Gereja untuk membela
dan mengutamakan mereka yang menderita.
Kesimpulan ini bisa dibuktikan dari adanya
penghormatan terhadap martabat manusia sebagai
salah satu tema dan prinsip sentral dalam ASG.
ASG juga menuntut agar kesejahteraan umum
harus mencakup semua anggota masyarakat tanpa
kecuali.
Selanjutnya ASG juga menekankan pentingnya
prinsip subsidiaritas yang menghendaki agar segala
bantuan atau intervensi apapun yang dilakukan
negara sedapat mungkin tidak membatasi
keberadaan dan ruang gerak dari sel-sel atau
satuan-satuan sosial kecil dalam masyarakat.
Di sini tuntutan partisipasi atau keterlibatan
mendapat tempatnya. Maksudnya, warga mesti
diberi kesempatan entah sebagai pribadi maupun
312

Mengapa Gereja (Harus!) Tolak Tambang?

dalam kerja samanya dengan pihak lain, baik secara


langsung maupun melalui mekanisme perwakilan,
untuk memberi andil bagi kehidupan budaya,
politik dan sosial di tengah masyarakat dan negara.
Jadi keseluruhan penjelasan mengenai prinsipprinsip dasar ASG mengerucut pada salah satu
tema kunci yakni pentingnya cinta kasih terhadap
kaum miskin. Sedangkan terkait alam ciptaan,
ASG menekankan pentingnya tanggung jawab
manusia dalam mengelola lingkungan hidup. Pada
tempat inilah terdapat korelasi saling meneguhkan
antara etika pengembangan masyarakat bertitik
tolak pada penderitaan dengan ASG.
Korelasi saling meneguhkan antara etika
pengembangan masyarakat bertitik tolak pada
penderitaan dengan ASG membantu penulis untuk
mendukung sikap penolakan Gereja terhadap
aktivitas pertambangan. Namun sesuai dengan
panggilan hakikinya, sikap penolakan Gereja itu
mesti diikuti secara konsekuen dengan tuntutan
untuk mewajibkan diri membela kemanusiaan
terutama mereka yang miskin dan menderita, serta
kewajiban untuk mengembangkan dan secara
Benny Denar

313

terus-menerus menawarkan konsep pembangunan


berkelanjutan.
Pembangunan
berkelanjutan
penting karena dia memiliki cita-cita dan agenda
dasar yang diarahkan agar terjadi sinkronisasi,
pengintegrasian dan memberi perhatian serta
bobot yang sama bagi tiga aspek pembangunan,
yaitu aspek ekonomi, aspek sosial budaya dan
aspek lingkungan hidup. Pada tempat inilah
agenda pembangunan seharusnya mengikuti tiga
prinsip pokok, yaitu prinsip demokrasi, prinsip
keadilan dan prinsip keberlanjutan. Pembangunan
berkelanjutan seperti inilah yang akan memastikan
terjaminnya masa depan kehidupan dan peradaban
sekaligus lebih memuliakan martabat manusia.
6.2. BEBERAPA SARAN DAN REKOMENDASI

Sesuai dengan keseluruhan pembahasan dalam


buku ini, ada beberapa rekomendasi yang penulis
dapat tawarkan terutama untuk Gereja Keuskupan
Ruteng.
Pertama, Gereja Keuskupan Ruteng, baik
sebagai persekutuan maupun sebagai suatu
institusi perlu konsisten dengan sikapnya menolak
314

Mengapa Gereja (Harus!) Tolak Tambang?

pertambangan, terus melakukan advokasi dan


berbagai bentuk aksi nyata lainnya untuk menolak
pertambangan bukan hanya di Manggarai Barat,
tetapi di seluruh wilayah Keuskupan Ruteng.
Kedua, Gereja sebagai institusi yang selama ini
memang dominan dalam menolak pertambangan
mesti menularkan pokok-pokok penting dari
ASG kepada seluruh umat Allah agar mereka
juga memiliki pendasaran yang memadai dalam
menolak pertambangan.
Ketiga, seturut panggilan hakikinya, Gereja
Keuskupan Ruteng, baik sebagai institusi
maupun sebagai persekutuan umat Allah perlu
mengembangkan sekaligus menawarkan secara
konsisten pilihan etis pembangunan yang lebih
menunjang kemanusiaan dan ramah terhadap
lingkungan. Sesuai pilihan etis tersebut dan
sesuai hakikat panggilannya, maka Gereja
perlu mengembangkan dan menawarkan
model pembangunan yang mengutamakan
kaum miskin serta model pembangunan yang
mengutamakan keberlanjutan kehidupan. Intinya
Gereja Keuskupan Ruteng perlu memahami
Benny Denar

315

tugas panggilan dan tanggung jawabnya untuk


ikut berperan dalam pengelolaan dan pelestarian
alam serta segala isinya yang telah disediakan
Tuhan. Gereja sebagai persekutuan yang sekaligus
suatu institusi mempunyai tanggung jawab
untuk membebaskan umatnya dari penindasan,
kebodohan,
kemiskinan,
keterbelakangan
termasuk pembebasan dari perilaku keserakahan
yang merusak seluruh tatanan ciptaan Allah.
Ada beberapa langkah operasional yang bisa
dilakukan. 1/. Gereja harus menjadi sahabat
bagi semua kalangan; mendengar dengan hati
dan jiwa para penderita, korban, kaum tergusur,
dan mendoakan mereka; mengupayakan rasa
senasib dan sepenanggungan serta keberpihakan
kepada para penderita; mengadakan pertemuanpertemuan untuk membagi keprihatinan dan
membangun nilai; menyediakan sarana atau
kesempatan untuk temu persaudaraan yang
mengatasi berbagai macam sekat sosial (social gap).
2/. Dalam kehadiran dan pelayanannya,
Gereja perlu ikut dalam pengembangan nilai-nilai
budaya yang berhubungan dengan keadilan sosial
316

Mengapa Gereja (Harus!) Tolak Tambang?

bagi seluruh bangsa, solidaritas, kesejahteraan


umum, cinta damai, kerelaan berkorban untuk
membantu mereka yang berkesusahan karena
tertimpa bencana.
3/. Gereja harus ikut serta dalam prakarsaprakarsa pemberdayaan masyarakat akar rumput
seperti gerakan pelestarian lingkungan, pertanian
organik, pengembangan ekonomi kerakyatan,
misalnya melalui sistem dana bergulir, ekopastoral
dan lain sebagainya.
4/. Gereja perlu mendorong umat yang
mampu dalam bidangnya untuk masuk ke dalam
jejaring yang sudah terbangun misalnya penggerak
swadaya masyarakat, gerakan-gerakan masyarakat
yang mencermati kinerja pemerintahan dan
lembaga-lembaga negara lainnya.

