Anda di halaman 1dari 20

Siwa Ratri

Post by Ida Pedanda Gunung » Sun Jan 13, 2013 3:34 pm

Siwa Ratri di dalam pemahaman konsep Siwa mencari Siwa, Siwa bertemu Siwa dan Siwa
kembali ke Siwa.

I.Pendahuluan.

Dengan memanjatkan puja suci kehadapan Beliau Dewa Siwa di dalam sebutan Ida Sang Hynag
Widhi Wasa, atas segala kemurahan dan kasih sayangNya memberi tuntunan dan arahan
sehingga terbukanya jendela kesadaran di dalam diri penulis, untuk menulis orak-orek ini guna
dapat dipakai landasan menuangkan pikiran-pikiran suci disaat pertemuan yang amat sacral ini
guna dapat dipakai pegangan di masa datang oleh kita dan generasi penerus kita .

Demikian pula kepada semua pihak yang ikut terlibat di dalam rembug ini, penulis tidak lupa
menyampaikan rasa terima kasih yang sedalam-dalamnya atas segala kesempatan yang diberikan
untuk bisa ikut di dalam acara yang amat sacral dan suci ini. Semoga Tuhan tidak lupa
menganugrahi pahala sesuai dengan karma yang saudara-saudara lakukan.

Di dalam pikiran yang amat sangat kebingungan menerima kepercayaan untuk menampilkan
tulisan sebagai dasar rembug pada acara sekarang ini, penulis memberanikan diri menampilkan
judul; SIWARATRI DI DALAM PEMAHAMAN KONSEP SIWA MENCARI SIWA, SIWA
BERTEMU SIWA, DAN SIWA KEMBALI KE SIWA. Judul ini penulis tampilkan berdasarkan
beberapa alasan antara lain; Pertama, tentang Siwa Ratri sudah sangat sering di bahas, dari
bermacam-macam sudut, baik itu secara rutin setiap hari Siwa Ratri, maupun setiap saat. Apakah
itu secara berkelompok maupun secara sendiri-sendiri dalam renungan. Maka sekarang kita akan
mencoba untuk membahas dari sisi lain yang rasanya belum pernah dibahas, yaitu seperti judul
tersebut diatas. Namun segala kekurangan dan keterbatasan yang ada pada diri penulis, terutama
kekurang di dalam ilmu pengetahuan yang seharusnya mendukung pembahasan ini, maka tidak
lupa pula penulis memohon maaf jika tulisan ini tidak bermutu. Sebab tulisan yang bersetandar
bermutu ilmiah harus ditulis oleh mereka yang telah memiliki pengetahuan yang amat cukup
terutama tentang hal-hal yang akan dibahas. Artinya tulisan ini hanya sekedar dapat digunakan
sebagai alas untuk menyangga pemikiran-pemikiran yang dituwangkan nanti oleh para bijaksana.
Demikian pula di dalam tulisan ini tidak banyak menggunakan kepustakaan sebagai reprensi,
sebab penulis sendiri tidak banyak memiliki kepustakaan. Sehingga di dalam tampilan tulisan ini
penuh dengan tafsir-tafsir individu dari penulis sendiri. Boleh dikatakan tulisan ini hanya bisa
memenuhi permohonan panitia penyelenggara agar pada kesempatan yang amat sacral ini ada
tulisan sebagai sarana rembug disaat kita melakoni dan menyucikan hari Siwa Ratri.

