Anda di halaman 1dari 89

Untaian Kisah-kisah Kelahiran

Cuplikan Sepuluh Kisah

Marie Mesaeus-Higgins

Penerbit Saraswati

2022
Buku ini dibagikan tanpa pungut biaya

JATAKA MALA: Untaian Kisah-Kisah Kelahiran 2


Judul asli: Jataka Mala or A Garland of Birth Stories
Penyusun: Marie Mesaeus-Higgins
Penerjemah: Stanley Khu
Penyunting: Junarsih, Silvia
Ilustrator: Liana Puspita
Perancang sampul: Liana Puspita
Penata letak: Vincent Kurniadi

Copyright and first published ©1914 by Gyan Publishing House. Web-


site: www.gyanbooks.com, Email: info@gyanbooks.com
Hak cipta naskah bahasa Indonesia ©2022 Penerbit Saraswati

ISBN 978-623-9499-44-0

Penerbit Saraswati
E-mail: penerbitsaraswati@gmail.com

Distributor Lamrimnesia
Care: +6285 2112 2014 1
Info: +6285 2112 2014 2
Fb: Lamrimnesia & LamrimnesiaStore
Ig: @Lamrimnesia & @Lamrimnesiastore
Titktok: @Lamrimnesia_
E-mail: info@lamrimnesia.org
Website: www.lamrimnesia.org; www.store.lamrimnesia.com

Undang-Undang RI Nomor 28 Tahun 2014


Tentang Hak Cipta
Ketentuan Pidana Pasal 113 ayat (3) dan (4):
(3) Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau pemegang Hak Cipta melaku-
kan pelanggaran hak ekonomi Pencipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf a, huruf b,
huruf e, dan/atau huruf g untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara paling
lama 4 (empat) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
(4) Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yang dilakukan dalam
bentuk pembajakan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau pidana
denda paling banyak Rp4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah).
Pasal 114:
Setiap Orang yang mengelola tempat perdagangan dalam segala bentuknya yang dengan sengaja dan
mengetahui membiarkan penjualan dan/atau penggandaan barang hasil pelanggaran Hak Cipta dan/atau
Hak Terkait di tempat perdagangan yang dikelolanya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10, dipidana
dengan pidana denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
Daftar Isi

Kata Pengantar v

KISAH KELINCI 1

KISAH IKAN YANG LUAR BIASA 9

KISAH BURUNG PELATUK 15

KISAH KERA BESAR 23

KISAH KEPALA PERKUMPULAN PEDAGANG 31

KISAH SEMANGKUK KECIL BUBUR 37

KISAH AJASTYA 43

KISAH PENDUDUK BRAHMALOKA 53

KISAH PENGORBANAN 59

KISAH RAJA CIBIS 67

Bagaimana Menghormati Buku Dharma 75

Dedikasi 77

Tentang Penerbit 78

iii
Kata Pengantar
Rangkaian kisah kelahiran lampau Pangeran Siddhartha
sebelum menjadi Buddha adalah ajaran yang berharga dalam
dua pengertian: pertama, karena ceritanya yang mudah dipahami
(sehingga menjadikannya terkenal di kalangan umat Buddhis),
dan kedua, karena penekanannya pada usaha tak kenal lelah yang
harus ditempuh kita demi memberikan kebahagiaan bagi semua
makhluk.

Sebagai kelanjutan dari usaha mewariskan kisah-kisah


kelahiran lampau Buddha kepada generasi sekarang, Penerbit
Saraswati dalam kesempatan kali ini meluncurkan edisi kedua
yang mengandung sepuluh kisah yang dicuplik dari Jatakamala
karya Marie Mesaeus-Higgins. Seperti edisi sebelumnya, sepuluh
kisah ini juga tidak kalah menyentuh hati dalam menginspirasi dan
mendorong kita untuk lebih bergiat dalam melatih jalan Buddhis.

Kisah ke-1, Kisah Kelinci, mengajarkan bahwa upaya


menyelesaikan dana paramita tidak hanya terbatas pada harta-
benda yang dimiliki, karena puncak persembahan adalah kesediaan
dalam memberikan hal paling berharga yang dimiliki setiap
makhluk: tubuhnya sendiri. Kisah ke-2, Kisah Ikan yang Luar Biasa,
mengajarkan bahwa kebenaran yang dijalankan seorang praktisi
Dharma sejati sanggup mendesak dewata dan semesta untuk
menghadirkan kondisi yang membantu bagi kebahagiaan semua
makhluk. Kisah ke-3, Kisah Burung Pelatuk, mengajarkan bahwa
menolong makhluk lain harus dilakukan dengan tujuan tunggal
untuk semata-mata membahagiakan mereka, tanpa mengharapkan
balas jasa apa pun di kemudian hari. Kisah ke-4, Kisah Kera Besar,

v
JATAKA MALA

mengajarkan akibat buruk dari tindakan tidak tahu terima kasih,


yang sekaligus menegaskan cara kerja hukum karma yang adil
dan tidak bersifat pribadi. Kisah ke-5, Kisah Kepala Perkumpulan
Pedagang, mengajarkan bahwa niat tulus untuk melakukan
kebajikan pada akhirnya mustahil dirintangi oleh penghalang.

Kisah ke-6, Kisah Semangkuk Kecil Bubur, mengajarkan


bahwa pemberian sekecil apa pun bakal membuahkan hasil yang
besar apabila dibarengi dengan keyakinan yang tulus. Kisah ke-
7, Kisah Ajastya, mengajarkan bahwa tekad untuk menjalani
kehidupan bajik tidak mengenal kompromi, bahkan meski nyawa
sekalipun taruhannya. Kisah ke-8, Kisah Penduduk Brahmaloka,
mengajarkan bahwa keyakinan pada kehidupan mendatang adalah
fondasi bagi kebahagiaan kita serta makhluk lain. Kisah ke-9,
Kisah Pengorbanan, mengajarkan bahwa perilaku bajik warga dan
masyarakat adalah fondasi bagi kesejahteraan seisi negeri. Kisah ke-
10, Kisah Raja Cibis, yang merupakan kisah terakhir dalam edisi kali
ini, mengajarkan bahwa kepentingan pihak lain harus senantiasa
didahulukan di atas kepentingan pribadi, bahkan meskipun dalam
prosesnya kita harus menjalani nestapa.

Akhir kata, duduklah dengan nyaman, buka dan bacalah


halaman demi halaman buku ini, kamu akan terkagum dengan
kisah-kisahnya dan tertarik untuk bisa menjadi setiap tokohnya.
Semoga kalian semua dapat memetik manfaat sebesar-besarnya
dari membaca dan merenungi buku ini.

vi
KISAH KELINCI
Ada sebuah kisah indah tentang Bodhisatwa ketika ia terlahir
ke dunia sebagai seekor kelinci. Berikut ini penuturannya:

Pada suatu masa, di sebuah hutan di India yang sering


dikunjungi para petapa dan orang bijak, hiduplah seekor kelinci
yang sangat pandai. Hutan ini adalah tempat yang asri sekali,
dengan bebungaan, bebuahan, dan tanaman merambat yang
tumbuh subur serta sungai yang air kebiruannya mengalir lembut
menuju lembah.

Bodhisatwa, dalam rupa kelinci, tinggal di dekat sungai ini


dengan ketiga sahabatnya: berang-berang, monyet, dan serigala.

Kelinci diperlakukan oleh para sahabatnya seperti seorang raja


karena mereka percaya bahwa ia lebih istimewa daripada binatang
lainnya di hutan. Ia menjadi guru bagi mereka dan binatang lain
yang lebih kecil, serta menjalani hidup layaknya seorang petapa.
Bahkan binatang-binatang yang lebih besar menghormati dan
tak mencelakainya, serta mendengarkan ajarannya dengan sikap
seorang murid.

Demikianlah, ia tinggal bersama ketiga sahabatnya dalam


kerukunan dan kedamaian. Keluhuran budi serta belas kasihan
yang dipraktikkannya terhadap sesama sangatlah agung, sampai-
sampai nama baik telah mencapai alam para dewa.

Pada satu malam, ketiga sahabatnya mendatanginya untuk


mendengarkan Dharma. Mereka dengan penuh hormat duduk
menghadapnya. Rembulan setengah menampakkan diri melalui
cabang pepohonan dan terlihat seperti cermin bulat yang terang-
benderang. Ketika kelinci memandang rembulan, ia berkata
kepada mereka: “Lihatlah! Rembulan yang setengah tersenyum

3
JATAKA MALA

mengingatkan kita bahwa esok adalah hari Poya1. Kita mesti


menjalankan apa yang diwajibkan bagi hari Poya. Kita tak boleh
memuaskan tubuh sendiri dengan makanan sampai kita telah
memberi penghormatan kepada beberapa tamu, yang kebetulan
mungkin akan berjumpa dengan kita, dengan aneka makanan yang
enak, yang diperoleh dengan cara yang tepat – artinya, diperoleh
tanpa membunuh.”

“Hidup ini singkat ibarat seberkas kilat, maka hindarilah


membunuh. Kalian harus mengumpulkan kebajikan dengan
melakukan berbagai perbuatan baik. Kebajikan adalah sumber
kebahagiaan, maka bersiaplah menangkap setiap kesempatan
untuk mempraktikkannya. Tinggalkan jalan ketidakbajikan, karena
kemalangan dan kesalahan akan mengikuti setiap langkahmu.”

Setelah Yang Agung, dalam rupa seekor kelinci, mengajarkan


hal ini, para sahabatnya meninggalkannya dengan terlebih dulu
membungkuk hormat kepadanya. Kemudian kelinci memikir dalam
hati: “Para sahabatku mampu memberi makanan yang layak pada
tamu terhormat yang kebetulan mungkin datang ke sini esok, namun
apa yang dapat kuberikan? Rumput yang menjadi makananku
sehari-hari tentunya tak layak dihidangkan baik kepada manusia
ataupun binatang. Oh! Apalah artinya hidup ketika aku tak mampu
memberi makan kepada seorang asing dengan pantas? Ini adalah
kesedihan mendalam bagiku!”

“Akan tetapi, untuk apa aku bersedih? Tidakkah aku memiliki


tubuhku, yang menjadi milikku dan bukan makhluk lain? Kini aku
dapat memberi penghormatan yang layak pada tamu yang mungkin
datang esok dan mempersembahkan yang terbaik yang kumiliki.
Dengan tubuhku yang menyedihkan ini, aku akan mempraktikkan
keramahtamahan.”
1 Istilah malam purnama dalam bahasa Sinhala di Sri Lanka.

4
KISAH KELINCI

Setelah berpikir demikian, si kelinci pulang ke sarangnya,


dengan riang menanti tamu yang mungkin bakal ditemuinya esok.

Namun para dewa telah mendengar sumpah ini dan Bumi


pun mulai bergetar, bebungaan berhamburan ke arah kelinci, sepoi
angin meniupkan aroma menyenangkan ke arahnya, dan awan
merona merah ketika tersenyum padanya.

Para dewa di alamnya bersukacita dan raja mereka, Sakra,


memutuskan untuk menguji kelinci dan melihat apakah ia benar-
benar akan mengorbankan tubuhnya untuk seorang tamu yang
lapar.

Jadi, keesokan harinya, pada tengah hari, ketika mentari sedang


memancarkan sinarnya yang paling terik dan langit menjadi teramat
terang sehingga tak sepasang mata pun sanggup memandangnya;
ketika para serangga di hutan mengeluarkan nyanyian mereka
yang paling nyaring; ketika para burung bersembunyi di cabang
pepohonan untuk menemukan tempat beristirahat yang sejuk; dan
ketika para pengelana kelelahan karena hawa panas dan rasa letih,
Sakra muncul dalam wujud seorang Brahmana yang sekarat karena
rasa lapar dan panas, dan duduk di bawah sebatang pohon tak jauh
dari tempat kelinci dan para sahabatnya tinggal.

Ia mengerang dengan penuh belas kasih dan berkata: “Di


sinilah aku sendirian dan tersesat di dalam hutan, jauh terpisah
dari sahabat-sahabatku. Oh! Engkau yang baik, tolonglah aku yang
sekarat karena rasa lapar dan letih ini. Siapa yang akan memberiku
keramahtamahan ketika aku begitu membutuhkannya?”

Empat sekawan, yang telah menanti kedatangan seorang


tamu yang lapar, mendengar erangan Brahmana dan segera berlari
ke sumber suara.