Benny Denar

317

EPILOG

Advokasi Tambang, Jalan


Penuh Risiko
(Oleh Paul Budi Kleden/Teolog, Tinggal di Roma)

ambang telah menjadi bahan pembicaraan


yang kontroversial, karena itu menyita
perhatian dan memakan tenaga. Perbedaan
pendapat yang tajam menimbulkan ketegangan
malahan pemicuh perpecahan, tidak hanya
kampung di mana sedang atau direncanakan akan
dijadikan wilayah tambang. Masyarakat wilayah
lain pun terbawa dalam perbedaan pendapat
dan konflik tersebut. Di tempat tertentu konflik
horizontal karena perbedaan pilihan soal tambang
mengikuti garis perbedaan agama. Kelompok
agama yang satu dianggap menjadi pendukung
tambang, kelompok lain diidentikkan dengan
318

gerakan tolak tambang. Tidak hanya itu. Di


banyak wilayah, di kalangan pemeluk agama yang
sama pun tampak gejala perpecahan. Banyak umat
di paroki-paroki di Nusa Tenggara terbagi dalam
kelompok pendukung dan penolak tambang.
Malahan di kalangan klerus dan komunitaskomunitas biara pun dapat diamati perbedaan
opsi yang menimbulkan ketegangan. Memang,
perbedaan pendapat adalah hal yang wajar dan
dalam batas tertentu diperlukan agar ada usaha
serius untuk mencari jalan yang paling baik.
Menjadi persoalan adalah ketika ada pihak yang
memaksakan opsinya untuk dilaksanakan karena
memiliki dukungan kekuasaan, keuangan dan
tidak jarang pula militer.
Pemetaan masyarakat atau umat dalam
kelompok pro dan contra tambang tentulah satu
bentuk penyederhanaan. Jika diamati lebih jauh,
ada sekurang-kurangnya empat kelompok yang
menunjukkan reaksi terhadap isu pertambangan.
Pertama, sikap radikal penolak tambang. Secara
kategoris pendapat ini mengatakan bahwa
tambang tidak boleh ada karena alasan lingkungan
Benny Denar

319

dan pemiskinan. Tambang hanya merusakkan


lingkungan dan membawa masyarakat umum yang
berada paling dekat dengan lingkaran tambang ke
dalam kemiskinan. Kegiatan penambangan dinilai
merupakan pelecehan terhadap ibu bumi yang
kudus karena orang menggali ke dalam rahimnya
dan kemudian membuang sampah olahan kembali
ke ribaannya. Dengan sikap radikal ini para
penganut pendapat ini sebenarnya tidak konsisten,
sebab dalam konteks dunia modern mereka
tidak dapat hidup tanpa menggunakan produksi
tambang.
Kelompok kedua adalah para pendukung
radikal tambang. Mereka ini meyakini bahwa di
mana ada mineral yang terkandung di dalam perut
bumi, tambang harus dilakukan apapun ongkos
lingkungan dan sosialnya. Persoalan lingkungan
tidak perlu dihiraukan sebab alam memiliki
kapasitas untuk memulihkan dirinya. Pemiskinan
warga di sekitar hanyalah untuk sementara. Generasi
penerus pasti akan bergembira ria menikmati hasil
pertambangan. Beban, yang terkadang diberi nilai
religius dengan menyebutnya sebagai korban,
320

Mengapa Gereja (Harus!) Tolak Tambang?

harus dipikul generasi sekarang supaya anak dan


cucu boleh memiliki kehidupan yang lebih baik
daripada harus berulang menghantam pacul ke
tanah yang berbatu dan menanti kemurahan hujan
untuk memastikan entahkah ada bahan makanan
tersisa untuk hari esok. Seringkali, kelompok ini
didukung oleh pusat kekuasaan ekonomi, politik
dan militer untuk melaksanakan proyeknya.
Kelompok ketiga adalah kelompok penolak
yang moderat. Penolakan mereka tidak bersifat
kategoris. Artinya, di satu pihak mereka sadar
dan mengakui kebutuhan kehidupan manusia
akan pertambangan. Namun, pada pihak lain
mereka menuntut bahwa industri pertambangan
harus memperhatikan masalah lingkungan dan
dilaksanakan demi peningkatan kesejahteraan
seluruh warga, teristimewa mereka yang berada di
lingkaran pertambangan. Hak-hak alam dan warga
perlu diindahkan dan dipastikan. Selama kepastian
ini tidak dijamin baik oleh teknik pertambangan
yang digunakan maupun oleh budaya dan sistem
politik yang masih memberi ruang besar kepada
para penguasa dan pengusaha untuk menentukan
Benny Denar

321

apa yang mereka kehendaki, pertambangan ditolak.


Pertambangan ditolak kalau kondisi alam satu
wilayah dengan penduduk yang padat dinilai akan
sangat dipertaruhkan. Misalnya, persediaan air yang
terbatas akan bertambah sulit kalau digunakan baik
untuk warga dengan kegiatan-kegiatan dasarnya,
maupun untuk pertambangan. Pertambangan pun
ditolak di wilayah di mana hak warga untuk ikut
berbicara dalam perundingan sebelum, selama dan
sesudah kegiatan penambangan tidak menemukan
wadah yang meyakinkan. Atau, apabila kewajiban
perusahaan pertambangan untuk membuat
reklamasi setelah menyelesaikan usahanya tidak
dapat dipastikan karena lemahnya peraturan
dan pelaksanaannya. Itu berarti, apabila kondisi
teknis, sosial dan politis berubah, para penganut
pendapat ini tidak menutup kemungkinan untuk
menyetujui pertambangan.
Kelompok keempat adalah para pendukung
tambang yang bersedia menyesuaikan dirinya
dengan tuntutan lingkungan dan hak-hak warga.
Mereka mendengarkan keberatan para penolak
tambang dan berusaha mencari model usaha yang
322

Mengapa Gereja (Harus!) Tolak Tambang?

lebih dapat diterima. Yang utama bagi mereka bukan


hanya perundingan dengan pemerintah melainkan
kepastian dukungan dari warga. Kepatuhan pada
ketentuan hukum mengenai dampak lingkungan
dan pelibatan masyarakat bagi mereka bukanlah
ketentuan yang dapat dilewati begitu saja karena
kedekatan dengan penguasa politik dan para
pemegang otoritas dalam masyarakat adat.
Beberapa perusahaan tambang tampaknya
bergerak ke arah kategori keempat ini. Satu
perkembangan yang cukup penting dalam industri
pertambangan adalah periode 2000-2002, ketika
dibentuk usaha yang disebut Mining, Minerals,
and Sustainable Development. Kendati proyek ini
dimulai oleh sejumlah perusahaan pertambangan,
namun ditangani oleh sebuah LSM yang
independen, The International Institute for
Environment and Development. Dalam waktu dua
tahun mereka mewawancarai sekitar 50 ribu orang
dari berbagai bagian dunia dan mewakili beragam
kepentingan: wakil masyarakat, perusahaan besar
dan kecil, wakil pemerintah, lembaga-lembaga
donor, LSM-LSM, para intelektual, kelompokBenny Denar

323

kelompok masyarakat asli. Dari wawancara ini


kemudian dibuat rekomendasi untuk membuat
sebuah rencana aksi bagi perusahaan-perusahaan
tambang agar lebih ramah lingkungan dan
taat norma tentang HAM. Untuk memantau
pelaksanaan rencana aksi ini, dibentuklah
International Council on Mining and Metals
(ICMM). Selain itu ada sejumlah ketentuan lain
pada tingkat internasional untuk mengendalikan
perilaku perusahaan-perusahaan pertambangan
dalam kaitan dengan keramahan lingkungan dan
HAM: the Performance Standards on Environmental
and Social Sustainability of the International
Finance Corporation (IFC) dari Bank Dunia; the
Voluntary Principles on Security and Human Rights,
dirumuskan dan dipromosikan oleh pemerintahan
sejumlah negara dan LSM, the Guiding Principles
on Business and Human Rights: Implementing
the United Nations Protect, Respect and Remedy
Framework, dipromosikan oleh Komisi HAM dari
PBB; dan the Sustainable Development Framework,
the Community Development Toolkit dan beberapa
prinsip lain yang dikembangkan oleh ICMM.

