Anda di halaman 1dari 115

Bodhipathapradipa

Pelita Sang Jalan Menuju Pencerahan

Dagpo Rinpoche

Penerbit Saraswati

2018
Judul:

Bodhipathapradipa,

Pelita Sang Jalan Menuju Pencerahan

Dibabarkan oleh: Yang Mulia Dagpo Rinpoche pada tanggal 27 - 30 Desember 2008 di
Gelanggang Serba Guna, Institut Teknologi Bandung, Indonesia
Diterjemahkan lisan dari bahasa Tibet ke bahasa Inggris: Rosemary Patton
Pentranskrip Bahasa Indonesia: Tim Pentranskrip Penerbit
Penyunting: Liswindio A., Candri Jayawardhani, Stanley Khu
Perancang sampul: Andreas Soputra
Penata letak: Vindy, Karunika Devi S.R.
Hak cipta naskah Indonesia ©2018 Penerbit Saraswati

Cetakan I, Oktober 2014


Cetakan II, Juni 2018
Cetakan III, September 2018
ISBN 978-602-61702-5-5

Penerbit Saraswati
Email: penerbitsaraswati@gmail.com

Distributor Lamrimnesia
Care: +6285 2112 2014 1
Info: +6285 2112 2014 2
Facebook: @Lamrimnesia & @LamrimnesiaStore
Tiktok: @Lamrimnesia_
E-mail: info@lamrimnesia.org
Website: www.lamrimnesia.org; www.store.lamrimnesia.com
Undang-Undang RI Nomor 28 Tahun 2014
tentang Hak Cipta

Ketentuan Pidana Pasal 113 ayat (3) dan (4):


(3) Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau pemegang Hak Cipta melakukan pelanggaran hak
ekonomi Pencipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf e, dan/atau huruf g untuk Penggunaan
Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau pidana denda paling banyak
Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
(4) Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yang dilakukan dalam bentuk pembajakan,
dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp4.000.000.000,00
(empat miliar rupiah).
Pasal 114:
Setiap Orang yang mengelola tempat perdagangan dalam segala bentuknya yang dengan sengaja dan mengetahui membiarkan
penjualan dan/atau penggandaan barang hasil pelanggaran Hak Cipta dan/atau Hak Terkait di tempat perdagangan yang
dikelolanya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10, dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus
juta rupiah)
Daftar Isi

Kata Pengantar iv

Biografi Singkat vii

1. Pendahuluan 1

2. Pelita Sang Jalan Menuju Pencerahan 3

3. Penjelasan atau Makna dari Judul Karya 5

4. Penghormatan oleh Penerjemah Karya 9

5. Makna Sejati dari Ajaran 11

6. Tinjauan Ulang 25

7. Makna dari Kesimpulan Ajaran 73

Lampiran : Pelita Sang Jalan Menuju Pencerahan 75

Lampiran : Garis-garis Besar Bodhipathapradipa 87

Daftar Pustaka 91

Glosarium 93

Menghormati Buku Dharma 98

Dedikasi 100

Tentang Penerbit
Kata Pengantar

Di antara sekian banyak metode yang telah ditulis oleh guru-


guru besar dan bersumber langsung dari ajaran Buddha, salah
satu yang terunggul adalah karya agung Guru Atisha yang berjudul
Pelita Sang Jalan Menuju Pencerahan. Kenapa teks ini dikatakan
sebagai salah satu metode terunggul, dan kenapa ia menempati
posisi yang demikian penting dalam khazanah Buddhisme di
Tibet?

Untuk menjawab pertanyaan ini, kita harus terlebih dulu


memahami perjalanan penuh pengorbanan yang ditempuh
Guru Atisha dan aktivitas agung beliau di Tibet. Alkisah, karena
terdorong oleh niat tulus untuk menghidupkan kembali ajaran
Buddha di Tibet, seorang penguasa lokal mengundang Guru
Atisha untuk datang dan mengajar di Tibet. Terlepas dari aneka
macam kesulitan dan halangan yang bakal dialaminya, Guru
Atisha menyetujui permintaan ini.

Di Tibet sendiri, setelah menyaksikan dan menyadari apa


ajaran yang sebenarnya paling dibutuhkan oleh umat Buddhis
di sana, Guru Atisha memutuskan untuk menggubah sebuah
karya yang singkat, gamblang, namun juga sekaligus meliputi
keseluruhan ajaran Buddha. Karya ini diberi judul Pelita Sang
Jalan menuju Pencerahan.

Judulnya bermaksud untuk menyatakan bahwa karya ini


adalah sebuah pelita yang menerangi jalan menuju pencerahan,
atau cahaya yang menerangi jalan kita dalam menapaki
pencapaian pencerahan. Jalan ini dimulai dengan bertumpu
pada seorang guru spiritual secara benar, dan berakhir dengan

iv
tercapainya pencerahan yang lengkap dan sempurna. Arti penting
karya ini kelak dibuktikan oleh peran pentingnya dalam menjadi
fondasi bagi penulisan karya-karya penting lainnya dalam
khazanah Buddhisme Tibet, terutama teks Lamrim Agung karya
Je Tsongkhapa.

Karena kualitas esensial yang dimiliki oleh karya gubahan


Guru Atisha ini – kemampuannya dalam merangkum keseluruhan
ajaran Buddha ke dalam satu panduan yang singkat dan
sistematis – Penerbit Saraswati meyakini bahwa penerbitan
karya ini, yang sudah dikomentari secara mendalam dan diberi
penjelasan tambahan yang tak kalah gamblangnya oleh Dagpo
Rinpoche, akan menjadi sumbangsih yang berharga bagi proses
pembelajaran Buddhisme di Indonesia. Semoga transkrip edisi
kali ini dapat membantu para pembaca untuk memulai langkah
awal menuju tercapainya kebahagiaan sejati.

v
Biografi Singkat

Dagpo Rinpoche juga dikenal dengan nama Bamchoe


Rinpoche, dilahirkan pada tahun 1932 di distrik Kongpo, sebelah
tenggara Tibet. Pada usia dua tahun, beliau dikenali oleh H.H.
Dalai Lama ke-13 sebagai reinkarnasi dari Dagpo Lama Rinpoche
Jamphel Lhundrup. Ketika berusia enam tahun, beliau memasuki
vihara Bamchoe, di dekat distrik Dagpo. Di vihara tersebut, beliau
belajar membaca dan menulis, juga mulai belajar dasar-dasar
sutra dan tantra. Pada usia tiga belas tahun, beliau memasuki
vihara Dagpo Shedrup Ling untuk mempelajari lima topik utama
dari filosofis Buddhis, yaitu: Logika, Paramita, Madhyamika,
Abhidharma, dan Vinaya.

Setelah belajar selama 11 tahun di Dagpo Shedrup Ling,


Dagpo Rinpoche melanjutkan studinya di Vihara Universitas
Drepung. Vihara Universitas Drepung ini terletak di dekat kota
Lhasa. Beliau belajar di salah satu dari empat universitas yang
dimiliki vihara tersebut, yaitu Gomang Dratsang. Di sana beliau
memperdalam pengetahuan tentang filosofi Buddhis dan
khususnya beliau belajar filosofi berdasarkan buku pelajaran
(textbook) dari Gomang Dratsang, yaitu komentar dari Jamyang
Shepa. Selama beliau tinggal di Gomang Dratsang (dan kemudian
juga ketika di pengungsian, di India dan Eropa), beliau belajar di
bawah bimbingan Guru dari Mongolia yang termasyhur Geshe
Gomang Khenzur Ngawang Nyima Rinpoche. Karena tempat
belajar beliau tidak jauh dari Lhasa sebagai ibukota Tibet,
beliau juga berkesempatan untuk menghadiri banyak ceramah
Dharma dan menerima banyak transmisi lisan dari beberapa
guru yang berbeda. Oleh karena itu, Rinpoche adalah salah

vii
satu dari sedikit Lama (Guru) pemegang banyak silsilah ajaran
Buddha.

Selama ini, Dagpo Rinpoche, yang bernama lengkap Dagpo


Lama Rinpoche Lobsang Jhampel Jhampa Gyatso, telah
belajar dari 34 guru Buddhis, khususnya dua tutor (pembimbing)
dari H.H. Dalai Lama ke-14, yaitu Kyabje Ling Rinpoche dan
Kyabje Trijang Rinpoche, dan juga dari H.H. Dalai Lama ke-14
sendiri. Di bawah bimbingan mereka, Rinpoche belajar Lima
Topik Utama dan Tantra (beliau telah menerima banyak inisiasi
dan menjalani retret). Selain itu, beliau juga belajar astrologi,
puisi, tata bahasa, dan sejarah.

Beliau belajar di Gomang Dratsang hingga penyerbuan


komunis ke Tibet tahun 1959. Pada tahun itu, di usia 27 tahun,
beliau menyusul H.H. Dalai Lama ke-14 dan guru-guru Buddhis
lainnya, menuju pengasingan di India. Tidak lama setelah
kedatangannya di India, beliau diundang ke Perancis untuk
membantu para Tibetologis Perancis dalam penelitian mereka
tentang agama dan budaya negeri Tibet. Para ilmuwan Eropa ini
tertarik untuk mengundang beliau karena keintelektualan serta
pemikiran beliau yang terbuka (open minded). Dengan nasehat
dan berkah dari para gurunya, beliau memenuhi undangan
tersebut dan mendapat beasiswa Rockefeller. Beliau adalah
Lama pertama yang tiba di Perancis. Beliau mengajar Bahasa
dan Budaya Tibet selama 30 tahun di School of Oriental Studies,
Paris. Setelah pensiun, beliau tetap melanjutkan studi dan riset
pribadinya. Beliau telah banyak membantu menyusun buku
tentang Tibet dan Buddhisme, juga berpartisipasi dalam berbagai
program di televisi dan radio.

Setelah mempelajari Bahasa Perancis dan Inggris serta


menyerap pola pikir orang barat, pada tahun 1978 beliau akhirnya
bersedia untuk mulai mengajar Dharma mulia dari Buddha
Sakyamuni. Pada tahun itu, beliau mendirikan pusat Dharma yang
viii
bernama Institut Ganden Ling di Veneux-Les Sablons, Perancis. Di
tempat inilah, beliau memberikan pelajaran tentang Buddhisme,
doa, serta meditasi. Sejak tahun 1978 hingga sekarang beliau
telah banyak mengunjungi berbagai negara, diantaranya ke Italia,
Belanda, Jerman, Singapura, Malaysia, dan Indonesia.

Beliau mulai mengunjungi Indonesia pada tahun 1989.


Sejak itu, setiap tahun beliau secara rutin ke Indonesia untuk
membabarkan Dharma, memberikan transmisi ajaran Buddha,
khususnya ajaran Lamrim, dan memberikan beberapa inisiasi
serta berkah.

RIWAYAT MASA LAMPAU


Dagpo Rinpoche yang sekarang, dikenali oleh H.H.Dalai
Lama ke-13 sebagai reinkarnasi dari Dagpo Lama Rinpoche
Jhampel Lhundrup. Dagpo Rinpoche terdahulu ini sebelumnya
sudah dikenali sebagai reinkarnasi seorang mahaguru
yang berasal dari Indonesia yang bernama Suvarnadwipa
Dharmakirti (Serlingpa). Suvarnadwipa terlahir dalam keluarga
Sri-Vijayendra- aja (Raja Sriwijaya), yang juga merupakan
bagian dari keluarga Sailendravamsa (Dinasti Sailendra,
di Yavadwipa), karena Sri-Maharaja Balaputradewa (Raja
Sriwijaya) adalah putra dari Sri-Maharaja Smaratungga (Raja
Sailendra). Wangsa Sailendra-lah yang membangun Candi
Borobudur. Keluarga leluhur Rinpoche juga berperan dalam
Perguruan Tinggi Agama Buddha Nalanda, yang berkembang
pada masa pemerintahan kerajaan Sriwijaya pada abad ke-
7. Suvarnadwipa kemudian menjadi Biksu dengan nama
ordinasi Dharmakirti. Beliau melatih diri di berbagai tempat,
termasuk juga belajar ke India. Berkat usahanya yang keras
dan himpunan kebajikannya yang sangat banyak, akhirnya
beliau berhasil mencapai realisasi tertinggi sebagai seorang
Bodhisatva. Kemasyhuran beliau sebagai seorang guru
Mahayana, khususnya ajaran Bodhicitta tersebar jauh hingga
ix
ke India, Cina, serta Tibet. Di Tibet beliau dikenal dengan nama
Lama Serlingpa.

Atisha menempuh perjalanan selama 13 Bulan melalui


laut dari India, dengan kondisi yang sangat sulit, untuk bertemu
dengan Suvarnadwipa di Indonesia, untuk mendapatkan instruksi
tentang Bodhicitta (tekad mencapai Kebuddhaan demi kebaikan
semua makhluk) dari beliau. Suvarnadwipa memberikan
transmisi ajaran yang berasal dari Manjushri, yaitu “Menukar Diri
Sendiri dengan Makhluk Lain” (Exchanging Self and Others).
Setelah belajar dari Suvarnadwipa, Atisha kembali ke India
dan kemudian di undang ke Tibet. Di sana Atisha memainkan
peranan yang sangat penting untuk membawa pembaharuan
bagi Agama Buddha. Atisha menjadi salah satu mahaguru yang
sangat dihormati dalam Agama Buddha Tibet. Kedua guru
besar ini, Suvarnadwipa dan Atisha, bertemu kembali dalam
masa sekarang dalam hubungan guru-murid yang sama, yaitu
ketika Atisha terlahir kembali sebagai Pabongkha Rinpoche dan
menerima ajaran tentang Bodhicitta dari Dagpo Lama Rinpoche
Jhampel Lhundrup. Dagpo Lama Rinpoche Jhampel Lhundrup
ini mempunyai peranan yang sangat penting bagi Buddhisme
Tibet dengan menghidupkan kembali ajaran Lamrim di bagian
selatan Tibet. Beliau sangat terkenal atas penjelasannya tentang
Lamrim dan atas realisasi beliau akan Bodhicitta. Banyak
guru Lamrim pada masa itu yang mendapatkan transmisi dan
penjelasan Lamrim dari Beliau sehingga mendapatkan realisasi
atas ajaran Lamrim tersebut.

Silsilah kelahiran kembali Dagpo Rinpoche lainnya sangat


banyak. Termasuk guru-guru besar seperti Bodhisatva Taktungu
yang hidup pada masa Buddha terdahulu. Beliau rela menjual
sepotong dagingnya untuk memberi persembahan kepada
gurunya. Selain itu, yogi India bernama Virupa dan cendekiawan
Gunaprabha juga diyakini adalah reinkarnasi dari Rinpoche.

x
Di Tibet sendiri, guru-guru yang termasuk ke dalam silsilah
Dagpo Rinpoche adalah Marpa Lotsawa Sang Penerjemah, yang
mendirikan sekte Buddhis Kagyu. Beliau terkenal karena menjadi
guru yang membimbing Jetsun Milarepa mencapai pencerahan
dengan latihan yang sangat keras. Selain itu juga, Londroel
Lama Rinpoche, guru meditasi dan cendekiawan yang penting
pada abad ke-18, siswa dari H.H. Dalai Lama ke-7. Seperti
juga Milarepa, Londroel Rinpoche juga mempunyai masa muda
yang sulit. Beliau menjadi salah satu guru terkemuka pada abad
tersebut, dan guru dari para cendekiawan di antaranya Jigme
Wangpo. Beliau juga menyusun risalah sebanyak 23 jilid. Pada
masa kini, sejumlah Kepala Vihara Dagpo Shedrup Ling juga
termasuk dalam reinkarnasi Rinpoche sebelumnya.

xi
1

Pendahuluan

Untuk mendapatkan kerangka berpikir yang benar ketika


menyimak ajaran, kita harus berpikir bahwa saat ini kita telah
mendapatkan kelahiran sebagai manusia yang sungguh berharga.
Oleh sebab itu, penting bagi kita untuk memanfaatkannya
sedemikian rupa agar bisa membawa manfaat di kehidupan saat
ini maupun mendatang. Kemudian, kita harus bisa memastikan
bahwa kelahiran ini tidak hanya berguna bagi diri sendiri, tetapi
juga bagi semua makhluk yang tak terhitung jumlahnya.

Untuk mencapai tujuan ini, tentu kita membutuhkan sebuah


metode. Apakah itu? Metode yang utama adalah mengubah cara
berpikir, yaitu mengurangi sifat-sifat negatif seperti amarah, iri
hati, dsb, dan mengembangkan kualitas-kualitas positif seperti
cinta kasih, welas asih, batin pencerahan (bodhicita), pemahaman
yang benar, dst. Kalau kita melihat kondisi di sekeliling kita saat
ini, mudah sekali untuk menyadari bahwa masih ada begitu
banyak makhluk yang mengalami penderitaan dalam satu dan lain
Bodhipathapradipa

bentuk. Mengapa demikian? Semata karena mereka masih belum


mampu mengendalikan batin mereka. Alih-alih mengendalikan
diri sendiri, mereka malah dikendalikan oleh cara berpikir yang
salah. Di bawah pengaruh buruk seperti inilah karma mereka
berbuah sehingga menghasilkan penderitaan yang mereka alami
sekarang. Kenyataan ini juga berlaku pada diri kita sendiri. Jika
kita terus-menerus membiarkan batin kita bergerak liar ke mana-
mana, kita takkan sanggup menaklukkan diri sendiri, dan akhirnya
harus terus mengalami aneka permasalahan, dan pada gilirannya,
penderitaan. Ini akan berlangsung terus-menerus sampai kita
memutuskan untuk mulai mengendalikan batin kita.

Apa esensi dari ajaran Buddha? Esensinya hanya satu, yaitu


menaklukkan batin kita sendiri. Jika seseorang berusaha untuk
menaklukkan batinnya sendiri demi mencapai pembebasan
pribadi dari lingkaran keberadaan, ini adalah ajaran Buddha yang
termasuk ke dalam jalan Pratimokshayana. Di sisi lain, apabila kita
berjuang demi kepentingan semua makhluk, maka ini termasuk
ke dalam jalan Mahayana. Apa pun jalan yang kita tempuh,
menyimak ajaran dengan motivasi yang bajik – yang merentang
dari pemanfaatan kelahiran sebagai manusia yang berharga untuk
menyasar kelahiran kembali yang baik di kehidupan mendatang
sampai ke aspirasi untuk membebaskan diri sendiri berikut semua
makhluk dari lingkaran samsara yang tak berujung – adalah hal
terpenting dan pertama yang harus kita lakukan.

2
2

Pelita Sang
Jalan Menuju
Pencerahan
Barusan telah disinggung soal keniscayaan metode dalam
mempraktikkan ajaran Buddha. Di antara sekian banyak metode
yang ada, metode unggul yang akan dibahas dalam konteks kali
ini adalah karya agung Guru Atisha yang berjudul Pelita Sang
Jalan Menuju Pencerahan. Untuk menjelaskan karya ini, kita akan
bertumpu pada garis besarnya, yang terbagi menjadi 4 bab utama:

1. Menunjukkan kemurnian sumber ajaran; keagungan


sang pengarang
2. Membangkitkan rasa hormat kepada instruksi; keagungan
ajaran
3. Bagaimana cara mendengar dan mengajar dengan
kedua aspek keagungan tersebut
4. Bagaimana para murid dibimbing dengan ajaran yang
sebenarnya
Bodhipathapradipa

Bagian pertama bertujuan untuk menunjukkan kemurnian


sumber ajaran yang bersumber dari keagungan Guru spiritual.
Yang dipaparkan di sini adalah biografi semua Guru, mulai dari
Buddha Shakyamuni sampai ke pengarang karya ini, yaitu Atisha
Dipamkara Srijnana. Penting bagi kita untuk memahami bahwa
ajaran yang kita praktikkan atau dengarkan saat ini merupakan
ajaran yang murni dan otentik, karena Buddha Shakyamuni
sendirilah yang memberikannya kepada murid-muridnya dalam
sebuah silsilah yang tak terputus. Ketika ajaran ini sampai ke Guru
Atisha, beliau juga mengajarkannya kepada murid-muridnya
dalam sebuah silsilah yang tak terputus, yang kemudian sampai ke
Raja Dharma Agung Je Tsongkhapa, dan demikianlah seterusnya
hingga kita berkesempatan menikmati ajaran agung yang sama
saat ini. Bagian kedua menjelaskan keagungan ajaran itu sendiri
agar kita dapat membangkitkan rasa hormat kepadanya. Bagian
ketiga menjelaskan bagaimana cara mendengar dan mengajar
setelah kita memahami keagungan sang pengajar dan ajaran yang
diberikannya. Bagian keempat terbagi menjadi 4 aspek:
1. Penjelasan atau makna dari judul karya
2. Penghormatan oleh penerjemah karya
3. Makna sejati dari ajaran
4. Makna dari kesimpulan ajaran

4
3

Penjelasan atau
Makna dari Judul
Karya
Mengapa judul karya mesti dipertimbangkan? Karena ini
adalah sebuah aturan atau tata cara yang dinyatakan oleh Raja
Dharma Tibet pada saat itu. Apa bunyi aturannya? Bahwa semua
karya yang diterjemahkan dari bahasa Sanskerta ke bahasa Tibet
harus turut mencantumkan judul asli dalam bahasa Sanskerta.
Tujuannya: untuk membuktikan bahwa ajaran tersebut merupakan
ajaran yang otentik dan bersumber langsung dari India, bukan
ajaran yang dibuat-buat oleh orang Tibet.

Dalam bahasa Sanskerta, Pelita Sang Jalan dinamai


Bodhipathapradipa. Apa artinya? Kata pertama, bodhi,
bermakna ‘pencerahan’. Kalau begitu, apa makna ‘pencerahan’?
Singkatnya, pencerahan adalah kebijaksanaan unggul seorang
Buddha. Pada dasarnya, bodhi berarti pemahaman. Ketika kata
ini diterjemahkan ke bahasa Tibet, ia tersusun menjadi dua suku
kata: jang-chub. Jang artinya purifikasi, dan merujuk pada seorang
Buddha yang sudah sepenuhnya memurnikan semua halangan
Bodhipathapradipa

dan kesalahannya. Chub artinya pemahaman atau realisasi, yaitu


semua kualitas bajik yang telah dicapai oleh seorang Buddha. Di
sini, kita bisa melihat bahwa pemilihan istilah jang-chub adalah
contoh penerjemahan yang sangat unggul dan sempurna, karena
ia benar-benar menjelaskan esensi dari Kebuddhaan. Sebagai
tambahan, istilah ‘Buddha’ dalam bahasa Tibet, sang-gye, juga
kurang lebih bermakna sama. Sang juga bermakna purifikasi semua
halangan dan kesalahan, dan gye sendiri artinya pengembangan
ataupun pencapaian semua kualitas bajik dengan sempurna.

Jadi, pada dasarnya, ketika disebutkan bahwa seseorang telah


menghilangkan semua ketidaksempurnaan, ini sebenarnya juga
bermakna bahwa ia telah mengembangkan semua kualitas bajik.
Sebaliknya, ketika dikatakan bahwa semua kualitas bajik sudah
berkembang, ini juga bermakna bahwa semua ketidaksempurnaan
sudah berakhir. Artinya, kita tidak bisa mendapatkan yang satu
tanpa yang lainnya. Yang pertama bermakna yang kedua, dan
begitu pula sebaliknya. Ini ibarat satu penjelasan yang ditinjau dari
dua sudut pandang yang berbeda; sudut pandang pertama adalah
penegasian, dan sudut pandang kedua adalah pencapaian.

