Anda di halaman 1dari 51

Tongkonan layuk

talonge

Kabupaten tana toraja

Penulis : wily elvista payung

i
Kata pengantar

Kata pengantarPuji syukur kehadirat Tuhan


Yang Maha Kuasa atas segala
Rahmatnya,sehingga penulis dapat menyusun
penyusunan penelitian ini dalam bentuk
maupun isinya yang mungkin sangat
sederhana.Penulisan penelitian ini merupakan
salah satu tugas dan persyaratan
untukmenyelesaikan tugas mata kuliah
perkembangan arsitektur. penelitian ini
berisikan tentang adat istiadat suku
Toraja.Tidak lupa saya ucapan terima kasih
kepada semua pihak yang telah membantu
dalam proses penyusunan penelitian
ini.Semoga penelitian ini dapat dipergunakan
sebagai salah satu acuan, petunjukmaupun
baru dan juga berguna untuk menambah
pengetahuan bagi para pembaca.penelitin ini
saya akui masih banyak kekurangan karena
pengalaman yang saya memiliki sangat kurang.
Oleh karena itu saya mengharapkan kepada
pembaca untuk memberikan masukan-
masukan yang bersifat membangun untuk
kesempurnaan penelitian ini.
toraja, januari 2021

Wily elvista payung

ii
Daftar isi
Tongkonan layuk talonge...................................i
kata pengantar....................................................ii
daftar isi..............................................................iii
BAB I....................................................................1
PENDAHULUAN...................................................1
1.1 Latar Belakang...........................................1
1.2 Identifikasi Masalah...................................9
BAB II.................................................................12
LEMBANG RATTE TALONGE KECAMATAN
SALUPUTTI KABUPATEN TANA TORAJA.........12
A.letak geografis................................................12
B. wilayah administrasi..................................13
C. kondisi topografi.......................................14
D. tata guna lahan.........................................14
E. jumlah penduduk......................................14
F. kondisi perekonomian..............................15
G. sejarah ,adat dan budaya.........................17
1. sejarah singkat tongkonan talonge........17
2. adat dan budaya....................................19
H.pola pemukiman masarakat.......................25

iii
BAB III................................................................28
TONGKONAN LAYUK TALONGE.....................28
A. tipologi....................................................28
1. Zonasi....................................................28
2. bentuk/tipe............................................28
3. fungsi ruang...........................................30
4.orientasi hunian......................................32
B.konstruksi hunian.......................................32
1.Bagian kaki (Sullu Banua)........................33
2. Bagian badan rumah (Kale Banua).........35
3.Bagian atas (Rattiang Banua)..................39
BAB IV................................................................44
KESIMPULAN.....................................................44
DAFTAR PUSTAKA......................................47

iv
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Toraja yang terletak di Sulawesi Selatan
merupakan daerah yang kaya akan

budayanya. Salah satunya bisa dilihat melalui karya


seninya yang sangat

menonjol yakni arsitektur berupa rumah adat


Tongkonan. Rumah adat Tongkonan

merupakan warisan dan hak milik turun temurun dari


manusia pertama yang

membangun Tongkonan. Rumah adat Tongkonan


berbentuk perahu, karena

berdasarkan asal usulnya, nenek moyang orang Toraja


berimigrasi dari Hindia

Belakang (Siam) ke daerah Selatan untuk mencari


daerah baru. Mereka

menggunakan perahu yang menyerupai rumah adat


orang Toraja.

1
Sebagian besar Budaya Toraja bersifat spiritual yang
disimbolkan ke dalam

berbagai bentuk seninya termasuk di dalam rumah


adat Tongkonan. Semua ritual

yang berhubungan dengan rumah adat ini sangatlah


penting dalam kehidupan

spiritual suku Toraja. Semua anggota keluarga


diharuskan ikut serta karena

melambangkan hubungan mereka dengan leluhur


mereka dan harus berpatokan

pada nilai tradisi yang terkandung dalam kepercayaan


asli Toraja, Aluk Todolo

(menyembah roh-roh). Oleh karena itu, dahulu fungsi


rumah adat Tongkonan

selalu berpatokan pada kepercayaan Aluk Todolo.


Bagi masyarakat Toraja,

Tongkonan dengan ukirannya bukan hanya sekedar


rumah saja, tetapi Tongkonan

mengandung makna yang sangat mendalam, dan


unsur-unsur visualnya

merupakan ungkapan simbolik yang tertanam dalam


kehidupan masyarakat.

2
Saat ini pandangan hidup masyarakat Toraja semakin
mengalami perubahan

terhadap nilai-nilai tradisionalnya. Terutama


dipengaruhi oleh adanya sikap

masyarakat yang memandang kepercayaan Aluk


Todolo penuh dengan mitos dan

hal-hal gaib yang tidak lagi relevan dengan


perkembangan zaman. Masyarakat

lebih cenderung memilih agama Kristen atau Islam


yang lebih relevan dengan

zamannya. Perubahan-perubahan di atas membawa


pengaruh yang besar terhadap rumah adat
Tongkonan.

Dari segi fungsi, rumah adat ini asalnya hanya


diperuntukkan bagi ketua adat

saja. Di rumah Tongkonan inilah segala urusan


pemerintahan diatur dan dibuat.

Contohnya untuk melihat status kepemilikan dari


bangunan dapat diidentifikasi

dari jumlah tanduk dan kepala kerbau yang ada di


depan bangunan tersebut.

Semakin banyak tanduk dan kepala kerbau yang ada


pada bangunan tersebut,

3
maka semakin tinggi derajat seseorang tersebut.
Dahulu Tongkonan juga dianggap sebagai tempat
musyawarah ataupun tempat tinggal bagi penguasa.
Tetapi sekarang fungsi Tongkonan beralih menjadi
sekedar fungsi sosial untuk

kebutuhan praktis masa kini yaitu menjadi tempat


tinggal masyarakat, baik itu

kaum bangsawan ataupun rakyat biasa. Tetapi karena


zaman yang semakin

berkembang, akhirnya rumah adat ini menyebar ke


masyarakat, sehingga hampir

seluruh masyarakat Toraja memilikinya dan fungsinya


yaitu sebagai rumah

tempat tinggal bagi mereka. Masyarakat Toraja tidak


lagi menganggap

Tongkonan sebagai rumah yang bersifat sakral,


sebagai tempat pelaksanaan

upacara religius dan bermakna simbolik menurut


kepercayaan Aluk Todolo.