324

Mengapa Gereja (Harus!) Tolak Tambang?

Kendati telah berusia lebih dari sepuluh tahun,


tampaknya semua ketentuan yang telah dirumuskan
dan dikembangkan oleh pertambangan melalui
ICMM tidak membuat industri ini menemukan
pintu yang lebih terbuka di kalangan masyarakat.
Malahan, perlawanan semakin meningkat. Dalam
sebuah pertemuan dengan kelompok kerja
Keutuhan Lingkungan dari Komisi Keadilan dan
Perdamaian dari USG dan UISG (Persatuan Para
Pemimpin Serikat-Serikat Religius Laki-Laki dan
Perempuan) pada tahun 2014 yang saya juga
hadiri, wakil ICMM mengungkapan kesadaran
mereka bahwa di sebagian besar negara perusahaanperusahaan pertambangan mendapat perlawanan
dari pihak Gereja. Menurut analisis ICMM,
ada satu alasan mendasar dari ketidaksetujuan
pihak Gereja tersebut, yang oleh utusan ICMM
disebut sebabgai overlapping conception, sebuah
konsep yang dikembangkan oleh John Rawls.
Menurut Rawls, kehidupan bersama dalam sebuah
sistem demokrasi hanya mungkin terjadi karena
masing-masing kelompok, religius atau kultural,
kendati memiliki pandangan yang berbeda-beda
mengenai kebebasan berdasarkan latar belakang
Benny Denar

325

religius atau budayanya, misalnya, tetapi ada


kesamaan dasar. Hanya karena ada kesamaan dasar
itu mereka dapat hidup bersama. Jadi, kendati
memiliki pemahaman berbeda, sebenarnya baik
perusahaan pertambangan maupun Gereja pada
dasarnya memiliki sejumlah hal dasar yang sama.
Jalan menuju kesamaan itu akan dicapai kalau
masing-masing pihak bersedia melihat dan menilai
konsepnya masing-masing dan mendengarkan
apa yang dikatakan pihak lain. Menyadari dan
merumuskan perbedaan dinilai penting untuk
sampai pada basis yang sama tersebut. Misalnya,
soal opsi bagi kaum miskin yang merupakan opsi
dasar bagi Gereja dalam sikap utama dari Ajaran
Sosial Gereja (ASG), namun dipahami secara
berbeda oleh pihak perusahaan pertambangan.
Perusahaan pertambangan menunjuk pada
kenaikan pendapatan negara dari sektor
pertambangan, sementara hal ini dinilai tidak
cukup oleh pihak Gereja yang memperjuangkan
perubahan kondisi hidup dari kelompok yang
paling miskin dan paling lemah dalam masyarakat.
Pandangan perusahaan-perusahaan pertambangan
tentang pengentasan kemiskinan berbeda dengan
326

Mengapa Gereja (Harus!) Tolak Tambang?

konsep opsi untuk orang miskin yang dianut


ASG. Namun, di balik perbedaan tersebut ada
yang sama yakni tekad untuk memperbaiki
kondisi hidup warga. Demikian pula gagasan
ketahanan lingkungan dipahami secara berbeda.
Gereja Katolik menggunakan istilah keutuhan
lingkungan, perusahaan tambang berbicara tentang
sustainability. Sebab itu, mereka mengusulkan
pertemuan yang lebih sering untuk menyamakan
persepsi tentang terminologi yang digunakan.
Walaupun usul untuk dialog yang disampaikan
pihak perusahaan tambang itu penting, namun
patut diragukan apakah memang persoalannya
adalah masalah overlapping conception atau
pemahaman yang tampaknya berbeda dari inti
yang sama. Hemat saya, masalahnya adalah,
ketentuan-ketentuan yang ditetapkan oleh ICMM
tidak bersifat mengikat bagi semua perusahaan.
Hanya sejumlah kecil perusahaan tergabung dalam
ICMM, dan bagi mereka ini pun apa yang ditetapkan
lembaga ini lebih merupakan saran daripada
keharusan yang mengikat. Kenyataan di lapangan
seperti di Indonesia, Philipina dan negara-negara
Benny Denar

327

di Afrika membuat orang mempunyai alasan untuk


meragukan bahwa prinsip-prinsip dan perangkat
aturan yang disebutkan di atas dipraktikkan di
lapangan. Perlawanan dari pihak Gereja tidak akan
sebesar itu apabila di lapangan memang dijalankan
nilai-nilai keutuhan lingkungan dan pengentasan
masyarakat dari kemiskinan.
Perlawanan dari pihak Gereja adalah satu
bentuk dari ketiga dari keempat kategori yang
disebutkan di atas. Pihak Gereja umumnya tidak
melawan tambang asal lawan. Orang menyadari
dan mengakui bahwa pertambangan mempunyai
kontribusi yang penting bagi kehidupan manusia.
Namun, serentak orang melihat dan karena
itu bersuara keras menyatakan persoalan masif
lingkungan dan pelanggaran HAM yang masih
terjadi di mana-mana. Sikap seperti ini diwakili
pula oleh Kelompok Kerja Keutuhan Lingkungan
dari Komisi Keadilan, Perdamaian dan Keutuhan
Lingkungan USG/UISG yang disebutkan di
atas. Pada tahun 2013, kelompok kerja ini,
dalam kerjasama dengan Komisi Kepausan untuk
Keadilan dan Perdamaian, membuat survey
328

Mengapa Gereja (Harus!) Tolak Tambang?

tentang keterlibatan berbagai elemen Gereja dalam


advokasi tambang. Dari hasil survey ini kemudian
dibuatkan sebuah buletin tentang advokasi
tambang, mengikuti pola lingkaran pastoral:
menilai, menimbang, bertindak. Di dalam buku ini
ditunjukkan sejumlah kasus kerusakan lingkungan
dan pengabaian hak warga karena perusahaan
tambang. Namun, disebutkan pula sejumlah
contoh positif bagaimana perjuangan warga
akhirnya membawa perubahan dalam kebijakan
pemerintah dan perilaku perusahaan tambang.
***
Bagi Gereja Katolik, advokasi tambang adalah
wujud tanggungjawabnya terhadap keutuhan
lingkungan dan opsi dasarnya untuk membela hakhak dasar manusia, khususnya kaum yang paling
miskin. Gereja tidak dapat menutup mata, telinga
dan mulut ketika pencemaran secara sistematis atas
alam dilakukan atas nama kesejahteraan manusia,
dan pelecehan hak warga masyarakat dengan alasan
untuk kebahagiaan generasi yang akan datang.
Kesejahteraan manusia memang merupakan
Benny Denar

