Anda di halaman 1dari 107

Pratityasamutpada

12 Mata Rantai yang Saling Bergantungan

DAGPO RINPOCHE

Penerbit Saraswati
2017
Pratityasamutpada
12 Mata Rantai yang Saling Bergantungan

Judul asli: Twelve Links Of Dependent Arising

Dikompilasi dari ajaran: Yang Mulia Dagpo Rinpoche pada tanggal 6 - 11 Februari
1998 & pada tanggal 16 - 19 Desember 2010 di Kadam Tashi Choe Ling, Malaysia

Penerjemah lisan dari bahasa Tibet ke bahasa Inggris: Rosemary Patton


Penerjemah dari bahasa Inggris ke bahasa Indonesia: Tenzin Thringyal
Penyunting: Candri Jayawardhani, Stanley Khu
Perancang sampul: Listya Dharani S. R.
Penata letak: Karunika Devi S. R.

Hak cipta naskah terjemahan Inggris © 2011 Kadam Tashi Choe Ling, Malaysia
Hak cipta naskah terjemahan Indonesia ©2017 Penerbit Saraswati

Cetakan I, Agustus 2017


ISBN 978-602-61702-4-8

Penerbit Saraswati
Email: penerbitsaraswati@gmail.com

Distributor Lamrimnesia
Care: +6285 2112 2014 1
Info: +6285 2112 2014 2
Fb: Lamrimnesia & LamrimnesiaStore
Ig: @Lamrimnesia & @Lamrimnesiastore
Tiktok: @Lamrimnesia_
E-mail: info@lamrimnesia.org
Website: www.lamrimnesia.org; www.store.lamrimnesia.com
Undang-Undang RI Nomor 28 Tahun 2014
tentang Hak Cipta

Ketentuan Pidana Pasal 113 ayat (3) dan (4):


(3) Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau pemegang Hak Cipta melakukan
pelanggaran hak ekonomi Pencipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf a, huruf b,
huruf e, dan/atau huruf g untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara paling
lama 4 (empat) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
(4) Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yang dilakukan
dalam bentuk pembajakan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh)
tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah).
Pasal 114:
Setiap Orang yang mengelola tempat perdagangan dalam segala bentuknya yang dengan sengaja dan mengetahui membiarkan
penjualan dan/atau penggandaan barang hasil pelanggaran Hak Cipta dan/atau Hak Terkait di tempat perdagangan yang dikelolanya
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10, dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
Daftar Isi
Kata Pengantar v
Biografi Singkat Dagpo Rinpoche vii

1. Pendahuluan 1
2. 12 Mata Rantai 5
3. Ketidaktahuan Akar 23
4. Ketidaktahuan Akar (lanjutan) 39
5. Karma-karma Pembentuk 53
6. Kesadaran 55
7. Nama dan Rupa 57
8. Indra 59
9. Kontak 61
10. Perasaan 63
11. Hasrat 65
12. Sikap mencengkeram 67
13. Eksistensi 69
14. Kehidupan 71
15. Penuaan dan Kematian 73
16. Penutup 75

Daftar Pustaka 77
Glosarium 79
Menghormati Buku Dharma 83
Dedikasi 84
Tentang Penerbit 85
Kata Pengantar
Di antara semua ajaran Buddha, topik Pratityasamutpada (12
Mata Rantai yang Saling Bergantungan) bisa dikatakan sebagai
ajaran inti dalam Buddhisme. Dagpo Rinpoche menyatakan bahwa
semua aspek ajaran Buddha pada akhirnya akan dikaitkan kembali
dengan topik Pratityasamutpada ini, baik ajaran dari tradisi Mahayana
maupun Therawada.

Apa bukti dari peran penting topik ini? Buktinya adalah


pernyataan Buddha sendiri. Beliau memberi penjelasan tentang
tata cara kita berputar-putar di dalam samsara dan bagaimana cara
membebaskan diri darinya, yang pada dasarnya dibagi menjadi
dua cara utama: merenungkan topik 4 Kebenaran Arya dan topik
Pratityasamutpada.

Merenungkan topik Pratityasamutpada adalah sama dengan


memahami secara tepat proses kemunculan dan keberadaan kita di
dalam samsara. Penjelasan rinci dari Pratityasamutpada tentang
proses yang tiada memiliki awal dan akhir ini, secara singkat, adalah
sebagai berikut.

Melalui ketidaktahuan akar, kita memahami eksistensi kita di


dunia ini dengan cara yang keliru, yakni dengan menganggap bahwa
diri kita berdiri sendiri dan tidak bergantung pada hal-ihwal lainnya.
Melalui karma pembentuk, kita harus terus-menerus terlahir kembali,
karena setiap tindakan yang dilakukan pasti akan membuahkan akibat
yang harus dialami. Melalui kesadaran, kita menaruh niat dalam
setiap tindakan kita, dan ini adalah salah satu faktor yang melengkapi
sebuah jalan karma. Melalui nama dan rupa, kita meraih susunan diri

v
kita, yakni gabungan fenomena mental dan material yang membuat
kita eksis. Melalui indra, kita memiliki prasyarat untuk mengenali
dan berhubungan dengan sebuah objek. Melalui kontak, kita mampu
melakukan perhubungan dengan sebuah objek. Melalui perasaan,
kita mampu merasakan sensasi tertentu dari sebuah objek, yakni
menyenangkan, tak menyenangkan, atau netral. Melalui hasrat, kita
merasakan kemelekatan pada sebuah objek dan kebencian pada objek
lainnya. Melalui sikap mencengkeram, hasrat yang kita rasakan, baik
dalam bentuk kemelekatan ataupun kebencian, menjadi semakin kuat.
Melalui eksistensi, kita meraih kondisi untuk terlahir kembali. Melalui
kehidupan, kita benar-benar telah meraih sebuah bentuk kehidupan.
Melalui penuaan dan kematian, kita akhirnya menua dan mati.

Ketika kita mati dengan tetap mengusung ketidaktahuan


akar di dalam batin kita, maka proses yang digambarkan oleh
Pratityasamutpada ini akan berlangsung kembali terus-menerus
tanpa henti. Transkrip yang dihadirkan oleh Penerbit Saraswati
dalam kesempatan kali ini, oleh karenanya, bertujuan untuk memberi
pemahaman kepada para pembaca tentang penyebab keberadaan
semua makhluk di dalam samsara, dan tentang tata cara untuk terbebas
dari lingkaran keberadaan ini.

vi
Biografi Singkat Dagpo Rinpoche
Dagpo Rinpoche, juga dikenal dengan nama Bamchoe Rinpoche,
lahir pada tahun 1932 di distrik Konpo, sebelah tenggara Tibet. Pada
usia 2 tahun, beliau dikenali oleh Dalai Lama ke-13 sebagai reinkarnasi
dari Dagpo Lama Rinpoche Jhampel Lhundrup. Ketika berusia 6 tahun,
beliau memasuki Biara Bamchoe, dekat distrik Dagpo. Di sana, beliau
belajar membaca dan menulis, juga mulai mempelajari dasar-dasar sutra
dan tantra. Pada usia 13 tahun, beliau memasuki Biara Dagpo Shedrup
Ling untuk mempelajari 5 Topik Utama filsafat Buddhis, yaitu: Logika,
Paramita, Madhyamika, Abhidharma, dan Winaya.

Setelah belajar selama 11 tahun di Dagpo Shedrup Ling, beliau


melanjutkan studinya di Biara Universitas Drepung. Biara ini terletak
di dekat kota Lhasa. Beliau belajar di salah satu dari 4 kolese dalam
biara ini, yaitu Gomang Dratsang. Di sana, beliau memperdalam
pengetahuan tentang filsafat Buddhis, khususnya yang berdasarkan
buku ajar Gomang Dratsang, yaitu komentar filosofis dari Jamyang
Shepa. Selama tinggal di Gomang Dratsang (dan kemudian juga ketika
berada di pengasingan), beliau belajar di bawah bimbingan guru dari
Mongolia yang termasyhur, Geshe Gomang Khenzur Ngawang Nyima
Rinpoche. Karena tempat belajar beliau tak jauh dari Lhasa selaku
ibukota Tibet, beliau juga berkesempatan untuk menghadiri banyak
pengajaran Dharma dan menerima banyak transmisi lisan dari beberapa
guru yang berbeda. Oleh karena itu, Dagpo Rinpoche adalah salah satu
dari sedikit guru pemegang banyak silsilah ajaran Buddha.

Selama ini, Dagpo Rinpoche, yang bernama lengkap Dagpo Lama


Rinpoche Lobsang Jhampel Jhampa Gyatso, telah belajar dari 34 guru,

ix
khususnya dari 2 pembimbing utama Dalai Lama ke-14 – Kyabje Ling
Rinpoche dan Kyabje Trijang Rinpoche – dan juga dari Dalai Lama ke-
14 sendiri. Di bawah bimbingan mereka, beliau mempelajari 5 Topik
Utama dan tantra (beliau telah menerima banyak inisiasi dan menjalani
retret). Selain filsafat Buddhis, beliau juga menekuni astrologi, puisi,
tata bahasa, dan sejarah.

Beliau belajar di Gomang Dratsang sampai invasi komunis ke


Tibet tahun 1959. Pada tahun itu, di usia 27 tahun, beliau menyusul
Dalai Lama ke-14 dan guru-guru Buddhis lainnya menuju pengasingan
di India. Tak lama setelah ketibaannya di India, beliau diundang ke
Perancis untuk membantu para Tibetolog Perancis dalam penelitian
mereka tentang agama dan budaya Tibet. Para ilmuwan ini tertarik
untuk mengundang beliau karena intelektualitas serta pemikiran beliau
yang terbuka. Dengan nasihat dan berkah dari para gurunya, beliau
pun memenuhi undangan tersebut dan mendapat beasiswa Rockefeller.
Beliau adalah guru Tibet pertama yang tiba di Perancis. Di sana, beliau
mengajar bahasa dan budaya Tibet selama 30 tahun di School of
Oriental Studies, Paris. Setelah pensiun, beliau tetap melanjutkan studi
dan riset pribadinya. Beliau telah banyak membantu menyusun buku-
buku tentang Tibet dan Buddhisme, juga berpartisipasi dalam berbagai
program di televisi dan radio.

Setelah mempelajari bahasa Perancis dan Inggris serta menyerap


pola pikir orang Barat, pada tahun 1978 beliau akhimya bersedia untuk
mulai mengajar Dharma mulia dari Buddha Shakyamuni. Pada tahun
itu, beliau mendirikan pusat Dharma yang bernama Institut Ganden
Ling di Veneux-Les Sablons, Perancis. Di sana, beliau memberi
pelajaran tentang Buddhisme, doa, serta meditasi. Sejak tahun 1978
hingga sekarang, beliau telah banyak mengunjungi berbagai negara,
di antaranya Italia, Belanda, Jerman, Singapura, Malaysia, dan
Indonesia.

x
Beliau mulai mengunjungi Indonesia pada tahun 1988. Sejak
saat itu, setiap tahun beliau secara rutin datang ke Indonesia untuk
membabarkan Dharma, memberikan transmisi ajaran Buddha
(khususnya ajaran Lamrim atau Tahapan Jalan menuju Pencerahan),
dan memberikan beberapa inisiasi serta berkah.

Riwayat Lampau Dagpo Rinpoche


Dagpo Rinpoche dikenali oleh Dalai Lama ke-13 sebagai
reinkarnasi dari Dagpo Lama Rinpoche Jhampel Lhundrup. Dagpo
Rinpoche terdahulu ini sebelumnya sudah dikenali sebagai reinkarnasi
seorang guru dari Indonesia yang bernama Suwarnadwipa Dharmakirti
atau Serlingpa. Serlingpa terlahir dalam keluarga penguasa Sriwijaya,
yang juga merupakan bagian dari wangsa Sailendra di Jawa, berhubung
Balaputradewa selaku Raja Sriwijaya adalah putra dari Samaratungga,
pewaris takhta Sailendra. Wangsa Sailendra sendiri dikenal sebagai
pembangun Candi Borobudur.

Keluarga Serlingpa juga berperan dalam pelestarian Universitas


Agama Buddha Nalanda, yang berkembang di masa pemerintahan
kerajaan Sriwijaya pada abad ke-7. Serlingpa kemudian menjadi
biksu dengan nama tahbis Dharmakirti. Beliau melatih diri di berbagai
tempat, termasuk menuntut ilmu sampai ke India. Berkat usahanya yang
keras dan himpunan kebajikannya yang sangat banyak, akhimya beliau
berhasil mencapai realisasi tertinggi sebagai seorang Bodhisatwa.
Kemasyhuran beliau sebagai seorang guru Buddhis, khususnya sebagai
pemegang silsilah bodhicita (batin pencerahan), tersebar jauh hingga ke
India, Cina, serta Tibet. Di Tibet sendiri, beliau dikenal dengan nama
Lama Serlingpa.

Guru besar lainnya, Atisha Dipankara Srijnana, menempuh


perjalanan laut dari India selama 13 bulan semata-mata untuk bertemu

xi
dengan Serlingpa di Indonesia dan mendapatkan instruksi tentang
bodhicita dari beliau. Serlingpa memberikan transmisi ajaran yang
berasal dari Manjushri, yaitu “Menukar Diri dengan Makhluk Lain.”
Setelah belajar dari Serlingpa, Atisha kembali ke India dan kemudian
diundang ke Tibet. Di sana, Atisha memainkan peranan yang sangat
penting untuk membawa pembaharuan bagi ajaran Buddha. Atisha
menjadi salah satu mahaguru yang sangat dihormati dalam Buddhisme
Tibet. Kedua guru besar ini kelak akan bertemu kembali di masa depan
dalam hubungan guru-murid yang sama, yaitu ketika Atisha terlahir
kembali sebagai Pabongkha Rinpoche dan menerima ajaran tentang
bodhicita dari Dagpo Lama Rinpoche Jhampel Lhundrup. Dagpo
Lama Rinpoche Jhampel Lhundrup sendiri berperan penting dalam
menghidupkan kembali ajaran Lamrim di bagian selatan Tibet. Beliau
sangat terkenal karena penjelasannya yang gamblang tentang Lamrim
dan realisasinya akan bodhicita. Banyak guru Lamrim pada masa
itu yang mendapatkan transmisi dan penjelasan Lamrim dari beliau
sehingga akhirnya meraih realisasi atas ajaran Lamrim.

Silsilah reinkarnasi Dagpo Rinpoche yang lain adalah sebagai


berikut. Pada masa Buddha terdahulu, beliau pernah lahir sebagai
Bodhisatwa Taktunu, yang rela menjual dagingnya sendiri untuk
memberi persembahan kepada gurunya. Selain itu, yogi India bernama
Wirupa dan cendekiawan bernama Gunaprabha juga diyakini sebagai
inkarnasi dari Dagpo Rinpoche.

Di Tibet sendiri, guru-guru yang termasuk ke dalam silsilah


reinkarnasi Dagpo Rinpoche adalah Marpa Lotsawa Sang Penerjemah,
sang pendiri mazhab Kagyu. Beliau terkenal sebagai guru yang
membimbing Jetsun Milarepa mencapai pencerahan dengan latihan
yang sangat keras. Selain itu, juga ada Londroel Lama Rinpoche, guru
meditasi dan cendekiawan penting pada abad ke-18 yang merupakan
siswa dari Dalai Lama ke-7. Seperti Milarepa, Londroel Rinpoche juga

xii
mempunyai masa muda yang sulit sebelum akhirnya menjadi salah
satu guru terkemuka yang menyusun risalah Buddhis sebanyak 23 jilid.
Sejumlah kepala biara Dagpo Shedrup Ling juga termasuk ke dalam
silsilah reinkarnasi Dagpo Rinpoche.

xiii
1
Pendahuluan

M engapa kita menyimak ajaran? Kita melakukannya bukan untuk


urusan dagang atau mencari nafkah, atau untuk meningkatkan reputasi
dan menjadi terkenal, atau untuk memastikan kesehatan yang baik di
kehidupan sekarang ini, ataupun untuk terhindar dari penyakit dan
semacamnya. Kita menyimak ajaran untuk tujuan yang lebih besar.
Ajaran Buddha direnungkan dan dimeditasikan karena kita merasakan
suatu kebutuhan untuk meningkatkan kualitas hidup. Kita tidak puas
dengan hidup ini dan kondisi kita sekarang. Kita menginginkan sesuatu
yang lebih baik. Jika kita seratus persen puas dengan kehidupan kita
dan semua aspek dalam hidup kita, apakah kita akan menyimak ajaran?
Barangkali tidak.

Meskipun kita memiliki hidup yang cukup membahagiakan, di


mana segala sesuatu berjalan dengan baik, tapi tetap saja ada beberapa
aspek yang tidak sepenuhnya memuaskan. Kita ingin lebih bahagia
dan semakin meningkatkan kualitas hidup kita. Itu bisa menjadi alasan
mengapa kita menyimak ajaran. Alasannya, melalui Buddhadharma,
kita memahami bahwa kondisi eksternal bukanlah faktor terpenting
atau penentu; sesungguhnya, agar sepenuhnya bahagia, yang harus
Pratityasamutpada: 12 Mata Rantai yang Saling Bergantungan

diutamakan adalah kondisi internal, yakni batin kita, bukannya kondisi


eksternal. Jika kita benar-benar ingin menjadi lebih bahagia, kita harus
mengembangkan batin kita.

Kalau yang kita utamakan hanya kondisi eksternal, kita


mungkin bisa meningkatkan hidup hingga taraf tertentu. Bisa saja
kita meningkatkan standar hidup, reputasi, dsb; namun, perubahan
ini tidak dapat membawa kepuasan tertinggi atau kebahagiaan sejati
dalam hidup. Selanjutnya, berbicara mengenai pengembangan batin,
sebenarnya apa maksudnya? Saat ini, kita semua memiliki sifat baik
dan buruk dalam diri kita. Untuk mengembangkan batin, singkatnya,
kita perlu meningkatkan unsur positif dan mengurangi unsur negatif.

Apa itu unsur positif? Unsur positif adalah kualitas-kualitas yang


kehadirannya di dalam batin akan membuat kita bahagia. Sebaliknya,
unsur negatif adalah kualitas-kualitas yang akan membuat kita tak
bahagia dengan kehadiran mereka.

Cara mengembangkan batin bukanlah metode yang hanya terbatas


bagi Buddhis. Metode ini bisa digunakan oleh semua orang. Terlepas
dari apa pun tradisi, agama, atau kepercayaannya, setiap orang yang
berkeinginan untuk menjadi lebih bahagia akan terbantu bila menempuh
cara ini.

Alasannya sederhana: setiap orang, siapa pun ia, pastinya akan


merasa bahagia bila dipenuhi dan menerima cinta kasih dan welas
asih. Dengan cara yang sama, tak peduli siapa dan apa keyakinan
kita, kita takkan merasa bahagia kapan pun kita marah, cemburu, atau
melekat pada sesuatu. Dan Buddhadharma dengan jelas menyatakan
bahwa kebahagiaan ataupun penderitaan pada dasarnya bergantung
pada kondisi batin kita. Intinya, kebahagiaan ataupun penderitaan
sepenuhnya tergantung pada apakah kita ingin mengalami mereka atau
tidak.

2
Pendahuluan

Kalau saat ini kita sudah mulai terpikir untuk berlatih


mengembangkan diri demi kebahagiaan pribadi dan agar bisa
mengurangi penderitaan pribadi, tentu itu adalah tujuan yang sahih dan
sah-sah saja untuk dilakukan. Namun, harus diakui bahwa itu adalah
tujuan yang terbatas, yakni hanya pada diri kita sebagai satu individu.