Ketika penerjemah Tibet menerjemahkan kata bodhi ke


bahasa Tibet, mereka memilih kata jang-chub dengan urutan
kata yang sedemikian rupa. Kenapa urutannya tak bisa dibalik?
Jang mengandung arti purifikasi, dan chub mengandung arti
pencapaian. Kedua kata ini diletakkan sedemikian rupa agar kita
sadar bahwa untuk mencapai semua kualitas bajik sepenuhnya,
seseorang harus terlebih dulu memurnikan semua kesalahan dan
halangan yang dimilikinya. Dari sini, barulah ia bisa sepenuhnya
mengembangkan semua kualitas bajik.

Logika yang sama juga berlaku pada urutan ketiga jenis


sila Bodhisatwa. Sila pertama adalah menghindari kesalahan,

6
Penjelasan atau Makna dari Judul Karya

sila kedua adalah mengumpulkan kebajikan, dan sila ketiga


adalah menolong makhluk lain. Artinya, sebelum kita bisa
berhenti melakukan perbuatan jahat, melukai orang lain, atau
mengumpulkan karma buruk. Kita takkan bisa menghasilkan
kebajikan. Ketika batin kita sudah dipenuhi oleh kebajikan,
barulah kita siap dan mampu untuk menolong makhluk lain.
Inilah logika yang sama dengan logika dari istilah jang-chub.
Intinya, mengetahui urutan yang tepat ketika ingin melakukan
sesuatu, apalagi aktivitas Dharma, sangatlah penting. Kita bisa
saja memiliki niat baik untuk membantu orang lain, dan niat ini
barangkali dilandasi oleh ketulusan, namun niat semata takkan
bisa membantu kita mencapai tujuan yang kita sasar jika kita tak
memiliki kemampuan atau kapasitas untuk melakukannya. Dan
bagaimana cara meraih kapasitas ini? Dengan melatih diri sesuai
urutan yang tepat.

Bagi mereka yang menapaki jalan Mahayana atau yang


tertarik pada tujuan Mahayana – pengupayaan kebahagiaan
semua makhluk – maka mereka harus berjuang untuk mencapai
Kebuddhaan. Mengapa? Karena kondisi yang kita sebut sebagai
Kebuddhaan memiliki 3 macam keunggulan: keunggulan
pelenyapan, keunggulan realisasi, dan keunggulan aktivitas. Sekali
lagi, di sini kita bisa melihat urutan logika yang sama. Dikatakan
bahwa aktivitas seorang Buddha memiliki kualitas spontan dan
tanpa upaya. Bagaimana seorang Buddha memiliki kualitas ini?
Dengan pertama-tama melenyapkan semua ketidaksempurnaan,
kemudian merealisasikan semua kualitas bajik. Inilah yang
memungkinkan seorang Buddha untuk mencapai keunggulan
aktivitas.

Berikutnya, kata kedua adalah patha, yang artinya ‘jalan’.


Kata ketiga adalah pradipa, yang artinya ‘pelita’. Dengan demikian,
judulnya bermaksud mengatakan bahwa karya ini adalah pelita
7
Bodhipathapradipa

yang menerangi jalan menuju pencerahan, atau cahaya yang


menerangi kegelapan akibat keraguan. Teks ini disebut “Pelita
Sang Jalan Menuju Pencerahan” karena ia menerangi jalan kita
dalam menapaki pencapaian pencerahan, yang dimulai dari
bertumpu pada seorang Guru spiritual secara benar dan berakhir
dengan tercapainya pencerahan.

8
4

Penghormatan
oleh Penerjemah
Karya
Guru Atisha memulai karyanya dengan pertama-tama
menghaturkan hormat kepada Manjushri yang senantiasa muda.
Ini adalah penghormatan yang ditambahkan oleh beliau untuk
memastikan keberhasilan penerjemahan karya ini. Penghormatan
ini juga merupakan aturan yang ditetapkan oleh Raja Dharma
Tibet. Aturannya: apabila seseorang akan menerjemahkan karya
yang berkaitan dengan Abhidharma-pitaka, ia harus menghaturkan
hormat kepada Manjushri. Apabila karyanya berkaitan dengan
Sutra-pitaka, ia harus menghaturkan hormat kepada semua
Buddha dan Bodhisatwa. Terakhir, apabila karyanya berkaitan
dengan Winaya-pitaka, ia harus menghaturkan hormat pada
Buddha Shakyamuni.

Mengapa Abhidharma-pitaka dihubungkan dengan


Manjushri? Istilah abhi merujuk pada kebijaksanaan yang mewujud,
dan ajaran-ajaran yang terkandung di dalamnya mengajarkan
latihan unggul untuk mencapai kebijaksanaan (baik yang tercemar
Bodhipathapradipa

maupun tidak). Di sisi lain, kita tahu bahwa Manjushri adalah


perwujudan dari kebijaksanaan seorang Buddha. Inilah alasan
kenapa karya-karya Abhidharma-pitaka mesti diawali dengan
penghormatan kepada Manjushri.

Meskipun dibuka dengan penghormatan kepada Manjushri,


pada dasarnya Pelita Sang Jalan merupakan penjelasan tentang
keseluruhan ajaran Buddha. Oleh sebab itu, bisa dikatakan bahwa
karya ini sebenarnya termasuk ke dalam ketiga jenis pitaka. Kalau
begitu, kenapa hormatnya hanya dihaturkan pada Manjushri?
Ini karena penerjemah karya Guru Atisha, Nagtso Lotsawa,
memiliki guru utama yang sekaligus merupakan penerjemah
besar Tibet, Lochen (‘Penerjemah Agung’) Rinchen Zangpo.
Ketika menerjemahkan, Guru ini seringkali mengawalinya dengan
memberikan penghormatan kepada Manjushri. Pencantuman
nama Manjushri oleh Nagtso Lotsawa, dengan demikian, adalah
semata untuk mengikuti tradisi Gurunya, Rinchen Zangpo.

10
5

Makna Sejati dari


Ajaran

Aspek ini terbagi menjadi 4 poin: Yang pertama adalah


penghormatan yang dihaturkan oleh sang pengarang. Yang kedua
adalah janji beliau untuk menggubah karya ini. Yang ketiga adalah
penjelasan karya itu sendiri. Yang keempat adalah penjelasan
terkait situasi pada saat karya ini dituliskan atau alasan penulisan
karya ini.

Dalam Pelita Sang Jalan, poin penghormatan dan janji


berbunyi sebagai berikut:

Kepada seluruh Penakluk dari ketiga kurun waktu,


kepada Dharma,
serta kepada Sangha, aku bersujud dengan rasa hormat
yang mendalam.
Terdorong oleh permohonan muridku yang baik,
Jangchub Ö,
aku akan menjelaskan Pelita Sang Jalan Menuju
Pencerahan.
Bodhipathapradipa

Singkatnya, sang pengarang menghaturkan hormat pada


Triratna, dan ini kiranya tak butuh penjelasan panjang lebar.
Bagaimana cara sang pengarang menghaturkan hormatnya pada
Triratna? Dengan “rasa hormat yang mendalam”. Ini artinya ia
benar-benar memahami dan menyadari kualitas luar biasa dari
masing-masing permata, karena mustahil bisa muncul perasaan yang
mendalam tanpa adanya pemahaman sejati ihwal kualitas luar biasa
dari Triratna itu sendiri. Mengapa Triratna yang terlebih dahulu diberi
penghormatan? Ada 2 alasan. Pertama, untuk memastikan suksesnya
penulisan karya. Kedua, agar penulisan karya benar-benar menjadi
praktik Buddhis yang sebenarnya. Bagaimana caranya? Dengan
pertama-tama berlindung kepada Triratna.

Terkait janji untuk menggubah karya, ini adalah janji Guru


Atisha pada Jangchub Ö, seorang raja Tibet yang merupakan
murid beliau. Ia mengajukan permohonan agar Guru Atisha
bersedia menulis karya ini dengan berbagai alasan. Pada saat itu,
ajaran Buddha memang sudah ada di Tibet. Akan tetapi, terdapat
kebingungan tentang tata cara mempraktikkan jalan Mahayana
dengan benar, berhubung tak ada sosok Guru berkualitas
yang mampu menjelaskan jalan ini dengan tepat. Akibatnya,
orang-orang mulai mencoba menafsirkan Sang Jalan menurut
pemahaman mereka sendiri. Mereka mencoba mereka-reka
dengan cara mereka sendiri, sehingga tak pelak muncul banyak
tafsir berikut ragam kontroversi yang menyertainya. Ini tentunya
semakin menambah keraguan di batin setiap orang. Dalam rangka
menghancurkan kebingungan itulah Jangchub Ö mengajukan
permohonan kepada Guru Atisha untuk menggubah karya ini. Ia
juga mengajukan permohonan agar ajaran Buddha tetap terjaga
dan tersebar di seluruh Tibet.

Ada satu lagi murid Tibet Guru Atisha yang bernama


Dromtonpa, yang juga mengajukan permohonan kepada beliau
12
Makna Sejati dari Ajaran

dengan kata-kata berikut, “Jika seorang sarjana agung seperti Anda


tidak datang ke Tibet, akan ada banyak orang yang tidak tahu
bagaimana memahami kesunyataan walaupun ajaran Buddha
masih ada di Tibet. Oleh karenanya, aku memohon penjelasan
jalan menuju pencerahan kepada Anda yang memahaminya
dengan sempurna.” Jalan menuju pencerahan di sini merujuk
pada pemahaman kesunyataan. Ini dirangkum dalam baris yang
telah dicuplik di atas: “Aku akan menjelaskan Pelita Sang Jalan
Menuju Pencerahan.”

Di dalam poin penjelasan karya ini, Guru Atisha menjelaskan


bahwa walaupun beliau tidak begitu memiliki pengetahuan
dan kualitas yang dibutuhkan untuk menggubah sebuah karya
agung, permohonan Jangchub Ö yang begitu baik, apik, dan
tulus akhirnya mendorongnya untuk menulis Pelita Sang Jalan.
Apa saja kriteria untuk menulis sebuah penjelasan atas ajaran
Buddha? Ada 3 kriteria. Pertama, apabila seseorang sudah
menerima instuksi yang sama dari gurunya, dan pada gilirannya
guru ini juga menerima instruksi yang sama dari gurunya, dan
demikian seterusnya sampai ke Buddha sendiri. Kedua, apabila
seseorang mengalami penampakan (visi) Buddha ataupun
Istadewata sehingga ia memperoleh izin untuk menulis penjelasan
atas ajaran Buddha. Ketiga, apabila ia memiliki pengetahuan
yang cukup untuk menulis penjelasan atas ajaran Buddha. Bila
salah satu kriteria ini terpenuhi, maka orang yang bersangkutan
berhak menulis sebuah penjelasan atas ajaran Buddha. Dalam
kasus Guru Atisha, ketiga kriteria ini terpenuhi dengan sempurna.

Sekarang, kita masuk pada penjelasan bagian utama dari


karya ini, yang terbagi menjadi 2: penjelasan tentang sistem
pembagian ketiga jenis praktisi dan penjelasan tentang jalan yang
dijalani oleh ketiga jenis praktisi. Ini dirangkum dalam bait berikut:

13
Bodhipathapradipa

Ketahuilah bahwa terdapat tiga golongan praktisi:


yang berkapasitas kecil, menengah, dan agung.
Untuk menunjukkan ciri-cirinya,
aku akan menjelaskannya satu-persatu.

Istilah ‘praktisi’ dalam bahasa Tibet adalah ki-bu. Padanan


Sanskertanya adalah purusha. Apa arti purusha? Purusha secara
harfiah bermakna makhluk hidup, namun makhluk yang memiliki
kapasitas. Apa maksudnya? Maksudnya adalah seseorang yang
memiliki kapasitas untuk menghasilkan kebahagiaan dalam
rangkaian kehidupan berikutnya. Jadi, apabila seseorang hanya
mencari kebahagiaan dalam kehidupan saat ini saja, ia tidak
bisa dikatakan sebagai purusha. Dengan kata lain, ia bukanlah
makhluk yang dimaksudkan di dalam teks Pelita Sang Jalan.

Ada 3 jenis praktisi (purusha). Yang pertama adalah makhluk


berkapasitas kecil, yang merasa tidak puas dengan kebahagiaan
dalam kehidupan saat ini dan mengincar kebahagiaan pada rangkaian
kehidupan berikutnya di dalam samsara. Demi mencapai tujuan ini,
mereka menjalani hidup sesuai dengan hukum karma. Yang kedua
adalah makhluk berkapasitas menengah, yang merasa muak atau
jijik terhadap kehidupan di dalam samsara, betapa pun baiknya
kehidupan tersebut. Jadi, tujuan mereka adalah membebaskan diri
dari samsara. Untuk mencapai tujuan ini, mereka mempraktikkan
ketiga jenis latihan tingkat tinggi (sila, samadhi, prajna). Yang ketiga
adalah makhluk berkapasitas agung, yang bertekad untuk mengambil
tanggung jawab dalam memastikan pembebasan semua makhluk
dari samsara. Mereka merasa bahwa pembebasan pribadi saja
tidaklah mencukupi, sehingga akhirnya memunculkan tekad untuk
mencapai Kebuddhaan demi semua makhluk.

Bagian kedua, yaitu penjelasan tentang jalan yang dijalani


oleh ketiga jenis praktisi, dibuka dengan bait berikut:

14
Makna Sejati dari Ajaran

Ia yang, dengan cara apa pun,


sekadar mencari kenikmatan dalam samsara
untuk dirinya sendiri
disebut sebagai makhluk berkapasitas kecil.

Tujuan makhluk berkapasitas kecil adalah menciptakan


sebab-sebab bagi kebahagiaan di dalam samsara untuk dirinya
sendiri. Metode yang dipakai adalah merenungkan kematian dan
ketidakkekalan, penderitaan di alam-alam rendah, berlindung,
serta memahami hukum karma. Sebagai tambahan, mereka
juga memeditasikan sebab-sebab yang menghasilkan kualitas-
kualitas untuk terlahir kembali di rupaloka dan arupaloka. Mereka
melakukan semua ini agar bisa terlahir kembali sebagai manusia
atau dewa yang bergelimang harta benda dan kesenangan, yang
pada gilirannya diniatkan untuk dinikmati secara pribadi.

Bait berikutnya berbunyi:


Ia yang, setelah berpaling dari kenikmatan samsara,
secara alamiah menolak ketidakbajikan
dan mencari pembebasan untuk dirinya sendiri
disebut sebagai makhluk berkapasitas menengah.

Apa yang menjadi ciri khusus makhluk berkapasitas


menengah? Mereka adalah sosok yang mampu melihat realitas
dari keseluruhan samsara (baik alam tinggi maupun rendah)
sebagai satu lingkaran penderitaan tanpa henti yang sepenuhnya
dipengaruhi oleh karma dan klesha. Bila seseorang sudah meraih
pemahaman ini, tentu ia tak lagi memiliki keinginan untuk
menikmati secuil pun kebahagiaan yang ada di dalam samsara,
bahkan dalam mimpinya. Ia adalah orang yang sudah berpaling
dari ragam kenikmatan samsara. Apa yang dipraktikkan oleh
makhluk berkapasitas menengah? Mereka menghindari semua
perbuatan jahat (oleh fisik, ucapan, maupun mental) dan melatih
15
Bodhipathapradipa

salah satu atau semua latihan tingkat tinggi. Apa buah dari praktik
yang demikian? Buahnya adalah pencapaian pembebasan atau
nirwana pribadi.

Bait berikutnya berbunyi:


Ia yang, setelah memahami penderitaannya sendiri,
berkeinginan untuk sepenuhnya menghapuskan
penderitaan semua makhluk
disebut sebagai makhluk berkapasitas agung.

Makhluk berkapasitas agung sudah benar-benar memahami


apa maksudnya terikat di dalam samsara berikut semua penderitaan
yang menyertainya. Berdasarkan pemahaman dan pengalaman
sendiri, mereka menerapkan kondisi mereka pada makhluk lain
dan menyadari bahwa semua makhluk di dalam samsara pada
dasarnya juga menderita. Dari sini, mereka membangkitkan welas
asih agung untuk menghentikan penderitaan semua makhluk.

Demikianlah tiga bait ini merujuk pada definisi ketiga


jenis praktisi. Ketiganya merangkum keseluruhan tahapan jalan
menuju pencerahan. Secara umum, ada banyak cara untuk
merangkum keseluruhan tahapan jalan menuju pencerahan. Ada
yang merangkumnya menjadi aspek kebijaksanaan dan aspek
metode. Ada pula yang merangkumnya ke dalam kebahagiaan
dari kelahiran yang lebih tinggi dan kebahagiaan yang pasti. Di
sini, Guru Atisha merangkum keseluruhan tahapan jalan menuju
pencerahan ke dalam ketiga jenis praktisi. Kita bisa melihat betapa
baiknya perangkuman keseluruhan tahapan jalan ke dalam ketiga
jenis praktisi, karena pada dasarnya semua praktisi pasti termasuk
ke dalam salah satu dari ketiga jenis praktisi. Alasan lainnya,
pembagian ini memungkinkan masing-masing praktisi untuk
menghasilkan kualitas-kualitas yang sesuai dengan kapasitas
mereka masing-masing.
16
Makna Sejati dari Ajaran

Pengunaan istilah ‘ketiga jenis praktisi’ bisa ditemukan


atau ditelusuri langsung dalam kata-kata Buddha sendiri. Di
dalam salah satu karyanya, Arya Asanga bahkan menggunakan
dan menjelaskan istilah ini dengan 23 cara yang berbeda. Arya
Wasubandhu juga menggunakan istilah ini. Di sini, Guru Atisha
menggunakan istilah ini untuk mencakup keseluruhan kualitas
spiritual dan menyusunnya sedemikian rupa menjadi tahapan-
tahapan yang mencakup semua jenis praktisi yang sedang
berupaya meniti jalan menuju Kebuddhaan. Oleh sebab itu,
pembagian ini merupakan pembagian yang sangat terampil dan
unggul.

Definisi sejati dari praktisi berkapasitas kecil adalah mereka


yang hanya mengejar kebahagiaan di dalam samsara dan tak
lebih daripada itu. Pembebasan pribadi dari samsara sama sekali
tak terpikirkan oleh mereka, apalagi mengejar Kebuddhaan.
Definisi sejati dari praktisi berkapasitas menengah adalah mereka
yang hanya mengejar pembebasan pribadi dari samsara dan tak
lebih daripada itu; dengan kata lain, pencapaian tingkat Arhat,
apakah itu Shrawaka atapun Pratyekabuddha. Pratimokshayana
adalah metode utama yang diajarkan di dalam jalan ini. Praktisi
berkapasitas agung tentu saja tidak lagi mengejar kelahiran
kembali yang lebih baik di dalam samsara ataupun pembebasan
pribadi dari samsara. Akan tetapi, mereka masih harus berlatih
memeditasikan kematian, penderitaan di alam rendah, berlindung,
mempraktikkan hukum karma, dan tentu saja ketiga jenis latihan
tingkat tinggi. Namun, alasan kenapa mereka melakukannya
sepenuhnya berbeda dengan alasan dari praktisi berkapasitas kecil
atau menengah. Apa itu? Mencapai Kebuddhaan demi semua
makhluk. Singkatnya, meski esensi praktiknya sama, alasan di
balik praktiklah yang membedakan masing-masing praktisi di
dalam tahapan jalan.

17
Bodhipathapradipa

Agar bisa disebut sebagai praktisi Mahayana, kita harus


memiliki aspirasi pencerahan yang berharga, yang dikenal dengan
nama bodhicita. Pemicu utama munculnya bodhicita adalah
welas asih agung yang tak tahan melihat penderitaan semua
makhluk samsara. Agar dapat memunculkan welas asih agung ini
di dalam batinnya, pertama-tama seseorang harus merealisasikan
penolakan samsara. Artinya, ia harus terlebih dulu merasa bahwa
dirinya memang terus menderita di dalam samsara dan, oleh
karenanya, merasa jijik pada samsara. Untuk memunculkan
penolakan samsara ini, seseorang harus bisa memahami bahwa
takkan pernah ada kebahagiaan sejati di dalam samsara,
berhubung skandha dari tubuh samsarik pastilah tercemar dan
berhakikat penderitaan. Pemahaman yang demikian bisa diperoleh
dengan memeditasikan kebenaran Arya tentang penderitaan dan
tata cara kita terlempar dan tertahan di dalam samsara. Di sini,
kita kembali melihat esensi praktik yang dibagi bersama oleh
ketiga jenis praktisi, meskipun dengan alasan yang berbeda-
beda. Dengan demikian, ketika kita berbicara tentang jalan yang
dijalankan bersama praktisi berkapasitas kecil,menengah, atau
agung, sebenarnya ada 2 makna yang terkandung di dalamnya.
Yang pertama adalah jalan sejati sebagaimana yang telah
dijelaskan oleh definisi sejati di atas. Yang kedua adalah jalan
yang dijalankan bersama kedua praktisi lainnya. Alasan di balik
praktiklah yang mendefinisikan jalan sejati, sedangkan esensinya
adalah jalan yang ditapaki bersama oleh ketiga jenis praktisi.

Di dalam Pelita Sang Jalan, Guru Atisha mengajarkan jalan


yang dijalankan oleh praktisi berkapasitas kecil dan menengah.
Akan tetapi, tujuan beliau mengajarkan jalan ini bukanlah untuk
mencapai kelahiran kembali yang lebih baik di dalam samsara
ataupun pembebasan pribadi. Beliau mengajarkan kedua jalan
ini sebagai pendahuluan menuju jalan yang dijalankan bersama

18
Makna Sejati dari Ajaran

makhluk berkapasitas agung. Inilah cara beliau menuntun


semua makhluk mencapai pencerahan sempurna. Jadi, topik
utama sebenarnya adalah jalan yang dijalankan oleh makhluk
berkapasitas agung.

Intinya, Guru Atisha menjelaskan tahapan jalan dari makhluk


berkapasitas agung dalam tiga tahapan jalan. Pertama-tama,
beliau mengajarkan tata cara membangkitkan aspirasi menuju
pencerahan dan ritual yang perlu dilakukan. Kedua, beliau
mengajarkan tata cara membangkitkan bodhicita dan berlatih di
dalam praktik Bodhisatwa. Terakhir, beliau mengajarkan tata cara
mengidentifikasi hasil dari latihan tersebut.

Setelah mengulas definisi singkat dari praktisi berkapasitas


agung, selanjutnya kita akan melihat definisi yang lebih
menyeluruh atau rinci, yang terbagi menjadi 2 bagian: definisi
menyeluruh dari jalan penyempurnaan dan definisi sebagian dari
praktik Tantra. Penjelasan menyeluruh dari jalan penyempurnaan
(Paramitayana) terbagi lagi menjadi 2 bagian: pemaparan jalan
penyempurnaan yang sebenarnya dan pemaparan hasil atau
akibatnya. Poin pemaparan jalan yang sebenarnya terbagi lagi
menjadi 2: janji sang pengarang untuk menjelaskan metode unggul
dalam merealisasikan Kebuddhaan dan penjelasan metode yang
sebenarnya.