329

sebuah nilai yang mesti diperjuangkan, namun


tidak dapat dicapai begitu saja dengan eksploitasi
tanpa batas atas alam yang diberikan Tuhan
untuk digunakan dan dirawat manusia. Demikian
pun, apa yang baik dan berguna bagi para anak
dan cucuk perlu diusahakan dan dikembangkan,
namun bukan dengan merampas apa yang menjadi
hak manusia-manusia yang hidup sekarang, apalagi
ketika pereduksian hak mereka itu dipaksakan,
tanpa melibatkan mereka dalam perlindungan.
Untuk membingkai komitmennya terhadap
masalah lingkungan, termasuk tambang, Gereja
Katolik sejak mendiang Yohanes Paulus II
berbicara mengenai ekologi manusiawi. Sikap ini
dapat disebut sebagai sebuah jalan tengah antara
antroposentrisme di satu pihak dan ekosentrisme
atau biosentrisme di pihak lain. Antroposentrisme
menjadikan manusia sebagai pusat segala penguasaan
atas alam. Dan yang dimaksudkan dengan manusia
adalah kesejahteraan ekonomisnya. Maka, demi
peningkatan pendapatan daerah atau negara,
pandangan ini membenarkan pengerukan perut
bumi, apapun akibat lingkungannya. Ekosentrisme
330

Mengapa Gereja (Harus!) Tolak Tambang?

atau biosentrisme menjadikan alam sebagai pusat


segala kebijakan mengenai manusia. Segala bentuk
campur tangan ke dalam alam adalah satu bentuk
pelecehan kesucian alam. Manusia harus tunduk
di bawah hukum dan kondisi alam tanpa syarat.
Apa yang tidak diberikan oleh alam, tidak boleh
diusahakan manusia. Ekologi manusiawi bertekad
melindungi baik manusia maupun alam. Artinya,
kesejahteraan manusia diupayakan, juga dengan
jalan intervensi ke dalam alam, namun intervensi
itu harus memperhatikan kemampuan daur ulang
alam.
Di dalam makalah yang dibawakannya pada
kesempatan Kuliah Masa Prapaksah Trcaire
2015, di Universitas Kepausan Saint Patrick,
Maynooth, Irlandia, Kardinal Turkson, presiden
Komisi Kepausan untuk Keadilan dan Perdamaian
menggarisbawahi sekali lagi pandangan tersebut.
Turkson berpendapat bahwa konsep ini
merangkum tiga keprihatinan Gereja Katolik:
keutuhan lingkungan, perkembangan integral
manusia, dan opsi bagi kaum miskin. Bersama
Paus Fransiskus, Turkson menyebut ekologi
Benny Denar

331

ini sebagai ekologi integral yang mempunyai


empat elemen. Yang pertama adalah: Panggilan
untuk menjadi pelindung bersifat integral
dan merangkum baik alam maupun manusia.
Menghormati alam tidak dilepaskan dari
penghargaan terhadap pribadi manusia dan hakhak kelompok manusia, pun sebaliknya, promosi
atas peningkatan mutu kehidupan manusia
tidak dapat dipisahkan dari perjuangan untuk
melindungi hak-hak alam. Kedua, perhatian akan
lingkungan merupakan satu kebajikan dalam
dirinya sendiri. Kewajiban ini adalah salah satu
perintah utama kristiani. Dalam kotbahnya di
kapela Santa Marta pada tanggal 9 Maret 2015,
Paus Fransiskus mengatakan, adalah salah apabila
orang memperlawankan hijau dengan Kristen.
Manusia memiliki kewajiban untuk menggunakan
dan menjaga alam untuk kesejahteraannya dan
kesejahteraan generasi penerus. Ketiga, perlunya
pertobatan batin. Kita memang membutuhkan
regulasi yang dirumuskan secara makin baik,
namun pelaksanaannya sepenuhnya bergantung
pada keputusan para pemangku kepentingan.
Di sini diperlukan pertobatan batin. Yohanes
332

Mengapa Gereja (Harus!) Tolak Tambang?

Paulus berbicara mengenai pertobatan ekologis,


yakni sebuah perubahan radikal dari pola pikir
dan tingkah laku terhadap ciptaan dan kaum
miskin. Jika tidak, akan terus memelihara sistem
ekonomi yang membunuh, seperti dikatakan Paus
Fransiskus. Karena itu, usaha melindungi alam
dan menghormati manusia memang memerlukan
bingkai filosofis, termasuk yang dirumuskan
agama-agama. Konsep dan bahasa religius tentang
lingkungan dan manusia adalah salah satu sumber
inspirasi penting untuk menggalang keputusan
bersama demi menjaga pelestarian lingkungan
dan penghormatan terhadap manusia. Prinsip
keempat adalah pentingnya dialog dan solidaritas
global. Ekologi integral merupakan dasar bagi
keadilan dan perkembangan dunia. Pembagian
hasil olah atas alam yang tidak merata antara
semua yang terlibat dalam pengelolaan alam dan
antargenerasi dapat menjadi pemicu konflik yang
berkepanjangan. Masalah lingkungan mempunyai
pengaruh besar atas perdamaian di dunia. Karena
itu, diperlukan satu dialog dan solidaritas baru
antarsemua bangsa di dunia. Dialog dan solidaritas
ini tidak hanya terbatas pada usaha untuk
Benny Denar

333

memberikan bahan makanan kepada negara dan


kelompok masyarakat yang kelaparan. Fransiskus
mengatakan dalam kunjungan ke Brasil pada
tahun 2013, Memberikan makanan kepada
yang lapar, yang merupakan salah satu tuntutan
keadilan, tidak cukup untuk membahagiakan
manusia. Bukanlah merupakan promosi yang
tepat dan nyata bagi kesejahteraan bersama dan
perkembangan manusia yang nyata apabila orang
buta terhadap pilar-pilar penting yang sebenarnya
bagi penataan sebuah bangsa, yakni nilai-nilai
non-materialnya. Contohnya adalah keluarga,
pendidikan, yang tidak dapat disederhanakan
begitu saja sebagai transmisi informasi demi
peningkatan keuntungan, kesehatan, temasuk
dimensi spiritual dari kesejahteraan, kepastian.
Semua hal penting ini hanya dapat dicapai apabila
ada perubahan batin orang.
***
Advokasi tambang sebagai salah satu ungkapan
kewajiban kristiani bukanlah sebuah langkah yang
mudah dan disenangi banyak orang. Pengalaman
334

Mengapa Gereja (Harus!) Tolak Tambang?

