Anda di halaman 1dari 103

Empat Segel Agung

DREPUNG THRIPA KHENSUR LOSANG TENPA RINPOCHE

Penerbit Saraswati
2021
Pembagian secara gratis sebanyak 2500 eksemplar

Empat Segel Agung


Judul asli: The Four Great Seals of Buddhism
Dibabarkan oleh:
Yang Mulia Drepung Thripa Khensur Losang Tenpa Rinpoche
pada tanggal 22 – 25 Januari 2008
di Kadam Tashi Choe Ling, Malaysia

Penerjemah lisan dari bahasa Tibet ke bahasa Inggris: Rosemary Patton


Penerjemah dan Pentranskrip dari bahasa Inggris ke bahasa Indonesia: Tenzin
Tringyal, Candri Kamesvari Jayawardhani
Penyunting: Stanley Khu
Perancang sampul: Liana Puspita
Penata letak: Prisela Lilia

Hak cipta naskah Inggris © 2008 Kadam Tashi Choe Ling, Malaysia
Hak cipta naskah terjemahan Indonesia ©2021 Penerbit Saraswati

ISBN 978-623-94994-1-9

Penerbit Saraswati
Email: penerbitsaraswati@gmail.com

Distributor Lamrimnesia
Care: +6285 2112 2014 1 | Info: +6285 2112 2014 2
Fb: Lamrimnesia & LamrimnesiaStore
Ig: @Lamrimnesia & @Lamrimnesiastore
Tiktok: @Lamrimnesia_
E-mail: info@lamrimnesia.org
Website: www.lamrimnesia.org; www.store.lamrimnesia.com

Undang-Undang RI Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta

Ketentuan Pidana Pasal 113 ayat (3) dan (4):

(3) Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau pemegang Hak Cipta melakukan
pelanggaran hak ekonomi Pencipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf e, dan/atau
huruf g untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau
pidana denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

(4) Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yang dilakukan dalam bentuk
pembajakan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau pidana denda paling banyak
Rp4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah).

Pasal 114:

Setiap Orang yang mengelola tempat perdagangan dalam segala bentuknya yang dengan sengaja dan mengetahui
membiarkan penjualan dan/atau penggandaan barang hasil pelanggaran Hak Cipta dan/atau Hak Terkait di tempat
perdagangan yang dikelolanya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10, dipidana dengan pidana denda paling banyak
Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah.
Daftar Isi
Kata Pengantar v
Transkrip Ajaran vii
Sekilas Tentang Drepung Thripa Khensur ix
Losang Tenpa Rinpoche
1. Pendahuluan 1
Siapakah Seorang Buddhis? 4
Tiga Jenis Praktisi, Tiga Jenis Perlindungan 4
2. Semua Fenomena Komposit Berhakikat Ketidakkekalan 7
Tiga Kategori Fenomena Komposit 9
Fenomena Non-komposit 19
Tingkatan Dalam Praktik Dharma 29
Jalan Motivasi Kecil 29
Jalan Motivasi Menengah 33
Jalan Motivasi Agung 39
3. Semua Fenomena Tercemar Berhakikat Penderitaan 49
4. Semua Fenomena Tak Berdiri Sendiri 61
5. Nirwana Adalah Kedamaian Tertinggi 75
Bagaimana Menghormati Buku Dharma 85
Dedikasi 87
Tentang Penerbit 88

iii
Kata Pengantar

D alam Buddhisme, ajaran yang dikenal sebagai Empat Segel


Agung terdiri dari:

1. Semua fenomena komposit berhakikat ketidakkekalan,

2. Semua fenomena tercemar berhakikat penderitaan,

3. Semua fenomena tak berdiri sendiri,

4. Nirwana adalah kedamaian tertinggi.

Empat Segel Agung penting untuk diulas lebih jauh karena


bisa dikatakan bahwa ajaran ini adalah salah satu pembeda
utama antara Buddhisme dan berbagai tradisi filosofis lainnya
yang dulu tumbuh subur di India pada era Sebelum Masehi.
Konsep seperti hukum karma, samsara, dan reinkarnasi bukanlah
monopoli umat Buddhis karena mereka juga diyakini oleh umat
dari tradisi lain. Namun, meyakini Empat Segel Agung secara
niscaya akan menjadikan seseorang sebagai Buddhis.

Sebagai tambahan, menjadi Buddhis dalam pengertian


Empat Segel Agung tidaklah sekadar menjadi Buddhis secara
formal dan teknis belaka, tapi juga Buddhis yang benar-benar
menyelami ajaran Buddha karena paham tujuan tertinggi yang
hendak diraihnya dalam hidup: Kebuddhaan yang lengkap dan
sempurna demi kebahagiaan sejati semua makhluk hidup.

v
Dengan demikian, memahami Empat Segel Agung akan
membuat kita melangkah lebih jauh lagi dalam kapasitas kita
selaku Buddhis: dari individu yang sekadar melakukan aneka
ritual tanpa tahu makna dan tujuannya, menuju individu yang
mempraktikkan ajaran Buddha dengan tujuan yang konkret
di dalam batin. Dan berhubung masih sangat sedikit umat
Buddhis di Indonesia yang mengetahui tahapan lebih lanjut
dari Buddhisme ini, maka dalam kesempatan kali ini Penerbit
Saraswati menerbitkan transkrip pengajaran Empat Segel Agung
dari Drepung Thripa Khensur Losang Tenpa Rinpoche.

Dengan terbitnya transkrip ini, diharapkan ajaran Buddha


bisa semakin berkembang di bumi Nusantara dan memberi
sebanyak mungkin manfaat bagi semua makhluk hidup.

vi
Transkrip Ajaran

S ecara harfiah, “transkrip” artinya salinan kata per kata dari


sebuah tuturan lisan yang disampaikan oleh seseorang atau
lebih. Transkrip ajaran artinya salinan kata per kata yang disam-
paikan oleh seorang guru pada suatu sesi ajaran tertentu.

Karya tulis atau literatur beraliran transkrip dalam tradisi


Tibet disebut sintri (zin bris) yakni transkripsi berdasarkan
ingatan. Dahulu kala, seorang murid akan mendengarkan ajaran
gurunya dengan penuh perhatian dan setelah itu sang murid
akan menuliskan kembali apa yang telah didengarnya. Kitab
suci Buddhis Tripitaka adalah transkrip yang disusun oleh murid-
murid Sang Buddha berdasarkan kekuatan ingatan.

Referensi transkrip paling penting di abad ke-20


adalah transkrip yang disusun oleh Kyabje Trijang Rinpoche
berdasarkan ingatan beliau dari sesi ajaran yang disampaikan
oleh Phabongkha Rinpoche. Transkrip asli berbahasa Tibet ini
yang kemudian diterbitkan menjadi tiga jilid literatur legendaris
berjudul Liberation in Our Hands.

Di zaman modern, para murid menyimpan dan


mempertahankan ajaran-ajaran lisan yang disampaikan oleh
seorang guru dalam bentuk rekaman audio.Materi rekaman audio

vii
ini kemudian diolah menjadi teks tertulis yang dikenal sebagai
buku transkrip.

Cara membaca buku transkrip berbeda dengan cara


membaca buku pada umumnya. Membaca buku transkrip
haruslah didukung oleh keyakinan disertai tambahan rujukan
teks akar dan teks-teks pendukung lainnya. Membaca buku
transkrip bisa diibaratkan mendengarkan ajaran secara langsung.
Ketika membaca buku transkrip, kita harus menerapkan teknik
mendengarkan ajaran Lamrim, yaitu menghindari tiga kesalahan
sebuah bejana dan menerapkan enam ingatan. Dengan demikian,
barulah aktivitas membaca buku transkrip menjadi benar-benar
efektif dan memberikan manfaat.

viii
Sekilas Tentang Drepung Thripa
Khensur Losang Tenpa Rinpoche

S hungpa Geshe Lharampa Khensur Drepung Khenpo Thri


Losang Tenpa atau yang lebih dikenal dengan Drepung
Thripa Khensur Losang Tenpa Rinpoche lahir di Tibet pada ta-
hun 1938, di wilayah Amdo, Tibet Timur. Beliau ditahbiskan se-
bagai biksu pada usia 11 tahun dengan nama Losang Tenpa di
Biara Taktsang Lhamo. Pada usia 18 tahun, Khensur Rinpoche
melakukan perjalanan ke selatan Lhasa dan bergabung dengan
ribuan biksu di biara Drepung Gomang untuk belajar di bawah
bimbingan Geshe Jimpa hingga tahun 1959. Di kala itu, komu-
nis Cina mulai menginvasi Tibet dan memaksa beliau bersama
ribuan warga Tibet untuk menyelamatkan diri ke India. Beliau
memasuki Central Institute of Higher Studies di Universitas Vara-
nasi, Sarnath, India pada 1970. Setelah menyelesaikan studinya
selama 3 tahun, Khensur Rinpoche memperoleh gelar Acharya
dengan predikat ‘sangat baik.’

Pada tahun 1973, beliau kembali ke Biara Drepung Gomang


dan menerima ajaran Sutra dan Tantra dari dua pembimbing
utama Y.M.S. Dalai Lama, Kyabje Trijang Rinpoche dan Kyabje
Ling Rinpoche, selama 10 tahun. Setelah berhasil merampungkan
pelajaran Abhidharma dan Winaya di Biara Drepung Gomang,

ix
beliau menempuh ujian untuk memperoleh gelar Geshe dan
berhasil memperoleh gelar Geshe Lharampa. Pada tahun 1989,
beliau diangkat menjadi kepala biara Drepung Gomang oleh
Y.M.S. Dalai Lama untuk masa jabatan 6 tahun, sehingga kini
beliau sering dikenal dengan nama Khensur Rinpoche - “mantan
kepala biara yang berharga”. Beberapa waktu yang lalu, Khensur
Rinpoche memperoleh gelar Drepung Thripa, kepala biara paling
senior di biara Drepung dengan dua universitasnya, Gomang
dan Loseling. Rinpoche telah mengunjungi Amerika, Taiwan,
Rusia, Mongolia, Eropa, dan beberapa kota di Indonesia. Pada
tahun 2008, beliau memberikan pembabaran Dharma untuk
pertama kalinya di Indonesia. Realisasi Rinpoche dalam doktrin
Sutra dan Tantra Buddhis telah menjadikan beliau inspirasi bagi
banyak orang.

x
1
Pendahuluan

S ebelum ajaran dimulai, sikap atau pandangan murid terh-


adap guru (dan sebaliknya) mesti diperjelas, karena hal ini
cukup penting.

Pertama-tama, ketika bertemu dengan seorang guru


dan mendengarkan ajaran darinya, kita semua haruslah
menganggapnya sebagai seorang sahabat Dharma, bukan
sebagai guru pribadi. Jangan bayangkan bahwa setelah
mendengarkan ajaran dan penjelasan dari seorang guru, kita
serta-merta menjalin hubungan guru-murid dengannya. Tak
mesti demikian halnya. Jadi, saya hendak memperjelas hal ini
sejak awal. Saya mohon agar kita semua sekadar menganggap
saya sebagai seorang sahabat spiritual, seorang sahabat dalam
Dharma—tentu saja seorang sahabat yang lebih tua dan
barangkali lebih matang di dalam menapaki jalan spiritual, tetapi
tetap saja, seorang sahabat, bukan guru spiritual. Hal ini sangat
penting untuk dijelaskan sejak permulaan.

1
Empat Segel Agung

Bagi kita yang sudah mengenal ajaran Lamrim atau


Tahapan Jalan Menuju Pencerahan, maka jelas tercantum bahwa
untuk menjalin hubungan dengan seorang guru spiritual, penting
sekali untuk mengambil sedikit waktu untuk mengenal sang guru,
mendengarkan ajarannya, mengamati bagaimana perilakunya,
dsb; setelahnya, barulah kita mencari tahu apakah kita merasa
bisa meletakkan kepercayaan pada guru tersebut atau tidak.
Untuk ini, kita perlu waktu, tak perlu terburu-buru.

Ada sebuah analogi untuk menjelaskan apa yang tak


perlu dilakukan: janganlah berperilaku seperti seekor anjing
yang langsung merebut dan menelan secuil makanan di atas
permukaan tanah tanpa memeriksanya terlebih dulu. Inilah sikap
yang tak boleh dimiliki dalam hubungan guru-murid. Sebaliknya,
kita justru harus mengambil waktu untuk mengamati guru.

Akan sangat baik kalau kita memeriksa apakah guru ini


layak untuk dipercayai, apakah cara mengajarnya bermanfaat
bagi kita atau tidak, dst. Mengapa kita harus mengambil waktu
sebelum memutuskan untuk mengikuti seorang guru spiritual?
Karena begitu terjalin, hubungan guru-murid tak bisa dibalikkan
lagi. Jadi, kalau sampai kita mengambil keputusan yang keliru
dan kemudian merasa bahwa sang guru ternyata tak begitu
bermanfaat, lalu kita mulai melihat aneka kesalahan dalam
sosoknya, dan ujung-ujungnya mulai mencelanya, maka ini
adalah perilaku yang sangat negatif. Jadi, lebih baik jika kita
berhati-hati sejak awal.

Pastikan bahwa guru adalah sosok yang bisa dipercaya.


Pastikan bahwa keyakinan kita takkan goyah, bahwa kita
takkan pernah mencari-cari kesalahan, apalagi mencela guru di
kemudian hari. Kita akan berada pada posisi yang aman untuk
menjalin hubungan kalau memang sudah sepenuhnya yakin.

2
Pendahuluan

Mari kembali ke topik kita: Empat Segel Agung. Apa itu


Empat Segel Agung? Mereka adalah:

1. Semua fenomena komposit berhakikat ketidakkekalan

2. Semua fenomena tercemar berhakikat penderitaan

3. Semua fenomena tak berdiri sendiri

4. Nirwana adalah kedamaian tertinggi

Mengapa topik ini sangat penting? Dalam Buddhisme, ada


orang-orang yang berpegang pada pandangan filosofis, ajaran,
prinsip, pendapat, dan pendirian tertentu; dengan kata lain,
para ahli filsafat Buddhis. Yang dimaksud dengan seorang filsuf
Buddhis bukan semata-mata seorang Buddhis, namun seorang
Buddhis yang memahami dan menerima 4 Segel atau prinsip
ajaran. Selain Buddhisme, kita mengenal adanya ajaran-ajaran
lain, misalnya Hinduisme. Dalam ajaran Hindu sendiri, ada yang
semata-mata merupakan pengikut ajaran, tetapi ada juga para
ahli filsafat yang berpegang pada prinsip-prinsip ajaran atau
pandangan agama Hindu. Boleh jadi seseorang hanya menjadi
pengikut agama Hindu tanpa berpegang pada prinsip-prinsip
ajaran Hindu itu sendiri.

Dalam Hinduisme, ada orang-orang yang mengikuti prinsip-


prinsip dasarnya, tetapi ada juga yang berpandangan lebih
jauh, sehingga akhirnya muncullah orang-orang yang berbeda
pandangan terkait hal-hal tertentu. Namun, bagi seseorang yang
berpegang pada 4 Segel atau prinsip yang baru saja disebutkan
di atas, ia sudah pasti seorang Buddhis—bukan Buddhis biasa,
tetapi seorang filsuf Buddhis, pengikut aliran filsafat Buddhis.

Kita membahas kenyataan bahwa ada pihak Buddhis dan


juga non-Buddhis, dan di dalam Buddhis sendiri, ada pihak yang

3
Empat Segel Agung

berpegang pada 4 Segel yang baru saja disebutkan. Tak semua


Buddhis menyadari atau mengikuti prinsip-prinsip ini, karena
mereka sudah merupakan tahap lanjutan dalam Buddhisme.

Siapakah Seorang Buddhis?


Pertama-tama, apa yang membedakan seorang Buddhis
dengan non-Buddhis? Ini adalah pertanyaan penting yang
barangkali bisa dijawab oleh banyak orang. Namun, untuk
memperjelas, pada dasarnya seorang Buddhis adalah seseorang
yang berlindung pada Triratna. Seorang non-Buddhis takkan
berlindung pada Triratna.

Namun, apa maksudnya berlindung pada Triratna? Triratna


terdiri dari Buddha, Dharma, dan Sangha. Saya yakin kita
semua pasti tahu. Namun, apa sesungguhnya yang dimaksud
dengan berlindung? Apakah cukup dengan mengatakan, “Saya
berlindung pada Buddha, Dharma, dan Sangha?”

Kalau sekadar melafal dan tak merenungkan apa-apa—


tak membangkitkan sebab berlindung di dalam batin—maka
sesungguhnya praktik berlindung kita hanya sekadar ongkos
mulut. Artinya, kita belum tentu memiliki semua sebab yang
dibutuhkan untuk benar-benar mengambil perlindungan. Ada
banyak sebab berlindung. Sebab paling mendasar adalah rasa
takut. Istilah yang lebih sederhana adalah keinginan untuk tak
mengalami sesuatu. Keinginan seseorang untuk menghindari
sesuatu yang menyakitkan terdiri dari aneka level.

Tiga Jenis Praktisi, Tiga Jenis Perlindungan


Mereka yang mengetahui Lamrim tentu mengetahui adanya
3 jenis praktisi: praktisi motivasi kecil, menengah, dan agung.

4
Pendahuluan

Cara mengambil perlindungan untuk masing-masing level


praktisi sedikit berbeda antar satu sama lain.

Bagi seorang praktisi motivasi kecil, praktik berlindung


didasari keinginan untuk terbebas dari kelahiran kembali di alam
rendah, yakni alam-alam menyedihkan seperti alam binatang,
dsb. Kita menyadari adanya risiko terjatuh ke alam rendah dan
ingin menghindarinya. Kita juga menyadari kemampuan Triratna
untuk memberikan perlindungan dari alam rendah. Ketakutan
akan penderitaan di alam rendah inilah yang memotivasi
seseorang untuk meletakkan keyakinannya pada Triratna.
Motivasi seperti ini adalah motivasi level pertama.

Berikutnya, seseorang meningkatkan motivasinya menjadi


level menengah. Dengan kata lain, keinginan untuk meletakkan
keyakinan pada Triratna tak hanya dimotivasi oleh ketakutan
pada penderitaan alam rendah, tetapi juga keinginan untuk
menghindari penderitaan samsara, yakni lingkaran keberadaan
secara keseluruhan. Dengan kata lain, kita tak hanya takut terlahir
di alam rendah, tetapi juga berniat menghindari segala bentuk
kelahiran di dalam samsara—kita ingin membebaskan diri dari
samsara. Untuk alasan inilah, berikut keyakinan bahwa Triratna
mampu menolong dan membimbing kita menuju pembebasan,
kita termotivasi untuk berlindung pada level kedua ini.

Pada level ketiga, yakni motivasi agung, para praktisi juga


memiliki niat yang sama untuk terbebas dari samsara, tetapi mereka
juga tergerak oleh welas asih yang memikirkan penderitaan makhluk
lain. Praktisi motivasi agung menyadari bahwa bukan mereka saja
yang menderita di dalam samsara (karena semua makhluk lain juga
mengalami penderitaan yang sama), sehingga mereka berkeinginan
untuk menolong semua makhluk. Welas asih inilah yang juga
mendorong mereka untuk berlindung pada Triratna.

5
Empat Segel Agung

Jadi, secara umum, ada 3 kemungkinan. Yang paling


minimum adalah level pertama. Kalau seseorang hanya
melafalkan bait berlindung tanpa membangkitkan sebab-sebab
perlindungan dalam dirinya, maka itu bukan praktik berlindung
yang sejati. Untuk menjadi seorang Buddhis sejati, penting sekali
untuk membangkitkan sebab-sebab berlindung.

Berikutnya, mari kita lihat segel agung yang pertama. Jika


kita mengakui dan mengikuti Empat Segel Agung ini, maka kita
terbilang seorang filsuf Buddhis. Artinya, kita adalah seorang
penegak pandangan Buddhis. Pernyataan pertama adalah:
‘semua fenomena komposit berhakikat ketidakkekalan.’

6
2
Semua Fenomena Komposit
Berhakikat Ketidakkekalan

A pa maksudnya? Ada 2 istilah utama dalam kalimat ini. Mak-


na pertama yang harus dipahami adalah ‘fenomena kom-
posit’. Berikutnya adalah maksud dari ‘ketidakkekalan’, karena
artinya bisa saja tak seharfiah yang kita pikirkan.

Istilah pertama adalah fenomena komposit. Kadang-kadang,


yang dipakai adalah istilah fenomena gabungan atau benda-
benda gabungan. Kosakata berbeda dipakai untuk menunjukkan
hal yang sama. Pada dasarnya, fenomena komposit didefinisikan
sebagai sesuatu yang muncul dari sebab dan kondisi. Apa yang
dimaksud dengan sebab dan apa yang dimaksud dengan kondisi?
Istilah sebab di sini mengacu pada sebab yang memiliki hakikat
yang sama, sedangkan kondisi merujuk pada sebab kontributif
atau sebab yang mendukung.

Mari kita ambil contoh yang sangat mudah untuk dipahami,


yaitu bangunan ini. Bangunan ini baru—sesuatu yang baru

7
Empat Segel Agung

dibangun. Contoh ini sangat relevan. Sebab utama dari bangunan


ini adalah bahan-bahan bangunan—batu bata, semen, kayu,
dsb; semua benda ini digunakan untuk mendirikan bangunan.
Mereka disusun secara bersamaan untuk menciptakan bangunan
ini.