Janji sang pengarang untuk menjelaskan metode unggul


dalam merealisasikan Kebuddhaan dirangkum dalam bait
berikut:
Bagi para makhluk agung ini,
yang tujuan akhirnya adalah pencerahan tertinggi,
aku akan menjelaskan metode sempurna
yang diajarkan oleh Guru-guru spiritual.

19
Bodhipathapradipa

Siapakah yang dimaksud dengan “para makhluk agung


ini”? Mereka adalah praktisi yang sudah bisa melihat dan
menganggap semua makhluk sebagai orang yang terkasih.
Mereka menganggap semua makhluk seperti anak sendiri
sembari membangkitkan welas asih agung. Mereka memiliki niat
unggul agar semua makhluk tak lagi harus menderita dan bisa
mendapatkan kebahagiaan sejati. Lebih lanjut, mereka sendirilah
yang akan memastikan penghentian penderitaan dan perolehan
kebahagiaan semua makhluk. Demikianlah welas asih agung ini
dibarengi dengan niat unggul. Tapi, seseorang dengan welas asih
agung dan niat unggul belum lagi bisa disebut Mahayanis sejati.
Ia mungkin memiliki kecenderungan Mahayana, tetapi belum bisa
disebut sebagai Mahayanis sejati. Alasannya, Mahayanis sejati
haruslah mampu memunculkan bodhicita spontan yang tanpa
upaya.

Berikutnya, dalam ulasan terhadap karya Pelita Sang Jalan


yang ditulisnya sendiri, Guru Atisha mengatakan bahwa beliau akan
menjelaskannnya sebagaimana cara Guru spiritual beliau telah
menjelaskannya. Siapakah Guru spiritual ini? Ada 2 Guru utama.
Yang pertama adalah Guru Bodhibhadra, yang mengajarkan beliau
aspek pandangan mendalam. Yang kedua adalah Guru Serlingpa,
yang mengajarkan beliau aspek aktivitas luas.

Dari sinilah Guru Atisha memperoleh “metode sempurna”,


yang dijelaskan dalam 2 bagian: penjelasan bodhicita aspirasional
berikut sila-silanya dan penjelasan bodhicita penerapan berikut
sila-silanya.

Bodhicitta aspirasional terbagi lagi menjadi 3 bagian:


pendahuluan, cara membangkitkan bodhicita aspirasional yang
sebenarnya, dan cara melatih sila-sila setelah membangkitkan
bodhicita aspirasional yang sebenarnya.

20
Makna Sejati dari Ajaran

Tahap pendahuluan terbagi lagi menjadi 3 bagian:


menghimpun kebajikan, berlindung, dan melatih ketiga tingkatan
batin (cinta kasih, welas asih, bodhicita). Menghimpun kebajikan
dirangkum dalam 2 bait berikut:
Di hadapan lukisan, rupang, dan perwujudan lain
dari Buddha yang sempurna,
di hadapan stupa-stupa dan ajaran yang berharga,
persembahkanlah bunga, dupa, atau apa saja yang
engkau miliki.

Dengan persembahan tujuh bagian


yang dijelaskan dalam Aktivitas Sempurna
Samantabhadra1,
serta dengan kemantapan batin
yang hanya mengenal jalan pencerahan sempurna;

Untuk menghimpun kebajikan, pertama-tama kita harus


memiliki objek untuk menghimpun kebajikan. Di sini, langkah
pertamanya adalah membersihkan tempat di mana kita akan
melakukan praktik. Setelah itu, susunlah perwujudan Buddha
seperti lukisan, rupang, dsb (minimal ada satu perwujudan Buddha
Shakyamuni). Alangkah baiknya jika kita memiliki stupa, yang
merupakan simbol dari batin Buddha. Kemudian, akan baik sekali
jika kita bisa meletakkan sebuah kitab Mahayana, misalnya Sutra
Penyempurnaan Kebijaksanaan2 atau teks-teks Lamrim. Setelah
menyusun perwujudan Buddha, stupa, dan kitab sedemikian
rupa (sebagai simbol tubuh, ucapan, dan batin), kita kemudian
mempersembahkan persembahan berupa bunga, dupa, air, dst.
Pada dasarnya, kita bisa mempersembahkan apa pun yang kita
miliki atau yang tersedia. Kita juga bisa mempersembahkan

1 Arya Samantabhadra-pranidhana-raja.
2 Prajna-paramita-Sutra.
21
Bodhipathapradipa

Doa 7 Bagian, yang merupakan intisari dari Aktivitas Sempurna


Samantabhadra.

Di dalam ulasan atas Pelita Sang Jalan yang ditulis sendiri


oleh Guru Atisha, persembahan dalam bentuk bunga dan
dupa merujuk pada persembahan material. Lawannya adalah
persembahan dalam bentuk praktik, misalnya persembahan Doa
7 Bagian. Di dalam Doa 7 Bagian, pertama-tama kita memberikan
penghormatan, lalu memberikan persembahan, lalu mengakui
kesalahan, dst. Di sini, kita bisa melihat bahwa Doa 7 Bagian
sebenarnya sudah mencakup keseluruhan persembahan, dan
memang demikianlah yang dijelaskan oleh Guru Atisha dalam
ulasannya. Jadi, meskipun dalam Doa 7 Bagian ada satu bagian
yang khusus menyangkut persembahan, sebenarnya semua
bagian dalam doa ini adalah persembahan itu sendiri, atau lebih
tepatnya, persembahan praktik kita. Sebagai tambahan, semua
jenis persembahan ini pada dasarnya juga membahas tentang 6
praktik pendahuluan3.

Mengapa bagian-bagian dalam Doa 7 Bagian, semisal


bagian penghormatan dan pengakuan, disebut sebagai
persembahan? Untuk memahami poin ini, kita harus memahami
apa yang dimaksud dengan persembahan. Kalau kita telusuri, kata
‘persembahan’ berasal dari bahasa Sanskerta, yaitu puja. Puja
artinya membuat pihak lain (dalam konteks ini: para Buddha)
senang dan bergembira dengan perbuatan kita.

Pertanyaan berikutnya: kenapa praktik penghormatan dan


pengakuan bisa menyenangkan para Buddha? Jawabannya:
3 1] membersihkan ruangan meditasi dan menyusun altar; 2] membuat
persembahan; 3] duduk dalam posisi yang nyaman, membangkitkan motivasi yang
bajik, dan lafalkan doa berlindung dst; 4] memvisualisasikan ladang kebajikan; 5]
melafal Doa 7 Bagian dan mempersembahkan mandala; 6] membuat permohonan
pada Guru-guru silsilah.
22
Makna Sejati dari Ajaran

karena dengan praktik penghormatan, kita menghasilkan karma


yang baik, dan dengan praktik pengakuan, kita memurnikan
karma buruk. Inilah persisnya yang menyenangkan hati para
Buddha. Beberapa orang mungkin membayangkan bahwa para
Buddha akan merasa senang bila kita memberikan semacam
hadiah kepada mereka. Namun, patut diingat bahwa Buddha tak
sama dengan kita. Mereka hanya bisa disenangkan jika kita telah
menghasilkan kebajikan dan memurnikan karma buruk kita.

Pertanyaan berikutnya: kenapa mereka mesti merasa senang


melihat kita menghasilkan kebajikan dan memurnikan karma
buruk? Jawabannya: karena kedua aktivitas ini akan membuat kita
semakin menjauhi alam rendah secara khusus dan samsara secara
umum. Di sisi lain, kita semakin mendekati pembebasan samsara
dan pencapaian Kebuddhaan. Dan memang, hanya demi satu
tujuan inilah para Buddha mencapai Kebuddhaan: kebahagiaan
kita dan semua makhluk.

Guru Atisha merujuk pada Doa 7 Bagian karena memahami


bahwa bagi para praktisi pemula seperti kita, melakukan
persembahan adalah langkah pertama untuk memperkuat
kebajikan dan menghimpun karma baik. Beliau lanjut menjelaskan
bahwa Aktivitas Sempurna Samantabhadra merupakan bagian
yang terdapat dalam Sutra Raja Doa4. Sutra Raja Doa sendiri
mengandung praktik-praktik terpenting yang dilakukan oleh para
Bodhisatwa agung, termasuk Bodhisatwa level kesepuluh. Doa-
doa yang tercantum di dalam Sutra ini adalah cerminan dari doa
sebenarnya yang diucapkan oleh para Buddha dan Bodhisatwa.
Beliau menjelaskan bahwa Guru-guru spiritual Beliau yang
terpelajar dan agung mengibaratkan Sutra ini ibarat pelita yang
menerangi atau menjelaskan praktik Bodhisatwa.

4 Gandavyuha-Sutra.
23
6

Tinjauan Ulang

Guru Atisha mengatakan,


“Hidup ini singkat, namun hal yang mesti dipelajari
sungguh amat banyak. Kita tak tahu berapa lama waktu
yang tersisa. Seperti angsa yang memisahkan susu dari
air, capailah tujuan-tujuan terpenting semata.”

Ada banyak hal yang perlu dipelajari dalam hidup ini,


dan jumlahnya tak terbatas. Faktanya, sebelum kita mencapai
Kebuddhaan dan memiliki batin maha tahu seorang Buddha,
kita tak akan pernah bisa mempelajari semua hal-ihwal sampai
habis. Di sisi lain, kita tidak tahu kapan hidup kita akan berakhir.
Ada yang sudah mencapai separuh hidupnya. Ada yang masa
hidupnya tinggal beberapa tahun lagi. Ada yang sudah mencapai
tahapan tertentu dalam hidupnya, dan seterusnya. Namun, secara
umum, tak diragukan bahwa hidup kita memang nyatanya sangat
singkat. Oleh sebab itu, kita harus bisa menyisihkan apa yang tak
penting dan melakukan apa yang terpenting serta mencapai hal-
Bodhipathapradipa

hal bermakna, baik untuk kehidupan saat ini maupun mendatang,


untuk diri sendiri maupun orang lain.

Tentu saja kita harus bekerja untuk mendapatkan penghasilan


dalam hidup ini. Tentu saja kita membutuhkan kenyamanan
dalam tingkat tertentu. Semua itu sah-sah saja. Akan tetapi, jika
kita membiarkan nafsu keinginan berkelana dengan liar dan
senantiasa menginginkan lebih dan lebih, maka takkan ada batas
kepuasan yang bakal diperoleh, dan hidup kita akan terbuang
percuma untuk mengejar sesuatu yang sia-sia. Kenapa? Karena
ketika kita mati nanti, ketika kita harus meninggalkan semuanya
dan melanjutkan perjalanan ke kehidupan berikutnya, maka
pada saat itu tidak ada satu pun barang duniawi yang bisa kita
bawa. Ketika kita sudah memiliki segala sesuatu yang cukup
untuk membuat hidup kita nyaman, maka kita harus berhenti
mencari kesenangan yang tak kenal batas. Akan lebih baik jika
kita mendedikasikan waktu dan tenaga kita untuk mempersiapkan
kehidupan yang berikutnya, untuk memastikan bahwa kita takkan
menderita dalam kehidupan berikutnya.

Ajaran Mahayana memiliki instruksi unggul untuk mencapai


tujuan ini. Salah satunya adalah teks Pelita Sang Jalan ini.
Sebelumnya, kita telah mengulas bahwa karya ini, layaknya garis
besar Lamrim, terdiri dari 4 bab utama. Zaman dulu di India, tentunya
belum ada yang namanya garis besar. Yang ada adalah semacam
panduan yang dipakai oleh para guru dalam mengajarkan Sutra
kepada murid-murid mereka. Pertama, guru akan menjelaskan
tujuan mengajarkan ajaran. Tujuan ini terbagi menjadi 2: tujuan
jangka pendek dan jangka panjang. Kedua, guru akan memberikan
semacam sinopsis ihwal keseluruhan ajaran. Ketiga, guru akan
memberikan penjelasan kata per kata dari apa yang tercantum
di dalam teks. Keempat, guru akan menghubungkan penjelasan-
penjelasan di dalam teks. Kelima, guru akan membangkitkan
26
Tinjauan Ulang

pertanyaan dan keraguan murid mengenai isi ajaran. Terakhir, guru


akan menghapus keraguan tersebut.

Adalah Wasubandhu yang menyusun sistem ini dengan amat


jelas. Sebenarnya, instruksi ini berasal dari Maitreya, tepatnya
ketika Buddha sedang mengajarkan Sutra Penyempurnaan
Kebijaksanaan kepada Maitreya. Maitreya lalu menjelaskannya
kepada Asanga, yang lalu mengajarkannya kepada saudaranya,
Wasubandhu. Sosok teraakhir inilah yang pertama kali menyusun
sistem ini secara tertulis.

Pada dasarnya, sistem ini dipakai sendiri oleh Buddha ketika


memberi pengajaran, meskipun beliau tidak secara eksplisit
menjabarkannya satu per satu. Ketika Buddha mengajari murid-
muridnya yang memiliki kecerdasan di atas rata-rata, beliau
tak perlu menjelaskan ataupun melabeli poin-poin pengajaran.
Maksudnya, beliau tak perlu mengatakan “ini tujuannya” atau
“itu sinopsisnya”, berhubung murid-muridnya bisa langsung
memahami apa yang beliau ajarkan. Pelabelan atau penjelasan
atas poin-poin ajaran baru muncul ketika Asanga mengajari
saudaranya, Wasubhandu, dan sosok terakhir inilah yang
menyusun sistem dalam bentuk tulisan demi menolong para
pengikut yang kurang begitu cerdas.

Ketika kitab-kitab berikut ulasannya diterjemahkan dari


bahasa Sanskerta ke bahasa Tibet, para penerjemah Tibet
menerjemahkannya tanpa tambahan materi apa pun. Akan tetapi,
penerjemahan tersebut sukar dimengerti oleh para murid di Tibet.
Oleh sebab itu, beberapa guru besar di Tibet menyusun garis
besar atas kitab yang sudah diterjemahkan.

Satu garis besar yang lebih rinci bisa kita temukan dalam
Instruksi Guru yang Berharga. Di dalamnya, kita juga bisa

27
Bodhipathapradipa

menemukan 4 bab utama. Namun bedanya, masing-masing bab


ini terbagi lagi menjadi satu atau dua poin, kemudian satu atau dua
poin ini terbagi lagi menjadi satu, dua, atau tiga poin, dst, dengan
penjabaran yang amat rinci. Tujuannya adalah semata untuk
mempermudah pemahaman dan upaya pembelajaran, dan yang
lebih penting lagi, untuk memudahkan kita mengingat poin-poin
perenungan ini di dalam batin kita. Jika kita mampu menghafal
garis besar sebuah karya, ini artinya kita sudah memahami isi dari
karya tersebut secara umum, dan tentu saja itu adalah sesuatu
yang sangat baik.

Penjelasan (Lanjutan)
Sekarang, kita tiba di poin kedua dari tahap pendahuluan,
yakni tentang berlindung. Poin ini dirangkum dalam bait ke-8 dan
bait berikut:

Dengan keyakinan mendalam pada Triratna,


sembari berlutut dengan satu tumpuan
dan menangkupkan kedua telapak tangan,
pertama-tama berlindunglah sebanyak tiga kali.

Di bait ke-8, terdapat frasa ‘jalan pencerahan sempurna’. Ini


merujuk pada realisasi atau pencapaian Kebuddhaan. Bait yang
sama juga memiliki frasa ‘kemantapan batin’, yang merujuk pada
munculnya perasaaan welas asih yang sangat kuat kepada semua
makhluk, yang pada gilirannya memunculkan keyakinan mendalam
pada Triratna, yaitu niat yang sangat kuat untuk berlindung. Niat ini
kemudian dibarengi dengan janji untuk tak pernah meninggalkan
perlindungan. Janji inilah yang memantapkan batin untuk terus
meyakini dan berlindung pada Triratna, yakni Ratna Buddha, Ratna
Dharma, dan Ratna Sangha (khususnya merujuk pada kaum Arya
yang sudah terbebas dari samsara).
28
Tinjauan Ulang

Keyakinan seperti apa yang mesti dibangkitkan ketika


berlindung? Keyakinan bahwa Triratna mampu melindungi
kita dari penderitaan di dalam samsara secara umum dan dari
keinginan untuk mencapai pembebasan pribadi. Di sini, keyakinan
juga menyiratkan luapan semangat dan kegembiraan yang amat
besar, yang dipicu oleh kesadaran bahwa kita memiliki objek
perlindungan yang bisa kita andalkan.

Ada 3 sebab dalam mengambil perlindungan yang bisa


memantapkan batin kita: rasa takut terhadap penderitaan di
dalam samsara, penolakan terhadap pencapaian pembebasan
pribadi dan keyakinan bahwa Triratna mampu melindungi kita
dari aspirasi seperti ini, serta welas asih yang luar biasa kepada
semua makhluk.

Setelah memiliki keyakinan yang mendalam ini, barulah kita


bisa melakukan tindakannya. Tindakan apa? “...Berlutut dengan
satu tumpuan dan menangkupkan kedua telapak tangan (anjali).”
Jika posisi berlutut yang demikian dirasa terlalu sulit dilakukan, kita
bisa berlutut dengan posisi apa pun yang membuat kita nyaman.
Setelahnya, kita bisa mulai melafal bait berlindung sebanyak tiga
kali. Penjelasan berlindung yang lebih jelas dan menyeluruh bisa
ditemukan di dalam teks-teks Lamrim yang lebih panjang.

Mengutip guru besar India, Bhawawiweka, tubuh jasmani


kita ibarat gelembung air atau pohon pisang. Tubuh jasmani kita
dikatakan seperti pohon pisang karena batang pohon pisang tidak
memiliki inti. Kalau kita kupas terus-menerus, pada akhirnya batang
tersebut akan habis dan tak bersisa. Tubuh kita juga diibaratkan
seperti gelembung di permukaan air, yang kalau disentuh sedikit
saja akan langsung lenyap dan tak bersisa. Maksudnya, mustahil
untuk mengandalkan tubuh jasmani ini. Bukti nyatanya, kita tidak
bisa membawanya ke kehidupan berikutnya; dengan kata lain, tak

29
Bodhipathapradipa

ada esensi yang terkandung di dalamnya. Akan tetapi, kita bisa


memakai atau memanfaatkan tubuh jasmani kita sebagai metode
untuk mencapai kebahagiaan bagi diri sendiri dan makhluk lain.
Dengan tubuh jasmani ini, kita bisa mencapai hasil-hasil yang luar
biasa, bahkan mencapai tujuan tertinggi.

Inilah alasan kenapa Bhawawiweka juga menganalogikan


tubuh jasmani sebagai gunung yang besar dan digdaya. Artinya,
tubuh kita dipenuhi oleh potensi yang amat luar biasa. Jika kita
ternyata hanya memakai potensi ini untuk mencapai tujuan-tujuan
dalam kehidupan saat ini saja, maka tentunya potensi besar ini
akan tersia-siakan. Mengapa? Karena kita bisa menggunakan
tubuh jasmani ini untuk mencapai hal-hal yang jauh lebih
besar dan luar biasa, misalnya untuk mencapai Kebuddhaan
yang sempurna demi kebahagiaan pribadi maupun makhluk
lain.

Kebuddhaan adalah sesuatu yang mungkin dicapai, dan


kita memang bisa mencapainya. Ibarat seorang pebisnis dengan
modal yang besar, kita juga memiliki modal yang sama. Apa itu?
Batin kita. Meski saat ini batin kita masih diliputi kegelapan dan
dipenuhi berbagai halangan, pada dasarnya ia adalah modal
terbesar kita untuk meraih Kebuddhaan. Dengan menerapkan
ajaran, secara bertahap kita bisa mengikis semua halangan ini
sampai tuntas. Inilah bedanya kita dengan benda tak hidup seperti
kursi, meja, dst – kita memiliki batin dan bisa mengoptimalkannya
untuk meraih tujuan tertinggi. Kita mungkin memulai perjalanan
sebagai makhluk biasa. Namun, seiring berjalannya waktu, kita
bisa secara bertahap meniti tingkatan spiritual yang lebih tinggi
sampai akhirnya mencapai tingkat tertinggi: Kebuddhaan.

Saat ini, batin kita sering terpengaruh oleh klesha, dan


pikiran bajik jarang sekali muncul. Hanya butuh sedikit pancingan

30
Tinjauan Ulang

untuk memancing kemunculan klesha seperti amarah, iri hati,


kemelekatan, dsb. Jadi, sebenarnya batin kita saat ini benar-benar
tidak stabil, sangat rapuh, dan mudah goyah, ibarat pantulan
rembulan di permukaan air. Tak ada cara lain untuk mengubah
situasi ini selain berupaya untuk menumbuhkan kualitas-
kualitas bajik, terutama welas asih agung. Ada 2 tahapan dalam
mengembangkan welas asih agung: merenungkan objeknya
dan menghasilkan welas asih agung yang sebenarnya di dalam
batin. Lalu, welas agung ini kita hubungkan dengan penderitaan
semua makhluk. Tak masalah bila saat ini welas asih agung yang
sebenarnya belum bisa muncul di dalam batin kita. Yang perlu
kita lakukan adalah memperkuat meditasi kita dengan terus
memurnikan karma buruk serta menghimpun kebajikan.

Dengan cara ini, batin kita akan menjadi semakin terbiasa


dengan kebajikan, dan welas asih kita akan mampu berubah
menjadi welas asih agung yang sebenarnya. Apa maksudnya
menjadi ‘terbiasa’? Ini bukan berarti batin kita menjadi siap untuk
ditanyai pertanyaan oleh seseorang secara mendadak. Menjadi
‘terbiasa’ tak ada kaitannya dengan proses mekanis ketika kita
menghafal sesuatu dan menjadi terbiasa dengannya. Alih-alih,
dalam konteks ini, kita menjadi terbiasa dalam artian kita bisa
memahami dan merasakan sebuah kondisi batin yang bajik. Jika
proses ini diikuti dengan tekun, bodhicita yang spontan akan
dicapai. Ketika tahap ini diraih, Kebuddhaan bisa dipastikan
sudah berada di depan mata.

Poin penting berikutnya adalah memastikan bahwa apa


yang kita pelajari merupakan ajaran yang benar-benar unggul
dan bersumber langsung dari Buddha. Salah satu contoh ajaran
yang demikian, yang sekaligus juga sudah merangkum poin-poin
utama dari ajaran Buddha, adalah teks Pelita Sang Jalan yang
sedang kita bahas kali ini. Di antara semua karya Guru Atisha,
31
Bodhipathapradipa

bisa dikatakan bahwa teks ini adalah karya beliau yang paling
unggul dan mendalam. Setelah merampungkan teks ini, Guru
Atisha mengirimkan satu salinannya ke biara beliau di India,
Wikramashila. Setelah menerima dan membaca karya ini, guru-
guru besar di sana memujinya setinggi langit. Mereka mensyukuri
kepergian Guru Atisha ke Tibet, karena andaikan beliau tetap
tinggal di India, mungkin beliau takkan pernah mengarang sebuah
karya yang begitu ringkas dan umum, berhubung murid-murid di
India memiliki kecerdasan tinggi dan terbiasa dengan karya-karya
yang lebih rumit.