Tidak hanya fungsi, tetapi bentuk rumah adat


Tongkonan pun mengalami

perubahan. Rumah adat Tongkonan yang dahulu


hanya terdiri dari satu ruangan

4
saja, tapi rumah adat Tongkonan yang sekarang terdiri
dari beberapa ruangan

yang diberi sekat dan dipisah berdasarkan


kegunaanya. Perubahan yang terjadi

pada rumah adat Tongkonan ini dianggap mengurangi


nilai karakteristik pada

Tongkonan yang sudah ditetapkan oleh leluhur Toraja.


Perubahan pada material

bangunan Tongkonan pun berpengaruh pada


kekuatan struktur bangunan.

Tongkonan saat ini dengan materialnya yang modern


dianggap lebih ringan dan

tidak tahan dalam menerima gaya hisap angin


dibandingkan dengan materialmaterial yang
digunakan pada zaman dulu.

Perubahan yang terjadi pada rumah adat Tongkonan


ini sangatlah

disayangkan, karena rumah adat Tongkonan


merupakan identitas kebudayaan

masyarakat Toraja yang sudah ditetapkan oleh


leluhur. Jika terjadi perubahan

pada fungsi dan maknanya maka identitas masyarakat


Toraja akan berubah.

5
Masyarakat Toraja seharusnya dapat menyadari arti
penting rumah adat

Tongkonan yang bersifat sakral dan merupakan


peninggalan leluhur yang harus

dijaga dan dipertahankan nilainya karena rumah adat


Tongkonan merupakan

identitas budaya Toraja yang begitu berharga.

Sesuai dengan fenomena yang diangkat, penulis


tertarik merancang features

televisi yang berkonsep edukasi terhadap anak-anak


mengenai pentingnya

identitas pada suatu budaya Toraja, dan agar mereka


memperoleh pengetahuan

untuk dapat melestarikan budaya Toraja khususnya


pada rumah adat Tongkonan.

Features televisi adalah liputan mengenai kejadian


yang dapat menyentuh

perasaan ataupun menambah pengetahuan audiens


atau pemirsa melalui

penjelasan rinci, lengkap, serta mendalam, tidak


terikat aktulitas nilai utamanya

6
unsur manusiawi atau informasi yang dapat
menambah pengetahuan (Fachruddin,2012:227).
Features juga merupakan reportase yang dikemas
lebih mendalam dan luas disertai sedikit sentuhan
aspek human interest agar memiliki
dramatika.Berkonsep edukasi terhadap anak-anak
karena diharapkan features televisi yang dirancang
nanti dapat memberikan pendidikan atau
pengetahuan terhadap anakanak yang ingin
mengetahui lebih banyak tentang budaya di
Indonesia.Oleh sebab itu, melalui media features
televisi penulis tertarik untuk

menginformasikan kembali tentang pentingnya


bentuk, fungsi dan makna pada

rumah adat Tongkonan yang sudah ditetapkan oleh


leluhur dan merupakan

identitas budaya masyarakat Toraja. Sehingga


masyarakat Toraja dapat menyadari

dan tidak melakukan perubahan terhadap budaya


Toraja secara berlebihan. Dalam

perancangan features televisi ini, penulis bertindak


sebagai sutradara. Diharapkan

perancangan features televisi ini dapat menyadarkan


masyarakat Toraja agar tidak

7
melakukan perubahan terhadap identitas Toraja
secara berlebihan.

Dalam perancangan program features televisi ini,


peran sutradara sangatlah

penting. Sutradara televisi merupakan sebutan bagi


orang yang berprofesi

menyutradarai sebuah Program Acara Televisi baik itu


drama ataupun nondrama,

dalam produksi single atau multi camera (Naratama,


2014:4) . Sutradara harus

mampu menjelaskan mengenai ide awal, bagaimana


cara penyampaian informasi,

bagaimana cara menyampaikan pesan secara logis,


dan mampu mengatur

dramatik yang ada didalam features televisi. Ada


empat konsentrasi sutradara

yaitu, pendekatan, gaya, bentuk dan struktur


(Ayawaila, 2008:101).

Berdasarkan uraian diatas, penulis tertarik untuk


merancang program features

televisi yang bertema Identitas Budaya pada Rumah


Adat Tongkonan di Toraja.

8
1.2 Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, terdapat
permasalahan yang dapat

diidentifikasikan sebagai berikut:

1. Rumah adat Tongkonan adalah salah satu karya


seni daerah Toraja

yang merupakan warisan dari manusia pertama


yang membangun

Tongkonan.

2. Dulu ritual-ritual yang dilaksakanakan di rumah


adat Tongkonan

harus berpatokan pada kepercayaan Aluk Todolo


(menyembah rohroh) .

3. Masyarakat Toraja kini menganggap kepercayaan


Aluk Todolo tidak

lagi relevan dengan perkembangan zaman, dan


lebih memilih

agama Kristen atau Islam yang lebih relevan


dengan zamannya.

4. Rumah adat Tongkonan kini telah berubah fungsi


dari yang dulunya

9
bersifat sakral dan merupakan tempat tinggal
bangsawan dan ritual

Aluk Todolo kini jadi berfungsi umum dan


digunakan untuk tempat

tinggal masyarakat.

5. Rumah adat Tongkonan mengalami perubahan


bentuk, dulu terdiri

dari satu ruangan sekarang menjadi beberapa


ruangan yang dipisah

berdasarkan kegunaannya.

6. Perubahan yang terjadi pada rumah adat


Tongkonan bisa jadi

merubah identitas Toraja yang sudah ditetapkan


oleh leluhur.