Berikutnya, masih ada beberapa hal yang berperan agar


bangunan ini bisa terwujud. Misalnya, sang pembangun, sang
arsitek; kemudian ada pekerja bangunan: peletak bata, tukang
batu, dst; dengan kata lain, semua pekerja yang terlibat untuk
membangun bangunan ini. Mereka semua adalah sebab yang
mendukung, yang telah berkontribusi dalam pembangunan
gedung ini. Kita juga bisa menambahkan peralatan yang
digunakan, karena faktanya pekerja memang memiliki peralatan
mereka sendiri. Mereka butuh perlengkapan untuk melakukan
pekerjaan membangun. Oleh karenanya, perlengkapan mereka
juga berkontribusi dalam pembangunan gedung ini.

Sebab utama adalah bahan-bahan bangunan yang


sebenarnya, karena bahan-bahan inilah yang secara langsung
berubah menjadi bangunan; inilah yang disebut sebab utama.
Sementara itu, sebab pendukung disebut kondisi—bukan
sebab—karena mereka tak berubah menjadi bangunan. Para
pekerja tak menjadi bangunan, perlengkapan yang dipakai
juga tak menjadi bangunan, namun mereka tetap dibutuhkan.
Kehadiran mereka dibutuhkan agar bangunan ini terwujud. Jadi
sesungguhnya, sesuatu dikatakan eksis karena mereka dihasilkan
oleh sebab dan kondisi, dan sesuatu ini kemudian kita sebut
sebagai fenomena komposit atau fenomena gabungan.

8
Semua Fenomena Komposit Berhakikat Ketidakkekalan

Tiga Kategori Fenomena Komposit


1. Benda-benda materi dan makhluk hidup

Kalau kita melihat cara Buddhisme menggambarkan dunia


atau segala sesuatu yang eksis, maka ada satu kategori yang
disebut fenomena komposit. Ini adalah sebuah kategori yang
meliputi segala sesuatu yang muncul dari sebab dan kondisi. Di
dalam kategori ini masih terdapat sub-kategori, yaitu kategori
lain dari segala sesuatu yang eksis.

Sederhananya, ada yang disebut dunia dan ada yang


disebut penghuninya—orang-orang dan makhluk hidup yang
tinggal di dunia ini. Demikianlah satu cara untuk melihat
kategori dari sesuatu yang disebut fenomena komposit. Jadi,
ada sesuatu yang disebut dunia sebagai tempat segala sesuatu
berada di dalamnya. Lalu, ada makhluk hidup berikut benda-
benda materi yang berada di dalam dunia ini. Istilah teknisnya
adalah wadah dan isinya. Dalam bahasa yang lebih awam kita
mengatakan “dunia berikut segala isinya.” Inilah satu cara untuk
memahami fenomena komposit, yang mencakup benda-benda
materi berikut makhluk hidup.

2. Fenomena mental

Selain benda-benda materi—istilah teknisnya adalah


bentuk—ada hal-hal yang sifatnya mental, seperti pemikiran,
perasaan, dan emosi; dengan kata lain, keseluruhan kategori
yang meliputi segala sesuatu yang berhubungan dengan batin
atau fenomena mental. Ini adalah kategori kedua.

3. Faktor-faktor Komposit Tak Berasosiasi

Kategori ketiga memiliki nama yang rumit: faktor-faktor


komposit tak berasosiasi. Namanya cukup panjang. Untuk

9
Empat Segel Agung

kategori ketiga ini, ada baiknya kita menyajikan beberapa


contoh. Contoh terpenting bagi kita adalah makhluk hidup.
Sebagai makhluk hidup, kita termasuk ke dalam kategori ketiga.

Sebagai makhluk hidup, kita merupakan fenomena


komposit. Kita bukan bentuk, bukan batin. Kita semua adalah
individu, manusia. Jadi, makhluk hidup termasuk ke dalam
kategori ketiga, yakni faktor-faktor komposisional tak berasosiasi.
Begitu pula dengan binatang, makhluk neraka, dan semua
bentuk kehidupan (alam dewa, dsb).

Ada juga hal lain yang masuk kategori ketiga ini tetapi
bukan makhluk hidup. Salah satu contoh yang berkaitan
dengan apa yang sedang kita bahas adalah ketidakkekalan kita.
Ketidakkekalan Chen merupakan faktor-faktor komposisional
tak berasosiasi. Dengan kata lain, ia adalah fenomena komposit
yang masuk kategori ketiga. Orangnya sendiri masuk kategori
ketiga. Ketidakkekalannya juga merupakan kategori ketiga.

Mari kita lihat kembali sub-kategori pertama dari fenomena


komposit yang disebut bentuk (rupa). Bentuk adalah istilah
modern untuk menyebut alam materi, yakni segala fenomena
materi. Apa definisinya? Bentuk didefinisikan sebagai segala
sesuatu yang tersusun oleh partikel-partikel. Belakangan ini,
istilah yang digunakan untuk partikel adalah atom. Atom bisa
dibagi lagi menjadi bagian yang lebih kecil, yang disebut neutron,
dst. Pada dasarnya, semua materi tersusun oleh partikel-partikel.
Inilah definisi dari bentuk. Sampai di sini, penjelasan yang
diberikan adalah pengetahuan umum yang tak terlalu rumit.

Bagaimana dengan kategori kedua yang merupakan


fenomena mental? Apa hakikat dari fenomena mental atau batin?
Pada dasarnya, batin atau mental adalah sesuatu yang memiliki

10
Semua Fenomena Komposit Berhakikat Ketidakkekalan

kemampuan untuk mengetahui dan memantulkan objeknya.


Batin kita adalah sesuatu yang dapat menangkap objek dan
memahaminya. Batin hanya dimiliki oleh makhluk hidup. Batin
selalu berasosiasi dengan makhluk hidup, tak hanya manusia
namun semua jenis makhluk hidup.

Definisi makhluk hidup adalah seseorang atau sesuatu yang


memiliki batin. Inilah kategori kedua dari fenomena komposit.
Di dalamnya, ada aneka ragam unsur, aneka ragam kesadaran.
Lalu, ada faktor-faktor mental yang berkaitan dengan kesadaran
tersebut, dsb. Karakteristik utama batin adalah kemampuannya
untuk memantulkan objeknya, ibarat sebuah cermin. Ia juga
punya kemampuan untuk mengetahui dan memahami objeknya.
Demikianlah penjelasan ihwal batin.

Pada kategori pertama dari fenomena komposit yang


disebut bentuk, pada dasarnya ini adalah objek-objek indra. Kita
punya indra penglihatan untuk mencerap bentuk dan warna.
Kita mendengar suara yang dipahami oleh indra pendengaran.
Kita mencium bau yang dipahami oleh indra penciuman. Kita
mengetahui rasa yang dipahami oleh indra pengecapan. Kita
merasakan sentuhan benda, seperti halus dan kasar, yang
dipahami oleh indra tubuh dan kesadaran tubuh. Dengan kata
lain, terdapat 5 jenis objek indra.

Oleh karena itu, secara alamiah kita juga punya 5 jenis


kesadaran indra yang memahami seluruh objek tersebut.
Namun, ada hal yang perlu diingat. Ketika kita melihat sebuah
warna, katakanlah kuning, yang melihatnya adalah kesadaran
indra, yaitu kesadaran mata atau kesadaran penglihatan. Akan
tetapi, begitu kita memiliki pemikiran bahwa sesuatu adalah
kuning, maka saat itu juga kesadaran indra tak lagi berfungsi
dan digantikan oleh kesadaran batin (mental). Ini terjadi dengan

11
Empat Segel Agung

sangat cepat di dalam batin, sehingga kita sering dibingungkan


oleh keduanya. Sangatlah sulit untuk membedakan keduanya.

Ketika kita melihat sesuatu dan berpikir: “Oh, itu adalah


warna kuning,” atau “benda itu panas”, kita berpikir bahwa ada
aktivitas indra yang sedang berlangsung. Sebenarnya, momen
pertama adalah kesadaran indra yang memahami objek, tetapi
momen kedua ketika kita berkata, “Oh! Benda itu kuning,” atau
“Benda itu panas,” maka pemikiran ini disebut kesadaran mental
atau batin.

Kita memakai kesadaran mental kapan pun kita memikirkan


sesuatu, dan indra tak melulu harus terlibat di dalamnya.
Misalnya, saat merencanakan sesuatu atau sejenisnya. Dalam
kasus ini, ia murni merupakan kesadaran mental yang sedang
berfungsi. Kita semata-mata hanya sedang memikirkan sesuatu,
tanpa harus berkaitan dengan indra mana pun. Pada dasarnya,
di dalam fenomena mental, ada 6 jenis kesadaran yang berbeda.
Lima kesadaran yang pertama berkaitan dengan objek indra,
sedangkan yang keenam merupakan kesadaran mental. Jadi,
kategori fenomena yang pertama dipahami oleh indra, yang
terdiri dari penglihatan, suara, dsb—segala sesuatu yang berkaitan
dengan dunia materi. Ini adalah sesuatu yang banyak dibahas
dan dipelajari oleh ilmu pengetahuan modern. Informasi tersebut
tersedia jika kita ingin mempelajari lebih banyak mengenai dunia
materi. Pengetahuan tentang dunia materi adalah sesuatu yang
sangat berkembang dalam pendidikan modern.

Pahamilah Batin Kita

Kategori kedua, yaitu fenomena mental—batin atau


pemikiran kita—dijelaskan secara mendalam dalam Buddhisme.
Buddhisme menawarkan penjelasan yang rinci dan mendalam

12
Semua Fenomena Komposit Berhakikat Ketidakkekalan

tentang bagaimana batin kita berfungsi dan bagaimana


mengenali unsur-unsur yang berbeda dalam batin. Misalnya,
ada yang disebut pemikiran positif atau bajik. Ada juga jenis
pemikiran yang mengganggu—dikenal dengan istilah klesha—
yang berbahaya bagi kita dan orang lain, dan oleh karenanya
harus dilenyapkan.

Jika kita ingin mengubah dan meningkatkan pemikiran,


kita punya semua perlengkapan yang dibutuhkan karena sudah
ada penjelasan menyeluruh terkait berbagai topik tentang batin,
yang kita sebut faktor-faktor mental. Ada definisi untuk masing-
masing aspek batin. Sangat bagus bila kita mengetahui hal ini.
Semakin kita mengetahuinya, semakin mudah bagi kita untuk
berubah dan meningkatkan diri sendiri.

Topik ‘Batin dan Faktor Mental’ menjelaskan dengan sangat


baik ihwal jenis-jenis pemikiran dan sikap yang berbahaya,
bagaimana menyingkirkan klesha, dan perlengkapan yang bisa
dipakai untuk membebaskan diri dari klesha secara perlahan.
Dijelaskan juga tentang pemikiran positif atau faktor mental
bajik yang sangat menguntungkan dan bermanfaat, definisi
faktor mental, bagaimana melatihnya, dsb. Jika ada yang berniat
mempelajarinya, ini adalah sesuatu yang amat berharga untuk
dilakukan. Ada berbagai karya yang tersedia untuk topik ini.

Bagaimana Klesha Mempengaruhi Kita

Batin adalah topik yang sangat berharga untuk dipelajari


dengan sungguh-sungguh. Mengapa? Karena pada dasarnya kita
semua ingin bahagia, dan yang mencegah kita untuk bahagia
adalah klesha—faktor-faktor mental pengganggu di dalam diri
kita.

13
Empat Segel Agung

Sebagai pengganggu, klesha membuat kita kehilangan


kedamaian batin. Ketika klesha muncul, kedamaian batin kita
hilang. Contoh yang paling gamblang adalah amarah. Kita tak
dapat merasakan kedamaian dan amarah pada waktu yang
bersamaan. Ketika marah, Kita kehilangan kedamaian batin dan
menjadi gelisah dan gusar. Kondisi ini bisa berkembang menjadi
sangat serius karena seseorang yang merasakan amarah yang
berkepanjangan bisa mengalami gangguan tidur, kehilangan
selera makan, bahkan jatuh sakit.

Semua gangguan tersebut muncul akibat timbulnya


amarah. Amarah adalah klesha yang sangat mengganggu dan
mengecewakan. Penting sekali bagi kita untuk mengatasi amarah.
Namun, pertama-tama, kita harus bisa mengenali amarah dalam
diri sendiri. Kita harus mencari tahu tentang amarah, mempelajari
sebab berikut penawarnya, hingga cara untuk menanganinya.
Semuanya dijelaskan dalam topik ‘Batin dan Faktor Mental.’

Amarah hanyalah salah satu jenis klesha. Ada banyak jenis


lainnya, misalnya kemelekatan. Kita mungkin berpikir bahwa
kemelekatan atau ketertarikan terhadap sesuatu adalah perasaan
yang menyenangkan, karena ia menarik dan merangsang batin
kita. Namun, sesungguhnya, ketika batin sepenuhnya berada
dalam pengaruh kemelekatan, hanya kekecewaan yang akan
muncul. Kita akan kehilangan stabilitas dan kedamaian batin. Ini
berlaku bagi semua jenis klesha.

Berlatih Mengatasi Klesha

Apa yang bisa kita lakukan untuk mengatasi klesha? Tentu


saja kita tak mungkin bisa menghilangkannya dalam waktu satu
malam. Alangkah baiknya kalau bisa.

14
Semua Fenomena Komposit Berhakikat Ketidakkekalan

Sayangnya, kita butuh waktu lebih dari sekadar satu malam. Kita
harus berlatih mengatasi klesha, dengan perlahan tapi pasti.

Langkah pertama adalah berusaha mengendalikannya


sedikit demi sedikit, menurunkannya sedikit demi sedikit, dan
tak membiarkannya mengambil alih serta mendominasi diri kita
sepenuhnya. Secara bertahap, kita akan sampai ke titik di mana
kita sanggup mengendalikannya dengan lebih baik dan semakin
baik lagi. Pada akhirnya, latihan ini menjadi semakin kokoh
sampai kita pun sanggup untuk sepenuhnya mengenyahkan
klesha. Begitu klesha telah terbuang, kita pun akan menjadi
orang yang lebih bahagia.

Mengapa Kita Marah

Kembali pada amarah: mengapa kita marah? Biasanya kita


marah ketika seseorang melakukan sesuatu yang tak kita sukai.
Atau, kita merasakan adanya tindakan yang membahayakan
atau merugikan diri kita, baik di masa lampau maupun di masa
mendatang.

Kita berpikir, “Dulu si A telah melakukan ini padaku.” Atau,


“Saat ini, si B sedang melakukan hal berbahaya ini padaku.”
Bisa juga, “Barangkali mereka hendak mencelakaiku di masa
mendatang.” Demikianlah terbentuk sebuah rangkaian sebab
yang bisa memicu timbulnya amarah dalam diri seseorang.

Rangkaian lainnya bisa jadi berkaitan dengan seseorang


yang kita cintai, seseorang yang sangat kita sayangi. Jika ada
orang lain yang ingin melakukan sesuatu terhadap orang yang
sangat kita sukai, maka amarah yang sama akan terjadi. Ketika
kita memikirkan kekerasan yang ditimbulkan oleh seseorang
terhadap orang yang kita cintai di masa lampau, masa sekarang,

15
Empat Segel Agung

atau masa depan, pikiran seperti ini bisa memicu amarah. Ini
adalah rangkaian sebab yang bisa membuat kita marah.

Berikutnya adalah rangkaian terakhir dari keseluruhan 3


rangkaian. Ini berkaitan dengan seseorang yang tak kita sukai. Jika
ada yang menolong orang yang tak kita sukai, kita marah terhadap
si penolong. Ini pastinya sesuatu yang sangat buruk, namun tetap
saja hal seperti ini terjadi, karena inilah hakikat manusia. Jika
mereka menolong musuh kita di masa lampau, masa sekarang,
atau masa depan, maka hal tersebut juga bisa membuat kita marah.

Semua ini adalah proses pemikiran keliru yang akan memicu


amarah. Kita harus mempertanyakan faedahnya. Lalu, apa yang
semestinya dilakukan kalau ada yang menyakiti kita di masa lalu?
Kalau misalnya saat ini kita marah, apakah tindakan ini akan
membatalkan apa yang sudah mereka lakukan terhadap kita?
Apakah amarah akan menghapus kejadian di masa lalu? Tentu
saja tidak, karena biar bagaimana pun kejadian masa lalu itu telah
terjadi.

Tak ada yang bisa kita lakukan untuk mengubahnya. Jadi,


memikirkan peristiwa menyakitkan di masa lalu secara berulang-
ulang takkan membatalkan kejadian yang memang sudah terjadi.
Justru ini akan semakin membuat kita tak bahagia dan menderita.
Dengan memikirkan peristiwa masa lalu yang menyakitkan secara
berulang-ulang, kita hanya akan semakin merasa marah. Jadi,
kita perlu benar-benar mengingat kerugian amarah. Mustahil bagi
seseorang untuk mengingat kerugiannya ketika ia sedang diliputi
amarah.

Kesabaran Penawar Amarah

Buddha menjelaskan bahwa penawar amarah adalah


kesabaran. Namun, ketika berada dalam kondisi marah dan

16
Semua Fenomena Komposit Berhakikat Ketidakkekalan

gusar, sangatlah sulit untuk mengatakan “Saya harus sabar.”


Jadi, yang harus dilakukan adalah melatihnya ketika kita sedang
tak marah. Kita harus mengingat semua bahaya yang ditimbulkan
oleh amarah secara berulang-ulang. Pertahankan renungan akan
kerugian dan bahaya amarah dalam batin kita.

Kita juga harus melatih kesabaran dengan merenungkan


manfaatnya. Kesabaran juga berarti toleransi, yakni toleransi
dalam artian bisa bertahan menghadapi kesulitan, bertahan dari
bahaya yang berusaha ditimbulkan orang lain. Renungkanlah
manfaat membangkitkan kesabaran dan toleransi dalam
menghadapi kesulitan. Pemikiran seperti ini harus dilatih.

Di masa lalu, kita telah menanamkan kebiasaan untuk


marah. Bagi orang tertentu, yang muncul mungkin bukan
amarah, melainkan bentuk kesalahan lainnya. Dengan kekuatan
pembiasaan, yakni kenyataan bahwa kita terus-menerus terlibat
dalam kesalahan tersebut, ia telah berkembang menjadi sifat
alamiah dan muncul dengan sendirinya dalam diri kita. Inilah
alasan mengapa kita perlu berusaha melatih diri sedemikian
rupa untuk berubah.

Kita harus bertekad untuk menghilangkan segala kebiasaan


buruk tersebut. Dalam konteks pembahasan di sini, kita
mengambil contoh pemikiran positif berupa kesabaran. Kalau kita
belum terbiasa untuk bersabar di masa lalu, besar kemungkinan
kita akan susah bersabar saat ini.

Kesabaran adalah kualitas yang harus dikembangkan dalam


diri kita. Hal yang sama berlaku bagi jenis pemikiran positif
lainnya. Ada pemikiran positif yang mudah kita kembangkan,
tetapi ada juga yang sulit untuk dimunculkan. Apa yang sudah
dilatih di kehidupan lampaulah yang akan mengarahkan

17
Empat Segel Agung

kecenderungan seseorang pada bentuk pemikiran tertentu.

Cara Mengatasi Amarah

Ada banyak teknik berbeda yang bisa digunakan untuk


mengatasi amarah. Salah satunya adalah menganalisis situasi
yang terjadi. Katakanlah seseorang berupaya melakukan sesuatu
yang buruk terhadap kita. Misalnya, ada orang yang berupaya
meninju kita. Bukan tinju main-main, tetapi mereka benar-benar
memukul kita. Kalau sampai ada seseorang yang memukul kita,
sudah pasti kita tak menyukainya. Reaksi paling alamiah adalah
marah.

Jika kita mengambil sedikit waktu untuk merenungkan,


“Yang memukul saya adalah kepalan tangannya. Kepalan
tangannya yang telah memukulku.” Kalau kasusnya adalah
tamparan, maka yang menampar adalah telapak tangannya.
Maka logikanya adalah: “Harusnya saya marah pada kepalan
tangannya.” Tetapi, hal ini tak logis, karena kepalan tangan
tak bisa bertindak atas kehendaknya sendiri. Seseorang harus
menggerakkan kepalan tangan tersebut. Maka, sasaran amarah
harusnya adalah orang yang menggerakkan kepalan tangannya.

Namun, kita harus berpikir, “Apakah ini benar-benar masuk


akal? Apa yang memaksa orang ini untuk menggunakan kepalan
tangannya dan memukulku? Apakah dirinya sendiri? Apakah ia
bebas berkehendak saat melakukannya?” Jawabannya tidak,
karena amarahlah yang memicunya untuk memukul dengan
kepalan tangannya. Jadi, amarahlah yang memaksanya untuk
memukul. Jadi, “Saya harus marah pada siapa?”

Logikanya, yang harus dimarahi adalah amarah yang ada


di dalam diri orang ini. Tetapi, apa gunanya? Jika kita marah
pada amarah, apakah dua kesalahan bisa mengubah sesuatu

18
Semua Fenomena Komposit Berhakikat Ketidakkekalan

yang keliru menjadi benar? Apakah tindakan demikian akan


membantu? Tak ada gunanya juga kalau kita marah pada amarah
itu sendiri. Jadi, pada dasarnya tak ada yang perlu dimarahi.
Kalau benar-benar ditelusuri, sesungguhnya tak ada yang perlu
dijadikan objek amarah.