Kedua, judul ini sangat menarik perasaan penulis untuk di bahas bersama mengingat beberapa
hal yang sedang terjadi sekarang yang notabena terindikasi adanya degradasi keyakinan terhadap
Tuhan yang bermuara pada terjadinya degradasi moral di kalangan umat manusia, sehingga
menusia mengalami kehidupan yang tidak seimbang dan kurang harmonis, baik hubungan
manusia dengan Tuhan, hubungan manusia antar manusia, dan hubungan manusia dengan alam
lingkungan. Sehingga tidak sedikit terjadi gejolak di masyarakat, karena manusia sudah saling
bermusuhan antar manusia kurang tersirat adanya persaudaraan antar manusia, alampun tidak
mau bersahabat dengan manusia sehingga bencana tidak henti-hentinya menimpa manusia.
Mungkin ini merupakan wujud kebosanan Tuhan melihat tingkah laku kita yang penuh dengan
dosa-dosa. Selain dari itu melalui pemmbahasan yang berlandaskan judul di atas diharapkan
dapat menjawab pertanyaan yang cukup sederhana antara lain; 1. Siapa sebenarnya diri kita ini?
2. Untuk apa kita berada di alam ini sekarang? 3. Setelah disini kita mau kemana? Siapakah yang
harus menjawab pertanyaan ini?, tentunya yang harus menjawab pertanyaan ini tidak ada lain
adalah kita sendiri.

Ketiga, aktifitas agama sekarang sudah sangat meriah, seperti hari ini umat membludak untuk
ikut serta mengikuti prosesi hari suci Siwa Ratri. Demikian pula prosesi agama yang lainnya
tidak kalah meriahnya, bahkan tidak sedikit mengeluarkan dana yang cukup besar. Semestinya
dibarengi oleh kesadaran hidup dan moralitas yang lebih maju dan tercermin kedalam kehidupan
yang harmonis dan damai. Tetapi kenyataannya sekarang yang terjadi berbanding terbalik,
manusia semakin prihatin melakoni hidupnya, penuh dengan ketakutan, kekhawatiran.
Pencurian, Perampokan, penyimpangan sexual, pengrusakan lingkungan, korupsi, penyakit
berbahaya seperti HIV/AID merajalela. Kenapa hal seperti itu bisa terjadi?????. Semestinya bila
aktifitas agama meningkat, seharusnya dibarengi oleh peningkatan kesadara, keyakinan, yang
berlandaskan moralitas yang luhur. Untuk mencari jawabannya jangan menuding pihak lain,
akan lebih bijaksana kalau kita dapat menyalahkan diri sendiri. Mudah-mudahan didalam kita
membahas Makna Siwa Ratri malam ini terselip ada jalan keluar yang dapat kita pakai landasan
untuk melakoni kehidupan dimasa sekarang ini, guna tercapainya tujuan hidup kita yang
sebenarnya.

II. Pembahasan.

Pelaksanaan hari Suci Siwa Ratri didasari oleh mitologi Lubdhaka Carita yang kental dengan
ajaran Siwaistis, maka pembahasan selanjutnya akan menggunakan dasar sastra Tattwa Jnana,
sebab sangat relepan dengan inti dari Siwa Ratri Kalpa/ Lubdaka carita, karena kedua-duanya
beraliran Siwa. Hal itu dapat kita lihat dari kutipan dibawah ini;

Nihan kayatnakna de sang asewaka dharma,mahyun luputing janma sangsara, hana Sanghyang
tattwa jnana ngaranira, yatika kawruhhakenanta rumuhun, lawanika deatanya enak pwa wruh ta
ring Sanghyang tattwa jnana, niyata tumon janma sangsara mwang mantuka ri sangkanya.
Aparan ika sinaggah Sanghyang tattwa jnana ngaranira,sugyan mangkana linga sang para,
anampih sanghyang tattwa jnana ngaranira, anaung pinaka bungkah ning tattwa kabeh, ndya
lwirnya nihan.

Terjemahannya:
Inilah yang patut diperhatikan oleh seorang abdi dharma, yang ingin bebas dari kesengsaraan
penjelmaan. Ada Sanghyang Tattwa Jnana namanya, itulah hendaknya engkau ketahui terlebih
dahulu, beserta Dewatanya. Hendaknya engkau pahami dengan baik akan Sanghyang tattwa
Jnana itu. Tentu engkau akan memahami kesengsaraan penjelmaan ini dan akan kembali ke
asalnya. Apakah yng disebut Sanghyang Tattwa Jnana itu? Barangkali demikian pertanyaannya
orang kebanyakan. Hanya ada Sanghyang Tattwa Jnana dasar semua ttatwa. ( T.J. Bait 1. Hal 2. ).