7. Features televisi merupakan reportase mengenai


rumah adat

Tongkonan yang dikemas lebih mendalam dan


luas disertai sedikit

sentuhan aspek human interest agar memiliki


dramatika.

8. Melalui media features televisi, penulis sebagai


sutradara

10
mengharapkan dapat menyadarkan masyarakat
Toraja agar tidak

melakukan perubahan terhadap identitas Toraja


secara berlebihan.

9. Sutradara harus mampu menjelaskan mengenai ide


awal, bagaimana

cara penyampaian informasi, bagaimana cara


menyampaikan pesan secara logis, dan mampu
mengatur dramatik yang ada didalam features
televisi.

11
BAB II

LEMBANG RATTE TALONGE KECAMATAN


SALUPUTTI KABUPATEN TANA TORAJA

A.letak geografis

* Luas Wilayah

Lembang ratte talonge,memiliki luas wilayah 23,24


km2 dengan kordinat Geografis berada pada
03*12*8LS dan 119*32*20*BT dengan Ibukotanya
Ulusalu.

Batas Wilayah dibatasi

Sebelah Utara : lembang pattan ulusalu

Sebelah Selatan : lembang sambiri

Sebelah Timur : lembang rea

Sebelah Barat : lembang sa’tandung

12
Gambar 1.peta wilayah kabupaten tana toraja

B. wilayah administrasi
Secara administratif,lembang ratte talonge terdiri
dari 7 RT,dan 10 kampung.Sebagian besar penduduk
ratte talonge beragama Kristen. Perkembangan
pembangunan di bidang spiritual di daerah ini dapat
dilihat dari besarnya sarana peribadatan masing-
masing agama. .

Gambar 2.peta wilayah lembang ratte talonge


kecamatan saluputti

13
C. kondisi topografi
Kondisi topografi lembang ratte talonge merupakan
dataran tinggi yang dikelilingi oleh pegunungan
dengan keadaan lerengnya curam yakni rata-rata
kemiringannya diatas 25 %. Lembang ini terdiri dari
pegunungan, dataran rendah. Bagian terendah
lembang ini berada di kampung sambiri, sedangkan
bagian tertinggi berada di kampung ratteasa.
Lembang ratte talonge yang keadaan Wilayahnya
terdiri dari pegunungan mempunyai jarak tempuh 18
km dari Ibukota Kecamatan ke Ibukota Kabupaten
Tana Toraja.

D. tata guna lahan


Tata guna lahan di lembang ratte talonge
sebagian merupakan area pertanian dan perkebunan
mata pencaharian mereka sebagai
penduduk.penggunaan wilayah ini lebih dominan
sebagai lahan pertanian.(tabel 1.)

Tabel 1. Tata guna lahan ( arsip lembang ratte talonge tahun ,2013 )

Peruntukan lahan Luas (km2)


Pertanian 6,11 km2
perkebunan 2,18 km2
Jumlah 8,29 km2

E. jumlah penduduk
Jumlah penduduk di lembang ratte talonge sebanyak
2.364 jiwa dan 736 kepala keluarga.sebagian juga

14
penduduk di lembang rette talonge merantau ke
berbagai tempat seperti;
Kalimantan,papua,manado,maupun ke luar negeri.

Tabel 2. Klasifikasi jumlah penduduk lembang ratte talonge ,( arsip


lembang ratte talonge ,2013).

Laki Perempuan jumlah


laki
Jumlah 1.238 1.126 2.364
penduduk
(p)
Jumlah _ _ 736
kepala
keluarga(kk)

F. kondisi perekonomian
Lembang ratte talonge dapat diamati dengan adanya
air tanah yang bersumber dari air hujan yang sebagian
mengalir di permukaan (run off) dan sebagian lagi
meresap ke bumi dan sampai ke tempat–tempat yang
dangkal, serta sebagian lagi mencapai tempat-tempat
yang dalam, dimana sering dikategorikan sebagai air
tanah. air tanah dangkal dapat diperoleh dari sumur
gali dengan kedalaman sekitar 10 – 15 meter dengan
kualitas airnya cukup memenuhi syarat-syarat
kesehatan. Untuk jenis air ini dipergunakan oleh
sebagian besar masyarakat sebagai sumber air untuk
keperluan rumah tangga.

15
Lembang ratte talonge termasuk daerah yang beriklim
tropis basah, temperatur suhu rata-rata berkisar
antara 15° c - 28° c dengan kelembaban udara antara
82 - 86 %, curah hujan rata-rata 1500 mm/thn sampai
lebih dari 3500 mm/tahun.

Daerah lembang ratte talonge pada dasarnya beriklim


tropis dengan dua musim, berdasarkan curah hujan
yakni :

Musim hujan pada periode bulan Oktober sampai


Maret

Musim kemarau pada periode bulan April sampai


September

Menurut Oldement, tipe iklim di lembang ratte


talonge adalah tipe C2 yaitu bulan basah (200 mm)
selama 2–3 bulan berturut-turut dan bulan kering
(100 mm) selama 2 – 3 bulan berturut-turut. Hal ini
sangat mendukung aktivitas masyarakat pada sektor
agraris.

