Anda di halaman 1dari 8

LAṄKĀVATĀRA SŪTRA

Bab VIII
Tentang Larangan Makan Daging

P ada saat itu Mahāmati Bodhisattva Mahāsattva bertanya kepada Sang Bhagavan dalam
gāthā, dan kembali membuat permohonan sbb.: “Ya Bhagavan, berkenanlah kiranya
Tathāgata, sang Arhat, Yang Telah Mencapai Pencerahan Sempurna memberitahuku tentang
kebaikan dan keburukan dari memakan daging sehingga aku dan Bodhisattva Mahāsattva
lain di masa kini dan masa mendatang dapat mengajarkan Dharma kepada semua makhluk,
untuk menyingkirkan kerakusan mereka akan daging; sebab mereka — karena pengaruh
energi-kebiasaan tatkala [terlahir] sebagai pemakan daging — amatlah berminat akan
daging. Dengan melepas keinginannya pada rasa [daging], mereka akan sebaliknya mencari
Dharma sebagai makanan dan kenikmatan, memandang semua makhluk dengan cinta
seperti kepada anak tunggalnya sendiri, dan memancarkan kasih sayang kepada semua
makhluk. Dengan memancarkan [kasih sayang], mereka akan melatih diri mereka sendiri
dalam tingkatan Kebodhisattvaan dan selekasnya merealisasi Pencerahan Tertinggi; atau
mereka akan berdiam sementara dalam tingkatan Śrāvaka atau Pratyekabuddha, dan pada
akhirnya akan mencapai tingkatan Tathāgata yang tertinggi.

“Bhagavan, bahkan para filsuf yang berpegang pada doktrin sesat dan melekat pada
pandangan Lokāyata seperti: dualisme antara makhluk dan bukan-makhluk, nihilisme, dan
eternalisme, melarang makan daging dan menghindarkan diri mereka sendiri dari memakan
daging. Apalagi Ia, oh Lokanātha, yang mengembangkan rasa cinta kasih dan Telah
Sempurna Tercerahkan — apalah alasannya Ia (Tathāgata), di dalam Ajaran-Nya,
membolehkan diri-Nya sendiri dan orang lain memakan daging? Maka biarlah kiranya
Bhagavan, yang hati-Nya dipenuhi belas kasih kepada seisi dunia, yang menganggap semua
mahkluk sebagai anak-Nya yang tunggal, dan yang memiliki kasih sayang agung dan
perasaan simpati, mengajari kami kebaikan dan keburukan dari makan daging sehingga aku
dan Bodhisattva Mahāsattva lainnya dapat mengajarkan Dharma.”

Kata Sang Bhagavan: “Dengarkanlah, Mahāmati, dan renungkanlah olehmu baik-baik


sebab Aku akan memberitahumu.”

“Baiklah, Bhagavan,” jawab Mahāmati Bodhisattva Mahāsattva, dan didengarkannya


sabda sang Bhagavan.

Bhagavan bersabda demikian kepadanya: “Untuk berbagai alasan, Mahāmati, seorang


Bodhisattva, yang hakikatnya adalah cinta kasih, dilarang makan daging. Aku akan
menjelaskannya: Mahāmati, sepanjang alur kelahiran dan kematian ini, tiada satu makhluk
pun, dalam bentuk apa pun, yang belum pernah menjadi ibumu, ayahmu, saudara laki-
lakimu, saudara perempuanmu, putramu, putrimu, atau salah satu dengan hubungan
kekerabatan lainnya denganmu; dan tatkala mereka memperoleh bentuk kehidupan lain,
mereka hidup sebagai binatang buas, hewan ternak, unggas, atau makhluk yang terlahir
melalui rahim, atau sebagai seseorang yang berkerabat denganmu; [karena hal ini]
bagaimana mungkin seorang Bodhisattva Mahāsattva, yang menganggap semua makhluk
sebagai dirinya sendiri dan berkeinginan mempraktekkan Kebenaran Buddha, memakan
daging semua makhluk — yang hakikatnya sama dengan dirinya sendiri? Bahkan, Mahāmati,
seorang rākṣasa, setelah mendengarkan khotbah Tathāgata tentang esensi tertinggi
Dharma, bertekad untuk melindungi [Buddhisme] dan menghindari makan daging karena
merasa berbelas kasih; apalagi mereka yang mencintai Dharma! Oleh sebab itu, Mahāmati,
terhadap tingkat evolusi makhluk hidup mana pun, marilah kita memancarkan perasaan
bersahabat; dan, dengan menganggap semua makhluk sebagai anak tunggal [yang kita
cintai], hindarilah makan daging. Jadi, bagi para Bodhisattva, yang hakikatnya adalah cinta
kasih, daging hendaknya dihindari. Bahkan dalam kasus-kasus khusus, adalah tidak
[berbelas kasih] apabila seorang Bodhisattva yang telah mapan memakan daging. Daging
seekor anjing, keledai, kerbau, kuda, banteng, atau manusia, atau yang lainnya — yakni
yang tidak umum dimakan orang — dijual di pinggir jalan, Mahāmati, demi uang; dan
karenanya, Mahāmati, Bodhisattva seharusnya tidak memakan daging.