Untuk membahas “ Siwa mencari Siwa, Siwa Bertemu Siwa, dan Siwa Kembali ke Siwa “, yang
terkandung di dalam cerita Lubdaka, maka tattwa jnana yang paling relevan sebagai
landasannya. Sebab menyimak bait satu dari tattwa jnana seperti tersebut diatas sangat jelas
sekali keSiwaannya, barang siapa yang akan melakoni Dharma untuk mengetahui kesengasaraan
hidup dan ingin melepaskan diri dari kesengsangraan tersebut menuju pada asal mula kita
( Siwa ), maka tattwa jnanalah yang semestinya dipahami dan digunakan sebagai pedoman
hidup. Sebab tattwa jnana itu tidak lain merupakan dasar semua tattwa.

Jadi semua manusia sadar tidak sadar bahwa hidup ini mempunyai tujuan akhir yaitu kembali
keasal mula kita (Moksartam). Oleh karena itu sangatlah tepat bila kita membahas cerita
Lubdaka yang digunakan sebagai landasan hari suci Siwaratri dari tiga sisi yaitu; Siwa mencari
Siwa, Siwa bertemu Siwa, dan Siwa kembali ke Siwa. Yang dalam pembahasannya berdasarkan
ajaran Tattwa Jnana. Disamping hal tersebut, dinyatakan pula bahwa Sanghyang Tattwa Jnana
merupakan dasar dari semua tattwa yang ada.

Cetana, Acetana. Cetana ngaranya jnana wruh menget, ring tutur tanpa balik lupa, Acetana
ngaranya; ikang lupa wyamoha tan kahanan tutur. Ikang Cetana lawan Acetana, ika sinanggeh
siwattwa lawan maya tattwa……… ( T.J. bait 2. Hal 2.)

Terjemahannya:
Cetana Acetana. Cetana ialah : Jnana yaitu mengetahui, ingat, ingat akan kesadaran yang tidak
berubah menjadi lupa. Acetana ialah; lupa, bingung tidak memiliki kesadaran. Cetana dan
Acetana ittulah disebut siwatattwa. Cetana Siwatattwa dan Acetana Mayatattwa.

………….Ndan sira ta sinangguh ta atmikatattwa ngaranira, sira ta sanghyang atmawisesa


ngaran nira, sira ta bhatara dharma ngaran nira, sira ta umibeking rat kabeh, sira ta pinaka
uriping rat kabeh, sarwa janma kabeh……………..(T.J. bait 4, hal 6.)

Terjemahannya:
………..Maka ia disebut Atmaikatattwa, Sanghyang Atmatmawisesa, Bhatara dharma yang
memenuhi alam semesta. Ialah jiwanya alam semesta, jiwa semua makhluk…………

Memperhatikan kedua kutipan tersebut diatas, maka dapat disimak bhawa di dalam ajaran
Siwatattwa tersebut terbagi atas tiga bagian yaitu; Parama Siwatattwa, Sadhasiwatattwa dan
atmikatattwa. Didalam kaitan denga judul tulisan ini yang di maksud dengan Siwa pertama
(mencari) itu adalah Sanghyang Atmikatattwa sebagai jiwa semua makhluk, dalam hal ini
makhluk manusia yang lumrah disebut sanghyang Atma. (Brahman Atman Aikyam. Dan Aham
Brahman asmi). Sanghyang Atmikatatta itu adalah bagian kecil dari Sanghyang
Paramasiwatattwa (Tuhan) yang telah memasuki mayatattwa /tubuh manusia. Didalam cerita
Lubdakan diperankan sebagai sosok Lubdaka. Boleh dikatakan Lubdaka itu sebagai siwa kecil
(atmanya) yang akan berusaha menyatu dengan siwa besar, tak ubahnya seperti setitik air hujan
yang ingin menyatu dengan sumbernya yaitu air laut. Disinilah kalimat Siwa mencari Siwa yang
dimaksudkan oleh kalimat diatas. Cerita ini adalah merupakan cerminan dari sosok manusia
yang menjalankan Dharma (asewaka Dharma) berusaha untuk menemukan asalnya yaitu Siwa
( Parama Siwa), dalam kalimat “ Moksartam Jagatdhita yas ca iti Dharma “. Ada pula yang
mengartikan kata Lubdaka itu secara gramatikal sebagai berikut; Lub berasal dari penggalan kata
celub, didalam bahasa Bali, artinya masuk, dapat pula diartikan merubah (warna). Daka artinya
daki artinya kotor. Kalau dikaitkan dengan cerita Siwaratri, terjemahan tersebut sedikit masuk
akal, sebab menurut penjelasan Sanghyang Tattwa Jnana antara lain menguraikan; Sanghyang
Atmikatattwa tidak lain adalah Sanghyang Sadhasiwatattwa yang masuk kedalam Mayatattwa.
Dari uraian tersebut dapat kita tangkap nilai yang terkandung adalah; Sanghyang Atma tidak lain
adalah Sanghyang Sadhasiwatattwa yang masuk (celub) pada tubuh manusia ( mayatattwa ).
Terlepas dari benar dan salahnya, yang pasti di dalam tubuh Lubdaka ada unsur Siwanya (atma),
badan dari Lubdaka merupakan Maya. Didalam pembahasan sekarang ini diistilahkan Atma itu
Siwa kecil (percikan dari Siwa), badan dari Lubdaka merupakan Maya yang membelenggu atma
itu sendiri atau mewadahi atma itu sendiri.