16
Gambar 3.cara menanam padi masyarakat lembang ratte talonge

Gambar 4. kebun sayur masyarakat lembang ratte talonge

G. sejarah ,adat dan budaya

1. sejarah singkat tongkonan talonge


Ratte talonge adalah kampung yang
sangat tua ditandai dengan berbagai
artefak yang masih terpelihara sampai
sekarang, seperti kuburan tua yang
tersebar dibeberapa titik, kayu mate
(erong) yang sudah sangat tua,
prasasti batu tallu, dan lain
sebagainya. Selain itu tongkonan
talonge juga dikenal sebagai peneliti
yang dikenal oleh para akademisi.
Prasasti batu Tallu misalnya menurut
perkiraan telah berusia lebh dari 500
tahun.HT Lanting (Kepala
Onderafdeling) Makale Zaman

17
Kolonial )mengatakan bahwa Basse
Batu Tallu dihadiri dan diikrarkan oleh
paling tidak depalan daerah :
Saluputti, Sa’dang, Mamasa, Rante
Bulawan, Sawitto, Gallang Kallang ,
Balanipa dan Matangnga. Mereka
bertemu di saluputti karena saluputti
adalah Nenek (yang paling dituakan
diantara ke delapan daerah tersebut.
kita masih bisa membaca jejak
kekerabatan masa lampau itu melalui
ungkapan saluputti Nenek, Sawita
Appo (Saluputti adalah Nenek dan
Sawito adalah Cucu), adanya la’bo
penai bulawan dimana sarung parang
tersebut diyakini berada di Sawito,
Kayu Mate ( dalam bentuk kerbau) di
Lekke dan Saluputti Batu Tallu karena
itu cakupan relasi kekerabatan dan
Wilyah Adat talonge pada masa
lampau sebernarnya sangat luas
mencakup Mandar, Mamasa, dan
Sawito (sekarangPinrang) tetapi
dipersempit oleh penetapan Wilayah
Administrasi Kolonial Belanda sampai
sekarang.

18
2. adat dan budaya

Gambar 5 . Menyaksikan budaya Toraja

Dikalangan pemerintah nama Toraja juga


mulai di pakai pada masa NIT ( Negara
Indonesia Timur ), ketika Onderafdeeling
Makale dan Rantepao di lepaskan dari
Afdeling Luwu dan di jadikan daerah
swapraja dengan nama Tanah Toraja,
yang akhirnya menjadi Kabupaten Tanah
Toraja (1957). Ketorajaan sebagai suatu
identitas mengemuka dalam sejarah
konflik dengan tetangga daerah yaitu
Bugis di dataran rendah, terkhusus pada
saaat munculnya kesatuan dan
persatuan melawan serangan Bone pada
akhir abad ke-17 . Kesatuan masyarakat
Toraja itu di gambarkan atau di
wujudkan dalam ungkapan To sang
lepongan bulan, sang lili’na matarik allo,
sebelum identitas Toraja itu mengemuka
di kalangan banyak orang jadi pada
tahun 1930-an, identitas mereka itu

19
mengikuti sub-sub Toraja berdasarkan
wilayah tradisonal yang ada di sana
yaitu; To Makale ( orang makale ) , To
Sa’dan ( orang sa’dan), To lempo ( orang
lempo) dan masih banyak daerah
lainnya.

Masyarakat Toraja pada mulanya itu


menganut agama Aluk Todolo ( Agama
leluhur atau agama nenek moyang) para
pemeluk aluk todolo itu mempercayai
dan tunduk kepada hukum-hukum dan
larangan-larangan yang dinamakan Aluk
sanda pintu, artinya adalah agama yang
sempurna, serba tujuh, dan bahkan ada
juga yang di namakan aluk sanda saratu’
( Agama serba seratus yang juga berarti
sempurna). Aluk itu menyangkut
manusia, binatang dan tanam tanaman,
yang dalam bahasa Toraja itu disebut
alukna lolo tau, alukna lolo patuan,
alukna lolo tananan. Pelanggaran
terhadap aluk dan larangan-larangan itu
diyakini oleh pemeluknya akan
mendatangkan malapetaka, baik
terhadap orang yang melanggar ataupun
terhadap masyarakat pada umumnya.
Sampai saat kedatangan pemerintah
belanda di Toraja itu masih banyak

20
masyarakatnya yang menganut Aluk
todolo, namun di daerah-daerah
tertentu itu ada penganut agama Islam.

Mereka mulai mengenal agama Islam itu


sejak akhir perang Untulak Buntunna
Bone ( perang melawan serangan
kerajaan bone ) dan pada akhir abad ke-
17 agama islam semakin dikenal ketika
perdagangan kopi dan senjata mulai
marak di antara orang Toraja dan orang
Bugis, terkhusus di kalangan orang
bangsawan. Dan di Toraja itu masih
banyak sekali kegiatan-kegiatan
Budaya/Adat yang masih dijalankan
sama mereka seperti kegiatan
Menyimpan lama mayat di rumah, jadi
kegiatan ini memang sudah digumuli
dari tahun 1913 – 1924. Masyarakat
Toraja itu merasa keberatan jika mereka
di perintahkan hanya menyimpan mayat
beberapa hari saja dan mereka juga
menganggap bahwa mayat yang
disimpan masih hidup atau hanya
terbaring sakit jadi mereka masih
menyiapkan makan/minum untuk
mayatnya dan juga membukakan jendela
serta menyalakan pelita di tempat
mayatnya di simpan.

21
Gambar 6.Upacara Penguburan Adat

Masyarakat Toraja juga percaya bahwa


tanpa upacara penguburan ini maka
arwah orang yang meninggal tersebut
akan memberikan kemalangan kepada
orang-orang yang ditinggalkannya
(keluarganya) dan pada puncak upacara
pemakaman (Rambu Solo) banyak
rangkaian kegiatan yang mereka
laksanakan dan sangat membutuhkan
biaya yang banyak. Puncak upacara
Rambu Solo biasanya berlangsung itu
diadakan pada bulan Juli dan Agustus.
Saat itu orang Toraja yang merantau di
seluruh Indonesia akan pulang kampung
untuk ikut serta dalam rangkaian acara
ini, jadi saat proses pemakaman itu
banyak sekali kerbau dan babi yang di
potong bahkan sampai ratusan. Dalam
kegiatan pemakaman ada juga orang-
orang yang melaksanakan Tarian

22
mabadong. Mabadong ini dilaksanakan
pada saat proses pemakaman baik itu
siang hari maupun malam hari.