Gereja Katolik di Nusa Tenggara Timur


membenarkan pandangan tersebut. Ada banyak
orang, termasuk orang-orang Katolik yang saleh,
memandang bahwa Gereja dan Hijau, Gereja dan
perjuangan untuk lingkungan adalah dua hal yang
tidak dapat dipadukan. Gereja hanya dihiraukan
kalau membatasi dirinya pada urusan altar dan
liturgi. Pertobatan, sebagaimana dikatakan Paus
Fransiskus dan disampaikan Kardinal Turkson
di atas, masih memerlukan jalan panjang. Tidak
hanya di kalangan umat, juga di kalangan pejabat
Gereja hal ini diperlukan.
Untuk dapat melakukan pendampingan
Gereja memang harus berani dan bersedia keluar
dari wilayah kenyamanan dan keamanan dirinya.
Keluar dari kepemilikan berbagai privilese dan
status kehormatan yang jauh dari umat. Menyentuh
penderitaan umat membuat Gereja pun mudah
bersentuhan dengan kekuasaan dan kekuatankekuatan yang menindas, menjadikannya korban
dari berbagai intrik dan praktik politik dan ekonomi
yang tidak jarang menggunakan instrumen
kekerasan. Berurusan dengan penderitaan umat
Benny Denar

335

atau warga dan menanggapi secara serius persoalan


lingkungan gampang menyeret Gereja menjadi
sasaran kejengkelan para pendukung tambang
dan tujuan aksi balas dendam mereka. Dalam
kesempatan seperti itu, pernyataan Paus Fransiskus
dalam Evangelii Gaudium dapat membantu
Gereja untuk setia pada misinya, bahwa Gereja
yang lebih dihormati adalah Gereja yang terluka
dan kotor karena berjuang, daripada Gereja yang
bersih namun jauh dari pergumulan umat dan
penyimpangan yang tengah terjadi dalam alam.
Perjalanan Gereja Keuskupan Ruteng dalam
menyikapi masalah tambang menjadi dasar sebuah
studi yang hasilnya dipublikasikan di dalam buku
ini. Studi ini menunjukkan bahwa pertobatan di
dalam Gereja pun mungkin. Pertobatan itu tidak
terutama terbaca pada pernyataan-pernyataan
resmi pihak keuskupan. Yang lebih utama dari
pernyataan resmi adalah sikap konkret Gereja
dalam pendampingan masyarakat yang menjadi
korban perusakan alam dan pelecehan HAM oleh
perusahaan tambang.

336

Mengapa Gereja (Harus!) Tolak Tambang?

Buku ini adalah sebuah dokumentasi dan


refleksi tentang sebuah Gereja lokal yang berani
keluar dari wilayah nyamannya sendiri. Persoalan
seputar tambang adalah titik krusial bagi Gereja di
NTT umumnya dan di Ruteng khususnya, untuk
beralih dari Gereja tradisional gaya Volkskirche
yang berorientasi pada pengajaran agama dan
pembentukan jemaat melalui pengajaran agama
dan liturgi, menjadi sebuah Gereja pejuang yang
mengutamakan solidaritas dengan ciptaan dan
warga, terutama mereka yang paling miskin
dan lemah. Gereja NTT umumnya dan Ruteng
khususnya, sedang beralih dari sebuah Gereja
yang menekankan kekudusan liturgis, menuju
kekudusan yang dilahirkan dari dan menjadi
nyata dalam pendampingan umat dan promosi
lingkungan.
Jakarta, awal Mei 2015
Paul Budi Kleden

Benny Denar

337

DAFTAR PUSTAKA

DOKUMEN-DOKUMEN GEREJA

Dokumen Konsili Vatikan II. Terj. R. Hardawiryana.


Cetakan 11. Jakarta: Obor, 2012.
Dokumen JPIC OFM. Tambang Proses
Pemiskinan dan Pemusnahan Peradaban
Bangsa Manggarai Kompilasi Diskusi
tentang Tambang di Manggarai.
Dokumen JPIC SVD Ruteng. Laporan Evaluasi
Program Penguatan Masyarakat Lingkar
Tambang di Manggarai Dioses Ruteng.
Project No. 416-004-1028, Juli 2010.
Departemen Dokumentasi dan Penerangan KWI.
Refleksi dan Evaluasi Nota Pastoral KWI
Tahun 2003, 2004 dan 2006. Spektrum
No. 4 Tahun XXXV, 2007.
Katekismus Gereja Katolik. Terj. Herman Embuiru.
Ende: Propinsi Gerejani Ende, 1995.
338

Komisi Kepausan Untuk Keadilan dan Perdamaian.


Kompendium Ajaran Sosial Gereja. Terj.
Yosef Maria Florisan. Maumere: Ledalero,
2009.
Komisi Keadilan, Perdamaian dan Pastoral
Migran-Perantau KWI. Animasi Keadilan
dan Perdamaian. Jakarta: KWI, 2008.
Keputusan Sinode III Keuskupan Ruteng Sesi
I tentang Pastoral Ekologi. Dikeluarkan
di Ruteng pada 17 Januari 2014.
Ditandatangani oleh Mgr. Hubertus
Leteng, Pr selaku Uskup Dioses Ruteng.
Nota Pastoral KWI tentang Keterlibatan Gereja
dalam Melestarikan Alam Ciptaan.
Dikeluarkan di Jakarta pada April 2013.
Ditandatangani oleh Mgr. Ignatius
Suharyo, Pr selaku Ketua dan Mgr. Johanes
Pujasumarta, Pr selaku Sekretaris Jenderal.
Nota Pastoral KWI. Keadaban Publik: Menuju
Habitus Baru Bangsa. Dikeluarkan di
Jakarta pada 11 November 2004.
Nota Pastoral KWI. Habitus Baru: Ekonomi
yang Berkeadilan. Dikeluarkan di Jakarta
pada 03 Januari 2007.
Surat Pernyataan Sikap Terhadap Kebijakan
Industri Pertambangan di Manggarai,
Benny Denar

339

Manggarai Barat, dan Manggarai Timur.


Dikeluarkan pada 02 Mei 2009 di Ruteng.
Ditandatangani oleh Romo Laurensius
Sopang, Pr sebagai Administrator
Keuskupan Ruteng.
Yohanes Paulus II. Redemptor Hominis. Terj.
R. Hardawiryana. Jakarta: Departemen
Dokumentasi dan Penerangan KWI, 1995.
_______. Centesimus Annus. Terj. R. Hardawiryana.
Cetakan
II.
Jakarta:
Departemen
Dokumentasi dan Penerangan KWI, 1992.
_______. Sollicitudo Rei Socialis. Terj. Petrus
Turang. Jakarta: Departemen Dokumentasi
dan Penerangan KWI, 1988.
_______. Surat Apostolik Salvifici Doloris. Terj.
J. Hadiwikarta. Jakarta: Departemen
Dokumentasi dan Penerangan KWI, 1993.
Yohanes XXIII. Mater et Magistra. Terj. R.
Hardawiryana.
Jakarta:
Departemen
Dokumentasi dan Penerangan KWI, 1994.
DOKUMEN-DOKUMEN PEMERINTAH

Badan Pusat Statistik Kabupaten Manggarai


Barat. Manggarai Barat dalam Angka 2012.
Labuan Bajo: BPS Manggarai Barat, 2012.
340

Mengapa Gereja (Harus!) Tolak Tambang?