“Demi kecintaannya akan kemurnian, Mahāmati, seorang Bodhisattva harus


menghindari memakan daging, yang berasal dari air mani, darah, dsb. Karena takut
mengakibatkan teror bagi makhluk hidup, Mahāmati, hendaknya Bodhisattva yang sedang
melatih diri untuk memperoleh kasih sayang, menghindari makan daging. Sebagai contoh,
Mahāmati: Ketika seekor anjing melihat, bahkan dari kejauhan, seorang pemburu, seorang
pariah, seorang nelayan, dsb. — yang keinginannya adalah makan daging — ia akan
ketakutan dan berpikir: ‘Mereka adalah pembawa kematian, mereka akan membunuhku.’
Dengan cara yang sama, Mahāmati, bahkan binatang-binatang kecil yang tinggal di udara,
di tanah, dan di air, tatkala melihat pemakan daging dari kejauhan, akan mengenali, dengan
indra penciumannya yang tajam, bau rākṣasa dalam tubuh para pemakan daging tersebut,
dan akan lari sejauh mungkin dari orang-orang itu; sebab bagi mereka, orang-orang itu
adalah ancaman kematian. Untuk alasan inilah, Mahāmati, Bodhisattva yang sedang melatih
dirinya sendiri hendaknya berdiam dalam kasih sayang agung. Karena dapat menakuti
makhluk lain, makan daging hendaknya dihindari. Mahāmati, daging, yang disukai oleh
mereka yang tidak bijaksana, dipenuhi bau busuk; memakannya akan menyebabkan
reputasi buruk bagi seseorang, yang mengakibatkan ia dijauhi oleh para bijak — maka
hendaknya Bodhisattva menghindari makan daging. Makanan para bijak, wahai Mahāmati,
adalah apa yang dimakan oleh para ṛṣi: yaitu tidak mengandung daging dan darah.
Karenanya, Mahāmati, hendaknya Bodhisattva menghindari makan daging.

“Untuk menjaga pikiran semua orang, Mahāmati, hendaknya Bodhisattva, yang


hakikatnya suci dan tidak menginginkan Ajaran Buddha dicela, menghindari makan daging.
Sebagai contoh, Mahāmati, ada beberapa orang di dunia yang menjelek-jelekkan Ajaran
Buddha: ‘Mengapa mereka yang hidup sebagai Śramaṇa atau Brāhmaṇa menolak makanan
yang telah dinikmati oleh para ṛṣi di masa lampau, dan [berperilaku] seperti binatang
karnivora yang hidup di udara, di tanah, dan di air? Mengapa mereka berkeliaran menakuti
makhluk hidup di seluruh dunia, merendahkan kehidupan seorang Śramaṇa dan
menghancurkan sumpah seorang Brāhmaṇa? Tiada Dharma ataupun latihan dalam diri
mereka.’ Banyak orang dengan pikiran menyimpang demikian yang menjelekkan Ajaran
Buddha. Untuk alasan inilah, Mahāmati, untuk menjaga pikiran semua orang, hendaknya
Bodhisattva, yang hakikatnya penuh belas kasih dan tidak menginginkan Ajaran Buddha
dicela, menghindari makan daging.