Mari kita cermati situasinya. Yang mendorong seseorang


untuk memukul orang lain adalah amarahnya. Ketahuilah
bahwa orang yang sedang marah tak mungkin merasa nyaman.
Berdasarkan pengalaman pribadi, kita tahu bahwa amarah
adalah perasaan yang tak menyenangkan, bahkan menyakitkan.
Jadi orang tersebut menderita akibat amarahnya sendiri. Kalau
demikian halnya, kalaupun ada perasaan yang muncul terkait
orang yang menyakiti kita, seharusnya itu adalah welas asih,
karena sebenarnya orang yang menyakiti kita sedang menderita.
Dan inilah makna welas asih: keinginan agar orang lain tak
menderita.

Jika kita memberi kesempatan pada diri sendiri untuk


menganalisis situasi dengan cara seperti ini, maka kita dapat
melihat bahwa amarah sangat tak masuk akal. Kalaupun ada
yang harus dirasakan terhadap si pemarah, maka itu adalah
welas asih, bukannya amarah. Inilah contoh sederhana
dari kategori kedua yang sangat penting dalam fenomena
komposit, yaitu fenomena mental. Contoh yang diambil di
sini adalah amarah, namun masih banyak contoh lainnya.

Fenomena Non-komposit
Kita telah membahas kategori fenomena komposit.
Berikutnya adalah fenomena non-komposit—sesuatu yang tak
berasal dari gabungan hal-hal lain. Ada berbagai hal yang eksis
namun tak muncul dari sebab dan kondisi. Mereka semata-

19
Empat Segel Agung

mata disebut fenomena non-komposit atau benda-benda non-


komposit.

Jika fenomena komposit bersifat tak kekal, maka logikanya


fenomena non-komposit bersifat kekal. Keduanya saling
melengkapi. Contoh paling mudah adalah eksistensi ruang. Ruang
merupakan tempat mengalirnya udara, tempat segala sesuatu
bisa eksis. Tanpa ruang, tak ada tempat untuk menampung
benda-benda. Istilah ‘ruang’ di sini dalam artian yang lebih luas;
bukan hanya langit, namun juga ruang dalam kamar, di bawah
meja, dsb. Ruang dikatakan sebagai fenomena non-komposit
karena ia tak muncul dari sebab dan kondisi. Ruang juga tak
hilang, tak rusak. Oleh karenanya, ruang bersifat kekal.

Ada banyak contoh fenomena non-komposit lainnya. Pada


dasarnya, sebuah fenomena non-komposit adalah sesuatu
yang eksis, yang memiliki sebuah hakikat. Misalnya, tanduk
kelinci sekilas merupakan fenomena non-komposit, namun ia
tak bisa disebut fenomena non-komposit karena tak eksis. Tak
ada yang namanya tanduk kelinci karena kelinci tak bertanduk.
Ini hanyalah contoh untuk menggambarkan sesuatu yang tak
eksis. Kita tak menggunakannya sebagai contoh fenomena non-
komposit, meskipun tanduk kelinci tidaklah muncul dari sebab
dan kondisi.

Fenomena non-komposit adalah sesuatu yang hakikatnya


tak dapat dimusnahkan. Inilah definisi fenomena non-komposit.
Istilah ‘hakikat’ menyiratkan sesuatu yang eksis. Inilah fungsi dari
kata ‘hakikat’ dalam definisi fenomena non-komposit. Sesuatu
yang berhakikat dan tak dapat dihancurkan merupakan definisi
fenomena non-komposit. Karena ada kata ‘hakikat,’ ia haruslah
sesuatu yang eksis namun tak muncul dari sebab dan kondisi.
Contoh paling mudah, seperti disebutkan di atas, adalah ruang.

20
Semua Fenomena Komposit Berhakikat Ketidakkekalan

Kembali pada segel pertama: ‘semua fenomena komposit


berhakikat ketidakkekalan.’ Sekarang kita memahami fenomena
komposit dengan lebih baik. Selama sesuatu masih dihasilkan
oleh sebab dan kondisi, maka ia sudah pasti tak kekal. Segala
sesuatu yang muncul dari sebab dan kondisi memiliki hakikat
yang tak kekal. Apa artinya ‘tak kekal’? Artinya, ia berubah dari
momen ke momen, sepenuhnya tanpa stabilitas yang sejati.

Segala sesuatu yang bergantung pada sebab dan kondisi


memiliki sifat dasar untuk berubah dari momen ke momen.
Contoh paling nyata adalah tubuh kita sendiri. Ketika di dalam
kandungan, tubuh kita kecil sekali, tak lebih dari sebuah embrio.
Kemudian terjadilah proses kelipatan menyeluruh dari sel tubuh
sehingga kita pun tumbuh besar. Kita semua sangat memahami
hal ini. Proses pertumbuhan kita merupakan salah satu contoh
perubahan dari momen ke momen.

Kita berbicara mengenai pertumbuhan, tapi kita juga bisa


mengambil contoh perubahan. Pada titik tertentu, kita bisa
berbicara mengenai kemerosotan—sesuatu yang terjadi pada
kita semua. Kita harus mengalami semua ini karena kita adalah
fenomena komposit. Artinya, tubuh kita tak bisa bertahan dalam
kondisi yang sama, bahkan untuk masa yang sangat singkat
sekali. Momen sebelumnya dari tubuh kita menghasilkan momen
selanjutnya pada tubuh kita.

Setiap saat, terjadi proses penghancuran dan pembangunan


kembali. Ketika satu momen dari diri kita berakhir, maka di saat
bersamaan muncul momen selanjutnya. Demikianlah proses
yang kita lalui sepanjang masa. Tetapi untunglah ini merupakan
proses yang bertahap. Jika terjadi mendadak, bayangkan
kejutan yang akan kita alami. Misalnya, pada satu waktu kita
adalah orang yang muda dan sehat, namun tiba-tiba dalam satu

21
Empat Segel Agung

malam kita berubah menjadi orang tua yang rapuh dan beruban.
Kalau demikian halnya, bisa jadi kita langsung mati mendadak
di tempat.

Jadi, sekali lagi, ini adalah proses yang bertahap. Karena


bertahap, kebanyakan dari kita tak benar-benar menyadarinya.
Namun, proses ini adalah bagian dari diri kita. Eksistensi kita
berlangsung dalam proses seperti ini, sehingga ia penting untuk
disadari.

Ketidakkekalan yang Halus

Sesuatu dikatakan tak kekal karena ia berubah dari waktu


ke waktu, dari momen ke momen. Alasan berubahnya ia dari
momen ke momen adalah karena ia muncul dari sebab dan
kondisi. Ketika dikatakan bahwa ia berubah dari momen ke
momen, sesungguhnya apa artinya? Dalam Buddhisme, istilah
‘sekejap’ atau ‘satu momen’ mengandung pengertian yang jauh
lebih singkat daripada yang bisa kita bayangkan.

Jika waktu yang dibutuhkan untuk menjentikkan jari dibagi


64, yakni menjadi 1/64, maka inilah definisi ‘sekejap’ dalam
Buddhisme. Dalam Buddhisme, dikatakan bahwa fenomena
komposit—makhluk hidup maupun benda-benda materi—
berubah dalam waktu yang sangat singkat tersebut. Mereka tak
bertahan atau stabil melebihi 1/64 waktu yang dibutuhkan untuk
menjentikkan jari kita! Sedemikian halusnya proses perubahan
yang kita lalui. Sesungguhnya, fenomena komposit mengalami
proses perubahan ini. Karena tingkat kehalusannya, ini bukanlah
sesuatu yang bisa dipahami dengan indra kita. Proses perubahan
yang sangat halus ini bukanlah sesuatu yang bisa dilihat dengan
mata kepala sendiri.

22
Semua Fenomena Komposit Berhakikat Ketidakkekalan

Dalam Buddhisme, ada 2 tingkat ketidakkekalan.


Ketidakkekalan halus adalah perubahan yang sangat halus,
yang terjadi pada fenomena komposit. Ketidakkekalan kasar
adalah perubahan yang bisa dilihat atau dipahami dengan indra,
misalnya kematian makhluk hidup. Kematian merupakan bentuk
ketidakkekalan kasar yang sangat jelas. Istilah ini merujuk tak
hanya pada makhluk hidup, namun juga pada bangunan dan
sebagainya. Kenyataan bahwa daun-daun berguguran dari
pohonnya dan bangunan yang pada satu waktu berdiri kokoh dan
tak berapa lama kemudian runtuh tak bersisa juga merupakan
contoh ketidakkekalan kasar.

Ketidakkekalan Kasar—Kematian

Proses yang dilalui seorang manusia dari momen kelahiran


hingga kematian, berikut tahapan berbeda dalam kehidupannya,
adalah sesuatu yang bisa diamati dengan jelas sekali. Seorang
manusia melalui masa balita, masa kanak-kanak, masa remaja,
masa dewasa, masa umur pertengahan, kemudian usia tua.
Inilah berbagai tahapan perjalanan manusia yang sangat mudah
dipahami. Kita semua dapat mengamati hal ini pada orang lain
maupun diri sendiri. Perubahan yang sangat jelas ini disebut
ketidakkekalan kasar.

Contoh paling relevan mengenai ketidakkekalan kasar yang


masih berhubungan dengan kita semua adalah kenyataan bahwa
kita harus mengalami kematian. Kematian adalah sesuatu yang
pantas untuk dipikirkan. Karena sudah terlahir, maka sudah pasti
kita akan meninggal. Hal tersebut tak terhindarkan. Kelahiran
pasti akan mengarahkan kita ke kematian.

Poin yang menarik di sini adalah: Apakah kematian harus


selalu mengarah ke kelahiran? Menyangkut kelahiran yang pasti

23
Empat Segel Agung

mengarah ke kematian, maka dalam kasus ini, kematian dan


kelahiran yang dimaksud adalah yang dipengaruhi oleh karma
dan klesha (ketidaktahuan, amarah, dsb).

Pada kondisi sekarang ini, sebagai manusia biasa, kelahiran


kita ditentukan oleh karma kita, dan secara tak langsung oleh
berbagai klesha. Melalui pengaruh klesha, kita menciptakan
karma. Sekarang ini, kelahiran kita dihasilkan dan dipengaruhi
oleh semua hal tersebut. Begitu juga dengan kematian kita.

Apa yang muncul harus berakhir, harus meninggal.


Namun, kembali ke pertanyaan: Apakah kematian harus selalu
mengarah ke kelahiran? Pada kebanyakan kasus memang
demikianlah yang terjadi. Pengecualian terjadi pada seseorang
yang mempraktikkan jalan spiritual dan sanggup membebaskan
dirinya dari segala klesha dan memurnikan seluruh karmanya.
Dalam kasus demikian, ia tentu saja masih harus meninggal
karena kematian adalah proses yang alamiah. Namun, ia takkan
lagi terlahir di bawah pengaruh karma dan klesha.

Ketika seseorang telah sepenuhnya membebaskan diri


dari karma negatif dan klesha, ia akan menjadi seorang Arhat,
atau Penghancur Musuh—ia yang telah menaklukkan musuh-
musuh dalam dirinya. Ia bebas dari kewajiban untuk terlahir di
bawah pengaruh karma negatif dan klesha. Inilah pengecualian
terhadap kondisi di atas.

Akan tetapi, kondisi yang dijelaskan di atas merupakan


sebuah pilihan. Penting bagi kita untuk mengetahui adanya
pilihan tersebut, yang berarti ada celah bagi kita untuk meloloskan
diri. Artinya, ada kemungkinan untuk bebas dari keseluruhan
proses tersebut. Tentu saja, selama kita belum melakukan

24
Semua Fenomena Komposit Berhakikat Ketidakkekalan

sesuatu terhadap karma dan klesha, maka selama itu pula kita
akan terlahir kembali di bawah pengaruh mereka.

Kematian Itu Pasti

Pada dasarnya, kematian adalah sesuatu yang harus kita


latih untuk diterima. Kecil kemungkinan ada orang yang menolak
untuk mengakui bahwa ia harus mati. Setiap orang tahu bahwa
ia harus mati (paling tidak mereka harus menerimanya secara
intelektual). Namun, perihal apakah mereka menerimanya
secara mendalam di dalam hati atau tidak adalah cerita yang
lain. Meski begitu, setidak-tidaknya secara intelektual, setiap
orang yang ditanyai pasti akan mengakui bahwa ia akan mati.
Ini adalah sesuatu yang disepakati oleh semua orang.

Waktu Kematian Tak Pasti

Yang lebih sulit untuk diterima adalah ketidakpastian ihwal


kapan kita harus mati. Kita tahu bahwa suatu hari kita pasti
harus mati. Namun, apakah setelah itu kita bisa mengakui bahwa
kematian bisa terjadi kapan saja? Ini adalah cerita yang lain.

Jika kita mengambil waktu untuk berpikir dan membuka


mata untuk melihat sekeliling, kita harus mengakui bahwa
kematian bukan masalah umur. Tak sedikit orang tua yang
terpaksa mengantarkan peti mati anaknya. Banyak orang tua
yang bertahan hidup dengan usia yang lebih panjang daripada
anaknya. Usia muda bukanlah alasan sahih bagi seseorang untuk
menyatakan bahwa ia takkan segera mati. Kondisi kesehatan
yang baik juga bukan alasan, karena banyak orang sehat yang
mati mendadak. Ada banyak alasan untuk berkelit dari fakta
bahwa kematian bisa datang kapan saja. Namun, kalau dilihat
lebih mendalam, kita harus sadar bahwa alasan-alasan tersebut
tak sahih.

25
Empat Segel Agung

Alasan lain yang mendukung ketidakpastian waktu kematian


adalah kenyataan bahwa ada banyak sekali faktor yang dengan
mudah menyebabkan kematian. Jumlah faktor-faktor pendukung
kematian jauh lebih banyak daripada faktor-faktor pendukung
kehidupan. Kondisi-kondisi yang memungkinkan kita terus hidup
sangatlah sedikit.

Perenungan kematian sangat ditekankan dalam Buddhisme.


Mengapa ia sangat penting? Karena ada baiknya kita melihat
segala sesuatu apa adanya. Semakin baik kita menyadari
kematian—kenyataan bahwa kita harus mati—semakin besar
pula kemungkinan untuk melakukan sesuatu yang berharga
dalam hidup kita.

Jika kita senantiasa mawas bahwa kita bisa meninggal


kapan pun, ditambah dengan kenyataan bahwa kita beriman—
apakah dalam Buddhisme atau sesuatu yang lain—maka kita
akan mencari cara atau jalan untuk mencapai sesuatu yang
berharga dalam hidup. Kita berupaya untuk menggunakan hidup
dengan baik. Apalagi, Buddhisme mengakui adanya reinkarnasi.
Kita harus memastikan bahwa kita akan mendapatkan kelahiran
kembali yang baik setelah kehidupan ini. Jadi, merenungkan
kematian adalah ibarat sebuah pendorong. Meskipun tak
menyenangkan, ia sangat berguna untuk mendorong kita
mempraktikkan jalan spiritual.

Ketika merenungkan kematian kita sendiri, hal pertama


yang harus kita lakukan adalah berpikir bahwa kita pasti harus
mati. Seperti yang telah dibahas, setiap orang akan mengakuinya
secara intelektual, namun lain ceritanya apakah kita benar-
benar mengakuinya dalam hati. Itulah sebabnya kita perlu lebih
banyak memikirkan hal ini. Kita juga perlu memikirkan waktu
kematian yang sama sekali tak diketahui. Sesungguhnya, kita

26
Semua Fenomena Komposit Berhakikat Ketidakkekalan

bisa mati kapan saja. Ini jauh lebih sulit untuk diakui, namun
inilah kenyataannya. Memang demikianlah kebenarannya. Jadi,
renungkanlah kenyataan ini berdasarkan alasan-alasan yang
sudah dipaparkan, berikut alasan-alasan pendukung lainnya.

Menjelang Kematian, Tak Ada yang Berguna Kecuali Dharma

Poin terakhir yang perlu direnungkan terkait kematian


adalah: ketika mati, apa saja yang mungkin berguna bagi kita?

Kita punya kecenderungan untuk mencari sejumlah


kenyamanan materi di dalam hidup ini. Kita senang memiliki
benda-benda yang bagus. Kita menikmati mereka dan ingin
menyimpan mereka selama mungkin. Namun, kita harus
menyadari secara mendalam bahwa semua barang yang kita
miliki—tak peduli sebagus apa pun, sebaik apa pun kualitasnya—
takkan berguna sedikit pun di hari kematian kita. Tak ada barang
yang bisa kita bawa, bahkan sebatang jarum sekali pun.

Bagaimana dengan teman-teman, orang-orang yang kita


cintai, keluarga, anak-anak, dsb? Sekali lagi, tak peduli sebesar
apa pun kita mencintai mereka, di hari kematian kita, apa yang
bisa mereka lakukan? Mereka tak bisa berbuat apa-apa. Mereka
tak dapat menghentikan kematian kita. Kita tak bisa membawa
serta mereka. Kita harus berangkat sendirian. Ini adalah sesuatu
yang perlu direnungkan agar kita memperoleh perspektif yang
tepat.

Kita juga memiliki teman yang paling dekat sejak


awal kehidupan kita dimulai, yaitu tubuh kita. Ia telah
bersama dengan kita sepanjang hidup ini. Namun, sekali
lagi, ia tak bermanfaat saat kematian tiba. Ketika mati,
kita harus meninggalkan tubuh dan berangkat sendirian.

27
Empat Segel Agung

Yang akan berlanjut adalah kesadaran kita; sesuatu yang disebut


arus batin, kelanjutan dari momen batin kita yang akan terus
terjadi.

Kita tak sepenuhnya hilang begitu saja di akhir kehidupan


ini. Batin kita terus berlanjut dan akan menuju kehidupan yang
lain. Namun, batin membawa sejumlah muatan tertentu. Bukan
muatan dalam artian biasa, tapi muatan dalam artian yang
lebih halus, yaitu karma kita—baik atau buruk. Satu-satunya
barang yang berguna saat kematian adalah karma baik, atau
lebih spesifik, jejak-jejak karma baik kita. Disebut jejak karena
mereka seperti bekas yang tertinggal dalam batin ketika kita
melakukan tindakan tertentu (fisik, mental, ucapan). Jika
jejaknya positif, mereka akan menghasilkan sesuatu yang baik
di masa mendatang. Pada dasarnya, inilah satu-satunya barang
yang berguna saat kita meninggal nanti.

Sebagai kesimpulan, bisa dikatakan bahwa satu-satunya


barang yang berguna ketika mati adalah praktik spiritual, karena
dengannya kita sanggup menciptakan karma baik yang akan
bermanfaat bagi kehidupan selanjutnya. Dalam menyelidiki
ketidakkekalan (fakta bahwa kita harus mati), ada 3 poin:

(i) Kematian itu pasti

(ii) Waktu kematian tak pasti

(iii) Menjelang kematian, tak ada yang berguna


kecuali Dharma

Ketika semua poin ini mulai benar-benar dipahami, kita


akan tergerak dan merasakan perlunya berpraktik spiritual; atau
dengan kata lain, mempraktikkan Dharma. Alasannya, kini kita

28
Semua Fenomena Komposit Berhakikat Ketidakkekalan

paham bahwa hanya Dharma yang akan dan mampu menolong


kita ketika kematian tiba dan kita harus berpindah ke kehidupan
lain.

Tingkatan Dalam Praktik Dharma


Di sini, kita berbicara ihwal Buddhadharma, ajaran
Buddha. Yang harus kita amati secara mendalam adalah: Apa
maksudnya mempraktikkan Dharma? Bagaimana sebenarnya
cara mempraktikkan Dharma yang termasyhur ini?

Pada dasarnya, praktik spiritual dapat berupa salah satu


dari 3 jenis jalan. Kata ‘jalan’ sesungguhnya berarti kualitas
spiritual. Tingkatan pertama adalah pengembangan keseluruhan
jalan di dalam diri kita—seluruh kualitas spiritual yang dijalankan
bersama praktisi motivasi kecil atau kapasitas kecil. Begitu
seseorang telah menguasai jalan ini, ia akan bergerak maju ke
tingkatan selanjutnya, yaitu berlatih mengembangkan seluruh
kualitas spiritual yang dijalankan bersama makhluk praktisi
motivasi atau kapasitas menengah. Setelah tercapai, maka ia
pun bergerak ke tingkatan tertinggi dari tahapan jalan, yaitu
seluruh kualitas spiritual seorang praktisi motivasi agung atau
kapasitas terbesar.

Jalan Motivasi Kecil

Sebagai titik tolak, kita harus mulai dari tingkatan pertama,


yaitu jalan motivasi kecil. Lebih tepatnya, kita mempraktikkan
kualitas-kualitas yang dijalankan oleh praktisi motivasi kecil
karena kita ingin mencapai sesuatu yang keunggulannya lebih
tinggi.