Berita Resmi Statistik Kabupaten Manggarai Barat


Triwulan IV Tahun 2014. No.01/02/5315/
Th. IV. Dikeluarkan 02 Februari 2015.
Pemerintah Kabupaten Manggarai Barat. Dokumen
Rencana Pembangunan Jangka Menengah
Daerah (RPJMD) 2005-2010.
_______. Dokumen Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Daerah (RPJMD) 2011-2015.
Peraturan Daerah (Perda) Kabupaten Manggarai
Barat No. 30 Tahun 2005 tentang Rencana
Tata Ruang Wilayah Kabupaten Manggarai
Barat.
Peraturan Menteri Kehutanan No. P.40/MenhutII/2008 tentang Pedoman Pinjam Pakai
Kawasan Hutan.
Petikan Putusan Pengadilan Negeri Ruteng
Nomor: 27/Pid.B/2010/PN.RUT tanggal
29 Februari 2010.
Surat Keputusan Bupati Manggarai Barat. Nomor:
DPELH.540/273/VII/2008.
Perihal
Kegiatan Eksplorasi Emas. Dikeluarkan
di Labuan Bajo pada 7 Juli 2008.
Ditandatangi oleh Wilfridus Fidelis Pranda
sebagai Bupati Manggarai Barat.
Surat Keputusan Bupati Manggarai Barat. Nomor:
DPE.540/202/VII/2009. Perihal Kegiatan
Benny Denar

341

Eksplorasi Emas. Dikeluarkan di Labuan


Bajo pada 7 Juli 2009. Ditandatangani oleh
Wilfridus Fidelis Pranda sebagai Bupati
Manggarai Barat.
Surat Keputusan Bupati Manggarai Barat. Nomor
DPE.540/381/XII/2009. Perihal Persetujuan
Izin Usaha Pertambangan Eksplorasi
Kepada PT Grand Nusantara. Ditetapkan
di Labuan Bajo pada 15 Desember 2009.
Ditandatangani oleh Wilfridus Fidelis Pranda
sebagai Bupati Manggarai Barat.
Surat Keputusan Bupati Manggarai Barat Nomor:
SDA.500/214/X/2010. Perihal peringatan
yang ditujukan kepada seluruh pemegang
KP/IUP di Manggarai Barat. Dikeluarkan
di Labuan Bajo pada 2 Oktober 2010.
Ditandatangani oleh Agustinus CH. Dula
sebagai Bupati Manggarai Barat.
Surat Kepala Bidang Perlindungan dan Penyuluhan
Hutan.
Nomor:
DK.522.11/564/
VIII/2009. Perihal Pertimbangan Terhadap
Kegiatan Eksplorasi Tambang di Tebedo Kecamatan Boleng. Dikeluarkan di Labuan
Bajo pada 22 Agustus 2009. Ditandatangani
oleh Hilarius Madin selaku Kepala Bidang
Perlindungan dan Penyuluhan Hutan
Kabupaten Manggarai Barat.
342

Mengapa Gereja (Harus!) Tolak Tambang?

Surat

Direktorat Jenderal Planologi dan


Direktorat Jenderal Penggunaan Kawasan
Hutan. Nomor: S. 214/PKH-1/2010.
Perihal Laporan Pelaksanaan Eksplorasi
Emas di Tebedo Kabupaten Manggarai
Barat Propinsi Nusa Tenggara Timur.
Dikeluarkan di Jakarta pada 29 Maret
2010. Ditandatangani oleh Deddy Sufredy
selaku Direktur Jenderal Penggunaan
Kawasan Hutan.

Surat

Menteri Negara Lingkungan Hidup


Republik Indonesia. Nomor: 8.6094/
MENLH/08/2008. Perihal Kegiatan
Penambangan Emas di Batu Gosok,
Kecamatan Komodo Kabupaten
Manggarai Barat Propinsi Nusa Tenggara
Timur. Dikeluarkan di Jakarta pada
31 Agustus 2009. Ditandatangani oleh
Rahmat Witoelar selaku Menteri Negara
Lingkungan Hidup.

Surat Kepolisian Resor Manggarai Barat kepada


Florianus Adu selaku Ketua GERAM.
Nomor: SP2HP/50/XI/2012. Perihal
Pemberitahuan Perkembangan Hasil
Penyidikan. Dikeluarkan di Labuan Bajo
pada 27 November 2012. Ditandatangani
oleh Inspektur Polisi Edy selaku Kepala
Satuan Reskrim Polres Manggarai Barat.
Benny Denar

343

Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 Tentang


Mineral dan Batu Bara (Minerba).
Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 Tentang
Penataan Puang.
BUKU-BUKU

Ambroise, Yvon & R.G. Lobo. Transformasi Sosial


Gaya Yesus. Terj. Y.M. Florisan. Maumere:
LPBAJ, 2000.
Asshidiqie, Jimly. Konstitusi Ekonomi. Jakarta:
Kompas Gramedia, 2010.
Bertens, K. Pengantar Etika Bisnis. Yogyakarta:
Kanisius, 2000.
Berger, Peter L. Piramida Kurban Manusia. Terj.
A. Rahman Tolleng. Jakarta: LP3ES, 1982.
Beling, Willard A. dan George 0. Totten.
Modernisasi Masalah Model Pembangunan.
Terj. Mien Joebhaar. Jakarta: Rajawali,
1980.
Boff, Leonardo. Yesus Kristus Pembebas, Terj.
Aleksius Armanjaya dan G. Kirchberger.
Cetakan ke III. Maumere: LPBAJ, 2001.
Clark, John. Changing Welfare Changing States;
New Direction in Social Policy. London:
SAGE Publications, 2004.
344

Mengapa Gereja (Harus!) Tolak Tambang?

Dale, Cypri Jehan Paju. Kuasa, Pembangunan


dan Pemiskinan Sistemik. Labuan Bajo:
Sunspirit Books, 2013.
Chang, William. Moral Lingkungan Hidup.
Yogyakarta: Kanisius, 2001.
Duverger, Maurice. Sosiologi Politik. Terj. Daniel
Dhakidae. Jakarta: Rajawali Press, 2010.
Fakih, Mansour. Jalan Lain: Manifesto Intelektual
Organik. Yogyakarta: Insist Press & Pustaka
Pelajar, 1999.
Fukuyama, Francis. The End of History and the Last
Man. New York: Routledge, 1992.
Goudzwaard, Bob dan Harry de Lange. Di Balik
Kemiskinan dan Kemakmuran. Yogyakarta:
Kanisius, 1998.
Habur, Manfred dkk. Kenangan Tahbisan Uskup
Ruteng, Mgr. Hubertus Leteng. Ruteng:
Sekretariat Puspas Keuskupan Ruteng,
2010.
Hadar, Ivan A. Utang Kemiskinan, dan Globalisasi;
Pencarian Solusi Alternatif. Yogyakarta:
Pustaka Mandiri, 2004.
Hasiman, Ferdy. Monster Tambang Gerus Ruang
Hidup Warga Nusa Tenggara Timur. Jakarta:
JPIC OFM Indonesia, 2014.
Benny Denar

345

Hancock, Graham. Dewa-Dewa Pencipta


Kemiskinan; Kekuasaan, Prestise, dan
Korupsi Bisnis Bantuan Internasional.
Yogyakarta: Pustaka Rakyat, 2005.
Hertz, Noreena. Penjajahan Kapitalisme. Terj.
Dindin Solahudin. Bandung: Nuansa, 2011.
Keraf, Sonny. Etika Lingkungan Hidup. Jakarta:
Penerbit Buku Kompas, 2010.
Kirchberger, Georg. Allah Menggugat Sebuah
Dogmatik Kristiani. Maumere: Ledalero,
2007.
Kleden, Paulus Budi. Teologi Terlibat. Maumere:
Ledalero, 2003.
_______. Membongkar
Ledalero, 2006.

Derita.

Maumere:

Kleden, Ignas. Sikap Ilmiah dan Kritik Kebudayaan.