“Mahāmati, umumnya keluar bau menyengat yang tak wajar dari sebuah mayat; oleh
karena itu, hendaknya Bodhisattva menghindari makan daging. Mahāmati, ketika daging
dibakar, baik daging orang mati atau makhluk mati lainnya, tiada perbedaan dalam baunya.
Saat daging dari jenis apa pun dibakar, bau yang dikeluarkannya akan sama-sama
berbahaya. Karenanya, Mahāmati, hendaknya Bodhisattva, yang selalu menginginkan
kemurnian dalam latihannya, sepenuhnya menghindari makan daging.

“Mahāmati, ketika putra dan putri berbudi dari keluarga baik-baik ingin membina diri
dalam berbagai latihan, seperti memperoleh hati penuh kasih sayang, mempertahankan
dhāraṇī, atau menyempurnakan kemampuan magis; atau mulai melangkah dalam
Mahāyāna; atau hendak berdiam di pekuburan, di padang belantara, atau di hutan yang
menjadi tempat berkumpul atau sering didatangi hantu-hantu; atau sewaktu mereka
berusaha duduk (bermeditasi) di tempat latihan; mereka akan terhalang dari memperoleh
kekuatan magis atau memperoleh Pembebasan [karena pengaruh makan daging].
Mahāmati, karena melihat timbulnya halangan-halangan menuju penyempurnaan segala
praktek, maka hendaknya Bodhisattva, yang ingin membawa kebaikan bagi dirinya sendiri
maupun makhluk lain, sepenuhnya menghindari makan daging.

“Bahkan hanya dengan melihat objek-objek (daging), keinginan untuk mencicipi rasa
nikmatnya dapat terbangkitkan; maka hendaknya Bodhisattva, yang hakikatnya adalah
belas kasih dan menganggap semua makhluk sebagai anak tunggalnya, sepenuhnya
menghindari makan daging. Sadar bahwa mulutnya akan berbau sangat menjijikkan, bahkan
saat ia masih hidup, hendaknya Bodhisattva, yang hakikatnya adalah belas kasih,
sepenuhnya menghindari makan daging.

“[Pemakan daging] takkan tidur dengan nyenyak dan, ketika terbangun, ia akan
merasa tertekan. Ia akan bermimpi buruk, yang menyebabkan bulu kuduknya berdiri. Ia
akan terasing seorang diri di gubuk yang kosong; ia akan hidup sendirian; sukmanya akan
ditangkap oleh makhluk bukan-manusia. Kerap kali ia terteror, ia gemetar tanpa tahu
sebabnya. Makannya takkan teratur, ia takkan pernah merasa puas. Dalam hal makan, ia
tidak akan tahu tentang tepatnya rasa, pencernaan, dan gizi. Jeroannya akan dipenuhi
cacing dan makhluk-makhluk kotor lain; dan akan menyebabkannya sakit kusta. Ia takkan
pula memiliki pikiran jijik pada segala penyakitnya. Apabila Aku mengajari siswa-siswa-Ku
untuk menganggap makanan sebagai daging anak sendiri atau sebagai obat, bagaimana
mungkin Aku mengizinkan mereka, wahai Mahāmati, untuk memakan makanan yang
mengandung daging dan darah — yang memuaskan mereka yang tidak bijaksana, namun
menjijikkan bagi para bijak; yang membawa aneka kejahatan dan menjauhkan berbagai
kebajikan; yang tidak pernah dipersembahkan bagi para ṛṣi dan memang tidak sesuai?