Apa maksudnya mempraktikkan atau mengembangkan


kualitas-kualitas ini? Maksudnya adalah bertumpu pada guru

29
Empat Segel Agung

spiritual dan melakukannya dengan cara-cara yang tepat. Ini juga


berarti memeditasikan kelahiran sebagai manusia yang berharga
dengan berbagai jenis kebebasan dan keberuntungan, kesukaran
untuk memperolehnya, serta nilai besar yang terkandung
di dalamnya. Berikutnya adalah topik ketidakkekalan pada
tingkatan yang kasar, yaitu memeditasikan kematian dengan
cara yang telah dijelaskan. Setelah memeditasikan kematian,
logisnya yang terjadi berikutnya adalah kelahiran. Dalam
konteks ini, yang dimaksud adalah memeditasikan berbagai jenis
penderitaan ketika terlahir di alam rendah. Renungan ini akan
mengarahkan kita ke praktik perlindungan, yakni mempelajari
cara untuk benar-benar berlindung pada Triratna. Setelahnya,
kita akan masuk ke topik karma. Semua ini adalah topik-topik
meditasi utama ketika mempraktikkan Buddhisme di tingkat
pertama, yaitu tingkat praktisi motivasi kecil.

Singkatnya, praktik Dharma berawal dari latihan


meningkatkan cara berpikir yang benar dan mengurangi
cara berpikir yang keliru. Yang dimaksud dengan mengurangi
cara berpikir yang keliru adalah mengurangi ketidakbajikan
dan kesalahpahaman. Sejalan dengan itu, kita berlatih
mengembangkan cara berpikir yang benar, memiliki pikiran
yang sesuai dengan kenyataan, berikut segala jenis pikiran serta
perasaan yang bajik.

Dalam konteks tahapan pertama jalan spiritual, yang


pertama dan utama adalah belajar menentukan prioritas.
Prioritas praktisi motivasi kecil bukan pada kehidupan saat ini,
melainkan kehidupan yang akan datang. Mengapa? Karena
biarpun kehidupan saat ini sudah berjalan dengan baik, jangka
waktunya yang singkat mensyaratkan bahwa ia toh akan berakhir
suatu saat nanti. Di sisi lain, keseluruhan masa kehidupan kita

30
Semua Fenomena Komposit Berhakikat Ketidakkekalan

yang akan datang sangatlah panjang, dan karenanya benar-


benar sangat penting. Kita harus merenungkannya dengan
cara demikian agar sanggup memindahkan seluruh prioritas ke
kehidupan yang akan datang sekaligus berlatih menghindari
kelahiran yang buruk di kehidupan mendatang.

Kita memeditasikan topik-topik ini—kematian dan


ketidakkekalan, penderitaan di alam rendah, dst—agar bisa
memahami dengan lebih baik bahwa kehidupan sekarang
tak lebih penting dari kehidupan yang akan datang. Kita juga
mempelajari cara menciptakan sebab-sebab bagi kelahiran yang
baik dan menghindari terciptanya sebab-sebab bagi kelahiran
yang buruk di kehidupan mendatang.

Prioritas Pada Kehidupan Mendatang

Seperti yang telah dijelaskan, dalam jalan motivasi kecil—


langkah pertama dalam pengembangan spiritual—kita berlatih
melepaskan diri dari urusan kehidupan saat ini dan lebih
mementingkan kehidupan mendatang. Pada dasarnya, yang kita
kejar adalah sebab-sebab bagi kelahiran yang baik di kehidupan
mendatang.

Kelahiran kembali bisa mengambil banyak bentuk. Ia bisa


berupa kelahiran di alam rendah, namun tentunya yang kita
sasar adalah kelahiran di alam tinggi, seperti alam manusia
atau dewa. Terkait bagaimana kita menentukan jenis kelahiran
kita, ada ungkapan dalam Buddhisme yang berbunyi: kita bisa
mengetahui apa yang kita lakukan di masa lampau dengan
melihat apa yang kita miliki di kehidupan saat ini; dengan kata
lain, jenis kelahiran seperti apa yang kita miliki saat ini.

Kita semua memiliki kelahiran yang baik. Kita telah


dilahirkan sebagai seorang manusia dengan berbagai kondisi

31
Empat Segel Agung

yang menguntungkan. Ini adalah bukti bahwa di masa lampau kita


telah mempraktikkan sila yang baik, yang diarahkan oleh sebuah
hidup yang bermoral. Kita telah menghindari ketidakbajikan dan
merampungkan banyak kebajikan.

Ungkapan yang sama melanjutkan: Jika ingin mengetahui


jenis kelahiran apa yang akan diperoleh di kehidupan mendatang,
kita tak seharusnya mengamati tubuh, melainkan batin kita.
Dengan mengamati kecenderungan cara berpikir kita—apakah
itu baik atau buruk—kita akan mendapatkan gambaran
jenis kelahiran seperti apa yang menunggu kita di kehidupan
mendatang.

Berlindung

Inti dari tingkat praktik motivasi kecil adalah berlindung.


Seperti yang telah dijelaskan, agar benar-benar dikatakan
berlindung—membangkitkan kondisi batin yang mengambil
perlindungan¬—kita harus menciptakan sebab-sebab berlindung.
Dengan kata lain, kita harus mewaspadai kemungkinan terjatuh
ke alam rendah di kehidupan mendatang, berikut segala jenis
rasa sakit dan penderitaan yang menyertainya.

Ketika mewaspadai kemungkinan ini, secara alamiah


kita akan mencari perlindungan, suatu cara untuk lolos dari
kejatuhan ke alam rendah. Pada poin inilah muncul berlindung,
yaitu berlindung pada aspek sebabnya, yang berupa ketakutan
menghadapi penderitaan yang menunggu kita di masa
mendatang. Namun, yang juga tak kalah penting, berlindung
mensyaratkan keyakinan akan kemampuan dari objek
perlindungan untuk melindungi kita dari berbagai penderitaan
tersebut. Jadi, kita harus mengetahui apa saja yang dimaksud
dengan Triratna berikut fungsi mereka.

32
Semua Fenomena Komposit Berhakikat Ketidakkekalan

Buddha merupakan sosok yang telah mengajarkan


perlindungan yang sesungguhnya, yaitu Dharma. Sangha adalah
pendamping dalam berlindung. Namun, bagaimana ajaran
Buddha dapat melindungi kita dari penderitaan di alam rendah?
Bagaimana cara kerjanya?

Ada topik yang membahas 10 ketidakbajikan. Ini adalah


penjelasan ihwal bentuk perilaku berbahaya yang paling negatif.
Jika terlibat di dalamnya, kita akan menciptakan sebab-sebab
bagi kelahiran kembali di alam rendah. Logika di baliknya
adalah: jika kita tak menciptakan sebab-sebabnya, maka kita
juga menghindari akibat-akibatnya. Dengan kata lain, jika
kita menghindari perbuatan-perbuatan negatif, maka kita tak
menciptakan sebab-sebab bagi kelahiran kembali di alam rendah.

Oleh karena itu, sebab utama bagi kelahiran kembali di


alam yang lebih tinggi adalah praktik ini: sila menghindari 10
perbuatan tak bajik (10 jalan karma hitam). Demikianlah yang
diajarkan oleh Buddha, demikianlah sabda Dharma. Inilah salah
satu praktik utama bagi seorang praktisi yang mencari kelahiran
yang baik di kehidupan mendatang.

Jalan Motivasi Menengah

Penjelasan di atas adalah langkah pertama bagi seseorang


yang ingin memulai praktiknya. Namun, setelah menguasai
tingkat pertama, sang praktisi bisa mengajukan pertanyaan pada
dirinya sendiri.

Seperti yang telah dijelaskan, tujuan seorang praktisi pada


tingkat pertama sang jalan adalah meraih kelahiran yang baik di
kehidupan yang akan datang, sebagai manusia ataupun dewa.
Namun, setelah mempraktikkan tingkat pertama, pada poin
tertentu ia bisa saja menyadari bahwa kenyataan terlahir sebagai

33
Empat Segel Agung

manusia, atau bahkan dalam bentuk lebih tinggi sebagai dewa,


adalah sesuatu yang baik. Tetapi, apakah dengan demikian
semua permasalahan telah teratasi? Jawabannya: TIDAK,
karena kelahiran yang baik sekali pun bukanlah sesuatu yang
bisa bertahan selamanya.

Kebahagiaan relatif dari kelahiran sebagai manusia atau


dewa tentu saja lebih unggul ketimbang apa yang akan kita
rasakan di alam rendah. Namun, kebahagiaan tersebut bukanlah
bentuk paling menakjubkan dari kemungkinan bentuk-bentuk
kebahagiaan lain yang tersedia. Kadang kala, terlahir sebagai
manusia juga membawa banyak masalah dan ketidaknyamanan.
Pada dasarnya, kelahiran sebagai manusia masih berada dalam
pengaruh samsara, sebuah kondisi yang terbatas dan tak bebas.

Ketika kita mulai menyadari hal ini, langkah selanjutnya


adalah merenungkan: “Lebih baik membebaskan diri sepenuhnya
dari samsara, karena selama saya masih berdiam di dalamnya,
saya takkan pernah bisa benar-benar merasa bahagia. Mustahil
untuk berbahagia.” Ketika sampai pada poin ini, kita sudah
mulai menjadi praktisi motivasi menengah yang tujuannya tak
hanya mencari kebahagiaan sementara dari kelahiran yang
baik di dalam samsara, namun juga mencari kebahagiaan stabil
berupa pembebasan sepenuhnya dari samsara.

Orang-orang yang telah melalui jalan motivasi kecil akan mulai


menyadari bahwa kelahiran yang baik di dalam samsara bukanlah
solusi dari masalah, karena kelahiran macam ini masih merupakan
kelahiran yang samsarik. Meskipun kelahirannya relatif lebih baik
di antara berbagai kemungkinan kelahiran di dalam samsara,
ia masih membawa kelemahan besar karena alasan yang sangat
jelas: ia masih merupakan bagian dari samsara. Setelah menyadari

34
Semua Fenomena Komposit Berhakikat Ketidakkekalan

hal ini, mereka berpikir alangkah baiknya jika bisa mendapatkan


pembebasan dari samsara.

Ketika memaparkan istilah-istilah ‘samsara’ dan


‘pembebasan’, kita perlu belajar lebih mendalam mengenai
makna sebenarnya.

Apa itu samsara? Samsara adalah keharusan untuk terus-


menerus terlahir dan mati. Samsara adalah keterpaksaan
mengambil kelahiran berulang kali, yang dipaksa oleh karma
dan klesha kita. Dengan kata lain, samsara adalah kenyataan
terlahir berkali-kali, terus-menerus, secara tak bebas, yang
diakibatkan oleh kekuatan karma dan klesha seseorang. Inilah
artinya menjadi bagian dari samsara. Bahkan terlahir sebagai
manusia pun bermakna bahwa kita masih berada dalam sistem
ini. Hal yang sama juga berlaku bagi kelahiran sebagai dewa.

Sebagai tambahan, kelahiran sebagai manusia di kehidupan


saat ini tak menjamin kelahiran sebagai manusia di kehidupan
berikutnya. Kita bisa dengan mudah terjatuh dari alam tinggi ke
alam rendah karena seluruh karma yang kita hasilkan melalui
pengaruh klesha.

Oleh karena itu, kita tak berada dalam situasi stabil walaupun
sudah terlahir sebagai manusia atau dewa di dalam samsara. Kita
masih berada dalam posisi yang goyah. Keseluruhan proses dari
cara kerja karma yang mengarahkan kita ke lingkungan seperti
ini cukup mengagumkan. Untuk menggambarkannya, kita dapat
melihat kondisi yang terjadi selama masa hidup Buddha. Penutur
kisah ini adalah Sariputra, karena beliau memiliki kewaskitaan
yang dapat melihat kelahiran lampau dan mendatang dari
berbagai makhluk serta dari mana mereka berasal.

35
Empat Segel Agung

Sariputra menceritakan sebuah keluarga yang terdiri dari


seorang ayah, ibu, berikut putranya. Mereka tinggal di tepi
sungai. Si ayah memenuhi nafkah keluarga dengan memancing.
Suatu hari, ia meninggal dan terlahir kembali sebagai ikan
di sungai yang sama di mana ia sebelumnya sering mencari
penghidupan dengan memancing. Istrinya, seorang ibu rumah
tangga, juga meninggal. Karena istrinya sangat melekat dengan
keluarganya, ia terlahir kembali dalam keluarga tersebut, namun
sebagai seekor anjing.

Anjing ini terus berkeliaran di sekitar keluarga tersebut dan


ingin tinggal bersama mereka. Putra keluarga tersebut kehilangan
kedua orang tuanya, namun ia tetap melanjutkan pekerjaan
ayahnya. Jadi, pada suatu hari, siapa yang ia tangkap? Ia
menangkap ikan yang dulu adalah ayahnya. Setelah menangkap
ikan tersebut, ia lalu memakan dagingnya, dan sisanya
dilemparkannya pada si anjing, yang dengan lapar bergegas lari
untuk memungut dan memakan tulang serta kulit ikan tersebut.

Jadi, sebenarnya si ibu memakan tulang suaminya di


kehidupan lampau dan si putra menyantap daging ayahnya di
kehidupan lampau. Ketika melihat anjing memakan tulang ikan,
si putra menendangnya. Jadi, ia menendang makhluk yang
pernah menjadi ibunya. Sambil melakukannya, ia menggendong
bayi yang sangat disayanginya. Dan sesungguhnya, si bayi
adalah musuh besar keluarga ini di kehidupan lampau, yang
telah membunuh anggota keluarga si putra. Jadi, musuh keluarga
telah terlahir kembali sebagai anak dari si putra.

Inilah situasi yang dijelaskan oleh Sariputra. Beliau berkata,


“Memang benar! Kalau saja kita renungkan baik-baik, samsara
benar-benar sebuah lelucon besar!”

36
Semua Fenomena Komposit Berhakikat Ketidakkekalan

Seperti yang telah dibahas, tujuan praktisi motivasi kecil


adalah berperilaku dengan cara tertentu untuk memastikan
diri mereka memperoleh kelahiran yang baik di kehidupan
mendatang. Kita sudah melihat bahwa sebab utama kelahiran
yang baik adalah praktik sila yang baik, melaksanakan
kehidupan bermoral, dan menghindari ketidakbajikan. Ini akan
mengarahkan seseorang pada kelahiran sebagai manusia atau
dewa di dalam samsara.

Ada sebab-sebab tambahan yang penting untuk dilaksanakan


secara bersamaan agar kita bisa memastikan perolehan segala
kebutuhan hidup dalam kelahiran yang baru sebagai manusia.
Mempraktikkan sila akan menghasilkan tubuh manusia. Selain
itu, kita juga butuh berbagai benda untuk bertahan hidup sebagai
manusia, yakni kebutuhan dalam jumlah tertentu, misalnya
makanan, pakaian, tempat tinggal, dsb.

Jika tidak terus-menerus mempraktikkan kemurahan hati,


maka kita bisa saja terlahir sebagai manusia, namun manusia
yang sangat miskin, berhubung kita tak menciptakan sebab
bagi tingkat kemakmuran tertentu. Kita bisa melihat kebalikan
dari kondisi ini. Ada makhluk-makhluk yang mempraktikkan
kemurahan hati namun gagal menjaga sila dengan benar. Mereka
tak menghindari 10 ketidakbajikan (menghindari pembunuhan,
dsb). Apa akibatnya? Karena tak mempraktikkan sila, mereka tak
terlahir sebagai manusia atau dewa. Bisa jadi mereka terlahir
sebagai binatang.

Kita semua tahu ada orang-orang yang memelihara binatang


peliharaan di rumah, seperti anjing, kucing, burung, atau apa
saja. Seringkali binatang peliharaan ini disayang dan dirawat
dengan baik. Binatang peliharaan ini dibawa ke dokter hewan
ketika sakit, diberi makanan yang baik, dsb. Kelahiran yang

37
Empat Segel Agung

demikian merupakan gambaran yang sempurna dari seseorang


mempraktikkan kemurahan hati di masa lampau namun tak
menggabungkannya dengan sila.

Mereka gagal mempraktikkan sila sehingga terlahir di alam


rendah. Walaupun demikian, praktik kemurahan hati menjamin
bahwa mereka memiliki segala sesuatu yang dibutuhkan dalam
kelahiran mereka sebagai binatang. Mereka tak kelaparan, tubuh
mereka dijaga bersih, dirawat, dsb. Jadi, inilah akibatnya bila kita
gagal mempraktikkan sila, meskipun kemurahan hati dipraktikkan
dengan baik. Di sisi lain, kelahiran sebagai manusia yang sangat
miskin adalah akibat dari mempraktikkan sila namun melupakan
kemurahan hati. Inilah poin yang hendak saya tambahkan.

Menimbang situasi ini, bisa dikatakan bahwa kelahiran


sebagai manusia atau dewa masih belum ideal, berhubung kita
masih berada dalam samsara. Kita masih dikendalikan oleh
karma, yang pada gilirannya diciptakan oleh klesha: amarah,
kebencian, dsb. Selama masih diikat oleh karma dan klesha,
kita akan tetap berada dalam samsara. Kita adalah makhluk
samsarik. Dengan demikian, sekarang kiranya kita sanggup
melihat kebalikan dari hal ini, yaitu pembebasan dari samsara.

Pembebasan dari Samsara

Apa artinya pembebasan dari samsara? Pembebasan


adalah kondisi di mana seseorang telah memperoleh kebebasan
dari karma dan klesha. Begitu telah sepenuhnya membuang dan
menyingkirkan mereka dengan pasti, kita pun berhenti membuat
karma baru di bawah pengaruh klesha, yaitu karma untuk
terlahir kembali di dalam samsara. Inilah yang dimaksud dengan
memperoleh pembebasan. Kita bebas dari samsara. Kita tak lagi
harus mengambil kelahiran dalam samsara di bawah pengaruh

38
Semua Fenomena Komposit Berhakikat Ketidakkekalan

berbagai jenis karma dan klesha.

Oleh karenanya, tujuan praktisi tingkat menengah adalah


mencapai pembebasan sepenuhnya dari samsara. Tentu saja ini
merupakan tujuan yang lebih tinggi dibandingkan tujuan motivasi
kecil yang hanya menginginkan kelahiran yang baik di dalam
samsara. Meski demikian, tujuan motivasi menengah adalah
pembebasan samsara yang sifatnya pribadi. Mereka mencari
pembebasan sepenuhnya, namun hanya untuk dirinya sendiri.
Ini merupakan tujuan yang egois karena tidak mengikutsertakan
kesejahteraan makhluk lain.

Dengan memahami apa yang dimaksud dengan kelahiran


di dalam samsara berikut semua masalah yang menyertainya,
kita punya harapan yang kuat untuk membebaskan diri dari
kemungkinan buruk tersebut. Namun, pada tingkat menengah,
kita benar-benar hanya memikirkan diri sendiri. Kita tak
mengikutsertakan makhluk lain. Akan tetapi, di dalam evolusi
berpikir ini, sudah terkandung cara berpikir yang jauh lebih
panjang dibandingkan praktisi motivasi kecil yang tujuannya
hanya sekadar memastikan kelahiran yang baik di kehidupan
berikutnya atau beberapa kehidupan yang lain. Praktisi motivasi
kecil bahkan tak dapat membayangkan adanya tujuan meraih
pembebasan dari keseluruhan lingkaran samsara.

Jalan Motivasi Agung

Sekarang, bagaimana dengan praktisi motivasi agung?


Tujuan mereka jauh lebih tinggi dibandingkan dengan dua
praktisi sebelumnya. Mereka selangkah lebih jauh. Mereka
mengambil langkah besar. Mereka memahami bahwa hakikat
samsara adalah penderitaan dan ingin memperoleh pembebasan
darinya. Namun, mereka juga menyadari penderitaan makhluk

39
Empat Segel Agung

lain. Mereka memahami hal ini berdasarkan pengalaman mereka


sendiri, yaitu pemahaman bahwa makhluk lain juga bernasib
sama dengan mereka. Mereka ingin melakukan sesuatu yang bisa
menolong makhluk lain dari penderitaannya. Inilah sebabnya
tujuan mereka tak hanya menyasar pembebasan pribadi dalam
samsara, namun juga pencerahan sepenuhnya.

Niat Altruistik

Seperti yang tercermin dari namanya, yaitu praktisi


motivasi agung, maka niat mereka merupakan niat yang sangat
luas. Cara berpikir mereka jauh lebih luas dan menyeluruh
karena mereka memikirkan semua makhluk di dalam samsara
ketika mengaspirasikan kebahagiaan. Mereka menginginkan
kebahagiaan, namun mereka juga ingin agar semua makhluk
berbahagia.

Lebih lanjut, mereka bertekad bahwa semua makhluk


selayaknya mendapatkan kebahagiaan yang diinginkan. Mereka
menyadari penderitaan semua makhluk di dalam samsara
dan ingin melihat penderitaan mereka berakhir. Mereka
juga mengambil tanggung jawab pribadi untuk memastikan
penderitaan tersebut berakhir. Oleh karena itu, tujuan mereka
adalah tujuan yang altruistik, suatu tujuan yang menyasar
kemakmuran semua makhluk, bukan hanya segelintir orang.

Menyadari bahwa tujuan semua makhluk baru bisa dicapai


setelah mereka mengembangkan diri mereka—potensi pribadi di
dalam diri—mereka pun mengejar pencerahan atau Kebuddhaan
demi kepentingan makhluk lain. Inilah tujuan praktisi motivasi
agung. Praktik yang mereka lakukan disebut jalan motivasi
agung.