5
JATAKA MALA

Mereka bertemu dengan pengelana yang kelelahan ini dan


berkata padanya: “Selamat datang, O yang terkasih! Janganlah
bersedih dan bersusah hati lagi. Anggaplah kami sebagai murid-
muridmu sendiri. Semoga berkenan menerima keramahtamahan
kami hari ini; esoknya engkau boleh pergi ke mana pun engkau
suka.”

Brahmana hanya diam sebagai tanda persetujuan, dan


berang-berang dengan hati riang segera menuju sarangnya untuk
membawakan tujuh ekor ikan kepada Brahmana yang kelaparan,
dan berkata: “Ketujuh ekor ikan ini aku temukan di tanah kering.
Aku tak mengambilnya dari dalam air, sehingga engkau dapat
menerimanya tanpa ragu-ragu di hari terang purnama ini. Mereka
mungkin adalah sisa tangkapan yang terlupakan oleh para nelayan
ataupun ikan-ikan yang melompat sendiri ke darat. Ambillah
dan puaskan rasa lapar yang hampir membunuhmu. Setelah itu,
beristirahatlah.”

Kemudian, serigala muncul dengan seekor kadal dan


semangkuk yoghurt, yang pastinya telah terlupakan oleh seorang
pengelana di pinggir jalan. Membungkuk di hadapan Brahmana,
ia mempersembahkan apa yang diperolehnya dan meminta
Brahmana untuk memakannya dan segera beristirahat.

Kemudian monyet muncul dan berkata: “mangga masak,


air dingin, daun untuk berteduh, semuanya kupersembahkan
untukmu, Brahmana yang terhormat. Nikmatilah persembahan ini
dan tinggallah bersama kami malam ini.”

Kemudian kelinci mendekat dengan penuh hormat,


membungkuk di hadapan Brahmana, dan berkata: “Seekor
kelinci, yang tumbuh besar di dalam hutan, tak memiliki beras
ataupun kacang-kacangan untuk dipersembahkan, maka terimalah

6
KISAH KELINCI

tubuhku sebagai satu-satunya bentuk keramahtamahan yang dapat


kuberikan. Tubuhku yang telah masak akan menjadi persembahan
yang layak. Makanlah dan tinggallah di sini untuk satu malam ini.”

Brahmana, yang bertanya-tanya apakah kelinci benar-benar


bermaksud mempersembahkan tubuhnya sendiri, menjawab:
“Bagaimana mungkin aku membunuhmu, O makhluk hidup, yang
telah menawarkan persahabatan padaku. Tidak! Tidak! Aku tak
sanggup menerima persembahanmu.”

Kelinci menjawab: “Jawabanmu menunjukkan bahwa engkau


penuh belas kasih, bahwa engkau memang pantas menjadi seorang
guru. Namun, engkau setidaknya harus mengizinkanku beristirahat
di sini, dan aku akan memikirkan bagaimana caranya menunjukkan
keramahtamahanku.”

Brahmana mampu memahami isi pikiran kelinci, yang


ternyata benar-benar mencoba menemukan bagaimana cara
mempersembahkan tubuhnya kepadanya. Ia membiarkannya
beristirahat selagi mempersiapkan makanan yang sebelumnya telah
diberikan oleh berang-berang, serigala, dan monyet.

Brahmana kemudian membuat api dengan kekuatan gaibnya,


yang membara tanpa asap dan berkobar-kobar dengan nyala
keemasan. Kelinci melihat api ini dengan penuh kegembiraan dan
membungkuk dengan penuh hormat kepada Brahmana sambil
berkata: “Adalah kewajibanku untuk bermurah hati dan aku telah
menemukan sesosok tamu agung dalam dirimu. Aku tak boleh
menyia-nyiakan kesempatan ini. Mohon terimalah persembahanku,
O Brahmana, yang kuberikan padamu dengan penuh sukacita.”

Dengan perkataan ini, kelinci melempar dirinya ke dalam


bara api. Namun ajaibnya, api yang berkobar sama sekali tak
menyakitinya, malah mengelilinginya seperti awan yang beriringan

7
JATAKA MALA

keemasan. Sakra, raja para dewa, dengan dipenuhi rasa kagum dan
hormat, kembali ke wujudnya semula, mengeluarkan kelinci dari bara
api, dan mengangkatnya tinggi-tinggi ke angkasa sembari berseru:
“Pandanglah, para dewa, penduduk alam surgawi; pandanglah dan
bersukacitalah terhadap tindakan luar biasa Makhluk Agung ini! Ia
mengorbankan tubuhnya padaku sebagai makanan bagi tamunya,
meski tak tahu siapa sebenarnya aku. Ia tak memiliki apa-apa untuk
diberikan sehingga akhirnya memberikan dirinya sendiri! Betapa
bedanya ia dan makhluk-makhluk sesamanya! Ia mempermalukan
para dewa dan manusia dengan kemurahan hatinya.”

Untuk membuat tindakan ini dikenang para dewa dan manusia,


Sakra menaruh simbol kelinci di istananya dan di aula para dewa.
Sejak malam itu, malam terang purnama, wujud kelinci dikatakan
dapat terlihat di rembulan. Melalui sosok yang ibarat pantulan di
cermin perak, ia hadir untuk mengajarkan kemurahan hati pada
umat manusia.

Dan ketiga sahabatnya – berang-berang, serigala, dan monyet


– lenyap dari dunia dan disambut di alam para dewa sebagai
sahabat dari Yang Agung, yang telah mengorbankan dirinya demi
seorang Brahmana yang kelaparan.

8
KISAH IKAN YANG LUAR BIASA
Kisah berikut menggambarkan “Kekuatan Kebenaran.”
Diceritakan bahwa pada suatu masa, Bodhisatwa datang ke
dunia sebagai pemimpin kawanan ikan di sebuah danau yang kecil
namun indah. Danau ini diselubungi teratai berwarna putih, merah
muda, dan biru. Di atas airnya yang kebiruan, itik, bebek, dan angsa
berenang dengan riang gembira. Batas danau dihiasi pepohonan
dan semak belukar yang mekar dengan aneka kembang merah dan
kuning yang jatuh dengan eloknya di atas air, sehingga membuat
danau seolah tertutupi karangan bunga.

Bodhisatwa, bahkan ketika mengambil bentuk sebagai seekor


ikan, tetap mengingat praktik kebajikan yang dipelajarinya di banyak
kehidupan lampaunya, dan berupaya mengajari kawanannya
layaknya mengajari anak-anaknya sendiri. Ia mengajari mereka
agar bersikap baik terhadap satu sama lain, dan agar tak melukai
makhluk-makhluk yang lebih kecil dan lemah daripada mereka.
Kawanan ikan di bawah tuntunannya menjadi ikan-ikan yang
paling sejahtera. Mereka memiliki kehidupan yang lebih baik
dibandingkan kawanan ikan lainnya.

Pada satu musim kemarau, Dewa Hujan, Parjanya, menjadi


marah dengan makhluk-makhluk bumi dan menolak menurunkan
hujan. Sinar mentari yang terik mulai mengeringkan sebagian besar
air di danau.

Bumi yang tersiksa dahaga akhirnya mengambil air dari


danau. Angin, yang dibakar terik mentari, juga bergegas menuju ke
danau untuk menyegarkan diri. Air dalam danau akhirnya semakin
berkurang jumlahnya dari waktu ke waktu. Danau tersebut kini lebih
tampak seperti sebuah kolam, dan ikan-ikan malang yang berada di
dalamnya semakin kekurangan air untuk bertahan hidup.

11
JATAKA MALA

Untuk menambah penderitaan ini, sekawanan burung kini


juga mulai berkumpul di sekitar danau yang airnya menyusut,
bersiap menerkam ikan yang muncul ke permukaan. Pemimpin
ikan merasakan kesedihan mendalam bila memikirkan nasib
kawanannya yang tampaknya akan segera musnah, entah itu
karena kekurangan air ataupun karena dimangsa burung-burung.
Permukaan air telah semakin rendah dan bila hujan tak segera turun,
takkan ada keselamatan bagi mereka semua. Tak ada kesempatan
untuk pergi ke danau ataupun sungai lainnya karena musuh-musuh
telah menanti di mana-mana.

Pemimpin ikan segera bermeditasi, dan dengan melihat ke atas


langit, diiringi tarikan nafas panjang, ia berkata: “Bila benar bahwa
aku tak pernah melakukan kesalahan sekecil apa pun terhadap
makhluk lain, bahkan dalam penderitaanku yang terburuk, maka
dengan kekuatan kebenaran ini, semoga raja para dewa memenuhi
danau ini dengan air hujan.”

Karena begitu kuatnya permohonan dan kekuatan kebenaran


ini, sebuah keajaiban langsung terjadi. Dewa Hujan, Parjanya,
mengumpulkan semua awan hujan, dan segera saja angkasa
dipenuhi awan mendung yang pekat. Kilat, layaknya penari riang,
bermain-main di sekitar berbagai bentuk awan yang murung, dan
auman guntur menjadi musik pengiring bagi tari-tarian ini.

Kemudian, bagaikan pancuran mutiara, hujan pun turun.


Burung merak, dengan memperlihatkan ekor mereka yang seperti
kipas, menari gembira di sekeliling danau, bersahut-sahutan
dengan riang. Bumi yang dahaga, dengan meminum limpahan
hujan, mengirim aroma harum kepuasan dari permukaannya, dan
gunung menuangkan arus air ke lembah, sehingga danau pelan-
pelan mulai terisi, membawa harapan hidup kembali ke kawanan
ikan yang sekarat.

12
KISAH IKAN YANG LUAR BIASA

Burung-burung beterbangan setelah mendengar gelegar hujan


badai dan petir. Namun, pemimpin ikan, meski dipenuhi rasa syukur
dan kebahagiaan, memiliki harapan bahwa hujan akan tetap turun
untuk waktu yang lama. Ia berpaling ke Dewa Hujan, Parjanya, dan
berkata: “Meraunglah, Parjanya, Meraunglah! Raungan yang keras
dan dalam, yang mengusir burung-burung, dan menuangkan air
bagaikan permata yang berkilauan.”

Ketika Sakra, raja para dewa, mendengar hal ini, ia segera


bertemu dengan pemimpin ikan secara pribadi dan berkata:
“Tanpa keraguan, adalah kebenaranmu, raja para ikan, yang telah
membujuk Parjanya menuangkan air hujan dari awan-awan, yang
mengalir ibarat air tertuang dari sebuah pot terbalik. Aku merasa
bersalah karena tak mampu memenuhi lebih daripada yang engkau
inginkan; engkau yang hanya berpikir demi kepentingan makhluk
lain. Oleh karenanya, janganlah lagi merasa cemas perihal air di
danaumu. Wilayah tempat kebajikanmu memerintah takkan lagi
dikunjungi kekeringan yang sama.”

Setelah berkata demikian, Sakra pun menghilang.

Danau tersebut menjadi semakin luas, ikan-ikan dengan riang


berenang di dalamnya, dan tak pernah lagi, selama raja para ikan
masih hidup, bencana serupa terjadi.

13
KISAH BURUNG PELATUK
Bodhisatwa pernah terlahir sebagai seekor burung pelatuk.
Burung pelatuk ini berbeda dari semua burung lainnya. Ia tak
hanya bijak, tapi juga sangat anggun. Bulunya bersinar dengan
berbagai warna-warni yang luar biasa, dan ketika merentangkan
sayapnya, ia terbang dengan begitu agungnya, sehingga ia diakui
di hutan sebagai raja para burung.

Makanannya, selaku seekor burung pelatuk, haruslah berupa


cacing yang diperoleh dari batang pepohonan. Semua burung
pelatuk mematuk-matuk batang pohon untuk mengetahui apakah
batang-batang tersebut berongga. Di dalam hutan, kita bisa
mendengar aktivitas mereka. Ketika satu bagian dari sebatang
pohon terdengar berongga, mereka langsung mendatanginya dan
memakan apa yang ada di dalamnya. Namun, burung pelatuk
jelmaan Bodhisatwa berbeda dari teman-temannya. Ia tak mau
melukai makhluk hidup mana pun, tak juga seekor cacing, dan
demikianlah ia hanya memakan buah-buahan dan bunga-bungaan.

Ia belum melupakan kelima sila, dan sewaktu-waktu ia juga


mengumpulkan burung dan binatang lain di sekelilingnya untuk
mengajari mereka Dharma.

Ia juga layaknya seorang tabib yang bijak, yang membantu


sesamanya ketika mereka berada dalam kesusahan, dan ia bahkan
tak berharap terima kasih dari bantuan yang diberikannya.
Demikianlah burung pelatuk hidup dalam kebahagiaan dan
kedamaian di dalam hutan. Semua binatang dan burung di
sekelilingnya turut berbahagia dan merasa damai juga.