Penting sekali untuk berhati-hati ketika memilih apa yang kita


pelajari. Kita tidak boleh sembarangan membaca apa saja yang
tersedia mengenai buddhisme, karena bacaan yang tersedia terkait
topik ini sangat banyak, dan kita sendiri tidak bisa memastikan
apakah pengarangnya punya motivasi dan pemahaman yang
tepat ketika menulisnya. Bisa saja mereka hanya mencomot
sana-sini dan menggabungkan semuanya menjadi satu buku.
Ini tentunya takkan menjadi sebuah karya yang sahih dan bisa
diandalkan. Kalau misalnya kita bertumpu pada karya macam ini,
yang tak bisa dipertanggungjawabkan kesahihannya, kita hanya
akan menjadi semakin bingung, karena pastinya karya macam ini
tidak punya pendekatan yang sistematis untuk menaklukkan batin
kita secara bertahap menuju pencapaian Kebuddhaan.

Jadi, tak ada keraguan perihal keberuntungan yang kita


miliki karena bisa mengakses karya agung seperti Pelita Sang
Jalan. Karya ini merupakan ajaran yang sangat ringkas, tapi
juga sekaligus memiliki makna yang sangat luas dan mendalam,
berhubung ia adalah intisari dari seluruh ajaran Buddha. Bila,
misalnya, terdapat kesulitan dalam memahami karya ini, kita bisa
merujuk pada teks-teks Lamrim yang lebih panjang.

32
Tinjauan Ulang

Berikutnya adalah poin tentang tata cara menerapkan


bodhicita, yang dirangkum dalam bait berikut:
Tanpa ikrar untuk menerapkan bodhicita,
aspirasi yang sempurna takkan tumbuh.
Berupayalah untuk menjaga kemurnian ikrar ini
bila engkau ingin menumbuhkan aspirasi yang
sempurna.

Bait ini bermaksud untuk mengatakan bahwa kalaupun


seseorang membangkitkan “aspirasi bodhicita dengan janji” dan
kemudian menjaga sila-silanya, ini masih belum cukup untuk
membangkitkan aspirasi pencerahaan yang sejati. Bagi mereka
yang benar-benar memiliki niat yang sangat kuat untuk mencapai
pencerahan, mereka harus mengembangkan apa yang disebut
sebagai penerapan bodhicita, dan setelahnya, mengambil dan
menjaga sila-silanya.

Kita harus bisa membedakan antara penerapan bodhicita


dan ikrar penerapan bodhicita. Pertama-tama, tanpa penerapan
bodhicita, kita tak bisa mengambil sila-silanya. Penerapan
bodhicita itu sendiri adalah niat untuk mencapai pencerahan
sempurna, yaitu bekerja demi kesejahteraan semua makhluk
dengan mencapai Kebuddhaan. Untuk tujuan inilah seseorang
mempraktikkan jalan Bodhisatwa. Di sisi lain, untuk sila-silanya,
ada banyak sila yang harus dijaga. Sila-sila ini disebut ikrar
Bodhisatwa. Lantas, apa yang dimaksud dengan sila? Ini adalah
niat untuk menghindari pelanggaran-pelanggaran tertentu yang
akan mematahkan ikrar; dengan kata lain, ia adalah komitmen
untuk menjaga kemurnian ikrar.

Lebih lanjut, untuk menjelaskan perbedaan antara aspirasi


bodhicita dan penerapan bodhicita, kita bisa mengatakan bahwa
aspirasi bodhicita adalah niat yang tulus untuk merealisasikan
33
Bodhipathapradipa

Kebuddhaan demi semua makhluk. Niat tulus ini berlanjut dengan


mengambil “aspirasi bodhicita dengan janji” dan menjaga sila-
silanya. Di sisi lain, dalam penerapan bodhicita, seseorang
tentu saja memiliki aspirasi atau niat yang sama. Namun, untuk
mencapai tujuan yang diaspirasikan ini, ia akan berpikir: “Aku
akan mengambil sila-sila seorang Bodhisatwa” atau “Aku akan
mengambil ikrar Bodhisatwa”. Di dalam ikrar Bodhisatwa, banyak
sila-sila Bodhisatwa yang harus dijaga dan banyak hal yang harus
dihindari, yang tujuannya adalah untuk menjaga kemurnian
ikrar.

Kemudian, kita memasuki poin kedua, yaitu tata cara


mengambil ikrar penerapan bodhicita. Poin ini terbagi menjadi 3
bagian: basis atau dasar dari pengambil ikrar, sang pemberi ikrar,
dan ritual yang sebenarnya dalam mengambil ikrar.

Basis dari pengambil ikrar dirangkum dalam bait berikut:


Hanya mereka yang sudah memegang salah satu
dari ketujuh jenis ikrar Pratimoksha5
yang memiliki kesiapan
untuk mengambil ikrar Bodhisatwa.

Artinya, jika kita memiliki salah satu dari ketujuh jenis


ikrar Pratimoksha, kita dianggap memiliki basis yang baik untuk
mengambil ikrar Bodhisatwa. Ikrar Pratimoksha adalah ikrar yang
diambil dan dijalankan seseorang untuk satu masa kehidupan atau
seumur hidup. Di sisi lain, ikrar Bodhisatwa adalah ikrar yang akan
terus diambil oleh seseorang sampai ia mencapai Kebuddhaan;
artinya, ikrar ini melebih satu masa kehidupan.

5 Ketujuh ikrar adalah: ikrar untuk upasaka dan upasika (yaitu Pancasila), ikrar
untuk sramanera dan sramaneri, ikrar untuk biksuni dalam masa percobaan, ikrar
untuk biksu, dan ikrar untuk biksuni.
34
Tinjauan Ulang

Frasa “hanya mereka yang sudah memegang salah satu


dari ketujuh jenis ikrar Pratimoksha” bermakna bahwa seseorang
yang tidak mengambil ikrar Pratimoksha ataupun menghindari
salah satu dari 10 jalan karma hitam tidak bisa mengambil ikrar
Bodhisatwa. Alasannya sangat masuk akal dan logis: karena
tujuan utama seseorang mengambil ikrar Pratimoksha atau
menghindari 10 jalan karma hitam adalah untuk tak menyakiti
makhluk lain. Apabila seseorang gagal melakukannya, bagaimana
ia bisa berjanji untuk menolong mereka? Tanpa syarat ini, mustahil
seseorang bisa menolong semua makhluk.

Pertanyaannya, apakah dalam mengambil ikrar Bodhisatwa


seseorang wajib mengambil sila-sila Pratimoksha? Jawabannya:
tidak mesti. Bisa jadi ia sudah sepenuhnya menghindari 10 jalan
karma hitam, dan ini sudah merupakan dasar yang baik untuk
mengambil ikrar Bodhisatwa. Poin ini memang salah satu isu yang
ramai diperdebatkan di Tibet pada saat itu. Guru Atisha akhirnya
menjawab bahwa ikrar Bodhisatwa tak selalu mesti didahului oleh
sila-sila Pratimoksha.

Poin berikutnya adalah bait pujian atau penghargaan atas


status seorang biksu sebagai status yang ideal dan unggul dalam
mengambil ikrar Bodhisatwa:

Dari ketujuh jenis ikrar pratimoksha


yang diajarkan oleh Tathagata,
yang terbaik adalah kehidupan selibat yang masyhur,
yang dikatakan sebagai ikrar seorang biksu.

Pertanyaan berikutnya: apabila seseorang mengambil


salah satu dari ketujuh jenis ikrar Pratimoksha dan kemudian
juga mengambil ikrar Bodhisatwa, apakah ini artinya mereka
memiliki dua perangkat sila yang berbeda, ataukah keduanya

35
Bodhipathapradipa

bisa dipadukan menjadi satu? Lalu, apabila orang tersebut juga


mengambil ikrar Tantra, apakah ini artinya ada tiga perangkat sila
berbeda yang dipegang, ataukah hanya ada satu perangkat sila
yang terpadu? Jawabannya: ketika seseorang sudah mengambil
ikrar Pratimoksha dan kemudian juga mengambil ikrar Bodhisatwa,
ini artinya terdapat dua perangkat sila dengan hakikat yang
berbeda. Kenapa keduanya mesti memiliki hakikat yang berbeda?
Ini menyangkut jangka waktu kita dalam menjaga masing-masing
ikrar. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, ikrar Pratimoksha
hanya dijaga dalam satu masa kehidupan, sedangkan ikrar
Bodhisatwa akan terus dijaga sampai kita mencapai Kebuddhaan.

Poin kedua, yakni tentang sang pemberi ikrar, dirangkum


dalam bait berikut:
Ketahuilah bahwa seorang guru spiritual yang baik
adalah ia yang terampil dalam upacara pemberian ikrar,
terampil dalam menjaga ikrar,
serta memiliki kepercayaan diri dan welas asih untuk
menganugerahkannya.

Guru spiritual yang baik bermakna bahwa guru spiritual


memiliki kualitas untuk memberikan ikrar Bodhisatwa. Artinya,
ia tahu tata cara dalam memberi ikrar dan menjaganya, berikut
kepercayaan diri dan welas asih untuk memberikannya. Inilah 4
kualitas unggul yang wajib dimiliki oleh seorang pemberi ikrar.
Terkait tata cara dalam memberi ikrar, ini mencakup, pertama-
tama, keterampilan dalam melaksanakan upacara pemberian ikrar
itu sendiri. Yang kedua adalah apa yang harus dilakukan untuk
memastikan agar ikrar terjaga dengan baik. Yang ketiga adalah
tata cara mengembalikan sila-sila apabila terjadi pelanggaran.

Poin ketiga, yaitu ritual yang sebenarnya dalam memberikan


ikrar, terbagi menjadi 2 bagian: memberi ikrar dengan kehadiran
36
Tinjauan Ulang

seorang guru spiritual dan tanpa kehadiran seorang guru spiritual.


Bagian pertama dirangkum dalam bait berikut:
Sesuai dengan tata cara yang dijelaskan
oleh Bab Sila dalam Tingkatan Bodhisatwa6,
mohonlah ikrar dari seorang guru spiritual
yang memiliki kecakapan sempurna.

Bagian kedua adalah alternatif apabila kita tidak mampu


menemukan seorang guru yang memenuhi 4 kualitas unggul. Ini
dirangkum dalam bait berikut:
Bila engkau telah berusaha mencari guru spiritual yang
demikian
namun gagal menemukannya,
aku akan menjelaskan tata cara lain
untuk mengambil ikrar dengan tepat.

Meskipun opsi ini tersedia, patut diperhatikan bahwa dalam


mengambil ikrar Bodhisatwa, pertama-pertama kita harus benar-
benar berusaha mencari seorang guru spiritual terlebih dahulu,
yaitu seorang guru yang memiliki 4 kualitas unggul. Bila kita tak
bisa menemukan guru yang demikian bahkan setelah mencarinya
selama beberapa waktu, barulah kita bisa mengambil ikrar
Bodhisatwa sendiri. Sutra Ornamen Tanah Manjushri7 dikutip oleh
Guru Atisha untuk menjelaskan poin ini, yang dirangkum dalam
7 bait berikut:
Mengutip Sutra Ornamen Tanah Manjushri,
aku akan meringkas bagaimana Manjushri pada masa
lampau,
dalam kelahirannya sebagai Raja Amba,
membangkitkan aspirasi bodhicita.

6 Bodhisatwa-bhumi karya Arya Asanga.


7 Manjushri-buddha-ksetralamkara-Sutra.
37
Bodhipathapradipa

“Di hadapan para Pelindung,


aku akan membangkitkan aspirasi bodhicita.
Aku akan menuntun semua makhluk menuju
kebahagiaan
dan membebaskan mereka dari samsara.”

“Mulai saat ini


hingga aku mencapai pencerahan,
aku akan menghindari niat jahat, amarah,
kekikiran, dan iri hati.”

“Aku akan hidup selibat,


meninggalkan kejahatan dan hawa nafsu,
serta bersukacita dalam ikrar
untuk melatih diri dalam ajaran Buddha.”

“Aku takkan tergesa-gesa


mengejar pencerahan demi diri sendiri.
Namun, meski hanya demi satu makhluk,
aku akan tetap tinggal hingga akhir samsara.”

“Aku akan memurnikan


tanah-tanah yang di luar pemahaman dan batasan,
serta akan terus menetap di sepuluh penjuru
bagi mereka yang memanggil namaku.”

“Aku akan memurnikan semua


aktivitas tubuh dan ucapanku,
berikut juga batinku,
serta akan menghindari ketidakbajikan apa pun.”

Kutipan dari Sutra ini bisa dibagi menjadi 2 bagian


utama: membangkitkan bodhicita dan mengambil ikrar. Bagian
pertama tercantum dalam kalimat “Aku akan menuntun semua

38
Tinjauan Ulang

makhluk menuju kebahagiaan dan membebaskan mereka


dari samsara”. Istilah ‘menuntun’ secara harfiah sebenarnya
bermakna ‘mengundang’; dengan kata lain, kita mengundang
semua makhluk sebagai para tamu yang akan kita jamu dengan
kebahagiaan. Frasa ‘membebaskan mereka dari samsara’ adalah
upaya membangkitkan bodhicita dengan niat untuk mencapai
Kebuddhaan demi membebaskan semua makhluk dari samsara.
Di sini, istilah ‘membebaskan’ merujuk pada pembebasan dari
penderitaan di alam rendah maupun alam tinggi, namun juga bisa
merujuk pada upaya membebaskan mereka dari pembebasan
pribadi. Ini adalah penjelasan tentang aspirasi bodhicita, yang
merupakan pendahuluan sebelum membangkitkan penerapan
bodhicita.

Sekarang kita masuk pada poin mengambil ikrar Bodhisatwa


yang sebenarnya, yang terbagi menjadi 4 bagian (3 bagian
pertama sejalan dengan sila-sila ikrar Bodhisatwa): menghindari
kesalahan8, menghimpun kebajikan, menolong makhluk lain, dan
menekankan pentingnya menghindari kesalahan.

Sila pertama bisa dirujuk dalam bait yang dimulai dengan


frasa “Mulai saat ini...”. Sila ini bertujuan untuk melindungi
seseorang dari 4 sifat negatif. ‘Niat jahat’ adalah sifat atau rasa
bermusuhan yang ingin menyakiti orang lain. ‘Amarah’ adalah sifat
bermusuhan yang lebih kuat. ‘Kekikiran’ adalah ketidakmampuan
untuk memberikan sesuatu kepada orang lain. ‘Iri hati’ adalah
ketidakmampuan untuk melihat hal-hal bagus yang dimiliki oleh
orang lain.

Frasa “Aku akan hidup selibat...” bermakna menghindari


kesenangan yang berasal dari kontak seksual antara pria dan

8 Ini khususnya merujuk pada menghindari 18 pelanggaran akar dan 46


pelanggaran tambahan.
39
Bodhipathapradipa

wanita. Kemudian, kita juga berjanji untuk menghindari keterikatan


pada 5 objek rupaloka (objek penglihatan, suara, bau, rasa, dan
sentuhan). Frasa “bersukacita dalam ikrar” merujuk pada upaya
bersemangat untuk menjaga sila-sila agar kita bisa melatih diri
dengan benar dalam ajaran Buddha.

Frasa “Aku takkan tergesa-gesa...” bermaksud menyatakan


bahwa pembebasan pribadi bukanlah prioritas utama kita. Alih-
alih, menolong semua makhluk keluar dari samsaralah yang mesti
kita dahulukan dan pentingkan. Kita bahkan mesti berikrar untuk
tetap berdiam di dalam samsara sampai seluruh penghuninya
keluar. Bila kita memahami bait ini hanya secara sekilas, tentu kita
tak bisa menangkap apa yang sebenarnya ingin diungkapkan oleh
baris-barisnya. Apa itu? Sebuah ungkapan keberanian, tekad,
dan dedikasi yang luar biasa dari seorang Bodhisatwa, yang
ditujukan semata-mata demi kebahagiaan makhluk lain. Di dalam
penggolongan wirya (upaya bersemangat), pola pikir ini sejalan
dengan ‘wirya laksana zirah baja’.

Frasa “Aku akan memurnikan...” bermaksud menyatakan


bahwa ada banyak sekali tanah Buddha, yang semuanya berada
di luar pemahaman manusia kita. Saat ini, dengan semua
ketidakmurnian diri kita, tanah Buddha masih berada jauh dari
jangkauan. Namun, dengan upaya yang tekun dan tulus, kelak
kita akan mencapai tanah Buddha kita sendiri. Ada banyak
cara untuk menghasilkan tanah Buddha. Salah satunya melalui
praktik persembahan mandala. Cara kedua adalah dengan
melakukan praktik pertama dari 6 praktik pendahuluan, yaitu
membersihkan ruangan meditasi. Khususnya di dalam praktik
persembahan mandala, pada dasarnya yang kita lakukan adalah
mempersembahkan seluruh alam semesta kepada para Buddha,
atau lebih tepatnya, alam-alam Buddha yang suci dan tak
ternoda.
40
Tinjauan Ulang

Teknik purifikasi untuk memperoleh alam Buddha kita di


kemudian hari dijelaskan secara mendalam pada bab keempat
dari Ornamen Realisasi Jernih9. Di dalamnya, disebutkan bahwa
kapan pun kita bertemu dengan orang-orang yang sifatnya
sangat bermusuhan, kasar, cemas, marah, melekat, liar, memiliki
keadaan batin yang buruk, atau kapan pun kita berada di suatu
tempat yang sangat kotor, tempat yang dipenuhi berbagai
penyakit, tempat penjagalan binatang, tempat orang-orang selalu
berbohong, bertengkar, berkelahi, atau bahkan berperang, dst,
kita harus berdoa agar kita mampu mencapai alam Buddha di
masa mendatang, di mana tak satu pun dari kondisi yang kita
alami dan saksikan tersebut akan muncul. Di alam Buddha,
hanya ada kemurnian, baik kemurnian tempat maupun para
penghuninya. Semuanya bebas dari segala ketidakmurnian dan
ketidaksempurnaan. Ini adalah praktik yang bisa kita lakukan pada
saat kita berjalan atau melakukan aktivitas harian apa pun. Menurut
Je Tsongkhapa, upaya purifikasi untuk memperoleh alam Buddha
di masa mendatang adalah dengan cara memurnikan batin kita
sendiri. Beliau menjelaskan bahwa kita harus menaklukkan batin
kita sendiri; artinya, kita harus mengontrol batin kita yang kasar,
cemas, penuh niat jahat, dst, dan menggantinya dengan batin
yang tenang dan penuh cinta kasih, welas asih, serta bodhicita.

Dua baris terakhir bermakna bahwa kita membangkitkan


keinginan agar nama kita belaka pun sudah bisa membantu
kita menjalin ikatan dengan makhluk lain. Ketika ikatan ini
sudah terjalin, kita pun bisa secara bertahap menuntun mereka
menuju kebahagiaan sejati. Istilah ‘sepuluh penjuru’ menyiratkan
bahwa kita siap menolong mereka kapan pun dibutuhkan.
Pertanyaannya, jika misalnya kita mengkritik makhluk-makhluk
agung seperti Bodhisatwa atau melakukan sesuatu yang buruk

9 Abhisamayalankara.
41
Bodhipathapradipa

terhadap mereka, apakah ini juga termasuk menjalin sebuah


ikatan? Jawabannya: ya. Apa pun sifat hubungan kita dengan
mereka, cepat atau lambat kita pasti akan terlahir kembali untuk
bertemu dengan mereka dan dituntun menuju pencerahan. Ini
dijelaskan oleh Shantidewa dalam Lakon Hidup Sang Penerang10.
Intinya, kapan pun kita menjalin hubungan dengan Bodhisatwa,
hubungan ini – terlepas dari sifatnya – pasti akan menjadi sumber
kebahagiaan kita di masa depan. Kenapa? Karena bodhicita yang
dimiliki oleh Bodhisatwa merupakan sumber kebahagiaan semua
makhluk.

Patut dicatat bahwa teks yang sama juga mengatakan bahwa


seseorang yang menyakiti Bodhisatwa dengan cara apa pun akan
mengalami akibat yang sangat serius di masa depan. Misalnya,
dikatakan bahwa satu momen amarah yang ditujukan pada
seorang Bodhisatwa akan menghancurkan kebajikan yang sudah
dikumpulkan selama berkalpa-kalpa di masa yang lalu. Jadi,
pertanyaannya, apakah kedua penjelasan ini tidak bertentangan
satu sama lain? Di sini, kita harus ingat bahwa ada dua hal berbeda
yang dijelaskan. Di satu sisi, tentu saja merupakan pelanggaran
yang sangat serius bila kita menyakiti seorang Bodhisatwa. Akan
tetapi, di sisi lain, bahkan dari sesuatu yang sangat buruk ini pun
kita masih akan menerima manfaat dari Bodhisatwa yang kita
sakiti tersebut. Artinya, cepat atau lambat sang Bodhisatwa akan
bertemu kita kembali dan menuntun kita menuju Kebuddhaan.

Berikutnya adalah poin keempat, yakni penekanan pada


pentingnya menghindari kesalahan atau penekanan sila pertama.
Poin ini adalah kesimpulan atau penutup dari komitmen seseorang
dalam mempraktikkan ketiga sila Bodhisatwa sebelumnya, dan
dirangkum dalam bait yang dimulai dengan frasa “Aku akan

10 Bodhisatwa-Caryawattara.
42
Tinjauan Ulang

memurnikan...”. Kenapa penekanan ini diperlukan? Semata


untuk menunjukkan bahwa dua sila lainnya, yaitu menghimpun
kebajikan dan menolong makhluk lain, bergantung sepenuhnya
kepada kesuksesan kita dalam menjaga sila menghindari kesalahan.
Baris-baris dalam bait ini kiranya cukup mudah dipahami.

Poin berikutnya adalah ihwal tata cara melatih sila-sila


Bodhisatwa ini, yang terbagi lagi menjadi 3 kategori, yakni sila-
sila yang berhubungan dengan sila (disiplin moral), samadhi
(konsentrasi), dan prajna (kebijaksanaan). Sila yang berhubungan
dengan praktik sila terbagi lagi menjadi 2: sila yang sebenarnya
dan manfaat menjaga sila. Ini dirangkum dalam bait berikut:
Bila para penjaga ikrar penerapan bodhicita
telah melatih ketiga jenis sila11 dengan baik,
rasa hormat dan ketertarikan pada sila-sila ini akan
tumbuh,
dan tubuh, ucapan, serta batin mereka pun akan
dimurnikan.

Jika kita ingin mencapai Kebuddhaan demi semua makhluk,


apa yang harus kita lakukan? Memurnikan tubuh, ucapan, dan
batin kita, yang pada gilirannya bisa dicapai dengan menjaga
ketiga jenis sila Bodhisatwa. Setelah mengetahui caranya, kita
berusaha untuk melakukannya, dan secara bertahap batin kita
akan menjadi semakin terbiasa dengannya. Dari sanalah aspirasi
atau ketertarikan tumbuh.

Bait berikutnya berbunyi:


Oleh karenanya, dengan berupaya dalam ikrar ini,
yang dibuat oleh para Bodhisatwa demi pencerahan
yang murni dan penuh,
11 Ini merujuk pada sila menghindari kesalahan, menghimpun kebajikan, dan
menolong makhluk lain.
43
Bodhipathapradipa

engkau akan sepenuhnya merampungkan


himpunan pencerahan sempurna.

Makna bait ini cukup jelas. Maksudnya, bila kita berupaya


menjaga ikrar, yakni dengan cara menghindari pelanggaran
yang dilakukan oleh tubuh, ucapan, dan mental, perilaku kita
akan menjadi semakin murni, dan dalam proses ini, kita akan
merampungkan himpunan yang akan menghasilkan Kebuddhaan.