40
Semua Fenomena Komposit Berhakikat Ketidakkekalan

Kita telah membahas praktik spiritual atau praktik Dharma


yang terdiri dari 3 tingkat atau langkah utama. Awalnya adalah
cakupan yang paling sempit, yang menyasar kebahagiaan di
dalam samsara. Tingkatan selanjutnya jauh lebih luas, yaitu
keinginan untuk terbebas dari samsara, namun harapan tersebut
hanya diarahkan untuk diri sendiri. Tingkatan tertinggi yang bisa
dikembangkan dari cakupan yang kedua adalah harapan akan
kebahagiaan semua makhluk dan tekad untuk mencapainya.
Oleh karena itu, dalam praktik Dharma, ada 3 kemungkinan
dan semuanya terserah masing-masing individu untuk melihat
tingkatan mana yang sesuai dan tujuan mana yang paling relevan
dan berguna.

Pemikiran Tanpa Batas, Kebajikan Tak Terkira

Seperti yang telah dikatakan, ini adalah evolusi cara berpikir.


Pemikiran praktisi motivasi kecil lebih kecil karena cakupannya
jauh lebih sempit. Di sisi lain, cakupan praktisi motivasi menengah
lebih luas. Namun keduanya masih berada dalam kondisi egois,
dalam artian bahwa cakupan hanya diarahkan pada keuntungan
pribadi.

Berbicara mengenai praktisi motivasi agung, maka


cara berpikirnya sangat tak terbandingkan, karena dalam
kondisi ini seseorang tak hanya mencari keuntungan pribadi,
namun juga keuntungan semua makhluk. Kekuatan dari cara
berpikir ini sungguh tak terkatakan. Efek dari keinginan untuk
menguntungkan setiap makhluk, menyediakan kebahagiaan bagi
mereka, secara pribadi memastikan berakhirnya penderitaan
mereka, dsb harus dikalikan dengan jumlah makhluk yang
dibayangkan oleh pemikiran tersebut.

41
Empat Segel Agung

Ketika seseorang hanya memikirkan dirinya sendiri, ia tetap


bisa menciptakan karma baik. Jika cara berpikirnya benar, maka
seseorang bisa menghasilkan karma baik dari memikirkan tujuan
pribadi. Ini adalah sesuatu yang mungkin dan memang bisa
terjadi. Namun, taraf karma baik dan kebajikan yang dihasilkan
adalah setara dengan jumlah makhluk yang dibayangkan
oleh pemikiran. Dengan kata lain, jika yang dipikirkan adalah
keuntungan pribadi, maka kebajikan yang dihasilkan akan
sangat kecil.

Di sisi lain, ketika kita mengarahkan perhatian ke luar dan


menyasar kebahagiaan semua makhluk yang jumlahnya tak
terhingga, maka kekuatan dari cara berpikir tersebut dikalikan
jumlah makhluk yang kita pikirkan. Jadi, hasilnya akan teramat
sangat kuat! Oleh karenanya, kebajikan atau karma baik yang
kita hasilkan pun tak terhingga. Hasilnya tentu mengandung
konsekuensi yang sangat besar pula.

Barangkali ada orang yang membayangkan bahwa


memikirkan makhluk lain dan tak lagi memikirkan diri sendiri
akan menjadi kerugian, karena tujuan sendiri takkan tercapai.
Pemikiran seperti ini sungguh keliru. Ini tak benar sama sekali.
Dengan memiliki tujuan yang tak egois—tujuan yang altruistik—
kita akan memperoleh kebajikan yang besar. Dengan kebajikan
yang besar, dampaknya akan sangat positif bagi kita.

Maksudnya, jika seseorang berlatih untuk mencapai tujuan


semua makhluk, maka tujuan pribadinya juga sudah tercakup di
dalamnya. Tujuan-tujuan pribadi juga akan tercapai di sepanjang
perjalanan mencapai tujuan semua makhluk. Jadi, kita tak perlu
mengkhawatirkan diri sendiri. Begitu kita benar-benar mulai
memikirkan semua makhluk, maka tujuan kita sendiri akan tercapai

42
Semua Fenomena Komposit Berhakikat Ketidakkekalan

secara alamiah. Di dalam istilah ‘semua makhluk,’ kita juga sudah


termasuk di dalamnya.

Jika memang ingin mempraktikkan Dharma, mengapa


tidak membuat praktik kita seefektif mungkin? Seperti yang telah
dibahas, kita bisa membuat praktik spiritual menjadi lebih kuat
dan efektif dengan melibatkan semua makhluk dalam tujuan
kita meraih kebahagiaan, yaitu dengan memasukkan mereka ke
dalam aspirasi kebahagiaan dan pelenyapan penderitaan kita.

Namun, kita mungkin bertanya-tanya apa alasan di balik


pemikiran seperti ini. Mengapa harus repot-repot memikirkan
pihak lain? Ada berbagai alasan. Sebagai permulaan, dalam
artian tertentu, kita harus melihat bahwa kita dan semua makhluk
pada dasarnya sama. Kita semua sama dalam artian sama-sama
ingin bahagia dan tak ingin menderita dalam bentuk apa pun.
Tujuan ini bukan tujuan kita sendiri saja. Sesungguhnya, setiap
makhluk memiliki aspirasi kebahagiaan yang sama persis dengan
yang kita miliki. Karena itulah kita semua setara. Oleh karena
itu, sangatlah logis untuk memasukkan mereka dalam aspirasi
kebahagiaan kita. Ini satu alasan.

Ada alasan lain juga. Kalau kita merenungkan kelahiran


kembali, kita akan sadar bahwa kita telah mengambil kelahiran
berulang-ulang kali. Kita memiliki kelahiran lampau yang tak
terhitung, dan di setiap kehidupan ini, kita memiliki seorang
ayah dan seorang ibu. Dengan demikian, kita harus menyadari
bahwa kita pernah menjadi anak dari setiap makhluk yang ada.
Artinya, setiap makhluk di sekeliling kita pernah menjadi ibu
atau ayah kita, pernah merawat, membesarkan, mencintai dan
melakukan segalanya demi kita. Dengan demikian, kita telah
berutang banyak kepada mereka. Ini adalah sesuatu yang perlu
kita sadari.

43
Empat Segel Agung

Setelah menyadarinya dengan lebih baik, maka kesadaran


tersebut akan secara spontan dan alamiah menginspirasi kita
untuk membalas kebaikan semua makhluk. Cara terbaik untuk
membalas jasa mereka adalah dengan menolong mereka meraih
tujuan yang mereka cari, yaitu tujuan yang sama dengan milik
kita: kebahagiaan. Jadi, jika kita ingin melakukan sesuatu yang
benar-benar bermanfaat bagi mereka, tolonglah mereka untuk
menemukan kebahagiaan yang mereka cari. Inilah alasan
lain untuk memahami pentingnya memikirkan kesejahteraan
makhluk lain dan berupaya mewujudkan harapan tersebut.

Mari kita ulas lebih mendalam ihwal fakta bahwa semua


makhluk pernah menjadi ibu dan ayah kita di masa lampau.
Ada berbagai cara untuk memahaminya, antara lain melalui
penalaran logis serta rujukan pada teks dan kata-kata Buddha.
Dengan menggunakan penalaran logis, bagaimana cara
memahami hubungan yang kita miliki dengan makhluk lainnya?

Kita harus menyadari bahwa kita berada di dalam samsara


dan telah mengambil kelahiran sejak waktu tak bermula. Frase
‘sejak waktu tak bermula’ berarti bahwa tak ada satu titik waktu
di mana kita bisa menentukan asal-mula kita; sebuah titik tolak di
mana rangkaian kelahiran kita bermula. Sebenarnya, kita telah
lahir sejak waktu tak bermula dan untuk waktu yang sangat lama,
sehingga bisa dibilang kondisi ini telah berlangsung selama-
lamanya. Karenanya, kita memiliki jumlah kehidupan yang tak
terhitung di masa lampau, dan di setiap kehidupan tersebut kita
tentu memiliki orang tua.

Kalau dilihat dari betapa banyaknya jumlah kehidupan


lampau yang pernah kita dapatkan, pastilah semua makhluk
pernah menjadi orang tua kita. Dengan menyadari jumlah
kehidupan tak terhitung yang kita miliki di masa lampau,

44
Semua Fenomena Komposit Berhakikat Ketidakkekalan

masing-masing makhluk pasti sudah pernah menjadi orang


tua kita; Tidak hanya sekali, namun berkali-kali. Demikianlah
caranya kita bisa memahami kenyataan bahwa setiap makhluk
merupakan ibu atau ayah kita.

Kita bisa saja menolak pernyataan di atas ketika bertemu


seseorang yang memiliki hubungan sangat buruk dengan kita
dalam kehidupan sekarang, misalnya seseorang yang—apa pun
alasannya—kita anggap sebagai musuh besar. Kita mungkin
merasa mustahil bahwa orang ini pernah menjadi ibu yang kita
cintai di masa lampau. Rasanya tidak mungkin demikian. Kita
mungkin bertahan dengan pendapat ini, namun kita tetap harus
melihat logika di balik pernyataan bahwa setiap makhluk sudah
pernah menjadi ibu atau ayah kita. Logika yang mendasari
pernyataan tersebut merupakan sesuatu yang sangat penting
untuk disadari.

Kita juga perlu menyadari implikasi pernyataan tersebut


dengan mengamati ayah dan ibu kita di kehidupan saat ini.
Orang tua kita sudah benar-benar melakukan yang terbaik untuk
merawat kita. Mereka melakukan apa pun yang mereka bisa
untuk membahagiakan kita, menjaga agar kita bisa tetap hidup,
memberi kita pendidikan, dsb. Dengan kemampuan terbaiknya,
mereka sudah merawat kita dengan sangat hati-hati. Ini berlaku
bagi semua ibu dan ayah kita di kehidupan lampau. Kita sudah
mengalami kebaikan hati mereka yang besar—sesuatu yang
harus bisa kita kenali.

Dengan mengenali kebaikan hati semua makhluk, maka


kualitas paling alamiah dari seorang manusia adalah keinginan
untuk membalas kebaikan tersebut. Ini merupakan kualitas
dasar manusia. Jika seseorang baik kepada kita, maka sudah
selayaknya kita ingin membalas kebaikannya. Setiap orang akan

45
Empat Segel Agung

menganggap sikap tersebut sebagai kualitas dasar manusia,


suatu sikap yang harus kita miliki terhadap semua makhluk yang
telah menjadi ibu dan ayah kita di masa lampau.

Apa cara terbaik untuk memenuhi harapan kita menolong


makhluk lain? Apa yang paling bermakna bagi mereka? Caranya
adalah menolong mereka mencapai apa yang paling mereka
inginkan, yaitu meraih kebahagiaan dan mengakhiri penderitaan.

Begitu telah mencapai poin ini dalam cara berpikir kita, yaitu
mengembangkan perasaan kedekatan dan rasa sayang yang
besar terhadap semua makhluk dan keinginan untuk membalas
kebaikan yang telah mereka tunjukkan, maka kita harus bertanya
kepada diri sendiri: “Apakah saya benar-benar bisa memberikan
apa yang mereka inginkan? Apakah saya benar-benar sanggup
mengambil dan memenuhi tanggung jawab tersebut dan
memastikan bahwa semua makhluk menemukan kebahagiaan
dan mengakhiri penderitaan mereka?”

Kalau melihat kondisi sekarang, kita harus mengakui bahwa


kemampuan kita cukup terbatas. Meskipun demikian, kita
memiliki kapasitas. Kita memiliki kekuatan. Kita mengarahkan
batin pada pemikiran bahwa kita memiliki kemampuan untuk
menjadi makhluk sempurna, seorang makhluk tercerahkan—
seorang Buddha. Kita melihat bahwa jika kita mencapai keadaan
tersebut, maka kita akan memiliki kapasitas yang sebenarnya
untuk memenuhi tujuan semua makhluk dengan efektif. Kita
akan sanggup mendapatkan cara-caranya, kekuatan untuk
benar-benar melakukan sesuatu demi menolong makhluk lain.

Harapan ini, yakni keinginan atau aspirasi untuk meraih


pencerahan, memiliki sebuah istilah. Dalam bahasa Sanskerta,
ia disebut bodhicita. Jika kita ingin menerjemahkannya,

46
Semua Fenomena Komposit Berhakikat Ketidakkekalan

bodhicita berarti batin pencerahan, aspirasi spontan untuk


meraih pencerahan yang digerakkan oleh cinta kasih dan welas
asih pada semua makhluk. Pemikiran yang sangat mulia ini
membawa manfaat yang besar. Tidak ada harapan yang lebih
baik lagi ketimbang harapan ini karena ia butuh usaha besar dan
harus melalui penghalang besar agar bisa mencapai pencerahan
demi kebaikan semua makhluk.

Tidak ada pemikiran yang lebih baik dan lebih tinggi


dibandingkan pemikiran yang satu ini. Inilah yang diajarkan
oleh Buddha sebagai cara berpikir terbaik dan termulia yang
bisa dibayangkan oleh seseorang. Namun, kita mungkin ragu.
Kita mungkin bertanya kepada diri sendiri: “Apakah saya benar-
benar mungkin menjadi seorang Buddha? Apakah ini adalah
tujuan yang realistis?”

Buddha mengajarkan bahwa hal ini mungkin terjadi.


Setiap makhluk yang ada di dunia ini memiliki potensi untuk
merealisasikan Kebuddhaan. Tidak ada pengecualian. Inilah
yang disebut hakikat Kebuddhaan, yang dalam bahasa Sanskerta
disebut Tathagatagarbha. Pada tahapan saat ini, ia adalah sebuah
potensi, sebuah benih. Namun, jika kita melakukan segala yang
benar-benar dibutuhkan, jika kita mengerahkan energi yang
dibutuhkan, maka kita dapat mengaktifkan potensi tersebut.

Kita dapat mengembangkan potensi ini untuk mencapai


tujuan kita. Namun, hal ini tentunya tak mudah. Ia bukanlah
sesuatu yang bisa dicapai dalam waktu satu malam. Meski begitu,
kita memiliki potensi untuk mencapainya. Jika kita mengeluarkan
usaha yang dibutuhkan, kita pastinya mampu menjadi seorang
Buddha demi kepentingan makhluk lain.

47
Empat Segel Agung

Yang telah dijelaskan hingga tahapan ini adalah arti dari


praktik Dharma. Poin ini terkait dengan segel pertama, yaitu
‘semua fenomena komposit berhakikat ketidakkekalan.’ Kalau kita
mengamati ketidakkekalan yang kasar secara lebih mendalam—
yang pada dasarnya merujuk pada kepastian kematian kita
sendiri dan ketidakpastian waktu kematian kita—kita akan sadar
bahwa satu-satunya hal yang berguna adalah praktik spiritual
yang kita miliki. Poin ini akan menuntun ke penjelasan ihwal
apa itu praktik spiritual yang sesungguhnya serta apa saja yang
terkandung di dalamnya.

48
Semua Fenomena Tercemar Berhakikat Penderitaan

3
Semua Fenomena Tercemar
Berhakikat Penderitaan

M ari kita lihat segel yang kedua, yaitu ‘semua fenomena


tercemar berhakikat penderitaan.’ Ada dua istilah utama
dalam ungkapan ini, yaitu ‘fenomena tercemar’ dan ‘penderita-
an.’ Keduanya adalah pokok pikiran utama dalam frase ini.

Pertama-tama, apa maksudnya ‘tercemar’? Ia merujuk pada


sesuatu yang dihasilkan oleh klesha. Sesuatu yang dihasilkan oleh
klesha adalah sesuatu yang tercemar. Kita berbicara mengenai
karma dan klesha, namun yang lebih spesifik dari keduanya
adalah klesha. Oleh karena itu, semua yang dihasilkan oleh
klesha adalah fenomena tercemar.

Tidak berarti bahwa mereka benar-benar buruk, karena


di antara fenomena tercemar, kadang-kadang ada hasil yang
baik dan hasil yang buruk. Kita semua memiliki kebajikan dan
ketidakbajikan. Perhatikan kehidupan kita sekarang. Boleh
dibilang kehidupan kita ini adalah kehidupan yang sangat baik.

49
Empat Segel Agung

Meskipun bersifat samsarik, kehidupan kita masih sangat positif.


Hidup ini mengandung banyak kemungkinan. Hidup ini adalah
buah dari kebajikan; berkat kemurnian praktik sila yang kita
jalani, kita memperoleh kelahiran yang baik sebagai manusia.
Walau demikian, kelahiran ini masih berasosiasi dengan klesha
yang ada di dalam diri kita. Mereka adalah bagian dari kita.
Karena itu, ketika membicarakan fenomena tercemar, jangan
bayangkan bahwa mereka hanya merujuk pada hal-hal negatif.
Hal ini kurang tepat, karena fenomena tercemar juga bisa
termasuk hal-hal bajik.

Terkait fenomena tercemar, sekali lagi kita bisa menggunakan


analogi dunia yang kita tinggali dan kita sebagai penghuninya.
Keduanya adalah hal yang tercemar. Kita tinggal di dunia ini
karena karma kita untuk tinggal di dalamnya. Pada dasarnya,
kita berbicara mengenai karma, yaitu karma pribadi kita dan
karma yang kita bagi bersama orang lain. Karma bersama
adalah karma seseorang yang serupa dengan orang lain. Karma
ini terpisah namun serupa. Semua penghuni dunia ini berbagi
karma yang sama, yaitu karma untuk tinggal di dunia ini.

Yang menghasilkan karma ini haruslah sesuatu yang


berhubungan dengan klesha. Oleh karena itu, dunia yang kita
tinggali sekarang dikatakan sebagai fenomena tercemar. Lebih
jauh lagi, ini berarti dunia ini tak diciptakan oleh seorang makhluk
yang lebih tinggi, seorang pencipta. Buddhadharma memberikan
pemahaman bahwa dunia yang kita tinggali sekarang berasal
dari karma semua makhluk yang tinggal di dalamnya.

Fenomena tercemar pada dasarnya diartikan sebagai


sesuatu yang dihasilkan oleh klesha dan karma yang muncul
darinya. Namun, di dalam fenomena tercemar ada hal yang baik
dan buruk. Ada kebajikan dan juga ketidakbajikan.

50
Semua Fenomena Tercemar Berhakikat Penderitaan

Pertanyaan: Apa contoh sebuah kebajikan yang tercemar?


Jika sesuatu muncul dari klesha, bagaimana ia bisa menjadi
sesuatu yang bajik?

Jawaban: Pada dasarnya, ini adalah permasalahan


mengenai ketidaktahuan dasar yang selalu ada di dalam diri
kita. Terlepas dari kenyataan ini, kita tetap bisa menghasilkan
kebajikan. Contoh yang sudah diberikan di awal adalah
mempraktikkan sila yang baik. Kalau kita memiliki moralitas
yang baik, maka kita mempraktikkan sila dengan baik.
Kita mampu melakukannya meskipun kita masih memiliki
kebodohan batin. Praktik moralitas adalah kebajikan, tetapi ia
masih tercemar karena berasosiasi dengan ketidaktahuan dasar.
Yang harus diingat adalah: cepat atau lambat, segala sesuatu
yang tercemar harus ditolak, dihilangkan, dan disingkirkan. Di
masa yang akan datang, kita harus menyingkirkannya. Namun,
dalam jangka pendek, kita masih membutuhkannya. Kita butuh
mempraktikkan sila yang dicemari oleh ketidaktahuan agar kita
bisa memiliki kelahiran yang baik. Mengapa kita butuh kelahiran
yang baik? Agar kita bisa melanjutkan praktik spiritual yang
sudah dimulai pada kehidupan saat ini. Jika kita belum berhasil
mencapai tujuan dalam kehidupan sekarang, kita butuh kelahiran
yang baik untuk melanjutkan tujuan yang sama. Untuk itulah
kita butuh kebajikan yang tercemar ini, yaitu praktik sila untuk
menghasilkan kelahiran kembali yang baik. Meskipun demikian,
dalam jangka panjang, fenomena tercemar ini harus disingkirkan
untuk meraih pembebasan sepenuhnya. Artinya, kita harus
sepenuhnya menyingkirkan semua klesha yang mencemari kita
berikut semua karma yang dihasilkan olehnya.

Telah dijelaskan bahwa segala sesuatu yang tercemar harus


ditolak dan segala sesuatu yang tak tercemar—tak dipengaruhi

51
Empat Segel Agung

oleh karma dan klesha—harus diraih. Apa logika di baliknya?


Mengapa kita perlu menyingkirkan segala hal yang tercemar?
Karena hakikat mereka adalah penderitaan. Tidak ada orang
yang mau menderita. Sekarang kita akan membahas lebih
mendalam tentang penderitaan dan hakikat penderitaan.

Berbagai Jenis Penderitaan

Kita semua memahami bahwa penderitaan yang nyata,


contohnya duri yang menusuk jari, menyebabkan kita merasakan
sakit. Ini adalah bentuk penderitaan paling nyata yang bisa
dikenali oleh seseorang sebagai penderitaan. Penderitaan
yang nyata cukup sederhana. Ia merupakan perasaan yang
menyakitkan—fisik maupun mental.

Namun, ada hal lain yang juga disebut penderitaan dalam


Buddhadharma. Salah satunya adalah kategori kedua dari
penderitaan yang disebut ‘penderitaan akibat perubahan.’ Apa
maksudnya? Inilah yang disebut perasaan menyenangkan.
Dengan kata lain, penderitaan akibat perubahan merujuk pada
perasaan menyenangkan.

