Anda di halaman 1dari 4

ULAMBANAPATRA

SUTRA

1
Demikian yang telah kudengar, pada suatu ketika, Hyang Buddha tinggal di Sravasti, di hutan Jeta di Taman
Anathapindika. Pada saat itu, di kota Sravasti terdapat seorang siswa Buddha bernama Maha Maudgalyayana. Demi
menyelamatkan oragntuannya yang telah meninggal dunia, maka beliau datang kepada Hyuang Buddha dan belajar Dharma
luhur dengan tekun. Berkat ketekunannya menghayati ajaran-ajaran Hyang Buddha maka beliau dapat memperoleh 6
macam Tenaga Batin (Sad Abhina).

Dengan kepandaian itu beliau berhasrat membebaskan kedua orangtuannya dari kesengsaraan sebagai balas-budi
atas jasa-jasa orangtua-nya. Kemudian beliau ber-samadhi, lalu dengan mata-batinnya mengamati seluruh alam semesta,
dan melihat ibunya berada di alam Setan-Kelaparan. Oleh karena itu ibunya terlalu lama tidka dapat makan dan minum,
maka tubuhnya tinggal tulang dan kulit yang kering, kurus dan pucat. Melihat kondisi ibunya sedemikian buruk, sedihlah
hati Maha Maudgalyayana sehingga pikirnanya menjadi terganggu dan tidak tenang. Dengan amat tergesa-gesa beliau
mengisi patranya dengan nasi, dan dengan daya-gaib nasi itu dikirimkannya kepada ibunya yang malang itu. Karena ia
merasa sangat lapar serta khawatir nasinya direbut oleh setan-setan lain, maka setelah nasi itu diterima ibunya cepat-cepat
menutupi nasi tersebut dengan telapak tangan kiri dengan serapat-rapatnya.

Kemudian dengan tangan kanan ia mengambil segenggam nasi untuk meringankan rasa laparnya, tetapi betapa
malangnya, begitu nasi itu sampai di depan mulutnya berubah menjadi arang yang membara dan iapun tak dapat
memakannya dan tetap kelaparan. Melihat nasib ibunya yang malang itu, Maha Maudgalyayana sebagai seorang anak yang
sangat cinta kepada orangtuannya, tiba-tiba berteriak sekeras-kerasnya serta menangis sejadi-jadinya. Karena tidak ada jalan
lain terpaksalah beliau dengan perasaan dukacita kembali ke Vihara dan menyampaikan apa yang telah dialaminya kepada
Hyang Sakyamuni Buddha. Hyang Buddha menerangkan kepada Maha Maudgalyayana:

“O, Maha Maudgalyayana yang berbudi, apa sebabnya hingga daya kegaibanmu tidak dapat berbuat sesuatu
terhadap seseorang yang bertubuh Setan-Kelaparan?

Ketahuilah, sebabnya adalah dosa-dosa yang pernah ditimbun oleh ibumu pada masa silam itu akarnya terlalu
dalam, tentu saja kamu sendiri tidak dapat mencabut akar itu hanya dengan gaya gaib tanpa disertai kebajikan. Dan akar
kejahatan itu tidak dapat kamu cabut seorang diri dengan mengandalkan daya gaib saja. Walaupun kamu bermaksud baik,
bercita-cita luhur, sampai-sampai teriakanmu yang mengharukan bisa mengguncangkan langit dan bumi, tetap saja para
Dewata, para Dewa Bumi dan Sorga, para orang suci, bahkan Raja Adikuasa dari Surga Catur Maharajakayika dan
sebagainya, tidak dapat berbuat apa-apa; kesemuannya kehilangan cara untuk membantumu dan semua maksud baik dan
segala keingianmu itupun sia-sia.”

Hyang Buddha melanjutkan sabda-Nya:

“Ketahuilah O Maha Maudgalyayana yang berbudi! Jika segala keinginan dan cita-citamu ingin terwujud,
undanglah para Bhiksu dan Bhiksuni dari Sravaka-Sangha yang berada di 10 penjuru; buatlah suatu kebaktian bersama dan
buatlah juga kebajikan-kebajikan untuk dianugerahkan kepada ibumu. Dengan demikian segala belenggu dan kesengsaraan
yang menimpa ibumu akan lepas semua.”

“Sekarang akan Kuuraikan cara untuk menyelamatkan para umat yang sedang mengalami siksaan di Alam Samsara
kepada anda sekalian.”

2
Hyang Buddha bersabda kepada Maha Maudgalyayana lagi:

“Dengarlah baik-baik O Maha Maudgalyayana yang berbudi! Pada setiap tanggal 15 bulan 6 (menurut penanggalan
Candrasangkala) adalah Haru Pravarana Sangha. Pada saat inilah para Bhiksu dan Bhiksuni yang berada di 10 penjuru
berlibur, dan pada saat itu pulalah mereka sering mengadakan pembincangan untuk pertobatan.”