Kalau kita juga bisa memunculkan keinginan untuk membantu


semua makhluk meningkatkan kebahagiaan mereka dan mengurangi
penderitaan mereka, tentunya ini akan menjadi sebuah tujuan yang
lebih mulia. Ini akan menjadi sebuah tujuan dengan dampak yang
lebih besar. Jadi, sebisa mungkin, pastikan bahwa keinginan kita
untuk mengembangkan diri tidak dilandasi oleh motivasi yang egois,
melainkan oleh sebuah motivasi yang sangat tidak egois – sebuah
motivasi yang menyasar kepentingan semua makhluk. Membangkitkan
motivasi merupakan aspek yang sangat penting dalam Buddhisme.

Aspek penting lainnya adalah bagaimana menerapkan ajaran


yang telah kita dengarkan. Idealnya, ketika mendengarkan apa yang
disampaikan, kita seharusnya mengenali apa yang sedang diajarkan
dan membandingkannya dengan cara berpikir kita sendiri. Kita perlu
membandingkan dan mengenali perbedaan di antara keduanya. Kita
harus menggunakan ajaran sebagai sebuah cermin. Ketika tak yakin
apakah wajah kita bersih atau kotor, kita akan bercermin. Kalau ada
kotoran di wajah, kita akan membersihkannya. Demikianlah fungsi
ajaran: ia membantu kita memeriksa apakah cara berpikir kita sudah
tepat atau masih salah. Jika menemukan kesalahan, maka kita bisa
memperbaikinya.

3
2
12 Mata Rantai

D alam konteks kali ini, saya akan menjelaskan 12 Mata Rantai


yang Saling Bergantungan. Di antara semua ajaran Buddha, 12 Mata
Rantai adalah ajaran yang sangat penting, bahkan bisa dikatakan
sebagai ajaran inti. Arya Nagarjuna menjelaskannya sebagai berikut:
“Di dalam gudang ajaran Buddha, 12 Mata Rantai adalah harta karun
yang paling berharga dari semuanya.” Seandainya seluruh ajaran
Buddha disimpan dalam sebuah gudang, maka layaknya sebuah
gudang, kita akan menemukan banyak barang. Ada barang yang lebih
berharga ketimbang yang lainnya. Di sini, beliau menyamakan 12 Mata
Rantai dengan barang paling berharga yang bisa kita temukan. Dan
memang, sebenarnya semua aspek ajaran Buddha pada akhirnya akan
dihubungkan kembali dengan ajaran 12 Mata Rantai ini. Seluruh ajaran
Mahayana dipadatkan di dalamnya, begitu pula dengan seluruh ajaran
Therawada.

Penjelasan 12 Mata Rantai kali ini akan didasarkan pada Lamrim


Agung karya Je Tsongkhapa, dan berhubung rincian penjelasan yang
terkandung dalam Lamrim Agung terlalu banyak, di sini saya hanya
akan memberikan penjelasan yang dipadatkan. Dalam Lamrim Agung,
Pratityasamutpada: 12 Mata Rantai yang Saling Bergantungan

topik 12 Mata Rantai bisa ditemukan di dalam bab tahapan jalan untuk
ketiga jenis makhluk, khususnya di bagian tahapan jalan untuk makhluk
motivasi atau kapasitas menengah.

Buddha mengajarkan bagaimana kita berputar-putar di dalam


samsara dan bagaimana kita dapat membebaskan diri dari samsara
dengan berbagai cara. Pada dasarnya, ada 2 jalan utama untuk
membebaskan diri dari samsara. Yang pertama adalah 4 Kebenaran
Arya, yang menjelaskan dengan tepat bagaimana kita terperangkap di
dalam samsara dan bagaimana kita dapat membebaskan diri darinya.
Yang kedua adalah 12 Mata Rantai. Sebagai tambahan, meski tadi telah
disinggung bahwa 12 Mata Rantai tercakup dalam tahapan jalan untuk
makhluk motivasi menengah, sesungguhnya kita dapat mengaitkan
topik ini dengan keseluruhan tahapan jalan.

Ini dijelaskan oleh Geshe Puchungwa berdasarkan praktik pribadi


beliau, yang tradisinya adalah mengajarkan Pelita Sang Jalan Menuju
Pencerahan karya Guru Atisha dengan panjang lebar, yakni menjelaskan
hubungan dari keseluruhan tahapan jalan dengan 12 Mata Rantai.
Tradisi beliau adalah salah satu dari tiga silsilah aliran Kadampa,
yang disebut Silsilah Instruksi. Silsilah instruksi adalah silsilah yang
mengajarkan Pelita Sang Jalan melalui pengaitan dengan satu topik
tertentu, misalnya 12 Mata Rantai.

1. Ketidaktahuan Akar
Mata rantai pertama adalah ketidaktahuan akar. Bagaimana cara
menjelaskannya? Ini adalah faktor mental atau kondisi batin yang
mencegah kita untuk memahami. Ia mempertahankan kita, secara
harfiah, dalam kegelapan. Karena itu, kadang-kadang ia diterjemahkan
sebagai penghalang batin atau kegelapan batin. Jenis pertama dari
ketidaktahuan akar adalah ketidaktahuan atau tak mengetahui. Jenis

6
12 Mata Rantai

kedua adalah kesalahpahaman, yakni pemahaman yang salah mengenai


cara segala sesuatu mengada. Jadi, kedua jenis ketidaktahuan ini adalah
mata rantai pertama dari 12 Mata Rantai.

Apa yang dimaksud dengan ketidaktahuan akar? Ini adalah


kecenderungan untuk melihat bahwa kita memiliki eksistensi yang
berdiri sendiri atau keberadaan sejati. Ini berlawanan langsung dengan
kebijaksanaan yang merealisasikan kesunyataan.

Contohnya, ketika memikirkan Buddha, kebanyakan orang


memiliki perasaan bahwa Buddha sangat berharga dan dekat. Namun, di
saat bersamaan, kita mungkin tak punya pemahaman yang sangat jelas
mengenai apa atau siapa itu Buddha. Ketika memikirkan Buddha, bisa
jadi yang kita pikirkan adalah rupang Buddha. Mungkin itu hal pertama
yang muncul dalam batin kita. Tentu saja Buddha bukan patung. Jenis
ketidaktahuan ini, yakni kurangnya kesadaran atau pengenalan yang
tepat mengenai apa atau siapa itu Buddha, merupakan contoh mata
rantai pertama, ketidaktahuan akar.

Contoh lainnya adalah karma. Kita mungkin tidak memiliki


pemahaman yang jelas mengenai karma. Kita berada dalam kegelapan
terkait definisi karma. Kita bisa saja menerjemahkan karma sebagai
sebuah aktivitas atau perbuatan, atau tindakan gabungan. Namun, apa
pun terjemahan yang digunakan, kita mungkin masih belum memiliki
pemahaman yang tepat mengenai apa itu karma. Misalnya, kita bisa saja
menolak kemungkinan bahwa satu sebab tunggal bisa memunculkan
berbagai jenis akibat, dan seterusnya.

Contoh lainnya adalah ketika kita menolak keberadaan sosok


makhluk seperti Buddha dan sejenisnya, yang mengetahui segala
sesuatu sebagaimana adanya.

Di dalam simbolisasi Roda Kehidupan, ketidaktahuan akar


digambarkan sebagai seorang perempuan tua dan buta yang memegang

7
Pratityasamutpada: 12 Mata Rantai yang Saling Bergantungan

tongkat di tangannya. Ia dibutakan oleh keyakinan bahwa dirinya eksis


dengan sendirinya. Sosok perempuan tua (bukan perempuan muda)
menyimbolkan bahwa kita telah mengalami ketidaktahuan akar ini
sejak waktu yang tak bermula, dan oleh karenanya, telah menghimpun
karma yang tak terhitung jumlahnya (bajik maupun tak bajik) untuk
terus terlahir dan berdiam di dalam samsara.

2. Karma Pembentuk
Mata rantai kedua diterjemahkan dengan berbagai cara. Dalam
satu teks, ia diterjemahkan sebagai aktivitas gabungan. Terjemahan
lain menyebutnya sebagai karma pembentuk. Pada dasarnya, ia adalah
karma. Tapi, sekali lagi, apa itu karma?

Kita berbicara mengenai karma baik dan buruk. Ada banyak jenis
karma dan banyak cara untuk menggolongkan karma. Penggolongan
menurut hakikatnya mungkin adalah metode penggolongan karma yang
paling penting. Karma adalah faktor mental atau kondisi batin; kadang-
kadang, ia diterjemahkan sebagai niat atau aktivitas mental. Namun,
saya lebih memilih kata “niat”, yaitu faktor mental “niat”. Kalau kita
menggolongkan karma menurut hakikat atau kualitasnya, maka ada
karma baik, buruk, dan netral. Contoh karma mental yang baik adalah
kondisi batin yang berhubungan dengan kemurahan hati, kebaikan,
keinginan untuk menolong pihak lain, dsb. Contoh karma mental yang
buruk adalah kondisi batin yang berkaitan dengan keinginan untuk
membunuh, mencuri, memecah-belah, amarah, dsb.

Di dalam simbolisasi Roda Kehidupan, karma pembentuk


digambarkan sebagai pembuat tembikar. Ini cukup mudah dipahami,
karena pembuat tembikar membuat segala jenis kerajinan dan peralatan,
ibarat segala jenis karma (baik, buruk, dan netral) yang melempar kita
ke dalam samsara.

8
12 Mata Rantai

3. Kesadaran
Mata rantai ketiga adalah kesadaran. Secara umum, di dalam
Buddhadharma, ada 6 jenis kesadaran, yakni kesadaran penglihatan,
pendengaran, dst. Enam jenis kesadaran ini adalah batin yang terkait
dengan 5 jenis persepsi indera dan 1 persepsi atau kesadaran mental.
Dalam konteks 12 Mata Rantai, kesadaran hanya merujuk pada
kesadaran keenam ini, yaitu kesadaran mental.

Secara ringkas kita telah mempelajari 3 mata rantai pertama


dari 12 Mata Rantai, yaitu ketidaktahuan akar, karma pembentuk, dan
kesadaran. Bagaimana ketiganya bekerja secara bersamaan?

Jangan lupa bahwa apa yang dijelaskan dalam 3 mata rantai


ini adalah ihwal tata cara kita terus diarahkan untuk berputar dalam
samsara. Karena kita masih memiliki ketidaktahuan, kita dihalangi
untuk melihat dan menyadari kenyataan apa adanya, serta diarahkan
untuk berperilaku sedemikian rupa sehingga terus menciptakan karma.
Karma yang diciptakan bisa bersifat baik ataupun buruk. Dalam
konteks 12 Mata Rantai, berhubung karma muncul dari ketidaktahuan
akar, maka karma apa pun yang diciptakan (baik ataupun buruk) adalah
karma pelempar yang menyebabkan kita terlahir di dalam samsara
berulang-ulang (baik alam rendah maupun alam tinggi). Seperti yang
telah kita lihat, karma pertama-tama merupakan kondisi batin, sebuah
faktor mental niat. Namun, ia tidak selalu berada dalam kondisi
seperti itu. Pada titik tertentu, karma akan berubah dari kondisi mental
menjadi apa yang kita sebut sebagai jejak atau potensi karma. Karena
jejak ini tertanam dalam batin kita, ia pun dikatakan berada dalam dan
berhubungan dengan kesadaran kita, yakni mata rantai ketiga.

Di dalam simbolisasi Roda Kehidupan, kesadaran digambarkan


sebagai seekor monyet. Kenapa demikian? Bayangkan bila seekor
monyet berada di dalam sebuah rumah dengan 6 jendela. Dalam

9
Pratityasamutpada: 12 Mata Rantai yang Saling Bergantungan

keadaan apa pun, entah apakah jendela terbuka atau tertutup, monyet
yang lincah dan dinamis akan menelusuri seisi rumah dan melihat keluar
lewat 6 jendela, yakni 6 indra kita. Meski terdapat 6 jendela, hanya ada
seekor monyet yang melihat melalui mereka. Dengan cara yang sama,
kesadaran yang bergantung pada indra mata akan melihat bentuk, dan
kesadaran yang bergantung pada indra telinga akan mendengar suara,
dst.

Tiga mata rantai pertama ini disebut sebagai mata rantai pelempar
atau mata rantai yang memproyeksikan, karena merekalah yang
melempar kita ke kehidupan yang baru di dalam samsara. Istilah
yang tepat bagi ketiganya adalah 3 sebab pelempar atau 3 sebab yang
memproyeksikan. Karena merupakan sebab, mereka menghasilkan
akibat.

4. Nama dan Rupa


Apa yang dihasilkan oleh ketiga sebab pelempar adalah mata rantai
keempat, yaitu nama dan rupa. Istilah pertama, nama, merujuk pada 4
dari 5 skandha yang menyusun diri kita, yaitu perasaan, identifikasi,
faktor-faktor pembentuk, dan kesadaran. Istilah kedua, rupa, merujuk
pada skandha kelima, yaitu bentuk (rupa). Jadi, mata rantai keempat ini
merujuk pada panca- skandha yang menyusun diri kita, yang terbagi
menjadi 4 fenomena mental dan 1 fenomena material.

Kapan mata rantai keempat terjadi atau muncul? Mari kita kembali
ke awal. Anggaplah 3 mata rantai pertama terjadi dalam kehidupan
nomor satu, kehidupan saat ini. Ketiganya adalah sebab-sebab pelempar.
Mereka memproyeksikan mata rantai keempat, yaitu nama dan rupa,
yang pada gilirannya menghasilkan sebab tersebut (nama dan rupa)
dalam kehidupan yang akan datang. Kenapa? Karena nama dan rupa
merujuk pada skandha yang baru. Oleh karenanya, mereka hanya bisa

10
12 Mata Rantai

muncul pada kehidupan yang akan datang. Jadi, jika dalam kehidupan
ini kita menghasilkan 3 mata rantai yang pertama, buah yang mereka
hasilkan di kehidupan mendatang adalah skandha yang disebut nama
dan rupa.

Kita tahu bahwa masa paling awal dari kehidupan terjadi di dalam
rahim ibu kita, yaitu ketika sel sperma ayah dan sel telur ibu bertemu
dan menghasilkan embrio. Ketika kesadaran memasuki embrio yang
baru terbentuk, kita pun memiliki nama dan rupa (kesadaran, perasaan,
bentuk, dst), atau mata rantai keempat. Mata rantai keempat akan
terus bertahan melalui 5 tahap kehamilan yang menjelaskan masa
perkembangan embrio.

Mengapa mata rantai ini menggunakan istilah ‘nama dan rupa’?


Ini karena ada pengecualian. Makhluk di arupaloka tak memiliki
skandha rupa, sehingga label ‘nama dan rupa’ tak berlaku bagi mereka.

Di dalam simbolisasi Roda Kehidupan, nama dan rupa digambarkan


sebagai atap tempat berteduh dan perahu dengan penumpang di atasnya.
Atap yang dimaksud tersusun dari ranting-ranting yang diikat menjadi
satu, dan ini menyimbolkan bahwa nama dan rupa harus tersusun
dari skandha-skandha yang digabungkan satu sama lain. Mustahil
membayangkan salah satu dari skandha terpisah dari yang lainnya.

5. Indra
Mata rantai kelima merujuk pada janin yang telah cukup
berkembang, sehingga indra seperti mata, telinga, hidung, dsb pun sudah
terbentuk. Tingkat perkembangan tertentu dari janin dibutuhkan agar
panca indra bisa terbentuk. Ini terjadi pada fase kehamilan minggu ke-
19. Sebelum minggu ke-19, sebuah janin telah memiliki indra sentuhan
(tubuh) dan kesadaran batin. Namun, indra mata, telinga, hidung dan
lidah belum terlalu berkembang.

11
Pratityasamutpada: 12 Mata Rantai yang Saling Bergantungan

Hingga akhir minggu ke-18, sebuah janin akan memiliki nama dan
rupa. Janin sudah memiliki mata rantai keempat, namun belum memiliki
mata rantai kelima. Oleh karena itu, sampai minggu ke-18, janin hanya
dianggap sebagai makhluk yang berpotensi menjadi manusia. Jadi,
untuk 4½ bulan pertama, makhluk di dalam rahim ibu adalah “calon”
manusia, dan belum bisa dianggap sebagai manusia sepenuhnya. Sejak
minggu ke-19, barulah janin dianggap sebagai manusia sepenuhnya,
karena pada waktu itu janin telah memiliki mata rantai kelima, yang
terjadi ketika semua indra telah lengkap. Jadi, kita tidak membicarakan
6 indra dari seorang manusia yang sempurna, melainkan 6 indra dari
janin di dalam rahim ibu.

Di dalam simbolisasi Roda Kehidupan, indra digambarkan sebagai


sebuah rumah kosong dengan 6 jendela. Ketika dilihat dari luar, sulit
untuk menerka apakah rumah itu kosong atau tidak, karena kita bisa
saja berpikir bahwa ada orang yang tinggal di dalamnya. Dengan cara
yang sama, ketika kita melihat janin dengan mata, hidung, telinga, dsb,
semua indra ini belum dapat berfungsi dengan sempurna. Walaupun
indra-indra ini terlihat ada pada janin, belum ada pertemuan antara
objek persepsi dengan kesadaran batin dan kekuatan indra. Jadi, mereka
diibaratkan seperti sebuah rumah kosong. Mereka tampak ada di sana,
tapi kenyataannya mereka tak ada di sana. Demikianlah kondisinya
sampai muncul mata rantai kontak.

6. Kontak
Setelah semua indra lengkap, barulah kita bisa mengalami
berbagai jenis pengalaman melalui mata rantai keenam. Kontak
berlangsung ketika sebuah objek, sebuah indra, dan sebuah kesadaran
hadir bersamaan sehingga objek mampu dibedakan atau dikenali
sebagai sesuatu yang menyenangkan, tak menyenangkan, atau netral.

12
12 Mata Rantai

Di dalam simbolisasi Roda Kehidupan, kontak digambarkan


sebagai dua orang yang saling merangkul dan berciuman. Ini kiranya
cukup gamblang.

7. Perasaan
Kontak memungkinkan kita melabeli sebuah objek dengan
perasaan: sebagai menyenangkan, tak menyenangkan, atau netral.

Di dalam simbolisasi Roda Kehidupan, perasaan digambarkan


sebagai seseorang dengan panah tertancap di matanya. Jelas sekali
bahwa kejadian ini akan menghasilkan sensasi yang kuat di dalam diri
kita.

8. Hasrat
Dari ketiga jenis perasaan, muncul mata rantai kedelapan, yaitu
hasrat. Terhadap objek yang membangkitkan perasaan menyenangkan,
kita memunculkan hasrat untuk tak berpisah darinya. Sebaliknya,
terhadap objek yang membangkitkan perasaan tak menyenangkan,
kita memunculkan hasrat untuk berpisah darinya. Kita juga bisa
mengidamkan perasaan netral. Ini lebih spesifik dan biasanya merujuk
pada konsentrasi tingkat tinggi di alam dewa tertentu.

Di dalam simbolisasi Roda Kehidupan, hasrat digambarkan


sebagai seseorang yang meminum minuman keras. Hakikat hasrat,
selaku bentuk kemelekatan, adalah tak terpuaskan. Seorang peminum
memiliki kesulitan untuk berhenti minum, dan ini kiranya cukup
gamblang.