Bayangkan jika kita tak mendapatkan makanan untuk


waktu yang cukup lama. Kita pasti akan sangat lapar sampai kita
merasa sangat lemah. Pada akhirnya kita berhasil mendapatkan
makanan, lalu kita melahapnya. Kelaparan pun reda dan kita
merasa lebih baik. Ini adalah sensasi menyenangkan. Perasaan
menyenangkan ini merupakan akibat dari kebajikan. Setiap
perasaan menyenangkan yang kita miliki merupakan akibat
dari kebajikan. Kita harus bisa menyadari hal ini. Namun,
apakah perasaan menyenangkan ini adalah kebahagiaan yang
sebenarnya? Apakah ini adalah kebahagiaan yang sejati?
Jawabannya: TIDAK.

52
Semua Fenomena Tercemar Berhakikat Penderitaan

Sesungguhnya, perasaan menyenangkan dikatakan sebagai


bentuk penderitaan yang menyamar. Mengapa demikian?
Karena jika memakan makanan benar-benar merupakan sumber
kebahagiaan, maka logikanya kita akan merasa lebih baik jika
makan semakin banyak. Namun, kita semua paham bahwa
semakin banyak kita makan, kita malah akan merasa sakit.
Jadi, sekarang sudah semakin jelas bahwa menyantap makanan
bukanlah sumber kebahagiaan yang sebenarnya.

Hal yang sama berlaku untuk semua perasaan


menyenangkan yang kita alami. Sebagai hasil dari kebajikan,
mereka kelihatannya menyenangkan. Namun, semua ini
bukanlah perasaan menyenangkan yang sesungguhnya. Justru
sebaliknya, mereka adalah bentuk penderitaan yang menyamar,
yang disebut ‘penderitaan akibat perubahan.’

Berikutnya ada kategori penderitaan ketiga, yang disebut


‘penderitaan yang meresap ke mana-mana.’ Apa maksudnya?
Ini merujuk pada skandha yang tercemar. Skandha adalah istilah
teknis yang digunakan oleh Buddha untuk menjelaskan tubuh dan
batin kita. Kita memiliki skandha bentuk (merujuk pada tubuh),
skandha perasaan (merujuk pada perasaan), skandha identifikasi
(merujuk pada kemampuan batin untuk membedakan benda
yang satu dengan lainnya), skandha faktor-faktor pembentuk
(merujuk pada faktor-faktor mental), dan skandha kesadaran
(merujuk pada batin utama kita). Pada dasarnya, setiap makhluk
memiliki semua skandha ini.

Ketika semua skandha ini dihasilkan oleh karma dan klesha,


mereka dikatakan ‘tercemar.’ Segala sesuatu yang dihasilkan oleh
karma dan klesha adalah tercemar. Mereka juga dikategorikan
sebagai sesuatu yang ‘didapatkan,’ karena mereka muncul dari
sikap mencengkeram. Istilah teknisnya di sini adalah skandha

53
Empat Segel Agung

didapatkan yang tercemar. Ini adalah sesuatu yang dimiliki


oleh semua makhluk di dalam samsara. Skandha didapatkan
yang tercemar berhakikat penderitaan, namun mereka bukan
penderitaan itu sendiri. Meski begitu, dengan skandha tercemar
ini sebagai basis, kita berpotensi untuk menderita dalam setiap
momen keberadaan (eksistensi) kita.

Semua penderitaan muncul karena skandha-skandha ini.


Tubuh dan batin kita dihasilkan oleh karma dan klesha. Oleh
karenanya, dalam setiap momen keberadaan kita, ada potensi
untuk menderita. Ini berlaku untuk semua bentuk kehidupan di
dalam samsara, termasuk manusia dan bahkan bentuk kehidupan
yang lebih tinggi (kamaloka, rupaloka, arupaloka), dengan para
penghuninya yang hampir selalu berada dalam konsentrasi
mendalam. Mereka tak memiliki penderitaan yang berwujud
karena kondisi konsentrasi mereka. Mereka juga tak mengalami
penderitaan akibat perubahan. Namun, karena masih berada di
dalam samsara dan memiliki skandha-skandha tercemar, mereka
berpotensi untuk menderita. Dari ketiga jenis penderitaan,
penderitaan yang meresap ke mana-mana dikatakan sebagai
yang paling buruk.

Sesi Tanya-jawab I

Tanya: Sebelumnya, bangunan dirujuk sebagai contoh fenomena


fisik, dengan bahan material sebagai sebab utama serta pekerja
dan peralatannya sebagai sebab pendukung. Di dalam kategori
fenomena mental, apa contoh untuk sebab utama dan sebab
pendukung?

Jawab: Ambil contoh kesadaran penglihatan, yaitu kesadaran


mata ketika batin sedang melihat sesuatu. Ketika kita memiliki
kesadaran penglihatan, apa sebab utamanya? Pertama-tama, ia

54
Semua Fenomena Tercemar Berhakikat Penderitaan

merupakan kesadaran di momen sebelumnya. Ketika kita mulai


memiliki kesadaran penglihatan yang baru, maka sebabnya
adalah potensi untuk memiliki kesadaran penglihatan. Ini seperti
sebuah jejak, namun bukan jejak karma, melainkan sebuah
potensi yang kita miliki, yang berasosiasi dengan batin. Dan
potensi ini menjadi aktif sehingga menghasilkan kesadaran
penglihatan yang baru.

Ketika kita memiliki kesadaran penglihatan, ketika kita


melihat sesuatu, maka kita memiliki serangkaian momen
dari kesadaran penglihatan. Ketika kita melihat sesuatu, kita
melihatnya untuk beberapa saat. Seperti yang telah dijelaskan,
sebuah momen sangat singkat sekali. Begitu pula, kesadaran
kita adalah seperti segala sesuatu yang tak kekal, yang berubah
dari momen ke momen. Jadi, setiap momen kesadaran kita
adalah sebab utama bagi momen kesadaran selanjutnya dalam
rangkaian ini. Demikianlah cara memahami sebab utama ini.

Berikutnya, apa yang menjadi sebab pendukungnya? Ada


banyak kemungkinan. Ada objek yang kita lihat—jika tak ada
objek, maka tak ada kesadaran penglihatan. Objeknya bisa
berupa apa saja: warna, bentuk, dsb. Ada indra penglihatan;
bukan kesadaran indra, namun organ mata itu sendiri. Jika mata
kita tak berfungsi, kita takkan memiliki kesadaran penglihatan.
Sebab pendukung lainnya adalah momen sebelumnya dari
kesadaran yang berlangsung sebelum momen baru dari
kesadaran muncul.

Seperti yang kita ketahui, batin kita seperti rangkaian


momen kesadaran. Ketika sebuah kesadaran penglihatan muncul,
ia didahului oleh jenis kesadaran yang lain; ia bisa berupa
kesadaran pendengaran, dll. Apapun itu, karena ia ada, maka
ia juga berkontribusi dalam kemunculan kesadaran penglihatan

55
Empat Segel Agung

yang baru; ia merupakan bagian dari proses. Ini adalah contoh


lain dari sebab pendukung.

Tanya: Dalam kasus kelahiran kembali, dapatkah kita mengatakan


bahwa karma adalah sebab utama dan klesha adalah sebab
pendukung? Bagaimana mereka berinteraksi?

Jawab: Tidak. Sebab utama untuk kelahiran kembali adalah


momen kesadaran sebelumnya. Seperti yang kita ketahui, antara
kelahiran yang satu dengan yang lainnya, ada periode antara,
yaitu alam bardo. Jadi, adalah momen terakhir dari kesadaran
makhluk dalam alam bardo yang bertindak sebagai sebab
utama dari momen pertama kesadaran di kehidupan yang baru.
Sebab pendukungnya adalah karma yang melempar makhluk
atau kesadaran ke kehidupan barunya, berikut klesha yang
mengaktifkan karma tersebut.

Tanya: Apa yang menjadi sebab atau penentu waktu kematian


kita? Siapa sebenarnya yang menentukan bentuk kelahiran
kembali seseorang? Misalnya, sebelumnya disebutkan tentang
seorang nelayan yang menjadi ikan. Mengapa ia tak bisa
memutuskan untuk menjadi ikan di kolam yang lain daripada di
kolam tempat ia lahir kembali saat itu, yang akhirnya berujung
pada dimakannya ia oleh anggota keluarganya?

Jawab: Faktor yang menentukan waktu kematian kita, pertama-


tama, adalah masa hidup atau umur kita. Sebab pertama dari
kematian adalah habisnya masa hidup kita. Ketika kita lahir,
sebabnya adalah karma tertentu yang telah matang. Ia disebut
karma pelempar karena merupakan karma yang melemparkan
kita ke kehidupan yang baru. Jadi, karma pelempar inilah yang
menghasilkan kehidupan baru kita. Ia membawa masa hidup
tertentu. Ketika terlahir dalam kehidupan tertentu, kita terlahir

56
Semua Fenomena Tercemar Berhakikat Penderitaan

dengan masa hidup yang pasti. Bisa jadi 5 tahun, 50 tahun, 100
tahun, atau berapa pun itu. Umur ini ditentukan oleh karma
yang melempar kita ke dalam kehidupan tersebut. Jadi, habisnya
masa hidup merupakan salah satu sebab kematian.

Kemudian, yang kedua, ada poin mengenai kebajikan.


Untuk bertahan hidup, kita butuh sejumlah kondisi tertentu
dan semua ini dipenuhi oleh himpunan kebajikan yang dibawa
dalam kehidupan kita. Seseorang bisa saja kehabisan kebajikan,
yang misalnya bermakna bahwa kita tak lagi bisa menemukan
makanan atau tempat berteduh. Atau, kita tak bisa mendapatkan
perawatan medis atau bentuk perawatan lainnya. Hal tersebut
bisa mengarah pada kematian. Jadi, ini adalah faktor kedua.

Yang ketiga adalah kombinasi antara keduanya, di mana


baik masa kehidupan maupun kebajikan kita telah habis. Ini pun
bisa mengakibatkan kematian.

Ada juga kemungkinan di mana masa hidup kita telah


habis, namun kebajikan kita belum. Dalam kasus ini, kita bisa
saja sedikit memperpanjang kehidupan dengan praktik tertentu,
dan karenanya, kita bisa hidup sedikit lebih lama daripada
yang disangka. Sebaliknya, bisa juga ada kasus di mana masa
hidup belum habis namun kebajikan sudah habis. Ini juga bisa
menyebabkan kematian.

Kita memasuki kehidupan baru dengan kumpulan kebajikan


tertentu yang dihasilkan oleh karma baik. Jika dalam kehidupan
tersebut kita menghabiskan kebajikan dan tak berusaha
mengumpulkan kebajikan baru, maka simpanan kebajikan kita
bisa habis sebelum hidup kita berakhir. Dengan kata lain, jika kita
memiliki kumpulan kebajikan tertentu untuk menikmati banyak
hal, seperti memiliki baju yang bagus, bersenang-senang, dsb,

57
Empat Segel Agung

namun memakai semua kenikmatan ini secara berlebihan, kita


bisa dengan cepat menghabiskan himpunan kebajikan. Sejalan
dengan itu, jika kita tak menghasilkan lebih banyak kebajikan,
kita bisa menghabiskan simpanan kebajikan kita, dan ini bisa
mengakibatkan kematian yang tak pada waktunya.

Dalam kasus seperti ini, kita masih memiliki masa hidup


atau karma untuk hidup lebih lama, namun kita sudah kehabisan
kebajikan. Ini adalah sebuah kemungkinan. Namun, bahkan jika
kita menghabiskan kebajikan, ini tak harus berarti kematian,
karena kita bisa menghasilkan kebajikan yang baru. Akan tetapi,
untuk kemungkinan ketiga, ketika masa hidup dan kebajikan
kita sama-sama habis, maka situasinya sudah pasti. Tak ada lagi
yang bisa dilakukan untuk mengubahnya, dan kita harus mati.

Tanya: Jadi, siapa yang memutuskan kelahiran seperti apa yang


akan dialami seseorang?

Jawab: Pada dasarnya, bukan siapa yang memutuskan jenis


kelahiran seperti apa, namun apa yang memutuskan. Ia bukan
seorang makhluk, tapi sesuatu hal; ia adalah karma kita, jejak
karma kita.

Segala sesuatu yang dilakukan di dalam kehidupan kita


meninggalkan jejak dalam arus batin, yang disebut jejak karma.
Bergantung pada hakikat dari tindakan tersebut—tindakan fisik,
ucapan, maupun mental—maka jejak karma akan menjadi baik,
buruk, atau netral, dan berpotensi untuk menghasilkan akibat
yang baik (berupa kebahagiaan), akibat yang buruk (berupa
penderitaan), atau akibat yang netral.

Bagaimana prosesnya? Sepanjang hidup, kita berperilaku


dalam berbagai cara. Kita menghasilkan kebajikan, pikiran baik,
pikiran buruk, dsb. Setiap kali hal tersebut terjadi, ia menimbulkan

58
Semua Fenomena Tercemar Berhakikat Penderitaan

jejak atau benih potensial dalam arus batin kita. Kelahiran kita
selanjutnya bergantung pada benih mana dalam arus batin yang
diaktifkan atau matang menjelang kematian kita.

Proses seleksinya berlangsung selama momen akhir


dari kesadaran berpikir kita sebelum meninggal. Jika pikiran
akhirnya positif, maka ia akan mengaktifkan sebuah karma yang
serupa dengannya, yaitu karma bajik. Karma tersebut akan
mengaktifkan dan merangkai proses yang akan mengarahkan
kita menuju kematian dan kemudian kelahiran yang baik.
Sebaliknya, jika pikiran akhirnya negatif, maka pikiran tersebut
akan mengaktifkan karma buruk dan merangkai sebuah proses
menuju kelahiran yang buruk.

Sayangnya, proses ini tak menghiraukan jenis kehidupan


seperti apa yang kita miliki sebelum kematian. Namun, yang
sering terjadi adalah: jika kita terbiasa dengan kehidupan yang
baik dan menghasilkan banyak karma bajik, maka melalui
kekuatan pembiasaan, kita akan memiliki pikiran yang bajik
dalam momen akhir hidup kita. Inilah yang akan mengaktifkan
karma baik. Namun, kita takkan pernah tahu apa yang akan
terjadi selama seseorang masih memiliki karma buruk.

Jadi, masih ada kesempatan bagi salah satu dari karma


buruk tersebut untuk diaktifkan oleh berbagai klesha yang
muncul di dalam batin kita menjelang kematian. Kebalikannya
juga berlaku. Seseorang bisa saja berperilaku sangat buruk di
sepanjang hidupnya, namun ia beruntung menghasilkan pikiran
yang bajik di momen akhir hidupnya. Ini akan mengaktifkan
karma baik yang sudah dihasilkannya pada suatu waktu di masa
lalu, yang bisa saja terjadi di kehidupan lampaunya (tak harus
selalu dilakukan di kehidupan saat ini). Karma tersebut matang
dan menghasilkan kelahiran yang baik. Tetapi, bukan berarti

59
Empat Segel Agung

karma buruk yang telah mereka hasilkan di kehidupan sekarang


hilang begitu saja. Jika tak ada yang dilakukan terhadap karma
buruk ini, mereka akan berbuah di kemudian hari. Kita tak bisa
berpikir bahwa tindakan kita bisa bebas dari akibat, karena
bukan begitu cara kerjanya.

60
4
Semua Fenomena
Tak Berdiri Sendiri

S ekarang kita sampai pada segel ketiga, yaitu ‘semua fenome-


na tak berdiri sendiri.’ Untuk mengetahui bagaimana kita bisa
sampai pada segel ketiga, kita perlu dengan ringkas mengulang
kembali poin pertama, yaitu ‘semua fenomena komposit berhaki-
kat ketidakkekalan.’ Alasan kita mulai dengan poin ini adalah un-
tuk memungkinkan kita bergerak dari perkembangan jalan spiritual
yang paling awal, yaitu dalam rangka mengatasi kemelekatan yang
besar pada kehidupan sekarang. Salah satu cara terbaik untuk men-
gatasi kemelekatan yang kuat terhadap segala sesuatu yang ber-
hubungan dengan kehidupan saat ini adalah dengan menyadari
bahwa mereka tak abadi, berhubung kematian kita—bentuk keti-
dakkekalan paling kasar—adalah pasti.

Ketidakkekalan yang halus juga merupakan penawar yang


baik karena kita bisa memahami bahwa segala sesuatu yang
sangat kita sukai sesungguhnya tak bisa diandalkan karena alasan
yang sederhana: mereka tak stabil. Mereka berubah dari waktu ke
waktu. Ketika memahami bahwa segala sesuatu yang sangat kita
lekati sesungguhnya berubah dari momen ke momen dan benar-
benar tak stabil, ini akan membantu kita mengatasi kemelekatan

61
Empat Segel Agung

terhadap benda-benda di kehidupan saat ini. Itulah sebabnya


kita mulai dengan memeditasikan 2 bentuk ketidakkekalan untuk
menolong kita agar tak lagi melekat pada kehidupan saat ini.

Langkah selanjutnya adalah berpikir: bagaimana dengan


kemelekatan pada kehidupan mendatang? Begitu kita telah
meraih pemahaman bahwa kehidupan mendatang lebih penting
daripada kehidupan sekarang, kita bisa berkata kepada diri
sendiri, “Ya, mendapatkan kehidupan yang baik di kelahiran
mendatang sangatlah baik, namun kelahiran tersebut juga tak
kekal dan saya akan tetap berada di dalam samsara. Apa artinya?
Artinya, kehidupan saya dan segala sesuatu yang saya lakukan
masih dikondisikan oleh karma dan klesha, yang berarti saya dan
segala sesuatu yang terkait dengan saya adalah tercemar.” Inilah
yang dimaksud dalam segel kedua, bahwa ‘semua fenomena
tercemar berhakikat penderitaan.’

Seperti yang telah dijelaskan, ‘tercemar’ berarti dikondisikan


oleh karma dan klesha kita. Ketika dikatakan bahwa fenomena
tercemar berhakikat penderitaan, pernyataan ini mengajak kita
untuk berpikir. Maksudnya, sekali pun kita memperoleh kelahiran
yang baik di kehidupan mendatang, kita masih harus menderita.
Kita takkan bebas dari penderitaan karena kita harus menghadapi
berbagai masalah. Pencarian solusi untuk membebaskan diri
sepenuhnya dari semua situasi ini akan mengarahkan kita pada
poin ketiga.

Kita mungkin berkeinginan untuk membebaskan diri sendiri,


namun kita harus bertanya: “Bagaimana cara melakukannya?
Bagaimana cara mencapai pembebasan dari karma dan klesha
kita?” Ingatlah bahwa karma negatif kita muncul karena klesha.
Oleh karena itu, yang harus benar-benar dihadapi adalah sebab
akarnya, yaitu klesha. Dari semua klesha, yang paling utama

62
Semua Fenomena Tak Berdiri Sendiri

adalah ketidaktahuan, sebentuk kebodohan yang memunculkan


semua bentuk klesha lainnya.

Satu-satunya cara untuk menyingkirkan ketidaktahuan—


kebodohan yang meyakini bahwa segala sesuatu berdiri dengan
sendirinya, eksis secara intrinsik, muncul serta berfungsi dari
pihaknya sendiri, bebas, dsb—adalah dengan mengembangkan
kebijaksanaan yang merupakan kebalikan langsung dari klesha
akar ini. Ini adalah kebijaksanaan yang memahami bahwa segala
sesuatu tak eksis dengan sendirinya, dan merupakan lawan
langsung dari ketidaktahuan. Munculnya kebijaksanaan ini akan
menyebabkan lenyapnya ketidaktahuan.

Kita harus mengenali sebab akar dari keberadaan kita di


dalam samsara. Kita menderita karena pencemaran, dalam artian
karena pengaruh karma dan klesha. Inilah sebabnya kita berada
di dalam samsara dan menjadi makhluk samsarik. Jika kita ingin
mengubahnya dan mengakhiri semua masalah, penyakit, dan
penderitaan kita, satu-satunya cara adalah menghancurkan
sebab akar dari keberadaan samsarik kita, yaitu klesha kita.

Ada banyak jenis klesha. Enam klesha utama yang akan


membangkitkan klesha lainnya adalah amarah, kemelekatan,
ketidaktahuan, keraguan, kesombongan, dan pandangan salah.
Pandangan salah dapat dibagi lagi menjadi 5 macam, dengan
yang paling utama adalah pandangan salah ihwal kumpulan
yang dapat hancur (tubuh dan batin kita).

Apa yang akan kita bahas sekarang adalah pandangan


ihwal kumpulan yang dapat hancur. Istilah ini merujuk pada jenis
ketidaktahuan yang merupakan sebab akar dari keberadaan
samsarik kita, akar dari semua klesha lainnya.

63
Empat Segel Agung

Apakah bentuk dari ketidaktahuan ini? Ia merupakan


pemahaman yang keliru mengenai bagaimana segala sesuatu
eksis. Pemahaman yang keliru ini mencerap objek ketidaktahuan—
diri, sang ‘aku,’ sang ego—dan bersikukuh melihatnya sebagai
sesuatu yang memiliki substansi dan bisa berdiri sendiri; sebuah
kesalahpahaman yang melihat diri sebagai sesuatu yang bisa
memenuhi dirinya sendiri, atau dengan kata lain: muncul dari
dirinya sendiri dan memiliki substansi dari dirinya sendiri.