“Pada saat itu, kamu bisa mengambil kesempatan untuk mengadakan suatu upacara berdana makanan kepada para
orang suci, yakni upacara Ulambana namanya. Dan gunanya khusus untuk menyelamatkan orangtua si pemuja baik mereka
yang masih hidup maupun yang telah meninggal atau yang sedang tertimpa malapetaka.

Demikian pula untuk orangtua sebanyak 7 turunan yang hidup pada masa silam dan berada di Alam Samsara, di
mana mereka belum mendapat kesempatan untuk membebaskan dirinya, juga dapat diselamatkan.”

“Tepat pada waktunya sediakan nasi dan bermacam-macam sayur-mayur, wewangian, minyak guruh, pelita dan
lain-lainnya; boleh disertai alat-alat untuk mengambil air, untuk mandi dan minum. Boleh juga disertai perabot rumah. Dan
bahan untuk sajian itu boleh dipilih dari barang yang bagus, sesuai dengan kemampuan si pemuja.”

“Kemudian sajian-sajian tersebut setelah disiapkan diletakkan pada suatu tempat suci khusus untuk upacara
Ulambana, lalu semua sajian itu dipersembahkan kepada para tokoh bijak dan para orang suci.”

“Sebelum upacara itu diadakan, beritahukanlah ke seluruh penjuru, sehingga tepat ketika upacara diadakan,
rombongan Arya akan datang untuk ikut bergembira dan merayakan upacara Ulambana yang diadakan oleh para pemuja.
Para Arya tersebut adalah mereka yang sedang melakukan Samadhi di gunung-gunung;
Para suci yang telah mencapai 4 macam pahala Buddha dengan identitas bertingkat Arhat yang sedang berkelana dari bawah
pohon ke pohon;
Atau yang telah memperoleh Sad Abhijna,
kemudian mereka yang sedang menjalankan kewajiban mengajarkan Dharma luhur kepada para Sravaka atau para
Pratyekabuddha diberbagai daerah;
Dan Bodhisattva-Mahasattva yang berstatus Dasa-Bhumiya (Sepuluh Tingkat Bhumi) yang mana mereka dapat
menjelmakan dirinya sebagai Bhiksu, Bhiksuni, dan berbaur di dalam kelompok Sravaka-Sangha, menjadikan rombongan
Arya sangat meriah.”

“Ketahuilah, rombongan Arya tersebut datang ke tempat suci itu, bukan karena berniat mengambil sedekah
makanan atau sajian belaka, tetapi mereka akan mempergunakan kewibawaan, kemampuan, dan kebajikan yang telah
diperleh dari prilaku Sila-suci mereka. Dan jasa-jasa yang maha agung itu mereka limpahkan kepada para leluhur atau
kedua orangtua si pemuja baik yang masih hidup maupun telah meninggal.”

“Ketahuilah O, Maha Maudgalyayana yang berbudi! Barang siapa yang mengadakan upacara ini pada hari
Pravarana Sangha, maka orangtua-nya yang masih hidup akan mendapatkan umur panjang, cukup sandang dan pangan,
serta hidup mereka akan bahagia. Dan leluhurnya yang telah meninggal pun akan mendapat berkat yaitu jika leluhurnya
berada di 3 Alam Samsara maka akan dibebaskan, bahkan apabila akar kejahatannya tidak berat, leluhurnya itu bisa
mendapatkan tubuh yang bersinar dan disinari dari Sinar Buddha Mandarawa Sorga.”

Setelah mendengar uraian Hyang Buddha, lalu Maha Maudgalyayana bertekad untuk mengadakan upacara
Ulambana untuk orangtua-nya (ibunya) yang malang itu. Menjelang Hari Pravarana Sangha dan upacara Ulambana yang
diadakan oleh Maha Maudgalyayana, Hyang Buddha lantas mengumumkan dan memerintahkan kepada para Bhiksu,
Bhiksuni, dan para Sravaka-Sangha yang berada di berbagai daerah agar semua berkumpul guna mengadakan
persembahyangan, agar para leluhur atau orangtua si pemuja, baik yang masih hidup maupun yang sudah meninggal beserta
para leluhur sebanyak 7 turunan dan familinya mendapat kesempatan untuk membebaskan dirinya dari Alam Samsara
secepat mungkin.

