Anda di halaman 1dari 66

MA BHAYI

JANGAN TAKUT
Ajaran Buddha untuk Menghadapi Kematian
Abhaya Mudrā
Sikap tangan "tidak takut".
Lambang perlindungan
dan keselamatan.

MA BHAYI
JANGAN TAKUT
Ajaran Buddha untuk Menghadapi Kematian
Penulis: Handaka Vijjānanda
Penata: Andreas Dīpaloka
Penerbit:
Ehipassiko Foundation
ehipassikofoundation@gmail.com
www.ehipassiko.or.id
ehipassikofoundation
©2021 Ehipassiko Foundation
ISBN 978-623-7449-10-2
Edisi 2, Apr 2023

Untuk mendapatkan edisi cetak


atau mencetak buku ini, hubungi
Ehipassiko Foundation 085888503388.
Persembahan Kebajikan

Buku ini dipersembahkan


untuk insan-insan terkasih
yang telah mendahului kita.

Kami akan selalu mengenang


cinta yang telah kalian berikan,
dengan takjub dan syukur,
bukan dengan kesedihan.

Sabbe sattā maraṇamhā muccantu.


Semoga semua makhluk
terbebas dari kematian.

3
Senarai Isi
3 Persembahan Kebajikan
7 Hidup Ini Singkat Memahami
8 Mati Itu Pasti Hidup dan Mati
9 Tak Ada yang Tak Mati
10 Penyebab Takut Mati
11 5 Utusan Dewa Terlahir
12 Cara Terlahir di Surga di Surga
13 4 Bekal Kehidupan Kelak
14 Masuk Surga Berkat Keyakinan
16 Masuk Surga Berkat Sila
18 Masuk Surga Berkat Kedermawanan
20 Menjadi Suci Berkat Kebijaksanaan
22 Peta Besar Ajaran Buddha Pengembaraan
23 31 Alam Keberadaan Lahir-Mati
24 4 Cara Kelahiran
25 4 Sebab Kematian
26 4 Urutan Karma Berbuah
27 Nimitta, Pertanda Kelahiran Ulang
28 Kesadaran Saat Kematian
29 Kelahiran Ulang Berlangsung Seketika
30 Sakit Itu Wajar, Menderita Itu Pilihan Perenungan
31 Perenungan dan Meditasi dan Meditasi
32 Buddhanussati, Perenungan Buddha
33 Dhammanussati, Perenungan Dhamma
34 Saṅghanussati, Perenungan Saṅgha
35 Sīlānussati, Perenungan Sila
36 Cāgānussati, Perenungan Kedermawanan
37 Devānussati, Perenungan Dewa
38 Ānāpānassati, Penyadaran Napas Masuk-Keluar
39 Maraṇassati, Penyadaran Kematian
40 Ingat Napas, Ingat Mati
41 Kāyagatāsati, Penyadaran Tertuju Tubuh
42 Upasamānussati, Perenungan Ketenteraman
43 Berdiam Bersama Brahma
44 Membantu yang Akan Meninggal Menghantar
46 Maafkan Diri Sendiri yang Berangkat
47 Warisan pada Waktunya
48 Diperabukan atau Dikebumikan?
49 Dampingi yang Berduka Mendampingi
50 Siapa yang Kita Tangisi? yang Ditinggal
51 Kenapa Tidak Menangis?
52 Ungkapan Bela Sungkawa
53 Saṁvega & Pasāda
54 Teruskan Kebajikannya
55 Mengenang Mendiang
56 Duka Hebat Menjadi Guru Hebat Jangan Takut
58 Mandi Lagi, Makan Lagi, Kerja Lagi
59 Ingat Buddha, Dhamma, Saṅgha
60 Mā Bhāyi, Jangan Takut
61 Tak Takut dan Tak Berharap
62 Tiga Perlindungan
63 Pesan Terakhir Buddha
Memahami kematian
membuat kita lebih
memahami kehidupan:
apa yang betul-betul penting
dan apa yang tidak.
Handaka Vijjānanda

6
Hidup Ini Singkat

“Bagai tetes embun,


bagai gelembung air,
bagai garis digores di air,
bagai sungai pegunungan,
bagai sekulum ludah,
bagai sekerat daging,
bagai sapi dijagal,
kehidupan manusia ini singkat, pendek,
cepat, banyak penderitaan,
banyak kesulitan;
merenungi ini, hendaknya sadar,
hendaknya melakukan yang baik,
hendaknya menjalani laku hidup luhur;
tak ada yang lahir yang tak mati.”
Aṅguttara Nikāya 7.74, Araka Sutta

7
Mati Itu Pasti

“Kehidupanku tidaklah pasti.


Kematianku adalah pasti.
Aku pasti akan mati.
Kematian akan menjadi akhir hidupku.
Hidup itu tak pasti.
Mati itu pasti.”
Dhammapada Aṭṭhakathā 174

8
Tak Ada yang Tak Mati

Kisāgotamī menolak kenyataan bahwa


anaknya mati. Ia menggendong jasad
anaknya, berkeliling minta obat. Seseorang
menasihatinya untuk menemui Buddha.

Kisāgotamī memohon Buddha untuk


menghidupkan anaknya. Buddha
mensyaratkannya untuk mendapat biji
sesawi putih dari orang yang keluarganya
belum pernah ada yang mati. Dari pintu
ke pintu ia meminta, namun tak satu pun
keluarga yang memenuhi syarat itu.