Bagaimana caranya kita menghancurkan pandangan


salah ini? Dengan melihat objek yang bersangkutan sebagai
pemahaman yang keliru. Dengan kata lain, kita mengembangkan
pemahaman benar yang melihat diri bukan sebagai sesuatu
yang muncul dari dirinya sendiri dan memiliki substansi. Ketika
pemahaman ini diraih, maka objek yang dipahami dengan keliru
akan hilang. Keduanya tak bisa muncul bersamaan. Begitu
memahami kekeliruan dari moda eksistensi ini, kita akan berhenti
melihat segala sesuatu dengan cara yang salah.

Untuk menghancurkan akar dari segala klesha—yakni


ketidaktahuan—kita harus mengembangkan pemahaman
sebaliknya: bahwa diri yang berdiri sendiri tidaklah eksis. Istilah
untuknya adalah ketanpaakuan.

Kita harus memahami ketanpaakuan. Meski terdengar


seolah-olah kita sedang menolak diri, kesimpulan yang demikian
adalah salah. Ketika mengatakan ketanpaakuan, apakah ini
berarti bahwa sang ‘aku’ tidak eksis? Bukan demikian maksudnya.
Ada jenis diri yang memang eksis dan jenis diri lainnya yang tak
eksis. Apakah diri yang eksis itu? Ia adalah diri yang melakukan
tindakan, yang bertindak, dan karenanya mengumpulkan karma.
Diri yang sama juga mengalami akibat dari karma yang telah
dikumpulkan di masa lampau. Diri seperti ini memang eksis.

64
Semua Fenomena Tak Berdiri Sendiri

Kita makan, tidur, bergerak, dan berfungsi; dari situlah kita tahu
bahwa kita eksis!

Jika diri seperti ini eksis, maka diri seperti apa yang tak eksis?
Diri yang tak eksis adalah diri yang kekal, yang tunggal, yang
tak terpisahkan, dan yang bebas. Dalam Buddhadharma, diri
semacam ini dikatakan tak eksis. Orang-orang yang memegang
pandangan bahwa diri tidaklah kekal, tidaklah bebas, dan
tidaklah utuh adalah pengikut pandangan Buddhis. Oleh karena
itu, Buddhisme berbeda dengan agama lainnya, terutama di
India.

Sesungguhnya, Buddhisme menolak gagasan bahwa


diri adalah satu, kekal, dan bebas. Aliran filsafat lain dalam
agama-agama di India menyatakan bahwa diri adalah satu,
bebas, dan kekal. Jadi, yang utamanya membedakan seorang
Buddhis dengan non-Buddhis adalah sudut pandang mengenai
hakikat diri. Hal inilah yang harus kita pahami untuk mengatasi
pandangan salah yang meyakini eksistensi diri yang berdiri
sendiri.

Di dalam Buddisme sendiri, ada berbagai aliran filsafat


atau pandangan yang berbeda terkait berbagai poin filosofis.
Buddha mengajarkan topik ‘aku’ dengan berbagai cara menurut
pemahaman masing-masing orang. Inilah sebabnya ada 4 jenis
aliran filsafat dalam Buddhisme.

Sekarang, mari kita bahas pandangan Buddhis dan non-


Buddhis mengenai diri atau ‘aku’ (ketika saya mengatakan non-
Buddhis, rujukan utamanya adalah aliran filsafat yang ada di
India). Cara lain untuk memahami perbedaan utama antara
Buddhis dan non-Buddhis adalah penjelasan hubungan antara
diri dan skandha-skandha.

65
Empat Segel Agung

Dalam kaitannya dengan skandha, bagaimana diri atau


‘aku’ eksis? Menurut filsafat non-Buddhis, kedua hal ini dikatakan
sepenuhnya berbeda atau terpisah. Alasannya: ketika seseorang
meninggal, maka skandha bentuk—tubuh jasmani—sepenuhnya
terurai dan menjadi tak berguna (dalam artian hilang atau habis).
Menurut filsafat ini, jika terdapat hubungan yang dekat antara diri
dan skandha, berarti diri juga seharusnya terurai dan menghilang
ketika skandha bentuk terurai dan menghilang. Oleh karena itu,
filsafat ini mengatakan bahwa di satu sisi seseorang memiliki
skandha, dan di sisi lainnya terdapat diri atau ‘aku.’ Keduanya
terpisah karena, jika tidak, bagaimana kita menjelaskan apa
yang terjadi saat kematian?

Sementara itu, Buddha mengajarkan bahwa ada hubungan


yang dekat antara skandha dan diri. Beliau menyatakan bahwa
diri dan skandha memiliki hakikat yang sama. Hakikat yang sama
bukan berarti keduanya adalah satu. Kita tak mengatakan bahwa
diri dan skandha adalah satu. Buddhisme tak mengajarkan
demikian.

Keduanya sepenuhnya berkaitan karena hanya skandha-lah


yang membuat kita bisa mengatakan bahwa ‘aku’ atau individu
eksis. Dalam bahasa Tibet, kita bisa menyebutnya ‘Tashi’; dalam
bahasa Inggris, kita mungkin menggunakan nama ‘John.’ Kita
tak dapat mengatakan bahwa John eksis tanpa skandha karena
hanya dengan skandha John-lah maka kita bisa mengatakan
bahwa John eksis. Ada hubungan yang sangat dekat antara John
dan skandha-nya. Keduanya memiliki hakikat yang sama namun
bukan hal yang sama.

Sekarang kita berbicara mengenai diri yang eksis, seseorang


yang mengumpulkan karma, dan seseorang yang akan mengalami
buah karma. Inilah cara untuk memahami diri atau individu yang

66
Semua Fenomena Tak Berdiri Sendiri

eksis. Apa hubungannya dengan skandha? Seorang individu


bisa eksis berdasarkan kaitannya dengan skandha-nya. Dalam
Buddhisme, ada berbagai cara untuk menjelaskan keterkaitan
ini menurut berbagai aliran filsafat. Seiring dengan tingkatan
filsafatnya, cara pandangnya pun menjadi semakin halus.

Dalam aliran yang lebih rendah, ada beberapa sub-aliran.


Salah satunya mengatakan bahwa panca-skandha merupakan
cerminan dari ‘aku.’ Namun, dalam aliran yang lebih tinggi,
dikatakan bahwa jika seseorang ingin menjelaskan apa itu “aku”,
ia cukup menggunakan kesadaran mental karena kesadaran
inilah yang berpindah dari satu kehidupan ke kehidupan lain
ketika seseorang mati. Inilah pandangan yang dipegang oleh 2
dari total 4 aliran filsafat Buddhis.

Jadi, sekali lagi, menurut aliran filsafat yang paling rendah,


diri atau aku bisa dijelaskan dengan menggunakan penjelasan
panca-skandha. Aliran lain menolak gagasan ini dengan
mengatakan bahwa hal tersebut tidaklah mungkin, karena ini
berarti setiap individu akan punya 5 diri. Jadi, pandangan ini tak
bisa diterima. Di sisi lain, pandangan yang paling halus terkait
hubungan antara skandha dan diri adalah pandangan yang
dianut Madhyamika Prasangika. Apa pendapat mereka mengenai
hubungan antara skandha dan diri? Mereka mengatakan bahwa
skandha merupakan dasar pelabelan bagi ‘aku.’ Sang ‘aku’ hanya
eksis sebagai sebuah pelabelan, atau sebagai sebuah konsepsi.
Istilah teknisnya adalah ‘pelabelan berdasarkan skandha.’

Ini ibarat sebuah sound system. Di manakah kita bisa


menemukan sound system? Di sini, terdapat tumpuan, kaki,
lengan, dan mikrofonnya; semua unsur tersebut dikatakan
sebagai dasar pelabelan bagi sound system tersebut. Namun, kita
tak bisa menyebut salah satu bagian ini sebagai sound system.

67
Empat Segel Agung

Kakinya bukanlah sound system, lengannya juga bukan, begitu


pula mikrofon yang sederhana ini. Namun, ketika semua benda
ini disusun secara bersamaan, maka kita bisa menamainya sound
system.

Hal yang sama persis berlaku pada ‘aku.’ Karena kita memiliki
panca-skandha, kita bisa membicarakan, membayangkan,
memahami, dan menamai sebuah ‘aku.’ Bagi filsafat tertinggi
Buddhisme, sang ‘aku’ eksis sebagai sesuatu yang bisa dipahami,
dibayangkan, dinamai, dsb; sebuah pelabelan berdasarkan
panca-skandha.

Penting sekali untuk mengamati lebih dekat siapa diri kita


ini. Dengan kata lain, apakah sang ‘aku’ yang terkenal ini yang
kita sebut sebagai diri kita? Kita menghabiskan waktu untuk
membicarakan diri sendiri. Kita mengatakan, “Aku melakukan
ini,” “Aku menginginkan ini,” “Aku merasakan ini,” “Aku
memiliki ini,” dsb. Setiap saat, kita menggunakan istilah ‘aku,’
namun akan sangat berguna bila kita bertanya pada diri sendiri,
“Apa definisi dari ‘aku’ yang kita bicarakan sepanjang waktu?”

“Aku punya sesuatu,” “Aku merasakan sesuatu,” “Aku


memiliki dua lengan,” “Aku memiliki badan,” “Aku memiliki
pikiran,” “Aku merasakan ini,” “Kepalaku sakit,” dll. Kita
menggunakan ungkapan-ungkapan ini setiap saat. Apakah
ini berarti bahwa tubuhku adalah aku? Kita memiliki tubuh
jasmani, namun apakah kita bisa mengatakan bahwa tubuh itu
aku? Dapatkah kita mengatakan bahwa kita adalah apa yang
kita pikirkan? Dapatkah kita mengatakan bahwa perasaan kita,
berikut skandha lainnya, adalah kita?

Bagaimana dengan berbagai kondisi kesadaran kita?


Apakah ia adalah ‘aku’-nya kita? Semua ini adalah pertanyaan

68
Semua Fenomena Tak Berdiri Sendiri

yang harus kita tanyakan kepada diri sendiri. Ketika memikirkan


diri sendiri, kadang kala kita berpikir bahwa ia adalah tubuh
jasmani kita. Kadang kita berpikir mengenai batin kita, pikiran
kita, atau perasaan kita. Namun, bisakah kita mengatakan bahwa
kita adalah perasaan kita? Bisakah kita mengatakan bahwa kita
adalah tubuh jasmani kita? Bisakah kita mengatakan bahwa
kita merupakan berbagai pikiran kita yang berbeda, kondisi
kesadaran kita? Apakah kita ini ada di kepala kita, atau di kaki
kita?

Siapakah ‘aku’-nya kita? Menurut aliran filsafat yang lebih


tinggi, kita tak bisa mengatakan bahwa ‘aku’ adalah tubuh kita,
dst. Kita bukanlah kepala, perasaan, batin, dsb. Yang benar
adalah: kita menghubungkan keberadaan kita pada semua
hal-ihwal ini. Sang ‘aku’ adalah sesuatu yang kita labeli dalam
kaitannya dengan skandha.

Sering kali ketika memikirkan diri sendiri, kita membayangkan


diri kita eksis dengan cara yang sepenuhnya bebas dari tubuh dan
batin kita. Ketika memahami diri sendiri, kita tak sadar bahwa
terdapat hubungan ketergantungan yang dekat antara tubuh dan
batin kita, skandha-skandha kita. Penggambaran mengenai sang
‘aku,’ gagasan mengenai eksisnya ‘aku’ yang sepenuhnya bebas
dari skandha adalah keliru. Diri semacam itu tidaklah eksis.

Jadi, di satu sisi, ada sebuah ‘aku’ yang eksis, sang ‘aku’ yang
muncul dan hilang, yang makan, yang tidur, dst. Kita memang eksis
dan kita semua memahami hal ini. Kita mengumpulkan karma dan
mengalami akibat dari karma kita. ‘Aku’ yang demikian memang
eksis. Di sisi lain, ‘aku’ yang tak eksis adalah ‘aku’ yang kita pahami
sebagai sesuatu yang tak ada hubungannya dengan skandha, tak
berhubungan dengan tubuh dan batin, yang muncul secara alamiah
dalam batin secara spontan.

69
Empat Segel Agung

Kita melihat ‘aku’ dengan cara seperti ini dan


membayangkannya sebagai sesuatu yang eksis, yang berdiri
sendiri, yang tak ada hubungannya dengan skandha. Diri yang
seperti ini sesungguhnya tidaklah eksis. Pandangan ihwal ‘aku’
yang berdiri sendiri merupakan akar dari semua masalah kita,
yang disebut pandangan ihwal kumpulan yang dapat hancur.
Istilah ini diberikan karena ia berkaitan dengan sesuatu yang
dapat hancur (yakni tubuh dan batin kita); dengan kata lain:
sesuatu yang tak kekal. Ia adalah sesuatu yang tak lain daripada
fenomena komposit. Dengan kata lain, ia adalah diri kita sendiri.
Kita tak kekal. Kita adalah sesuatu yang terdiri dari bagian-
bagian, namun kita melihatnya sebagai satu bagian utuh yang
tak terpisahkan dan kekal.

Pandangan ihwal kumpulan yang dapat hancur melihat


sang ‘aku’ yang berdiri sendiri, yang utuh, kekal, dan bebas dari
skandha. Pandangan ini merupakan sumber segala masalah kita,
akar dari semua klesha.

Pandangan ihwal kumpulan yang dapat hancur melihat


‘aku’ dengan cara yang salah, karena meskipun ‘aku’ memang
eksis, namun ‘aku’ yang dirujuk oleh pandangan ini tidaklah
eksis. Tak ada ‘aku’ yang sepenuhnya bebas dari skandha-
skandha. Justru karena skandha-lah maka kita bisa mengatakan
bahwa ‘aku’ eksis. Jadi, ‘aku’ dari seorang makhluk bergantung
sepenuhnya pada skandha-nya.

Kita juga menggunakan istilah ini untuk menjelaskan ‘aku’


yang tak eksis. ‘Aku’ yang tak eksis adalah ‘aku’ yang memiliki inti
atau substansi dan muncul dengan sendirinya tanpa bergantung
pada hal lain apa pun. Jika ‘aku’ memang muncul dari dirinya
sendiri, artinya ia tak bergantung pada apa pun. Namun, seperti
yang telah dijelaskan, ‘aku’ yang muncul dari dirinya sendiri

70
Semua Fenomena Tak Berdiri Sendiri

mustahil eksis karena kita hanya bisa memunculkan eksistensi


‘aku’ dalam kaitannya dengan skandha. Justru kebalikannya,
‘aku’ sepenuhnya bergantung pada hal lain. Aku bergantung
pada skandha sehingga tak bisa dikatakan muncul dengan
sendirinya.

Penting sekali untuk mengamati lebih mendalam bagaimana


cara diri kita eksis. Setiap saat kita berbicara mengenai diri
sendiri. Kita memang eksis, namun siapakah ‘aku’ yang paling
kita utamakan ini? Bagaimana cara ia eksis? Bagaimana ‘aku’
yang mengalami berbagai hal dan menciptakan berbagai
kejadian ini eksis? Intinya, meskipun ‘aku’ memang eksis, namun
eksistensinya hanya dimungkinkan oleh skandha-nya.

Kalau kita membayangkan bahwa ‘aku’ bisa eksis dengan


sendirinya dan sepenuhnya bebas, maka pandangan tersebut
sama dengan pandangan aliran filsafat non-Buddhis di India
masa lampau. Mereka mengatakan bahwa sama sekali tak ada
hubungan antara ‘aku’ dan skandha. Pandangan ini sepenuhnya
ditolak oleh Buddhisme. Kita memang eksis, namun eksistensi
kita bergantung pada skandha kita. Karena skandha, kita bisa
melalui berbagai pengalaman, menciptakan berbagai hal, dsb.

Untuk lebih jelasnya, kita dapat menggunakan contoh nyata


seperti sebuah meja. Sebuah meja eksis. Apa itu meja? Ia adalah
sebuah papan bundar berkaki tempat kita bisa menaruh barang
di atasnya. Berbagai unsur yang muncul secara bersamaan
ini menghadirkan sebuah meja. Maka, kita bisa berbicara
mengenai sebuah meja. Jika ada sesuatu darinya yang hilang,
kita takkan bisa membicarakan sebuah meja. Ia akan menjadi
sesuatu yang lain. Jadi, unsur-unsur yang kita namakan ‘meja’
adalah dasar pelabelan bagi sebuah meja. Di atas dasar inilah
kita menghubungkan eksistensi sebuah meja. Kita memberi

71
Empat Segel Agung

nama ‘meja’ pada benda tersebut. Oleh karena itu, sebuah meja
bergantung pada dasar pelabelannya.

Dengan cara yang sama, kita eksis sebagai sebuah ‘aku.’


Kita memanggil diri kita sebagai sesuatu. Kita memiliki nama.
Namun, itu semua karena kita memiliki skandha. Jika skandha
tersebut tak ada, maka kita tak perlu menamainya. Dengan cara
yang sama, skandha merupakan basis bagi pelabelan yang kita
sebut sebagai diri kita, sang ‘aku.’

Ketika kita menggunakan istilah ‘ketanpaakuan’, ada sejenis


diri yang ditolak, yang ditiadakan. Ia merujuk pada diri yang tak
bergantung pada dasar pelabelan, sebuah ‘aku’ yang bebas. Jadi,
memang benar bahwa segala sesuatu eksis (termasuk ‘aku’ dan
hal-ihwal lainnya), namun mereka semua muncul berdasarkan
dasar pelabelannya. Kita bisa memastikan eksistensi sesuatu
hanya berdasarkan pelabelan atasnya. Hanya dengan begitulah
kita bisa mengatakan bahwa ia eksis.

Lanjut pada pemisalan sebuah meja, kita dapat memastikan


bahwa meja eksis ketika kita melihat sebuah papan yang berkaki,
yang di atasnya bisa diletakkan benda-benda lain. Namun, jika
papan dan kakinya dipisahkan, maka kita tak bisa berbicara
lebih jauh lagi mengenai sebuah meja. Oleh karena itu, kita
hanya bisa memastikan eksistensi sebuah meja dalam kaitannya
dengan dasar pelabelannya, yaitu bagian-bagian yang ketika
digabung bersama akan membentuk sebuah benda. Prinsip yang
sama persis berlaku bagi segala sesuatu yang eksis.

Kembali pada isu utama mengenai akar samsara, yaitu


pandangan ihwal kumpulan yang dapat hancur—sebuah
pandangan yang berkaitan dengan ‘aku.’ Bagaimana pandangan
salah ini memahami ‘aku’? Ia memahami ‘aku’ sebagai

72
Semua Fenomena Tak Berdiri Sendiri

sesuatu yang bebas dari skandha-skandha, dan ini merupakan


pemahaman sangat keliru mengenai cara eksisnya ‘aku.’
Pemahaman keliru ini merupakan sumber paling mendasar
dari segala keberadaan kita di dalam samsara. Dari pandangan
salah inilah semua klesha muncul untuk mengarahkan kita agar
melakukan karma dan berputar terus-menerus di dalam samsara.

Oleh karena itu, satu-satunya cara untuk membebaskan


diri dari samsara adalah dengan memahami bahwa objek yang
diyakini sebagai berdiri sendiri adalah sesuatu yang tak eksis
dan tak benar. Ketika kita benar-benar melihat dan sepenuhnya
memahami bahwa objek yang bersangkutan merupakan
pemahaman yang keliru, maka semua pandangan salah akan
hilang!

Kembali pada pembahasan 4 Segel. Ada banyak klesha


di dalam batin kita, namun akar dari semuanya adalah
kesalahpahaman mengenai hakikat ‘aku,’ yang dinamai
pandangan ihwal kumpulan yang dapat hancur. Pandangan
salah ini membayangkan sebuah ‘aku’ yang eksis dengan cara
yang tak semestinya. Jika kita ingin mengakhiri penderitaan,
maka satu-satunya cara adalah mengakhiri sumber penderitaan,
yaitu bentuk ketidaktahuan yang mencengkeram diri yang
inheren, diri yang tak eksis. Kita dapat mencapainya dengan
mengembangkan kebalikannya, yaitu kebijaksanaan yang
memahami ketanpaakuan atau ketiadaan diri yang berdiri
sendiri.

Hal yang sama berlaku jika kita ingin menyingkirkan


sebuah pohon. Ketika memotong pohon, akarnya juga harus
dicabut. Jika tidak, pohon tersebut bisa saja tumbuh kembali
seperti sedia kala. Hal yang sama berlaku bagi makhluk di
dalam samsara. Jika ingin membebaskan diri dari samsara, kita

73
Empat Segel Agung

harus menghancurkan akar paling mendalam dari keberadaan


samsara, yaitu pandangan ihwal kumpulan yang dapat hancur
atau sikap mencengkeram diri yang berdiri sendiri. Caranya:
dengan mengembangkan kebijaksanaan yang memahami
ketanpaakuan. Dengan upaya yang gigih, kita akan mencapai
lawan dari samsara, yaitu nirwana atau kedamaian tertinggi.

74
5
Nirwana Adalah Kedamaian
Tertinggi

Segel keempat menyatakan: ‘nirwana adalah kedamaian


tertinggi.’ Cara mencapai nirwana adalah dengan memahami
ketanpaakuan. Jangan bayangkan bahwa ini bisa diraih dalam
sekejap. Ketika melatih kebijaksanaan akar yang memahami
ketanpaakuan, kita harus berupaya meningkatkan dan
mengembangkannya hingga mendapatkan pemahaman yang
mendalam.