Dengan niat membantu semua makhluk yang berada dalam


kesusahan, burung pelatuk berkeliling hutan setiap harinya, dan
pada suatu hari, ia melihat seekor singa yang sedang berada dalam

17
JATAKA MALA

kesakitan parah. Ia menggeliat-geliat di atas tanah dengan bulu


tengkuk yang kusut, dan mengerang dengan cara yang sangat
menyedihkan.

“Apa yang menyakitimu, raja para binatang?” tanya si burung


pelatuk. “Apakah engkau telah terkena panah beracun, ataukah
engkau sedang sakit, ataukah engkau barusan berkelahi dengan
gajah, ataukah engkau terlalu banyak makan daging? Katakanlah
apa yang terjadi, karena mungkin aku bisa menolongmu.”

Singa menjawab: “Raja para burung yang mahir, aku tak


sakit, tak juga terlalu banyak berkelahi. Tapi sebuah tulang telah
tersangkut di kerongkonganku, yang sakitnya tak kalah dengan
tusukan sebuah anak panah. Aku tak bisa menelannya ataupun
mengeluarkannya. Jika saja engkau bisa menolongku.”

“Aku bisa menolongmu,” jawab burung pelatuk setelah berpikir


sesaat. “Ikuti saja arahanku dan aku akan menarik keluar tulang
tersebut dari kerongkonganmu dan meredakan rasa sakitmu.”

Kemudian, ia memungut sepotong kayu yang kuat, menyuruh


singa membuka mulutnya selebar mungkin, dan menaruh
kayu tersebut ke dalamnya agar menahannya tetap terbuka.
Burung pelatuk masuk ke dalam rahang singa yang terbuka dan
dengan penuh kemampuan mengendurkan tulang di satu sisi
sebelum melakukan hal yang sama di sisi yang lain, lalu akhirnya
mencabutnya keluar dari kerongkongannya.

Kemudian, ia melepaskan kayu penyangga dari mulut singa dan


berdiri di hadapannya dengan sorot mata gembira, merasa sangat
puas karena telah berhasil menghindarkannya dari penderitaan dan
kemungkinan mati tercekik atau kelaparan.

18
KISAH BURUNG PELATUK

Singa sangat gembira karena akhirnya terbebas dari rasa sakit,


namun ia juga berpikir bahwa merupakan sebuah kehormatan
bagi burung pelatuk karena telah dapat bertindak sebagai
penyembuhnya. Ia menggumamkan beberapa patah terima kasih
dan segera menuju sarangnya untuk tidur, hampir tak memikirkan
lagi jasa besar dari burung pelatuk.

Burung pelatuk sendiri segera terbang, sangat bergembira


karena di hari itu ia telah menyelamatkan nyawa makhluk lain.

Pada suatu hari, beberapa waktu kemudian, burung pelatuk


terlihat sedang mencari makanan dengan putus asa. Bencana
kekeringan telah melanda hutan dan pepohonan pun enggan
berbuah lagi. Ia hampir mati kelaparan. Kemudian ia melihat,
selagi terbang pelan-pelan, singa yang dulu pernah ia selamatkan,
sedang memakan seekor antelop yang baru dibunuhnya dengan
lahapnya. Ia terlihat sangat menikmati makanannya sehingga tak
memedulikan sekelilingnya.

Burung pelatuk turun dan mendarat di dekatnya, tak berkata


apa pun dan hanya memandang padanya dengan tatapan
kelaparan. Singa tak menghiraukannya dan berpura-pura tak
melihatnya.

“Ia tak mengenaliku,” pikir burung pelatuk, yang akhirnya


bergerak mendekat dan dengan rendah hati berkata: “Hari ini aku
datang padamu, layaknya seorang peminta-minta yang memohon
sedikit makanan, karena aku sangat kelaparan. Engkau akan
memperoleh banyak kebajikan bila membantu makhluk yang
kelaparan.”

Namun singa menggeram dan berkata: “Aku membutuhkan


makananku untuk diriku sendiri. Beraninya engkau datang
padaku? Apakah engkau sudah bosan hidup dan berniat melihat

19
JATAKA MALA

akhirat? Apakah belum cukup saat aku membiarkanmu keluar dari


rahangku dengan selamat? Tidakkah aku telah cukup berbelas
kasihan?” Dan ia melanjutkan acara makannya, sambil melempar
tatapan mengancam ke burung pelatuk yang kelaparan.

Tanpa berkata sepatah pun, burung pelatuk segera terbang


pergi; seolah-olah ingin menunjukkan kepada singa bahwa sebagai
seekor burung, ia takkan mampu melukainya.

Ketika dewa hutan melihat kejadian ini, ia menjadi sangat marah


atas sikap tak tahu terima kasih dan kerakusan singa, dan kemudian
bertanya pada burung pelatuk: “Mengapa tak menghukum binatang
tak tahu terima kasih ini, mengingat engkau memiliki kekuatan
untuk melakukannya? Engkau adalah penyelamatnya dan ia malah
memperlakukanmu dengan sikap kurang ajar dan kejam! Mengapa
tak mematuk matanya sebagai hukuman baginya? Sebagai seekor
burung, engkau bahkan bisa mencuri sedikit makanan darinya!
Mengapa harus menerima perlakuan buruk ini?”

“Jangan berkata seperti itu,” jawab burung pelatuk. “Bukanlah


tugasku untuk menghukum makhluk yang berperilaku buruk. Ia
akan menerima hukumannya tanpa campur tanganku, karena
siapa lagi yang akan membantunya di masa mendatang? Aku
tak menyesal pernah berbuat baik padanya, karena tindakanku
ini akan mendapat balasan di kehidupan selanjutnya. Jika aku
membantunya dengan berharap balas budi, maka tindakan baik
yang kulakukan tak lebih dari sekadar bentuk pinjaman. Jika aku
membalas kejahatan dengan kejahatan, maka aku hanya akan
menghancurkan nama baikku. Ia yang hatinya tak tersentuh
oleh kebaikan makhluk lain harus dijauhi, namun dengan penuh
kelembutan, dan tanpa kekasaran atau amarah!”

20
KISAH BURUNG PELATUK

Dewa hutan merasa kagum dengan perkataan burung pelatuk


dan membungkuk hormat padanya, berseru: “Engkau pastinya
adalah seorang Rishi atau Muni, karena memiliki kebajikan seorang
guru agung. Aku melihat bahwa bentuk burung yang engkau ambil
juga tak dapat menutupi kebijaksanaanmu.”

Dan kemudian, dengan menghormati burung pelatuk layaknya


seorang Brahmana, dewa hutan pun menghilang.

Burung pelatuk memang terbang menyingkir dari singa dengan


rasa sedih, namun tak secuil pun amarah berkobar di hatinya.

21
KISAH KERA BESAR
Diceritakan bahwa Bodhisatwa pernah terlahir sebagai
seekor kera besar. Kera ini tinggal di wilayah Himalaya, di dalam
hutan yang ditumbuhi pepohonan dan berbuah lebat. Di tempat
ini, air terjun menuruni tebing curam, dan berbagai jenis kembang
berwarna kuning dan biru mekar mengeluarkan harum yang
terseret sepoi angin.

Di sini, kera, yang sejahtera oleh daun, akar, dan buah-


buahan yang memenuhi tempat tinggalnya, menjalani hidup
sebagai seorang petapa. Meskipun terkurung dalam tubuh seekor
kera, ia tak kehilangan ingatan untuk berbuat baik dan berbelas
kasih, dan kapan pun ia dapat mengajar atau menolong binatang
lain di sekelilingnya, maka ia akan melakukannya.

Manusia jarang datang ke tempat yang indah dan damai ini.


Namun, suatu hari, seorang pria yang sedang mencari kawanan
sapinya yang menghilang berjalan tak tentu arah sampai akhirnya
tersesat di dalam hutan tersebut. Ia terus berjalan sampai terjatuh
kelelahan di bawah sebuah pohon. Ia disiksa rasa lapar, haus, dan
dukacita karena kehilangan sapi miliknya, dan putusnya harapan
bahwa ia bisa kembali lagi ke desanya.

Dengan memandang sekelilingnya, ia melihat setumpuk buah


tinduka yang telah masak tergeletak tak jauh dari tempatnya duduk.
Karena merasa sangat lapar, ia segera memakannya. Kemudian,
ia mencari pohon tempat buah ini tadinya bergelantungan,
dan menemukan bahwa pohon tersebut letaknya tak jauh dari
tempatnya berdiri. Pohon tinduka ini tumbuh dekat tebing curam,
yang di bawahnya mengalir air terjun yang berkelip-kelip dengan
deras. Ia memanjat pohon dan melihat bahwa salah satu cabang
yang terletak tepat di atas tebing curam dipenuhi buah yang telah
masak. Ia memanjat ke cabang tersebut dan menikmati buahnya

25
JATAKA MALA

dengan puas, ketika tiba-tiba saja cabang tempatnya duduk patah


dan membuatnya sontak terjatuh ke tebing curam.

Ia pastinya telah mati bila di bawahnya tak ada air yang


mengalir. Dengan tubuh yang basah dan sedikit rasa terkejut, ia
merangkak keluar dari air dan menemukan dirinya berada di dasar
sebuah lubang.

Dinding berbatu yang curam tak memungkinkannya keluar


dari lubang ini. Ia telah memutuskan untuk menyerah dan bersiap
menunggu kematian serta rasa lapar menghampirinya. Dengan
cucuran air mata putus asa, ia meratap: “Oh, kenapa aku terjatuh ke
dalam lubang yang mengerikan ini?” Lalu tangisnya: “Tak ada yang
bersamaku, kecuali kawanan nyamuk yang menghisap darahku.
Tak ada yang akan menemukanku di sini kecuali Kematian. Tak
pernah lagi akan kulihat indahnya dunia di atasku.”

Untuk beberapa hari dan malam, pria malang tersebut terjebak


dalam lubang. Ia memakan buah tinduka yang terjatuh bersamanya
dan meminum dari air terjun, namun segera saja persediaan
buahnya habis dan bahaya kelaparan pun mulai mengancamnya.

Tepat pada saat itu, kera yang kebetulan juga sedang memetik
buah tinduka di pohon yang sama dengan tempat pria terjatuh
mendengar suara dari sebuah lubang di bawahnya. Melongok ke
bawah, ia melihat seorang pria kurus yang menyedihkan terbaring
di sana. Ia segera berhenti memetik dan dengan suara manusia
berkata: “Siapakah engkau, yang terbaring di dasar jurang tempat
tak seorang manusia pun dapat kembali?”

Ketika pria ini memandang ke arah pohon dari mana


perkataan ini berasal dan melihat si kera, ia segera berlutut dan,
sambil merangkupkan kedua tangannya dalam posisi berdoa,
berkata dengan suara gemetar: “Makhluk agung yang berada di

26
KISAH KERA BESAR

atasku, aku adalah seorang manusia yang telah terjatuh ke dalam


lubang selagi memakan buah di atas pohon yang saat ini sedang
engkau duduki. Aku memohon padamu, pelindung para kera,
untuk menjadi pelindungku juga.”

Kera, dipenuhi belas kasihan, menenangkannya dan


menjawab: “Jangan takut. Apa pun yang akan dilakukan kerabatmu
jika mereka berada di sini, maka aku juga akan melakukan hal yang
sama; hanya sedikit bersabarlah.”

Ia melempar beberapa tinduka terlebih dulu agar si pria malang


tak kelaparan sebelum meloncat turun dari pohon. Pertama-tama,
ia mencari pijakan yang tepat untuk menuruni tebing, lalu menaruh
batu seberat manusia di pundaknya untuk mencoba kekuatannya
dan melihat apakah ia dapat membawa pria tersebut keluar dari
lubang. Setelah mencoba kekuatannya, kera turun ke dalam lubang
dan berkata pada si pria dengan lembut: “Naiklah ke pundakku dan
berpeganglah erat-erat, sehingga aku dapat membawamu keluar
dari lubang ini.”

Setelah bersujud pada kera dengan penuh syukur, pria ini


melakukan apa yang diminta, dan kera, dengan susah payah
dan hampir kepayahan karena beban si pria, akhirnya berhasil
memanjat sampai puncak tebing, dan terkapar kelelahan di sana.
“Aku harus beristirahat di sini dan tidur karena tubuhku sangat
letih,” katanya. “Berjagalah di sisiku, karena banyak binatang buas
yang tinggal di sekitar sini yang mungkin menyerangku selagi aku
tidur. Bangunkan aku jika sesuatu yang aneh terjadi.”

