Terima kasih saya ucapkan kepada pembawa acara atas waktu yang telah diberikan kepada saya.
Sebelumnya saya awali dengan salam panganjali
Om Swastyastu
Om avignamastu namosidham
Om sidhirastu tad astu ya namah svaha
Om anubadrah krtawo yantu wiswatah
Pertama marilah kita menghaturkan puja astungkara ke hadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa
karena atas asung krtawaranugrahaNya kita dapat menghadiri acara ini dengan keadaan baik dan
selamat.
Pada kesempatan ini saya akan membawa pesan dharma yang berjudul “Etika dalam
Sembahyang”.
Di dalam bahasa sehari-hari kata sembahyang atau ‘’mebhakti” atau “maturan” disebut “muspa”
karena dalam persembahyangan itu lazim juga dilakukan dengan persembahan kembang (puspa).
Disebut “mebhakti” karena inti dari persembahan itu adalah penyerahan diri setulus hati tanpa
pamrih kepada Hyang Widhi.
Manfaat sembahyang adalah untuk memelihara kesehatan. Selain pikiran menjadi jernih, sikap-
sikap sembahyang seperti asana, Pranayama dan sikap duduk untuk padmasana, siddhasana,
sukhasana, dan bajrasana dapat membuat otot dan pernafasan menjadi bagus. Selain untuk
kesehatan, bersembahyang dan berdoa juga mendidik kita untuk memiliki sifat ikhlas, karena apa
yang ada di dalam diri dan di luar diri kita tidak ada yang kekal, cepat atau lambat akan kita
tinggalkan atau berpisah dengan diri kita. Keikhlasan inilah yang dapat meringankan rasa
penderitaan yang kita alami, karena kita telah paham benar akan kehendak Hyang Widhi.
Sembahyang dengan tekun akan dapat menghilangkan rasa benci, marah, dendam, iri hati dan
mementingkan diri sendiri, sehingga meningkatkan cinta kasih kepada sesama. Membenci orang
lain sama saja membenci diri sendiri karena Jiwatman yang ada pada semua makhluk adalah
satu, bersumber dari Tuhan, seperti yang diajarkan dalam ajaran Tat Twam Asi yang artinya
kamu adalah aku. Kemudian dengan sembahyang kita dimotivasi untuk melestarikan alam,
karena bersembahyang membutuhkan sarana yang berasal dari alam, seperti bunga, daun, buah,
dan air. Sebagaimana tercantum pada Bhagavadgita IX.26
yang berbunyi:
Patram puspam phalam toyam,
Yo me bhaktya prayacchati,
Tad aham bhakty-upahrtam,
Asnami prayatatmanah.
Artinya:
Siapapun yang sujud bakti kepada-Ku mempersembahan sehelai daun, sekuntum bunga,
sebiji buah-buahan, seteguk air, Aku terima sebagai bakti persembahahan dari orang yang berhati
suci.
Dewan juri dan umat sedharma yang saya hormati,
Ada hal lain yang harus kita jaga ketika melaksanakan sembahyang terutama ketika
sembahyang dilaksanakan di Pura Kahyangan, yakni tingkah laku; dalam media Media
Hindu.com pada hari Jumat 5 januari 2018 menjelaskan tentang bagaimana sembahyang yang
baik dan benar di pura, bersembahyang perlu suasana yang hening, damai, dan sakral. Sedapat
mungkin usahakan agar anak-anak tidak ribut, berkelahi, menangis atau tertawa terbahak-bahak
di pura. Selagi bersembahyang ibu-ibu yang memomong anak dapat menitipkan anaknya di jaba
Pura kepada anggota keluarga yang lainnya, seterusnya diatur untuk bersembahyang bergiliran.
Dapat juga anak-anak dibawa bersembahyang asal diyakini tidak akan ribut di Pura. Wanita
dilarang masuk ke Pura dengan rambut terurai atau yang sering kita sebut megambahan karena
rambut wanita yang terurai simbol; marah,atau “nesti”. Semuanya bertentangan dengan hakekat
tujuan ke Pura. Keadaan sedang berkeringat banyak, berpakaian tidak layak, dalam keadaan
marah, sedih, atau terlalu gembira juga dilarang masuk ke Pura.
Berbicara mengenai bagaimana tata cara masuk ke Pura, dewasa ini lagi ngetren gadis-
gadis bahkan juga ibu-ibu pergi ke Pura memakai kebaya yang terbuat dari bahan tipis seperti
kaca sehingga dengan jelas terlihat busana dalamnya, dan bentuk tubuh yang menonjol juga
terlihat. Hal ini sangat bertentangan dengan norma Agama karena akan mengganggu konsentrasi
orang lain yang sedang bersembahyang.
Jika umat Islam bersembahyang dengan berusaha menutup auratnya sebanyak mungkin,
kenapa kita kok bersembahyang dengan menonjolkan aurat, malukan? Nah para remaja putri,
sadarlah, bersembahyang dengan pakaian yang baik dan sopan. Nanti ada tempatnya dan
waktunya di mana remaja putri dapat memamerkan kemolekannya. Tetapi jangan di Pura.
Kemudian hal yang paling sering terjadi yang dapat membuat suasana di dalam Pura
tidak tenang adalah ngobrol bahkan sambil ngegosip, padahal seharusya di dalam melaksanakan
sembahayang di Pura yang boleh berkumandang adalah suara genta atau bajra, suara sulinggih
yang melafalkan doa dan juga suara kidung. Namun kenyataannya hal ini jauh kalah dengan
suara obrolan umat terutama ketika pembagian tirta. Maka dalam kesempatan ini saya berpesan
janganlah kita melakukan hal itu, sebaiknya kita saling menjaga diri masing-masing sebab
obrolan-obrolan tanpa kita sadari dapat menyinggung perasaan orang lain. Dalam Nitisastra
sargah V. Bait 3 yang menyatakan bahwa:
Wasita nimitanta manemu laksmi, wasita nimitanta pati kapangguh, wasita nimitanta
manemu duhka, wasita nimitanta manemu mitra
Maka dari itu umat sedharma berhati-hatilah dalam berbicara sebab kata-kata yang kita
ucapkan bisa saja menyakiti orang lain, apabila ini terjadi di Pura tentu saja akan mengganggu
jalannya persembahyangan. Ada sebuah kutipan lagu yang dapat kita jadikan referensi untuk
meningkatkan sraddha dan bakti kita:
Yaitu lagu dari Ebiet G ade yang berjudul harus kita renungan
Kita mesti telanjang dan benar-benar bersih
Suci lahir dan di dalam batin
Tegaklah ke dalam sebelum bicara
Singkirkan debu yang masih melekat 2x