Gambar 7.Aktivitas Pemuda Toraja

Tarian mabadong ini dilakukan secara


berkelompok. Para penari (pabadong)
membentuk lingkaran dan saling
berpegangan tangan dan umumnya
mereka berpakaian hitam-hitam.
Mabadong bukan hanya sekadar tarian,
melainkan sebuah kegiatan melagukan
badong dengan gerak-gerakan yang khas
syair yang dilagukan disebut
kadongbadong, Isi dari syair tersebut
tidak lain adalah pengagungan terhadap
orang mati, dan di dalamnya diceritakan
asal-usul dari langit, masa kanak-
kanaknya, amal dan kebaikannya, serta
semua hal menyangkut dirinya yang
dianggap terpuji Selain itu, di dalamnya

23
juga mengandung harapan bahwa orang
mati tersebut dengan segala
kebaikannya akan memberkati orang-
orang yang masih hidup.

Bukan cuman acara menyimpan mayat


saja masih ada upacara ma’bate,
ma’bugi dam maro, upacara ini juga
sudah sangat lama di jalankan oleh
masyarakat Toraja, upacara ini
dilaksanakan oleh masyarakat orang
Toraja untuk mengobati orang yang
kerasukan roh jahat. Maro, suatu pesta
dengan lagu tertentu biasanya pesta ini
sangat banyak dikunjungi oleh orang-
orang. Dalam acara maro biasanya itu
ada beberapa orang yang kerasukan.
Ketika sedang kerasukan, yang
bersangkutan biasanya berjalan dalam
bara api, menaiki tangga kelewang
tajam, tetapi tidak apa-apa atau bahkan
membaringkan tubuhnya di atas
sebatang bambu dengan ketinggian
beberapa meter.

Namun kadang ada saja orang-orang


yang tidak setuju akan kegiatan adat

24
yang ada di sana, makanya anak muda
yang ada di Toraja itu dituntut untuk
mempertahankan adat dan budaya yang
ada di Toraja sehingga sampai saat ini
kegiatan-kegiataan adat yang ada di
Toraja masih di jalankan oleh
masyarakatnya.

H.pola pemukiman masarakat


Desa-desa tradisional Toraja pada umumnya memiliki
ciri umum yaitudengan kelompok rumah-rumah adat
untuk tempat tinggal keluarga sedikitnyaantara 5 - 10
keluarga dan disesuaikan dengan kondisi topografis
sertalokasinya menyebar di lereng pegunungan.
Setiap kelompok rumah-rumah penduduk memiliki
tongkonan dan alang atau lumbung padi untuk
kegiatansosial ekonomi dan kehidupan tradisi dan
budaya mereka. Tongkonan biasanya secara turun
temurun dilengkapi dengan ladang dan sawah untuk
bertani serta binatang ternak dengan memelihara
kerbau dan babi.

wilayah permukiman masyarakat Toraja terletak di


pegunungan dengan ketinggian 600 hingga 2800m di
atas permukaan laut. Temperatur udara kawasan
permukiman masyarakat Toraja berkisar pada 15 0
hingga 30 0 C. Daerah ini tidak berpantai, budayanya
unik, baik dalam tari-tarian, musik, bahasa, makanan,
dan kepercayaan Aluktodolo yang menjiwai
kehidupan masyarakatnya. Keunikan itu terlihat juga
pada pola permukiman dan arsitektur tradisional

25
rumah mereka, upacara pengantin serta upacara
penguburannya.

Kondisi Tana Toraja, tang dipounty dan berhawa


dingin diduga mendasari ukuran pintu dan jendela
yang relatif kecil, lantai dan dindingnya dari kayu yang
tebal. Ukuran atap rumah tradisional Toraja yang
terbuat dari susunan bambu sangat tebal. Wujud
konstruksi ini sangat diperlukan untuk
menghangatkan temperatur udara interior rumah.

Masyarakat Tradisional Tana Toraja didalam


membangun rumah tradisional mengacu pada
kearifan budaya lokal – Kosmologi mereka yaitu: (1)
Konsep 'pusar' atau 'pusat rumah' sebagai paduan
antara kosmologi dan simbolisme; (2) Dalam
perspektif kosmologi, rumah bagi masyarakat Toraja
merupakan mikrokosmos, bagian dari lingkungan
makrokosmos; (3) Pusat rumah meraga sebagai
perapian di tengah rumah, atau atap menjulang
menaungi ruang tengah rumah dimana atap menyatu
dengan asap- langit ayah; (4) Pusat rumah juga
meraga sebagai tiang utama, seperti a'riri possi di
Toraja, possi bola di Bugis, pocci balla di Makassar
dimana tiang menyatu dengan ibu bumi; (5) Pada
masyarakat tradisional Toraja, dalam kehidupannya
juga mengenal filosofi “Aluk A'pa Oto'na” yaitu
empat dasar pandangan hidup: Kehidupan Manusia,
kehidupan alam leluhur “ Todolo ”, kemuliaan Tuhan,

26
adat dan kebudayaan. Keempat filosofi ini menjadi
dasar terbentuknya denah rumah Toraja empat
persegi panjang dengan meteran dinding yang
melambangkan “badan” atau “Kekuasaan”. Dalam
kehidupan masyarakat toraja lebih percaya akan
kekuatan sendiri, “Egocentrum”. Hal ini menempati
konsep arsitektur rumah mereka dengan ruang-ruang
tertutup dengan “bukaan” yang sempit.

Selain itu konsep arsitektur tradisional toraja, banyak


dibangun oleh etos budaya “simuane tallang” atau
filosofi “harmonisasi” dua belahan bambu yang
saling terselungkup cara pemasangan belahan bambu
pada atap rumah adat dan lumbung. Harmonisasi
didapati dalam konsep arsitektur “Tongkonan” yang
menginteraksikan secara keseluruhan komponen
“tongkonan” seperti: Rumah, lumbung, sawah,
kombong, rante dan liang, didalam satu sistem
kehidupan dan penghidupan orang toraja didalam
kawasan tongkonan. Selain itu, makro dan mikro
kosmos tetap terpelihara didalam tatanan kehidupan
masyarakat tradisional toraja, dimana rumah berada
sebagai mikrokosmos.