Jakarta: LP3S, 1978.
Magnis Suseno, Franz. Etika Politik. Jakarta:
Gramedia, 2003.
_______. Iman dan Hati Nurani Gereja Berhadapan
dengan Tantangan Zaman. Jakarta: Obor,
2014.
Masoed, Mochtar. Ekonomi Politik Internasional.
Yogyakarta: Jurusan Ilmu Hubungan
Internasional FISIPOL UGM, 1997.
346

Mengapa Gereja (Harus!) Tolak Tambang?

Moltmann, Jrgen. God In Creation: A New


Theology of Creation and the Spirit of God.
Terj. Margareth Kolh. New York: Fortress
Press, 1993.
Mller, Johanes. Perkembangan Masyarakat Lintas
Ilmu. Jakarta: Gramedia, 2006.
Mulia, Rudiaji. Feodalisme dan Imperalisme di Era
Global. Jakarta: Kompas Gramedia, 2012.
Ndraha, Taliziduhu. Pembangunan Masyarakat
Mempersiapkan Masyarakat Tinggal Landas.
Jakarta: Bina Aksara, 1987.
Nggoro, Adi M. Budaya Manggarai Selayang
Pandang. Ende: Nusa Indah, 2006.
Pareira, Berthold A, Guido Tisera, dan Martin
Harun. Keadilan, Perdamaian dan
Keutuhan Ciptaan. Jakarta: Lembaga
Biblika Indonesia, 2007.
Regus, Max. Tobat Politik. Jakarta: Parrhesia, 2011.
Salim,

Emil.
Pembangunan
Berwawasan
Lingkungan. Jakarta: LP3ES, 1986.

Salamudin. Penjajahan dari Lubang Tambang.


Malang: In-TRANS Publishing, 2011.
Sen, Amartya. Development As Freedom. New York:
Anchor Books, 2000.

Benny Denar

347

Stiglitz, Yoseph E. Globalization and Its Discontents.


London: Penguin Groups, 2002.
Susetiawan. Konflik Sosial, Kajian Sosiologis
Hubungan Buruh, Perusahaan dan Negara
di Indonesia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2000.
Soedjatmoko. Pembangunan
Jakarta: LP3ES, 1980.

dan

Kebebasan.

Sulastomo. Cita-Cita Negara Pancasila. Jakarta:


Kompas, 2014.
Trijono, Lambang. Pembangunan sebagai
Perdamaian. Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia, 2007.
Timo, Eben Nuban. Anak Matahari Teologi Rakyat
Bolelebo Tentang Pembangunan. Maumere:
Ledalero, 2012.
Wolf,

Martin. Globalisasi Jalan Menuju


Kesejahteraan. Terj. Samsudin Berlian.
Jakarta: Freedom Institute, 2007.

ARTIKEL

Aditjondro, George J. Dialektika Antara


Pemekaran Daerah dan Pertambangan
di NTT, dalam Alex Jebadu, dkk (ed.).

348

Mengapa Gereja (Harus!) Tolak Tambang?

Pertambangan di Flores-Lembata Berkah


atau Kutuk?. Maumere: Ledalero, 2009.
_______. Gereja Belum Siap Komunikasikan
Dampak Negatif Pertambangan, dalam
Alex Jebadu, dkk (ed.). Pertambangan
di Flores-Lembata Berkah atau Kutuk?.
Maumere: Ledalero, 2009.
Boyd

Jr, Frank A. Ketergantungan dan


Pembangunan, dalam John T. Ishiyama
dan Marijke Breuning (ed.). Ilmu Politik
dalam Paradigma Abad 21, Jilid I. Terj.
Ahmad Fedyani Saifudin. Jakarta: Kencana,
2013.

Chang, William. Mengenal Ajaran Sosial Gereja,


dalam Eddy Kristiyanto (ed.). Spiritualitas
Sosial Suatu Kajian Kontekstual. Yogyakarta:
Kanisius, 2010.
Danggur, Edi. Mempertimbangkan Kembali
Rencana Pertambangan di Manggarai
Barat. dalam Alex Jebadu, dkk (ed.).
Pertambangan di Flores-Lembata Berkah
atau Kutuk?. Maumere: Ledalero, 2009.
Gions, Frumens. Globalisasi, Panggilan Moral
dan Harapan, dalam Rikard Rahmat (ed.).
Gereja Itu Politis. Jakarta: JPIC OFM,
2012.
Benny Denar

349

Jebadu, Alex. Relasi Pertambangan, Kekejaman


Neoliberalisme, dan Ilusi Pertumbuhan
Ekonomi, dalam Rikard Rahmat (ed.).
Gereja Itu Politis. Jakarta: JPIC OFM,
2012.
Regus, Max. Membongkar Aib Pembangunan,
dalam Paul Budi Kleden, dkk (ed.).
Allah Menggugat Allah Menyembuhkan.
Maumere: Ledalero, 2012.
_______. Tambang, Kewargaan Lokal, dan Hak
Ekonomi Politik, dalam Boni Hargens
(ed.). Kebuntuan Demokrasi Lokal di
Indonesia. Jakarta: Parrhesia, 2009.
Mller, Johanes. Pembebasan Manusia dari
Penderitaan, dalam Peter L. Berger,
Piramida Kurban Manusia. Terj. A.
Rahman Tolleng. Jakarta: LP3ES, 1982.
McClleland Dorongan Hati Menuju
Modernisasi, dalam Myron Weiner (Ed.).
Modernisasi Dinamika Pertumbuhan.
(Yogyakarta: Gadjah Mada University
Press, 1994
Priyono, B. Herry. Marginalisasi ala Neoliberal,
dalam Jurnal BASIS. No. 05-06, Tahun ke53, Mei-Juni 2004.

350

Mengapa Gereja (Harus!) Tolak Tambang?

_______. Dalam Pusaran Neoliberalisme,


dalam Wibowo dan Francis Wahono (ed.).
Neoliberalisme. Yogyakarta: Pustaka Rakyat,
2003.
MAKALAH DAN MANUSKRIP

Bekkum, W. van. Sejarah Manggarai. Terj. Mikhel


Agus di Ruteng pada 26 Januari 1975.
JATAM. Catatan Akhir Tahun 2012. Sektor
Pertambangan
Indonesia
Kejahatan
terhadap Keselamatan Rakyat, 28
Desember 2012.
Kirchberger, Georg. Garis Besar Ajaran Sosial
Gereja (ms.). Maumere: STFK Ledalero,
1996.
Pranda, Wilfridus Fidelis. Kebijakan Investasi
Pertambangan. Makalah dalam Seminar
di Labuan Bajo pada 25 April 2009.
Sutam, Inosensius. Bersinode: Berjalan Bersama
Alam, dalam Liturgi Ekologis (Sebuah
Refleksi Teologis tentang Ekologi).
Makalah
yang
disampaikan
pada
kesempatan Sinode Keuskupan Ruteng
pada 13-17 Januari 2014.