Kisāgotamī sadar bahwa kematian


terjadi pada semua orang. Ia membawa
putranya ke lahan jasad. Ia kembali
menghadap Buddha dan mohon
ditahbis menjadi bhikkhuni.
Dhammapada Aṭṭhakathā 8.13

9
Penyebab Takut Mati

“Orang apa yang wajar mati tapi takut mati?


1. Yang tak bebas dari nafsu
kesenangan indriawi.
2. Yang tak bebas dari nafsu tubuh.
3. Yang belum melakukan kebajikan
dan perlindungan dari takut;
telah melakukan kejahatan,
kekejaman, kesalahan.
4. Yang ragu dan tak bersandar
pada Dhamma sejati.

Terkena penyakit keras tertentu,


ia sedih, letih, meratap,
menangis memukuli dada,
kebingungan.”
Aṅguttara Nikāya 4.184, Abhaya Sutta

10
5 Utusan Dewa

“Yama, Dewa Kematian, menanyai


orang-orang yang dibawa sipir neraka:
Apa kamu tidak melihat
utusan dewa pertama: bayi?
utusan dewa kedua: orang tua?
utusan dewa ketiga: orang sakit?
utusan dewa keempat: orang jahat?
utusan dewa kelima: orang mati?

Apa kamu tidak terpikir, ‘Aku pun bisa


menjadi begitu. Aku sebaiknya berbuat baik?’
Karena kamu lalai berbuat baik,
kamu akan dihukum!

Orang yang baik dan damai,


ketika diperingatkan oleh utusan dewa,
tidak pernah mengabaikan ajaran suciwan.”
Majjhima Nikāya 130, Devadūta Sutta

11
Cara Terlahir di Surga

“Laku sesuai Dhamma dan laku benar


adalah sebab sebagian makhluk,
saat tubuh terurai, setelah kematian,
terlahir di tujuan baik, di alam surga.”
Majjhima Nikāya 41, Sāleyyaka Sutta

“Telah melakukan perilaku baik


dengan tubuh, ucapan, pikiran;
ia saat tubuh terurai, setelah kematian,
terlahir di tujuan baik, di alam surga.
Demikianlah orang yang gelap
menuju terang.”
Aṅguttara Nikāya 4.85, Tamotama Sutta

"Orang-orang lain tak memahami,


di sini kita bakal mati;
dan mereka yang memahami hal itu,
karena itu meredakan pertikaian."
Dhammapada 6

12
4 Bekal Kehidupan Kelak

SADDHĀ SAMPADĀ | Keberhasilan Keyakinan

Berkeyakinan, meyakini kecerahan Tathāgata.

SĪLA SAMPADĀ | Keberhasilan Sila

Memantang: membunuh makhluk, mengambil


yang tak diberikan, berperilaku salah terhadap
keindriawian, berkata dusta, memakai zat yang
menyebabkan kelalaian.

CĀGA SAMPADĀ | Keberhasilan Kedermawanan

Tinggal di rumah dengan pikiran tak dipenuhi noda


kekikiran, sangat dermawan, tangan terbuka, senang
melepas, siap diminta, senang membagi derma.

PAÑÑĀ SAMPADĀ | Keberhasilan Kebijaksanaan

Memiliki kebijaksanaan kemunculan


dan keberlaluan yang suciwan tembusi,
menuju penghancuran duka sejati.

Aṅguttara Nikāya 8.54, Dīghajāṇu Sutta


13
Masuk Surga
Berkat Keyakinan

Maṭṭhakuṇḍali sakit keras. Ayahnya,


Brahmana Adinnapubbaka, sangat kikir,
sampai tidak mau mengobatinya. Ia
dibaringkan di teras agar penjenguk tidak
melihat harta ayahnya.

Buddha datang dan memperlihatkan cahaya


tubuh-Nya. Melihat itu, muncul keyakinan
kuat Maṭṭhakuṇḍali terhadap Buddha.
Tak lama, ia meninggal
dan terlahir di surga.

Sebagai dewa, Maṭṭhakuṇḍali


mengunjungi ayahnya
dan menganjurkannya untuk
berlindung dan bederma
kepada Buddha. Usai derma,
Adinnapubbaka bertanya,
14
”Apa mungkin orang lahir di surga
karena keyakinan terhadap Buddha?"

Buddha menjawab, "Tak terhitung


banyaknya," lalu mengundang Maṭṭhakuṇḍali.
Maṭṭhakuṇḍali muncul dengan wisma surgawi
megah, bersujud kepada Buddha, dan
bersaksi, ”Aku mendapat kemuliaan ini
berkat keyakinanku terhadap Buddha.”

Buddha melantunkan,
"Hal-hal didahului pikiran,
dipelopori pikiran, diciptakan pikiran.
Jika dengan pikiran jernih,
berbicara atau berbuat,
maka kebahagiaan mengikutinya,
bagai bayang-bayang yang tak pergi."

Setelah itu, Dewa Maṭṭhakuṇḍalī dan ayahnya


pun mencapai kesucian Yang Masuk Arus.
Dhammapada Aṭṭhakathā 2
15
Masuk Surga
Berkat Sila

Di Sāvatthī, seorang tuan mendapat izin


Buddha untuk mendermakan makanan bagi
Saṅgha selama empat hari. Ia menugaskan
budak perempuannya untuk menyiapkan
segalanya.
Budak ini bangun pagi, lalu menyiapkan
makanan dan alas duduk. Ia melayani
para bhikkhu dengan penuh hormat.
Suatu hari ia bertanya, “Bhante, bagaimana
cara terbebas dari derita kelahiran ini?”
Para bhikkhu mengajarinya Lima Sila
dan Dhamma mengenai ketaktetapan.
16
Ia menjalani sila selama 16 tahun. Suatu hari,
pemahamannya matang dan ia menembus
kesucian pertama.