“Sekarang, Mahāmati, makanan yang Kuizinkan [untuk disantap siswa-siswa-Ku] yang


memuaskan mereka yang bijaksana, namun dihindari oleh mereka yang tidak bijaksana;
yang memunculkan berbagai kebajikan dan menjauhkan berbagai kejahatan; dan telah
diresepkan oleh para ṛṣi di masa lampau, terdiri atas: nasi, gandum, tepung, kacang merah,
kacang-kacangan, polong-polongan dsb., mentega murni, minyak, madu, melase, gula tetes,
tebu, hablur gula, dsb.; makanan yang disiapkan dengan bahan-bahan ini adalah makanan
yang tepat. Mahāmati, akan ada banyak orang yang tidak bijak di masa mendatang, yang
akan membeda-bedakan dan menciptakan aturan-aturan latihan moral yang baru, dan —
karena pengaruh energi-kebiasaan sebagai makhluk karnivora — akan menginginkan rasa
[daging] dengan rakusnya. Bukan untuk orang-orang inilah makanan di atas diresepkan.
Mahāmati, ini adalah makanan yang Kuanjurkan bagi para Bodhisattva Mahāsattva yang
telah memberikan persembahan kepada para Buddha di masa lampau; yang telah
menanam akar-akar kebajikan; yang memiliki keyakinan; yang menghindari diskriminasi;
yang merupakan pria dan wanita keturunan Śākya, yang merupakan putra dan putri berbudi
dari keluarga baik-baik; yang tidak melekat kepada tubuh, nyawa, dan hartanya; yang tidak
menginginkan kenikmatan; tidak serakah; dengan penuh kasih sayang berkeinginan
menjadikan semua makhluk sebagai anak tunggalnya dengan penuh perhatian.

“Jauh di masa lampau, Mahāmati, hiduplah seorang raja yang bernama Siṃhasaudāsa.
Kesukaannya yang berlebihan pada daging, kerakusannya akan hidangan dari daging, telah
membangkitkan seleranya yang amat mendalam kepada daging sehingga ia [bahkan]
memakan daging manusia. Sebagai akibatnya, ia diasingkan dari masyarakat oleh teman-
teman, penasihat, sanak keluarga, handai taulan, penduduk sekota dan senegerinya.
Akibatnya pula, ia harus meninggalkan takhta dan wilayah kekuasaannya, dan mengalami
penderitaan besar karena nafsunya akan daging.

“Mahāmati, bahkan Indra, yang memperoleh kekuasaan atas para dewa, pernah sekali
berubah menyerupai elang karena energi-kebiasaannya memakan daging di kelahiran
sebelumnya. Ia kemudian mengejar Viśvakarma, yang mengambil rupa seekor burung dara,
dan sengaja menjadikan diri sebagai korban. Karena merasa kasihan kepada [sang burung
dara] yang tak bersalah, Raja Śivi terpaksa harus menderita [dengan memberikan
dagingnya sebagai ganti]. Bahkan seorang dewa yang telah menjadi Indra yang perkasa —
setelah melalui banyak kelahiran — masih dapat, Mahāmati, membawa kecelakaan bagi
dirinya sendiri dan makhluk lain; apalagi mereka yang bukan Indra!

“Mahāmati, ada lagi raja yang dilarikan kudanya ke hutan. Setelah mengembara di
dalam hutan, ia melakukan perbuatan dursila dengan seekor singa betina karena takut
nyawanya terancam, sehingga singa itu melahirkan anak-anak baginya. Karena dilahirkan
dari persatuan dengan singa betina, anak-anak tersebut dipanggil si Kaki Belang, dsb.
Karena energi-kebiasaan jahatnya dari masa lampau — tatkala menjadi pemakan daging —
anak-anak tersebut memakan daging, bahkan [sesudah menjadi] raja. Dalam kelahiran ini,
Mahāmati, mereka tinggal di desa bernama Kuṭīraka (‘tujuh gubuk’), dan, karena melekat
secara berlebihan pada makan daging, mereka melahirkan Ḍākā dan Ḍākinī yang
merupakan pemakan daging manusia yang mengerikan. Melalui aneka kelahiran, Mahāmati,
orang-orang seperti ini akan jatuh ke dalam rahim makhluk-makhluk pemakan daging
seperti singa, harimau, macan kumbang, serigala, dubuk, kucing hutan, anjing hutan,
burung hantu, dsb.; mereka akan jatuh ke dalam rahim rākṣasa mengerikan yang masih
gemar memangsa daging. Terjatuh dalam kelahiran demikian, amat sulit bagi mereka untuk
memperoleh kelahiran kembali melalui rahim manusia — apalagi untuk mencapai Nirvāṇa!

“Demikianlah, Mahāmati, keburukan-keburukan daripada makan daging; betapa


banyak lagi sifat-sifat [jahat] dari mereka yang berpikiran menyimpang yang gemar [makan
daging]. Mereka yang tidak memakan daging akan memperoleh kebajikan yang sangat
besar. Mahāmati, mereka yang bodoh dan berpikiran sempit tidak sadar akan semua ini, dan
akan semua kejahatan dan kebaikan [sehubungan dengan makan daging]. Aku
meberitahumu, Mahāmati, dengan melihat kejahatan dan kebaikan ini, seorang Bodhisattva,
yang hakikatnya adalah belas kasih, seharusnya tidak memakan daging.