Pria ini mengiyakan, dan kera pun jatuh tertidur.

Ketika sedang berjaga di samping kera, ia memandang tubuh


kurusnya sendiri dan pikiran jahat sontak timbul dalam dirinya:
“Hanya ada buah dan akar di sini. Bagaimana aku bisa memulihkan

27
JATAKA MALA

kekuatanku dan menemukan jalan kembali ke desa? Jika aku bisa


membunuh kera ini, dagingnya akan menjadi sumber tenaga
yang baik. Benar bahwa ia telah berbuat baik padaku, namun ia
hanyalah seekor kera dan aku adalah manusia. Lagipula, dikatakan
bahwa ketika berada dalam kesusahan, seseorang boleh memakan
daging.”

Demikianlah pria ini melupakan budi dan belas kasihan kera


karena rasa tamaknya dan mengambil sebongkah batu besar untuk
ditimpakan di atas kepala kera. Namun tangannya yang lemah dan
gemetar tak mampu menahan beban batu tersebut. Akibatnya,
alih-alih membunuh kera, ia hanya berhasil membuatnya memar
serta membangunkannya setelah terlebih dulu menjatuhkan dirinya
sendiri.

Kera bangkit dan melihat sekeliling untuk mencari tahu


siapa yang telah melukainya. Ia tak melihat siapa pun selain pria
yang sebelumnya telah diselamatkannya dan yang kini berdiri di
hadapannya dengan wajah pucat dan mata yang melihat ke bawah,
serta bulir keringat yang terus bercucuran. Jadi dialah yang telah
mencoba membunuh penolongnya sendiri!

Namun hal ini tidaklah membuat kera menjadi marah; ia juga


tak mendendam. Dengan penuh belas kasihan dan air mata yang
menetes satu-satu, ia berkata: “Sahabat, bagaimana mungkin engkau
bisa melakukan tindakan jahat seperti ini? Bukankah seharusnya
engkau melindungiku dari musuh yang mencoba melukaiku? Aku
merasa sedikit bangga bahwa aku telah melakukan sesuatu yang sulit
dilakukan, namun engkau telah melakukan sesuatu yang bahkan
lebih sulit lagi untuk dilakukan, dan kini kebanggaanku lenyap
sudah. Setelah aku mengeluarkanmu dari sebuah lubang, engkau
malah terjatuh ke lubang yang lain. Malulah atas kebodohanmu
sendiri, yang telah membuatmu menjadi begitu jahat. Engkau

28
KISAH KERA BESAR

telah menghancurkan nama baikmu sendiri, dan kebajikan telah


menyingkir darimu. Tak ada lagi yang akan mempercayaimu.
Bukanlah rasa sakitku yang melukaiku, namun batinku dipenuhi
rasa sakit ketika memikirkan bahwa akulah penyebab engkau
berbuat jahat. Aku tak bisa menghapus kejahatan ini darimu!
Ikutlah denganku sekarang. Aku akan menuntunmu ke jalan yang
benar, yang akan membawamu kembali ke orang-orangmu, karena
mungkin saja engkau akan tersesat dan binatang-binatang buas di
tengah perjalanan akan memangsamu. Kalau itu yang terjadi, maka
upayaku menolongmu akan sia-sia. Tapi, berjalanlah di depanku
karena aku tak bisa lagi mempercayaimu.”

Kera menuntun pria menyedihkan tersebut sampai ke pinggir


hutan, mengucapkan selamat tinggal, memintanya untuk tak lagi
berbuat jahat, dan berkata: “Akibat dari perbuatan jahat sangatlah
menyakitkan.”

Kemudian ia berbalik kembali ke hutan dan tinggal di sana


dengan damai.

Namun, si pria yang menyedihkan, karena tersiksa penyesalan,


tak bisa lagi hidup tenang. Ia tak berani kembali ke desanya, karena
tiba-tiba saja tubuhnya terserang sejenis kusta, membuat kulitnya
berubah dan tertutupi kudis-kudis. Ke mana pun ia pergi, caci maki
selalu mengikutinya karena orang-orang menganggapnya sebagai
setan. Sejak saat itu, ia harus tinggal di dalam hutan.

Sekali waktu, seorang raja bertemu dengannya dan bertanya:


“Apakah engkau setan atau hantu?” Si pria menjawab: “Aku adalah
seorang manusia, meskipun rupaku telah rusak oleh penyakit
yang disebabkan perbuatan jahatku terdahulu! Penyakit ini adalah
buah dari sikapku yang tak tahu terima kasih terhadap salah satu
sahabat terbaik yang pernah kumiliki, yang telah menyelamatkanku

29
JATAKA MALA

dari rahang Kematian, namun malah kukhianati. Anggaplah rupa


burukku ini sebagai peringatan bagi Yang Mulia. Ikutilah jalan
kebajikan dan belas kasihan, dan kebahagiaan akan menghampiri.”

30
KISAH KEPALA PERKUMPULAN
PEDAGANG
Dalam salah satu kelahirannya, Bodhisatwa terlahir sebagai
seorang pedagang, yang melalui karma baik dan aktivitas agungnya,
telah menjadi sedemikian kaya dan menjadi kepala perkumpulan
pedagang. Ia dihormati oleh setiap orang karena sikap adilnya
dalam berdagang dan karena kebijaksanaannya; ia sering dimintai
nasihat oleh para begawan di negeri tempatnya tinggal, dan bahkan
sang raja sendiri mengenalnya dan mengakuinya sebagai sahabat.

Hati si pedagang dipenuhi cinta kasih dan kemurahan hati


terhadap si miskin, dan tak satu pun dari mereka yang meninggalkan
rumahnya tanpa membawa hadiah.

Suatu hari, sekitar waktu makan, ketika ia baru saja mandi


dan mengurapi tubuhnya, bersiap mencicipi makanan yang telah
disiapkan istri dan juru masaknya yang hebat, seorang petapa
mendekati gerbang rumahnya. Petapa ini adalah seorang yang,
karena kealiman dan kebijaksanaannya, telah melenyapkan semua
sifat buruk dalam dirinya. Ia kini datang untuk meminta makanan
karena ingin menambah karma baik si pedagang. Ia berdiri di depan
gerbang tanpa berkata apa-apa, memegang mangkuk dermanya,
dan hanya menatap tak berapa jauh ke depan, layaknya tingkah
seorang petapa ketika sedang meminta makanan.

Namun Mara, si Jahat, tak tahan melihat si pedagang menikmati


karma baik dari memberi derma, dan untuk mencegahnya, ia
menciptakan ilusi berupa sebuah jurang dalam antara petapa dan
rumahnya.

Dalam jurang ini, ia menciptakan neraka, dengan suara yang


menakutkan, bara api yang menyembur keluar darinya, dan ratusan
orang yang mengerang kesakitan di dalamnya.

33
JATAKA MALA

Si pedagang yang tak melihat neraka ini dan hanya terdiam


pada petapa yang berdiri di depan gerbangnya berkata pada
istrinya: “Istriku, pergi dan bawalah makanan pada petapa di
depan, sehingga ia dapat memberkati kita.”

Istrinya langsung mengumpulkan semua makanan terbaik dan


membawanya ke petapa, namun ketika berjalan menuju jurang
yang diciptakan oleh Mara, ia segera berbalik dan berlari ketakutan,
kembali ke rumah dengan tubuh gemetar, sehingga tak sepatah
kata pun mampu keluar dari mulutnya ketika suaminya bertanya
apa yang telah terjadi.

Si pedagang yang tak ingin petapa pergi dari rumahnya dengan


tangan kosong memutuskan untuk mengantar sendiri makanannya.

Ketika berjalan menuju gerbang, dilihatnya jurang mengerikan


itu terbuka lebar tepat di hadapannya, dan selagi memikirkan
apa yang mesti dilakukannya, Mara berdiri di depannya dalam
rupa yang suci dan mengagumkan, berkata: “Perumah tangga, di
hadapanmu adalah Maha Roruvo, neraka besar. Ini adalah tempat
bagi mereka yang tergiur karena pujian para peminta-minta dan
memutuskan memberi derma karena keinginan jahat untuk menjadi
dermawan. Dengan memberikan derma kepada peminta-minta,
alih-alih kepada para dewa, engkau akan melanggar Dharma.
Oleh karenanya, hentikan niatmu agar engkau tak ditelan neraka di
hadapanmu. Mereka yang berhenti memberi dengan cara yang salah
akan meraih tingkatan para dewa. Oleh karenanya, hentikanlah
derma yang hanya menghasilkan puja-puji dan sanjungan dari
mereka yang menerima.”

Akan tetapi, ia mengenali Mara dan menjawabnya dengan


lembut namun tegas: “Keinginanku untuk berderma adalah
penyakit yang tak ada penawarnya, jadi meski engkau telah

34
KISAH KEPALA PERKUMPULAN PEDAGANG

menasihatiku layaknya seorang tabib, aku merasa bahwa semuanya


sudah terlambat. Sehubungan dengan ajaranmu bahwa kekayaan
tanpa derma adalah jalan menuju kebajikan, pemahaman lemahku
sebagai manusia tak mampu mengikutinya. Jika menurut ajaranmu
si pemberi akan masuk ke neraka dan yang diberi masuk ke surga,
maka aku akan memberi lebih banyak lagi untuk membantu
mereka yang kuberi memasuki alam surga. Aku tak berderma untuk
kebahagiaanku, tapi dengan niat untuk menolong dunia.”

Mara, sekali lagi, berkata dengan sungguh-sungguh:


“Putuskanlah bagi dirimu sendiri, apakah engkau ingin berbahagia
dan dihormati, atau apakah engkau ingin menyesal.” Si pedagang
berkata: “Lebih baik aku jatuh ke neraka dan ditelan bara api daripada
mengabaikan seorang peminta-minta yang menghormatiku dengan
meminta makanan padaku.”

Setelah mengucapkan demikian, dengan tak menghiraukan


jerit ketakutan keluarganya, ia menyeberangi jurang di hadapannya.
Ia tahu bahwa kedermawanan takkan menciptakan kejahatan. Dan
seketika itu juga, teratai putih muncul di bawah kakinya, mengangkat
dan mengantarnya melewati neraka. Setelah sampai di hadapan
si petapa, ia segera mengisi mangkuk dermanya dengan perasaan
penuh kegembiraan.

Untuk menunjukkan terima kasih dan kekuatannya, petapa


terbang ke udara dan bersinar dalam keagungan, layaknya mentari
yang bersinar di balik awan.

Ketika Mara melihat kesucian petapa dan merasa bahwa


kekuatannya takkan mampu menipu si pedagang, ia menghilang
bersama dengan nerakanya, yang telah diciptakannya untuk
menghentikan kebaikan hati.

35
KISAH SEMANGKUK KECIL BUBUR
Kisah berikut menunjukkan pada kita bahwa pemberian apa
pun, baik besar atau kecil, jika diberikan dengan penuh keyakinan
kepada seorang yang layak menerimanya, akan menghasilkan
akibat yang besar.

Suatu ketika, Bodhisatwa terlahir sebagai raja Koshala di


India. Ia memiliki semua ciri-ciri seorang raja agung dalam dirinya
dan bertindak layaknya seorang ayah bagi rakyatnya.

Ia adil, penuh semangat, dan terpelajar; Tapi terdapat satu


sikapnya yang menonjol laksana gemilang sinar mentari, yakni hati
riang gembiranya.

Kegembiraan dirinya memancar di seluruh negeri, sehingga


setiap orang seolah-olah turut tertular oleh sikapnya dan menjadi
selalu bergembira atas segala sesuatu.

Suatu hari, ketika sang raja sedang menghadiri salah satu


upacara keagamaan, ingatan dari salah satu kehidupan lampau
melintas di pikirannya dan, terdorong oleh apa yang dilihatnya
dalam ingatan tersebut, ia menjadi lebih bermurah hati lagi
dibandingkan sebelumnya. Para Brahmana, peminta-minta, serta
orang tua menerima pemberian dan petunjuk darinya.