Tak lama, ia meninggal dan terlahir


sebagai dayang Dewa Sakka yang penuh
kebahagiaan surgawi.

Thera Mahāmoggallāna yang sedang


di Surga Tiga Puluh Tiga, menanyainya,
“Dewi, kebajikan apa yang telah engkau
lakukan sebagai manusia sehingga
keagunganmu seperti ini?”

Dewi itu menjelaskan,


“Aku adalah budak perempuan
yang menjalani Lima Sila.
Kebahagiaan ada bagi mereka
yang melakukan kebajikan.”
Vimānavatthu 2.1, Dāsivimānavatthu

17
Masuk Surga
Berkat Kedermawanan

Seluruh anggota keluarga di Rājagaha mati


terjangkit kolera, kecuali satu perempuan.
Ketakutan, ia tinggal di belakang rumah
orang, yang memberinya dadih nasi.

Thera Mahākassapa keluar dari semadi


mendalam dan dengan mata batin melihat
perempuan itu akan segera meninggal
dan bisa terlahir di neraka. Ia berniat
menolongnya dan menuju ke tempat
perempuan itu.

Dewa Sakka menyamar dan


menawarkan makanan surgawi
kepada Thera Mahākassapa,
yang mengenali dan menegurnya,
“Janganlah menjatuhkan
kemujuran orang malang.”
18
Thera Mahākassapa sampai dan berdiri
di depan perempuan itu. Perempuan itu
berpikir, “Aku tak punya makanan pantas
untuk bhikkhu agung ini,” lalu berkata,
“Silakan lanjut.”

Thera Mahākassapa tidak berlalu.


Perempuan itu pun paham dan
mendermakan dadih nasinya.

Thera Mahākassapa memakannya di sana,


lalu berkata, “Pada kehidupan ketigamu
sebelum ini, engkau adalah ibuku.”

Malamnya, perempuan itu


meninggal dan terlahir di
Surga Dewa Senang Mencipta.

Vimānavatthu 2.3,
Ācāmadāyikāvimānavatthu

19
Menjadi Suci
Berkat Kebijaksanaan

Hatthaka dari Āḷavī punya 8 sifat


mengagumkan yang dipuji Buddha, yaitu:
berkeyakinan, menjaga sila, tahu malu,
tahu takut, banyak belajar, dermawan,
bijaksana, tak banyak keinginan.

Buddha menyatakan Hatthaka


sebagai upāsaka yang unggul dalam
menarik pengikut, serta teladan bagi
orang yang bercita-cita benar.

Ia berlatih Dhamma dan mencapai kesucian


Yang Tak Kembali, Anāgāmī. Suatu hari
ia meninggal dan terlahir menjadi
dewa di alam brahma.

Aṅguttara Nikāya 8.24,


Dutiyahatthaka Sutta

20
Suatu malam, Dewa Hatthaka mendatangi
Buddha, yang menanyainya, “Apa saat ini
engkau masih berlatih Dhamma?”

Dewa Hatthaka menjawab, “Bhante, saya


masih berlatih Dhamma yang dahulu saya
latih dan belum latih ketika menjadi manusia.

Saya dikelilingi dewa-dewa yang datang


dari jauh untuk mendengar Dhamma
dari saya.

Namun, ketika meninggal,


saya kurang dalam 3 hal ini:
kurang melihat Buddha,
kurang mendengar Dhamma sejati,
dan kurang melayani Saṅgha.”

Aṅguttara Nikāya 3.127,


Hatthaka Sutta

21
Peta Besar Ajaran Buddha

Kepadaman lobha, dosa, moha.


NIBBĀNA Tak lahir-mati lagi,
Kepadaman
akhir duka, abadi.

Cara hidup menuju akhir duka.

pandangan
benar
pengheningan perniatan
benar benar

DHAMMA perkataan
penyadaran
Ajaran Buddha benar benar

pengupayaan perbuatan
benar benar
penghidupan
benar

Pengembaraan lahir-mati
di 31 alam, duka, tak abadi.
SAṀSĀRA
Pengembaraan Sebab duka: lobha, dosa, moha
(ketamakan, kebencian, kekeliruan)
22
31 Alam Keberadaan
31 Landasan Bukan Pencerapan Arūpa Jhāna 4
Alam dan Bukan Tanpa Pencerapan
Tanpa-Rupa 30 Landasan Ketiadaan Arūpa Jhāna 3
(Arūpa Lokā) 29 Landasan Kesadaran Tanpa Batas Arūpa Jhāna 2
28 Landasan Ruang Tanpa Batas Arūpa Jhāna 1
27 Brahma Tanpa Banding
26 Brahma Melihat Baik
25 Brahma Mudah Dilihat
24 Brahma Tanpa Beban Jhāna 4
23 Brahma Tak Jatuh
22 Kediaman Makhluk Tanpa Pencerapan
Alam 21 Brahma Pahala Berlimpah
Rupa 20 Brahma Keagungan Berkilau
(Rūpa Lokā) 19 Brahma Keagungan Tanpa Batas Jhāna 3
18 Brahma Keagungan Terbatas
17 Brahma Pancaran Cahaya
16 Brahma Pancaran Tanpa Batas Jhāna 2
15 Brahma Pancaran Terbatas
14 Brahma Agung
13 Brahma Penasihat Jhāna 1
12 Brahma Penyerta
11 Dewa Penguasa Ciptaan Dewa Lain
10 Dewa Senang Mencipta
9 Dewa Berkecukupan
Tujuan Baik
8 Dewa Yama
(Sugati)
Alam 7 Dewa Tiga Puluh Tiga
Indriawi 6 Dewa Empat Maharaja
(Kāma Lokā) 5 Manusia
4 Raksasa
3 Hantu Tujuan Buruk
2 Hewan (Dugati)
1 Neraka