13
Pratityasamutpada: 12 Mata Rantai yang Saling Bergantungan

9. Sikap mencengkeram
Jika intensitas hasrat menjadi semakin kuat, ia akan memunculkan
mata rantai kesembilan, yakni sikap mencengkeram. Hasrat dan sikap
mencengkeram memperkuat, mematangkan, dan mengaktifkan mata
rantai ketiga, yakni karma pelempar.

Di dalam simbolisasi Roda Kehidupan, sikap mencengkeram


digambarkan sebagai seekor monyet yang mengambil buah dari pohon.
Kita tahu bahwa seekor monyet yang sedang berada di atas pohon
akan mencoba buah satu per satu. Proses ini akan berlangsung tanpa
henti, seolah-olah si monyet takkan pernah terpuaskan. Dan memang,
demikianlah cara kerja sikap mencengkeram.

10. Eksistensi
Mata rantai kesepuluh adalah eksistensi atau keberadaan.
Eksistensi juga merupakan sebuah karma, namun karma yang telah
diaktifkan atau dimatangkan oleh hasrat dan sikap mencengkeram, dan
yang sudah berada dalam kondisi untuk menghasilkan akibatnya.

Di dalam simbolisasi Roda Kehidupan, eksistensi digambarkan


sebagai seorang perempuan di bulan kehamilannya yang ke-9; artinya,
ia sudah siap untuk melahirkan bayinya.

11. Kehidupan
Karma yang matang ini akan mengarah pada mata rantai kesebelas,
yaitu kehidupan, atau awal dari sebuah kehidupan yang baru.

Di dalam simbolisasi Roda Kehidupan, kehidupan digambarkan


sebagai seorang perempuan yang melahirkan.

14
12 Mata Rantai

12. Penuaan dan Kematian


Kehidupan, tak ayal lagi, akan mengarahkan kita pada mata rantai
terakhir, yaitu penuaan dan kematian. Penuaan adalah kemerosotan
yang kita alami sejak momen pertama kita dikandung di dalam rahim
ibu. Kematian sendiri terjadi ketika sebuah kehidupan berakhir.
Barangkali, akan lebih akurat untuk meyebutnya sebagai penuaan dan/
atau kematian, karena beberapa orang tidak mempunyai kesempatan
untuk menjadi tua sebelum mereka mati.

Di dalam simbolisasi Roda Kehidupan, penuaan dan kematian


digambarkan sebagai orang tua yang berjalan susah-payah dengan
sebatang tongkat dan seseorang yang mengusung jenazah di
punggungnya. Kadang kala, gambarnya adalah orang tua yang
membawa mayat, sekadar untuk menyimbolkan penggabungan penuaan
dan kematian.

Demikianlah ulasan singkat atas 12 Mata Rantai. Intinya, 3 mata


rantai pertama adalah sebab-sebab pelempar, 4 mata rantai berikutnya
adalah akibat yang terjadi dari sebab-sebab pelempar tersebut.
Kemudian, mata rantai kesepuluh merupakan karma yang dimatangkan
oleh 2 mata rantai sebelumnya. Namun, perlu diingat bahwa agar 3
sebab pelempar bisa menghasilkan 4 akibat, dibutuhkan semacam
“penolong”, karena 3 sebab pelempar sendiri tak dapat secara langsung
menghasilkan 4 akibat. “Penolong” yang dimaksud adalah mata
rantai ke-8, 9, dan 10. Secara bersamaan, mereka adalah sebab-sebab
penghasil, dan 3 sebab penghasil ini harus ditambahkan ke 3 sebab
pelempar untuk menghasilkan 4 akibat.

Begini prosesnya. Pada awalnya, melalui ketidaktahuan akar, kita


menciptakan karma-karma pembentuk. Karma tersebut ditempatkan
dalam kesadaran batin kita. Ini mewakili 3 mata rantai yang pertama.
Agar karma bisa menghasilkan akibat berupa sebuah kehidupan yang

15
Pratityasamutpada: 12 Mata Rantai yang Saling Bergantungan

baru dengan nama dan rupa dan seterusnya, ia harus dibuat menjadi
matang. Karma tidak harus matang dengan segera. Ia bisa tetap berada
bersama kita untuk waktu yang sangat lama hingga tiba waktunya untuk
diaktifkan. Ketika ini terjadi, ia akan matang dan menghasilkan sebuah
akibat berupa kehidupan yang baru.

Kita memiliki berbagai jenis karma di dalam diri kita, dengan


sifat dasar yang berbeda-beda pula. Kita memiliki karma untuk terlahir
sebagai manusia, sebagai binatang, sebagai dewa di alam yang lebih
tinggi, dsb. Semuanya bergantung pada karma apa yang diaktifkan dan
unsur pengaktifnya, yaitu sebab-sebab penghasil berupa hasrat, sikap
mencengkeram, dan eksistensi.

Selama karma pelempar tidak diaktifkan oleh hasrat dan sikap


mencengkeram, ia akan tetap bersama kita dan tak berbuah. Namun,
ketika suatu hari sebuah karma tertentu terpilih dan diaktifkan oleh
hasrat dan sikap mencengkeram, karma tersebut akan menjadi eksistensi.
Ia kemudian akan menjadi karma yang matang dan menghasilkan
akibatnya, yakni kehidupan serta penuaan dan kematian.

Tinjauan Ulang
Topik 12 Mata Rantai dilukiskan dengan sangat baik dalam
simbolisasi Roda Kehidupan, yang pertama kali muncul pada masa
Buddha Shakyamuni. Alkisah, ketika itu, hiduplah seorang raja yang
tinggal di bagian tengah India dan merupakan murid Buddha. Raja ini
berteman dengan seorang raja lainnya. Keduanya terbiasa melakukan
pertukaran hadiah. Suatu ketika, sahabat sang raja memberinya
sebuah baju tempur indah yang terbuat dari bahan-bahan berharga.
Ketika menerima hadiah ini, ia sangat terkesan tetapi juga sekaligus
kebingungan karena merasa sulit untuk membalas hadiah yang indah
ini. Ia merasa tak mampu memberi sesuatu yang sepadan. Suatu hari,
salah satu menterinya bertanya apa yang merisaukannya. Raja kemudian

16
12 Mata Rantai

menjelaskan masalahnya kepada menteri, yang kemudian menjawab


bahwa mereka bisa menemukan solusi dari Buddha, berhubung
beliau sedang tinggal tak jauh dari istana. Setelah mendengar ini, raja
kemudian mengundang Buddha ke istana dan menjelaskan situasi pelik
yang dihadapinya. Setelah mendengar semua penjelasannya, Buddha
meminta agar raja membawa seorang pelukis ke hadapannya.

Raja kemudian memanggil pelukis terbaik untuk datang ke istana.


Pelukis ini datang dengan peralatan melukis dan kanvasnya. Lalu,
Buddha memintanya untuk melukis sosok beliau. Pelukis mencoba dan
ternyata gagal. Alasannya, keagungan dan kebesaran Buddha dirasanya
mustahil untuk ditangkap dalam lukisan. Buddha kemudian mengajak
si pelukis ke kolam. Berdiri di sisi kolam, bayangan Buddha otomatis
terpantul di atas air, dan beliau memintanya untuk melukis pantulan
dirinya di atas air. Pelukis akhirnya berhasil melukis sosok Buddha,
dan gambar Buddha inilah yang terdapat pada sisi kanan atas dari Roda
Kehidupan. Setelah itu, Buddha meminta pelukis untuk menggambar
sisa lukisan seraya menjelaskan kepadanya apa-apa saja yang mesti
digambar. Ketika lukisan telah selesai, Buddha menulis penjelasan di
bagian bawah lukisan dan memberikannya kepada raja, yang kemudian
mengirimkannya kepada sahabatnya. Sahabat raja menerima hadiah ini
dengan sikap penuh hormat. Sembari menunggu hadiah yang dikirim,
ia membuat persembahan, membakar dupa, dsb. Dan ketika akhirnya
melihat lukisan tersebut – dengan gambar Buddha dan aneka gambar
lain berikut penjelasan yang tertulis di bawahnya – ia segera memahami
kesunyataan.

Pada dasarnya, lukisan ini mengajarkan 4 Kebenaran Arya. Ia


menjelaskan aneka kekurangan dari samsara, bagaimana kita masuk
dan berputar di dalam samsara, serta jalan untuk membebaskan diri dari
samsara. Aneka kekurangan dari samsara digambarkan oleh 6 bagian
segitiga di bagian tengah yang mengilustrasikan 6 kelas samsara. Bagian
atas menggambarkan alam dewa. Bagian kanan menggambarkan alam

17
Pratityasamutpada: 12 Mata Rantai yang Saling Bergantungan

manusia. Bagian kiri menggambarkan alam asura. Pada tiga bagian


di bawah, gambar di sebelah kanan adalah penggambaran alam setan
kelaparan, yang di tengah adalah alam neraka, dan yang di kiri adalah
alam binatang.

Tata cara kita masuk dan berdiam di dalam samsara dijelaskan oleh
topik kita kali ini, 12 Mata Rantai. Semua mata rantai ini diilustrasikan
oleh gambar-gambar di pinggiran terluar, yang dimulai dari bagian
tengah atas, yaitu gambar seorang sosok yang memegang tongkat. Ada
2 cara untuk melihat 12 Mata Rantai. Cara pertama adalah melihatnya
sesuai urutannya, yang dimulai dari ketidaktahuan akar dan seterusnya
sampai mata rantai terakhir. Cara kedua adalah dengan melihatnya dalam
urutan terbalik, yang dimulai dari mata rantai penuaan dan kematian.
Di sini, kita bertanya bagaimana kita dapat mengakhiri penuaan dan
kematian, dan satu-satunya cara adalah dengan mengakhiri kelahiran,
kemudian sebab dari kelahiran, dan seterusnya sampai mata rantai
pertama.

Akar dari proses 12 Mata Rantai dilambangkan di bagian tengah


gambar oleh babi (simbol ketidaktahuan), burung (simbol kemelekatan),
dan ular (simbol amarah) yang terdapat dalam sebuah lingkaran. Di
lingkaran yang sama, terdapat 2 rumah, masing-masing berwarna hitam
(simbol 3 alam rendah) dan putih (simbol 3 alam tinggi).

Bagaimana cara mengakhiri ketidaktahuan akar? Dengan


merealisasikan kesunyataan. Lalu, bagaimana cara merealisasikan
kesunyataan? Dengan merealisasikan konsentrasi sempurna. Lalu,
bagaimana cara merealisasikan konsentrasi sempurna? Dengan
merealisasikan disiplin moral yang murni. Poin ini menunjukkan
pentingnya jalan yang meliputi 3 latihan tertinggi, yaitu sila
(disiplin moral murni), samadhi (konsentrasi sempurna), dan prajna
(kebijaksanaan yang merealisasikan kesunyataan).

18
12 Mata Rantai

Selanjutnya, menyangkut monster atau setan yang memegang


roda kehidupan, makhluk ini menggambarkan ketidakkekalan, yang
memberi kita pemahaman bahwa seluruh proses ini tidaklah kekal,
bahwa 3 alam (kamaloka, rupaloka, dan arupaloka) dan juga 6 kelas
samsara sejatinya bersifat tak kekal. Di sebelah kiri gambar Buddha,
ada sebuah lingkaran yang mewakili pembebasan dari samsara. Buddha
menunjuk ke arah lingkaran ini untuk menyimbolkan bahwa proses
mengikuti ajaran dan jalan yang diberikan beliau akan mengantarkan
kita menuju pembebasan.

Pada dasarnya, 12 Mata Rantai menjelaskan bagaimana kita


menciptakan karma dan akhirnya terlahir kembali di dalam samsara.
Kita mempelajari apa yang terjadi pada karma, bagaimana ia tersimpan
dalam arus batin kita, dan bagaimana ia diaktifkan untuk menghasilkan
akibat berupa kehidupan; dengan kata lain: bagaimana kita memulai
sebuah kehidupan baru dengan skandha-skandha yang terbentuk dan
berkembang melalui berbagai tahapan, beserta akibat-akibatnya.

Kita tak ingin menderita. Kita ingin menyingkirkan penderitaan.


Jika kita tak paham mengapa dan bagaimana kita menderita, kita
takkan pernah bisa menyingkirkannya. Batin kita akan terus diselimuti
kegelapan. Je Tsongkhapa mengatakan bahwa jika kita tidak
merenungkan bagaimana proses memasuki samsara, kita takkan pernah
sanggup memotong akar samsara sepenuhnya. Logikanya, kalau kita
tak tahu sebabnya, bagaimana mungkin kita bisa tahu cara memotong
akarnya? Kalaupun tahu, kita tetap tak tahu bagaimana cara yang tepat
untuk memotong akarnya.

Yogi India yang agung, Maitriyogi, menulis surat kepada


sahabatnya, seorang raja. Dalam surat ini, beliau mengatakan, “Sang
penguasa dunia, tubuh ini bagaikan sesuatu yang dipinjam untuk jangka
waktu tertentu. Ketika ia masih terbebas dari penyakit, usia tua, dan
kematian, kita harus menggunakannya untuk memastikan bahwa kita

19
Pratityasamutpada: 12 Mata Rantai yang Saling Bergantungan

takkan pernah lagi mengalami penyakit, usia tua, dan kematian.” Dalam
baris pertama, Maitriyogi mengibaratkan tubuh kita sebagai barang
pinjaman. Kita tahu bahwa ketika meminjam sesuatu dari seseorang,
kita dapat menggunakannya untuk periode waktu tertentu, namun cepat
atau lambat, kita harus mengembalikannya kepada si pemilik karena
barang tersebut bukan milik kita. Tubuh jasmani kita sesungguhnya
juga adalah barang pinjaman.

Jika kita menunggu terlalu lama untuk mengoptimalkan barang


pinjaman ini, kita bisa jatuh sakit atau menjadi terlalu tua untuk
merenungkan dan memahami ajaran. Kalau demikian kasusnya, maka
keinginan yang sangat kuat untuk melakukan sesuatu yang berharga
dengan hidup kita akan menjadi sesuatu yang sudah terlalu telat untuk
diwujudkan. Meskipun ditujukan kepada seorang raja, kita harus
merasa bahwa beliau mengatakannya kepada kita secara pribadi. Kita
harus memahami bahwa tubuh kita memang adalah barang pinjaman
yang cepat atau lambat harus kita tinggalkan.

Sekarang, tubuh kita masih dalam kondisi yang baik. Kita tak
mengalami rasa sakit yang hebat sehingga tidak bisa berpikir jernih.
Tak satu pun dari kita yang berada pada posisi yang kiranya tidak
menguntungkan. Jadi, mumpung kondisinya masih baik, kita perlu
melakukan sesuatu yang bermakna dalam hidup dan memanfaatkan
kondisi luar biasa yang kita nikmati saat ini. Apa artinya menarik
manfaat penuh atau meraih sesuatu yang bermakna dalam hidup kita?
Itu artinya melakukan apa pun yang perlu dilakukan untuk memastikan
kebahagiaan pada kehidupan saat ini dan mendatang; dengan kata lain,
kebahagiaan yang bisa berlanjut terus dan takkan hilang.

Yang paling ideal adalah mencapai sebuah keadaan di mana kita


tidak lagi mengkhawatirkan penyakit, penuaan, dan kematian. Apa
yang bisa membantu kita untuk mengatasi ketakutan pada kematian?
Kita bisa belajar untuk berperilaku sedemikian rupa agar kita percaya

20
12 Mata Rantai

diri menghadapi kematian. Dengan kata lain, kita mengetahui jenis


kehidupan seperti apa yang menunggu kita setelah kehidupan yang
satu ini, atau lebih tepatnya, memastikan bahwa kehidupan yang akan
datang adalah kehidupan yang baik dan berguna. Dengan kepastian
yang demikian, takkan ada lagi alasan untuk takut pada kematian. Di
sisi lain, jika kita tak tahu apa yang menanti kita setelah kehidupan ini,
tentu saja kita punya semua alasan untuk takut pada kematian.

Jika kita ceroboh, menyia-nyiakan waktu, dan terlena oleh


pengalihan perhatian, maka suatu hari nanti kita bisa saja sakit parah.
Ketika itu, barangkali kita akan berjanji untuk mulai berpraktik setelah
sembuh nanti, namun tentu saja semuanya sudah terlambat. Karena
kemalasan, pengalihan perhatian, dsb, kita menyia-nyiakan hidup kita.
Tanpa sadar, tahu- tahu kita sudah menjadi terlalu tua. Ketika masa itu
tiba, barangkali kita akan memikirkan apa yang bakal menunggu kita
di kehidupan berikutnya, namun tentu saja pemikiran tersebut sudah
telat. Ketika kita menua, kemampuan untuk merenung dan berpraktik
secara signifikan sudah hilang. Jadi, mumpung kita masih berada dalam
kondisi yang baik, inilah saatnya untuk melakukan sesuatu yang benar-
benar berguna dalam sisa waktu hidup kita.

Terlebih-lebih, waktu benar-benar melayang begitu saja. Waktu


terus berjalan tanpa henti. Tak ada jeda. Selagi waktu terus berjalan,
hidup kita juga terus memendek, sedangkan kita masih belum sanggup
mengendalikan batin. Sebagai contoh, meskipun kita sedang menyimak
Dharma dengan motivasi yang bajik, namun kalau diberi kesempatan
sedikit saja, batin kita masih mudah sekali untuk mengembara ke mana-
mana dan teralih ke hal-ihwal yang tak ada kaitannya dengan Dharma.

Oleh karena itu, tugas utama kita adalah berusaha mengendalikan


batin sepanjang waktu, alih-alih membiarkan batin yang mengendalikan
kita. Kita perlu memegang kendali atas batin kita. Kita perlu menjinakkan
dan mendisiplinkan batin. Inilah tujuan kita yang terpenting.

21
Pratityasamutpada: 12 Mata Rantai yang Saling Bergantungan

Bagaimana caranya? Dengan pertama-tama mendengarkan dan


mempelajari ajaran Buddha, kemudian merenungkan ajaran-ajaran
tersebut dan memeditasikannya. Penting juga untuk mendengarkan
ajaran dengan alasan yang tepat, yakni dengan motivasi yang bajik,
yakni niat agar kita dan semua makhluk bisa selamanya terbebas dari
penderitaan dan mampu meraih kebahagiaan sejati. Dengan niat ini, kita
kemudian menyadari bahwa diri kita yang sekarang masih belum bisa
memastikan tujuan yang kita sasar. Menyadari bahwa satu-satunya cara
memastikan tercapainya tujuan ini adalah dengan menyempurnakan diri
sendiri terlebih dulu, kita pun berlatih untuk menjadi seorang Buddha.
Singkatnya, motivasi kita menyimak Dharma adalah untuk menjadi
seorang Buddha agar kita bisa menolong semua makhluk.

22
3
Ketidaktahuan Akar

D i dalam Buddhadharma, kita memiliki aliran filsafat yang berbeda-


beda. Tiga dari empat aliran utama memiliki ciri tertentu: Waibhashika,
Sautrantika, dan Citamatra. Ketiganya mengakui adanya kemunculan
yang saling bergantungan, yang berlaku hanya untuk fenomena yang
tak kekal atau fenomena gabungan (komposit), berhubung fenomena
ini muncul dari sebab dan kondisi. Bagi aliran-aliran ini, “kemunculan
yang saling bergantungan” tak berlaku bagi fenomena yang kekal
atau fenomena non-gabungan (non-komposit). Ini sebenarnya sangat
sederhana. Tidak ada akibat yang tidak bergantung pada sebabnya.
Sebuah hasil (akibat) terjadi karena ada sebabnya.