Sila yang berhubungan dengan praktik samadhi dirangkum


dalam bait berikut:
Sebagaimana disabdakan oleh semua Buddha,
sebab perampungan himpunan
–yang berhakikat kebajikan dan kebijaksanaan unggul–
adalah pengembangan persepsi unggul12.

Sekarang kita sampai pada kategori kedua, yang terbagi


menjadi 2 bagian: alasan melatih sila dan tata cara melatihnya. Frasa
“Sebab perampungan himpunan...” menjelaskan sebab utama
yang memungkinkan kita untuk mengumpulkan kedua himpunan
dalam rangka mencapai Kebuddhaan. Apa itu? Persepsi unggul,
yang secara umum mencakup semua kekuatan supranatural. Teks
Pelita Sang Jalan menjelaskan bahwa alasan utama untuk meraih
persepsi unggul adalah supaya kita bisa menolong semua makhluk.
Di dalam teks ini, Guru Atisha seolah-olah menyatakan bahwa
alasan utama melatih ketenangan batin (shamatha) adalah demi

12 Abhijna. Ini adalah siddhi (kesaktian), yang pada dasarnya merupakan


persepsi mental untuk mengetahui kecenderungan atau kapasitas mental seorang
makhluk, sehingga yang bersangkutan bisa ditolong dengan cara yang seefektif
mungkin. Ada 6 jenis siddhi, yakni kemampuan untuk melihat di luar jangkauan
indra penglihatan biasa, mendengar di luar jangkauan indra pendengaran biasa,
menjelmakan hal-ihwal, membaca pikiran makhluk lain, mengetahui apa yang
terjadi di kelahiran lampau, dan mengetahui bahwa klesha tertentu telah lenyap
(hanya seorang Arya yang punya kemampuan ini).
44
Tinjauan Ulang

meraih kesaktian. Akan tetapi, ini hanyalah salah satu manfaatnya.


Tujuan utama seseorang melatih ketenangan batin adalah untuk
meraih pandangan mendalam (wipashyana)13, terutama yang
berkaitan dengan pemahaman ke-tanpaaku-an.

Bagaimana cara mencapai shamatha? Dengan mengatasi


semua halangan utama, yang utamanya terbagi menjadi 2:
kekenduran dan keterangsangan. Setelah kedua halangan ini
diatasi, kita akan mencapai konsentrasi yang terpusat pada satu
titik, dan ketika itulah kita mencapai ketenangan batin. Dalam
mencapai ketenangan batin, kita harus berupaya mengatasi
9 tingkatan mental berbeda. Ketika pertama sekali mencapai
tingkat kesembilan, pada tahap inilah kita benar-benar mengatasi
kekenduran dan keterangsangan sepenuhnya. Akan tetapi, kita
masih belum mencapai ketenangan batin. Kalau begitu, kapan
ia dicapai? Ketika kita sudah mencapai tahap yang disebut
‘fleksibilitas yang tak tergoyahkan’.

Tapi, tentu saja, pada saat ini kita belum mencapai pandangan
mendalam, karena untuk itu kita mesti melakukan meditasi
analitik. Meditasi ini bisa dilakukan dengan memilih objek apa
pun. Ketika meditasi ini terus dikembangkan sampai mencapai
‘fleksibilitas yang tak tergoyahkan’, barulah kita dikatakan telah
mencapai pandangan mendalam, atau lebih tepatnya, ‘pandangan
mendalam yang khusus’. Intinya, tak peduli seberapa seringnya
seseorang melatih meditasi analitiknya, meditasi ini takkan bisa
memunculkan pandangan mendalam sebelum ia terlebih dulu
mencapai ketenangan batin. Mengapa? Karena kita tak mungkin
melakukan analisis jika batin kita masih goyah. Meditasi analitik
mensyaratkan stabilitas mental yang kukuh, yang pada gilirannya
hanya bisa diraih melalui ketenangan batin. Ketika ketenangan
13 Shamatha termasuk ke dalam kategori meditasi konsentrasi, sedangkan
wipashyana termasuk ke dalam kategori meditasi analitik.
45
Bodhipathapradipa

batin diraih, batin takkan lagi teralihkan dan akan menetap dengan
mantap pada objek analisisnya; dengan kata lain, ketenangan batin
merupakan prasyarat untuk mencapai ‘pandangan mendalam yang
khusus’.

Perbedaan antara meditasi shamatha dan wipashyana tidak


terletak pada objeknya, karena keduanya merupakan keadaan
batin yang bisa memiliki objek yang sama. Misalnya, kalau kita
melihat 4 jenis pikiran berkesadaran – yang terbagi menjadi
perhatian khusus kepada tubuh, perasaan, batin, dan Dharma –
ini merupakan contoh yang sering dirujuk sebagai objek meditasi
wipashyana. Namun, kita harus ingat bahwa wipashyana juga bisa
berbagi objek yang sama dengan shamatha, yaitu 4 jenis pikiran
berkesadaran ini.

Bagaimana 4 jenis pikiran berkesadaran ini bisa menjadi


objek untuk mengembangkan ketenangan batin? Kita bisa melihat
contoh pertama, yaitu perhatian pada tubuh jasmani. Di sini, kita
merenungkan ketidakmurnian tubuh kita, yang terbuat dari 36
substansi yang tidak murni. Kemudian, kita fokus pada perenungan
ini dan senantiasa mengingatnya dalam batin kita. Dari sini, kita
berkonsentrasi dan pelan-pelan mengembangkan ketenangan batin.
Di sisi lain, kita juga bisa menggunakan objek yang sama untuk
mengembangkan pandangan mendalam. Di sini, ketika berada
dalam tahap konsentrasi, kita lalu melakukan meditasi analitik,
yaitu menganalisis ketidakmurnian tubuh kita yang tersusun atas
36 substansi yang tidak murni. Analisis ini kita lakukan dari sudut
pandang yang berbeda-beda. Hasil analisis ini lalu kita pertahankan
di dalam batin. Demikianlah akhirnya pandangan mendalam
berhasil dimunculkan.

Di dalam teks Pelita Sang Jalan, Guru Atisha menekankan


pentingnya mengembangkan ketenangan batin sebagai cara

46
Tinjauan Ulang

untuk mengembangkan persepsi unggul. Dikatakan bahwa ketika


seorang Bodhisatwa ingin menjaga sila menolong makhluk lain,
kepemilikan persepsi unggul adalah sesuatu yang mutlak. Dalam
konteks inilah kita bisa memahami alasan kenapa Guru Atisha
tidak menegaskan pengembangan ketenangan batin sebagai syarat
untuk mengembangkan pandangan mendalam yang memahami
ke-tanpaaku-an, berhubung dalam karya lainnya, beliau nyatanya
menekankan pentingnya pengembangan ketenangan batin dalam
rangka mengembangkan pandangan mendalam yang memahami
ke-tanpaaku-an. Mengapa? Karena tak bisa dipungkiri bahwa tanpa
adanya pandangan mendalam yang memahami ke-tanpaaku-an,
seseorang takkan pernah bisa membebaskan diri dari samsara.

Singkatnya, bait ini bermaksud mengatakan bahwa untuk


merampungkan kedua himpunan – kebajikan dan kebijaksanaan
unggul – persepsi unggul mesti diraih terlebih dulu. Dan untuk
meraih persepsi unggul, seseorang perlu mencapai ketenangan
batin.

Bait berikutnya berbunyi:


Ibarat seekor burung tanpa sayap terbentang
yang tak dapat terbang menggapai langit,
mereka yang tak memiliki persepsi unggul
juga tak dapat menolong makhluk lain.

Bait ini menjelaskan sulitnya menolong makhluk lain tanpa


adanya persepsi unggul.

Bait berikutnya berbunyi:


Kebajikan yang dihimpun dalam sehari
oleh pemilik persepsi unggul
takkan mampu diraih dalam ratusan kehidupan
oleh mereka yang tak memilikinya.

47
Bodhipathapradipa

Bait ini menjelaskan pentingnya persepsi unggul dalam


rangka mengumpulkan kebajikan; dengan kata lain, dalam rangka
meningkatkan atau menambah kebajikan kita.

Dua bait berikutnya berbunyi:


Siapapun yang ingin segera merampungkan
penghimpunan
demi meraih pencerahan sempurna
akan meraih persepsi unggul dengan upaya,
bukan dengan bermalas-malasan.

Tanpa ketenangan batin,


persepsi unggul takkan tercapai.
Oleh karenanya, berupayalah terus-menerus
untuk meraih ketenangan batin.

Bait ini menjelaskan pentingnya persepsi unggul untuk


mencapai Kebuddhaan dengan cepat, yang pada gilirannya
hanya bisa diraih melalui ketenangan batin. Ada makhluk tertentu
yang memiliki persepsi unggul tanpa melatih ketenangan batin,
melainkan sebagai akibat dari karma lampaunya. Contohnya
adalah para dewa atau roh jahat tertentu. Walaupun memiliki
persepsi unggul, mereka tak bisa dikatakan sebagai makhluk
unggul. Persepsi unggul dari makhluk unggul hanya bisa diraih
melalui ketenangan batin.

Sekarang kita sampai pada poin ihwal cara melatih ketenangan


batin yang sebenarnya, yang terbagi menjadi 3 aspek: bertumpu
pada syarat-syarat untuk mencapai ketenangan batin, tata cara
memeditasikan ketenangan batin, dan manfaat memeditasikan
ketenangan batin. Aspek pertama dirangkum dalam bait berikut:
Bila faktor-faktor penunjang ketenangan batin tak hadir,
konsentrasi meditatif takkan tercapai,

48
Tinjauan Ulang

bahkan bila engkau bermeditasi dengan giat


selama ribuan tahun.

Bait ini menjelaskan pentingnya faktor-faktor pendukung dalam


mencapai ketenangan batin. Je Tsongkhapa dalam Lamrim Agung
serta Pabongkha Rinpoche dalam Pembebasan di Tangan Kita
menjelaskan 6 jenis prasyarat untuk mencapai ketenangan batin,
yang bisa kita rujuk untuk penjelasan lebih lanjut dan mendalam.

Berikutnya adalah aspek kedua, yakni tata cara memeditasikan


ketenangan batin, yang dirangkum dalam bait berikut:
Dengan mempertahankan faktor-faktor penunjang
yang disebutkan dalam Bab Kumpulan Konsentrasi
Meditatif14,
tempatkan batin secara terpusat
pada objek bajik mana pun.

Di sini, objek bajik tidak merujuk pada sembarang objek,


tapi pada 4 kategori objek yang diajarkan oleh Buddha untuk
mengembangkan ketenangan batin. Sekali lagi, penjelasan
menyeluruh tentang 4 objek ini bisa ditemukan di dalam Lamrim
Agung dan Pembebasan di Tangan Kita. Frasa “Tempatkan batin...”
bermakna bahwa ketika berlatih mengembangkan ketenangan
batin, kita harus bisa menjaga batin agar tidak berada dalam
keadaan netral, namun senantiasa dalam keadaan bajik. Secara
spesifik, ini merujuk pada kekenduran subtil, yang merupakan
halangan untuk mengembangkan ketenangan batin. Kekenduran
subtil ini sifatnya netral, dan kita harus bisa menggantikannya
dengan batin yang sifatnya bajik.

Berikutnya adalah aspek ketiga, yakni manfaat memeditasikan


ketenangan batin, yang dirangkum dalam bait berikut:

14 Samadhi-warga.
49
Bodhipathapradipa

Ketika ketenangan batin telah dicapai,


persepsi unggul juga akan diraih.
Namun, tanpa melatih penyempurnaan kebijaksanaan,
rentetan halangan takkan lenyap.

Sekadar pengingat, di sini persepsi unggul yang dirujuk


bersifat jamak, artinya lebih dari satu. Selanjutnya, kita mendapati
kata ‘juga’, yang bermakna bahwa ketenangan tak hanya akan
menghasilkan persepsi unggul, tetapi juga hal lainnya. Apa itu?
Pandangan mendalam yang memahami ke-tanpaaku-an.

Sekarang kita sampai pada sila yang berhubungan dengan


praktik prajna, yang terbagi lagi menjadi 2 bagian: pentingnya
melatih pandangan mendalam yang khusus melalui penggabungan
antara metode dan kebijaksanaan, dan cara melatih kebijaksanaan
yang sesungguhnya. Bagian pertama terbagi lagi menjadi 2:
sumber dari pernyataan ini dan cara yang sebenarnya untuk
menggabungkan metode dan kebijaksanaan, yang dirangkum
dalam bait berikut:
Jadi, untuk melenyapkan semua halangan
bagi pembebasan dan kemahatahuan,
praktisi harus terus melatih penyempurnaan
kebijaksanaan
dengan metode terampil.

Maksudnya, apabila kita memisahkan latihan kebijaksanaan


dengan praktik lainnya, latihan kita takkan memungkinkan kita
untuk membuang kedua jenis halangan, yang terdiri dari halangan
klesha dan halangan menuju kemahatahuan (jejak-jejak klesha di
dalam batin yang mengganggu kemampuan kita untuk melihat
semua fenomena apa adanya menurut kedua level kebenaran:
konvensional dan tertinggi). Sumber dari pernyataan ini adalah
seorang Bodhisatwa bernama Kemasyhuran Murni. Beliau
50
Tinjauan Ulang

memohon penjelasan dalam bait ini dari Buddha, sehingga Sutra


yang diajarkan oleh Buddha tentang topik ini pun dinamai ‘Sutra
yang diajarkan kepada Kemasyhuran Murni’.

Isi Sutra ini dirangkum dalam bait berikut:


Kebijaksanaan tanpa metode terampil
maupun metode terampil tanpa kebijaksanaan
sama-sama dirujuk sebagai belenggu.
Oleh karenanya, jangan mengabaikan keduanya.

Artinya, apabila seseorang mempraktikkan metode tanpa


kebijakasanaan atau sebaliknya, maka inilah yang disebut oleh
Buddha sebagai ‘belenggu’. Kalau begitu, bagaimana cara
menggabungkan metode dengan kebijaksanaan? Penjelasan ini
terbagi menjadi 2 bagian: penjelasan singkat dan panjang.

Untuk penjelasan yang lebih singkat, kita bisa melihat bait


berikutnya:
Untuk melenyapkan keraguan
ihwal pengertian kebijaksanaan dan metode terampil,
aku akan menerangkan dengan jelas
perbedaan di antara keduanya.

Penjelasan yang lebih panjang terbagi menjadi 3:


mengidentifikasi metode, mempraktikkan metode dan
kebijaksanaan, dan mengidentifikasi kebijaksanaan. Poin pertama
dirangkum dalam bait berikut:
Selain penyempurnaan kebijaksanaan,
semua praktik bajik lainnya
– seperti penyempurnaan kemurahan hati dan
seterusnya –
dijelaskan oleh para Penakluk sebagai metode terampil.

51
Bodhipathapradipa

Maksudnya, selain penyempurnaan kebijaksanaan, kelima


praktik penyempurnaan lainnya, yang harus dimotivasi oleh
bodhicita, termasuk ke dalam aspek metode.

Poin kedua dirangkum dalam bait berikut:


Siapa pun yang melatih kebijaksanaan
melalui pemahaman atas metode terampil
akan segera mencapai pencerahan –
pencerahan takkan dicapai dengan hanya memeditasikan
ke-tanpaaku-an.

Maksudnya, dengan membiasakan praktik metode yang


dilanjutkan dengan memeditasikan kebijaksanaan, seseorang
pada akhirnya akan mencapai pencerahan. Sebaliknya, sekadar
memeditasikan ke-tanpaaku-an takkan menuntun kita menuju
pencerahan. Artinya, kita harus terlebih dulu membiasakan
diri dengan meditasi-meditasi, misalnya dimulai dari meditasi
ketidakkekalan, meditasi hukum karma, dst. Kemudian, kita
lanjut memeditasikan penyempurnaan kemurahan hati sampai
konsentrasi. Ketika semua meditasi ini sudah kukuh di dalam
batin dan kita sudah benar-benar terbiasa dengannya, maka
ketika meditasi tersebut sudah dimotivasi oleh bodhicita, barulah
kita memeditasikan penyempurnaan kebijaksanaan. Setelah
melakukan ini, kita akan bisa mencapai pencerahan. Kenapa
semata melakukan penyempurnaan kebijaksanaan atau pun
meditasi ke-tanpaaku-an tak bisa mengantar kita mencapai
pencerahan? Karena dalam kondisi yang demikian kita masih
belum memiliki tubuh bentuk seorang Buddha.

Frasa “Siapa pun yang melatih...” menunjukkan urutan


yang harus kita ikuti ketika ingin mempraktikkan metode dan
kebijaksanaan. Metode adalah aspek pertama yang harus kita
praktikkan. Setelah ia menjadi mantap dan kita sudah terbiasa
52
Tinjauan Ulang

dengannya, barulah kita bisa memeditasikan kebijaksanaan.


Sebagai tambahan, di sini, kata ‘melatih’ tampaknya lebih dekat
maknanya dengan ‘menjadi terbiasa’.

Poin ketiga dirangkum dalam bait berikut:


Pemahaman bahwa kumpulan, unsur, dan sumber
pada dasarnya tak memiliki
eksistensi yang berdiri sendiri
digambarkan sebagai kebijaksanaan.

Maksudnya, semua fenomena pada hakikatnya tak memiliki


eksistensi yang sejati; dengan kata lain, mereka tidak bisa
dihasilkan dengan sendirinya atau dari dirinya sendiri.

Sekarang, kita sampai pada bagian tata cara melatih


pandangan mendalam yang sebenarnya. Yang pertama-tama harus
dilakukan adalah menetapkan objek pandangan mendalam yang
akan dimeditasikan. Seperti yang sudah dijelaskan, ada banyak
objek pandangan mendalam. Di sini, yang kita tetapkan sebagai
objek yang dimeditasikan adalah ke-tanpaaku-an. Pertama, kita
menetapkan objek, yakni ke-tanpaaku-an, melalui penalaran
logis. Kedua, kita menjelaskan objek ini dengan merujuk pada
karya-karya lainnya.

Terkait penalaran logis, ini dirangkum dalam bait berikut:


Sesuatu yang eksis tidaklah berdiri sendiri,
demikian pula sesuatu yang tak eksis, misalnya teratai
di angkasa.
Keduanya keliru dan tak masuk akal,
sehingga mustahil untuk dinyatakan.

Maksudnya, segala sesuatu yang eksis pastilah bergantung

53
Bodhipathapradipa

pada sebab-sebab yang lain, sedangkan untuk sesuatu yang tak


eksis, seperti teratai yang mekar di angkasa, hal ini cukup mudah
dipahami.

Sesuatu yang dihasilkan atau dilahirkan tidak mungkin


muncul dengan sendirinya, karena ia pasti memiliki sebab-
sebabnya. Karena ada sebablah maka ada akibat. Kalau sesuatu
tak bersebab dan bisa berdiri sendiri, maka logikanya ia harus bisa
muncul setiap saat, dari satu momen ke momen berikutnya tanpa
henti. Tapi, kita tahu bahwa hal ini mustahil terjadi. Ini adalah satu
kemungkinan untuk menetapkan bahwa suatu fenomena tidak
berdiri sendiri.

Kemungkinan lainnya adalah sesuatu yang tidak eksis tidak


bisa menghasilkan akibat, karena ini tak masuk akal. Bagaimana
sesuatu yang tidak eksis bisa menghasilkan akibat? Ini ibarat
seorang wanita mandul yang bisa melahirkan anak. Selanjutnya,
akibat juga tidak bisa dihasilkan dari sesuatu yang eksis sekaligus
tidak eksis.

Untuk lebih memperjelasnya, apa yang hendak ditolak oleh


penalaran ini? Yang hendak ditolak adalah eksistensi dari sesuatu
yang berdiri sendiri. Bagaimana caranya? Dengan memahami
bahwa apabila ada sesuatu yang berdiri sendiri, maka masalah
akan muncul. Masalah seperti apa? Pertama-tama, jika ada
sesuatu yang berdiri sendiri dan muncul dengan sendirinya, maka
tidak ada alasan mengapa ia harus dihasilkan. Di sisi lain, apabila
ia selalu ada dan sudah dihasilkan dari sananya, maka ia tidaklah
bisa dihasilkan kembali. Dengan kata lain, jika ia sudah ada di sana
ketika sebabnya muncul, maka ini artinya ia muncul bersamaan
dengan sebabnya, yang tentu saja mustahil terjadi. Ini adalah satu
kemungkinan. Kemungkinan kedua adalah: apabila sesuatu yang
berdiri sendiri berasal dari sesuatu yang tidak eksis, maka ini juga

54
Tinjauan Ulang

mustahil, dan ini kiranya cukup gamblang. Kemungkinan ketiga


adalah: sesuatu yang berdiri sendiri juga tidak bisa muncul dari
kedua-duanya, yaitu kombinasi dari sesuatu yang eksis maupun
tidak eksis, dan ini juga cukup gamblang. Kemungkinan keempat
adalah: apabila sesuatu bisa berdiri sendiri atau muncul dengan
sendirinya, maka ia tidak bisa tak eksis ataupun bersifat tak inheren;
dengan kata lain, kalau ia inheren, maka ia tidak bisa menjadi
tak inheren. Singkat kata, keempat penalaran ini menyimpulkan
bahwa tidak ada yang namanya akibat atau sebab yang berdiri
sendiri atau muncul dari dirinya sendiri.

Sekarang, kita masuk ke bait tentang prosedur penalaran


berikutnya:
Sesuatu tak dihasilkan dari dirinya sendiri,
atau dari hal-ihwal lain, atau dari keduanya,
ataupun muncul tanpa sebab.
Oleh karenanya, ia tidaklah berdiri sendiri.

Apa yang kita bicarakan adalah fenomena yang tidak


permanen atau fenomena komposit. Sebelumnya, penalarannya
ditinjau dari sebab, dan kini penalaran ditinjau dari akibat
atau hasilnya. Dengan kata lain, apa yang ditolak di sini? Yang
ditolak adalah tidak adanya sesuatu yang berdiri sendiri. Jika
ada sesuatu yang berdiri sendiri, hanya ada 4 kemungkinan.
Yang pertama adalah dihasilkan dari dirinya sendiri; yang kedua
adalah dihasilkan dari hal lain yang berdiri sendiri; yang ketiga
adalah dihasilkan dari dirinya sendiri berikut sebab yang berdiri
sendiri; dan yang keempat adalah dihasilkan dari sesuatu yang
tidak memiliki sebab. Keempat kemungkinan ini tidak mungkin
terjadi, sehingga tak ada yang namanya sesuatu yang dihasilkan
dari dirinya sendiri, tak ada yang namanya kelahiran yang berdiri
sendiri, dan tak ada produksi yang inheren.

55
Bodhipathapradipa

Ada satu bait yang ditulis oleh Arya Nagarjuna dalam


Prajnamula, yang bahkan menjelaskan poin ini lebih ringkas lagi
dalam 4 baris singkat:
Tidak dari dirinya sendiri,
juga tidak dari hal lain,
juga tidak dari keduanya,
juga tidak tanpa sebab.