23
4 Cara Kelahiran

1. Lahir melalui telur


(aṇḍaja)
unggas, reptil, serangga

2. Lahir melalui rahim


(jalābuja)
manusia, mamalia

3. Lahir melalui kelembapan


(saṁsedaja)
bakteri

4. Lahir serta-merta
(opapātika)
brahma, dewa, hantu

Abhidhammattha Saṅgaha

24
4 Sebab Kematian
1 2
Habis umur alami Habis daya karma
(āyukkhaya) (kammakkhaya)

Sumbu habis Minyak habis

3 4
Habis keduanya Daya penghenti
(ubhayakkhaya) (upacchedaka)

Sumbu & minyak habis Tertiup angin

1–3: kematian pada waktunya (kālamaraṇa)


4: kematian tak pada waktunya (akālamaraṇa)
Abhidhammattha Saṅgaha
25
4 Urutan Karma Berbuah

Saat kematian, kita akan mengalami


buah/akibat karma dengan urutan:

Karma berat
1 (garuka kamma)

Karma ambang ajal


2 (maraṇāsanna kamma)

Karma kebiasaan
3 (āciṇṇaka kamma)

Karma simpanan
4 (kaṭattā kamma)

Abhidhammattha Saṅgaha

Pastikan kita tidak punya karma buruk


yang berat, punya kebiasaan yang baik,
dan dalam keadaan pikiran yang baik
ketika mendekati kematian.
26
Nimitta,
Pertanda Kelahiran Ulang

Selain memetik buah-buah karma,


saat jelang ajal ada juga yang melihat
penampakan citra pikiran yang disebut:

Kamma Nimitta
pertanda perbuatan (lampau):
peristiwa menolong, mencuri, peralatan;
dan/atau
Gati Nimitta
pertanda tujuan (mendatang):
rahim, api, hutan, cahaya.
Abhidhammattha Saṅgaha

27
Kesadaran Saat Kematian

3 kesadaran yang berfungsi saat jelang ajal:


Kesadaran kelangsungan hidup
(bhavaṅga-citta)

Kesadaran ajal
(cuti-citta)

Kesadaran penghubung ulang


(paṭisandhi-citta)

• Saat jelang ajal, kesadaran akhir muncul.


• Kesadaran akhir tenggelam ke bhavaṅga.
• Pada akhir bhavaṅga, cuti-citta muncul.
• Cuti-citta memutus daya hidup
> kehidupan ini berakhir.
• Paṭisandhi-citta terbit langsung
> kehidupan berikutnya dimulai.
Abhidhammattha Saṅgaha

28
Kelahiran Ulang
Berlangsung Seketika

Menurut Ajaran Buddha Awal (Mūladhamma),


kesinambungan (santāna) kesadaran ajal (cuti-citta)
dan kesadaran penghubung ulang (paṭisandhi-citta)
tidak bersela waktu dan tidak bercelah.
Jadi, kelahiran ulang terjadi langsung,
tanpa ada keberadaan antara (antarabhāva).

Raja Milinda: “Jika orang meninggal di sini


dan terlahir ulang di alam brahma,
dan orang lain meninggal di sini
dan terlahir ulang di Kashmir,
siapa yang akan sampai lebih cepat?”
Bhante Nagasena: “Mereka akan
terlahir ulang tepat bersamaan.”

Milinda Pañha 7.5

29
Sakit Itu Wajar,
Menderita Itu Pilihan

Sebelum meninggal, kita bisa mengalami sakit.


Buddha mengumpamakan terkena sakit badan
sebagai terpanah satu kali. Jika badan sakit,
dan kita jadi marah atau sedih, berarti kita
terpanah dua kali.

"Orang bijak dan terlatih tidak terpengaruh


oleh rasa senang dan rasa sakit."
Saṁyutta Nikāya 36.6, Salla Sutta

Untuk itu, kita perlu melatih pikiran


agar mampu tetap tenang dalam
menghadapi 3D (Disease, Decay, Death)
atau kesakitan, kelapukan, kematian.

Āturakāyassa me sato
cittaṃ anāturaṃ bhavissatī.
"Ketika tubuhku sedang sakit,
pikiranku tak akan menjadi sakit."
Saṁyutta Nikāya 22.1, Nakulapitu Sutta
30
Perenungan dan Meditasi

“Ada satu hal yang jika dikembangkan


dan ditingkatkan, membawa semata
pada kejemuan, ketaknafsuan, penghentian,
ketenteraman, pengetahuan langsung,
kecerahan sempurna, Kepadaman.
Apakah satu hal itu?”