“Kalau daging tidak dimakan oleh siapa pun, untuk alasan apa pun, Mahāmati, tidak
akan terjadi penghancuran kehidupan. Mahāmati, dalam kebanyakan kasus, pembantaian
makhluk hidup yang tidak bersalah dilakukan karena kesombongan dan sangat jarang
disebabkan oleh sebab lain. Meskipun tiada hal istimewa yang dapat dikatakan dari
memakan daging makhluk hidup seperti hewan dan unggas, namun, Mahāmati, tiada
seorang pun yang cinta pada rasa [daging] yang memakan daging manusia! Mahāmati,
dalam kebanyakan kasus, jaring dan peralatan lain disiapkan di berbagai tempat oleh
manusia yang telah kehilangan akal sehat, karena nafsunya pada rasa daging; dan
akibatnya banyak korban tak bersalah yang dibunuh demi harga tertentu — seperti burung-
burung, Kaurabhraka, Kaivarta, dsb. yang bergerak di udara, di tanah, dan di air. Bahkan
ada yang setiap saat, Mahāmati, seperti rākṣasa yang keras hati dan terbiasa melakukan
tindak kekerasan, memandang: bahwa makhluk hidup hanya ditujukan sebagai makanan
dan untuk dibunuh — tiada kasih sayang yang terlintas pada mereka.

“Tidak benar, Mahāmati, bahwa daging adalah makanan yang tepat dan diizinkan bagi
para Śrāvaka apabila mereka tidak membunuhnya sendiri, tidak memerintahkan orang lain
membunuhnya, atau tidak secara khusus dimaksudkan bagi dirinya. Lagipula, Mahāmati,
akan banyak orang yang tidak cakap di masa mendatang, yang akan meninggalkan
kehidupan berumah-tangga sesuai Ajaran-Ku, dikenali sebagai putra-putra Śākya, dan
mengenakan jubah kāṣāya sebagai tanda, namun jahat dalam pikirannya karena
terpengaruh kesimpulan yang salah. Mereka akan membahas berbagai pembedaan yang
mereka buat dalam latihan moral karena melekat pada pandangan tentang adanya jiwa. Di
bawah pengaruh kehausan akan rasa [daging], dalam berbagai cara mereka akan
merangkai alasan-alasan yang ‘masuk akal’ untuk mempertahankan makan daging. Mereka
mengira bahwa mereka dapat memfitnah-Ku dengan fitnah yang belum pernah ada
sebelumnya, sewaktu mereka melakukan pembedaan dan menyatakan fakta-fakta yang
memungkinkan aneka penafsiran. Dengan menganggap bahwa ‘fakta anu dapat ditafsirkan
begini’, [mereka menyimpulkan] bahwa Sang Bhagavan mengizinkan daging sebagai
makanan yang tepat, bahwa daging disebutkan di antara makanan-makanan yang diizinkan,
dan mungkin Tathāgata sendiri memakannya. Akan tetapi, Mahāmati, tiada satu pun
rujukan di dalam sūtra bahwa daging dibolehkan untuk dinikmati, atau sebagai salah satu
makanan yang tepat yang disebutkan [bagi pengikut Buddha].

“Jika seandainya, Mahāmati, Aku pernah berpikiran untuk membolehkan [makan


daging], atau berkata bahwa adalah tepat bagi para Śrāvaka [untuk makan daging],
tentunya Aku takkan pernah melarang, takkan melarang makan daging bagi para Yogi,
yakni putra dan putri berbudi dari keluarga baik-baik, yang — karena berkeinginan
menganggap semua makhluk sebagai anak tunggalnya — mengembangkan kasih sayang,
mempraktekkan kontemplasi, pengekangan diri, dan melangkah dalam Mahāyāna. Dan,
Mahāmati, larangan memakan daging apa pun ditujukan kepada semua putra dan putri
berbudi dari keluarga baik-baik, baik mereka yang melakukan pertapaan dengan tinggal di
pekuburan atau di hutan, maupun para Yogi yang mempraktekkan latihan — apabila mereka
berhasrat akan Dharma dan melangkah untuk menguasai yāna mana pun — dengan
mengembangkan kasih sayang, menganggap semua makhluk sebagai anak tunggalnya
demi menyempurnakan latihannya.