Jadi, jika fenomena bisa dihasilkan dari dirinya sendiri,


berarti sebab dan akibatnya memiliki sifat yang sama, yang tentu
saja mustahil. Yang kedua, jika sebuah fenomena dihasilkan dari
sebab yang berdiri sendiri, maka bagaimana mungkin sebuah
sebab yang berdiri sendiri bisa menghasilkan sesuatu, berhubung
ia tidak mungkin berkaitan dengan hal lainnya. Yang ketiga,
fenomena juga tidak bisa dihasilkan dari sebab yang berdiri sendiri
berikut dirinya sendiri; ini gampang dipahami. Yang keempat,
apabila fenomena dihasilkan tanpa sebab, maka ini juga bisa
secara gampang dipahami sebagai sesuatu yang mustahil.

Selain Prajnamula, ada lagi ulasan tambahan dari


Chandrakirti terhadap teks Prajnamula yang disebut Pengantar
Menuju Jalan Tengah15. Ulasan ini sangat mirip dengan penjelasan
di dalam Prajnamula, yang pada dasarnya membicarakan hal
yang kurang lebih sama. Yang hendak ditekankan di sini adalah
fakta bahwa dua karya ini adalah salah satu rujukan utama Guru
Atisha ketika menulis teks Pelita Sang Jalan.

Ada pihak atau aliran yang mengakui bahwa sebab dan akibat
bisa muncul berbarengan dan memiliki sifat dasar yang sama.
Kepercayaan ini diyakini oleh salah satu aliran filsafat Hindu yang
bernama Samkhya. Bertolak dari sinilah Chadrakirti memberikan
penjelasan lebih lanjut untuk menolak pandangan bahwa sesuatu
15 Madhyamaka-watara.
56
Tinjauan Ulang

bisa muncul dengan sendirinya. Seperti yang sudah dijelaskan,


sesuatu yang muncul dengan sendirinya bermakna bahwa sebab
dan akibatnya muncul berbarengan. Jika suatu sebab dan akibat
muncul berbarengan, maka tidak ada alasan bagi terjadinya
suatu produksi, atau kalaupun ada produksi, maka ia akan terjadi
berulang-ulang; ini tentu saja keliru, karena sesuatu yang sudah
dihasilkan tidak mungkin harus dihasilkan lagi.

Intinya, ketika sebab dan akibat muncul berbarengan dan


memiliki sifat dasar yang sama, ada dua kemungkinan. Yang
pertama, tak ada alasan untuk terjadinya produksi karena ia
memang sudah terjadi, ada, atau eksis. Yang kedua, produksi ini
akan berlanjut terus-menerus, dan kalau ini terjadi, apa tujuan
terjadinya produksi bagi sesuatu yang sudah ada atau sudah
diproduksi? Lebih lanjut, Guru Bhawawiweka, di dalam karyanya
Api Nalar16, menolak pandangan yang sama. Beliau menggunakan
perumpamaan pohon Banyan, sebuah pohon teramat besar
yang bisa ditemukan di India. Banyan merupakan pohon yang
sangat besar, sedemikian besarnya sehingga banyak kendaraan
bisa diparkir di bawah naungannya. Akan tetapi, benih pohon ini
tentu saja sangat kecil. Menurut beliau, jika sebab dan akibat bisa
muncul berbarengan, maka ukuran pohon Banyan yang besar
haruslah bisa ditampung dalam benihnya yang kecil, yang tentu
saja akan terdengar aneh.

Shantidewa juga menolak pandangan yang sama. Beliau


menggunakan contoh membuat pakaian dari benang wol. Kalau
sebab dan akibat muncul berbarengan, maka logikanya pakaian
sudah terkandung dalam untaian benang wol. Contoh lainnya
adalah makanan yang kita makan. Apakah di dalam makanan
tersebut sudah terkandung kotoran yang akan kita hasilkan kelak?

16 Tarkajwala.
57
Bodhipathapradipa

Kalau kita mengakui bahwa sebab dan akibat bisa muncul pada
waktu yang bersamaan dan memiliki sifat dasar yang sama, maka
kita harus mengakui bahwa pakaian terdapat dalam benang wol
dan kotoran terdapat dalam makanan.

Beberapa penganut aliran Samkhya berkilah bahwa


walaupun sebab dan akibat muncul pada saat yang bersamaan,
namun akibatnya tidak mewujud atau bisa dilihat seketika.
Guru besar lainnya, Dharmakirti, menolak pandangan ini.
Beliau menggunakan contoh selembar daun dan seekor lalat
yang mungkin hinggap di ujung daun tersebut. Menurut hukum
karma, lalat tersebut mungkin punya karma untuk terlahir kembali
berulang-ulang sebagai seratus ekor gajah. Jika kita mengikuti
pandangan Samkhya, maka kita harus menyatakan bahwa lalat di
ujung daun tersebut sama dengan seratus ekor gajah, dan ini tentu
saja pernyataan yang sangat bodoh.

Bait ini juga khususnya menolak filsafat Buddhis yang


lebih rendah, mulai dari Waibhasika hingga Sautrantika. Semua
aliran ini menyatakan bahwa sebab, seperti semua fenomena,
dapat dipastikan keberadaannya, sedangkan gagasan ini ditolak
sepenuhnya oleh aliran Prasangika. Sebagai tambahan, bait ini
juga menolak pandangan yang dianut oleh kaum Jain, yang
meyakini bahwa sesuatu datang dari dua hal, yaitu dari dirinya
sendiri dan pihak lain. Alasannya, ketika kita membayangkan
sebuah meja, maka ini sama saja dengan menyatakan bahwa
meja itu muncul dari bagian-bagiannya maupun bagian lainnya,
seperti tukang kayu yang membuatnya. Terakhir, bait ini menolak
pandangan nihilis bahwa segala sesuatu bisa muncul tanpa adanya
sebab apa pun.

Karena aliran Prasangika tampaknya secara konstan menolak


aneka pandangan ihwal produksi, beberapa pihak meyakini bahwa

58
Tinjauan Ulang

Prasangika menolak eksistensi produksi secara keseluruhan, bahwa


tak ada yang namanya produksi. Namun, ini ditolak atau dibantah
oleh penganut Prasangika. Aliran Prasangika tentu saja meyakini
adanya produksi, tapi bukan produksi yang berdiri sendiri atau
semacamnya. Yang mereka yakini adalah produksi yang berkaitan
dengan sebab-akibat yang saling bergantungan; sebab bergantung
pada akibatnya, dan begitu pula sebaliknya, akibat bergantung
pada sebabnya. Dengan kata lain, keduanya bergantung satu
sama lainnya. Inilah asal-mula atau sebab dari produksi, yaitu
fakta bahwa keduanya saling bergantungan dan tidak terpisah
secara independen. Fakta bahwa akibat bergantung pada sebab
diakui oleh semua pengikut Buddhis, namun fakta bahwa sebab
bergantung kepada akibatnya hanya diakui oleh aliran Prasangika.
Misalnya, kita semua tentu setuju bahwa kemunculan seorang anak
bergantung pada orang tuanya. Akan tetapi, seseorang bisa disebut
sebagai orangtua hanya jika ia memiliki anak. Demikianlah kira-
kira analogi dari penalaran Prasangika.

Sekarang, kita masuk pada penalaran yang ketiga, yaitu


penalaran yang menganalisis sifat dasarnya. Ini dirangkum dalam
bait berikut:
Lebih jauh, ketika semua fenomena diselidiki
ketunggalan atau kejamakannya,
mereka tak dilihat sebagai sesuatu yang muncul dengan
sendirinya,
sehingga mereka pun dinyatakan sebagai eksistensi
yang tak berdiri sendiri.

Jika sesuatu berdiri sendiri, berarti keberadaannya bisa


bersifat tunggal atau jamak; hanya ada dua kemungkinan ini.
Namun, sesuatu tidak berdiri sendiri secara tunggal karena ia pasti
terdiri dari bagian-bagiannya, dan sesuatu tidak berdiri sendiri

59
Bodhipathapradipa

secara jamak karena bagian-bagiannya telah menyusun dan


berubah menjadi satu entitas yang utuh dan padu.

Bait berikutnya merekomendasikan karya-karya lain untuk


memperjelas topik-topik ini, yang berbunyi:
Penalaran dalam kitab 70 Stanza Kesunyataan17,
Risalah Pokok Jalan Tengah18, dan sebagainya
menjelaskan bahwa hakikat semua fenomena
adalah kesunyataan.

Dalam teks ini, penalaran yang digunakan oleh Arya


Nagarjuna adalah interdependensi atau kesalingbergantungan,
yang menjelaskan bahwa semua fenomena tak memiliki eksistensi
yang berdiri sendiri, dalam artian mereka semua saling bergantung
satu sama lain. Secara khusus, Risalah Pokok Jalan Tengah adalah
karya yang harus dirujuk bila kita ingin menetapkan kesunyataan
dari semua fenomena.

Bait berikutnya berbunyi:


Karena terdapat begitu banyak penjelasan,
aku tak mengutip mereka semua di sini,
melainkan hanya menjelaskan kesimpulannya
untuk tujuan meditasi.

Guru Atisha tak menjelaskan apa yang tertera dalam karya-


karya tersebut lebih jauh karena merasa bahwa teks Pelita Sang
Jalan akan menjadi terlalu panjang jika semua penjelasan ini
turut dimasukkan. Jadi, pada dasarnya beliau hanya memberikan
penjelasan ringkas tentang Prasangika untuk tujuan meditasi, dan
kita bisa membaca sendiri karya-karya yang dirujuk jika kita ingin
memahami penjelasannya lebih lanjut.

17 Sunyatasaptati-widya.
18 Mulamadhyamaka-karika.
60
Tinjauan Ulang

Berikutnya, kita masuk ke poin ihwal tata cara memeditasikan


pandangan mendalam yang sesungguhnya, yang dirangkum
dalam bait berikut:
Medi­tasi ke-tanpaaku-an apa pun
yang tak menyimpulkan
kesejatian hakikat dari fenomena
adalah latihan kebijaksanaan.

Dalam proses menganalisis apakah sesuatu itu berdiri sendiri


atau tidak, kita harus mencari atau menggali di mana eksistensi
yang berdiri sendiri ini berada. Melalui analisis ini pula kita lalu
sampai pada kesimpulan akhir bahwa kita gagal atau tak bisa
menemukan apa yang dinamakan eksistensi yang berdiri sendiri.
Inilah makna dari frasa “tak menyimpulkan kesejatian hakikat dari
fenomena”. Dan inilah yang menuntun pada kesimpulan tentang
ke-tanpaaku-an, yang merupakan objek meditasi kebijaksanaan
kita. Ketika kita sudah bisa mengamati ketiadaan eksistensi yang
berdiri sendiri, itulah meditasi kebijaksanaan kita.

Bila bait sebelumnya berkaitan dengan objek, maka bait


berikutnya berkaitan dengan subjek yang memersepsi, yang
berbunyi:
Karena kebijaksanaan tak melihat
kesejatian hakikat dari fenomena,
meditasikanlah kebijaksanaan ini secara non-konseptual
setelah menganalisisnya dengan penalaran.

Sebelumnya, kita sudah diajari cara mengembangkan


kebijaksanaan dengan menganalisis fenomena, yaitu dengan
mencari apakah eksistensi yang berdiri sendiri itu ada atau tidak.
Kita sampai pada kesimpulan bahwa tak ada yang namanya
eksistensi yang berdiri sendiri. Dengan cara yang sama, kita
menganalisis batin kita dan sampai pada kesimpulan bahwa
61
Bodhipathapradipa

batin kita juga tak punya eksistensi yang berdiri sendiri. Setelah
menemukan tiadanya eksistensi yang berdiri sendiri baik pada
objek maupun subjek, kita kemudian melanjutkan meditasi dan
kemudian mencapai ‘kebijaksanaan yang bebas dari semua
konsepsi’, sebuah kebijaksanaan yang non-konseptual.

Sekarang kita sampai pada poin ketiga yang sudah dijabarkan


di awal, yaitu hasil-hasil dari memeditasikan pandangan
mendalam. Bait ini merujuk pada topik sebenarnya tentang
manfaat-manfaat atau hasil dari memeditasikan pandangan
mendalam, yang berbunyi:
Samsara ini, yang timbul dari konsepsi tentang eksistensi
yang berdiri sendiri,
pada hakikatnya adalah konsepsi itu sendiri.
Pelenyapan konsepsi yang demikian
adalah tingkatan nirwana yang tertinggi.

Frasa “konsepsi tentang eksistensi yang berdiri sendiri”


merujuk pada kebenaran Arya yang kedua, yakni kebenaran
tentang asal-mula penderitaan. Mengapa? Karena konsepsi
inilah yang merupakan sumber dari ketidaktahuan batin, yang
merupakan akar dari samsara. Frasa “samsara ini” merujuk
pada kebenaran Arya yang pertama, yaitu kebenaran tentang
penderitaan, yang merupakan akibat dari kebenaran Arya tentang
asal-mula penderitaan.

Frasa “pelenyapan konsepsi yang demikian” merujuk


pada kebenaran Arya tentang jalan. Jalan apa? Jalan untuk
memahami kesunyataan, yaitu pemahaman ihwal tiadanya
eksistensi yang berdiri sendiri. Jalan ini adalah jalan yang harus
diandalkan karena ia merupakan penawar terhadap konsepsi
keliru ihwal adanya eksistensi yang berdiri sendiri. Frasa ini
merujuk pada kebenaran Arya yang keempat, yakni kebenaran
62
Tinjauan Ulang

tentang jalan untuk menghentikan penderitaan. Frasa “adalah


tingkatan nirwana yang tertinggi” merujuk pada kebenaran Arya
yang ketiga, yaitu kebenaran tentang terhentinya penderitaan.
Untuk menyimpulkan apa yang sudah dijelaskan tadi, pertama-
tama kita harus bisa mengenali samsara sebagai sesuatu yang
berhakikat penderitaan. Langkah kedua adalah mencari asal-
mula penderitaan tersebut, yaitu mengindentifikasi karma dan
klesha sebagai sebab-sebab atau asal-mula penderitaan. Antara
karma dan klesha, adalah klesha yang lebih penting. Di antara
semua klesha, ada satu klesha utama, yaitu ketidaktahuan batin
dalam bentuk sikap mencengkeram ‘aku’ yang berdiri sendiri, dan
inilah akar dari samsara. Setelah memahami ini, langkah ketiga
adalah mencari obat untuk menghancurkan akar samsara kita,
yaitu kebijaksanaan yang memahami ke-tanpaaku-an. Langkah
keempat adalah memeditasikan kebijaksanaan ini sampai akhirnya
penderitaan kita berakhir.

Bait di atas juga menyiratkan bahwa samsara ini, yang


berakar dari konsepsi keliru ihwal adanya eksistensi yang berdiri
sendiri, bisa dibuang atau ditinggalkan karena ia pada dasarnya
muncul dari persepsi yang salah, yaitu sikap mencengkeram
adanya ke-aku-an yang mandiri. Persepsi yang salah tentang
kemandirian dari segala fenomena (termasuk ‘aku’) bisa dilawan
dengan menerapkan kebalikannya, yaitu kesunyataan yang
memahami kesalingbergantungan dari segala fenomena. Dengan
inilah kita bisa menghancurkan akar samsara. Setelah akarnya
hancur, barulah samsara kta turut hancur.

Sehubungan dengan hal ini, Sang Penakluk mengatakan


bahwa konsepsi yang membodohi kita ini
juga telah menjatuhkan kita ke dalam samudera
samsara.
Di sisi lain, bila kita menetap dalam konsentrasi meditatif
63
Bodhipathapradipa

yang non-konseptual,
non-konsepsi yang laksana angkasa akan mewujud
dengan jelas.

Frasa “konsepsi yang membodohi kita ini juga telah


menjatuhkan kita ke dalam samudera samsara” merujuk pada
kebenaran Arya yang pertama dan kedua. Konsepsi yang
membodohi dan menjatuhkan kita adalah kebenaran Arya tentang
asal-mula penderitaan, sedangkan samudera samsara adalah
kebenaran Arya tentang penderitaan.

Frasa “bila kita menetap dalam konsentrasi meditatif yang


non-konseptual” merujuk pada pemahaman kesunyataan
secara langsung; dengan kata lain, ia merujuk pada kebenaran
Arya tentang jalan menghentikan penderitaan. Frasa ini juga
menyiratkan penyatuan antara shamatha (konsentrasi meditatif)
dan wipashyana (non-konseptual), dan penyatuan inilah yang
membentuk kebenaran Arya tentang Sang Jalan. Kata ‘menetap’
bermakna bahwa kita harus memeditasikan penyatuan shamatha
dan wipashyana ini untuk waktu yang lama agar bisa menembus
kesunyataan secara langsung dan mencapai “non-konsepsi yang
laksana angkasa”, atau dengan kata lain, kebenaran Arya tentang
terhentinya penderitaan.

Istilah ‘laksana angkasa’ merupakan analogi; artinya,


walaupun memiliki banyak awan, tapi awan-awan tersebut
bukanlah bagian inheren dari angkasa itu sendiri. Ini sama seperti
batin kita. Walaupun kita memiliki konsepsi yang salah, konsepsi
ini bukan bagian yang inheren dari batin kita. Melalui meditasi
yang tekun, kita bisa membuang seluruh konsepsi yang salah
tersebut dan menghentikan penderitaan sepenuhnya. Baris-baris
dalam bait ini dikutip dari teks Tantra.

64
Tinjauan Ulang

Kita sampai pada bait berikutnya, yang dikutip dari Dharani


Pemahaman Kesunyataan:
Dharani Pemahaman Kesunyataan19 mengatakan
bahwa ketika Bodhisatwa secara non-konseptual
merenungkan
ajaran berharga ini, mereka akan melampui konsepsi
keliru
yang demikian sulit diatasi, dan akan meraih kondisi
non-konseptual.

Frasa “secara non-konseptual merenungkan ajaran berharga


ini” merujuk pada kebenaran Arya tentang jalan menghentikan
penderitaan. Frasa ”mereka akan melampui konsepsi keliru”
merujuk pada kebenaran Arya tentang asal-mula penderitaan.
Frasa “yang demikian sulit diatasi” merujuk pada kebenaran
Arya tentang penderitaan. Frasa “dan akan meraih kondisi non-
konseptual” merujuk kepada kebenaran Arya tentang terhentinya
penderitaan.

Kesimpulan dari seluruh poin ini dirangkum dalam bait


berikut:
Setelah memastikan melalui kitab dan penalaran
bahwa fenomena tak berhakikat sejati
ataupun berdiri sendiri,
bermeditasilah tanpa terjebak dalam konsepsi keliru.

Frasa “fenomena tak berhakikat sejati” bermakna bahwa


semua fenomena tidak diproduksi secara inheren ataupun berdiri
sendiri. Ketika seseorang telah memahami tiadanya produksi
yang berdiri sendiri, yaitu memahami kesunyataan dari segala
fenomena, inilah yang harus dimeditasikan olehnya. Penjelasan

19 Nirwikalpa-awatara-dharani.
65
Bodhipathapradipa

ini merupakan kesimpulan dari apa yang dijelaskan pada bagian


atau poin ini. Bait berikutnya berbunyi:
Setelah memeditasikan kesunyataan dengan cara ini,
“panas”20 dan seterusnya akan dicapai, dan segera
setelahnya,
“kegembiraan yang teramat sangat”21 dan seterusnya
akan dicapai,
dan tak lama kemudian, Kebuddhaan pun tercapai.

Berikutnya, kita akan membahas hasil dari mempraktikkan


kesunyataan yang menyatukan shamatha dan wipashyana, yang
merupakan proses bertahap menuju Kebuddhaan. Pertama-
tama, kita akan mencapai tingkat yang dinamakan ‘panas’,
yang merupakan salah satu tingkatan di dalam Marga Persiapan.
Kemudian, secara bertahap kita akan mencapai berbagai
tingkatan spiritual atau bhumi, sampai akhirnya kita meraih
Kebuddhaan.

Sekarang, kita sudah sampai pada sebagian penjelasan


tentang cara memasuki jalan Tantra, yang terbagi menjadi 4
poin: siapa yang merupakan wadah atau penerima praktik Tantra
yang sesuai, tata cara menerima inisiasi Tantra dengan benar
dan hasil dari penerimaan inisiasi tersebut, siapa atau apa basis
untuk menerima kedua inisiasi Tantra yang lebih tinggi, dan
menghilangkan keraguan mengenai siapa yang bisa atau boleh
mengajarkan Tantra.

Poin pertama dirangkum dalam dua bait berikut:


Bila engkau ingin menciptakan
himpunan pencerahan dengan mudah
melalui aktivitas seperti penenangan, peningkatan, dan
20 Usna.
21 Pramudhita-bhumi.
66
Tinjauan Ulang

seterusnya22,
yang diraih melalui kekuatan Tantra,

Dan juga melalui kekuatan 8 siddhi


serta capaian agung seperti “jambangan keberuntungan”;
bila engkau ingin mempraktikkan mantra rahasia
seperti yang dijelaskan dalam Tantra Kriya dan Tantra
Charya,

Kedelapan baris ini menjelaskan siapa yang memenuhi syarat


atau yang merupakan wadah yang sesuai untuk menerima inisiasi
Tantra. Pada dasarnya, ia haruslah seseorang yang berkeinginan
untuk mencapai atau menyempurnakan kedua himpunan dengan
cepat agar bisa dengan cepat dan mudah memenuhi kebahagiaan
makhluk lain maupun mencapai pencerahan sempurna bagi
dirinya sendiri. Jambangan keberuntungan adalah jambangan
yang memungkinkan kita mendapatkan apa pun yang kita
inginkan, ibarat lampu Aladdin yang mampu mengabulkan segala
permohonan kita. Hal ini dicapai melalui kekuatan Tantra, atau
lebih tepatnya, mantra rahasia. Orang yang ingin bergiat dalam
praktik ini haruslah ia yang benar-benar mempraktikkan mantra
rahasia seperti yang dijelaskan lebih rinci di dalam keempat kelas
Tantra.

Poin kedua dimulai dengan bait berikut:


Selanjutnya, agar bisa menerima inisiasi dari Guru
Wajra,
engkau harus mampu menyenangkan hati beliau
melalui pelayanan, persembahan barang berharga, dan
sebagainya,
serta melalui kepatuhan.

22 Ada 4 aktivitas: penenangan, peningkatan, kekuatan, dan kekuatan dahsyat.


67
Bodhipathapradipa

Apa makna ‘selanjutnya’ di sini? ‘Artinya, ketika seseorang


sudah berkeinginan untuk mempraktikkan Tantra, maka ia
harus menerima inisiasi Tantra terlebih dulu, yaitu secara khusus
menerima inisiasi Guru Wajra; ada empat jenis inisiasi, dan inisiasi
pertama dikenal sebagai inisiasi Guru Wajra. Makna dari ‘inisiasi’
sendiri adalah ‘memberi kuasa,’ yaitu proses ketika seorang Guru
Wajra memberikan kuasa kepada murid untuk mempraktikkan
apa yang sedang dipraktikkan oleh sang guru; analoginya, jika
Sang Guru adalah raja, maka ia sedang mewariskan kerajaannya
kepada muridnya. Di sini, murid berfungsi sebagai pewaris takhta
Sang Guru. Oleh sebab itu, penting baginya untuk melayani
Sang Guru dengan sangat baik, yaitu melayani dalam bentuk
persembahan, baik benda-benda materi dan sebagainya, baik
secara fisik maupun verbal, berikut persembahan-persembahan lain
yang banyak dan luar biasa. Akan tetapi, persembahan yang paling
utama dan penting adalah menyenangkan Guru Spiritual dengan
cara mempraktikkan instruksi-instruksi yang telah diberikan oleh
beliau. Kenapa demikian? Karena Wajradhara sendiri mengatakan
bahwa menyenangkan Guru Spiritual adalah sumber dari semua
pencapaian spiritual, baik pencapaian umum maupun unggul.