1. Perenungan Buddha.
2. Perenungan Dhamma.
3. Perenungan Saṅgha.
4. Perenungan sila.
5. Perenungan kedermawanan.
6. Perenungan dewa.
7. Penyadaran napas masuk-keluar.
8. Penyadaran kematian.
9. Penyadaran tertuju tubuh.
10. Perenungan ketenteraman.
Aṅguttara Nikāya 1.296–305,
Paṭhamavagga
31
Buddhanussati
Perenungan Buddha

Sedemikianlah Ia,
Bhagavā, Suciwan Yang Layak,
Yang Cerah Sempurna Sejati,
Yang Sempurna Pengetahuan dan Perilaku,
Penempuh Tuntas, Pengenal Alam,
Pembina Tiada Tara Orang yang Berlatih,
Guru Dewa dan Manusia,
Yang Cerah, Yang Penuh Berkah.
Aṅguttara Nikāya 6.10, Mahānāma Sutta

32
Dhammanussati
Perenungan Dhamma

Dhamma dinyatakan dengan baik oleh


Bhagavā, terlihat di sini, tak bersela waktu,
mengundang dipahami, memandu ke tujuan,
bisa diketahui sendiri oleh para bijak.
Aṅguttara Nikāya 6.10, Mahānāma Sutta

33
Sanghanussati
Perenungan Sangha

Saṅgha siswa Bhagavā telah berlatih baik,


Saṅgha siswa Bhagavā telah berlatih lurus,
Saṅgha siswa Bhagavā telah berlatih benar,
Saṅgha siswa Bhagavā telah berlatih patut,
yaitu empat pasang makhluk,
delapan jenis makhluk,
itulah Saṅgha siswa Bhagavā,
pantas menerima persembahan,
pantas menerima sambutan,
pantas menerima pemberian,
pantas menerima penghormatan semestinya,
ladang kebajikan tiada tara bagi dunia.
Aṅguttara Nikāya 6.10, Mahānāma Sutta

34
Perenungan Sila

Mengingat sila sendiri,


yang tak terlanggar, tak berlubang,
tak bernoda, tak tercemar,
membebaskan, dipuji orang bijak,
tak keliru, mendukung keheningan.
Aṅguttara Nikāya 6.10, Mahānāma Sutta

35
Caganussati
Perenungan Kedermawanan

Mengingat kedermawanan sendiri,


‘Aku sungguh beruntung,
aku sungguh bernasib baik.
Aku tinggal di rumah dengan pikiran
tak dipenuhi noda kekikiran
di orang-orang yang
dipenuhi noda kekikiran,
sangat dermawan, tangan terbuka,
senang melepas, siap diminta,
senang membagi derma.’
Aṅguttara Nikāya 6.10, Mahānāma Sutta

36
Devanussati
Perenungan Dewa

Mengingat dewa-dewa, ‘Para dewa


memiliki keyakinan, sila, pembelajaran,
kedermawanan, kebijaksanaan sedemikian
rupa, ketika dewa-dewa itu meninggal
dari sini, mereka terlahir di sana.

Aku pun punya keyakinan, sila,


pembelajaran, kedermawanan,
kebijaksanaan sebegitu rupa.’
Aṅguttara Nikāya 6.10, Mahānāma Sutta

37
Anapanassati
Penyadaran Napas Masuk-Keluar

Menarik napas panjang,


mengetahui,
‘Aku menarik napas panjang;’
atau mengembus napas panjang,
mengetahui,
‘Aku mengembus napas panjang.’

Menarik napas pendek,


mengetahui,
‘Aku menarik napas pendek;’
atau mengembus napas pendek,
mengetahui,
‘Aku mengembus napas pendek.’

Berlatih, ‘Aku akan menarik napas


merasakan seluruh tubuh;’
berlatih, ‘Aku akan mengembus napas
merasakan seluruh tubuh.’
Majjhima Nikāya 118, Ānāpānasati Sutta

38
Maranassati
Penyadaran Kematian

Merenungi kenyataan bahwa:


• Kematianku pasti terjadi.
• Aku bisa mati kapan saja.
• Ketika mati, aku harus meninggalkan segalanya.

“Ada lima hal yang hendaknya sering direnungi:


1. Aku wajar lapuk, tak mengatasi pelapukan.
2. Aku wajar sakit, tak mengatasi penyakit.
3. Aku wajar mati, tak mengatasi kematian.
4. Semua yang aku sayangi dan senangi
akan terpisah dan berpisah.
5. Pemilik perbuatan, waris perbuatan, berasal
dari perbuatan, terhubung dengan perbuatan,
terlindung oleh perbuatan. Perbuatan yang
kulakukan, kebajikan atau kejahatan,
aku akan menjadi waris itu.“

Aṅguttara Nikāya 5.57,


Abhiṇhapaccavekkhitabbaṭhāna Sutta

39
Ingat Napas, Ingat Mati

Buddha: Para bhikkhu, bagaimana kalian


mengembangkan penyadaran kematian?

Bhikkhu 1: Jika masih hidup 1 hari,


saya akan memerhatikan ajaran Buddha.
Bhikkhu 2: Jika masih hidup 1 siang….
Bhikkhu 3: Jika masih hidup selama makan….
Bhikkhu 4: Jika masih hidup selama 4 suapan….
Bhikkhu 5: Jika masih hidup selama 1 suapan….
Bhikkhu 6: Jika masih hidup selama bernapas….

Buddha: Bhikkhu 1–4 lalai. Bhikkhu 5–6 tak lalai.