27
BAB III

TONGKONAN LAYUK TALONGE

A. tipologi

1. Zonasi
Kata rumah adat toraja atau biasa di sebut ”
tongkonan” tidaklah asing bagi masyarakat
Sulawesi selatan,karena bangunan ini sudah
banyak di temukan di sosial media maupun
di berbagai tempat.bangunan ini berdiri
tegak lurus diatas darat yang mengarah
vertikal. dengan kata lain,bangunan ini
berada di zona darat.

2. bentuk/tipe

Gambar 8.bentuk atau tipe rumah adat toraja

Tongkonan merupakan rumah adat


yang berbentuk rumah panggung dari kayu.
Kolong di bagian bawah rumah biasanya

28
dipakai sebagai kandang kerbau. Bentuk atap
rumah tongkonan melengkung dan melayani
ijuk hitam. Ada yang mengatakan bentuknya
seperti perahu telungkup atau tanduk kerbau

Dari hasil survey kami ke TMII untuk


melihat secara langsung bentuk dan
bagaimana rupa dari rumah adat Toraja, ada
beberapa data dan hasil survey yang bisa
kami berikan. Diantaranya, yang pertama
adalah sejarah asal muasal mengapa bentuk
dari rumah adat Toraja berbentuk seperti
sekarang ini.

Jadi rumah adat Toraja sebenarnya


berasal dari sebuah perahu yang dirubah dan
dijadikan sebuah rumah. Itu bisa bentuk dari
atap rumah adat Toraja berbentuk seperti
sebuah perahu.

Sebab mengapa rumah adat Toraja


berbentuk seperti perahu adalah karena
pada zaman dahulu nenek moyang warga
Toraja akan bermigrasi menggunakan
perahu, namun karena dalam perjalanan
perahu yang digunakan untuk bermigrasi
untuk mencari daratan baru itu kandas
ditengah jalan, sehingga dibuatlah rumah
dari perahu tersebut. Itu benar rumah adat
Toraja yang kita lihat sekarang berbentuk
seperti sebuah perahu. Budaya ini berasal

29
dari budaya cina secara arsitektur, yaitu
membangun rumah dari sebuah perahu.

3. fungsi ruang

Gambar 9.ruang tongkonan

Bagian dalam Rumah Tongkonan dibagi


menjadi tiga serta memiliki fungsi masing-
masing. Dan orang Toraja percaya bahwa
pembagian ruangan ini harus diikuti, kalau
tidak, akan menimbulkan bencana.

Bagian selatan digunakan untuk kepala


keluarga.

Bagian utara adalah ruang tamu yang


sekaligus berfungsi sebagai tempat tidur
anak-anak.

Bagian tengah menjadi ruang pertemuan


keluarga dan dapur.

30
Dan dari fungsi ruangan ini pulalah nama
Rumah Tongkonan diambil, dimana kata
‘tongkon’ memiliki arti duduk bersama-sama

Menjadi salah satu bagian dari produk


budaya kebangaan Indonesia, Rumah
Tongkonan berasal dari daerah Sulawesi
Selatan, dimana orang Toraja berdomisili.
Rumah adat Tongkonan memiliki tiga bagian
di dalamnya yaitu bagian utara, tengah dan
selatan. Ruangan bagian utara (Tengalok)
berfungsi sebagai ruang tamu atau ruang
tidur untuk anak-anak dan sebagai tempat
untuk menaruh sesaji.

Ruang bagian selatan (Sumbung) berfungsi


sebagai ruang untuk kepala keluarga. Dan
ruangan bagian tengah (Sali) berfungsi
sebagai ruang makan, pertemuan keluarga,
dapur dan tempat untuk meletakkan orang
yang sudah meninggal.

Bagi masyarakat Toraja rumah adat


Tongkonan dianggap sebagai ibu. Sedangkan
Alang Sura atau Lubung Padi dianggap
sebagai bapak. Secara umum rumah adat ini
selalu menghadap ke utara.

31
Hal ini melambangkan leluhur mereka yang
berasal dari utara. Tak hanya itu saja
masyarakat Tana Toraja juga percaya bahwa
nantinya mereka akan berkumpul kembali di
utara. Sungguh sebuah rumah yang sarat
makna.

4.orientasi hunian
Yang menjadikan rumah ini khas adalah
bentuk atapnya yang menyerupai tanduk
kerbau, dengan orientasi arah utara-selatan.

Gambar 10.orientasi rumah toraja

Atap yang tinggi menjulang ini tersusun dari


bambu berlapis-lapis dari buluh yang dibelah
dua kemudian ditumpuk berhimpitan
sedemikian rupa untuk menahan masuknya
air di musim penghujan.

B.konstruksi hunian
Berdasarkan pandangan agama leluhur aluk todolo
dan kosmologi

32
rumah tradisional Toraja, struktur vertikal tongkonan
dan sistem

strukturnya terbagi menjadi 3 bagian utama, yaitu:

1.Bagian kaki (Sullu Banua)

Gambar 11.sulluk banua

Bahagian bawah bangunan yang berfungsi


sebagai kandang untuk

penyimpanan ternak (kerbau dan babi). Sullu


banua menggunakan

sistem rangka kolom dan balok. Kestabilan


lengtong alla ini diperkuat

oleh ikatan-ikatan lentur antara oleh balok


roroan baba dan roroan

lambe. Proses Perakitan Sullu Banua.

33
Sistem struktur dan konstruksi sullu banua,
sistem struktur rangka

dimana kolom dan balok saling menguatkan


antara satu dengan lainnya

sehingga memberikan kekuatan yang kaku


dan kokoh untuk dapat

menahan beban vertikal maupun beban


horizontal yang dipikul oleh

lengtong alla dan roroan. Kekayaan tektonika


tongkonan dimulai dari

sistem struktur dan konstruksi bagian bawah


bangunan, dimana roroan

ba’ba, roroan lambe mengisi dan


menyatukan ikatan lentong alla yang

berjejer sehingga membentuk satu kesatuan


yang utuh. Lengtong alla

didudukkan diatas batu paradangan yang


berfungsi sebagai pondasi

bebas. Unsur lain yang menyusun sullu


banua yang tidak berfungsi

sebagai unsur struktur dan konstruksi adalah


a’riri posi’ yang merupakan

34
tiang di tengah-tengah menjadi simbol
kehidupan orang Toraja. Tiang ini

biasanya dihiasi dengan ukiran, hal ini


dilakukan untuk memberikan

keutamaan filosofis pada tongkonan.