Selanjutnya di dalam cerita Lubdaka disebutkan si Lubdaka itu diperankan sebagai pemburu
binatang. Binatang yang paling ditonjolkan adalah Gajah, harimau. Itu sebuah simbulis bagi
manusia yang sedang menjalani hidup ini, boleh juga disebut sedang berburu dan tergantung
pada buruannya yang berupa keduniawiaan seperti; kekuasaan, kewibawaan, duniawian lainnya.
Selanjutnya dalam cerita itu disebutkan si lubdaka tidak mendapatkan seekor binatangpun di
dalam perburuannya. Demikian pula bila di sejajarkan dengan hidupnya manusia yang selalu
mengejar memburu benda duniawi seperti ingin memuaskan artha dan Kama di dalam hidupnya
sama dengan mereka tidak akan menemui tujuan hidupnya alias kosong hidupnya. Tak ubahnya
seperti buah padi yang tak berisi, hanya bentuknya kelihatan namun isinya kosong. Juga seperti
telor busuk bentuknya utuh bulat namun isinya busuk tak berguna, demikian kata Bhagawan
Wararuci dalam tulisannya di kitab Sarasamuscaya.

Maka dalam prose’s perburuan si Lubdaka ini merupakan bayangan hidup kita sebagai manusia,
yang keseharian kita hanya berburu dan berburu terus, mencari dan mencari terus. Jadi Siwatma
terus berusaha mencari dan mencari terus, yang mana sebenarnya yang dicari itu adalah asal
mulanya. Selanjutnya di dalam perburuan Lubdaka yang tidak mendapatkan hasil, maka dia
memanjat dan istirahat di sebatang pohon bila, sambil memetik daun bila menghalau
ketakutannya terhadap binatang buas. Akhirnya Lubdaka dengan tidak disadari bertemu denga
Siwa Lingga. Jika cerita ini kita masukan kedalam kehidupan manusia, maka mereka yang sadar
akan arti hidup ini, mereka akan mendaki (menekuni) ajaran dharma dengan menekuni spiritual
dan tattwa kehidupan, dan melaksanakannya di dalam kehidupan sehari-hari, serta takut akan
cengkraman kuku artha dan kama yang amat buas, disitulah kita akan bertemu dengan sumber
kita yaitu kebahagiaan sejati “ Suka tanpa wali Duka”. Proses inilah yang digambarkan oleh
Sang pengawi merupakan gambaran hidupnya manusia melalui prose’s untuk mencapai yang kita
sebut pertemuan Siwa Bertemu dengan Siwa sebagai gambaran dari kebahagiaan hidup bagi
penekun Dharma.