Benny Denar

351

SURAT KABAR

Denar, Benny. Marsel Agot dan Perjuangan


Keutuhan Ciptaan. Opini dalam Flores
Pos, Rabu 22 Januari 2014.
_______. Pertobatan Ekologis dan Gerakan
Ekopastoral. Opini dalam Flores Pos, Senin
24 Februari 2014.
Priyono, Herry B. Filsafat Deregulasi. Opini
dalam Kompas, Rabu 01 Juni 2005.
Pelita, Robertus dan Silvester Manca. Menyingkap
Kebohongan Bupati. Opini dalam Flores
Pos, Senin 19 Oktober 2009.
PT Keramba Terkena Dampak Tambang. Berita
dalam Flores Pos, Jumat 20 Juni 2009.
Labuan Bajo, Kota Kontras. Bentara (Tajuk
Rencana) dalam Flores Pos, Kamis 27 Juni
2009.
Tambang Banyak Dosanya Untuk Lingkungan.
Berita dalam Flores Pos, Sabtu 29 Juni 2009.
Tambang Emas di Mabar Belum Ada Sosialisasi
ke Pemangku Adat. Berita dalam Pos
Kupang, Sabtu 29 Juni 2009.
Tambang Jangan Lecehkan Hak Ulayat. Berita
dalam Flores Pos, Rabu 01 Juli 2009.

352

Mengapa Gereja (Harus!) Tolak Tambang?

Pendatang Baru Jangan Menggusur Putra


Mahkota. Berita Harian Kompas, Selasa
07 Juli 2009.
Meneg LH: Hentikan Penambangan, Berita
dalam Harian Kompas, Selasa 14 Juli 2009.
Geram Kutuk Tindakan Premanisme. Berita
dalam Harian Timex, Selasa 14 Juli 2009.
Konservasi Komodo Meneg LH: Hentikan
Penambangan, Berita di Harian Kompas,
Rabu 15 Juli 2009.
Polres Mabar, Tunggu Apa?. Bentara (Tajuk
Rencana) dalam Flores Pos, Senin 24
Agustus 2009.
Pemkab Mabar Kalah di Pengadilan. Berita
dalam Pos Kupang, Sabtu 23 November
2013.
Berat, Tantangan Presiden Baru. Headline dalam
Kompas, Rabu 13 Agustus 2014.
DOKUMEN-DOKUMEN LAIN

Surat

pernyataan
tolak
tambang
dari
Persatuan Masyarakat Metang Tolak
Tambang (PERMATA). Nomor: 01/
PERMATA/X/2010.
Perihal
Tolak
Tambang. Dikeluarkan di Metang pada 25
Benny Denar

353

Oktober 2010. Ditandatangi oleh Melkior


Jenarum selaku Ketua dan Ambrosius Meto
selaku Sekretaris, juga ditandatangani
oleh 123 orang warga Kampung Metang
lainnya.
Surat Masyarakat Desa Labuan Bajo. Nomor: -,
Perihal: Keberatan Atas Adanya Kegiatan
Penambangan Emas Dalam Kawasan Desa
Labuan Bajo. Dikeluarkan di Labuan Bajo
pada 17 Juli 1996. Ditandatangani oleh
para pemilik lahan kurang lebih 122 orang.
Surat PT Karamba Loh Dora. Nomor: 0054/PTK/V/Tamb/2009. Perihal Pemberitahuan.
Dikeluarkan di Labuan Bajo pada 22
Mei 2009. Ditandatangani oleh Frederick
Bataona selaku Manajer.
Surat PT Karamba Loh Dora. Nomor: 0055/PT-K/
VI/Tamb/2009. Perihal Surat Susulan.
Dikeluarkan di Labuan Bajo pada 19
Juni 2009. Ditandatangani oleh Frederick
Bataona selaku Manajer.
INTERNET

http://gerammabar.blogspot.com/2009/07/
pernyataan-bupati-mabar-dalam-rapat.
html, diakses pada 20 November 2013.
354

Mengapa Gereja (Harus!) Tolak Tambang?

http://indonesia.ucanews.com/2013/01/25/
uskup-ruteng-ajak-umat-tolak-tambang/,
diakses pada 26 November 2013.
http://www.jawaban.com/news/spiritual/detail.
php?id_news=101119124716&off=,
diakses pada 26 November 2013.
www.catholicnews.com, diakses pada 5 April 2014.
http%3A%2F%2Fmineritysriwijaya.blogspot.
com%2F2012%2F12%2F, diakses pada
28 September 2014.
http%3A%2F%2Fpengertian-definisi.blogspot.
com%2F2012%2F02%2F, diakses pada
28 September 2014.
http://www.google.co.id/url?sa=t&rct=j&q=&esr
c=s&source=web&cd=7&ved=0CE8QFjA
G&url=http%3A%2F%2Fwww.bangazul.
com%2Fpengertian-dan-jenis-p, diakses
pada 10 Oktober 2014.
www.depkes.go.id, diakses pada 28 Oktober 2014.
blogspot.com/p/ajaran-sosial-gereja.html, diakses
pada 18 Desember 2014.
http://nasional.kompas.com/
read/2014/11/25/20112371/Busyro,
diakses pada 10 Desember 2014.
http://regional.kompas.com/
Benny Denar

355

read/2012/09/28/17313375/70.Persen.
Kerusakan.Lingkungan.akibat.Operasi.
Tambang, diakses pada 22 Januari 2015.
http://pengertian-definisi.blogspot.com/2012/02/
dampak-negatif-pertambangan.html,
diakses pada 22 Januari 2015.
http://www.wedaran.com/6165/dampak-negatifpertambangan-terhadap-lingkunganhidup, diakses pada 22 Januari 2015.
blogspot.com/2013/05/istilah-ajaran-sosial-gereja.
html, diakes pada 23 Januari 2015.
http://ilmugeologitambang.com/arti-ataupengertian-tambang-dan-pertambangan.
html/tahapan-kegiatan-tambang, diakses
pada 25 Januari 2015.
http://www.bandungmagazine.com/analysis/
pembangunan-berkelanjutan-gagasanimplementasi-dan-kecenderungan-realitasdi-indonesia, diakses pada 10 Februari
2015.
http://komunikasi.um.ac.id/?p=298, diakses 25
Februari 2015.
http://manggaraibaratkab.bps.
go.id/?hal=publikasi_detil&id=64, diakses
pada 3 Maret 2015.
356

Mengapa Gereja (Harus!) Tolak Tambang?

http://edukasi.kompas.com/
read/2011/11/26/03420011/Percepat.
Pengembangan.Labuan.Bajo, diakses pada
3 Maret 2015.
http://martinorengkuan.blogspot.com/2013/01/
prinsip-prinsip-ajaran-sosial-gereja_6846.
html, diakses pada 6 Maret 2015.
WAWANCARA

Florianus Suryon Adu, Ketua GERAM (Gerakan


Masyarakat Anti Tambang), diwawancara
pada 7 Januari 2014.
Marsel Agot, SVD, Imam Gereja Katolik
yang menjadi salah satu tokoh kunci
pembentukan dan perjuangan GERAM,
diwawancara pada 8 Januari 2014.
Robertus Pelita, Imam Gereja Katolik yang Aggota
GERAM, diwawancara pada 9 Januari
2014.
Simon Suban Tukan, Ketua JPIC SVD Ruteng,
diwawancara pada 28 Juli 2014.
Marten Jenarut, Ketua JPIC SVD Ruteng,
diwawancara pada 29 Juli 2014.

Benny Denar

357

358

Mengapa Gereja (Harus!) Tolak Tambang?

Anda mungkin juga menyukai