Aliran filsafat keempat dan tertinggi disebut filsafat jalan tengah,


yakni aliran Madhyamaka. Pengikut aliran ini menyatakan bahwa
istilah ‘kemunculan yang saling bergantungan’ berlaku pada segala
sesuatu yang eksis, yang berarti mencakup fenomena tak kekal maupun
fenomena kekal. Menurut aliran ini, tak ada sesuatu atau apa pun yang
keberadaannya tidak bergantung pada persepsi yang menerimanya atau
penamaan (pelabelan) yang diberikan kepadanya. Segala sesuatu yang
hadir muncul dengan bergantung pada label yang diberikan kepadanya
Pratityasamutpada: 12 Mata Rantai yang Saling Bergantungan

dan/atau persepsi yang menangkapnya. Jadi, agar segala sesuatu bisa


eksis, ada hubungan ketergantungan dengan sesuatu yang lain. Oleh
karena itu, segala sesuatu adalah kemunculan yang saling bergantungan.

Aliran Madhyamaka sendiri memiliki 2 cabang: Swatantrika dan


Prasangika. Masing-masing memiliki cara penerjemahan yang sedikit
berbeda terhadap istilah “kemunculan yang saling bergantungan.”
Seperti yang telah kita lihat, Madhyamaka menyatakan bahwa segala
sesuatu yang ada merupakan kemunculan yang saling bergantungan.
Namun, di antara sekumpulan besar kemunculan yang saling
bergantungan, ada sebuah kategori spesifik yang disebut 12 Mata
Rantai, yang menguraikan bagaimana kita berputar di dalam samsara.

Sebelumnya, kita telah membahas mata rantai pertama,


ketidaktahuan akar, secara umum. Namun, ia sesungguhnya merujuk
pada jenis ketidaktahuan yang sangat spesifik, yakni pada ketidaktahuan
sebagai kesalahpahaman ihwal hakikat diri atau ‘aku’. Ini adalah
pandangan yang melihat diri sebagai entitas yang bebas dan kekal.
Pandangan ini cukup umum dianut oleh banyak praktisi di India.
Menurut mereka, jika kita tidak mengakui sesosok ‘aku’ yang kekal,
bagaimana mungkin ia bisa bergerak bersama kita dari satu kehidupan
ke kehidupan selanjutnya? Bagi mereka, ‘aku’ adalah sesuatu yang
tidak bergantung pada apa pun, namun berdiri sendiri. Menurut
Buddhadharma, pandangan macam ini adalah sebuah pandangan yang
keliru, yang disebut sebagai sikap mencengkeram diri yang berdiri
sendiri.

Filsuf-filsuf India tetap menyatakan bahwa ‘aku’ atau diri adalah


sesuatu yang kekal dan bebas dari fenomena lainnya, terlepas dari
keyakinan mereka terhadap hukum karma. Menurut mereka, jika ‘aku’
tidak kekal, maka ia tidak stabil. Jika ia tidak stabil, maka akibat dari
karma yang diperbuat dalam satu kehidupan takkan bisa menghasilkan

24
Ketidaktahuan Akar

akibatnya dalam kehidupan yang akan datang, karena tak ada sesuatu
yang cukup stabil untuk bisa membawa karma tersebut ke kehidupan
yang akan datang dan memastikan terjadinya hubungan sebab-akibat.
Dengan kata lain, mereka meyakini bahwa orang yang “mengumpulkan”
karma harus identik dengan orang yang “mengalami” akibat dari karma
tersebut.

Singkatnya, mereka pertama-tama menyatakan bahwa ‘aku’ atau


diri haruslah bersifat kekal, atau lebih tepatnya, ‘abadi’. Kenapa aspek
keabadian ini harus ditekankan? Karena dalam Buddhisme, menjadi
“kekal” tak berarti bahwa sebuah fenomena harus selalu ada. Misalnya
saja “kesunyataan” dari jam tangan. Jam tangan itu sendiri tidak kekal,
tapi kesunyataan dari jam tangan adalah kekal, meski ia tidaklah abadi.
Kesunyataan dari jam tangan tidak selalu ada. Ia tentunya takkan lagi
ada begitu jam tangannya sendiri lenyap atau hancur, namun kita
tentunya tak bisa mengatakan bahwa kesunyataan dari jam tangan
tersebut turut lenyap.

Jadi, bagaimana kita menjelaskan fenomena kekal dalam


Buddhadharma? Sebuah fenomena kekal adalah sesuatu yang tak
berubah dengan seketika setelah kemunculannya. Inilah cara fenomena
kekal dijelaskan dalam Buddhadharma. Dengan demikian, masalahnya
bukan pada durasi keberadaan dari fenomena tersebut; alih-alih, ia
adalah sesuatu yang, ketika muncul, tak langsung berubah pada momen
selanjutnya.

Mari kita lihat dari sudut pandang lainnya. Seperti yang telah
dipaparkan oleh filsafat non-Buddhis, ‘aku’ dikatakan kekal atau abadi.
Kedua, mereka juga mengatakan bahwa ‘aku’ adalah satu kesatuan yang
tunggal dan tak majemuk. Konsepsi ‘aku’ yang demikian ditentang oleh
Buddhisme, karena ‘aku’ dalam Buddhisme selalu berubah dari momen
ke momen. Kedua, ‘aku’ bisa saja merupakan sebuah unit, namun ia

25
Pratityasamutpada: 12 Mata Rantai yang Saling Bergantungan

tidaklah tunggal, karena Buddhisme menyatakan bahwa ‘aku’ tersusun


dari panca-skandha. Ketiga, ‘aku’ tidaklah bebas, namun utamanya
bergantung pada panca-skandha. Dalam Buddhisme, persepsi ‘aku’
yang keliru ini disebut sikap mencengkeram diri yang berdiri sendiri.
Sikap ini bisa muncul pada tingkatan kasar, seperti memahami ‘aku’
sebagai entitas yang abadi dan tunggal. Pada tingkatan yang lebih
halus, kita memahami ‘aku’ sebagai “diri yang mandiri”, artinya, ‘aku’
yang memahami kemunculan diri dari sisinya sendiri secara intrinsik.

Meskipun seluruh aliran filsafat Buddhis menyetujui bahwa tidak


ada ‘aku’ yang bisa berdiri sendiri atau muncul tanpa bertalian dengan
panca-skandha, boleh dibilang 3½ aliran yang pertama (termasuk
Madhyamaka Swatantrika) meyakini adanya ‘aku’ yang muncul dari
dirinya sendiri. Jadi, meski 3½ aliran ini menyatakan bahwa ‘aku’
bergantung pada skandha agar bisa muncul, mereka juga menyatakan
bahwa ‘aku’ bisa muncul dari dirinya sendiri.

Apa artinya muncul dari dirinya sendiri? Artinya, ketika


kita mencari ‘aku’ di antara panca-skandha, kita diyakini dapat
menemukannya. Ada aliran yang mengatakan bahwa ‘aku’ bergantung
pada keseluruhan panca-skandha, dan ada aliran yang mengatakan
bahwa ‘aku’ hanya bisa ditemukan pada salah satu skandha, khususnya
skandha kesadaran atau arus batin kita. Singkatnya, menurut 3½ aliran
ini, jika kita tidak dapat menemukan ‘aku’ di antara seluruh skandha
atau salah satu darinya, maka ‘aku’ tidak ada sama sekali. Dengan logika
seperti ini, mereka menyatakan bahwa ‘aku’ seharusnya bisa ditemukan
di antara skandha-skandha ini. Jika tidak, maka tak ada orang yang
mengalami akibat dari karma.

Madhyamaka Prasangika adalah satu-satunya aliran yang menolak


keberadaan ‘aku’ yang bisa muncul dari dirinya sendiri. Aliran ini
menyatakan bahwa ‘aku’ mustahil bisa ditemukan di antara skandha-

26
Ketidaktahuan Akar

skandha, karena menyatakan demikian sama saja dengan berkata


bahwa ‘aku’ bisa berdiri sendiri tanpa harus bergantung pada skandha.
Adalah sebuah kontradiksi untuk menyatakan bahwa ‘aku’ bergantung
pada skandha dan kemudian menyatakan bahwa ‘aku’ bisa muncul
dari dirinya sendiri. Madhyamaka Prasangika hanya mengatakan
bahwa ‘aku’ sepenuhnya bergantung kepada skandha, dan tak lebih
dari itu. Bila aliran ini mengakui keberadaan ‘aku’, bagaimana tata
cara kemunculan ‘aku’ menurut mereka? Bagi mereka, ‘aku’ muncul
sebagai penampakan belaka dalam batin seorang makhluk.

Fakta bahwa ada ‘aku’ yang dipahami sebagai sebuah persepsi


oleh batin seorang makhluk sudah cukup untuk menyatakan bahwa
‘aku’ tersebut ada. Dengan berlandaskan skandha, persepsi ihwal ‘aku’
muncul dalam batin individu, dan penampakan ‘aku’ yang sederhana
ini adalah ‘aku’ yang hadir namun tetap sepenuhnya bergantung pada
skandha. Jadi, alih-alih menyatakan bahwa skandha menghasilkan
‘aku’, lebih tepat bila dikatakan bahwa skandha adalah landasan yang
memungkinkan munculnya gagasan mengenai ‘aku’ dalam batin kita.

Sebuah perumpamaan digunakan oleh Chandrakirti untuk


menjelaskan fenomena ini. Dalam sebuah kondisi tertentu di mana tak
terdapat cahaya yang memadai, katakanlah kondisi menjelang dinihari,
seutas tali yang tergeletak di atas tanah bisa saja kita salah pahami
sebagai seekor ular, meski kenyataannya tak ada secuil pun kualitas
ular dalam tali ini. Namun, dalam kondisi tertentu, kita bisa sepenuhnya
keliru dan menganggapnya sebagai ular. Sama halnya, terlepas dari
kenyataan bahwa sesungguhnya tidak ada ‘aku’ yang bisa muncul dari
dirinya sendiri, kita bisa saja, dan memang, memiliki gagasan mengenai
‘aku’ yang berdiri sendiri di dalam batin kita.

Semua penjelasan di atas merupakan bentuk ketidaktahuan. Jadi,


seperti yang telah kita lihat, ketidaktahuan sangatlah kompleks. Ada

27
Pratityasamutpada: 12 Mata Rantai yang Saling Bergantungan

banyak jenis dan tingkatan yang berbeda dari ketidaktahuan. Sebagai


tambahan, ia memiliki 2 aspek:
1. Motivasi sebab
2. Motivasi langsung

Dari kedua aspek ini, yang pertamalah yang dikatakan sebagai


“ketidaktahuan akar”, yang juga dikenal dengan istilah “pandangan
ihwal kumpulan fana”. Apa maksudnya? Pandangan ini adalah sikap
mencengkeram diri, atau lebih tepatnya, kesalahpahaman atau persepsi
keliru yang melihat ‘aku’ sebagai sesuatu yang muncul dari dirinya
sendiri.

Ada aspek lain dari motivasi sebab, contohnya ketidaktahuan


akan hukum karma ataupun ketidaktahuan karena persepsi keliru yang
menganggap sesuatu yang tak murni sebagai murni. Namun, yang
paling utama dari semua ini adalah pandangan ihwal kumpulan fana,
karena inilah yang berperan dalam proses penciptaan karma, yang pada
gilirannya akan melempar kita ke dalam samsara.

Karena berpandangan bahwa diri ini muncul dari sisinya sendiri


tanpa bergantung pada apa pun, kita kemudian melihat diri sendiri
sebagai sosok yang berbeda dengan pihak lain. Dari sini, yang
berikutnya muncul adalah kemelekatan yang kuat pada segala sesuatu
yang berkaitan dengan diri sendiri, karena kita mulai menganggap
diri kita sebagai entitas yang menarik, memikat, dan menyenangkan.
Akibatnya, kita mulai menolak atau memusuhi segala sesuatu yang tak
berada di pihak kita atau berseberangan dengan kita. Dari sinilah semua
klesha lainnya, seperti amarah atau kebencian, bangkit. Dengan kata
lain, semua klesha bersumber dari kesalahpahaman terkait cara kita
memandang diri sendiri.

Coba bayangkan apa yang terjadi kalau kita tak memiliki


ketidaktahuan akar. Bagaimana jika kita tak memiliki pandangan

28
Ketidaktahuan Akar

bahwa diri kita eksis dari sisinya sendiri? Tentu tidak ada lagi basis atau
dasar bagi munculnya amarah. Tanpa pandangan ihwal kumpulan fana,
kita takkan melihat diri sendiri sebagai sosok yang menyenangkan dan
orang lain sebagai sosok yang tak menyenangkan. Dengan demikian,
kita pun tidak akan melekat pada satu hal dan menolak hal lainnya.

Namun, kita harus kembali mencermati ketidaktahuan akar. Telah


dikatakan bahwa agar bisa disebut ketidaktahuan akar, maka ia harus
merupakan “pandangan ihwal kumpulan fana.” Dengan kata lain, ia
harus merupakan kesalahpahaman yang menganggap diri eksis dari
sisinya sendiri. Tapi, itu belum menyusun mata rantai pertama secara
utuh. Ada karakteristik lain yang harus hadir. Misalnya, meskipun kita
memiliki “pandangan ihwal kumpulan fana”, ia takkan membuat kita
menciptakan karma pelempar ke dalam samsara bila ia tidak aktif.
Pandangan yang tidak aktif ini tak bisa dikatakan sebagai ketidaktahuan
akar. Kemudian, kalaupun pandangan ini benar-benar berada dalam
diri kita, namun kalau kita tidak bertindak untuk menciptakan karma
pelempr karena pengaruhnya, maka ia juga tak bisa dikatakan sebagai
ketidaktahuan akar.

Untuk bisa dianggap sebagai mata rantai pertama, “pandangan


ihwal kumpulan fana” haruslah merupakan sebuah penggerak. Dengan
kata lain, ia harus cukup kuat agar bisa membangkitkan kemelekatan,
amarah, atau klesha lain yang kuat, yang kemudian akan mendorong
kita untuk menciptakan karma bagi kelahiran kembali dalam samsara.
Agar lebih spesifik, ketika “pandangan ihwal kumpulan fana” menjelma
di dalam diri kita dan kita memiliki sensasi yang sangat kuat terkait diri
kita, seperti pemikiran “Inilah aku!” atau “Aku eksis!”, sensasi ini akan
membangkitkan klesha yang amat kuat, seperti amarah, kemelekatan,
dst, yang pada gilirannya akan menuntun kita untuk melakukan
perbuatan negatif, terutama 10 jalan karma hitam, dan melempar kita
ke kelahiran kembali di alam-alam rendah. Karena kita tidak benar-

29
Pratityasamutpada: 12 Mata Rantai yang Saling Bergantungan

benar memahami prinsip hukum karma, kita pun melakukan perbuatan


negatif tanpa pikir panjang; kita tidak bisa memahami penderitaan
yang kita timbulkan pada makhluk lain ketika kita membunuh mereka,
dan kita tidak memahami akibat buruk yang bisa menimpa kita karena
perbuatan tersebut.

Kita tak paham bahwa akibat yang matang sepenuhnya dari


tindakan membunuh adalah kelahiran kembali di alam rendah. Kita
tak paham bahwa perilaku yang menyerupai sebab dari tindakan
membunuh adalah kecenderungan atau kegemaran untuk membunuh.
Kita tak paham bahwa pengalaman yang menyerupai sebab dari
tindakan membunuh adalah berumur pendek. Kita tak paham bahwa
akibat yang memengaruhi lingkungan dari tindakan membunuh adalah
terlahir di tempat yang makanannya tak bergizi dan obat-obatannya tak
berkhasiat. Kita tidak memahami semua ini. ketidaktahuan akan hukum
karma inilah yang mengarahkan kita untuk bertindak dalam cara yang
baru saja dijelaskan.

Jadi, ketika kita terlibat dalam salah satu dari 10 jalan karma
hitam, ada 2 jenis motivasi sebab yang utamanya terlibat: “pandangan
ihwal kumpulan fana” dan ketidaktahuan akan hukum karma.

Terkait kelahiran kembali di alam yang lebih tinggi, yakni sebagai


manusia maupun dewa, prosesnya sama saja. Titik tolaknya tetap
ketidaktahuan akar. Ia akan selalu hadir ketika kita menciptakan karma
bagi kelahiran kembali di dalam samsara. Namun bedanya, dalam
kasus kelahiran di alam tinggi, kita tidak memiliki ketidaktahuan yang
berkaitan dengan hukum karma. Sebaliknya, kita justru menyadari
karma dan akibat-akibatnya. Karena pemahaman ini, kita berperilaku
secara positif dan bajik. Kita mengembangkan dan melatih kemurahan
hati, menjaga sila dengan baik, dsb, serta menahan diri dari 10 jalan
karma hitam.

30
Ketidaktahuan Akar

Mengapa? Karena kita tahu perbuatan bajik akan menciptakan


karma bagi kelahiran kembali sebagai manusia atau dewa, dan itulah
keinginan kita. Harapan utama kita adalah meraih kelahiran yang baik
di dalam samsara. Jadi, didorong oleh ketidaktahuan akar, kita terlibat
dalam perbuatan bajik dan mengembangkan kualitas-kualitas bajik
yang memungkinkan kita untuk meraih kelahiran kembali di alam yang
tinggi di dalam samsara.

Jadi, baik dalam kasus kelahiran di alam rendah ataupun alam


tinggi, pasti ada ketidaktahuan akar yang terlibat. Keseluruhan
proses ini dimulai dengan “pandangan ihwal kumpulan fana”. Tanpa
pandangan ini, kita takkan menciptakan karma untuk terlahir kembali
di dalam samsara.

Mari kita lihat situasi sebaliknya. Jika kita tidak memiliki


ketidaktahuan akar, atau jika kita memahami ketiadaan ‘aku’ atau
diri yang eksis dari sisinya sendiri, atau dengan kata lain, jika kita
memahami ke-tanpaaku-an, maka meskipun kita mungkin menganggap
diri kita berbeda dengan yang lain, kita takkan memiliki kemelekatan
pada diri sendiri ataupun kebencian pada pihak lain, karena tak ada yang
mengarahkan kita untuk menciptakan karma untuk terlahir kembali di
dalam samsara.

Tinjauan Ulang
Chandragomin mengatakan sesuatu yang patut direnungkan
ihwal kelahiran sebagai manusia yang berharga dengan kebebasan dan
keberuntungan yang menyertainya: “Setelah meraihnya, engkau akan
sanggup keluar dari samudera kelahiran kembali dan menanam benih-
benih kebajikan bagi pencerahan tertinggi. Kebajikannya jauh lebih
besar dibandingkan permata pengabul harapan. Manusia seperti apa
yang akan menyia-nyiakan kelahiran seperti ini?”

31
Pratityasamutpada: 12 Mata Rantai yang Saling Bergantungan

Baris pertama menjelaskan bahwa segera setelah meraih kelahiran


sebagai manusia yang berharga dengan segala jenis kebebasan dan
keberuntungan yang menyertainya, kita berada dalam posisi untuk
keluar dari samudera kelahiran kembali. Artinya, samudera penderitaan
ini bisa diseberangi. Jadi, baris pertama menjelaskan tahapan jalan
yang dijalankan bersama makhluk kapasitas kecil dan menengah, serta
kemampuan kita untuk mempraktikkannya.