Cerita selanjutnya adalah gambaran setelah Lubdaka meninggal, dia mendapat siksaan dari
Yamabala (prajuritnya Bhatara Yama), namun hanya sebentar sebab Dewa Siwa mengetahui
rokhnya lubdaka mendapat siksaan dari Yamabala, maka Dewa Siwa mengutus Ganabala
( prajurit Bhatara Siwa), menjemput Rokhnya Lubdaka agar dibawa ke Siwaloka mendekat
(menyatu dengan asalnya). Disitulah dewa Siwa mengeluarkan intruksi, “ Barang siapa yang
mampu melakoni Siwaratri di dalam hidupnya, selalu melek tentang Dharma (simbul begadang),
tidak terikat oleh benda keduniawian, mereka akan menikmati kebahagiaan di alam Siwa (amor
ring acintya) “. Apabila kita resapkan kedalam hidup kita sekarang, bagi mereka yang asewaka
Dharma dan mampu menemui jalan ke siwaloka (bertemu dengan Siwa), maka mereka akan
menikmati kemoksaan, walaupun tidak terlepas dari semua pahala dari karma yang pernah dibuat
sendiri, baik itu subhakarma maupun itu asubhakarma sekecil apapun pasti akan dinikmati
phahalanya. Inilah yang dimaksud “ Siwa kembali ke Siwa.” Sehingga perlu ditekankan disini
bahwa, hari suci Siwaratri itu memberikan makna atau memberikan gambaran kepada manusia
untuk disadari bahwa hidup ini merupakan sebuah prose’s di dalam menuju tujuan akhir. Bila
makna ini dapat kita tanamkan di dalam diri sendiri dan kepada umat, sehingga terjadi perubahan
sikap dan prilaku kearah yang mulia, maka hidup manusia sangat seimbang, sangat damai, dan
tidak perlu adanya ketakutan, keprihatinan, dan hal-hal yang sejenis dengan itu. Sebaliknya bila
nilai ini tidak mampu kita pahami dan laksanakan di dalam hidup ini, sama artinya dengan kita
melaksanakan Siwaratri hanya dalam bentuk serimonial belaka, kalau tidak boleh diktakan
membuang energi sia-sia, yang tidak dapat memberi nilai tambah pada diri kita, sehingga hidup
kita akan selalu diliputi oleh kecemasan, ketakutan, dan keakhwatiran. Keseimbangan dan
kedamain akan semakin menjauh dari kita. Sebaliknya neraka semakin menjadi teman dekat kita,
yang pada akhirnya karena ulah kitalah kehancuran itu akan semakin dekat dipelupuk mata.
Disaat seperti itu penyesalan dan renungan hanya merupakan kidung merdu dan indah
mengantarkan kita masuk kejurang neraka.

Demikianlah secara singkat dan gegabah penulis berani menuangkan pikiran didalam memahami
makna Siwa Ratri. Tidak terlepas dari sebuah kemungkinan yang terjadi di dalam tulisan ini
berupa kesalahan dalam betuk apa saja, penulis tidak lupa mohan maaf atas semua itu baik secara
sengaja maupun secara tidak sengaja terjadi. Dan terimakasih atas kesediaan para pembaca
tulisan ini telah rela meluwangkan waktu untuk membacanya. Penulis merasa sangat bersyukur
dan merasa sangat terhormat atas kerelaan saudara bila saudara dapat memberikan masukan dan
membenahi pandangan penulis yang masih dangkal ini guna mendapatkan pemahaman yang
sempurna untuk kita gunakan dimasa datang. Sebab penlis mempunyai slogan; “sekecil apapun
karma kita, pasti akan mendapatkan pahala.”

III. Simpulan.

1. Pelaksanaan Hari Suci Siwa Ratri yang dilandasi oleh cerita Lubdaka adalah merupakan
sebuah media pendidikan untuk menyadarkan umat manusia tentang makna hidup ini. Dengan
selalu bertanya kepada diri sendiri dengan pertanyaan; “ Siapakah diriku ini?”.

2. Melaui pelaksanaan Siwa Ratri kita dapat memahami fungsi hidup ini. Dengan selalu bertanya
kepada diri sendiri dengan pertanyaan; “ Untuk apa aku berada disini?.”