“Dalam teks-teks kanonik tertentu, proses latihan dikembangkan bertahap seperti


tangga yang menanjak tingkat demi tingkat, dan terhubung dengan proses lainnya secara
teratur dan metodis; setelah menerangkan tiap-tiap pokok, daging, yang diperoleh dalam
keadaan khusus demikian, tidak dilarang. Selain itu, sehubungan dengan daging binatang
yang mati secara alami, telah diberikan sepuluh larangan. Tetapi, dalam sūtra ini, [makan
daging] dalam bentuk apa pun, dalam cara apa pun, dan di tempat mana pun, tanpa kecuali
dan berlaku bagi semua, adalah terlarang. Maka, Mahāmati, Aku tidak pernah mengizinkan,
tidak mengizinkan, dan tidak akan mengizinkan makan daging bagi siapa pun. Makan
daging — Kuberitahukan kepadamu, Mahāmati — adalah tidak layak bagi bhikṣu yang telah
meninggalkan rumah-tangga. Mungkin ada beberapa orang, Mahāmati, yang mengatakan
bahwa Tathāgata memakan daging, karena mengira ini dapat memfitnah-Nya. Orang-orang
yang tidak cakap ini, Mahāmati, akan mengikuti jalan jahat dari rintangan karmanya, dan
akan jatuh ke daerah di mana malam panjang berlalu tanpa keuntungan dan kebahagiaan.
Mahāmati, para Śrāvaka yang mulia tidaklah memakan makanan yang [umumnya] dimakan
orang biasa, apalagi makanan yang berasal dari daging dan darah yang seluruhnya tidak
tepat. Mahāmati, makanan bagi para Śrāvaka, Pratyekabuddha, dan Bodhisattva-Ku adalah
Dharma dan bukan daging; apalagi bagi Tathāgata! Tathāgata adalah Dharmakāya,
Mahāmati; Ia berdiam dalam Dharma sebagai makanan; tubuh-Nya tidaklah diumpani
dengan daging; Ia tidak memakan makanan dari daging. Ia telah menyingkirkan energi-
kebiasaan dari kehausan dan keinginan yang mendasari segala eksistensi; Ia telah
menyingkirkan energi-kebiasaan semua nafsu jahat; Ia Maha Tahu; Ia Maha Melihat; Ia
menganggap semua makhluk sebagai anak tunggal-Nya tanpa kecuali; Ia adalah Hati Kasih
Sayang Agung. Mahāmati, dengan anggapan semua makhluk adalah anak tunggal-Ku,
bagaimana mungkin Aku memberi izin — untuk makan daging anak sendiri — kepada para
Śrāvaka, sebagaimana Aku sendiri? Apalagi hingga memakannya! Bahwa Aku, wahai
Mahāmati, mengizinkan para Śrāvaka, sebagaimana Aku sendiri, [untuk makan daging]
adalah tidak berdasar.

Demikian disebutkan:

1. Minuman keras, daging, dan bawang


haruslah dihindari, Mahāmati,
oleh para Bodhisattva Mahāsattva
dan para Pahlawan Pemenang.

2. Daging tidaklah berkenan pada para bijak;


baunya memualkan dan menyebabkan reputasi buruk,
itu adalah makanan makhluk karnivora;
Kukatakan, Mahāmati, itu tidak boleh dimakan.

3. Ada akibat berbahaya bagi yang memakannya,


dan kebaikan bagi yang tidak.
Mahāmati, engkau harus tahu bahwa pemakan daging
membawa akibat berbahaya bagi dirinya sendiri.

4. Hendaknya seorang Yogi menghindari makan daging


karena itu merupakan dirinya sendiri,
karena merupakan pelanggaran,
karena itu berasal dari air mani dan darah,
dan karena [membunuh] menyebabkan teror bagi makhluk lain.

5. Hendaknya para Yogi senantiasa menghindari


daging, bawang merah, aneka minuman keras,
bawang-bawangan, dan bawang putih.

6. Jangan mengurapi tubuh dengan minyak wijen,


jangan tidur di atas dipan yang dilubangi paku;
sebab makhluk hidup menemukan perlindungannya di liang-liang
dan tempat tanpa liang akan amat menakutkan.