Beliau lanjut mengatakan bahwa kita juga dapat menanam benih


bagi pencerahan tertinggi. Pencerahan tertinggi tentu saja merujuk
pada Kebuddhaan, dan benih merujuk pada sebab-sebab pencerahan.
Baris ketiga menjelaskan bahwa nilai yang terkandung di dalam
kelahiran sebagai manusia jauh lebih berharga dibandingkan permata
pengabul harapan. Permata pengabul harapan hanya bisa memberikan
pencapaian terbaik dalam kehidupan saat ini saja, misalnya untuk
mengatasi kemiskinan. Namun, tidak ada hasil baik dari permata ini
yang bisa dibawa ke kehidupan berikutnya. Permata pengabul harapan
tidak bisa menjamin lolosnya kita dari kelahiran di alam rendah, apalagi
memastikan pembebasan atau pencerahan.

Di sisi lain, sebuah kelahiran sebagai manusia yang berharga


memberikan kesempatan untuk memenuhi tujuan-tujuan dalam
kehidupan saat ini maupun rangkaian kehidupan berikutnya. Ia bahkan
memberikan kemungkinan untuk bebas sepenuhnya dari samsara. Lebih
jauh, ia juga bisa membantu kita untuk mencapai tujuan tertinggi demi
semua makhluk: Kebuddhaan. Jadi, tak ada keraguan bahwa kelahiran
sebagai manusia ribuan kali lebih unggul daripada permata pengabul
harapan.

Baris terakhir mengatakan, “Manusia seperti apa yang akan


menyia-nyiakan kelahiran seperti ini?” Artinya, kalau saja kita punya
sedikit kecerdasan atau kemampuan untuk memahami, mustahil kita
akan menyia-nyiakan kesempatan berharga yang diberikan oleh

32
Ketidaktahuan Akar

kehidupan ini. Kelahiran sebagai manusia menawarkan kemungkinan


untuk meraih hasil yang luar biasa bagi diri sendiri berikut semua
makhluk, sehingga siapa pun yang punya sedikit kecerdasan tentu
takkan menyia-nyiakan kesempatan seperti ini.

Kita harus benar-benar menerima nasihat Chandragomin secara


pribadi, seolah-olah nasihat ini ditujukan pada kita secara langsung.
Pertama-tama, setelah menyadari hakikat kelahiran kita sebagai manusia,
kita harus mengenali kesempatan yang telah diberikan pada kita dan
merasa terdorong untuk menerapkannya sebaik mungkin. Bagaimana
caranya? Dengan menapaki tahapan jalan bagi ketiga jenis makhluk
dan menyasar capaian tertinggi yang bisa kita raih: Kebuddhaan.

Kehidupan terus berlalu seiring berjalannya waktu. Hidup


kita terus memendek. Ini sangat jarang kita sadari. Misalnya, ketika
seseorang baru saja memiliki bayi, kita melihat bayi yang baru lahir
ini sebagai makhluk yang sangat manis dan lucu. Ketika kita kembali
melihat bayi ini beberapa tahun kemudian, kita terkejut mengetahui
betapa besarnya ia sekarang. Nyata sekali bahwa bayi telah berubah
menjadi anak kecil. Sayangnya, kita jarang mengaitkan perubahan pada
anak tersebut dengan perubahan diri kita sendiri; kita tak sadar bahwa
umur kita juga semakin bertambah dan jangka hidup kita semakin
pendek.

Ketidaksadaran ini terjadi karena kebanyakan waktu dan pikiran


kita teralihkan ke hal-ihwal yang tak berfaedah. Pikiran kita dibiarkan
berkelana ke mana-mana dan kita membiarkan diri dikuasai oleh
kecenderungan untuk menjadi malas. Masalah berikutnya adalah
kecerobohan, yang menghalangi kita untuk menyadari bahwa waktu
terus berlalu dengan cepat.

Kesanggupan untuk mengaitkan penjelasan dalam ajaran dengan


diri sendiri adalah poin yang paling penting. Tanyakanlah pada diri

33
Pratityasamutpada: 12 Mata Rantai yang Saling Bergantungan

sendiri, “Apakah yang dijelaskan memang benar?” “Benarkah saya


seperti itu?” “Itukah yang saya lakukan dalam hidup?” Kita benar-benar
perlu bertanya seperti ini untuk memeriksa diri kita sendiri. Ketika
menyimak ajaran, kita harus memeriksa apakah batin kita sedang
diliputi oleh kemalasan, kecerobohan, dan pengalihan perhatian.

Kalau jawabannya ‘ya’, maka yang perlu kita lakukan adalah


mengubah pola pikir dan perilaku kita, yakni berupaya mengurangi
kualitas negatif dan meningkatkan kualitas positif dalam diri. Kita
juga tak boleh lupa untuk menetapkan motivasi yang tepat kapan
pun kita menyimak sebuah ajaran. Hanya dengan cara inilah kita bisa
berkembang dan mengalami kemajuan. Selanjutnya, tidaklah cukup
kalau kita sudah berpuas diri setelah meraih sedikit pemahaman. Apa
yang kita pahami harus dikembangkan dan direnungkan terus-menerus
agar batin kita menjadi semakin mantap.

Dalam konteks kali ini, kita membahas 12 Mata Rantai. Topik ini
sungguh merupakan ajaran yang luar biasa karena ia mencakup seluruh
tahapan jalan bagi makhluk motivasi awal, yaitu penjelasan tentang
bagaimana kita menciptakan karma untuk mengalami penderitaan
di alam rendah serta bagaimana kita dapat lolos dari proses tersebut.
Topik yang sama juga menjelaskan bagaimana dan mengapa kita
berputar di dalam samsara secara umum, bagaimana kita mengalami
penderitaannya, dan bagaimana kita dapat terbebas darinya, baik
melalui pencapaian nirwana pribadi ataupun Kebuddhaan yang lengkap
dan sempurna. Ini, seperti yang kita ketahui, adalah seluruh tahapan
jalan bagi makhluk motivasi menengah dan agung.

Semua poin di atas dipadatkan dalam 12 Mata Rantai, sehingga


tak heran kalau instruksi ini juga disebut ‘instruksi praktis’, atau kalau
mengikuti terjemahan harfiahnya: ‘instruksi merah’. Kenapa disebut
‘merah’? Ini ada hubungannya dengan proses otopsi atas tubuh manusia.

34
Ketidaktahuan Akar

Ketika tubuh manusia diotopsi, jamaknya kita akan melihat banyak


warna merah. Dengan cara yang sama, 12 Mata Rantai membentangkan
semua aspek yang perlu diketahui dari samsara dengan seksama, jelas,
dan gamblang. Sebuah penjelasan dengan kata-kata lebih sering hanya
bersifat abstrak. Di sisi lain, ajaran 12 Mata Rantai bagaikan sebuah
proses otopsi di dalam kelas anatomi. Segala sesuatu ditunjukkan dan
dikenali dengan sangat jelas. Setiap tahapan ketika kita menciptakan
karma, bagaimana kelahiran terjadi, dan bagaimana kita menderita
karena terlahir kembali ditunjukkan dengan jelas dan gamblang.

Ketika kita mempertimbangkan hubungan antara 12 Mata Rantai


dengan makhluk hidup yang menjalaninya dan waktu yang dibutuhkan
untuk mengalami semua mata rantai ini, yang kita pikirkan jamaknya
adalah satu rangkaian utuh dari 12 Mata Rantai yang dialami dalam
satu masa kehidupan. Namun, sesungguhnya dibutuhkan dua masa
kehidupan agar satu rangkaian utuh dari 12 Mata Rantai bisa terjadi.
Dua masa kehidupan adalah jumlah minimal yang diperlukan, dan
jumlah maksimalnya adalah tiga masa kehidupan.

Jadi, bila kita mengambil contoh seseorang yang akan mengalami


semua mata rantai dalam dua masa kehidupan, yang pertama terjadi
adalah orang ini mengalami ketidaktahuan akar (mata rantai ke-1)
sehingga menghimpun karma baik untuk terlahir kembali menjadi
seorang manusia (mata rantai ke-2). Karma baik ini adalah karma mental
yang tersimpan dalam kesadaran atau arus batin (mata rantai ke-3).
Lalu, karma ini selanjutnya diperkuat oleh hasrat (mata rantai ke-8) dan
sikap mencengkeram (mata rantai ke-9), yang akan mematangkannya
menjadi eksistensi (mata rantai ke-10). Mata rantai eksistensi inilah
yang akan membuat orang ini terlahir kembali sebagai seorang manusia
setelah ia meninggalkan kehidupannya saat ini. Singkatnya, dalam
kehidupan saat ini, ia telah mengalami 6 dari 12 mata rantai.

35
Pratityasamutpada: 12 Mata Rantai yang Saling Bergantungan

Ketika ia akhirnya meninggal, kesadaran (mata rantai ke-3) akan


memasuki rahim ibunya1, dan kehidupan (mata rantai ke-11) pun resmi
dimulai. Ketika janin itu sendiri tumbuh semakin besar, nama dan
rupa (mata rantai ke-4) turut muncul, berikut indra (mata rantai ke-
5). Kontak (mata rantai ke-6) juga muncul seiring berjalannya waktu,
tepatnya ketika kesadaran dapat dihubungkan dengan kekuatan indra
yang melakukan kontak dengan objek. Kontak ini akan memunculkan
aneka jenis perasaan (mata rantai ke-7). Dan akhirnya, setiap kehidupan
pasti akan diakhiri dengan penuaan dan kematian (mata rantai ke-12).
Jadi, seseorang mengalami 6 dari 12 mata rantai di kehidupan pertama
dan 6 lainnya di kehidupan yang kedua.

Bila kita mempertimbangkan pembagian 12 Mata Rantai dalam


tiga masa kehidupan, maka dalam kehidupan pertama, ada ketidaktahuan
akar (mata rantai ke-1) yang memunculkan karma pembentuk (mata
rantai ke-2), yang pada gilirannya akan tersimpan dalam kesadaran
(mata rantai ke-3). Namun, dalam kasus ini, hasrat dan sikap
mencengkeram tidak mematangkan karma tersebut. Kenyataannya,
karma dalam kehidupan yang pertama dapat tetap berada dalam arus
batin seseorang untuk masa kehidupan yang tak terhitung. Ketika karma
tersebut akhirnya matang di masa kehidupan kedua, 3 dari 12 Mata
Rantai dalam rangkaian telah muncul, yaitu hasrat (mata rantai ke-8),
sikap mencengkeram (mata rantai ke-9), dan eksistensi (mata rantai ke-
10). Jika dalam kehidupan kedua ini hasrat dan sikap mencengkeram
telah memperkuat karma tersebut sampai akhirnya ia mematangkan
mata rantai eksistensi, maka tidak mungkin karma tersebut tidak segera
menghasilkan akibatnya, karena ia harus segera menghasilkan sesuatu
saat itu juga.

1 Mata rantai kesadaran memiliki 2 tingkatan, yaitu kesadaran sebab dan kesadaran yang
dihasilkan. Kesadaran sebab adalah mata rantai ke-3 yang telah tercakup dalam kehidupan
pertama. Kesadaran yang dihasilkan adalah yang muncul dalam kehidupan kedua. Tetapi, kita
takkan menambahkannya sebagai mata rantai yang berbeda, karena nantinya akan ada 13 mata
rantai, bukannya 12.

36
Ketidaktahuan Akar

Intinya, di antara kehidupan yang pertama dan kedua, akan ada


sangat banyak kehidupan di antaranya yang dapat terjadi karena sikap
mencengekram dan hasrat telah mematangkan karma yang lain dari
rangkaian 12 Mata Rantai yang lain, bukan rangkaian yang sedang kita
bicarakan saat ini. Ketika kita datang ke kehidupan yang kedua, maka
karma yang telah dimatangkan oleh hasrat dan sikap mencengkeram
akan memunculkan eksistensi. Dan ketika telah matang sepenuhnya,
karma tersebut harus segera menghasilkan sesuatu, dan takkan ada
lagi kehidupan lain yang muncul di antaranya. Apakah sesuatu yang
dihasilkan itu? Kehidupan (mata rantai ke-11). Dan dari kehidupan,
muncullah kesadaran (mata rantai ke-3), nama dan rupa (mata rantai ke-
4), indra (mata rantai ke-5), kontak (mata rantai ke-6), perasaan (mata
rantai ke-7), serta penuaan dan kematian (mata rantai ke-12). Dengan
kata lain, 6 mata rantai yang tersisa terjadi dalam masa kehidupan yang
ketiga.

Setelah melihat betapa luar biasa dan rumitnya cara kerja 12 Mata
Rantai, kita akan sadar bahwa proses ini pada dasarnya hampir mustahil
untuk diakhiri, karena selama kita masih mengumpulkan karma melalui
ketidaktahuan akar, kita harus terus terlahir kembali. Bahkan, kalaupun
karma tersebut tidak matang seketika dan ada siklus lain yang terjadi
di tengah-tengahnya, dalam siklus tersebut kita akan kembali membuat
karma yang mengakibatkan kelahiran kembali di kehidupan mendatang
yang lain.

37
4
Ketidaktahuan Akar
(lanjutan)
S ekarang, kita akan membahas aspek kedua dari mata rantai pertama,
yang disebut motivasi langsung. Motivasi ini juga memiliki 2 bagian:
1. Motivasi pemicu
2. Motivasi perampung

Motivasi pemicu tidaklah pasti. Ia bisa berupa salah satu dari 3


klesha akar: kemelekatan, amarah, atau ketidaktahuan. Misalnya, bila
kita melakukan tindakan membunuh, motivasi pemicunya bisa jadi
adalah kemelekatan (menginginkan daging, bulu, atau kulit binatang),
amarah (kebencian terhadap korban), atau ketidaktahuan (meyakini
bahwa pengorbanan binatang akan menyenangkan para dewa).

Kita tahu bahwa dalam sebuah proses penciptaan karma, ada 4


unsur utama, yaitu:
1. Dasar (basis) sebuah tindakan
2. Pemikiran di balik sebuah tindakan
3. Tindakan itu sendiri
4. Penyelesaiannya
Pratityasamutpada: 12 Mata Rantai yang Saling Bergantungan

Terkait topik kali ini, kita akan mengamati “pemikiran di balik


sebuah tindakan”, yang terbagi menjadi 3 aspek:
1. identifikasi atas objek
2. klesha yang terlibat
3. motivasi

Berbicara mengenai motivasi pemicu adalah berbicara mengenai


klesha. Dalam jalan karma membunuh ini, pemikiran di balik
tindakanlah (dengan klesha sebagai salah satu unsurnya) yang memicu
dan mengarahkan kita untuk mengambil nyawa. Berikutnya adalah
tindakan membunuh itu sendiri, yang bisa dilakukan dengan banyak
cara.

Pada saat membunuh, kita juga memiliki motivasi perampung


yang, tak seperti motivasi pemicu, bersifat pasti; artinya, ia hanya
memiliki satu kemungkinan. Dalam kasus membunuh (dan juga ucapan
kasar dan niat jahat), motivasi perampungnya haruslah berupa amarah
atau kebencian. Kalau misalnya kita mengatakan sesuatu yang kasar
kepada anak, sahabat karib, atau murid dengan motivasi murni untuk
membantu mereka, maka tindakan kita tidak bisa digolongkan sebagai
ucapan kasar, karena tak ada amarah atau kebencian yang terlibat di
dalamnya.

Sebagai tambahan, dalam kasus mencuri, perilaku seksual yang


salah, dan keserakahan, motivasi perampungnya adalah kemelekatan.
Dalam kasus pandangan salah, motivasi perampungnya adalah
ketidaktahuan. Untuk sisa perbuatan tak bajik lainnya, salah satu dari 3
klesha akar dapat menjadi motivasi perampung. Semua penjelasan ini
dijelaskan dengan rinci dalam Risalah Pengetahuan2 karya Wasubandhu.
Penjelasan yang berkaitan dengan motivasi pemicu bisa ditemukan
dalam Ikhtisar Pengetahuan3 karya Asanga. Sebagai kesimpulan,
2 Abhidharma-kosha.
3 Abhidharma-samuccaya.

40
Ketidaktahuan Akar (lanjutan)

motivasi pemicu bisa berbeda-beda, sedangkan motivasi perampung


lebih spesifik dan pasti.

Namun, sekali lagi, bila kita kembali merujuk ke aspek motivasi


sebab, maka pemahaman yang benar terhadap hukum karma adalah
jaminan yang sebenarnya untuk menghindari tindakan membunuh
makhluk lain. Ketidaktahuan terkait hukum karma bisa dibagi menjadi
2 jenis:

1. Kita bisa saja sekadar tak mengetahui, tak memperhatikan, atau


melupakan. Dengan kata lain, kita bahkan tak mengetahui ada sesuatu
yang dinamai hukum karma. Atau, meskipun tahu, kita sepenuhnya
melupakan atau tak memperhatikannya, sehingga kita pun berperilaku
dengan cara yang negatif.

2. Kita dengan sengaja mengabaikan hukum karma. Dengan kata


lain, kita memegang teguh pandangan yang menolak gagasan bahwa
sebuah tindakan akan membuahkan akibat.

Jadi, bentuk ketidaktahuan ini – entah apakah kita tak tahu mengenai
hukum karma ataupun menolak untuk mengakui bahwa tindakan kita
pasti akan membuahkan akibat – merupakan pandangan salah. Tapi,
ini bukan pandangan salah yang bisa digolongkan sebagai jalan karma
kesepuluh dalam 10 ketidakbajikan, karena jalan karma kesepuluh ini
lebih nyata dan kasar. Di sini, kita membicarakan pandangan salah
yang lebih halus, yang hadir di dalam diri kita dan mengarahkan kita
untuk melakukan 10 ketidakbajikan. Ini adalah sesuatu yang harus kita
waspadai. Kita harus menyadari bahwa meskipun kita tidak memiliki
pandangan salah yang kasar, bukan berarti kita tidak memegang
pandangan salah sama sekali. Kita bisa dengan mudah memiliki
pandangan salah yang lebih halus, yang membuat kita menyepelekan
akibat dari perbuatan kita. Artinya, kita tetap saja mengingkari karma
dan akibatnya – ia sangat halus, dan pasti ada ketika kita melakukan
salah satu dari 10 ketidakbajikan.

41
Pratityasamutpada: 12 Mata Rantai yang Saling Bergantungan

Untuk lebih jelasnya, kita barangkali memahami dan meyakini


hukum karma. Namun, akibat pengaruh klesha—kemelekatan, amarah,
dsb—pandangan unggul ini bisa terhalang dan hilang untuk sementara
waktu. Pandangan unggul kita dirintangi oleh salah satu klesha dan
akhirnya merosot. Demikianlah kita diarahkan untuk melakukan
perbuatan negatif seperti membunuh, mencuri, dsb; perbuatan-
perbuatan yang biasanya kita hindari karena kita paham betul bahwa
semua tindakan tersebut salah dan bisa berdampak serius. Ketika
klesha akhirnya benar-benar bangkit dalam batin dan kita secara
perlahan mulai memunculkan pikiran buruk, minimal kita harus
berusaha mengendalikan perilaku. Kalau tidak, kita akan menumpuk
satu ketidakbajikan lagi di atas ketidakbajikan lainnya, yang tentu akan
semakin memperparah keadaan.