3. Memahami makna Siwa Ratri secara mendalam kita akan tau tujuan hidup ini yang
sebenarnya. Dengan selalu bertanya kepada diri sendiri dengan pertanyaan; “ Setelah disini aku
mau kemana, dan apa yang kubisa bawa kesana?.”
4. Dengan penuh kesadaran marilah kita berusaha; mencari, menemukan, dan mengembalikan
semuanya ke asalnya. Dengan cara menjalani hidup ini berlandaskan Asewaka Dharma.

5. Secara bersama-sama mari kita berusaha membina umat kita kearah yang benar di dalam
memahami setiap aktifitas agama demi tercapainya keseimbangan dan kedamaian Hidup, serta
menghentikan sikap mencari pembenaran dengan menggantinya dengan sikap mencari
kebenaran.

6. Untuk dapat mencapai tujuan hidup ini, harus dimulai dari diri sendiri, sebab manusia dengan
memiliki kelebihan bisa berpikir, memiliki pula hak paten antara lain untuk “ Menolong dirinya
sendiri dari jeratan tali neraka. Manusia dapat pula menciptakan dirinya mau jadi apa” Untuk
itulah kita harus dapat memanfaatkan kesempatan tersebut demi tercapainya tujuan hidup ini.

7. Tidak aka ada yang mampu merubah sikap dan prilaku manusia, kecuali muncul dari
keinginan mereka sendiri yang mau merubahnya.
MEMAHAMI TATWA DALAM YADNYA DI ERA MODERN
Oleh :
Ni Kadek Martina
Om Swastyastu
Om Anobhadrah krtavoyanthu visvataha ; semoga pikiran yang baik datang dari segala
penjuru
Umat Hindu sedharma yang berbahagia, atas karunia Ida Sang Hyang Widhi Wasa,
Tuhan Yang Maha Esa kita diberikan kesempatan berkumpul ditempat ini dengan limpahan
kesehatan dan tidak kurang sesuatu apapun. Rasa bahagia yang tidak terkira manakala pada
kesempatan ini, saya bisa menyampaikan Dharma Wacana dengan topik “Memahami Tattwa
Dalam Yadnya Di Era Modern”. Lebih bahagianya lagi berada didepan umat sedharma yang
begitu antusias mengikuti dharmawacana ini dengan wajah yang berseri laksana teja sang surya
yang bersinar cemerlang, Tidak tampak oleh saya kesedihan yang tersirat menandakan para umat
sedharma dilimpahkan kebahagian.
Umat sedharma yang berbahagia, kata yadnya seperti yang kita ketahui sudah lama
populer, tetapi masih banyak umat yang memberi arti sempit pada kata yadnya tersebut. Bagi
umat yang masih awam setiap mendengar kata yadnya dalam benaknya selalu terbayang bahwa
di suatu tempat ada berbagai jenis sesajen, asap dupa mengepul, bau bunga dan wangi kemenyan
yang semerbak, ada puja stawa sulinggih atau pemangku, ada suara tabuh, kidung, gambelan
yang meriah dan berbagai atraksi seni religious. Bayangan tersebut tidaklah salah, namun ada
kekeliruan anggapan kalau yadnya diidentikkan dengan kegiatan upacara keagamaan, yang
sesungguhnya pengertian yadnya tidak sesempit itu.
Kata yajnya sesungguhnya berasal dari bahasa sanskerta.Yadnya secara etimologi
berasal dari akar kata Yaj artinya : “korban”. Dengan demikian yadnya dapat diartikan korban
suci dengan tulus iklas. Pengorbanan dalam konteks ini cakupanya sangat luas dan bukan saja
dalam bentuk ritual, upakara tetapi dapat juga dipahami sebagai pengorbanan dalam bentuk
pikiran, tindakan dan yang lainya. Dalam kitab Bhagavadgita IV.33 dinyatakan sebagai berikut:
Sreyaan dravyamayaad yadnyaaj.
Jnyanayadnyaah paramtapa.
Sarvam karmaa'khilam paartha.
Jnyaane parsamaapyate
(Bhagavad Gita IV.33)

Artinya:
Lebih utama persembahan dengan Jnyana Yadnya daripada persembahan materi dalam wujud
apa pun. Sebab, segala pekerjaan apa pun seharusnya berdasarkan ilmu pengetahuan suci
(Jnyana).