Sejak ingatan tentang kehidupan lampau ini muncul, sang


raja menjadi lebih bijaksana dalam setiap tindakannya. Di istana
dan balai pertemuan, orang-orang dapat mendengar ia sedang
melafalkan sajak-sajak yang membangkitkan keingintahuan bagi
siapa pun yang mendengarnya. Bunyi sajak-sajak ini adalah:

“Jika seseorang memenuhi kebutuhan Yang Suci, meski itu


hanya sesuatu yang kecil, buah tindakan tersebut akan menjadi
sesuatu yang sangat besar. Aku pernah mendengar hal ini
sebelumnya. Kini aku menyadarinya sebagai kebenaran; aku telah

39
JATAKA MALA

melihat buah sebesar apa yang dihasilkan dari semangkuk kecil


bubur yang tawar, kasar, dan keruh.”

Para Brahmana dan hadirin yang mendengarnya bingung


dengan ucapan sang raja yang aneh, bahkan ratu sendiri tak
memahaminya. Jadi, suatu hari, di balai pertemuan di hadapan
semua orang, ia meminta raja menjelaskan apa makna dari
perkataan yang begitu sering diucapkannya: “Buah sebesar ini
dihasilkan dari semangkuk kecil bubur.”

Raja menatapnya dengan penuh kasih dan menjawab:


“Tidaklah mengherankan, ratuku, bila engkau bingung dengan
perkataan aneh ini. Aku dengan gembira akan menjelaskannya
padamu.”

“Dengarkanlah kata-kataku, ratu dan rakyat sekalian yang


kukasihi. Suatu hari, dalam salah satu meditasiku, aku melihat
kelahiran lampauku sebagai seorang pelayan di negeri ini. Aku
sangat miskin dan harus bekerja keras sebagai buruh harian untuk
mencukupi kebutuhan sehari-hari.”

Suatu hari, ketika hendak mencari pekerjaan untuk memberi


makan keluargaku, aku melihat empat orang Brahmana sedang
pergi dari satu rumah ke rumah lain untuk meminta derma. Mereka
adalah orang-orang suci, dan dengan berpikir bahwa mereka
tentulah lebih miskin dibandingkan diriku, aku membawa mereka ke
rumah dan memberi mereka satu-satunya makanan yang kupunya:
semangkuk kecil bubur.

“Perhatikanlah, ratu dan rakyatku, dari pemberian kecil muncul


kekayaanku saat ini. Ketika memikirkannya, aku melafalkan kedua
bait ini dan bersukacita karena kini aku dapat menyambut banyak
orang suci ke istanaku dan memberi mereka derma.”

40
KISAH SEMANGKUK KECIL BUBUR

Ketika ratu mendengarnya, wajahnya bersinar dalam


kegembiraan, dan ia berkata, dengan menatap kagum pada sang
raja : “Semoga engkau berumur panjang agar terus menjadi ayah
bagi rakyatmu; engkau yang telah meraih posisi mulia melalui
tindakan bajik di masa lampau.” Raja menjawab: “Aku akan
berupaya untuk terus berbuat baik kepada banyak orang, untuk
berjalan di jalan kebahagiaan; dan setelah mendengar kisahku,
semoga rakyatku juga akan gemar berderma. Akan tetapi, ratuku,
wajahmu bercahaya dengan kejayaan yang nyaris ilahiah. Engkau
bercahaya seperti mentari di antara bintang-bintang. Mungkinkah
engkau juga mengingat kebajikan yang pernah engkau lakukan di
kehidupan lampau?”

Dengan tatapan yang memandang jauh ke suatu tempat, sang


ratu menjawab:

“Ingatan tentang kehidupan lampau juga datang padaku.


Aku adalah seorang budak yang miskin. Seorang petapa datang
meminta-minta padaku, dan aku memberinya, dengan rasa bakti
di hatiku, semua makanan yang kupunya. Setelah itu, rasanya
aku jatuh tertidur, dan tahu-tahu telah terbangun sebagai ratumu!”
Engkau sangat benar ketika mengatakan bahwa “balasan karena
memberi ke seorang suci tidaklah kecil,” karena itulah tepatnya
perkataan yang diucapkan oleh petapa yang menerima dermaku.”

Para hadirin yang mendengar kisah raja dan ratu mereka


dipenuhi rasa kagum dan terpesona, terlebih setelah mendengar
bagaimana karma baik yang besar bisa dihasilkan dari perbuatan
baik yang kecil di masa lampau. Kini mereka semua memiliki
penghargaan yang tinggi terhadap setiap tindakan bajik yang
dilakukan.

41
JATAKA MALA

Raja mendorong mereka untuk mempraktikkan kemurahan


hati dan berperilaku baik, yang akan selalu menghasilkan buah
karma yang baik.

Ia juga memberitahu mereka bahwa berderma adalah


perbuatan yang sangat bajik, yang selalu harus dilatih. Tindakan ini
tak bisa diambil oleh pencuri, dan tak dapat dihancurkan oleh api
maupun air. Berderma membersihkan hati dari sifat mementingkan
diri sendiri, dan merupakan cara untuk menghentikan pengelanaan
yang melelahkan di dalam samsara.

Semua yang mendengar perkataan sang raja, kemudian


memeditasikannya, mengubah cara hidup mereka, dan setelah itu
mempraktikkan kemurahan hati di tanah Koshala.

42
KISAH AJASTYA
Kisah Bodhisatwa berikut ini menunjukkan bagaimana,
sebagai seorang petapa, ia secara terus-menerus mempraktikkan
kerelaan dan kemurahan hati, bahkan pada saat sampai ia harus
menderita kelaparan; dan bahkan sampai saat menuju kematian
ini pun, ia tetap membuktikan dirinya sebagai ikatan ajaran-ajaran
bijak.

Kali ini, Bodhisatwa terlahir dalam sebuah keluarga Brahmana


yang termasyhur karena kemurnian dan kealiman mereka dengan
nama Ajastya. Kelahirannya dianggap sebagai berkah besar bagi
keluarga, dan ia dibesarkan dalam tradisi Brahmana yang ketat,
melakukan semua ritual dan upacara serta mempelajari kitab-kitab
Weda dan Anga, misalnya astronomi, mantra, tata bahasa, arti
kata-kata, matematika, dan sebagainya. Ia segera meraih puncak
kemasyhurannya dan menjadi sangat kaya karena dihadiahi
berbagai pemberian oleh para pengagumnya. Kekayaan ini
dibagikannya dengan ikhlas ke para kerabat, sahabat, dan muridnya
yang miskin.

Ketika tiba saatnya berumah tangga, ia tidak merasa begitu puas


karena melihat bahwa kini ia mulai dituntut untuk mengumpulkan
kekayaan dan mengerjakan berbagai macam kewajiban, yang pada
gilirannya hanya akan menghalangi kewajiban keagamaannya.

Mata batinnya terbuka dan ia melihat bahwa penolakan


terhadap dunia yang tak kekal akan membebaskannya dari segala
keburukan dan memungkinkannya menjalankan kewajiban
keagamaan secara sempurna, yang akhirnya akan menuntun ke
pembebasan.

Demikianlah ia menolak berumah tangga dan hidup sebagai


seorang petapa, melepaskan semua kekayaannya seolah-olah
mereka hanyalah air.

45
JATAKA MALA

Namun, para pengagum dan mereka yang haus akan


ajarannya masih sering mengunjunginya. Dan karena ingin benar-
benar terbebas dari keduniawian, ia segera pindah ke Pulau Kara,
yang terletak di Samudera Selatan. Terdapat sebuah danau yang
indah di pulau ini, dengan pepohonan yang berbuah dan berbunga
di sekitarnya. Akar-akaran yang bisa dimakan dan aneka tanaman
obat tumbuh berlimpah. Di sini ia membangun pondoknya dan
menjalani kehidupan petapa yang ketat dengan hati bahagia. Ia
makan hanya untuk menopang tubuh manusianya.

Ketika ada tamu yang datang ke pondoknya, ia selalu


menyambut mereka dengan akar-akaran atau buah-buahan yang
dikumpulkannya dan air segar yang dibawanya dari danau. Dan
ucapan selamat datang serta berkah selalu mengiringi jamuan
makanan sederhana tersebut.

Kehidupannya yang sederhana bahkan membuat para


binatang turut menghormatinya sebagai seorang suci. Mereka
bersujud di kakinya dengan penuh rasa hormat dan patuh ketika
bertemu dengannya.

Ketenaran dan kejayaan cara hidup petapa ini akhirnya


sampai juga ke telinga raja para dewa, Sakra, yang ingin mencoba
menguji keuletannya. Sakra membuat akar-akaran dan buah-
buahan yang tumbuh di dekat pondoknya lenyap. Namun Ajastya
yang hanya berfokus pada meditasi tak menghiraukan hal ini. Kini
ia mengganti makanannya dengan daun rebus, dan merasa puas
dengan makanan sederhana ini.

Kemudian Sakra melenyapkan dedaunan dari semua pohon,


semak, dan rumput, layaknya angin di musim gugur. Kini Ajastya
mengganti makanannya dengan dedaunan yang masih tersisa di
tanah, yang direbusnya dengan perasaan puas.

46
KISAH AJASTYA

Sakra menjadi kaget dan merasa marah karena tak mampu


membuat petapa ini kehilangan kebahagiaannya. Kini Sakra tampil
dalam wujud seorang Brahmana, tepat ketika ia akan makan.

Ajastya menemuinya dengan hati riang dan mempersilakannya


masuk ke pondok sederhana miliknya. Kemudian, dengan wajah
gembira dan kata-kata berbudi, ia menyodorkan semangkuk
daun rebus yang telah diperolehnya dengan susah payah kepada
tamunya.

Brahmana menghabiskan makanannya dengan lahap, dan


Ajastya si petapa turut bergembira karena dapat memuaskan
tamunya. Rasa lapar sama sekali tak mengganggu meditasinya, dan
sepanjang hari hatinya dipenuhi kebahagiaan.

Pada hari ke dua, tiga, empat, dan lima, Sakra kembali muncul
sebagai Brahmana, dan Ajastya selalu menyambutnya dengan
kebaikan hati dan kegembiraan yang sama, dan setiap kali itu pula
Sakra selalu menghabiskan makanan Ajastya tanpa meninggalkan
apa pun untuknya.

Sakra menjadi semakin kagum dan kini timbul ketakutan di


hatinya bahwa cara hidup Ajastya yang demikian akan membuatnya
terlahir kembali sebagai raja para dewa, menggantikan dirinya.
Sakra akhirnya kembali ke wujud aslinya yang berkilau dalam
keagungan, dan berkata pada Ajastya: “Katakanlah, kenapa engkau
meninggalkan kerabat, sahabat, dan keluarga yang menyayangimu,
dan memilih tinggal di hutan sebagai petapa?”

Ajastya menjawab: “Kelahiran kembali di dunia menimbulkan


penderitaan; usia tua dan penyakit membawa penderitaan,
keharusan untuk mati menjadi beban pikiran. Aku sedang mencoba
memecahkan misteri ini: bagaimana menolong semua makhluk dari

47
JATAKA MALA

penderitaan. Inilah alasanku meninggalkan dunia yang tak kekal


dan hidup dalam meditasi.”

Sakra sangat senang dengan jawaban ini karena kini ia tahu


bahwa Ajastya tak memiliki keinginan kuat akan kejayaan surgawi.
Lalu ia berkata: “Karena kebijaksanaan jawaban ini, aku akan
mengabulkan satu permintaanmu.”

Namun Ajastya, yang tak lagi memiliki keinginan terhadap


apa pun yang bersifat duniawi, berkata: “Semoga api kemelekatan
terhadap istri, anak, dan harta, yang diinginkan banyak orang, tak
pernah membakar hatiku. Inilah permintaanku.”

Jawaban ini semakin menyenangkan hati Sakra, dan katanya:


“Karena ucapan yang luar biasa ini, aku akan mengabulkan
permintaanmu yang lain. Katakanlah!”

Ajastya menjawab: “Semoga api kebencian yang melalui


seseorang ketika kehilangan kekayaan, kasta, dan nama baik, tak
pernah membakar hatiku.”

Sekali lagi Sakra memuji dan berkata: “Sangat tepat!


Kemasyhuran datang ke mereka yang telah menolak dunia.
Katakanlah permintaanmu yang lain.”

Lalu Ajastya menjawab: “Semoga aku terhindar dari pergaulan


dengan orang-orang bodoh dan terbebas dari keharusan hidup
bersama mereka. Inilah permintaanku.”

“Tapi kenapa harus menghindar dari orang-orang bodoh?


Apakah karena kebodohan adalah akar segala kejahatan?” tanya
Sakra. “Seorang bodoh memerlukan perawatan, dan engkau, yang
dipenuhi belas kasihan, seharusnya menolongnya.”