7. Dari memakan [daging] muncul kesombongan,


dari kesombongan muncul khayalan keliru,
dari khayalan muncul keserakahan;
karena alasan ini, hindarilah memakan [daging].

8. Dari khayalan muncul keserakahan,


dan oleh keserakahan pikiran digelapkan;
bila ada kemelekatan pada kegelapan,
tiadalah pembebasan dari kelahiran [dan kematian].

9. Demi keuntungan, makhluk hidup dibinasakan.


Demi daging, uang dibayarkan.
Keduanya adalah pelaku kejahatan
dan [perbuatannya] akan masak di Neraka Raurava.

10. Orang yang memakan daging


melanggar Sabda sang Muni dan berpikiran jahat;
ia ditetapkan, menurut Ajaran Śākya,
sebagai perusak kesejahteraannya sendiri di dua dunia.

11. Pembuat kejahatan akan pergi


ke neraka yang paling menakutkan,
pemakan daging akan menerima akibat
di neraka yang mengerikan seperti Raurava, dsb.

12. Tiada daging yang dianggap murni


di dalam tiga cara:
tidak direncanakan, tidak diminta, dan tidak disuruh;
karenanya, hindarilah makan daging.
13. Hendaknya para Yogi tidak memakan daging,
hal ini dilarang oleh-Ku serta oleh para Buddha;
makhluk hidup yang saling memakan dirinya
akan terlahir di antara binatang karnivora.

14. [Pemakan daging] berbau busuk, dipandang hina,


dan akan terlahir tanpa kecerdasan;
ia akan terlahir lagi dan lagi
di antara keluarga Caṇḍāla, Pukkasa, dan Domba.

15. Dari rahim Ḍākinī ia akan terlahir kembali


di tengah keluarga pemakan daging,
lalu ke rahim seorang rākṣasī dan seekor kucing;
ia termasuk manusia dalam tingkatan terendah.

16. Makan daging telah Kularang


dalam sūtra seperti Hastikakṣya,
Mahāmegha dan Nirvāṇa,
Aṅgulimālika dan Laṅkāvatāra.

17. [Makan daging] dicela oleh para Buddha,


oleh para Bodhisattva dan Śrāvaka;
jika seseorang menginginkan [daging] tanpa malu,
ia akan selalu [terlahir] tanpa indra.

18. Orang yang menghindari daging, dsb.


akan terlahir, karena Kebenaran ini,
di tengah keluarga Brāhmaṇa atau Yogi,
diberkati dengan kecerdasan dan kekayaan.

19. Hendaklah seseorang menghindari makan daging


[walau apa pun yang orang lain katakan]
berdasarkan kesaksian, kabar, dan sangkaan;
orang lain yang berteori demikian tidaklah paham
sebab mereka sendiri lahir di tengah kaum pemakan daging.

20. Sebagaimana keserakahan


merupakan penghalang bagi Pembebasan,
demikian pula makan daging, minuman keras
merupakan penghalang.

21. Di masa mendatang akan ada orang yang


membuat pernyataan bodoh tentang makan daging,
katanya: ‘Daging adalah tepat untuk dimakan,
tidak ditolak, dan diizinkan oleh Buddha.’

22. Makan daging hanyalah obat;


lagipula, itu seperti daging kanak-kanak.
Ikutilah takaran yang tepat dan merasa engganlah [padanya],
[demikianlah] hendaknya seorang Yogi berpiṇḍapata.

23. [Makan daging] Kularang di mana pun dan kapan pun


bagi mereka yang berdiam dalam kasih sayang;
[ia yang makan daging] akan terlahir di tempat yang sama
dengan singa, harimau, serigala, dsb.

24. Karenanya, janganlah memakan daging,


yang dapat menyebabkan teror bagi orang-orang,
sebab itu akan menghindarkan Kebenaran Pembebasan;
[tidak makan daging] — inilah tanda seorang bijak.

Akhir bab kedelapan (“Tentang Makan Daging”) dari


Laṅkāvatāra Sūtra: Inti Ajaran Para Buddha*)

____________________________
*) Sarvabuddha-pravacana-hṛdaya.

Anda mungkin juga menyukai