2. Bagian badan rumah (Kale Banua)

Gambar.13 kale banua

Bahagian tengah dari bangunan yang


difungsikan sebagai

tempat/wadah untuk kegiatan fungsional


sehari hari. Menurut ajaran

aluk todolo bahwa kale banua merupakan


pusat kegiatan seluruh segi

kehidupan yang menyangkut manusia dan


hubungannya dengan alam

35
sekitar. Kale banua menggunakan sistem
struktur siamma, sistem ini

sama fungsinya dengan dinding pemikul


beban, yang

membedakannya adalah bahan dan


penyusun dinding ini terbuat dari

susunan papan.Proses Perakitan Kale Banua.

Sistem struktur dan konstruksi dari kale


banua adalah sistem yang

dapat berdiri sendiri, dengan demikian


sistem ini terpisah dengan sistim

pada bagian lainnya. Penempatan bagian


kale banua pada tongkonan

merupakan bagian yang berhubungan


dengan kedua bagian rattiang

banua dan sullu banua. Sistem ini,


merupakan tahapan stereotomik

dimana massa dan volume ruang terbentuk


dari elemen-elemen berat dan

massif. Elemen pembentuk ruang terbuat


dari dinding dengan sistem

36
struktur dan konstruksi siamma. Tahap
streotomik pada kale banua terlihat

juga pada penghadiran penutup bagian atas


dinding depan dan belakang

yang disebut Para yang merupakan dinding


berbentuk segitiga dan tidak

termasuk dalam sistem struktur bangunan.


Tetapi dalam penyusunan

proses perakitan kale banua dinding para


merupakan komponen yang

membentuk ruang dan menjadi satu


kesatuan dengan dinding kale banua

dengan join/sambungan didudukkan pada


sambo rinding bagian depan

dan samping, dan pada join/sambungan


dengan bagian rattiang banua

menggunakan ikatan dan pen lubang


terhadap komponen kadang para.

Bagian kale banua adalah bagian dari


tongkonan yang terbanyak

mendapat ukiran. Karena letaknya berada


pada bagian tengah dari

37
pembagian sistim struktur dan konstruksi
tongkonan, maka sistem struktur

dan konstruksi kale banua dengan sistem


siamma memiliki

join/sambungan pada bagian sullu banua,


dan memiliki join/sambungan

dengan bagian rattiang banua.

Tektonika struktur dan konstruksi kale banua


merupakan sistem

sederhana yang megharapkan kekuatan


struktur dan konstruksi dari

hubungan perpaduan sambungan siamma


pada pasangan dinding.

Tahapan penyusun tektonika kale banua


merupakan tahapan stereotomik

dimana massa dan volume ruang terbentuk


dari elemen-elemen dinding

massif. Join/sambungan siamma merupakan


kekayaan sistim sambungan

konstruksi pada rumah tongkonan yang


hanya dimiliki oleh suku Toraja.

38
3.Bagian atas (Rattiang Banua)

Gambar.13 ratiang banua

Bahagian atas dari bangunan merupakan


Atap rumah, sebagai

penutup seluruh struktur rumah. Bagi


masyarakat Toraja rattiang

difungsikan juga sebagai tempat barang-


barang seperti peralatan

rumah tangga, kain dan lain sebagainya.


Rattiang banua

menggunakan sistem struktur bidang pada


atap dan struktur rangka

balok-kolom (rangka balok pada balok kaso,


pada rangka kolom pada

lentong garopa dan tulak somba).Proses


Perakitan Rattiang Banua.

39
Pengkajian sistim struktur dan konstruksi
pada bagian rattiang

banua, menjelaskan bahwa bagian


tongkonan yang terletak paling atas

dan berfungsi sebagai atap penutup dari


bangunan merupakan pada

sistem struktur rangka atap (sistem ini terdiri


dari balok dan rangka yang

disusun menghasilkan satu sistem struktur


yang dapat memikul beban

atap), sistem struktur atap dari bambu terdiri


atas susunan-susunan

potongan bambu yang memiliki ukuran yang


berbeda-beda. Susunan atap

bambu bagian dalam lebih pendek dibanding


bagian luar penutup belahan

bambu sepanjang 110 cm yang disusun


bertumpuk berbalikan dan ditusuk

bambu kecil, sehingga membentuk lembaran


atap. Sistem konstruksi

rattiang banua terdiri atas join/sambungan


ikat, takik, pen dan lubang.

40
Sistem struktur dan konstruksi rattiang banua
lebih bervariatif

dibandingkan dengan sullu banua dan kale


banua. Meskipun terlihat

sederhana namun beban atap di bebankan


ke struktur yang menopang

atap yaitu bagian kalla banua yang


menggunakan sisitem struktur dan

konstruksi siamma, dan sebagain lagi


diteruskan langsung batu

paradangan sebelum ketanah, tulak somba


menopang longa pada bagian

depan dan belakang tongkonan, beban atap


longa akan disalurkan melalui

tulak somba. Sementara atap tongkonan


yang longa-nya hiperbolik

meninggi maka tulak somba tidak berfungsi


sebagai suatu sub sistem

struktur, sekedar tempat untuk


menggantung asesoris utama yang

terdapat pada tongkonan berupa tanduk


kerbau.