48
KISAH AJASTYA

Ajastya menjawab: “Jika seorang bodoh bisa disembuhkan,


maka aku tak akan mengabaikannya. Seorang bodoh mengikuti
jalan yang salah seolah-olah itu adalah jalan yang benar, dan ia
mencoba membujuk orang-orang di sekeliling untuk mengikuti
jalannya. Ia menjadi marah kepada mereka yang mencoba
mengajarinya. Kecenderungannya menipu diri sendiri tak tertolong.
Oleh karenanya, aku tak ingin bertemu dengan orang bodoh.”

Sakra yang gembira melanjutkan: “Yang Pantas Disembah!


Aku ingin mengabulkan satu lagi permintaanmu. Perkataanmu
sungguh tak ternilai kebenarannya.”

Ajastya menjawab: “Semoga aku bertemu dengan orang-orang


bijak dan dapat hidup bersama mereka. Inilah permintaanku.”

“Apakah yang telah dilakukan orang-orang bijak kepadamu


sehingga engkau ingin bertemu mereka?” tanya Sakra.

“Mereka Yang Bijak menapak di jalan kebajikan dan menuntun


yang lain di jalan yang sama. Mereka terdidik dengan baik dan tak
sungkan menerima nasihat orang lain bila itu dapat meningkatkan
kualitas dirinya. Oleh karenanya, aku adalah sahabat orang-orang
bijak.”

“Sebagai rasa syukur atas perkataanmu, ucapkan satu lagi


permintaanmu,” seru Sakra dengan gembira.

Kemudian Ajastya, untuk menyenangkan hati Sakra, berkata:


“Semoga makanan yang telah kuberikan padamu dan yang dipenuhi
dengan praktik kemurahan hati diberikan kembali padaku, dan
semoga semua peminta-minta yang terbebas dari perilaku buruk
datang padaku untuk menerimanya.”

49
JATAKA MALA

Sakra berujar: “Tak hanya segala yang telah engkau ucapkan


akan menjadi kenyataan, namun aku akan mengabulkan satu lagi
permintaanmu.”

Kemudian Ajastya, untuk memberi pelajaran pada Sakra,


berkata dengan lembut: “Bila engkau bersedia mengabulkan
permintaan terakhirku, tolong jangan muncul lagi di hadapanku
dengan kemilau wujud agungmu.”

Kini Sakra menjadi sedikit jengkel dan berkata: “Aku muncul di


hadapanmu tanpa engkau harus melakukan ritual, doa, atau ikrar
apa pun, sebagaimana yang dilakukan banyak orang demi melihat
rupaku. Bisa-bisanya engkau, yang telah kukabulkan banyak
permintaannya, tak ingin bertemu denganku?”

Ajastya berkata dengan lembut: “Jangan marah, raja para


dewa, tapi dengarlah dulu penjelasanku. Aku tak bermaksud
mengucapkan permintaan barusan karena tak menghormati
ataupun menghargaimu, namun semata-mata agar kemilau
keagunganmu tak membuatku melupakan kewajiban memenuhi
tugas dan ikrar keagamaanku.”

Mendengar hal ini, Sakra membungkuk hormat pada Ajastya,


dan setelah berjalan tiga kali mengelilinginya, ia pun menghilang.

Keesokan paginya, Ajastya menemukan banyak makanan dan


minuman suci di depan pondoknya, yang dikirim oleh kekuatan
Sakra. Selain itu, Sakra juga mengirim banyak petapa suci ke
pondok Ajastya untuk meminta derma padanya.

Demikianlah Ajastya hidup dalam kepuasan, sebagai seorang


petapa dan guru suci. Dengan makanan dan minuman yang dikirim
para dewa, ia mempersembahkannya, berikut ajarannya, kepada

50
KISAH AJASTYA

orang-orang bijak yang datang padanya. Ia terus melakukan hal ini


sampai akhir hidupnya, di pondoknya, di Pulau Kara.

51
KISAH PENDUDUK BRAHMALOKA
Setelah kelahiran kembali yang berulang-ulang, Bodhisatwa
memperoleh banyak kebajikan melalui praktik meditasi yang
dilakukannya dan terlahir di Brahmaloka. Meski terlahir di alam
tinggi, ia tak melupakan penderitaan dan kesengsaraan di alam
manusia, dan tetap memperhatikan dunia manusia untuk melihat
siapa yang membutuhkan pertolongan.

Satu kali, dalam meditasinya, ia melihat bahwa Raja Vedeha


yang bernama Angadiema sedang berada dalam ajaran salah yang
akut, yang disebabkan oleh berbagai tuduhan keliru dan pergaulan
salah dengan para sahabat dan menterinya. Ia tak mempercayai
adanya kehidupan setelah kematian, tak mengetahui hukum
karma, tak menghiraukan ajaran para Brahmana, serta hidup
dalam kesenangan indrawi.

Bodhisatwa, yang menyadari bahwa tingkah laku sang raja


akan meruntuhkan moral seluruh negeri, memutuskan untuk turun
ke dunia manusia dan mencoba membantunya.

Jadi suatu hari, ketika raja sedang duduk di rumah kecil


tercinta dalam salah satu taman indahnya, Bodhisatwa berdiri di
hadapannya di atas udara, dengan pakaian yang berkilauan. Sang
raja yang ketakutan segera bersujud di hadapannya dengan tangan
terangkup dan berkata: “Siapakah engkau, yang bersinar bagaikan
salah satu sinar mentari, dan yang menggunakan udara sebagai
pijakan bagi kaki terataimu?”

Bodhisatwa menjawab: “Aku adalah salah seorang pemimpin


para dewa dari dunia Brahma yang telah mengatasi cinta dan
kebencian.”

“Selamat datang, O Yang Agung!” kata sang raja yang


kemudian mencuci kaki Bodhisatwa dengan penuh kerendahan

55
JATAKA MALA

hati. “Engkau yang berjalan di udara layaknya di atas tanah, dan


yang wajahnya bersinar seperti rembulan, bagaimana engkau
meraihnya?”

“Kekuatan seperti ini,” jawab Bodhisatwa, “adalah hasil dari


praktik meditasi terus-menerus, perilaku baik, dan menguasai
keinginan indrawi di kehidupanku sebelumnya.”

“Apakah memang terdapat dunia selain dunia manusia?”


tanya sang raja.

“Kebenaran ini bisa dibuktikan dengan nalar dan akalmu,”


jawab Bodhisatwa. “Tidakkah sosokku menjadi bukti adanya dunia
yang lebih tinggi selain dunia manusia?” Seperti diriku, terdapat
orang-orang di dunia ini yang juga dapat mengingat kehidupan
lampau mereka. Anak-anak seringkali sangat berbeda sifat dari
kedua orangtua mereka; bagaimana engkau menjelaskannya?
Mereka pasti memperoleh sifat yang berbeda ini dari kehidupan
lampaunya. Bayi manusia dan anak binatang dapat menyusu tanpa
diajari. Bagaimana mereka dapat mengetahuinya bila mereka tak
pernah menjalaninya di kelahiran sebelumnya?”

Namun sang raja tersenyum dan berkata: “Jika engkau, O Rishi


yang agung, berharap agar aku mempercayai adanya kehidupan
yang akan datang, maka pinjamkan aku lima ratus keping emas
sekarang, dan akan kukembalikan seribu keping di kehidupan
selanjutnya.”

Bodhisatwa menjawab: “Bagaimana mungkin aku


meminjamimu lima ratus keping emas dan berharap mendapat
bunga di kehidupan selanjutnya? Engkau, Oh, makhluk jahat, akan
berada di neraka untuk menerima siksaan setelah mati nanti, dan
di sana sangatlah gelap sehingga bahkan aku pun takkan berani
pergi untuk meminta uangku kembali. Di sana, engkau takkan ingat

56
KISAH PENDUDUK BRAHMALOKA

pernah meminjam uang dariku, karena hanya rasa takut dan sakit
yang akan selalu menyiksamu. Kemungkinan besar engkau akan
berbaring di atas tumpukan arang yang membara, terlihat seperti
emas yang meleleh, dan takkan mengingat apa pun tentang keping
emas yang pernah dipinjam. Engkau hanya akan mengerang
dengan sia-sia. Aku dapat memberikan gambaran tentang ribuan
jenis siksaan lainnya, jika itu dapat mencegahmu terjatuh ke alam
neraka.”

“Cukup, cukup,” teriak sang raja. “Pikiranku dipenuhi rasa


takut. Aku telah berjalan di jalan kejahatan, dan diajari ajaran
yang keliru. Jadilah guruku, penuntunku, O, engkau Yang Agung!
Sebagaimana mentari mengusir kegelapan, demikian pula engkau
telah mengusir gelapnya kebodohan dari diriku. Tuntunlah aku ke
jalan kebenaran.”

Bodhisatwa merasa kasihan pada raja malang ini layaknya


seorang ayah mengasihani anaknya yang telah berbuat salah. Ia
percaya bahwa sang raja telah sungguh-sungguh menginginkan
kehidupan yang lebih baik kemudian hari. Ia berkata dengan lembut
padanya dan sang raja mendengarkan dengan penuh perhatian:

“Ubah cara hidupmu, O raja!” kata Bodhisatwa. “Menapaklah


di jalan Surga sebagaimana raja-raja lain telah melakukannya
sebelum dirimu. Tuntunlah rakyatmu ke jalan yang benar. Berbuat
baiklah, gunakan kekayaanmu untuk kesejahteraan kaum miskin
dan engkau akan berbahagia! Jagalah indra-indramu dengan
kedisiplinan tinggi. Kenakan tali kekang seolah-olah mereka adalah
kuda liar yang harus dijinakkan. Pimpin rakyatmu seolah-olah
engkau adalah ayah mereka. Engkau berdiri di dunia ini di atas
kereta kuda. Biarkan kealiman menjadi kereta kudamu sekarang.
Biarkan kebajikan menjadi kereta kudamu. Biarkan persahabatan
menjadi porosnya, disiplin diri dan kemurahan hati sebagai roda-

57
JATAKA MALA

rodanya, dan keinginan untuk mengumpulkan kebajikan sebagai


jari-jarinya. Kendalikan kudamu, yakni indra-indramu, dengan
tali kekang bernama perhatian. Buatlah kebijaksanaan sebagai
tujuanmu dan ambil senjatamu dari gudang bernama pembelajaran
suci. Biarkan rasa malu menjadi perabot keretamu, kerendahan hati
sebagai tiangnya, dan kesabaran sebagai kuknya. Berdiri di atas
kereta ini, engkau akan mengendarainya dengan kemahiran bila
engkau kokoh dalam pengendalian disiplin diri.”

“Memakai kendaraan ini sebagai sumber kebijaksanaanmu,


dihiasi dengan bendera nama baik dan panji ketenangan serta
diikuti rasa belas kasih sebagai penjaganya, engkau akan bergerak
ke Tujuan Tertinggi dan tak pernah lagi terjatuh ke alam neraka, O
raja.”

Demikianlah Bodhisatwa memberi petunjuk pada sang raja,


yang mendengarkannya dengan sungguh-sungguh. Setelah melihat
bahwa sang raja telah berubah, Bodhisatwa meninggalkannya dan
kembali ke Brahmaloka, berbahagia karena telah menyelamatkan
raja dan negerinya dari kehancuran.

Raja, setelah menyadari ajaran Bodhisatwa, segera memberi


panutan kepada rakyatnya. Kini, ia dan rakyatnya menapak di jalan
Pembebasan, serta meyakini adanya kehidupan setelah kematian
yang bisa bersifat menyenangkan ataupun menderita – tergantung
dari perbuatan seorang individu di kehidupannya saat ini.

58
KISAH PENGORBANAN
Diceritakan dalam sebuah teks Sanskerta bahwa Bodhisatwa
suatu kali terlahir dalam sebuah keluarga raja, dan kemudian
mewarisi takhta ayahnya. Kelahiran ini diperolehnya melalui
pengumpulan kebajikan di kehidupan sebelumnya.

Seperti biasanya, jika sebuah negeri diperintah oleh seorang


raja yang baik dan bijak, maka negeri tersebut juga akan tumbuh
sejahtera dan makmur. Dan demikianlah yang terjadi pada
negeri tempat Bodhisatwa memerintah. Tak ada kemiskinan dan
kelaparan, dan kedamaian meliputi rakyat. Sang raja berperilaku
layaknya seorang Muni. Teladannya diikuti oleh semua orang di
sekitarnya, dan cahaya kebaikan yang memancar dari takhtanya
menerangi hati rakyatnya.