Dari 10 ketidakbajikan, ketidakbajikan mental adalah yang


paling halus, sehingga inilah yang paling mudah kita lakukan. Bahkan
sebelum kita menyadarinya, ketidakbajikan mental dengan mudah
muncul di dalam diri kita. Akan tetapi, tanpa sadar kita juga sangat
mudah melakukan ketidakbajikan ucapan, misalnya berbohong.
Ucapan memecah-belah mungkin jarang kita lakukan. Namun, ucapan
kasar juga sangat mudah untuk dilakukan. Meskipun omong-kosong
adalah yang paling ringan di antara semua ketidakbajikan ucapan, tapi
jamaknya inilah yang paling sering dilakukan.

Ada sebagian orang yang berpendapat bahwa ketika kita tidak


membalas tindakan buruk orang lain terhadap kita, maka itu adalah
sebuah sikap yang penuh kepura-puraan atau munafik. Buddhisme
melihat pandangan ini sebagai sesuatu yang sepenuhnya tidak masuk
akal. Alasannya, ketika kita membalas perilaku buruk dengan perilaku
buruk, segala sesuatu hanya akan menjadi lebih buruk, baik bagi orang
lain maupun diri kita sendiri. Misalnya, ketika kita berbicara kasar
karena didorong amarah, itu berarti kita menambahkan ketidakbajikan
ucapan di atas ketidakbajikan mental.

42
Ketidaktahuan Akar (lanjutan)

Klesha¸ khususnya ketidaktahuan, mengarahkan kita untuk


menciptakan karma. Kalau kita bisa melihat dengan lebih baik bagaimana
klesha mengarahkan tindak-tanduk kita, kita akan semakin memahami
risiko jika membiarkan diri kita didominasi oleh klesha. Ini seharusnya
menginspirasi kita untuk berjuang melawan klesha dan menerapkan
penawar yang tepat. Ketika kita bisa melihat bagaimana pandangan
ihwal kumpulan fana memicu bangkitnya klesha, bagaimana motivasi
pemicu menuntun ke motivasi perampung, dan bagaimana melalui
semua proses ini kita menciptakan karma, kita bisa mulai mempelajari
bagaimana menghentikan proses tersebut. Tanpa pemahaman ini, kita
tidak dapat melakukan intervensi atau menghentikan proses pada tahap
awalnya, dan tindakan tak bajik pun tak bisa dielakkan.

Bahkan ketika kita menciptakan karma baik, kita tetap memulainya


dengan ketidaktahuan akar berupa “pandangan ihwal kumpulan fana”.
Ketidaktahuan akar selalu hadir ketika kita menciptakan karma bagi
kelahiran kembali di dalam samsara. Kemelekatan tetap hadir ketika
kita menciptakan karma baik, yakni kemelekatan pada kebahagiaan
di kehidupan mendatang. Ia mengarahkan kita untuk menyasar
kebahagiaan di alam manusia atau dewa melalui praktik bajik seperti
kemurahan hati, menjaga sila dengan murni, dsb. Yang tak boleh kita
lupakan adalah fakta bahwa bentuk kelahiran tinggi yang demikian pun
masih berada dalam cakupan samsara. Sekali lagi, aspirasi ini dilandasi
oleh “pandangan ihwal kumpulan fana”, berhubung ketidaktahuan akar
membangkitkan kemelekatan pada perasaan menyenangkan, yang pada
gilirannya memicu kita untuk terus menciptakan karma.

Sebelumnya, kita telah membahas sekilas soal penjelmaan atau


diaktifkannya “pandangan ihwal kumpulan fana” di dalam diri kita.
Pertanyaannya, ketika ia benar-benar muncul dalam diri kita, apakah
ia selalu merupakan ketidaktahuan akar? Jawabannya: tidak. Misalnya,
bayangkan kita berdiri di atas atap. Tiba-tiba, kita terpeleset dan hampir
jatuh. Tentu saja kita akan ketakutan. Apa yang muncul pada saat itu

43
Pratityasamutpada: 12 Mata Rantai yang Saling Bergantungan

adalah sebuah perasaan yang kuat tentang eksistensi diri atau ‘aku’.
Yang akan muncul adalah persepsi ihwal sebuah diri yang eksis dari
sisinya sendiri, sebuah ‘aku’ yang takut mati. Namun, ketika perasaan
tersebut muncul, bukan berarti kita serta-merta menjadi melekat pada
‘aku’ dan membenci siapa pun yang tak berada di pihak ‘aku’.

Pertanyaan lain: dalam semua kasus, apakah “pandangan ihwal


kumpulan fana” merupakan akar samsara? Jawabannya juga tidak,
karena pandangan ini bisa berupa pandangan bawaan atau yang
diperoleh tanpa perenungan atau analisis apa pun, dan bila demikian
kasusnya, ia bukanlah akar samsara. Kenapa demikian? Karena ia tidak
ditemukan dalam setiap makhluk. Makhluk-makhluk seperti binatang
tidak memiliki kemampuan intelektual atau kecerdasan untuk bisa
memegang sebuah pandangan filosofis, meski mereka juga merupakan
makhluk samsara. Poin ini dijelaskan dengan terang dan jelas di dalam
teks Pengantar Menuju Jalan Tengah4 karya Chandrakirti.

Berikutnya, kita masuk pada mata rantai kedua, yaitu karma-


karma pembentuk. Tidak semua karma digolongkan sebagai karma
pembentuk. Jenis karma ini haruslah berupa karma pelempar, artinya,
karma yang cukup kuat untuk melempar kita ke dalam kehidupan baru
di dalam samsara. Walaupun kita terus menciptakan karma, kebanyakan
karma ini tidak cukup kuat untuk melempar kita ke sebuah kehidupan
yang baru. Oleh karena itu, mereka tidak bisa digolongkan ke dalam
mata rantai kedua.

Penjelasan 12 Mata Rantai kali ini didasarkan pada aliran filosofis


tertinggi yang disebut Madhyamaka Prasangika. Mengapa? Karena
aliran ini adalah penjelasan yang jauh lebih jelas dan sederhana.
Biasanya, topik 12 Mata Rantai diajarkan menurut aliran Madhyamaka
Swatantrika (satu tingkat sebelum Madhaymika Prasangika). Namun,
penjelasan dari aliran ini jauh lebih rumit karena ia membahas isu
4 Madhyamaka-watara.

44
Ketidaktahuan Akar (lanjutan)

mengenai 2 jenis penghalang, yakni klesha penghalang dan penghalang


menuju kemahatahuan, yang juga dianggap sebagai bentuk dari
ketidaktahuan akar. Singkatnya, selain merupakan aliran filsafat yang
lebih tinggi dan unggul, Madhyamaka Prasangika juga merupakan
penjelasan yang lebih jelas dan sederhana.

Jadi, untuk sekadar mengulang, pandangan ihwal kumpulan fana


tidak selalu bermanifestasi meskipun ia selalu ada. Ia hanya muncul
dalam kondisi tertentu. Misalnya, ketika kita merasa sangat bahagia atau
sangat sedih, dsb. Jika seseorang mengatakan sesuatu yang menyakiti
hati kita, maka reaksi alamiah kita adalah, “Berani-beraninya ia berkata
seperti itu kepadaku!” Ketika itu, “aku” muncul dalam batin kita dengan
sangat jelas. Pada saat itu, persepsi kita ihwal “aku” sebagai sesuatu
yang benar-benar mandiri dan muncul dari sisinya sendiri terlihat
semakin jelas dan nyata. Ketika “aku” muncul di hadapan kita pada
saat itu, “aku” itu sendiri bukanlah sikap mencengkeram diri. Yang kita
lakukan setelah ia muncullah yang merupakan sikap mencengkeram
diri yang berdiri sendiri, yakni ketika kita mencerap munculnya “aku”
di hadapan kita dengan cara yang sepenuhnya keliru.

Dari sini, muncullah pemikiran dan perasaan yang sangat kuat


mengenai “aku”, yang menyebabkan kita merasa bahwa kebahagiaan
“aku” adalah yang paling menarik dan diidam-idamkan. Berikutnya,
segala sesuatu yang bertentangan dengan “aku” akan menjadi pihak
lain yang kita musuhi dan benci, karena kita menganggap mereka
tak menyenangkan. Melalui kedua perasaan ini – kemelekatan dan
kebencian – semua tindakan kita akan menjadi karma yang melempar
kita untuk terlahir kembali di dalam samsara.

Proses ini dimulai ketika kita mulai mencengkeram diri sendiri


maupun orang lain sebagai entitas yang berdiri sendiri dan bebas
dari semua fenomena lainnya. Tapi kenyataannya, kita hanya dapat
memunculkan “orang lain” dalam kaitannya dengan “diri sendiri”.

45
Pratityasamutpada: 12 Mata Rantai yang Saling Bergantungan

Tanpa adanya pemikiran tentang “diri”, sesungguhnya takkan ada “yang


lain”. Kita gagal menyadari poin ini: bahwa gagasan ihwal “orang lain”
bergantung pada gagasan ihwal “diri”, bahwa proses ini sesungguhnya
adalah sebuah hubungan kesalingtergantungan.

Sebaliknya, kita justru melihat “yang lain” sebagai sesuatu yang


mutlak, sesuatu yang sepenuhnya berbeda dari “diri” kita. Misalnya,
ada harta milik “aku” dan ada harta milik “yang lain”, ada status milik
“aku” dan ada status milik “yang lain”, dst – kita menganggap semua
ini terpisah satu sama lain dan berdiri sendiri secara mandiri. Dari
sini, tak pelak muncullah kesenangan (dan karenanya, kemelekatan)
pada segala sesuatu yang dianggap milikku dan ketidaksenangan
(dan karenanya, kebencian) pada segala sesuatu yang dianggap bukan
milikku. Tak diragukan bahwa semua klesha lainnya akan muncul dari
kedua klesha akar ini.

Jika kesalahpahaman ini telah hilang, kita tentunya masih bisa


melihat segala sesuatu sebagai menyenangkan atau tak menyenangkan.
Namun, kita takkan lagi melihat sifat menyenangkan atau tak
menyenangkan ini sebagai sesuatu yang inheren atau mutlak. Dari
sini, takkan ada basis (landasan) bagi kemelekatan dan kebencian
untuk bangkit. Dalam 400 Stanza, Aryadewa merangkumnya sebagai
berikut: “Layaknya indra kesadaran tubuh yang menyebar ke seluruh
tubuh, begitu pula ketidaktahuan menyebar ke seluruh klesha.” Indra
kesadaran tubuh adalah sesuatu yang memungkinkan kita untuk
memiliki sensasi sentuhan di seluruh bagian tubuh. Dengan cara yang
sama, ketidaktahuan, atau tepatnya sikap mencengkeram diri yang
berdiri sendiri, memicu timbulnya semua klesha lainnya.

Aryadewa lanjut mengatakan: “Jika engkau menghancurkan


ketidaktahuan, engkau akan menghancurkan semua klesha.” Kita tahu
bahwa penawar untuk amarah atau kebencian adalah cinta kasih. Jika

46
Ketidaktahuan Akar (lanjutan)

kita melatih cinta kasih, kita akan bisa mengurangi amarah atau
kebencian kita, namun masih belum bisa membasminya. Untuk
membasminya, kita harus membasmi ketidaktahuan. Dengan membasmi
ketidaktahuan, amarah, dan bahkan semua klesha lainnya, takkan bisa
lagi muncul untuk selamanya.

Senada dengan itu, ulasan Chandrakirti terhadap 400 Stanza


menjelaskan: “Kemelekatan dan sebagainya, yang berhubungan dengan
fenomena yang dilabeli oleh ketidaktahuan sebagai sesuatu yang eksis
secara inheren, pada gilirannya melabeli fenomena sebagai menarik
atau tidak menarik.” Dengan kata lain, label menarik atau tidak menarik
yang dilekatkan pada sebuah fenomena oleh kemelekatan hanya bisa
muncul jika ketidaktahuan telah terlebih dulu melabelinya sebagai
sesuatu yang eksis dengan sendirinya.

Chandrakirti lanjut mengatakan: “Karena itu, mereka tak


terpisahkan dari ketidaktahuan.” Baris ini cukup gamblang, dan
bermakna bahwa kemelekatan dan sebagainya sesungguhnya tak
terpisahkan dari ketidaktahuan; mereka bergantung pada ketidaktahuan
selaku faktor utama yang memungkinkan kehadiran mereka.

Aryadewa menutup baitnya dengan kalimat: “Hancurkan


ketidaktahuan, dan semua klesha lainnya pun akan hancur.”

Buddhapalita menimpalinya: “Dengan cahaya pemahaman ihwal


kesalingtergantungan serta mata kebijaksanaan yang melihat fenomena
sebagaimana adanya, halaulah ketidaktahuan. Tanpa ketidaktahuan
sebagai landasan, kemelekatan dan amarah takkan muncul.”

Demikianlah pembahasan 12 Mata Rantai secara berurutan dalam


kaitannya dengan klesha: melalui ketidaktahuan akar, muncullah karma-
karma pembentuk, dst; dengan kata lain: bagaimana klesha bangkit, apa
yang dihasilkan oleh klesha, dst.

47
Pratityasamutpada: 12 Mata Rantai yang Saling Bergantungan

Kita juga bisa menjelaskan 12 Mata Rantai dalam kaitannya


dengan pembebasan; dengan kata lain, bagaimana cara membebaskan
diri dari proses yang terkandung dalam 12 Mata Rantai. Pendekatan ini
dimulai dari mata rantai pertama, yakni memahami bahwa objek yang
dipersepsikan sebagai “aku” sesungguhnya tidak eksis. Inilah yang
disebut ke-tanpaaku-an atau ketiadaan diri.

Secara bertahap, kita akan memahami ketiadaan eksistensi


inheren dari semua fenomena. Begitu pemahaman ini sudah bersifat
“langsung,” cara kita melihat segala sesuatu akan sepenuhnya berubah.
Kita akan melihat segala sesuatu sebagaimana adanya. Ketika suatu
fenomena tampak berdiri sendiri secara inheren, kita bisa menyadari
bahwa itu hanyalah sebuah ilusi yang tak akurat. Ketika itu, kita tahu
bahwa kebalikannyalah yang benar. Kita sepenuhnya sadar bahwa
fenomena tak memiliki eksistensi yang berdiri sendiri. Menyadari
ketiadaan eksistensi yang berdiri sendiri ini, kita bisa melihat dan
memahami bahwa segala sesuatu sepenuhnya saling bergantung satu
sama lain. Meskipun secara indrawi mereka kelihatannya eksis, namun
pada saat bersamaan, kita sepenuhnya paham bahwa segala sesuatu
tidak eksis sebagaimana yang biasanya kita kira.

Di sini, akan muncul dikotomi antara pemahaman langsung


mengenai cara segala sesuatu eksis dan cara mereka muncul di hadapan
kita. Kita bisa memahami bahwa penampakan yang biasanya kita yakini
eksistensinya pada dasarnya eksis dengan cara yang keliru. Inilah yang
dimaksud dengan frase “persepsi bagaikan ilusi”. Ini ibarat pesulap
yang memunculkan penampakan seekor kuda, padahal sejatinya kita
tahu bahwa kuda tersebut hanya tipu muslihat belaka. Analogi lainnya
adalah ketika seseorang berbohong. Kata-kata yang dituturkan memang
nyata, tapi kita tahu persis bahwa yang dikatakan tidaklah benar.

Namun, untuk saat ini, kebalikannyalah yang terlihat benar.


Melalui sikap mencengkeram diri yang berdiri sendiri, kita meyakini

48
Ketidaktahuan Akar (lanjutan)

eksistensi inheren dari segala sesuatu yang kita senangi (yang akan
memunculkan kemelekatan) maupun tidak (yang akan memunculkan
kebencian). Saat ini, kita memang belum memahami ke-tanpaaku-an
atau kesunyataan secara langsung. Namun, sebuah pemahaman awal
ihwal ke-tanpaaku-an tentunya akan membawa manfaat bagi kita. Kita
pastinya masih akan melihat segala sesuatu sebagai menarik ataupun
tidak menarik, namun perasaan itu takkan lagi sekuat sebelumnya,
berhubung landasannya sudah benar-benar kita guncang; pengaruh
dari sensasi menyenangkan atau tak menyenangkan takkan lagi sebesar
sebelumnya.

Sejauh ini, yang kita bahas adalah tata cara bangkitnya klesha,
caranya berkembang, dan bagaimana ia mengarahkan kita untuk
menciptakan karma yang melempar kita ke dalam samsara. Di antara 12
Mata Rantai, inilah poin terpenting dan sekaligus paling sulit dipahami.
Kita tentunya sudah paham bahwa hakikat samsara adalah penderitaan.
Melalui pemahaman ini, kita pun membangkitkan aspirasi untuk bebas
dari samsara berikut segala penderitaan yang terkandung di dalamnya.
Menekuni 12 Mata Rantai dengan kerangka berpikir seperti ini adalah
cara memahami topik ini dari perspektif pembebasan. Dan memang,
pembebasan bisa dicapai dengan merenungkan 12 Mata Rantai.

Dengan memahami bahwa ketidaktahuan akar adalah sumber dari


semua penderitaan kita selama ini, kita akan sadar bahwa satu-satunya
jalan untuk mengakhiri penderitaan adalah dengan merealisasikan ke-
tanpaaku-an. Tentu saja realisasi ini tak bisa serta-merta dicapai. Tapi,
bukan pula berarti kita takkan pernah bisa mencapainya. Pemahaman
takkan datang jika kita tidak merenungkan dan memeditasikan ajaran.
Ke-tanpaaku-an akan semakin diresapi ketika kita telah memahami
12 Mata Rantai dengan lebih baik. Topik ini juga akan membuat kita
sadar bahwa takkan pernah ada kebahagiaan sejati selama kita masih
berdiam di dalam samsara. Dari sini, setiap kebajikan yang kita lakukan

49
Pratityasamutpada: 12 Mata Rantai yang Saling Bergantungan

akan mulai dimotivasi oleh keinginan untuk bebas dari samsara, dan
inilah persisnya yang menjadi cikal-bakal bagi munculnya sebab-sebab
pembebasan.

Aryadewa mengatakan, “Sekadar bertanya pada diri sendiri


dan memunculkan pertanyaan-pertanyaan dalam batin mengenai ke-
tanpaaku-an sudah cukup untuk mulai menghancurkan samsaramu.”
Artinya, kita sudah bisa mulai menghancurkan samsara ketika ada upaya
kecil untuk mempertanyakan hakikat samsara yang sesungguhnya.

Pada dasarnya, kebajikan apa pun yang dilakukan dengan tujuan


memurnikan kesalahan akan menjadi sesuatu yang berfaedah. Namun,
Shantidewa memaparkan 6 penawar khusus dalam Ikhtisar Latihan5,
dan salah satunya adalah perenungan kesunyataan atau ke-tanpaaku-
an. Metode lainnya adalah membaca sutra-sutra yang menjelaskan
ke-tanpaaku-an, terutama Sutra Penyempurnaan Kebijaksanaan6 atau
versi singkatnya, Sutra Hati. Kita juga bisa membaca Dasar Semua
Kebajikan. Di dalamnya, ada sebuah bait yang memaparkan tentang
realisasi pandangan mendalam (kesunyataan). Kita juga bisa membaca
Instruksi Guru yang Berharga, yang mengandung garis besar mengenai
tata cara merenungkan ke-tanpaaku-an individu dan fenomena lainnya.
Membaca teks-teks ini adalah metode untuk merealisasikan ke-tanpaaku-
an secara perlahan dan bertahap. Mempelajari dan merenungkan 12
Mata Rantai tentu juga merupakan metode ampuh lainnya.