Poin kedua juga menyiratkan tata cara seseorang menerima


inisiasi yang lengkap, dan ini dirangkum dalam bait berikut:
Dengan menyenangkan hati Sang Guru,
engkau akan menerima Inisiasi Guru Wajra yang
lengkap.
Semua kesalahanmu tak pelak akan dimurnikan,
dan engkau pun siap untuk meraih capaian-capaian
tingkat tinggi.

Dengan menyenangkan hati Sang Guru, seorang murid akan


dapat menerima inisiasi Guru Wajra yang lengkap, dan ini akan

68
Tinjauan Ulang

memberinya izin untuk mempraktikkan ‘tahap pembangkitan’.


Setelah ia menerima ketiga inisiasi yang lebih tinggi, barulah ia
memperoleh izin untuk mempraktikkan ‘tahap perampungan’.

Poin kedua juga menyiratkan bagaimana seseorang akan


menerima semua manfaat – baik sementara maupun tertinggi
– dari praktik Tantra yang tekun, dan ini dirangkum dalam dua
baris terakhir. Jika seseorang sudah menerima keseluruhan empat
inisiasi Tantra dan jika ia adalah murid yang berkapasitas unggul,
maka ini bermakna bahwa tahap pembangkitan dan perampungan
yang dipraktikkannya akan mampu menghapuskan semua
halangan yang dimilikinya, dan juga akan memampukannya
mencapai pencerahan sempurna dalam masa kehidupan saat ini
juga. Apabila ia adalah murid dengan kapasitas rata-rata, maka
ia akan memiliki keberuntungan untuk mencapai siddhi-siddhi
sesuai kemampuannya.

Sekarang kita sampai pada poin ketiga, yang berkaitan


dengan empat jenis inisiasi dalam praktik Tantra. Yang pertama
adalah inisiasi vas; yang kedua inisiasi rahasia; yang ketiga inisiasi
kebijaksanaan; dan yang keempat adalah inisiasi kata. Ulasan kita
sudah sampai pada bagian yang merujuk pada kedua inisiasi yang
lebih tinggi, yaitu inisiasi rahasia dan inisiasi kebijaksanaan.

Ada isu yang hendak dibahas atau dipertanyakan di sini:


apakah mereka yang mengambil ikrar selibat (baik upasaka/upasika
dan biksu/biksuni) bisa mengambil kedua inisiasi yang lebih tinggi,
dalam hal ini inisiasi rahasia dan inisiasi kebijaksanaan? Mengapa
isu ini perlu dibahas? Karena apabila praktisi sudah memiliki
pencapaian spiritual yang tinggi, dalam artian apabila baik Guru
(pemberi inisiasi) dan murid (penerima inisiasi) sudah menembus
kesunyataan, maka pada saat itu Sang Guru akan memiliki seorang
pasangan dan akan memberikannya kepada muridnya. Jadi,

69
Bodhipathapradipa

pertanyaannya, apakah mereka yang menerima ikrar selibat bisa


menerima inisiasi rahasia dan inisiasi kebijaksanaan? Jawabannya
tidak, semata karena mereka memiliki ikrar selibat.

Penjelasan atas hal ini diberikan oleh bait berikutnya:


Karena Tantra Kalachakra Agung23
telah melarangnya secara tegas,
inisiasi rahasia dan kebijaksanaan24
tak boleh diambil oleh mereka yang hidup selibat.

Alasan mengapa Tantra Kalachakra Agung melarang seseorang


yang memegang ikrar selibat untuk mengambil inisiasi rahasia dan
inisiasi kebijaksanaan adalah karena hal ini bertentangan dengan
ikrar yang sudah diambil. Artinya, orang tersebut akan melakukan
tindakan yang dilarang oleh Buddha, jadi ketika ia benar-benar
melakukannya, maka ikrar kesuciannya akan patah dan ia akan
melakukan pelanggaran utama. Ini tercantum dalam bait berikut:
Bila mereka yang hidup selibat
menerima inisiasi-inisiasi ini,
ikrar selibat mereka akan patah
karena melakukan apa yang dilarang.

Konsekuensi atau akibatnya dijelaskan dalam bait berikutnya:


Ini menciptakan pelanggaran, yang merupakan
kekalahan
bagi mereka yang menjaga sila.
Karena buah dari pelanggaran ini adalah kelahiran di
alam rendah,
mereka pastinya takkan meraih capaian sekecil apa
pun.

23 Paramadibuddho-ddhrta-srikalachakra-namatantra-raja.
24 Guhya-jnana-abhiseka.
70
Tinjauan Ulang

Jadi, apabila seseorang yang sudah mempraktikkan


hidup selibat mengambil inisiasi yang lebih tinggi, ini berarti ia
melakukan sesuatu yang bertentangan dengan ikrarnya, yaitu
melakukan tindakan yang tidak seharusnya ia lakukan. Ia akan
melakukan pelanggaran utama yang berakibat kelahiran kembali
di alam rendah dan tidak akan mencapai realisasi apa pun dalam
kehidupan saat ini.

Poin terakhir, yakni poin keempat, dirangkum dalam bait


berikut:
Namun, seseorang dapat memberi dan menerima
semua ajaran Tantra,
melakukan ritual puja api, membuat persembahan
tertentu, dan sebagainya
tanpa melakukan pelanggaran apa pun
bila ia telah menerima inisiasi Guru Wajra dan
memahami kesunyataan.

Bait ini dengan jelas menyatakan bahwa aktivitas menerima


dan memberi ajaran Tantra serta mempraktikkan ritual-ritual
Tantra bisa dilakukan tanpa risiko melakukan sedikit pun
kesalahan atau pelanggaran asalkan seseorang telah menerima
inisiasi Guru Wajra dan memahami kesunyataan. Satu pertanyaan
barangkali muncul dan perlu kita tanyakan pada diri sendiri:
bagaimana dengan kasus Dalai Lama ketika beliau memberikan
inisiasi-inisiasi Tantra? Kenyataannya, beliau malah memberikan
keseluruhan empat level inisiasi Tantra. Bagaimana ini bisa
terjadi? Jawabannya, beliau tidak benar-benar memberikan
kedua inisiasi Tantra yang lebih tinggi, dalam artian tidak ada
pasangan nyata yang diwariskan atau diberikan oleh Sang Guru
kepada murid; prosedur ini hanya dilakukan di dalam meditasi
saja.

71
Bodhipathapradipa

Sekarang, kita akhirnya sampai pada poin terakhir dalam


ulasan kita, yaitu poin di mana Guru Atisha menjelaskan situasi
atau alasan untuk menulis teks Pelita Sang Jalan ini, yang
dirangkum dalam bait terakhir:
Aku, Sang Tetua25 Shri Dipamkara,
melalui penjelasan yang diperoleh dari Sutra dan ajaran
lainnya,
telah menyusun penjelasan singkat ini
atas permohonan Jangchub Ö.

Alasan yang menuntun penyusunan karya ini adalah


permohonan yang diajukan oleh Jangchub Ö, seorang murid
Tibet dari Guru Atisha. Ia mengajukan permohonan ini agar ajaran
Buddha di Tibet yang pada saat itu sudah mengalami kemerosotan
dan dipenuhi kebingungan bisa kembali dimurnikan. Tujuannya
adalah untuk menghilangkan keraguan dan memperbaiki
kesalahan-kesalahan yang sudah mengakar kuat di Tibet. Pada
gilirannya, Guru Atisha, berkat welas asih agung pada murid-
murid Tibetnya, menggubah penjelasan akar yang merupakan
ringkasan padat dari Sutra dan Tantra. Gabungan Sutra dan
Tantra ini merupakan instruksi-instruksi yang diterima langsung
oleh beliau dari guru-guru spiritualnya sendiri.

25 Sthawira.
72
7
Makna dari
Kesimpulan Ajaran

Di bagian awal ulasan, kita sudah melihat bahwa karya


ini terbagi menjadi 4 bagian besar: penjelasan judul karya,
penghormatan yang dihaturkan penerjemah karya, makna ajaran
berikut strukturnya, dan kesimpulan ajaran. Pada catatan kaki,
disebutkan bahwa teks ini diterjemahkan dan disusun oleh kepala
biara yang agung dari India, Dipamkara Srijnana. Penyunting
dan penerjemah yang agung dari teks ini adalah Tsultrim Gyalwa
(Nagtso Lotsawa). Teks ini disusun di Biara Tholing, yang terletak
di sebelah barat Tibet. Demikianlah penjelasan ringkas dari teks
Pelita Sang Jalan Menuju Pencerahan.

Teks ini merupakan penjelasan ringkas mengenai tahapan


jalan menuju pencerahan. Di dalam ulasan yang ditulis sendiri
oleh Guru Atisha, Beliau lebih lanjut mengatakan bahwa walaupun
jumlah kata yang tercantum di dalam karya ini hanya sedikit,
namun maknanya sungguh luas dan mendalam. Oleh sebab itu,
karya ini sulit untuk dipahami. Yang penting untuk diingat di sini
Bodhipathapradipa

adalah jangan sampai kita menganggap karya ini sebagai karya


yang kecil dan tidak berarti. Sebaliknya, ini adalah karya yang
besar dan agung karena mampu menjangkau kedalaman makna
terlepas dari jumlah katanya yang sedikit. Itulah sebabnya karya
ini sulit untuk dipahami sepenuhnya. Agar dapat benar-benar
memahaminya, penting bagi kita untuk bertumpu kepada seorang
guru, untuk melayani dan menyenangkan hati sang guru dengan
baik, serta menerima instruksi terkait karya ini yang diterima oleh
beliau dalam sebuah silsilah yang tak terputus.

Sebagai penutup, kita perlu mendedikasikan semua kebajikan


dari aktivitas menyimak ajaran demi kepentingan semua makhluk,
agar mereka semua bisa bertemu dengan ajaran Buddha dan
bisa melatih batin sesuai tahapan jalan menuju pencerahan, agar
mereka yang belum mencapai realisasi bisa mencapai realisasi
dan mereka yang sudah mencapainya bisa mengembangkan dan
memperkuat realisasinya. Secara khusus, kita berdoa agar semua
orang yang ada di dunia bisa mengakses ajaran Buddha. Dan
terutama, kita berdoa agar mentari ajaran Buddha bisa bersinar
kembali di Indonesia.

74
Lampiran :
Pelita Sang Jalan
Menuju Pencerahan

Hormat kepada Manjushri yang senantiasa muda!

Penghormatan

1. Kepada seluruh Penakluk dari ketiga kurun waktu, kepada


Dharma,
serta kepada Sangha, aku bersujud dengan rasa hormat
yang mendalam.
Terdorong oleh permohonan muridku yang baik, Jangchub
Ö,
aku akan menjelaskan Pelita Sang Jalan Menuju Pencerahan.

Ketiga jenis makhluk

2. Ketahuilah bahwa terdapat tiga golongan praktisi:


yang berkapasitas kecil, menengah, dan agung.
Untuk menunjukkan ciri-cirinya,
aku akan menjelaskannya satu-persatu.

3. Ia yang, dengan cara apa pun,


sekadar mencari kenikmatan dalam samsara
untuk dirinya sendiri
disebut sebagai makhluk berkapasitas kecil.

75
4. Ia yang, setelah berpaling dari kenikmatan samsara,
secara alamiah menolak ketidakbajikan
dan mencari pembebasan untuk dirinya sendiri
disebut sebagai makhluk berkapasitas menengah.

5. Ia yang, setelah memahami penderitaannya sendiri,


berkeinginan untuk sepenuhnya menghapuskan
penderitaan semua makhluk
disebut sebagai makhluk berkapasitas agung.

6. Bagi para makhluk agung ini,


yang tujuan akhirnya adalah pencerahan tertinggi,
aku akan menjelaskan metode sempurna
yang diajarkan oleh Guru-guru spiritual.

Membangkitkan bodhicita

7. Di hadapan lukisan, rupang, dan perwujudan lain


dari Buddha yang sempurna,
di hadapan stupa-stupa dan ajaran yang berharga,
persembahkanlah bunga, dupa, atau apa saja yang engkau
miliki.

8. Dengan persembahan tujuh bagian


yang dijelaskan dalam Aktivitas Sempurna Samantabhadra,
serta dengan kemantapan batin
yang hanya mengenal jalan pencerahan sempurna;

Berlindung

9. Dengan keyakinan mendalam pada Triratna,


sembari berlutut dengan satu tumpuan
dan menangkupkan kedua telapak tangan,
pertama-tama berlindunglah sebanyak tiga kali.
76
10. Selanjutnya, dengan pancaran cinta kasih terhadap semua
makhluk,
bayangkan mereka yang menderita
di ketiga alam rendah tanpa terkecuali –
mereka yang menderita akibat kelahiran, kematian, dan
sebagainya.

11. Kemudian, dengan keinginan untuk membebaskan mereka


dari penderitaan akibat penderitaan, penderitaan akibat
perubahan,
dan sebab-sebab penderitaan,
bangkitkanlah aspirasi bodhicita yang teguh.

12. Manfaat-manfaat membangkitkan


aspirasi yang demikian
dijelaskan secara lengkap oleh Maitreya
dalam Sutra Barisan Tangkai.

13. Setelah mempelajari manfaat tak terhingga


dari aspirasi sempurna ini
dengan membaca Sutra ini atau mendengar ajaran Guru,
bangkitkanlah aspirasi bodhicita berulang kali sampai ia
menjadi mantap.

14. Sutra yang Dimohon oleh Suradata26


menjelaskan kebaikan bodhicita secara lengkap.
Aku akan merangkum semuanya
dalam tiga bait berikut.

15. Bila kebaikan bodhicita


mengambil wujud fisik,
ia akan memenuhi seluruh ruang
dan bahkan melampauinya.

26 Suradataparipercha-sutra.
77
16. Bila seseorang ingin memenuhi
tanah-tanah Buddha dengan permata sebanyak
butiran pasir di Sungai Gangga
sebagai bentuk persembahan pada Pelindung Dunia,

17. Persembahan ini akan dilampaui oleh


tangkupan kedua telapak tangan
dan aspirasi bodhicita yang teguh,
karena yang demikian tak mengenal batas.

18. Setelah membangkitkan aspirasi bodhicita,


teruslah memantapkannya dengan upaya yang terancang.
Agar dapat terus mengingatnya di kehidupan saat ini
maupun mendatang,
jagalah sila sebagaimana telah diajarkan.

Ikrar

19. Tanpa ikrar untuk menerapkan bodhicita,


aspirasi yang sempurna takkan tumbuh.
Berupayalah untuk menjaga kemurnian ikrar ini
bila engkau ingin menumbuhkan aspirasi yang sempurna.

20. Hanya mereka yang sudah memegang salah satu


dari ketujuh jenis ikrar pratimoksha
yang memiliki kesiapan
untuk mengambil ikrar Bodhisatwa.

21. Dari ketujuh jenis ikrar pratimoksha


yang diajarkan oleh Tathagata,
yang terbaik adalah kehidupan selibat yang masyhur,
yang dikatakan sebagai ikrar seorang biksu.

22. Sesuai dengan tata cara yang dijelaskan


oleh Bab Sila dalam Tingkatan Bodhisatwa,

78
mohonlah ikrar dari seorang guru spiritual
yang memiliki kecakapan sempurna.

23. Ketahuilah bahwa seorang guru spiritual yang baik


adalah ia yang terampil dalam upacara pemberian ikrar,
terampil dalam menjaga ikrar,
serta memiliki kepercayaan diri dan welas asih untuk
menganugerahkannya.

24. Bila engkau telah berusaha mencari guru spiritual yang


demikian
namun gagal menemukannya,
aku akan menjelaskan tata cara lain
untuk mengambil ikrar dengan tepat.

25. Mengutip Sutra Ornamen Tanah Manjushri,


aku akan meringkas bagaimana Manjushri pada masa
lampau,
dalam kelahirannya sebagai Raja Amba,
membangkitkan aspirasi bodhicita.

26. “Di hadapan para Pelindung,


aku akan membangkitkan aspirasi bodhicita.
Aku akan menuntun semua makhluk menuju kebahagiaan
dan membebaskan mereka dari samsara.”

27. “Mulai saat ini


hingga aku mencapai pencerahan,
aku akan menghindari niat jahat, amarah,
kekikiran, dan iri hati.”

28. “Aku akan hidup selibat,


meninggalkan kejahatan dan hawa nafsu,
serta bersukacita dalam ikrar
untuk melatih diri dalam ajaran Buddha.”

79
29. “Aku takkan tergesa-gesa
mengejar pencerahan demi diri sendiri.
Namun, meski hanya demi satu makhluk,
aku akan tetap tinggal hingga akhir samsara.”

30. “Aku akan memurnikan


tanah-tanah yang di luar pemahaman dan batasan,
serta akan terus menetap di sepuluh penjuru
bagi mereka yang memanggil namaku.”

Disiplin untuk menjaga ikrar

31. “Aku akan memurnikan semua


aktivitas tubuh dan ucapanku,
berikut juga batinku,
serta akan menghindari ketidakbajikan apa pun.”

32. Bila para penjaga ikrar penerapan bodhicita


telah melatih ketiga jenis sila dengan baik,
rasa hormat dan ketertarikan pada sila-sila ini akan tumbuh,
dan tubuh, ucapan, serta batin mereka pun akan dimurnikan.

33. Oleh karenanya, dengan berupaya dalam ikrar ini,


yang dibuat oleh para Bodhisatwa demi pencerahan yang
murni dan penuh,
engkau akan sepenuhnya merampungkan
himpunan pencerahan sempurna.

34. Sebagaimana disabdakan oleh semua Buddha,


sebab perampungan himpunan
– yang berhakikat kebajikan dan kebijaksanaan unggul –
adalah pengembangan persepsi unggul.

35. Ibarat seekor burung tanpa sayap terbentang


yang tak dapat terbang menggapai langit,

80
mereka yang tak memiliki persepsi unggul
juga tak dapat menolong makhluk lain.

36. Kebajikan yang dihimpun dalam sehari


oleh pemilik persepsi unggul
takkan mampu diraih dalam ratusan kehidupan
oleh mereka yang tak memilikinya.

37. Siapapun yang ingin segera merampungkan penghimpunan


demi meraih pencerahan sempurna
akan meraih persepsi unggul dengan upaya,
bukan dengan bermalas-malasan.

38. Tanpa ketenangan batin,


persepsi unggul takkan tercapai.
Oleh karenanya, berupayalah terus-menerus
untuk meraih ketenangan batin.

Melatih ketenangan batin

39. Bila faktor-faktor penunjang ketenangan batin tak hadir,


konsentrasi meditatif takkan tercapai,
bahkan bila engkau bermeditasi dengan giat
selama ribuan tahun.

40. Dengan mempertahankan faktor-faktor penunjang


yang disebutkan dalam Bab Kumpulan Konsentrasi
Meditatif,
tempatkan batin secara terpusat
pada objek bajik mana pun.

41. Ketika ketenangan batin telah dicapai,


persepsi unggul juga akan diraih.
Namun, tanpa melatih penyempurnaan kebijaksanaan,
rentetan halangan takkan lenyap.

81
Melatih pandangan mendalam

42. Jadi, untuk melenyapkan semua halangan


bagi pembebasan dan kemahatahuan,
praktisi harus terus melatih penyempurnaan kebijaksanaan
dengan metode terampil.

43. Kebijaksanaan tanpa metode terampil


maupun metode terampil tanpa kebijaksanaan
sama-sama dirujuk sebagai belenggu.
Oleh karenanya, jangan mengabaikan keduanya.

44. Untuk melenyapkan keraguan


ihwal pengertian kebijaksanaan dan metode terampil,
aku akan menerangkan dengan jelas
perbedaan di antara keduanya.

45. Selain penyempurnaan kebijaksanaan,


semua praktik bajik lainnya
– seperti penyempurnaan kemurahan hati dan seterusnya –
dijelaskan oleh para Penakluk sebagai metode terampil.

46. Siapa pun yang melatih kebijaksanaan


melalui pemahaman atas metode terampil
akan segera mencapai pencerahan –
pencerahan takkan dicapai dengan hanya memeditasikan
ke-tanpaaku-an.

Merealisasikan kesunyataan melalui


penalaran

47. Pemahaman bahwa kumpulan, unsur, dan sumber


pada dasarnya tak memiliki

82
eksistensi yang berdiri sendiri
digambarkan sebagai kebijaksanaan.

48. Sesuatu yang eksis tidaklah berdiri sendiri,


demikian pula sesuatu yang tak eksis, misalnya teratai di
angkasa.
Keduanya keliru dan tak masuk akal,
sehingga mustahil untuk dinyatakan.

49. Sesuatu tak dihasilkan dari dirinya sendiri,


atau dari hal-ihwal lain, atau dari keduanya,
ataupun muncul tanpa sebab.
Oleh karenanya, ia tidaklah berdiri sendiri.

50. Lebih jauh, ketika semua fenomena diselidiki


ketunggalan atau kejamakannya,
mereka tak dilihat sebagai sesuatu yang muncul dengan
sendirinya,
sehingga mereka pun dinyatakan sebagai eksistensi yang tak
berdiri sendiri.

51. Penalaran dalam kitab 70 Stanza Kesunyataan,


Risalah Pokok Jalan Tengah, dan sebagainya
menjelaskan bahwa hakikat semua fenomena
adalah kesunyataan.

52. Karena terdapat begitu banyak penjelasan,


aku tak mengutip mereka semua di sini,
melainkan hanya menjelaskan kesimpulannya
untuk tujuan meditasi.

53. Meditasi ke-tanpaaku-an apa pun


yang tak menyimpulkan
kesejatian hakikat dari fenomena
adalah latihan kebijaksanaan.

83
54. Karena kebijaksanaan tak melihat
kesejatian hakikat dari fenomena,
meditasikanlah kebijaksanaan ini secara non-konseptual
setelah menganalisisnya dengan penalaran.

Hasil meditasi pandangan mendalam

55. Samsara ini, yang timbul dari konsepsi tentang eksistensi


yang berdiri sendiri,
pada hakikatnya adalah konsepsi itu sendiri.
Pelenyapan konsepsi yang demikian
adalah tingkatan nirwana yang tertinggi.

56. Sehubungan dengan hal ini, Sang Penakluk mengatakan


bahwa konsepsi yang membodohi kita ini
juga telah menjatuhkan kita ke dalam samudera samsara.
Di sisi lain, bila kita menetap dalam konsentrasi meditatif
yang non-konseptual,
non-konsepsi yang laksana angkasa akan mewujud dengan
jelas.

57. Dharani Pemahaman Kesunyataan mengatakan


bahwa ketika Bodhisatwa secara non-konseptual
merenungkan
ajaran berharga ini, mereka akan melampui konsepsi keliru
yang demikian sulit diatasi, dan akan meraih kondisi non-
konseptual.

58. Setelah memastikan melalui kitab dan penalaran


bahwa fenomena tak berhakikat sejati
ataupun berdiri sendiri,
bermeditasilah tanpa terjebak dalam konsepsi keliru.