3
Setelah para suci berkumpul, mereka langsung mengadakan upacara persembahyangan serta mengucapkan mantra-
mantra penting, kemudian melakukan meditasi dengan suasana yang amat khidmat. Setelah meditasi selesai barulah para
hadirin menerima dana dan makanan beserta sajian lain, semuanya diletakkan di altar Buddha rupang atau dikelilingkan
pada Stupa Buddha, dan para hadirin mengucapkan mantra lagi. Setelah selesai barulah dimakan dengan cara biasa.

Pada saat upacara Ulambana itu selesai, Maha Maudgalyayana bersama para Bhiksu, Bhiksuni, para Bodhisattva-
Mahsattva semua merasa amat senang dan gembira. Dan mulai saat itu persaaan dukacita dan keluh kesah Maha
Maudgalyayana hilang total. Berkat kepahalaan dari upacara Ulambana tersebut, ibu Maha Maudgalyayana terbebas dari
alam Setan-Kelaparan, dan masa hukumannya yang seharusnya dijalani sampai satu kalpa dihapuskan. Sewaktu Maha
Maudgalyayana menyaksikan ibunya membebaskan dirinya dari Alam Samsara itu, tiba-tiba dalam hati beliau timbul
perasaan iba terhadap para makhluk yang masih berada di alam Setan Kelaparan, yang masih menjalani hukuman di alam
tersebut.

Lalu beliau dengan berat hati menanyakan kepada Hyang Buddha:

‘O Lokanatha yang termulia! Sekarang ibu saya bersyukur karena diberkati oleh kekuatan maha-jasa dari Triratna
beserta kewibawaan dan kebajikan para Sravaka Sangha, ......tetapi apakah para putra-putri yang berbudi atau siswa-siswi
Buddhis di masa yang akan datang dapat menggunakan cara Ulambanapatra ini untuk menyelamatkan orangtua atau ayag-
ibunya dalam 7 turunan yang telah meninggal pada masa silam? Sudikah kiranya Hyang Lokanatha menjelaskannya!”

“Sadhu! Sadhu! Sadhu! Siswaku yang berbudi!” Hyang Buddha memuji Maha Maudgalyayana, “bagus sekali
pertanyaanmu! Sesungguhnya hal-hal yang demikian penting itu telah siap Kuuraikan kepada para umat sekalian, akan
tetapi perhatianmu telah mendahului-Ku.

Sekarang dengarlah baik-baik, O, Putra-putri yang berbudi! Apabila terdapat bhiksu, Bhiksuni, para raja, pangeran,
pejabat-pejabat kerajaan, serta para rakyat jelata yang berada di masa sekarang atau di masa mendatang berhasrat ingin
melaksanakan bakti, membalas budi kepada orangtuannya; iba-hati kepada para makhluk sengsaran, mereka boleh
menyediakan berbagai macam makanan serta sajian lain pada Hari Pravarana Sangha itu, dan mengadakan upacara
Ulambana di suatu tempat suci dengan maksud berdana makanan kepada para suci yang datang dari 10 penjuru, sehingga
ayah-bunda mereka yang masih hidup mendapat umur panjang dan senantiasa menikmati hidup yang sejahtera. Sedangkan
orangtua mereka yang telah meninggal beserta ayah-bunda dalam 7 turunan dari masa yang lampau itu dapat keluar dari
alam Setan-Kelaparan atau alam Samsara lain, dan mereka dapat dilahirkan di alam Manusia atau di alam Kebahagiaan,
agar mereka dapat berbahagia selama-lamanya.”

“Lagi, jika para siswa-siswi Buddhis yang berhasrat ingin mengabdikan dirinya kepada leluhurnya serta kedua
orangtua yang masih hidup atau pun yang sudah meninggal dunia, mereka seyogyanya senantiasa merenungkan kondisi
kedua orangtua yang masih hidup atau yang sudah meninggal itu, apakah mereka hidup bahagia atau tidak. Bilamana
keadaan para siswa-siswi Buddhis mengizinkan sebaiknya setiap tahun pada tanggal 15 bulan 7 (penanggalan
Candrasangkala) mengadakan upacara Ulambana untuk berdana kepada Buddha dan Sangha, guna membalas budi kedua
orangtuanya yang telah berjasa kepada anak-anaknya.”

“Demikianlah, semoga semua siswa-siswi Buddhis dapat menghayati Dharma yang sangat berarti ini.”

Hyang Buddha mengakhiri khotbahnya. Pada saat itu, Bhiksu Maha Maudgalyayana beserta keempat kelompok
siswa-siswi Buddha merasa bergembira setelah mendengarkan khotbah Hyang Buddha dan mereka bertekad menghayati
Dharma-Nya. Kemudian mereka bersikap anjali dan menghormat kepada Hyang Sakyamuni Buddha, lalu pergi.

Sumber :
• Buku sumbangan para dermawan

Anda mungkin juga menyukai