Aṅguttara Nikāya 6.19, Paṭhamamaraṇassati Sutta

“Penyadaran kematian, dikembangkan demikian,


ditingkatkan demikian, menjadi banyak buahnya
dan banyak manfaatnya untuk
menyelami Tanpa-Kematian
dan berujung Tanpa-Kematian.”
Aṅguttara Nikāya 6.20,
Dutiyamaraṇassati Sutta
40
Kayagatasati
Penyadaran Tertuju Tubuh

Ketika sedang jalan, tahu sedang jalan.


Ketika sedang berdiri, tahu sedang berdiri.
Ketika sedang duduk, tahu sedang duduk.
Ketika sedang baring, tahu sedang baring.
Tubuh sedang apa pun, tahu sedang begitu.
Majjhima Nikāya 119, Kāyagatāsati Sutta

"Bila sahabat telah berlalu,


dan guru telah pergi berlalu;
tiada teman yang seperti itu,
sebagaimana penyadaran tertuju tubuh."
Theragāthā 17.3, Ānandattheragāthā

41
Upasamanussati
Perenungan Ketenteraman

Merenungi ketenteraman Kepadaman


(Nibbāna).

“Dibanding hal-hal yang tersusun


atau yang tak tersusun,
ketaknafsuan dianggap yang terunggul;
yaitu penundukan keangkuhan,
penyingkiran hasrat,
pencabutan kemelekatan,
pemotongan lingkaran, akhir nafsu,
ketaknafsuan, penghentian, Kepadaman.

Percaya kepada Dhamma ketaknafsuan,


mereka percaya kepada yang terunggul.
Dan, percaya kepada yang terunggul,
hasilnya adalah yang terunggul.”
Aṅguttara Nikāya 4.34, Aggappasāda Sutta

42
Berdiam Bersama Brahma

Kita juga bisa bermeditasi untuk mengembangkan


4 sifat brahma/keluhuran (brahmavihāra bhāvanā):

“Berdiam menebar pikiran penuh


kasih sayang (mettā),
belas kasihan (karuṇā),
kegembiraan (muditā),
ketakgoyahan (upekkhā);
ke satu arah, ke dua, ke tiga, ke empat;
ke atas, ke bawah, melintas, ke semuanya;
ke seluruh dunia, dengan melimpah, meluas,
tanpa batas, tanpa permusuhan, tanpa niat buruk.”

Aṅguttara Nikāya 10.219, Karajakāya Sutta

Pancarkan doa:
Mettā: Semoga semua baik adanya.
Karuṇā: Semoga semua bebas dari penderitaan.
Muditā: Semoga semua gembira.
Upekkhā: Semoga semua tak goyah dan seimbang.
43
Membantu yang
Akan Meninggal

• Tanyai dan penuhi keinginannya,


asal wajar dan tak melanggar sila.
• Dampingi melakukan meditasi
dan perenungan.
• Ingatkan perbuatan baiknya agar karma
ambang ajalnya (maraṇāsanna kamma)
dalam keadaan baik.

Studi medis menunjukkan


bahwa pendengaran adalah
indra terakhir yang akan mati,
jadi sebaiknya kita menjaga
suasana tenang.
Kita juga boleh membisikkan
doa atau ucapan kasih sayang.

44
• Keluarga dan sahabat berkumpul
untuk saling menguatkan.
• Doakan menurut keyakinan masing-masing.
• Mengalihkan agama orang yang
jelang meninggal tidaklah bijaksana.
Itu hanya membesarkan ego-agama sendiri
dan bisa menimbulkan konflik.
• Minta maaf dan memaafkan.
• Ungkapkan kasih dan
terima kasih kepadanya.
• Jangan menunjukkan
kesedihan berlebihan
karena itu malah bisa
membebaninya.

“Karena bukan tangisan atau kesedihan,


dan ratapan yang lainnya;
itu tidak bermanfaat bagi mendiang,
selama keluarga terus bersedih.”
Petavatthu 1.5, Tirokuṭṭapetavatthu

45
Maafkan Diri Sendiri

Bagaimana jika kita merasa kebajikan atau


sila kita kurang dan muncul penyesalan?
Menyesali perbuatan yang pantas disesali
itu baik. Namun, menyesal berlarut-larut
bisa menjadi beban menjelang ajal.

Kiat mengatasi penyesalan


• Mintalah maaf kepada
orang-orang yang pernah kita salahi.
• Maafkan diri sendiri, kasihani diri sendiri,
jangan terus menyalahkan diri.
• Ucapkan lagi Lima Sila.
• Bertekad tidak mengulangi kekeliruan
pada kehidupan ini dan selanjutnya.
• Lakukan kebajikan atau minta keluarga
melakukannya mewakili kita.
• Renungi kebajikan itu sebagai
bekal kekuatan dan ketenteraman kita.
46
Warisan pada Waktunya

Salah satu kiat agar kita lebih


"siap mati kapan saja", adalah memastikan
harta kita tidak hilang atau jatuh
ke pihak yang tak semestinya jika kita mati.

Ada baiknya kita memberitahukan kepada


waris kita atau orang yang kita percaya, apa saja
aset kita dan di mana saja kita menyimpannya.

Untuk membantu keluarga, jika dirasa baik,


warisan bisa dibagikan secara bertahap.
Untuk menghindari potensi konflik,
kita bisa menyampaikan pesan/wasiat
secara tulisan atau lisan dengan saksi.

Buddha: “Berikan warisan


pada waktu yang tepat.”
Dīgha Nikāya 31,
Siṅgāla Sutta
47
Diperabukan
atau Dikebumikan?

