Naskah
: Paryanto, S.Ag
Judul
Editor
Pelaksana
Direkam
Disiarkan
Operator
: Musik Tune
Pembaca
: Om Swastyastu
pura? Kan niat kita baik Pak yaitu untuk memuja Tuhan? Seperti halnya
keluarga yang ditinggalkan. Bukankah mereka harus lebih banyak ke pura
untuk lebih mendekatkan diri dengan Tuhan dalam menabahkan perasaan
mereka? Pertanyaan ini harus kita pecahkan bersama dan kita cari
jawabannya bersama.
kita yang kotor dan sedih. Pada saat itulah kita dikatakan kotor. Tetapi
walaupun kita sedang cuntaka, tidak ada pustaka suci yang menyebutkan
bahwa orang cuntaka tidak boleh sembahyang, berarti mereka boleh
sembahyang tetapi di rumah tidak di Pura. Mereka tidak boleh ke pura karena
pura terkondisi dengan hal-hal yang suci, pura ada ida Bethara yang
melinggih, jadi logikanya bagaimana kita mengahadap Sang Hyang Widhi di
saat kita sendiri kotor. Jika nekat ke pura dikhawatirkan akan terjadi hal-hal
yang tidak diinginkan sehingga tidak akan mungkin berkonsentrasi dengan
baik. Energy kesedihan, kekotoran, akan mempengaruhi energy dan vibrasi
kesucian pura. Dalam Bhagavadgita IX. 30 dijelaskan bahwa :
Api cet suduracharo
Bhajate mam ananyabhak
Sadhur eva sa mantavyah
Samyag vyavasito hi sah
Artinya:
Walaupun seandainya seorang yang ternoda, penjahat sekalipun memuja-Ku
dengan pengabdian yang terpusat ia harus dipandang ada di jalan yang benar
sebab ia telah bertindak menuju yang benar.
Ada beberapa hal yang menyebabkan seseorang menjadi kotor (Cuntaka)
misalnya Wanita haid (menstruasi), habis melahirkan, karena ada keluarga
yang meninggal, perkawinan, dan berpikir tidak baik.
Wanita haid darah yang keluar itu kotor dan diyakini kekotoran itu membawa
energy negative yang mempengaruhi kesucian Pura. Demikian juga dengan
kematian, energy kesedihan itu membuat kita menjadi sebel. Dan kita masih
terpengaruh vibrasi aura orang yang meninggal. Wanita yang melahirkan, dia
mengeluarkan darah sehingga membuat dirinya cuntaka. Kalau kita lihat
pasangan yang baru menikah itu tidak mengeluarkan kotoran, dan pastinya
mereka bahagia, tetapi sebelum mereka menjalankan upacara Mabyakala atau
upacara Biakonan maka mereka dianggap cuntaka.
Kemudian berapa lama
Relatif tergantung dari jenis cuntakanya, jika wanita haid sampai benar-benar
selesai haidnya, dan dia harus mandi keramas. Jika ada orang meninggal
maka yang melayat tidak lama masa cuntakanya. Setelah dia mandi keramas
dia sudah dinyatakan tidak cuntaka, tetapai bagi anak, cucu, sanak famili
maka terhitung 10 hari sejak hari meninggalnya. Hal itu dijelaskan dalam
Kitab Manava Dharmasastra V. 75 :
Vigatam tu videsastham,
Srnuyadyo hyanirdasam,
Yac chesam dasaratrasya,
Tava devasucirbhavet,
Ia yang mendengar bahwa salah seorang keluarganya yang tinggal jauh
meninggal dunia, sebelum sepuluh hari berselangnya, ia akan cuntaka
hanya selama hari-hari dan malam-malam menggenapkan sepuluh hari itu
saja.
Dan tentunya jika aturan sastra suci ini dilanggar maka akan terjadi hal-hal
yang berakibat negative baik bagi individu yang bersangkutan maupun pura
yang dikunjungi orang yang sedang cuntaka. Bagi individu yang bersangkutan
pikirannya akan menjadi kacau, dan tidak mempunyai konsentrasi walaupun
dipaksakan untuk sembahyang dengan penuh konsentrasi di pura. Sehingga
sebaiknya jangan memaksakan diri sembahyang di pura. Karena diyakini bisa
terjadi hal-hal yang lebih beresiko tinggi. Dan Bagi pura yang dikunjungi maka
pura itu akan menjadi leteh, kotor secara niskala. Perlu pembersihan atau
pecaruan untuk membersihkan pura dari unsure-unsur negative.
Demikian Lentera rohani agama Hindu, mohon maaf jika ada kekurangannya.
Semoga bermanfaat bagi kita semua. Kami akhiri dengan salam paramasantih.
Om Shantih Shantih Shantih Om
Kasie Pengembangan
Program Penyuluhan
Penyusun Naskah
Paryanto, S.Ag
NIP. 19810805 200901 1011
Mengetahui,
Kasudit Penyuluhan