59. Setelah memeditasikan kesunyataan dengan cara ini,


“panas” dan seterusnya akan dicapai, dan segera setelahnya,
84
“kegembiraan yang teramat sangat” dan seterusnya akan
dicapai,
dan tak lama kemudian, Kebuddhaan pun tercapai.

Jalan Wajrayana

60. Bila engkau ingin menciptakan


himpunan pencerahan dengan mudah
melalui aktivitas seperti penenangan, peningkatan, dan
seterusnya,
yang diraih melalui kekuatan Tantra,

61. Dan juga melalui kekuatan 8 siddhi


serta capaian agung seperti “jambangan keberuntungan”;
bila engkau ingin mempraktikkan mantra rahasia
seperti yang dijelaskan dalam Tantra Kriya dan Tantra
Charya.

62. Selanjutnya, agar bisa menerima inisiasi dari Guru Wajra,


engkau harus mampu menyenangkan hati beliau
melalui pelayanan, persembahan barang berharga, dan
sebagainya,
serta melalui kepatuhan.

63. Dengan menyenangkan hati Sang Guru,


engkau akan menerima Inisiasi Guru Wajra yang lengkap.
Semua kesalahanmu tak pelak akan dimurnikan,
dan engkau pun siap untuk meraih capaian-capaian tingkat
tinggi.

64. Karena Tantra Kalachakra Agung


telah melarangnya secara tegas,
inisiasi rahasia dan kebijaksanaan
tak boleh diambil oleh mereka yang hidup selibat.

85
65. Bila mereka yang hidup selibat
menerima inisiasi-inisiasi ini,
ikrar selibat mereka akan patah
karena melakukan apa yang dilarang.

66. Ini menciptakan pelanggaran, yang merupakan kekalahan


bagi mereka yang menjaga sila.
Karena buah dari pelanggaran ini adalah kelahiran di alam
rendah,
mereka pastinya takkan meraih capaian sekecil apa pun.

67. Namun, seseorang dapat memberi dan menerima semua


ajaran Tantra,
melakukan ritual puja api, membuat persembahan tertentu,
dan sebagainya
tanpa melakukan pelanggaran apa pun
bila ia telah menerima inisiasi Guru Wajra dan memahami
kesunyataan.

68. Aku, Sang Tetua Shri Dipamkara,


melalui penjelasan yang diperoleh dari Sutra dan ajaran
lainnya,
telah menyusun penjelasan singkat ini
atas permohonan Jangchub Ö.

86
Lampiran :
GARIS BESAR PELITA SANG
JALAN MENUJU PENCERAHAN

I. Pelita Sang Jalan Menuju Pencerahan


A. Makna pencerahan
1. Cara mencapai pencerahan
2. Urutan ketiga jenis sila Bodhisatwa
a) Menghindari kesalahan
b) Mengumpulkan kebajikan
c) Menolong makhluk lain
3. Tiga macam keunggulan Kebuddhaan
a) Pelenyapan ketidaksempurnaan, kesalahan, dan
halangan
b) Realisasi kualitas-kualitas bajik
c) Aktivitas
B. Makna Sang Jalan
C. Makna Pelita

II. Penghormatan oleh Penerjemah


A. Penghormatan kepada Bodhisatwa Manjushri
B. Aturan penerjemahan yang ditetapkan oleh Raja Dharma
Tibet
1. Abhidharmapitaka: menghaturkan penghormatan
kepada Manjushri

87
2. Sutrapitaka: menghaturkan penghormatan kepada
semua Buddha dan Bodhisatwa
3. Winayapitaka: menghaturkan penghormatan kepada
Buddha Shakyamuni

III. Makna Ajaran


A. Penjelasan karya dan situasi penulisan karya
B. Menghaturkan Penghormatan kepada Triratna
C. Kriteria seseorang boleh menuliskan penjelasan terhadap
ajaran Buddha
1. Menerima instruksi yang sama dari gurunya dalam silsilah
yang murni dan tak terputus
2. Menerima penglihatan langsung dari Buddha atau
Istadewata
3. Memperoleh atau memiliki pengetahuan yang cukup

IV. Pembagian praktisi menurut ajaran Mahayana


A. Tiga jenis praktisi
1. Kapasitas kecil: meraih kelahiran kembali yang baik
2. Kapasitas menengah: meraih pembebasan pribadi
3. Kapasitas agung: meraih pembebasan demi semua
makhluk
B. Kualitas utama Mahayana
1. Memeditasikan kebenaran Arya tentang penderitaan dan
bagaimana kita terdampar di dalam samsara
2. Memahami bahwa tubuh yang memiliki skandha
tercemar akan terus terlahir kembali di dalam samsara
dan mengalami penderitaan

88
3. Memunculkan penolakan terhadap samsara atau
keinginan terbebas dari samsara
4. Memunculkan cinta kasih dan welas asih kepada semua
makhluk

V. Bodhicita (batin pencerahan)


A. Bodhicita aspirasional berikut sila-silanya
1. Pendahuluan
a) Tujuan mengumpulkan kebajikan
b) Membangkitkan perlindungan
c) Melatih ketiga tingkatan batin: cinta kasih, welas
asih, bodhicita
2. Cara membangkitkan bodhicita aspirasional yang
sebenarnya
3. Setelah membangkitkannya, bagaimana melatih sila-
silanya
B. Bodhicita penerapan berikut sila-silanya
1. Niat untuk mencapai pencerahan sempurna demi
kesejahteraan semua makhluk
2. Sila-silanya adalah sila-sila seorang Bodhisatwa atau
ikrar Bodhisatwa
3. Cara mengambil ikrar-ikrar bodhicita penerapan:
a) Dasar mengambil ikrar
b) Objek ikrar atau dari siapa seseorang mengambil
ikrar
c) Ritual sebenarnya
i) Dengan kehadiran guru spiritual
ii) Tanpa kehadiran guru spiritual

89
VI. Melatih sila-sila bodhisatwa
A. Yang berhubungan dengan praktik sila (disiplin etis)
B. Yang berhubungan dengan praktik Samadhi (konsentrasi)
1. Shamatha (ketenangan batin)
2. Wipashyana (pandangan mendalam)
C. Yang berhubungan dengan praktik prajna (kebijaksanaan)

VII. Kesimpulan

90
Daftar Pustaka

Sumber Sanskerta:
Abhidharma-kosa (Risalah Abhidharma). Oleh Wasubandhu.
Sumber lain tak diketahui.

Abhidharma-samuccaya (Ikhtisar Abhidharma). Oleh Asanga.


Sumber lain tak diketahui.

Abhisamaya-lankara (Ornamen Realisasi Jernih). Oleh Maitreya.


Sumber lain tak diketahui.

Arya Samantabhadra-pranidhana-raja (Aktivitas Sempurna


Samantabhadra). Sumber lain tak diketahui.

Bodhisatwa-caryawattara (Lakon Hidup Sang Penerang). Oleh


Shantidewa. Sumber lain tak diketahui.

Bodhi-patha-pradipa (Pelita Sang Jalan Menuju Pencerahan).


Oleh Atisha. Sumber lain tak diketahui.

Bodhi-satwa-bhumi (Tingkatan Bodhisatwa). Oleh Asanga.


Sumber lain tak diketahui.

Catuhsataka-shastra-nama-karika (400 Stanza). Oleh Aryadewa.


Sumber lain tak diketahui.

Catuhsataka-tika (Komentar atas 400 Stanza). Oleh Chandrakirti.


Sumber lain tak diketahui.

Ganda-wyuha-sutra (Sutra Barisan Tangkai). Sumber lain tak


diketahui.

91
Madhyamaka-watara (Pengantar Menuju Jalan Tengah). Oleh
Chandrakirti. Sumber lain tak diketahui.

Manjushri-buddha-ksetralamkara-Sutra (Sutra Ornamen Tanah


Manjushri). Sumber lain tak diketahui.

Mulamadhyamaka-karika (Risalah Pokok Jalan Tengah). Sumber


lain tak diketahui.

Nirwikalpa-awatara-dharani (Dharani Pemahaman Kesunyataan).


Sumber lain tak diketahui.

Paramadibuddho-ddhrta-srikalachakra-namatantra-raja (Tantra
Kalachakra Agung). Sumber lain tak diketahui.

Prajna-paramita-sutra (Sutra Penyempurnaan Kebijaksanaan).


Sumber lain tak diketahui.

Samadhi-warga (Kumpulan Konsentrasi Meditatif). Sumber lain


tak diketahui.

Shiksha-samuccaya (Ikhtisar Latihan). Oleh Shantidewa. Sumber


lain tak diketahui.

Shunyata-saptati-widya (70 Stanza Kesunyataan). Sumber lain


tak diketahui.

Tarka-jwala (Api Nalar). Oleh Bhawawiweka. Sumber lain tak


diketahui.

Sumber Terjemahan Indonesia:


Je Tsongkhapa. 2011. Risalah Agung Tahapan Jalan Menuju
Pencerahan. Bandung: Penerbit Kadam Choeling.

Pabongkha Rinpoche. 2016. Pembebasan di Tangan Kita.


Bandung: Penerbit Kadam Choeling.

92
Glosarium

Abhidharma: secara harfiah bermakna “ajaran yang


lebih tinggi”. Merupakan kumpulan teks Buddhis yang berisi
pengerjaan dan penafsiran ulang atas ajaran-ajaran yang
terkandung di dalam Sutra.

Arupaloka: alam dewa-dewa yang tidak memiliki bentuk


tubuh fisik dan hanya tersusun atas batin.

Arya: secara harfiah bermakna “Yang Mulia”. Merujuk pada


seseorang yang telah memasuki jalan spiritual dan membaktikan
diri di dalamnya dengan tekun.

Berlindung: dalam Buddhisme, istilah ini dikenal dengan


nama “Trisarana”. Merujuk pada upaya mencari perlindungan
kepada Triratna dalam rangka menghindari penderitaan dan
menemukan kebahagiaan sejati.

Bodhicita: secara harfiah bermakna “batin pencerahan”.


Merujuk pada kondisi batin yang secara tulus mendambakan
kebahagiaan sejati bagi semua makhluk.

Bodhisatwa: secara harfiah bermakna “makhluk pencerahan”.


Merujuk pada seseorang yang, setelah dimotivasi oleh bodhicita,
terdorong untuk mencapai Kebuddhaan demi kepentingan semua
makhluk.

Buddhisme: keseluruhan sistem ajaran atau filsafat yang


diajarkan oleh Buddha Shakyamuni, sosok historis dari India
yang telah berhasil mencapai pencerahan dan kemahatahuan,
serta memutus rantai keberadaannya di dalam samsara. Tujuan

93
tertinggi yang ingin diraih oleh sistem filsafat ini tentu saja adalah
Kebuddhaan, sebuah keadaan di mana seseorang memiliki semua
kualitas yang dimiliki oleh seorang Buddha.

Dharma: secara harfiah bermakna “ajaran”. Dalam konteks


ini, ajaran yang dimaksud adalah ajaran yang asli berasal dari
perkataan Sang Buddha.

Istadewata: sosok pelindung yang tercerahkan dalam tradisi


Tantra, yang hadir untuk membantu para praktisi menapaki jalan
Tantra dengan mulus.

Jalan karma hitam: atau 10 ketidakbajikan. Terdiri dari:


membunuh, mencuri, tindakan seksual tak pantas, berbohong,
ucapan kasar, ucapan memecah-belah, omong-kosong, niat
buruk, keserakahan, dan pandangan salah.

Karma: secara sederhana bermakna “tindakan”. Dengan


demikian, hukum karma merujuk pada suatu hukum yang
mengatur tindakan, atau lebih tepatnya, hukum yang mengatur
bagaimana terjadinya dan berbuahnya sebuah tindakan.

Kebenaran Arya: kebenaran tentang hakikat penderitaan,


asal-mulanya, pelenyapannya, dan jalan menuju pelenyapannya.

Kesunyataan: pemahaman bahwa tidak ada satu hal pun di


dunia ini yang berdiri sendiri atau eksis secara inheren dari dalam
dirinya sendiri; dengan kata lain, paham ini adalah sebuah konsep
tentang kesalingtergantungan antara semua hal-ihwal di dunia ini.

Klesha: secara harfiah bermakna “racun mental”. Merujuk


pada kondisi-kondisi mental yang kemunculannya akan
menyebabkan kita menjadi tidak bahagia dan menderita. Misalnya:
amarah, iri hati, kesombongan, kemelekatan, dst.

Lamrim: secara harfiah bermakna “jalan bertahap menuju


pencerahan”. Merujuk pada kumpulan kitab yang menjelaskan

94
dan mengajarkan tata cara untuk mencapai Kebuddhaan secara
lengkap dan sistematis, sesuai dengan kapasitas setiap individu
yang mempelajarinya.

Mahayana: secara harfiah bermakna “kendaraan besar”.


Sama halnya dengan kasus Hinayana, kata “besar”di sini tidak
merujuk pada semacam tingkatan atau hierarki, melainkan pada
kapasitas batin yang dimiliki oleh seorang praktisi, atau lebih
tepatnya, pada fakta bahwa seorang praktisi menapaki jalan
spiritual dengan tujuan untuk membantu semua makhluk terbebas
dari samsara.

Nirwana: sebuah kondisi di mana seseorang telah sepenuhnya


terbebas dari keharusan untuk terlahir kembali secara berulang-
ulang di dalam samsara.

Paramita: secara harfiah bermakna “penyempurnaan/


kesempurnaan”. Di sini, ada 6 hal yang hendak disempurnakan,
yaitu: dana (kemurahan hati), sila (disiplin moral), kshanti
(kesabaran), wirya (upaya bersemangat), samadhi (konsentrasi),
prajna (kebijaksanaan).

Praktik Pendahuluan: 1] membersihkan ruangan meditasi dan


menyusun objek-objek yang mewakili tubuh, ucapan, dan batin
Buddha; 2] menyusun persembahan dengan indah dan murni; 3]
duduk di atas tempat duduk yang nyaman sambil mempertahankan
tujuh sikap tubuh Wairocana, lalu dengan batin yang bajik,
mengambil perlindungan dan membangkitkan bodhicita; 4]
memvisualisasikan ladang kebajikan; 5] melakukan Doa 7 Bagian
yang mencakup unsur-unsur utama untuk menghimpun kebajikan
dan memurnikan seseorang dari penghalang-penghalang, kemudian
mempersembahkan mandala; 6] mengajukan permohonan yang
tulus kepada para Buddha dan guru silsilah.

Pratimoksha: ikrar atau seperangkat aturan yang memandu


individu menuju pembebasan pribadi dari samsara.
95
Pratyekabuddha: secara harfiah bermakna “Buddha yang
sendiri”. Merujuk pada seseorang yang mampu mencapai
pembebasan dengan upaya sendiri tanpa bantuan guru. Ini
utamanya merujuk pada fakta bahwa seseorang mampu mencapai
pembebasan bahkan di masa ketika Buddha dan ajarannya tidak
atau belum muncul di dunia ini.

Rinpoche: secara harfiah bermakna “Yang Berharga”.


Digunakan untuk merujuk pada sosok guru yang dimuliakan
dalam tradisi Buddhisme Tibet.

Rupaloka: alam dewa-dewa yang masih memiliki bentuk


tubuh fisik tertentu.

Samsara: lingkaran keberadaan yang tak mempunyai awal


ataupun akhir. Setiap makhluk yang belum terbebas dari lingkaran
ini harus mengalami siklus kelahiran dan kematian tanpa henti.
Terdiri dari: manusia, binatang, setan kelaparan, neraka, asura,
dan dewa.

Sangha: secara harfiah bermakna “majelis” atau “komunitas”.


Dalam Buddhisme, istilah ini secara umum merujuk pada komunitas
kebiaraan yang terdiri dari para biksu atau biksuni, atau dengan kata
lain, kumpulan orang-orang yang menjaga ikrar-ikrar kebiaraan.

Shamatha: kondisi ketenangan atau kedamaian batin,


di mana batin menjadi mantap dan terpusat sepenuhnya pada
sebuah objek meditasi.

Shrawaka: secara harfiah bermakna “pendengar”. Di


masa Buddha Shakyamuni masih hidup, istilah ini digunakan
untuk merujuk pada murid-murid yang meraih realisasi setelah
mendengar ajaran dari beliau.

Skandha: secara harfiah bermakna “agregat” atau


“kumpulan“. Merujuk pada 5 aspek yang menyusun keberadaan

96
diri kita: bentuk, sensasi/perasaan, persepsi/identifikasi, faktor-
faktor pembentuk, dan kesadaran/diskriminasi.

Sutra: secara harfiah bermakna “wacana” atau “benang”.


Meskipun pada awalnya hadir dalam bentuk lisan, di kemudian
hari Sutra merujuk pada kumpulan kitab yang menjadi landasan
bagi tradisi-tradisi keagamaan di India.

Tantra: secara harfiah bermakna “tenunan”. Merujuk


pada tradisi esoterik dalam Hinduisme dan Buddhisme yang
memungkinkan tercapainya pencerahan dalam waktu singkat.

Tathagata: secara harfiah bermakna “Ia yang Telah


Melampaui Fenomena Fana”. Merupakan sebutan bagi sosok
Buddha.

Triratna: secara harfiah bermakna “tiga permata”. Merujuk


pada Buddha, Dharma, dan Sangha.

Wipashyana: kondisi batin yang memandang segala


fenomena secara mendalam dan analitik dalam rangka meraih
kebijaksanaan yang memahami ke-tanpaaku-an.

Yana: secara harfiah bermakna “kendaraan”. Merujuk pada


jalan atau metode yang diusung oleh sebuah sistem filsafat untuk
mencapai tujuannya secara sistematis. Misalnya: Sutrayana,
Tantrayana, Mahayana, dst.

97
Menghormati Buku Dharma

Buddhadharma adalah sumber sejati bagi kebahagiaan


semua makhluk. Buku ini menunjukkan kepada kita bagaimana
mempraktikkan ajaran dan memadukan mereka ke dalam hidup
kita, sehingga kita menemukan kebahagiaan yang kita idamkan.
Oleh karena itu, apapun benda yang berisi ajaran Dharma, nama
dari guru kita atau wujud-wujud suci adalah jauh lebih berharga
daripada benda materi apapun dan harus diperlakukan dengan
hormat. Agar terhindar dari karma tak bertemu dengan Dharma
lagi di kehidupan yang akan datang, mohon jangan letakkan
buku-buku (atau benda-benda suci lainnya) di atas lantai atau
di bawah benda lain, melangkahi atau duduk di atasnya, atau
menggunakannya untuk tujuan duniawi seperti untuk menopang
meja yang goyah. Mereka seharusnya disimpan di tempat yang
bersih, tinggi dan terhindar dari tulisan-tulisan duniawi, serta
dibungkus dengan kain ketika sedang dibawa keluar. Ini hanyalah
beberapa pertimbangan.

Jika kita terpaksa membersihkan materi-materi Dharma,


maka mereka tidak seharusnya dibuang begitu saja ke tong
sampah, namun sebaiknya dibakar dengan perlakuan khusus.
Singkatnya, jangan membakar materi-materi tersebut bersamaan
dengan sampah-sampah lain, namun sebaiknya terpisah
sendiri, dan ketika mereka terbakar, lafalkanlah mantra OM AH
HUM. Ketika asapnya membubung naik, bayangkan bahwa ia
memenuhi seluruh angkasa, membawa intisari Dharma kepada
seluruh makhluk di 6 alam samsara, memurnikan batin mereka,
mengurangi penderitaan mereka, serta membawa seluruh
kebahagiaan bagi mereka, termasuk juga pencerahan. Beberapa

98
orang mungkin merasa bahwa praktik ini sedikit kurang biasa,
namun tata cara ini dijelaskan menurut tradisi. Terima kasih.

99
Dedikasi

Semoga kebajikan terhimpun dengan mempersiapkan,


membaca, merenungkan dan membagikan buku ini kepada pihak
lain, semoga semua Guru Dharma berumur panjang dan sehat
selalu, semoga Dharma menyebar ke seluruh cakupan angkasa
yang tak terbatas, dan semoga semua makhluk segera mencapai
Kebuddhaan.

Di alam, negara, wilayah atau tempat mana pun buku


ini berada, semoga tiada peperangan, kekeringan, kelaparan,
penyakit, luka cedera, ketidakharmonisan atau ketidakbahagiaan,
semoga hanya terdapat kemakmuran besar, semoga segala sesuatu
yang dibutuhkan dapat diperoleh dengan mudah, dan semoga
semuanya dibimbing hanya oleh Guru Dharma yang terampil,
menikmati kebahagiaan dalam Dharma, memiliki cinta kasih dan
welas asih terhadap semua makhluk, semata memberi manfaat
pada sesama, serta tak pernah menyakiti satu sama lain.

100
Tentang Penerbit

TERIMA KASIH TELAH MEMBACA BUKU TERBITAN


PENERBIT PADI EMAS. APAKAH KAMI BOLEH MEMINTA
BANTUAN ANDA?

Penerbit Padi Emas adalah sebuah organisasi non-profit. Misi


kami adalah untuk berbagi kebijaksanaan dari ajaran Buddha
seluas mungkin, terutama yang dibabarkan oleh Yang Mulia Dagpo
Rinpoche. Melalui buku-buku yang kami terbitkan, terselip upaya
untuk menginspirasi, menghibur, mendukung, dan mencerahkan
pembaca di seluruh Indonesia.

Kami memiliki sebuah mimpi, membuat seluruh buku terbitan


Penerbit Padi Emas tersebar seluas-luasnya sehingga dapat
menginspirasi banyak orang, baik pemula yang penasaran, hingga
praktisi yang telah berkomitmen. Apakah Anda setuju dengan
mimpi kami ini? Karena tentu saja kami tidak dapat mewujudkan
mimpi ini tanpa bantuan Anda.

Buku Dharma ini dapat Anda UNDANG kehadirannya di


hidup Anda tanpa biaya berkat kebajikan berdana para dermawan.
Mari turut bermudita dan mendoakan para dermawan yang telah
memungkinkan ini terjadi.

Apabila Anda berminat pula untuk terlibat dalam kebajikan


seperti ini, silakan bergabung sebagai Dharma Patron Lamrimnesia
dan berdana ke:

BCA 0079 388 388 a.n. Yayasan Pelestarian dan


Pengembangan Lamrim Nusantara

MANDIRI 119 009 388 388 0 a.n. Yayasan Pelestarian dan


Pengembangan Lamrim Nusantara
101
Kemudian mohon konfirmasikan dana Anda dengan
menghubungi Call Center Lamrimnesia.

Dengan menjadi Dharma Patron, Anda secara langsung


terlibat dalam (1) penerbitan dan penyaluran buku Dharma,
(2) penyelenggaraan kegiatan Dharma, (3) pendanaan biaya
operasional dan mobilisasi Dharma Patriot dalam rangka
mendukung aktivitas (1) dan (2) di atas.

Untuk mengetahui lebih lanjut serta memesan buku terbitan


Penerbit Padi Emas, silakan hubungi kontak di bawah ini:

Care: +6285 2112 2014 1

Info: +6285 2112 2014 2

Fb: Lamrimnesia & LamrimnesiaStore

Ig: @Lamrimnesia & @Lamrimnesiastore

Tiktok: @Lamrimnesia_

E-mail: info@lamrimnesia.org

Website: www.lamrimnesia.org; www.store.lamrimnesia.com

102
103

Anda mungkin juga menyukai