Perkembangan untuk meningkatkan pemahaman akan


ketanpaakuan dijelaskan dalam serangkaian jalan (marga), yaitu
Marga Penghimpunan, Marga Persiapan, Marga Penglihatan,
Marga Meditasi, dan Marga Tanpa Pembelajaran Apa pun Lagi,
yang merupakan realisasi spiritual. Pertama-tama, seseorang
memahaminya secara tak langsung. Lalu, ia mengembangkannya
hingga marga ketiga, yaitu Marga Penglihatan, dengan realisasi
yang bersifat langsung. Namun, ini belum cukup. Ia harus terus

75
Empat Segel Agung

menapaki marga hingga bisa sepenuhnya menyingkirkan segala


hal yang menahan seseorang di dalam samsara.

Ketika seseorang mencapai marga terakhir, yaitu Marga


Tanpa Pembelajaran Apa pun Lagi, barulah ia dikatakan telah
merampungkan tugas dan mencapai nirwana, yaitu sebuah
keadaan yang terbebas sepenuhnya dari penderitaan. Kondisi
ini juga disebut pembebasan, artinya pembebasan dari samsara,
pembebasan dari penderitaan. Begitu seseorang mencapai
keadaan ini, ia akan tetap berada di dalamnya. Keadaan tersebut
disebut ‘nirwana,’ yang sesungguhnya merupakan fenomena
kekal. Sebagai pengingat, sebelumnya telah dijelaskan bahwa
segala sesuatu terbagi menjadi 2 kategori, yaitu fenomena
kekal dan tak kekal. Keadaan nirwana, meski ia adalah sesuatu
yang bisa dicapai, termasuk fenomena yang kekal. Setelah kita
mencapainya, ia tak lagi merosot. Nirwana bersifat definitif.

Nirwana sesungguhnya adalah sebuah keadaan yang telah


melampaui segala sesuatu. Sering pula ia disebut keadaan
yang melampaui penderitaan. Namun, penjelasan yang lebih
tepat: ia adalah keadaan di mana kita telah melampaui sebab
penderitaan, yaitu klesha yang berakar pada ketidaktahuan.
Begitu semua klesha telah dilenyapkan, maka penderitaan akan
hilang. Proses ini bekerja secara otomatis. Jadi, nirwana adalah
sebuah keadaan yang melampaui semua klesha; sebuah keadaan
yang terbebas dari klesha.

Ada berbagai tingkatan nirwana. Ada nirwana Mahayana


yang setara dengan Kebuddhaan atau pencerahan sepenuhnya.
Ada pula nirwana Arhat, Shrawaka, dan Pratyekabuddha. Semua
nirwana ini—kecuali Kebuddhaan—merupakan keadaan yang

76
Nirwana Adalah Kedamaian Tertinggi

terbebas dari semua klesha, namun yang masih belum meraih


Kebuddhaan. Nirwana-nirwana ini masih berada di bawah tingkatan
Kebuddhaan.

Nirwana dan samsara sepenuhnya berlawanan. Ketika


samsara berakhir, nirwana pun dimulai. Nirwana merupakan
sebuah pembebasan penuh dari klesha. Artinya, seseorang tak
lagi harus mengalami penderitaan samsara. Ia mungkin masih
memiliki karma untuk terlahir dalam samsara, namun ia tak lagi
memiliki kondisi pengaktif bagi karma tersebut, karena ia tak
lagi memiliki klesha. Karma hanya bisa matang atau diaktifkan
oleh klesha. Karena pemicunya telah hilang sepenuhnya, maka
meskipun seseorang mungkin masih memiliki karma untuk
terlahir di dalam samsara, karma tersebut takkan bisa berbuah.
Karma tersebut tak bisa mendorong kelahiran di dalam samsara.
Inilah alasan kenapa seseorang dikatakan telah secara definitif
terbebas dari samsara.

Berikut sedikit ulangan terhadap urutan pembahasan 4


Segel Buddhisme. Segel pertama berbunyi ‘semua fenomena
komposit berhakikat ketidakkekalan.’ Ketika kita benar-benar
mulai memahami segel ini, baik di tingkat kasar maupun halus,
kita bisa mengambil jarak dari urusan-urusan duniawi dan
mengurangi kemelekatan padanya. Dengan memahami segel
kedua, yaitu ‘semua fenomena tercemar berhakikat penderitaan,’
kita tahu bahwa selama kita masih mempertahankan skandha
yang tercemar—dengan kata lain, selama kita masih tunduk
pada karma dan klesha—kita akan terus menderita.

Pemahaman tersebut mengarahkan kita untuk mengambil


jarak dari samsara dan melihat aneka kerugiannya. Kita bisa
melihat bahwa selama masih berdiam di dalam samsara,
kita akan terus menderita. Terang sekali bahwa hal ini akan

77
Empat Segel Agung

membuat kita ingin mencari jalan keluarnya. Jawabannya ada


pada segel ketiga, yaitu ‘semua fenomena tak berdiri sendiri.’
Bagaimana cara membebaskan diri dari samsara? Kita hanya
bisa melakukannya dengan memahami ketanpaakuan. Dengan
merealisasikan ketanpaakuan, kita akan memperoleh nirwana,
kedamaian batin tertinggi yang merupakan segel keempat.

Keempat segel ini merupakan pemahaman yang sangat


penting dalam Buddhadharma. Istilah lainnya adalah 4
Ringkasan, karena masing-masing poin merangkum seluruh
pemahaman atau pandangan yang sangat penting dalam ajaran
Buddha. Demikianlah penjelasan ringkas atas Empat Segel
Agung.

Sesi Tanya-jawab II

Tanya: keyakinan akan adanya diri yang berdiri sendiri


merupakan sumber penderitaan. Ini juga merupakan alasan
mengapa kita masih tertahan di dalam lingkaran samsara.
Apakah Rinpoche bisa memberikan sebuah contoh bagaimana
konsekuensi ini benar-benar muncul?

Jawab: Konsekuensi terjadi mulai dari akarnya, yaitu pandangan


yang meyakini bahwa diri eksis dalam cara yang tak semestinya.
Jadi, berdasarkan pemahaman keliru ini, kita memiliki gagasan
yang sangat kuat mengenai diri atau ‘aku.’ Kita memegang
‘aku’ dengan sangat kuat. Kita melihat diri sendiri sebagai yang
terpenting.

Sejalan dengan kemelekatan pada diri sendiri, secara


alamiah kita juga melekat pada segala sesuatu yang kita miliki,
segala sesuatu yang kita sebut sebagai ‘milikku.’ Kita berbicara
mengenai ‘aku’ dan milikku, barangku, keluargaku, iniku, ituku.

78
Nirwana Adalah Kedamaian Tertinggi

Semua ini kita letakkan di sisi kita, dan segala yang tidak termasuk
ke dalamnya kemudian diletakkan di sisi yang berseberangan.

Bagaimana kita memperlakukan segala sesuatu yang


terletak di sisi yang berseberangan ini? Biasanya kita merasakan
sebuah jarak tertentu, atau lebih buruk lagi, kita memunculkan
penolakan terhadap apa yang merupakan milik orang lain.

Penolakan bisa berkembang menjadi amarah atau kebencian


terhadap segala sesuatu yang bukan milik kita; kita bahkan
membayangkan bahwa mereka mungkin mengancam apa yang
kita miliki. Sederhananya, kita membangkitkan kemelekatan
dan kebencian. Tentu saja ketika merasakan kemelekatan
dan kebencian, kita menciptakan karma. Di bawah pengaruh
perasaan-perasaan yang sesungguhnya merupakan klesha, kita
menghasilkan karma. Ketika diciptakan karena kemelekatan
atau kebencian, maka karma tersebut akan selalu negatif dan
mengarahkan kita pada akibat yang buruk, seperti kelahiran di
alam yang rendah.

Kembali ke akarnya tadi, yaitu sikap mencengkeram


eksistensi yang berdiri sendiri. Di atas basis ini, dalam kasus
tertentu, kita juga bisa menghasilkan kebajikan. Bagaimana
caranya? Misalnya, dengan melihat bahwa diri ini eksis dan
ingin agar ia terus eksis dengan baik, kita akan menginginkan
kelahiran yang baik di kehidupan mendatang.

Kita tahu bahwa untuk mendapatkan kelahiran yang baik


di kehidupan mendatang, kita harus melakukan kebajikan.
Kita harus menciptakan kebajikan dengan berbagai cara,
terutama menjalankan sila dengan baik. Karena keinginan akan
kebahagiaan di kehidupan mendatang ini, kita pun melakukan
kebajikan. Demikianlah pandangan salah ini memungkinkan

79
Empat Segel Agung

kita menghasilkan karma baik, meski ia tetap merupakan karma


untuk terlahir di dalam samsara. Artinya, meski ia mengarahkan
seseorang pada kelahiran yang baik, sifatnya masih samsarik. Apa
pun itu, ketika kita berada di bawah pengaruh pandangan salah
ini, kita menciptakan karma untuk terlahir di dalam samsara.

Tanya: Apakah diri yang melakukan karma buruk di bawah


pengaruh klesha dan diri yang mempraktikkan jalan spiritual,
menyingkirkan klesha, serta merealisasikan pencerahan adalah
diri yang sama?

Jawab: Pertama-tama, jawabannya adalah ya. Namun, lebih


tepatnya, ia adalah kesinambungan yang sama. Jangan lupa
bahwa diri itu tak kekal. Ia berubah dari momen ke momen.
Jangankan periode panjang yang Anda contohkan, diri dari
satu menit yang lalu tidaklah sama dengan diri kita sekarang ini.
Jadi, jika kita menyadari hal tersebut, maka jawabannya adalah
ya; ia memang sama. Namun, ia merupakan rangkaian dari diri
yang sama. Ia tak sama persis dengan diri yang lampau, karena
diri berubah dari momen ke momen. Momen A menghasilkan
momen B, yang menghasilkan momen C, dst. Ada pergantian
momen yang terus-menerus, sehingga suatu akibat menjadi
sebab bagi akibat berikutnya, dst. Ketika seseorang menjadi
Buddha, dirinya pun berubah menjadi diri seorang Buddha.
Ketika kita menjadi Buddha, maka kita akan menjadi Buddha
selamanya. Kita takkan berubah dari keadaan tersebut.

Tanya: Sebelumnya, ada penjelasan bahwa momen terakhir


kesadaran kita merupakan sebab utama bagi kelahiran
berikutnya. Dapatkah kita mengatakan bahwa sikap yang
mencengkeram eksistensi diri sebagai sebab utama lainnya untuk
terlahir kembali?

80
Nirwana Adalah Kedamaian Tertinggi

Jawab: Pertanyaannya harus lebih tepat. Apakah maksud


Anda sebab utama bagi makhluk dalam kehidupan yang baru
atau sebab utama bagi kesadaran makhluk dalam kehidupan
yang baru? Keduanya tak sama, karena kesadaran merupakan
salah satu skandha dan merupakan dasar pelabelan bagi
seorang makhluk. (Penanya memperjelas bahwa pertanyaannya
berkaitan dengan makhluk.)

Ketidaktahuan yang mencengkeram diri ini tak dapat


menjadi sebab utama, karena pandangan ihwal kumpulan yang
dapat hancur merupakan klesha. Di sisi lain, pada dasarnya,
sebab utama bagi kesadaran baru seorang makhluk dalam
momen kesadarannya yang paling awal (ketika ia baru lahir)
haruslah merupakan kesadaran, yaitu batin utama, dan bukan
faktor mental. Sebab utamanya haruslah mengandung substansi
yang sama. Jadi, ia berupa suatu kesadaran lain, bukan faktor
mental yang berasosiasi dengan kesadaran tersebut. Kesadaran
berarti batin utama yang memiliki faktor-faktor mental yang
berasosiasi dengannya. Momen paling pertama dari kesadaran
dalam kelahiran yang baru akan memiliki sebab utama berupa
momen kesadaran yang sebelumnya; dengan kata lain, momen
akhir dari kesadaran dalam keadaan bardo makhluk tersebut.

Tanya: Dikatakan bahwa karma tak bisa berbuah ketika


seseorang telah mengatasi klesha. Misalnya, klesha seorang
Arhat telah teratasi dan karmanya pun tak bisa matang lagi.
Namun, ketika kita membaca riwayat Maudgalyayana, salah satu
siswa utama Buddha yang memiliki kemampuan supranatural,
dikisahkan bahwa beliau meninggal karena dibunuh. Dikisahkan
bahwa ini merupakan akibat dari karma lampaunya, ketika ia
meninggalkan orang tuanya yang buta di dalam hutan.

81
Empat Segel Agung

Jawab: Memang benar bahwa Maudgalyayana dipukul dan


meninggal akibat luka pukulan. Beliau mengalami hal ini karena
buah karmanya matang. Namun, karena beliau adalah seorang
Arhat, beliau takkan terlahir lagi di dalam samsara setelah
meninggal.

Setelah mencapai Arhat, kita takkan terlahir lagi di dalam


samsara melalui pengaruh kekuatan karma. Namun, bukan
berarti bahwa dalam kehidupan saat ini, masih dengan tubuh
manusia, kita tak bisa mengalami akibat dari karma yang telah
dikumpulkan di masa lampau. Namun, meskipun akibat tersebut
menyebabkan kita meninggal, kita takkan terlahir lagi di dalam
samsara karena kita tak lagi punya sebab pendukungnya, yaitu
klesha yang bisa mematangkan karma untuk terlahir di dalam
samsara. Ketika sudah menjadi Arhat, kita akan mencapai
nirwana setelah meninggal, sehingga takkan terlahir lagi di
dalam samsara.

Tanya: Apakah ada cara untuk mengenali seorang Buddha,


atau seorang Arhat, atau seorang Bodhisatwa? Mereka bisa saja
melewati kita dan kita tak menyadarinya.

Jawab: Untuk mengenali makhluk-makhluk unggul ini, pada


dasarnya ada 2 kategori. Yang paling penting adalah kita harus
memiliki karma yang sangat positif untuk bertemu dengan
Buddha dan melihat Buddha sebagai seorang Buddha. Hal ini
butuh karma baik yang luar biasa besar. Misalnya, ketika Buddha
muncul di dunia, ada banyak orang yang bertemu dengan beliau
tapi tak bisa mengenali kualitas baiknya sama sekali. Ini karena
mereka tak punya karma baik atau kebajikan yang cukup. Jadi,
ini salah satu kategori persyaratan.

82
Nirwana Adalah Kedamaian Tertinggi

Kategori lain adalah pengetahuan tertentu mengenai


kualitas-kualitas para makhluk ini. Kita harus mengetahui
apa yang dimaksud dengan menjadi seorang Buddha atau
Bodhisatwa. Ciri-ciri mereka tak ada hubungannya dengan
penampakan fisik, tetapi lebih berkaitan dengan perilaku, cara
berpikir, dan sikap mereka terhadap makhluk lain.

Ketika kita memahami siapakah seorang Buddha atau


Bodhisatwa berikut kualitas-kualitas bajik yang mereka miliki,
maka jika kita memiliki karma baik yang cukup, kita bisa mengenali
sosok mereka. Ini bukan sesuatu yang mudah untuk dilakukan.
Kita tak bisa mengenali mereka melalui penampakan fisik belaka.
Contoh paling terkenal adalah Arya Asanga, seorang Bodhisatwa
yang telah mencapai bumi ketiga dalam jalan Bodhisatwa.
Ketika pertama kali bertemu Buddha Maitreya, beliau tidak
melihatnya sebagai seorang Buddha. Beliau hanya sanggup
melihat Maitreya dalam wujud anjing betina karena karmanya
belum cukup murni. Ketika beliau mengembangkan welas asih
agung terhadap si anjing betina, barulah beliau sanggup untuk
membebaskan diri dari penghalangnya dan mampu melihat
Maitreya sebagai Buddha Maitreya. Jadi, bukanlah hal yang
mudah untuk mengenali seorang makhluk agung.

83
Bagaimana Menghormati
Buku Dharma

B uddhadharma adalah sumber sejati bagi kebahagiaan semua


makhluk. Buku ini menunjukkan kepada kita bagaimana
mempraktikkan ajaran dan memadukan mereka ke dalam hidup
kita, sehingga kita menemukan kebahagiaan yang kita idamkan.
Oleh karena itu, apapun benda yang berisi ajaran Dharma, nama
dari guru kita atau wujud-wujud suci adalah jauh lebih berharga
daripada benda materi apapun dan harus diperlakukan dengan
hormat. Agar terhindar dari karma tak bertemu dengan Dhar-
ma lagi di kehidupan yang akan datang, mohon jangan letakkan
buku-buku (atau benda-benda suci lainnya) di atas lantai atau
di bawah benda lain, melangkahi atau duduk di atasnya, atau
menggunakannya untuk tujuan duniawi seperti untuk menopang
meja yang goyah. Mereka seharusnya disimpan di tempat yang
bersih, tinggi dan terhindar dari tulisan-tulisan duniawi, serta di-
bungkus dengan kain ketika sedang dibawa keluar. Ini hanyalah
beberapa pertimbangan.

Jika kita terpaksa membersihkan materi-materi Dharma,


maka mereka tidak seharusnya dibuang begitu saja ke tong
sampah, namun sebaiknya dibakar dengan perlakuan khusus.
Singkatnya, jangan membakar materi-materi tersebut bersamaan

85
dengan sampah-sampah lain, namun sebaiknya terpisah
sendiri, dan ketika mereka terbakar, lafalkanlah mantra OM AH
HUM. Ketika asapnya membubung naik, bayangkan bahwa ia
memenuhi seluruh angkasa, membawa intisari Dharma kepada
seluruh makhluk di 6 alam samsara, memurnikan batin mereka,
mengurangi penderitaan mereka, serta membawa seluruh
kebahagiaan bagi mereka, termasuk juga pencerahan. Beberapa
orang mungkin merasa bahwa praktik ini sedikit kurang biasa,
namun tata cara ini dijelaskan menurut tradisi. Terima kasih.

86
Dedikasi

S emoga kebajikan terhimpun dengan mempersiapkan, mem-


baca, merenungkan dan membagikan buku ini kepada pihak
lain, semoga semua Guru Dharma berumur panjang dan sehat
selalu, semoga Dharma menyebar ke seluruh cakupan angkasa
yang tak terbatas, dan semoga semua makhluk segera mencapai
Kebuddhaan.

Di alam, negara, wilayah atau tempat mana pun buku


ini berada, semoga tiada peperangan, kekeringan, kelaparan,
penyakit, luka cedera, ketidakharmonisan atau ketidakbahagiaan,
semoga hanya terdapat kemakmuran besar, semoga segala
sesuatu yang dibutuhkan dapat diperoleh dengan mudah, dan
semoga semuanya dibimbing hanya oleh Guru Dharma yang
terampil, menikmati kebahagiaan dalam Dharma, memiliki cinta
kasih dan welas asih terhadap semua makhluk, semata memberi
manfaat pada sesama, serta tak pernah menyakiti satu sama lain.

87
Tentang Penerbit
TERIMA KASIH TELAH MEMBACA BUKU
TERBITAN PENERBIT SARASWATI.
SEKARANG APAKAH KAMI BOLEH MEMINTA

BANTUAN ANDA?

Penerbit Saraswati adalah sebuah organisasi non-profit. Misi


kami adalah untuk berbagi kebijaksanaan dari ajaran Buddha
seluas mungkin. Melalui buku-buku yang kami terbitkan, terselip
upaya untuk menginspirasi, menghibur, mendukung, dan
mencerahkan pembaca di seluruh Indonesia.

Kami memiliki sebuah mimpi, membuat seluruh buku


terbitan Penerbit Saraswati tersebar seluas-luasnya sehingga
dapat menginspirasi banyak orang, baik pemula yang penasaran,
hingga praktisi yang telah berkomitmen. Apakah Anda setuju
dengan mimpi kami ini? Karena tentu saja kami tidak dapat
mewujudkan mimpi ini tanpa bantuan Anda.

Buku Dharma ini dapat Anda UNDANG kehadirannya


di hidup Anda tanpa biaya berkat kebajikan berdana para
dermawan. Mari turut bermudita dan mendoakan para dermawan
yang telah memungkinkan ini terjadi.

88
Apabila Anda berminat pula untuk terlibat dalam
kebajikan seperti ini, silakan bergabung sebagai Dharma Patron
Lamrimnesia dan berdana ke:

BCA 0079 388 388 a.n. Yayasan Pelestarian dan


Pengembangan Lamrim Nusantara

MANDIRI 119 009 388 388 0 a.n. Yayasan Pelestarian


dan Pengembangan Lamrim Nusantara

Kemudian mohon konfirmasikan dana Anda dengan


menghubungi Call Center Lamrimnesia.

Dengan menjadi Dharma Patron, Anda secara langsung


terlibat dalam (1) penerbitan dan penyaluran buku Dharma,
(2) penyelenggaraan kegiatan Dharma, (3) pendanaan biaya
operasional dan mobilisasi Dharma Patriot dalam rangka
mendukung aktivitas (1) dan (2) di atas.

Untuk mengetahui lebih lanjut serta memesan buku terbitan


Penerbit Saraswati, silakan hubungi kontak di bawah ini:
Care: +6285 2112 2014 1
Info: +6285 2112 2014 2
Fb: Lamrimnesia & LamrimnesiaStore
Ig: @Lamrimnesia & @Lamrimnesiastore
Tiktok: @Lamrimnesia_
E-mail: info@lamrimnesia.org
Website: www.lamrimnesia.org; www.store.lamrimnesia.com

89
90
91
92
93

Anda mungkin juga menyukai