Dalam 3 Kualitas Utama Sang Jalan, Je Tsongkhapa menjelaskan


bahwa kita terus-menerus mengalami ketiga jenis penderitaan. Selama
kita masih berada di dalam samsara, tak ada waktu sedikit pun untuk
menghindari salah satu dari ketiga jenis penderitaan. Bagaimana kita
memahami pernyataan ini? Kita menderita semata-mata karena kita
memiliki batin. Ada faktor mental yang selalu hadir, yaitu perasaan

5 Shiksha-samuccaya.
6 Prajna-paramita-sutra.

50
Ketidaktahuan Akar (lanjutan)

yang selalu muncul. Kita akan terus mengalami perasaan yang berbeda
dan berubah: menyenangkan, tak menyenangkan, dan netral.

Dua perasaan yang pertama bisa kita pahami dan juga sudah
diulas. Tapi, apa yang salah dengan perasaan netral? Perasaan ini juga
pada dasarnya tercemar, karena hakikatnya adalah penderitaan. Dari
kondisi netral, kita akan selalu menuju ke perasaan menyenangkan
atau tak menyenangkan, tergantung kondisi mana yang aktif duluan –
ketika yang kita alami adalah perasaan menyenangkan, ia berhakikat
penderitaan karena perubahan dari perasaan ini adalah sesuatu yang
sama sekali tak kita sukai atau hasrati, sedangkan menyangkut perasaan
tak menyenangkan, bahkan binatang pun bisa memahami aspek
penderitaan yang dikandung di dalamnya.

Dengan memahami dan merenungkan poin ini terus-menerus


sampai akhirnya kerangka berpikir kita menjadi terbiasa dengannya,
kita akan memunculkan perasaan jijik dan lelah terhadap samsara.
Dengan latihan yang perlahan tapi pasti, perasaan tersebut akan
semakin kuat hingga akhirnya berubah menjadi penolakan: sebuah
keinginan untuk bebas, sebuah niat untuk meraih pembebasan. Dari
sini, jangankan aspek penderitaan yang memang nyata terdapat dalam
samsara, aspek kebahagiaan dalam samsara pun kini tak lagi tampak
menarik bagi kita, karena kita sadar bahwa mereka tak nyata, tak
bermakna, tak bisa diandalkan, dan oleh karenanya, tak pantas untuk
diidamkan. Je Tsongkhapa merangkumnya sebagai berikut: “Ketika
memikirkan segala kebaikan samsara, aku berdoa semoga aku bisa
melihat atau merasakannya seperti orang yang terperangkap dalam
rumah besi yang terlalap api; semoga aku tidak merasakan sedikit pun
aspirasi atau keinginan terhadapnya.”

Ketika kita telah bisa melihat bahwa tak ada secuil pun kebaikan
di dalam samsara dan kemudian memunculkan aspirasi untuk terbebas
darinya, ini artinya kita telah merealisasikan penolakan samsara. Ketika

51
Pratityasamutpada: 12 Mata Rantai yang Saling Bergantungan

pemahaman yang muncul dari pengalaman pribadi ini kita terapkan


pada makhluk lain, kita akan sadar bahwa mereka pun pada dasarnya
menginginkan hal yang sama dengan kita: kebahagiaan sejati dan
lenyapnya penderitaan untuk selamanya. Dari sini, muncullah welas
asih agung pada semua makhluk yang menjadi penghuni samsara.
Melalui welas asih agung ini, kita takkan tahan melihat penderitaan
makhluk lain, dan sikap ini selanjutnya akan mengarahkan kita ke
aspirasi pencerahan yang murni: niat untuk menjadi Buddha demi
kepentingan makhluk lain.

Dengan didasari oleh welas asih agung, bodhicita (batin


pencerahan) pun bangkit dalam diri kita. Bodhicita akan menginspirasi
kita untuk benar-benar mencari cara untuk membebaskan diri dari
samsara demi semua makhluk. Kita kemudian akan sampai pada
pemahaman bahwa satu-satunya cara adalah memahami ke-tanpaaku-an,
atau dengan kata lain, memahami kekeliruan dari sikap mencengkeram
diri yang berdiri sendiri.

Jetsun Milarepa mengatakan, “Bermeditasi tanpa belajar terlebih


dulu adalah ibarat orang tanpa lengan yang berusaha memanjat tebing.”
Beberapa orang yang mengaku mengikuti ajaran Jetsun Milarepa
menyatakan bahwa seseorang tak perlu belajar dengan tekun dan cukup
menghabiskan seluruh waktunya dengan bermeditasi. Namun, ini
adalah sebuah pertanda yang jelas bahwa mereka tidak mempelajari
dengan benar apa yang diajarkan oleh Jetsun Milarepa. Bisa saja mereka
tidak membaca nyanyian spiritual beliau dengan benar. Atau, kalaupun
mereka membacanya, mereka mungkin tidak memahaminya.

52
5
Karma-karma Pembentuk

M ata rantai kedua adalah karma yang dimotivasi oleh mata rantai
pertama. Lebih jauh, ia adalah karma yang melempar seseorang ke
dalam samsara. Namun, seperti yang telah dibahas, tak semua karma
adalah karma pelempar. Karma pelempar harus memiliki corak tertentu.
Pertama-tama, ia harus dimotivasi oleh ketidaktahuan akar selaku mata
rantai pertama. Selanjutnya, kita bisa melakukan karma melalui fisik,
ucapan, dan mental. Lalu, ada banyak cara untuk menggolongkan
karma, misalnya pembagian ke dalam karma putih, karma hitam, atau
karma yang merupakan campuran antara karma hitam dan putih.

Proses pengumpulan karma sendiri bisa dibagi menjadi tahap


pendahuluan, pertengahan, dan akhir. Masing-masing tahapan ini
menghasilkan salah satu dari 3 jenis akibat. Akibat dari karma yang
dikumpulkan pada tahap pendahuluan adalah akibat yang matang
sepenuhnya, yakni kelahiran di berbagai jenis alam. Akibat dari karma
yang dikumpulkan pada tahap pertengahan adalah pengalaman atau
perilaku yang menyerupai sebab. Terakhir, akibat dari karma yang
dikumpulkan pada tahap akhir adalah akibat yang memengaruhi
lingkungan.
Pratityasamutpada: 12 Mata Rantai yang Saling Bergantungan

Hakikat karma sendiri bisa dibagi menjadi 3 jenis. Pertama, karma


sebagai sebuah faktor mental niat. Kedua, karma sebagai jejak karma
yang bersifat non-mental. Terakhir, dalam konteks aliran Madhyamaka
Prasangika, karma bisa dianggap berhakikat fisik dan termasuk ke
dalam kategori rupa (bentuk); pandangan ini tak diakui oleh kebanyakan
aliran lain.

Apa pun itu, karma-karma pembentuk pada awalnya tentu


merupakan faktor mental niat yang muncul di dalam batin kita.
Dalam kondisi tertentu, karma yang berupa faktor mental niat ini akan
menghilang dan meninggalkan sebuah jejak karma di arus batin kita.
Jejak karma ini adalah sebuah karma pelempar yang akan terus berdiam
bersama kita sampai tiba saatnya untuk diaktifkan oleh mata rantai
hasrat dan sikap mencengkeram. Ketika ini terjadi, karma pun berbuah
dan menjadi mata rantai kesepuluh, yaitu eksistensi. Mata rantai ini
adalah karma yang teraktifkan, yang diperkuat oleh hasrat dan sikap
mencengkeram. Meski sudah siap untuk menghasilkan buah, ia masih
merupakan jejak karma.

54
6
Kesadaran

S etelah karma-karma pembentuk, muncullah mata rantai ketiga, yang


dalam konteks kali ini merujuk pada kesadaran di mana jejak karma
berada. Dengan kata lain, setelah karma-karma pembentuk dalam
wujud faktor mental niat menghilang dan berubah menjadi jejak karma,
kesadaran – selaku tempat berdiamnya jejak karma – mulai berfungsi.

Mata rantai ketiga ini tak merujuk pada kesadaran umum apa
pun. Ia merujuk pada kesadaran yang spesifik, yakni kesadaran selaku
tempat berdiamnya karma pelempar dan kesadaran dalam momen
pertama pada sebuah kehidupan yang baru. Singkatnya, kesadaran ini
adalah tempat berdiamnya karma pelempar sekaligus hasil dari karma
pelempar ketika karma ini akhirnya matang.
7
Nama dan Rupa

M ata rantai keempat didefinisikan sebagai skandha yang diperoleh,


yang merupakan akibat yang matang dari jejak karma yang telah
diletakkan pada mata rantai ketiga; ia merupakan akibat yang matang
dari karma pelempar, yang menjadi skandha-skandha.

Karma pelempar menghasilkan 4 mata rantai yang merupakan


akibat. Nama dan rupa adalah akibat yang pertama. Ia muncul pada
kehidupan setelah kehidupan yang kita jalani saat ini. Artinya, bila kita
menciptakan karma di kehidupan saat ini, ia akan menghasilkan akibat
pertama dan terpenting dalam kehidupan berikutnya, yakni nama dan
rupa. Dengan kata lain, skandha dari seorang makhluk di kehidupan yang
baru dihasilkan oleh karma yang dihimpun di kehidupan sebelumnya.

Kehidupan baru kita dimulai ketika sel sperma dan sel telur orang
tua kita bersatu dalam rahim ibu kita, dan ketika kesadaran kita memasuki
penyatuan kedua sel tersebut. Saat itu, skandha mulai terbentuk, yakni
nama dan rupa. Pada tahap paling awal, yakni fase embrionik, tubuh
kita tak padat dan lebih menyerupai cairan. Ia sangat halus dan kecil.
Seiring berlalunya waktu, tiap minggu tubuh tumbuh semakin kokoh.
Pratityasamutpada: 12 Mata Rantai yang Saling Bergantungan

Pada suatu waktu, ia akan menebal. Ada perumpamaan untuk ini, yaitu
setebal lapisan yang terbentuk oleh susu hangat. Ketika kelima tahap
kehamilan telah rampung, tubuh akan berkembang menjadi semakin
rumit.

Kalau kita lihat betapa lemah dan kecilnya tubuh awal kita, bisa
dibayangkan betapa luar biasanya tubuh tersebut, karena ia bisa menjadi
landasan bagi sebuah kehidupan baru. Berkat kekuatan karma yang
luar biasa, tubuh yang begitu kecil akhirnya cukup kuat untuk menjadi
landasan bagi sebuah kehidupan ketika ia bergabung dengan kesadaran.
Kiranya tak ada penjelasan lain yang lebih masuk akal daripada ini.

Embrio akan tumbuh dan berkembang menjadi janin.


Perkembangannya berlangsung dalam 5 tahapan. Selama masa
kehamilan, 5 unsur utama muncul. Berikutnya, 5 unsur sekunder juga
muncul. Selama 5 bulan pertama, sebuah unsur baru akan muncul
dan berkembang, satu unsur per bulan. Dalam konteks ini, satu bulan
merujuk pada periode 27 hari. Untuk bulan pertama, unsur yang
berkembang disebut angin penyokong kehidupan kasar (angin halus
sendiri telah ada sejak awal dimulainya pembuahan). Dari bulan keenam
hingga seterusnya, berkembanglah angin sekunder. Masing-masing
angin memiliki fungsi, warna, dan bahkan tempat tertentu. Misalnya,
ada angin “berubah” atau “menjadi”, yang terletak di mata dan yang
memungkinkan mata untuk berfungsi.

58
8
Indra

D efinisi mata rantai kelima adalah skandha dengan karakteristik


hidup yang lengkap. Ini adalah akibat yang matang dari benih mata
rantai ketiga, kesadaran. Dengan kata lain, inilah skandha-skandha
yang diperoleh, yang memiliki karakteristik penuh seorang makhluk
hidup.

Ini terjadi pada minggu ke-19 masa kehamilan. Sebelum fase


ini, kita bisa saja mengatakan bahwa kita memiliki mata, namun mata
kita hanya eksis pada tingkatan benih. Benih untuk sebuah mata ada,
namun ia belum menjadi mata yang sesungguhnya. Pada mata rantai
ini, berbagai indera telah berkembang cukup baik sehingga seluruh
karakteristik dari sebuah kehidupan telah terpenuhi. Di sini, janin bisa
dikatakan sudah berubah menjadi manusia.
9
Kontak

M ata rantai keenam adalah kontak. Kita akan terbiasa dengan


istilah “kontak” kalau sudah mempelajari topik “Batin dan Faktor
Mental.” Di sini, yang dimaksud adalah sebuah faktor mental yang
dinamai “kontak”. Kontak terjadi apabila mata rantai kelima muncul
bersamaan dengan kesadaran dan objek. Ketika semuanya muncul
bersamaan, faktor mental kontak pun terjadi. Dengan cara inilah muncul
sensasi seperti menyenangkan atau tak menyenangkan.

Mata rantai kelima merujuk pada indra-indra yang berkaitan


dengan skandha, namun tidak merujuk pada semua skandha. Ia hanya
merujuk pada bagian dari skandha rupa, yaitu indra tubuh. Di sisi lain,
mata rantai keenam, kontak, adalah sebuah faktor mental. Ia bukan
sesuatu yang bersifat fisik, tapi merupakan faktor mental.
10
Perasaan

M ata rantai ketujuh adalah perasaan. Ini juga adalah faktor


mental, yang dinamai “perasaan” (dalam artian secara umum). Artinya,
perasaan menyenangkan, tak menyenangkan, atau netral yang akan
muncul ketika kita berkontak dengan objek tertentu.
11
Hasrat

I ni adalah sebuah bentuk kemelekatan yang sifatnya bergantung pada


jenis perasaan apa yang dialami. Jika yang dialami adalah perasaan
menyenangkan, maka hasrat memunculkan keinginan untuk tidak
berpisah dengan objek tertentu. Sebaliknya, jika yang dialami adalah
perasaan tak menyenangkan, maka hasrat memunculkan keinginan
untuk berpisah dengan objek tertentu.
12
Sikap Mencengkeram

P ada dasarnya, mata rantai kesembilan juga bisa diartikan sebagai


hasrat, hanya saja ia adalah bentuk kemelekatan yang lebih kuat
ketimbang hasrat. Objek dari kemelekatan yang menguat ini bisa
berupa objek indra atau hasrat apa saja. Menurut Lamrim Agung, ada 4
jenis objek dari mata rantai kesembilan:
1. Sikap mencengkeram objek indra yang menyenangkan
2. Sikap mencengkeram pandangan salah
3. Sikap mencengkeram sila
4. Sikap mencengkeram diri sendiri

Sikap mencengkeram juga merupakan hasrat, namun ia adalah


hasrat yang berlebihan, sebuah keinginan yang teramat kuat terhadap
sebuah objek, hampir seperti sebuah aspirasi pada sebuah objek. Ia
jauh lebih kuat daripada sekadar keinginan sederhana, dan aspirasi ini
menyebabkan kita bergegas untuk meraih objek yang diinginkan.

Objek sikap mencengkeram yang pertama adalah objek indra


yang menyenangkan (suara, bau, penglihatan, rasa, dsb), dan ini
cukup mudah dipahami. Objek kedua adalah apa yang disebut sebagai
Pratityasamutpada: 12 Mata Rantai yang Saling Bergantungan

pandangan salah. Lebih tepatnya, pertama, ia merujuk pada pandangan


ekstrem. Kedua, ia merujuk pada sikap memegang pandangan ekstrem
sebagai pandangan yang unggul. Ketiga, ia merujuk pada pandangan
salah (kecuali pandangan ihwal kumpulan fana). Inilah ketiga jenis
pandangan yang menjadi objek sikap mencengkeram kita.

Objek sikap mencengkeram yang ketiga adalah berpegang pada


berbagai disiplin sila yang berkaitan dengan pandangan salah; dengan
kata lain, berpegang pada perilaku salah.

Mengapa pandangan ihwal kumpulan fana dikecualikan dari objek


kedua? Karena ia termasuk ke dalam objek sikap mencengkeram yang
keempat. Ini adalah penegasan akan adanya “aku” atau diri yang bebas
atau berdiri sendiri. Mengapa pandangan ini disebut sebagai penegasan
akan sebuah diri? Ini karena jenis “diri” yang ditegaskan pada dasarnya
tidaklah eksis. Dengan kata lain, pandangan ini menyatakan bahwa ia
eksis, padahal kenyataannya ia tidaklah eksis.

Corak khas dari mata rantai kesembilan adalah melekat pada


berbagai objek secara keliru sampai pada taraf meyakini mereka
sebagai cara mendapatkan pembebasan. Demikianlah perbedaannya
dengan mata rantai kedelapan.

68
13
Eksistensi

D efinisi mata rantai ini adalah karma berpotensi yang memiliki


kapasitas untuk menghasilkan kehidupan baru. Mengapa ia memiliki
potensi tersebut? Karena hasrat dan sikap mencengkeram telah
mematangkannya. Kedua mata rantai ini telah mematangkan karma
pelempar untuk memunculkan mata rantai kesepuluh.
14
Kehidupan

K ehidupan didefinisikan sebagai akibat yang dihasilkan oleh mata


rantai kesepuluh. Dengan kata lain, ia adalah skandha yang diperoleh.
Meskipun mata rantai ini selalu diterjemahkan sebagai “kelahiran,”
namun jika kita periksa definisinya lebih dekat, terjemahan yang lebih
tepat adalah “kehidupan”, dalam artian bahwa ia adalah skandha yang
telah dihasilkan dalam kehidupan baru, namun belum dipadamkan.
Karena itu, mata rantai ini akan berlanjut hingga kematian akhirnya
memadamkannya. Jadi, mata rantai ini bukan hanya merujuk pada awal
kehidupan yang baru, namun juga mencakup satu keseluruhan masa
hidup. Mata rantai ini merujuk pada keseluruhan hidup yang dimulai
pada saat kelahiran dan berakhir pada saat kematian.
15
Penuaan dan Kematian
B agian pertama dari mata rantai terakhir adalah “penuaan.”
Definisinya adalah skandha yang diperoleh yang karakteristik
kemudaannya telah berubah hingga ke titik di mana skandha tersebut
akhirnya ditinggalkan; dengan kata lain, hingga saat kematian. Penuaan
merujuk pada perubahan terus-menerus yang terjadi pada skandha,
yang dimulai dari momen setelah pembuahan dan berlanjut terus hingga
waktu kematian tiba.

Bagian kedua dari mata rantai ini adalah “kematian.” Definisinya


adalah skandha yang dimulai pada saat pembuahan dan menjalani
proses akan ditinggalkan. Jadi, barangkali kita bisa menggunakan istilah
“sekarat,” karena kematian merupakan sebuah proses meninggalkan
skandha.

Untuk menyimpulkan, Ikhtisar Pengetahuan merangkum 12 Mata


Rantai menjadi 4 kategori:
1. Faktor yang memproyeksikan
2. Faktor yang diproyeksikan
3. Faktor yang menghasilkan
Pratityasamutpada: 12 Mata Rantai yang Saling Bergantungan

4. Faktor yang dihasilkan

Faktor yang memproyeksikan adalah ketidaktahuan akar,


karma-karma pembentuk, dan kesadaran. Faktor yang terproyeksikan
adalah nama dan rupa, indra, kontak, dan perasaan. Faktor yang
menghasilkan (kadang dinamai mata rantai penghasil) adalah hasrat,
sikap mencengkeram, dan eksistensi. Terakhir, faktor yang dihasilkan
adalah kehidupan serta penuaan dan kematian.