Ada berbagai tradisi


pemulasaraan jenazah umat Buddha.

India & Tipiṭaka


perabuan, pelarungan di sungai/laut,
penyemayaman di lahan jasad.
Barat & Tiongkok
pengebumian, penyemayaman di gua,
penyemayaman abu di stupa/wihara.

Tibet
pemakaman langit
(disantapkan burung).

Buddha Gotama sendiri meminta


tubuh-Nya diperabukan.
Dīgha Nikāya 16, Mahāparinibbāna Sutta

48
Dampingi yang Berduka

Dampingi keluarga yang masih berduka


sambil mengenang kebajikan mendiang.
Kirim makanan dan kebutuhan
atau bantu mengurus keperluan keluarga,
agar mereka tidak terlalu merasa kesepian
dan tetap tabah dalam menerima
kewajaran kehidupan ini.

“Di sini ia bergembira,


setelah meninggal ia bergembira,
pelaku kebajikan bergembira di kedua alam.
Ia bergembira, ia sungguh bergembira,
setelah melihat perbuatan murninya sendiri.”
Dhammapada 16
49
Siapa yang Kita Tangisi?

Kita sebenarnya menangisi kelekatan,


kehilangan, dan kebingungan diri sendiri,
padahal keadaan mendiang
mungkin sudah lebih baik.
Apalagi kalau mendiang orang baik,
pasti ia sudah terlahir di surga.

“Sudah sekian lama, engkau mengalami


kematian ayah, saudara, saudari, putra, putri;
kehilangan kerabat dan kekayaan;
kehilangan karena penyakit.
Ketika engkau mengalami ini,
tangisan dan ratapan yang disatukan
dengan air mata yang telah engkau
tumpahkan, lebih banyak daripada
air di empat samudra besar.”
Saṁyutta Nikāya 15.3, Assu Sutta

50
Kenapa Tidak Menangis?

Seorang pemuda dipatuk ular di ladang,


ia mati dan lahir jadi dewa. Keluarga yang
amat menyayanginya memperabukannya.
Dewa itu menyamar dan menanyai,
“Kenapa kalian tidak menangisinya?”

Ayah: “Bagai ular ganti kulit, begitu pula


tubuh ketika tiba waktunya.”
Ibu: “Ia datang tanpa diundang, pergi tanpa
diminta. Buat apa menangisinya?”
Saudari: “Menangis hanya menambah
ketaknyamanan keluarga dan kawan.”
Istri: “Itu bagai bayi menangisi
rembulan yang pergi.”
Pelayan: “Seperti hendak memperbaiki
kendi pecah, sia-sia saja
menangisi yang mati.”
Petavatthu 1.12, Uragapetavatthu

51
Ungkapan Bela Sungkawa

Bhalavantu acchantu. Nibbānassa


Semoga tetap tabah. pavatteti hotu.
Semoga melaju
ke Nibbāna.

Sugatiṁ vā saggaṁ lokaṁ


uttariṁ vā upapajjatu.
Semoga terlahir
di tujuan baik, Turut saṁvegacitta.
di alam surga, Turut tergugah hati.
atau lebih dari itu.

Ikut Berduka Cita


kalimat ini kurang sesuai dengan Dhamma sejati.
Sabbe Saṅkhāra Anicca
(Semua yang tersusun tidak tetap.)
Konteks kalimat ini bukan hanya kematian,
namun semua perubahan,
buruk menjadi baik maupun baik menjadi buruk.
52
Samvega & Pasada

Kita harus mengembangkan


ketergugahan atau kemendesakan (saṁvega)
untuk segera terbebas dari duka
dalam pengembaraan (saṁsāra) ini.

8 dasar kemendesakan (saṁvegavatthū)


1. Kelahiran.
2. Kelapukan.
3. Kesakitan.
4. Kematian.
5. Duka di alam derita.
6. Duka siklus dahulu.
7. Duka siklus nanti.
8. Duka cari makan kini.

Agar tak terjebak dalam kegalauan,


saṁvega harus disertai kemantapan (pasāda)
bahwa ada jalan keluar dari saṁsāra,
dan Kepadaman (Nibbāna) bisa dicapai.
Visuddhimagga IV.63
53
Teruskan Kebajikannya

Jika keluarga atau kerabat Anda meninggal,


lakukan perenungan untuk mengenang
kebajikan dan kebijaksanaannya
semasa ia hidup. Jika memungkinkan,
teruskan kebajikan dan penuhi
cita-cita luhur mendiang.

Ini akan membuat Anda


dan keluarga lebih
tenang dan lapang dalam
melepas yang berangkat.

“Ia memberi kepadaku,


ia melakukan untukku,
keluarga, mitra, dan temanku;
persembahan kita berikan bagi mendiang,
mengingat yang telah ia lakukan dahulu.”
Khuddakapāṭha 7, Tirokuṭṭa Sutta

54
Mengenang Mendiang

Secara tradisi (non-kanonik), kita bisa melakukan


peringatan kemangkatan mendiang setelah
3, 7, 49, 100, 1.000 hari, atau secara tahunan.

Peringatan dilakukan dengan doa


dan baca paritta bersama serta pattidāna
(persembahan kebajikan) dengan cara
berbuat baik dan mempersembahkan
kebajikan itu kepada mendiang.

Anda bisa mempersembahkan


dengan ucapan ini atau dengan
ungkapan hati Anda sendiri.