Namun, pada suatu ketika, terjadilah bencana yang membawa


kesengsaraan ke seluruh negeri. Entah apakah orang-orang telah
berbuat sesuatu yang salah atau dewa hujan marah, tak ada yang
tahu. Namun, kekeringan parah melanda dan semuanya menderita
karena tiadanya air. Sumur-sumur kering, beragam tanaman mati,
dan berbagai penyakit mulai mengancam.

Sang raja khawatir kalau ia atau rakyatnya telah mengabaikan


beberapa kewajiban keagamaan, dan bahwa bencana kekeringan
ini adalah hukumannya. Ia meminta nasihat pendeta kerajaan,
dan para Brahmana serta menteri bertanya-tanya apa yang bisa
dilakukan dalam situasi tersebut. Para ahli Weda menyarankan
– berdasarkan pengetahuan dan contoh kasus di dalam kitab –
bahwa raja wajib melakukan banyak pengorbanan binatang agar
hujan turun. Sang raja merasa ngeri dengan saran ini dan mencoba
menggantikannya dengan berita lain.

61
JATAKA MALA

Namun para ahli Weda merasa tak puas dan mengeluh:


“Seorang raja tak seharusnya mengabaikan kewajibannya. Mengapa
ia tak mau menuruti nasihat untuk melakukan pengorbanan, yang
merupakan jembatan menuju alam para dewa?”

Kemudian mereka berkata padanya: “Yang Mulia melaksanakan


kewajiban kepada para leluhur, Rishi, begawan bijak, dan manusia,
namun kenapa tidak ke para dewa? Lakukanlah pengorbanan
binatang ini agar para dewa menurunkan hujan dengan senang
hati. Lakukanlah untuk kesejahteraan rakyat anda.”

Sang raja berpikir: “Bagaimana mungkin pembantaian


binatang dapat menyenangkan para dewa? Tentunya ini tak ada
kaitannya sama sekali dengan Dharma! Dan jika binatang-binatang
dibunuh selagi para Brahmana melafalkan doa agar mereka segera
terlahir kembali di alam surga, kenapa tidak kaum Brahmana
sendiri saja yang mengorbankan diri mereka? Bukankah mereka
ingin masuk surga? Binatang-binatang tidak ditanya terlebih
dulu apakah mereka ingin dikorbankan atau tidak. Mereka juga
belum menghentikan perilaku buruk mereka ketika dikorbankan.
Bagaimana mungkin kematian dapat membantu mereka terlahir di
alam surga? Tidak! Ajaran seperti ini keliru. Aku harus menemukan
solusi lain atas bencana ini.”

Setelah perenungan ini, sang raja berkata pada para


penasihatnya: “Dengarkan keputusanku. Aku tak hanya akan
mengorbankan binatang, namun juga manusia. Perintahkan pejabat
di seluruh negeri untuk mengumpulkan orang-orang yang dianggap
pantas dikorbankan, perintahkan ahli nujum untuk mencari hari
yang baik, dan siapkan segala hal lainnya untuk pengorbanan besar
ini.”

62
KISAH PENGORBANAN

Pendeta kerajaan dan para penasihat takjub karena tak


mengira raja akan memberikan jawaban seperti ini. Pendeta
kerajaan berkata: “Jika ribuan manusia dikumpulkan pada saat
bersamaan, maka akan terjadi pemberontakan, Yang Mulia. Oleh
karenanya, ambil satu persatu terlebih dulu sebagai korban.”

Sang raja membalas: “Tak perlu khawatir tentang


pemberontakan rakyat. Segera kumpulkan mereka semua dan aku
sendiri yang akan berbicara pada mereka.”

Sebuah pertemuan besar pun digelar dan raja berbicara


dengan khidmat: “Bencana kekeringan yang menimpa negeri
kita teramat dahsyat. Kalian semua telah memintaku untuk
menghentikannya, dan oleh karena itu, aku memutuskan untuk
melakukan pengorbanan manusia besar-besaran kepada para
dewa.”

“Namun bagi mereka yang jujur, yang dermawan, yang tak


pernah bertengkar dengan keluarganya, yang tak memiliki sikap tak
pantas; mereka semua tak perlu merasa takut akan dikorbankan.
Aku akan mengirim utusan ke seluruh penjuru negeri. Mereka ini bisa
dikenali dari pakaiannya. Mereka akan mengawasi perilaku kalian
dan kemudian melaporkannya padaku. Siapa pun yang diketahui
memiliki perilaku tak baik akan dijadikan korban persembahan pada
para dewa. Demikianlah perintahku, wahai rakyatku sekalian!”

Orang-orang pulang ke rumah masing-masing dengan


perasaan takut, namun mereka bertekad untuk berbuat baik agar
tak berakhir nasibnya sebagai korban persembahan. Raja mengirim
utusannya, dan melalui tetabuhan genderang tiap harinya,
dikeluarkan pengumuman di semua kota dan desa bahwa siapa
pun yang berbuat jahat akan dijadikan korban persembahan.

63
JATAKA MALA

Ketika orang-orang melihat utusan raja mulai berpatroli di


mana-mana, dan mendengar pengumuman yang sama tiap harinya,
mereka mulai memperbaiki sikap mereka, pertengkaran berhenti,
keramahtamahan dipraktikkan di mana-mana, sopan santun dan
kesederhanaan muncul di segala tempat, kepatuhan pada guru
dan orang tua berlangsung di tiap rumah, dan penghormatan pada
para dewa dan orang yang lebih tua menjadi sesuatu yang lumrah.
Penduduk negeri hidup ibarat di zaman Kreta-Yuga yang berkilau.
Rasa takut akan kematian telah memunculkan kembali semua
kebajikan yang dulunya telah mereka lupakan, dan dalam waktu
singkat setiap orang kini menampilkan tindakan terpuji.

Namun, para utusan sama sekali tak mengendurkan


pengawasan mereka, sehingga orang-orang harus tetap menjaga
perilaku tanpa cacat mereka.

Ketika raja mendengar dari para utusannya bahwa mereka tak


mampu menemukan satu orang pun yang diketahui berbuat tak
baik, ia menjadi sangat bahagia dan memberi mereka hadiah besar
atas berita baik ini. Kemudian ia memanggil para menterinya dan
berkata: “Tak seorang pun yang diketahui berbuat jahat di negeriku,
dengan demikian aku tak bisa melakukan upacara pengorbanan
manusia. Rakyatku sangat luhur budinya sehingga merekalah yang
sebenarnya pantas menerima pengorbanan, dan bukan malah
dikorbankan. Oleh karenanya, lakukanlah upacara pengorbanan
menurut caraku. Kumpulkan semua orang buta dan lumpuh, dan
berilah mereka derma agar kemiskinan lenyap dari negeriku.”

Para menteri mendirikan rumah bantuan di mana-mana.


Di sana, semua orang buta dan lumpuh mendapatkan makanan
dan pakaian yang layak. Kebahagiaan dan kepuasan menyebar
ke seluruh penjuru dan orang-orang juga tetap mempertahankan
perilaku bajik mereka. Akhirnya, secara perlahan, wabah penyakit

64
KISAH PENGORBANAN

mulai lenyap, angin muson mulai membawa hujan, sumur dan sungai
berlimpah dengan air yang murni dan jernih, panen berlangsung
sukses, dan tanaman obat-obatan kembali menghadirkan khasiat
pada manusia.

Demikianlah, melalui kekuatan sang raja yang baik hati dan


pengorbanan yang dilakukan menurut caranya sendiri, negerinya
akhirnya selamat dari segala bencana. Rakyat hidup dalam
kebahagiaan dan kepuasan. Mereka memberkati raja agung
mereka atas apa yang telah ia perbuat pada mereka. Mereka juga
tak melupakan bahwa perilaku baik adalah satu-satunya cara agar
mereka tak dijadikan korban persembahan.

Sementara itu, sang raja sendiri telah melepaskan jubah


rajanya dan mengenakan kulit rusa hitam sebagai pakaiannya,
menyingkirkan segala payung kerajaan dan mahkotanya, serta
mengikat rambutnya dengan cara yang disarankan Weda bagi
mereka yang akan melakukan upacara pengorbanan. Demikianlah
ia menjalani hidupnya sampai akhirnya ajal menjemputnya.
Rakyatnya mencintai dan menganggapnya sebagai dewa.

Teladan yang diberikannya membuat raja-raja lain menjadi


lebih peduli pada rakyat mereka, karena kisah tentang negeri yang
diperintahnya telah menyebar ke seluruh dunia Timur.

65
KISAH RAJA CIBIS
Satu ketika, dalam salah satu pengembaraannya di dunia
yang tak kekal untuk meraih kesempurnaan, Bodhisatwa terlahir
sebagai anak dari raja Cibis. Ia memiliki pemahaman mendalam
sehingga tumbuh menjadi ahli semua pengetahuan dan seni, berikut
segala kualitas bajik. Ketika menjadi raja, ia memerintah rakyatnya
layaknya seorang ayah kepada anak-anaknya.

Karena ia sangat kaya dan berhati mulia, ia mencoba


mencukupi semua kebutuhan kaum malang di negerinya, dan
mereka beramai-ramai datang memenuhi istananya setiap hari.

Ia dipenuhi rasa cinta dan kemurahan hati sehingga negerinya


memiliki banyak rumah bantuan yang dipenuhi beragam kebutuhan
sehari-hari. Dengan cara ini, ia menurunkan hujan derma layaknya
awan-awan di Treta-Yuga.

Setiap orang menerima sesuai kebutuhannya, dan raja


menatap puas pada mereka yang keluar dari istananya dengan hati
gembira. Tampak bahwa ia, selaku pemberi, lebih gembira daripada
mereka yang diberi. Meski mereka selalu datang padanya bagaikan
arus sungai yang deras, namun semua selalu pulang dengan tangan
penuh pemberian. Akan tetapi, kekayaan yang dibagi-bagikannya
ini tetap tak mampu memuaskan hatinya. Sang raja berharap
bahwa ada seseorang yang akan datang padanya dan meminta
salah satu bagian tubuhnya, sehingga dengan demikian ia dapat
membuktikan kerelaannya dalam berderma.

Ketika bumi mengetahui pemikiran sang raja, maka ia pun


bergetar kegirangan, dan Gunung Mahameru, raja semua gunung,
juga terguncang. Kemudian Sakra, raja para dewa, penasaran
dengan penyebab kejadian aneh ini, dan ketika mendengar tekad
raja Cibis yang rela memberikan salah satu anggota tubuhnya
sebagai bentuk derma, ia merasa takjub dan berpikir: “Mungkinkah

69
JATAKA MALA

raja ini benar-benar begitu berhati mulia dan murah hati sehingga
rela mengorbankan anggota tubuhnya? Aku harus mengujinya.”

Di waktu itu, raja telah kembali duduk di takhtanya di balai


pertemuan setelah pengumuman pemberian derma rutin yang
dilakukannya setiap hari. Para peminta-minta dan mereka yang
membutuhkan segera memenuhi ruangan dan menerima emas,
perak, permata, pakaian, dan makanan sesuai kebutuhan masing-
masing.

Di antara orang-orang ini terdapat Sakra dalam rupa seorang


Brahmana tua yang buta. Bersandar pada tongkatnya dengan kepala
bengkok, ia berdiri di hadapan sang raja yang memandangnya
dengan penuh belas kasihan dan persahabatan.

Penjaga istana menanyakan apa yang dibutuhkannya, namun


ia hanya diam dan terus berjalan mendekat ke sang raja, dan setelah
memberkatinya, Brahmana tua ini berkata: “Saya telah datang
dari tempat jauh, O raja, dan telah mendengar belas kasihan anda
yang luar biasa. Bolehkah saya meminta sebuah mata anda. Saya
percaya sebuah mata sudah cukup untuk memerintah negeri ini.”

Raja merasa gembira dengan permintaan ini karena telah lama


berharap dapat memberikan anggota tubuhnya pada seseorang.
Namun, karena permintaan ini sangat tak biasa, ia pun berusaha
memahami maksud pernyataan sang Brahmana dan menanyainya
sekali lagi: “Siapa yang telah memberitahumu agar meminta
sebuah mata padaku? Pastinya tak seorang pun yang benar-benar
rela berpisah dengan salah satu matanya.”

Brahmana ini menjawab: “Sakra, raja para dewa, telah


menyuruhku agar meminta matamu. Ia mengatakan bahwa anda
pasti akan memberikannya pada saya, dan saya berharap anda tak
mengecewakan saya.”