Kita bisa memeditasikan 12 Mata Rantai dari sudut pandang


klesha secara berurutan, yakni dimulai dari ketidaktahuan akar dan
seterusnya. Kita juga bisa memeditasikan 12 Mata Rantai dari sudut
pandang klesha dengan urutan terbalik, yang dimulai dari penuaan dan
kematian. Misalnya, kita tahu bahwa sebuah kehidupan akan berakhir
dengan penuaan dan kematian. Kita kemudian bisa bertanya: mengapa
bisa muncul sebuah kehidupan baru? Itu pasti berasal dari karma yang
matang, yang disebut eksistensi. Dari sini, kita bisa menganalisisnya
dengan terus mundur ke belakang sampai ke mata rantai pertama.

Kemudian, kita bisa memeditasikan 12 Mata Rantai dari sudut


pandang pembebasan secara berurutan. Bayangkan apa yang bakal
terjadi jika kita telah merealisasikan ke-tanpaaku-an atau kesunyataan
secara langsung dan menghentikan ketidaktahuan akar atau pandangan
ihwal kumpulan fana. Ini artinya kita tidak lagi mengumpulkan karma-
karma pembentuk atau karma pelempar yang baru. Tanpa karma
pelempar, tak ada yang bisa diletakkan ke dalam kesadaran. Teruskan
analisis sampai ke mata rantai terakhir secara bertahap. Kita juga bisa
memeditasikan 12 Mata Rantai dari sudut pandang pembebasan dengan
urutan terbalik. Di sini, kita memahami bahwa penghentian penuaan
dan kematian hanya bisa terjadi kalau kehidupan itu sendiri sudah
dihentikan. Artinya, kita tak lagi terlahir kembali dalam pengaruh karma
dan klesha karena kita tidak lagi memiliki karma yang mematangkan
keberadaan. Teruskan analisis ini sampai ke mata rantai pertama.

74
16
Penutup

D i antara silsilah-silsilah yang berbeda dalam tradisi Kadam, ada


silsilah yang dinamakan Silsilah Instruksi. Silsilah ini mengajarkan
Lamrim dengan memilih satu topik tertentu dan kemudian
mengaitkannya dengan seluruh aspek dalam ajaran Lamrim. Dari
semua topik yang dipilih sebagai titik tolak, 12 Mata Rantai adalah
salah satu topik yang terpenting. Misalnya, pengajaran akan dimulai
dengan menjelaskan bahwa ketidaktahuan akar akan melempar ke
alam-alam rendah. Dari sini, murid yang baik akan segera memahami
dan merenungkan aneka penderitaan yang terdapat di alam rendah,
dan selanjutnya bergegas mencari perlindungan dari penderitaan ini.

Topik 12 Mata Rantai kemudian akan dikaitkan dengan 4


Kebenaran Arya. Dalam konteks ini, 2 kebenaran yang pertama
akan memunculkan penolakan dan rasa jijik terhadap samsara, dan
2 kebenaran yang terakhir akan memunculkan aspirasi menuju
pencerahan. Selanjutnya, ketika 12 Mata Rantai ini dikaitkan
dengan makhluk lain, akan muncul kesadaran bahwa kita dan semua
makhluk pada dasarnya sama-sama ingin meraih kebahagiaan sejati
dan menghindari penderitaan untuk selamanya. Dari sini, welas asih
Pratityasamutpada: 12 Mata Rantai yang Saling Bergantungan

agung akan muncul, dan terbitlah niat untuk mencapai Kebuddhaan


demi kepentingan semua makhluk. Demikianlah 12 Mata Rantai bisa
dipakai untuk menjelaskan tahapan jalan bagi ketiga jenis makhluk,
untuk merangkum keseluruhan ajaran Lamrim dalam satu topik.

Secara khusus, Guru saya, Kyabje Trijang Dorjechang, sering


memuji topik 12 Mata Rantai ini. Beliau selalu menyatakan betapa
mengagumkannya fakta bahwa ajaran yang satu ini bisa digunakan
untuk merangkum seluruh tahapan jalan bagi ketiga jenis makhluk, atau
dengan kata lain, intisari Lamrim itu sendiri. Saya sendiri menerima
ajaran ini dari beliau ketika beliau terakhir kali berkunjung ke Eropa
pada tahun 1975. Selain itu, ketika memberikan ajaran tentang tahap
pembangkitan dan perampungan dari Tantra, serta tentang bagaimana
mengubah kematian, alam bardo, dan kelahiran kembali menjadi jalan
meditasi untuk merealisasikan Dharmakaya, beliau juga menekankan
topik 12 Mata Rantai sebagai cara untuk membangkitkan welas asih
kepada semua makhluk.

Demikianlah penjelasan ringkas ihwal 12 Mata Rantai yang Saling


Bergantungan yang pernah saya peroleh dari Guru-guru saya. Saya rasa
saya tak perlu lagi mengulang secara panjang lebar manfaat-manfaat
besar apa saja yang bisa diraih jika kita memahami, merenungkan, dan
memeditasikan topik 12 Mata Rantai ini dengan baik dan sungguh-
sungguh.

76
‘Daftar Pustaka

Sumber Sanskerta:
Abhidharma-kosa (Risalah Abhidharma). Oleh Wasubandhu. Sumber
lain tak diketahui.
Abhidharma-samuccaya (Ikhtisar Abhidharma). Oleh Asanga. Sumber
lain tak diketahui.
Bodhi-patha-pradipa (Pelita Sang Jalan Menuju Pencerahan). Oleh
Atisha. Sumber lain tak diketahui.
Catuhsataka-shastra-nama-karika (400 Stanza). Oleh Aryadewa.
Sumber lain tak diketahui.
Catuhsataka-tika (Komentar atas 400 Stanza). Oleh Chandrakirti.
Sumber lain tak diketahui.
Madhyamaka-watara (Pengantar Menuju Jalan Tengah). Oleh
Chandrakirti. Sumber lain tak diketahui.
Prajna-paramita-sutra (Sutra Penyempurnaan Kebijaksanaan). Sumber
lain tak diketahui.
Shiksha-samuccaya (Ikhtisar Latihan). Oleh Shantidewa. Sumber lain
tak diketahui.

Sumber Terjemahan Indonesia:


Je Tsongkhapa. 2011. Risalah Agung Tahapan Jalan Menuju
Pencerahan. Bandung: Penerbit Kadam Choeling.
Pabongkha Rinpoche. 2016. Pembebasan di Tangan Kita. Bandung:
Penerbit Kadam Choeling.

77
Glosarium
Abhidharma: secara harfiah bermakna “ajaran yang lebih
tinggi”. Merupakan kumpulan teks Buddhis yang berisi pengerjaan
dan penafsiran ulang atas ajaran-ajaran yang terkandung di dalam
Sutra.
Arupaloka: alam dewa-dewa yang tidak memiliki bentuk tubuh
fisik dan hanya tersusun atas batin.
Arya: secara harfiah bermakna “yang mulia”. Merujuk pada
seseorang yang telah memasuki jalan spiritual dan membaktikan diri di
dalamnya dengan tekun.
Bardo: alam transisi yang berada di antara kehidupan saat ini dan
kehidupan selanjutnya. Semua makhluk di dalam samsara yang akan
terlahir kembali pasti melalui alam ini.
Bodhicita: secara harfiah bermakna “batin pencerahan”. Merujuk
pada kondisi batin yang secara tulus mendambakan kebahagiaan sejati
bagi semua makhluk.
Buddhisme: keseluruhan sistem ajaran atau filsafat yang diajarkan
oleh Buddha Shakyamuni, sosok historis dari India yang telah berhasil
mencapai pencerahan dan kemahatahuan, serta memutus rantai
keberadaannya di dalam samsara. Tujuan tertinggi yang ingin diraih
oleh sistem filsafat ini tentu saja adalah Kebuddhaan, sebuah keadaan
di mana seseorang memiliki semua kualitas yang dimiliki oleh seorang
Buddha.
Dharma: secara harfiah bermakna “ajaran”. Dalam konteks ini,
ajaran yang dimaksud adalah ajaran yang asli berasal dari perkataan
Sang Buddha.

79
Dharmakaya: Tubuh Kebenaran seorang Buddha.
Geshe: gelar kesarjanaan yang diraih dari proses pembelajaran
dalam sistem filsafat Buddhis Tibet.
Jalan karma hitam: atau 10 ketidakbajikan. Terdiri dari:
membunuh, mencuri, tindakan seksual tak pantas, berbohong, ucapan
kasar, ucapan memecah-belah, omong-kosong, niat buruk, keserakahan,
dan pandangan salah.
Jetsun: Dapat diartikan sebagai “yang mulia”. Di sini, kemuliaan
merujuk pada fakta bahwa seseorang telah menolak segala hal-ihwal
duniawi dan sepenuhnya berfokus untuk meraih pencerahan.
Kadampa: mazhab dalam Buddhisme Tibet yang menganggap
setiap perkataan dari Buddha sebagai instruksi pribadi untuk
dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari.
Kamaloka: alam nafsu keinginan.
Karma: secara sederhana bermakna “tindakan”. Dengan demikian,
hukum karma merujuk pada suatu hukum yang mengatur tindakan,
atau lebih tepatnya, hukum yang mengatur bagaimana terjadinya dan
berbuahnya sebuah tindakan.
Kebenaran Arya: kebenaran tentang hakikat penderitaan, asal-
mulanya, pelenyapannya, dan jalan menuju pelenyapannya.
Kesunyataan: pemahaman bahwa tidak ada satu hal pun di dunia
ini yang berdiri sendiri atau eksis secara inheren dari dalam dirinya
sendiri; dengan kata lain, paham ini adalah sebuah konsep tentang
kesalingtergantungan antara semua hal-ihwal di dunia ini.
Klesha: secara harfiah bermakna “racun mental”. Merujuk pada
kondisi-kondisi mental yang kemunculannya akan menyebabkan
kita menjadi tidak bahagia dan menderita. Misalnya: amarah, iri hati,
kesombongan, kemelekatan, dst.
Kyabje: terdiri dari dua kata: kyab (perlindungan) dan je (raja).
Merujuk pada sosok senior dalam tradisi Buddhisme Tibet yang telah

80
meraih banyak realisasi dan diyakini mampu melindungi seseorang dari
penderitaan samsara.
Lamrim: secara harfiah bermakna “jalan bertahap menuju
pencerahan”. Merujuk pada kumpulan kitab yang menjelaskan dan
mengajarkan tata cara untuk mencapai Kebuddhaan secara lengkap dan
sistematis, sesuai dengan kapasitas setiap individu yang mempelajarinya.
Mahayana: secara harfiah bermakna “kendaraan besar”. Sama
halnya dengan kasus Hinayana, kata “besar”di sini tidak merujuk
pada semacam tingkatan atau hierarki, melainkan pada kapasitas batin
yang dimiliki oleh seorang praktisi, atau lebih tepatnya, pada fakta
bahwa seorang praktisi menapaki jalan spiritual dengan tujuan untuk
membantu semua makhluk terbebas dari samsara.
Nirwana: sebuah kondisi di mana seseorang telah sepenuhnya
terbebas dari keharusan untuk terlahir kembali secara berulang-ulang
di dalam samsara.
Paramita: secara harfiah bermakna “penyempurnaan/
kesempurnaan”. Di sini, ada 6 hal yang hendak disempurnakan, yaitu:
dana (kemurahan hati), sila (disiplin moral), kshanti (kesabaran), wirya
(upaya bersemangat), samadhi (konsentrasi), prajna (kebijaksanaan).
Rinpoche: secara harfiah bermakna “yang berharga”. Digunakan
untuk merujuk pada sosok guru yang dimuliakan dalam tradisi
Buddhisme Tibet.
Roda Kehidupan: sebuah gambar lingkaran dengan aneka simbol
(binatang dll) yang menyimbolkan hakikat dari kehidupan di dunia ini,
yakni sebuah lingkaran keberadaan yang tidak memiliki awal maupun
akhir.
Rupaloka: alam dewa-dewa yang masih memiliki bentuk tubuh
fisik tertentu.
Samsara: lingkaran keberadaan yang tak mempunyai awal
ataupun akhir. Setiap makhluk yang belum terbebas dari lingkaran ini

81
harus mengalami siklus kelahiran dan kematian tanpa henti. Terdiri
dari: manusia, binatang, setan kelaparan, neraka, asura, dan dewa.
Skandha: secara harfiah bermakna “agregat” atau “kumpulan“.
Merujuk pada 5 aspek yang menyusun keberadaan diri kita: bentuk,
sensasi/perasaan, persepsi/identifikasi, faktor-faktor pembentuk, dan
kesadaran/diskriminasi.
Sutra: secara harfiah bermakna “wacana” atau “benang”.
Meskipun pada awalnya hadir dalam bentuk lisan, di kemudian hari
Sutra merujuk pada kumpulan kitab yang menjadi landasan bagi tradisi-
tradisi keagamaan di India.
Tantra: secara harfiah bermakna “tenunan”. Merujuk pada tradisi
esoterik dalam Hinduisme dan Buddhisme yang memungkinkan
tercapainya pencerahan dalam waktu singkat.
Therawada: secara harfiah bermakna “ajaran sesepuh”. Merujuk
pada tradisi paling awal yang dikenal dan tercatat dalam Buddhisme.
Yana: secara harfiah bermakna “kendaraan”. Merujuk pada jalan
atau metode yang diusung oleh sebuah sistem filsafat untuk mencapai
tujuannya secara sistematis. Misalnya: Sutrayana, Tantrayana,
Mahayana, dst.
Yogi: praktisi yoga, yaitu sebuah praktik atau disiplin spiritual
dari India kuno yang bertujuan untuk menyatukan diri dengan semesta.

82
Menghormati Buku Dharma
Buddhadharma adalah sumber sejati bagi kebahagiaan semua
makhluk. Buku ini menunjukkan kepada kita bagaimana mempraktikkan
ajaran dan memadukan mereka ke dalam hidup kita, sehingga kita
menemukan kebahagiaan yang kita idamkan. Oleh karena itu, apapun
benda yang berisi ajaran Dharma, nama dari guru kita atau wujud-
wujud suci adalah jauh lebih berharga daripada benda materi apapun
dan harus diperlakukan dengan hormat. Agar terhindar dari karma tak
bertemu dengan Dharma lagi di kehidupan yang akan datang, mohon
jangan letakkan buku-buku (atau benda-benda suci lainnya) di atas
lantai atau di bawah benda lain, melangkahi atau duduk di atasnya, atau
menggunakannya untuk tujuan duniawi seperti untuk menopang meja
yang goyah. Mereka seharusnya disimpan di tempat yang bersih, tinggi
dan terhindar dari tulisan-tulisan duniawi, serta dibungkus dengan kain
ketika sedang dibawa keluar. Ini hanyalah beberapa pertimbangan.

Jika kita terpaksa membersihkan materi-materi Dharma, maka


mereka tidak seharusnya dibuang begitu saja ke tong sampah, namun
sebaiknya dibakar dengan perlakuan khusus. Singkatnya, jangan
membakar materi-materi tersebut bersamaan dengan sampah-sampah
lain, namun sebaiknya terpisah sendiri, dan ketika mereka terbakar,
lafalkanlah mantra OM AH HUM. Ketika asapnya membubung naik,
bayangkan bahwa ia memenuhi seluruh angkasa, membawa intisari
Dharma kepada seluruh makhluk di 6 alam samsara, memurnikan
batin mereka, mengurangi penderitaan mereka, serta membawa seluruh
kebahagiaan bagi mereka, termasuk juga pencerahan. Beberapa orang
mungkin merasa bahwa praktik ini sedikit kurang biasa, namun tata
cara ini dijelaskan menurut tradisi. Terima kasih.

83
Dedikasi
Semoga kebajikan terhimpun dengan mempersiapkan, membaca,
merenungkan dan membagikan buku ini kepada pihak lain, semoga
semua Guru Dharma berumur panjang dan sehat selalu, semoga Dharma
menyebar ke seluruh cakupan angkasa yang tak terbatas, dan semoga
semua makhluk segera mencapai Kebuddhaan.

Di alam, negara, wilayah atau tempat mana pun buku ini berada,
semoga tiada peperangan, kekeringan, kelaparan, penyakit, luka cedera,
ketidakharmonisan atau ketidakbahagiaan, semoga hanya terdapat
kemakmuran besar, semoga segala sesuatu yang dibutuhkan dapat
diperoleh dengan mudah, dan semoga semuanya dibimbing hanya oleh
Guru Dharma yang terampil, menikmati kebahagiaan dalam Dharma,
memiliki cinta kasih dan welas asih terhadap semua makhluk, semata
memberi manfaat pada sesama, serta tak pernah menyakiti satu sama
lain.

84
Tentang Penerbit
TERIMA KASIH TELAH MEMBACA BUKU TERBITAN
PENERBIT SARASWATI. APAKAH KAMI BOLEH MEMINTA
BANTUAN ANDA?

Penerbit Saraswati adalah sebuah organisasi non-profit. Misi


kami adalah untuk berbagi kebijaksanaan dari ajaran Buddha seluas
mungkin. Melalui buku-buku yang kami terbitkan, terselip upaya untuk
menginspirasi, menghibur, mendukung, dan mencerahkan pembaca di
seluruh Indonesia.

Kami memiliki sebuah mimpi, membuat seluruh buku terbitan


Penerbit Saraswati tersebar seluas-luasnya sehingga dapat menginspirasi
banyak orang, baik pemula yang penasaran, hingga praktisi yang telah
berkomitmen. Apakah Anda setuju dengan mimpi kami ini? Karena
tentu saja kami tidak dapat mewujudkan mimpi ini tanpa bantuan Anda.

Buku Dharma ini dapat Anda UNDANG kehadirannya di hidup


Anda tanpa biaya berkat kebajikan berdana para dermawan. Mari turut
bermudita dan mendoakan para dermawan yang telah memungkinkan
ini terjadi.

Apabila Anda berminat pula untuk terlibat dalam kebajikan


seperti ini, silakan bergabung sebagai Dharma Patron Lamrimnesia dan
berdana ke:

BCA 0079 388 388 a.n. Yayasan Pelestarian dan Pengembangan


Lamrim Nusantara

MANDIRI 119 009 388 388 0 a.n. Yayasan Pelestarian dan

85
Pengembangan Lamrim Nusantara

Kemudian mohon konfirmasikan dana Anda dengan menghubungi


Call Center Lamrimnesia.

Dengan menjadi Dharma Patron, Anda secara langsung terlibat


dalam (1) penerbitan dan penyaluran buku Dharma, (2) penyelenggaraan
kegiatan Dharma, (3) pendanaan biaya operasional dan mobilisasi
Dharma Patriot dalam rangka mendukung aktivitas (1) dan (2) di atas.

Untuk mengetahui lebih lanjut serta memesan buku terbitan


Penerbit Saraswati, silakan hubungi kontak di bawah ini:

Care: +6285 2112 2014 1

Info: +6285 2112 2014 2

Fb: Lamrimnesia & LamrimnesiaStore

Ig: @Lamrimnesia & @Lamrimnesiastore

Tiktok: @Lamrimnesia_

E-mail: info@lamrimnesia.org

Website: www.lamrimnesia.org; www.store.lamrimnesia.com

86
87
88
89
90
91
92
93

Anda mungkin juga menyukai