41
Sistem pada bagian rattiang banua
berdasarkan atas

pembentukannya dan proses perakitannya


digolongkan dalam tahap

tektonik dan tahapan stereotomik. Tahap


tektonik terdapat pada rangka

atap yang bermula dari kadang panuringan


yang menopang balok kaso,

mengikat balok kadang para dan meneruskan


beban atap ke tulak somba,

tiang petuo pada bagian kale banua dan


sebagian lagi diteruskan ke tiang

lentong garopang. Tahap stereotomik


dimana massa dan volume ruang

terbentuk dari elemen-elemen berat dan


massif terdapat pada

penyusunan atap bamboo secara secara


tumpuk dari bawah hingga ke

atas, demikian pula dengan atap batu papan


dilakukan dengan cara yang

disusun dan diikat dengan balok kaso


sehingga terbentuk bidang yang

42
massif dan membentuk ruang yang massif.

43
BAB IV

KESIMPULAN
Tongkonan adalah rumah adat orang Toraja, yang
merupakan tempat tinggal, kekuasaan adat, dan
perkembangan kehidupan sosial budaya orang Toraja.

Arsitektur tongkonan dikenal dengan bentuknya


yang khas melalui struktur bawah, tengah dan atas
yang memiliki keindahan estetika struktur dan
konstruksinya. Mekanika sistem struktur membentuk
suatu sistem estetika arsitektural. Tongkonan tidak
lagi dijadikan rumah tempat tinggal tetapi sudah tidak
dihuni lagi oleh karena setiap keluarga yang mendiami
Tongkonan pada umumnya telah membangun rumah
tinggal sendiri.Rumah adat Tongkonan yang sarat
dengan ukiran mengandung makna yaitu
melambangkan status sosial pemilik Tongkonan
menempati lapisan atas.

Tongkonan dalam bahasa Toraja diartikan


sebagai tempat duduk (tongkon= duduk). Tongkonan
merupakan rumah panggung tradisional Masyarakat
Torja berbentuk persegi empat panjang. Dibuat
sebagai rumah panggung, agar penghuni tidak mudah
diganggu oleh binatang buas. Arsitektur tongkonan
dikenal dengan bentuknya yang khas melalui struktur
bawah, tengah dan atas yang memiliki keindahan

44
estetika struktur dan konstruksinya. Sistem struktur
dan konstruksi arsitektur Tongkonan merupakan
sistem struktur yang terpisah antara bagian bawah
(sulluk banua), bagian tengah (kale banua), dan
bagian atap (rantiang banua). Setiap bagian memiliki
sistem struktur dan konstruksi yang berbeda. Dalam
kenyataan sekarang ini rumah Tongkonan tidak lagi
dijadikan rumah tempat tinggal tetapi sudah tidak
dihuni lagi oleh karena setiap keluarga yang mendiami
Tongkonan pada umumnya telah membangun rumah
tinggal sendiri. Mereka membangun rumah tinggal di
sebelah barat Tongkonan jika lokasi masih tersedia.

Dengan sifatnya yang demikian, Tongkonan dapat


diartikan beberapa fungsi, antara lain pusat budaya,
pusat pembinaan keluarga, pembinaan peraturan
keluarga dan kegotongroyongan, pusat dinamisator,
motivator dan stabilisator sosial, sehingga fungsi
Tongkonan tidaklah sekedar sebagi tempat untuk
duduk bersama, lebih luas lagi meliputi segala aspek
kehidupan. Apabila mempelajari letak dan upacara-
upacara yang dilaksanakan, melalui simbol-simbolnya
akan diketahui bahwa Tongkonan adalah simbol sosial
dan simbol alam raya. Oleh karena itu, orang Toraja
sangat men"sakral"kan Tongkonan.

Rumah adat Tongkonan yang sarat dengan ukiran


mengandung makna yaitu melambangkan status
sosial pemilik Tongkonan menempati lapisan atas,
seperti untuk mengenal latar belakang atau status
sosial serta nama marga seseorang hanya dengan

45
menanyakan Tongkonan asalnya Selanjutnya
dikemukakan bahwa seseorang dalam pola hidup
yang artinya pola pikir diwujudkan dalam perilaku
harus di tempatkan di dalam kerangka dan struktur
yang sudah melembaga di dalam adat, sebab orang
adalah bagian dalam persekutuan komunitas yang
berakar dalam Tongkonan. Secara filosofis Tongkonan
selalu bertolak pada falsafah kehidupan yang diambil
dari ajaran Aluk Todolo, dimana bangunan rumah
adat mempunyai makna dan arti dalam semua proses
kehidupan masyarakat Toraja.

Tongkonan adalah simbol keluarga dan martabat


orang Toraja. Jika tongkonan digadaikan, apalagi
dijual, ini ibarat menggadaikan atau menjual martabat
keluarga dan nenek moyang kami, dan ini
menimbulkan malu bagi anggota keluarga tongkonan.
Harta tongkonan dapat ditambah, tapi tidak dikurangi
untuk keberlangsungan hidup generasi tongkonan.

46
DAFTAR PUSTAKA
Idrus, N.I. (2016). "Mana' dan Éanan: Tongkonan,
Harta Tongkonan, Harta Warisan, dan Kontribusi
Ritual di Masyarakat Toraja". Etnografy Indonesia. 1
(2): 12–26. doi:10.31947/etnosia.v1i2.1612. ISSN
2548-9747.

Pakan, Pratiknjo, dan Mamosey (2018). "Rumah


Adat "Tongkonan" Orang Toraja Kabupaten Tana
Toraja Propinsi Sulawesi Selatan". HOLISTIK, Journal
Of Social and Culture: 1–16.

Stephany, S (2009). "Transformasi Tatanan Ruang


Dan Bentuk Pada Interior Tongkonan Di Tana Toraja
Sulawesi Selatan". Dimensi Interior. 7 (1): 28–39.
ISSN 2541-416X.

Sultan dan Mayasari (2014). "Teknologi Dan


Konstruksi Rumah Tradisional Toraja (Tongkonan)"
(PDF). DOCPLAYER. 49 (1): 40–45.

Sir, M.M. (2018). "Karakteristik Konstruksi "tongkon"


pada Arsitektur Tongkonan Toraja" (PDF). Seminar
Ikatan Peneliti Lingkungan Binaan Indonesia: 101–
105. doi:10.32315/sem.2.b101.

47

Anda mungkin juga menyukai