Idaṁ vo ñātīnaṁ hotu,


sukhitā hontu ñātayo.
“Semoga ini untuk keluarga kami,
semoga keluarga kami bahagia.”
Khuddakapāṭha 7, Tirokuṭṭa Sutta

55
Duka Hebat
Menjadi Guru Hebat

Siapa yang lebih sedih dari perempuan ini?

Dalam satu hari, suaminya mati dipatuk ular,


bayinya digondol elang, anak pertamanya
terhanyut sungai. Pada badai semalam itu
juga, ayah, ibu, dan saudaranya tewas ketika
rumah mewahnya roboh.

Kematian seluruh keluarga


dan kehilangan segalanya
membuat perempuan ini menjadi
gila. Ia menangis meraung,
berjalan berputar-putar,
kainnya jatuh dan
sering terinjak. Ia pun
dijuluki Paṭācārā,
“penginjak kain”.
56
Kewelasan Buddha menyadarkan Paṭācārā.
Ia pun mohon ditahbis menjadi bhikkhuni.

Suatu hari, ketika sedang cuci kaki, Paṭācārā


melihat aliran air ada yang dekat, sedang,
dan jauh. Ia merenungi bahwa kematian
bisa menimpa usia muda, menengah,
dan tua. Berkat bimbingan Buddha,
Paṭācārā berhasil mencapai
kesucian tertinggi Arahatta.

Paṭācārā bangkit dari duka hebat dan


menjadi guru yang hebat bagi banyak
bhikkhuni lainnya. Buddha menggelarinya
“bhikkhuni yang unggul dalam
mengingat Vinaya”. Paṭācārā adalah
teladan bagi mereka yang dukanya
diteduhkan oleh Dhamma.
Dhammapada Aṭṭhakathā 8.12

57
Mandi Lagi, Makan Lagi,
Kerja Lagi

Sejak Ratu Bhaddā meninggal, Raja Muṇḍa


terus murung, ia tak mandi, tak makan, dan tak
bekerja. Raja bahkan mengawetkan jasad ratu
agar bisa terus melihatnya.
Atas saran penjaga, raja menemui Āyasmā
Nārada, yang menasihatinya, “Raja, ada lima hal
yang tak bisa didapat siapa pun di dunia.
• Wajar lapuk tak menjadi lapuk.
• Wajar sakit tak menjadi sakit.
• Wajar mati tak menjadi mati.
• Wajar berakhir tak menjadi berakhir.
• Wajar musnah tak menjadi musnah.”
Panah kesedihan raja pun tercabut.
Ia meminta penjaganya,
“Perabukan jasad ratu, bangun stupa untuknya.
Aku akan mandi, makan, dan bekerja lagi.”
Aṅguttara Nikāya 5.50, Nārada Sutta

58
Ingat Buddha,
Dhamma, Sangha
"Di rimba atau di kaki pohon,
atau di gubuk kosong, para bhikkhu;
kalian mengingat Buddha Yang Sempurna,
ketakutan kalian tidak akan ada.

Jika kalian tidak bisa mengingat Buddha,


sesepuh dunia, banteng manusia;
maka kalian bisa mengingat Dhamma,
yang membebaskan, yang dibabarkan baik.

Jika kalian tidak bisa mengingat Dhamma,


yang membebaskan, yang dibabarkan baik;
maka kalian bisa mengingat Saṅgha,
ladang kebajikan tiada tara.

Demikian mengingat
Buddha, Dhamma, dan Saṅgha,
ketakutan, atau kelumpuhan,
kemerindingan, tidak akan ada."
Saṁyutta Nikāya 11.3, Dhajagga Sutta

59
Ma Bhayi, Jangan Takut
Mahānāma: “Kadang saya berpapasan
dengan gajah, kuda, kereta, gerobak,
atau orang yang liar. Pada saat itu, saya
melupakan ingatan berkenaan Bhagavā,
Dhamma, dan Saṅgha. Saya terpikir,
‘Jika saya mati saat ini, ke mana saya pergi,
apa keadaan berikutnya?’”

Buddha: “Jangan takut. Jangan takut.


Kematianmu tidak akan buruk. Ia yang
pikirannya telah lama berkembang
dengan keyakinan, sila, pembelajaran,
kedermawanan, dan
kebijaksanaan, ketika
tubuhnya hancur terurai,
ia akan pergi ke atas,
pergi ke kemuliaan.”
Saṁyutta Nikāya 55.21,
Paṭhamamahānāma Sutta
60
Tak Takut dan Tak Berharap

“Aku tiada takut pada kematian,


tiada mengharapkan kehidupan;
aku akan membaringkan tubuh sendiri,
penuh penyadaran dan perhatian.”
Theragāthā 1.20, Ajitattheragāthā

61
Tiga Perlindungan

Buddhaṁ saraṇaṁ gacchāmi.


Dhammaṁ saraṇaṁ gacchāmi.
Saṅghaṁ saraṇaṁ gacchāmi.
Aku pergi ke perlindungan Buddha.
Aku pergi ke perlindungan Dhamma.
Aku pergi ke perlindungan Saṅgha.
Khuddakapāṭha 1, Saraṇattaya

62
Pesan Terakhir Buddha

Vayadhammā saṅkhārā,
appamādena sampādetha.

"Yang tersusun bersifat luruh,


berjuanglah tanpa lengah."
Dīgha Nikāya 16, Mahāparinibbāna Sutta

63
to LIVE is
to LEARN
to LOVE and
to LET GO
Handaka Vijjānanda

64

Anda mungkin juga menyukai