70
KISAH RAJA CIBIS

Ketika raja mendengar hal ini, ia berpikir bahwa melalui


kekuatan Sakra, Brahmana buta ini mungkin akan memperoleh
penglihatannya kembali, dan berkata: “Brahmana, aku akan
memenuhi permintaanmu. Engkau hanya meminta sebuah mataku,
namun aku akan memberikan keduanya.”

Para penasihat kerajaan, yang memahami bahwa rajanya


benar-benar serius dengan ucapannya, memohon dengan air mata
bercucuran agar sang raja tidak mempraktikkan kemurahan hatinya
sedemikian jauh. Mereka beralasan: “Bagaimana mungkin mata
seseorang bisa ditaruh di kepala orang lain? Bila kekuatan ilahi
memang mampu menganugerahkan penglihatan, kenapa harus
memberikan mata anda?”

“Di samping itu, apalah gunanya penglihatan bagi ia yang


miskin? Ia hanya akan melihat kekayaan berlimpah orang lain di
mana-mana dan menjadi sedih karenanya. Cukup beri ia uang, dan
biarkan ia pergi dengan damai!”

Raja menjawab dengan suara lembut: “Ia yang telah


memberikan janjinya namun mengingkarinya adalah jenis manusia
terburuk. Kalian juga mengatakan bahwa kekuatan ilahi dapat
menganugerahkan penglihatan tanpa kita harus mengorbankan
mata. Tapi aku akan menjelaskan pada kalian bahwa berbagai
cara kadangkala mesti dipakai untuk mencapai satu tujuan, dan
aku percaya bahwa mataku kali ini memang dibutuhkan untuk
memenuhi sebuah tujuan. Oleh karenanya, jangan halangi aku
untuk melakukan derma tak biasa ini.”

Menteri-menterinya terus membantah, namun raja tetap pada


pendiriannya bahwa permintaan seseorang yang membutuhkan tak
seharusnya ditolak: “Aku melakukan hal ini bukan untuk memiliki
seluruh dunia, surga, maupun kejayaan, melainkan dengan niat

71
JATAKA MALA

untuk menjadi penyelamat dunia.”

Kemudian sang raja memerintahkan tabibnya untuk mengambil


salah satu matanya dengan hati-hati, dan memberikannya pada
Brahmana buta tersebut. Adalah sebuah keajaiban bahwa ternyata
mata raja dapat masuk ke dalam rongga mata Brahmana yang
tadinya kosong dan bersinar dalam kemuliaan.

Ketika raja melihat hal ini dengan sebelah matanya, ia sangat


gembira dan memerintahkan tabibnya agar mengambil lagi satu
matanya yang tersisa untuk diberikan pada sang Brahmana. Tanpa
sepasang matanya, wajah raja kini tampak bagaikan kolam teratai
tanpa bunga. Brahmana tua, setelah memberi penghormatan
terakhir, segera pergi meninggalkan istana dengan sepasang mata
yang sehat.

Di mana-mana di istana dan di kota-kota, air mata kesedihan


bertetesan. Sakra yang menyaksikan semua ini merasa sangat puas
dan kagum dengan tekad kuat raja untuk meraih kebijaksanaan
tertinggi, dan ia memutuskan bahwa sang raja tidak boleh terlalu
lama menanggung penderitaan ini.

Ketika luka yang disebabkan oleh operasi matanya telah


sembuh, raja duduk bermeditasi dekat kolam teratai di tamannya,
dengan sepoi angin yang sejuk berhembus dan belukar bunga
menampakkan kelopak mereka. Sakra muncul di hadapannya
dan berkata: “Aku adalah Sakra, raja para dewa. Pilihlah satu
permohonan, O raja suci.”

Sang raja buta, yang terbiasa memberi, namun tak tahu


bagaimana caranya meminta permohonan, merasa takjub dengan
hal ini dan berkata: “Aku memiliki kekayaan yang berlimpah,
pasukan yang besar, dan cinta dari rakyatku, namun kebutaan telah
membuatku mengharapkan kematian, karena kini aku tak dapat

72
KISAH RAJA CIBIS

lagi melihat wajah-wajah gembira dari mereka yang menerima


pertolongan.”

“Apakah engkau masih memikirkan para peminta-minta yang


telah menyebabkan kebutaanmu?” tanya Sakra.

Sang raja membalas: “Seumur hidup aku selalu memuja


kebenaran, dan kini aku hanya akan memohon padanya. Bila
memberi derma sembari dapat melihat wajah mereka yang
bergembira menerimanya adalah sebuah anugerah, maka
kabulkanlah permohonanku dengan memberikan sebuah mata
padaku.”

Setelah berkata demikian, melalui kekuatan kebenaran yang


dimilikinya serta kebajikan dari kemurahan hati yang tak pernah
gagal dipraktikkannya, sebelah matanya muncul kembali dan kini
ia bisa melihat. Dengan gembira, ia berseru: “Aku merasa bahagia
karena telah mampu memberikan sepasang mataku. Kini, bila
kebenaran memang berada di sisiku, mohon berikan sebelah mata
lagi padaku.”

Sebelum ia menyelesaikan perkataannya, mata keduanya


telah muncul dan kini ia bisa melihat kembali semua keindahan
di sekitarnya, dan wajah-wajah dari mereka yang membutuhkan
pertolongannya, yang selalu berada di sekitarnya.

Ketika keajaiban ini terjadi, bumi bergetar dipenuhi


kegembiraan, mentari bersinar dalam kemuliaan, bebungaan
berhamburan ke arah sang raja suci, dan alam bersorak dalam
kegirangan. Semua makhluk bergembira karena kini pelindung
mereka dapat melihat lagi, dan suara-suara lembut bernyanyi:
“Terpujilah Raja Kebajikan dan Belas Kasihan.” Kemudian Sakra
berkata: “Aku sebelumnya telah mengetahui niatmu yang rela
memberikan anggota tubuhmu. Akulah Brahmana yang mengujimu.

73
JATAKA MALA

Aku telah memberikan kembali sepasang matamu, dan sepasang


mata ini juga telah kuberkahi dengan pandangan ilahi. Kini engkau
memiliki kemampuan melihat ke segala penjuru sampai sejauh
seratus yojana.”

Setelah berkata demikian, Sakra menghilang. Raja kemudian


diarak ke ibukotanya, Arittha. Semua rakyatnya bersukacita dan
mengikutinya ke balai pertemuan di istananya, dan di sana ia
mengajarkan Dharma pada semua orang sesuai pengalaman
hidupnya.

Demikianlah Raja Cibis memerintah dengan bijaksana sampai


akhir hidupnya, dan selalu memberikan semua kekayaannya pada
mereka yang disiksa kemalangan dan kesengsaraan. Baginya, meski
kekayaan adalah sesuatu yang tidak pantas dan sia-sia, namun bila
dapat digunakan untuk kepentingan orang banyak, maka ia akan
menjadi harta yang berharga.

74
Bagaimana Menghormati
Buku Dharma

Buddhadharma adalah sumber sejati bagi kebahagiaan


semua makhluk. Buku ini menunjukkan kepada kita bagaimana
mempraktikkan ajaran dan memadukan mereka ke dalam hidup
kita, sehingga kita menemukan kebahagiaan yang kita idamkan.
Oleh karena itu, apa pun benda yang berisi ajaran Dharma, nama
dari guru kita atau wujud-wujud suci adalah jauh lebih berharga
daripada benda materi apa pun dan harus diperlakukan dengan
hormat. Agar terhindar dari karma tak bertemu dengan Dharma lagi
di kehidupan yang akan datang, mohon jangan letakkan buku-buku
(atau benda-benda suci lainnya) di atas lantai atau di bawah benda
lain, melangkahi atau duduk di atasnya, atau menggunakannya
untuk tujuan duniawi seperti untuk menopang meja yang goyah.
Mereka seharusnya disimpan di tempat yang bersih, tinggi dan
terhindar dari tulisan-tulisan duniawi, serta dibungkus dengan kain
ketika sedang dibawa keluar. Ini hanyalah beberapa pertimbangan.

Jika kita terpaksa membersihkan materi-materi Dharma, maka


mereka tidak seharusnya dibuang begitu saja ke tong sampah,
namun sebaiknya dibakar dengan perlakuan khusus. Singkatnya,
jangan membakar materi-materi tersebut bersamaan dengan
sampah-sampah lain, namun sebaiknya terpisah sendiri, dan ketika
mereka terbakar, lafalkanlah mantra OM AH HUM. Ketika asapnya
membubung naik, bayangkan bahwa ia memenuhi seluruh
angkasa, membawa intisari Dharma kepada seluruh makhluk di 6
alam samsara, memurnikan batin mereka, mengurangi penderitaan
mereka, serta membawa seluruh kebahagiaan bagi mereka, termasuk

75
JATAKA MALA

juga pencerahan. Beberapa orang mungkin merasa bahwa praktik


ini sedikit kurang biasa, namun tata cara ini dijelaskan menurut
tradisi. Terima kasih.

76
Dedikasi

Semoga kebajikan terhimpun dengan mempersiapkan,


membaca, merenungkan dan membagikan buku ini kepada pihak
lain, semoga semua Guru Dharma berumur panjang dan sehat
selalu, semoga Dharma menyebar ke seluruh cakupan angkasa
yang tak terbatas, dan semoga semua makhluk segera mencapai
Kebuddhaan.

Di alam, negara, wilayah atau tempat mana pun buku ini


berada, semoga tiada peperangan, kekeringan, kelaparan, penyakit,
luka cedera, ketidakharmonisan atau ketidakbahagiaan, semoga
hanya terdapat kemakmuran besar, semoga segala sesuatu yang
dibutuhkan dapat diperoleh dengan mudah, dan semoga semuanya
dibimbing hanya oleh Guru Dharma yang terampil, menikmati
kebahagiaan dalam Dharma, memiliki cinta kasih dan welas asih
terhadap semua makhluk, semata memberi manfaat pada sesama,
serta tak pernah menyakiti satu sama lain.

77
Tentang Penerbit

TERIMA KASIH TELAH MEMBACA BUKU TERBITAN PENERBIT


SARASWATI. APAKAH KAMI BOLEH MEMINTA BANTUAN
ANDA?

Penerbit Saraswati adalah sebuah organisasi non-profit. Misi


kami adalah untuk berbagi kebijaksanaan dari ajaran Buddha seluas
mungkin. Melalui buku-buku yang kami terbitkan, terselip upaya
untuk menginspirasi, menghibur, mendukung, dan mencerahkan
pembaca di seluruh Indonesia.

Kami memiliki sebuah mimpi, membuat seluruh buku


terbitan Penerbit Saraswati tersebar seluas-luasnya sehingga dapat
menginspirasi banyak orang, baik pemula yang penasaran, hingga
praktisi yang telah berkomitmen. Apakah Anda setuju dengan
mimpi kami ini? Karena tentu saja kami tidak dapat mewujudkan
mimpi ini tanpa bantuan Anda.

Buku Dharma ini dapat Anda UNDANG kehadirannya di


hidup Anda tanpa biaya berkat kebajikan berdana para dermawan.
Mari turut bermudita dan mendoakan para dermawan yang telah
memungkinkan ini terjadi.

Apabila Anda berminat pula untuk terlibat dalam kebajikan


seperti ini, silakan bergabung sebagai Dharma Patron Lamrimnesia
dan berdana ke:

BCA 0079 388 388 a.n. Yayasan Pelestarian dan Pengembangan


Lamrim Nusantara

78
MANDIRI 119 009 388 388 0 a.n. Yayasan Pelestarian dan
Pengembangan Lamrim Nusantara

Kemudian mohon konfirmasikan dana Anda dengan


menghubungi Call Center Lamrimnesia.

Dengan menjadi Dharma Patron, Anda secara langsung


terlibat dalam (1) penerbitan dan penyaluran buku Dharma,
(2) penyelenggaraan kegiatan Dharma, (3) pendanaan biaya
operasional dan mobilisasi Dharma Patriot dalam rangka
mendukung aktivitas (1) dan (2) di atas.

Untuk mengetahui lebih lanjut serta memesan buku terbitan


Penerbit Saraswati, silakan hubungi kontak di bawah ini:

Care: +6285 2112 2014 1

Info: +6285 2112 2014 2

Fb: Lamrimnesia & LamrimnesiaStore

Ig: @Lamrimnesia & @Lamrimnesiastore

Titktok: @Lamrimnesia_

E-mail: info@lamrimnesia.org

Website: www.lamrimnesia.org; www.store.lamrimnesia.com

79

Anda mungkin juga menyukai