Umat sedharma yang terkasih, dijaman yang modern seperti sekarang ini yang mana
kehidupan masyarakat yang serba praktis pola hidup masyarakat cendrung konsomtif (serba
instan) dan hedonisme. Masyarakat pada umumnya melakoni hidup dengan rutinitas yang padat,
terkadang sampai lupa waktu, terutama masyarakat yang hidup di kota-kota besar. Jika umat
tidak memahami tatwa yadnya yang sesungguhnya , sudah pasti umat akan beranggapan bahwa
beryadnya khuusnya di Hindu akan sangat memberatkan umat kerena penuh dengan ritual
upacara dengan berbagai sesajen atau banten yang begitu banyak. Sesungguhnya jika umat
memahami tatwa atau esensi dari yadnya, maka umat akan dapat memahami kalau beryadnya
tidak hanya dengan ritual semata tetapi dapat pula dilakukan dengan melaksanakan ajaran
dharma. Jika segala sesuatu atau perbuatan yang kita lakukan berdasarkan atas dharma dengan
tulus ikhlas dapat disebut yadnya.
Dalam Bhagavadgita dikatakan belajar dan mengajar yang didasari oleh keiklasan serta
penuh pengabdian untuk memuja nama Tuhan maka itu pun tergolong kedalam yadnya.
Memelihara alam dan lingkungan sekitar pun tergolong kedalam yadnya. Mengendalikan hawa
nafsu dan panca indra adalah yadnya. Selain itu menolong orang sakit, mengentaskan
kemiskinan, menghibur orang yang sedang tertimpa musibah pun adalah yadnya. Jadi jelaslah
yadnya itu bukan terbatas pada kegiatan upacara keagamaan saja.
Umat sedharma yang berbahagia jika umat telah memahami tatwa yadnya yang
sesungguhnya maka umat tidak akan beranggapan kalau yadnya yang setiap hari kita lakukan
hanya berkutat dengan ritual upacara semata yang penuh dengan sesajen. Hal tersebut terkadang
dapat memberatkan umat sehingga muncul anggapan kalau beryadnya itu rumit dan terkesan ada
unsur pemaksaan. Sesungguhnya jika dipahami, Hindu itu merupakan Agama yang fleksibel.
Hindu adalah “cara hidup” kata S Radhakrisnan. Dan, “Hindu disetiap aktifitasnya menunjukan
elastisitasnya (fleksibel) tidak kaku” ujar MK Gandhi. Demikian juga “Hindu fleksibel tidak
membunh budaya setempat dimana Hindu itu berkembang, seperti ibarat bola karet yang
mengelinding. Menggelinding di pasir ia akan menjadi pasir, menggelinding dirumput ia akan
menjadi rumput”. Ujar guru agung Svami Vivekananda. Jadi ajaran Hindu tidak kaku, demikian
juga kaitanya dalam melakukan ritual yadnya Hindu tidak mengharuskan beryadnya dengan
kemegahan dan kemewahan serta mengeluarkan uang banyak.
Umat sedharma yang berbahagia, jika ditinjau dari tiga kerangka dasar Agama Hindu
yaitu Tatwa, Etika, dan Upakara atau Upacara, dimana kerangka ini merupakan cerminan dari
“Tri Angga Sarira” dari manusia diantaranya ada badan Atma yang bermanifestasi sebagai
“Mahat” dan tercermin sebagai Tatwa. Kedua adalah badan Antakarana (jiwa) bermanifestasi
sebagai “Budhi” dan tercermin sebagai perilaku atau etika. Ketiga adalah adanya jasad tubuh
“Panca Maha Butha” bermanifestasi sebagai “Ahamkara” dan merupakan cerminan upakara atau
upacara (bersifat material). Sesungguhnya yadnya yang kita lalukan adalah cerminan dari diri
sendiri, dikatakan dalam Upanisad; sesungguhnya tuhan berada dalam diri kita sendiri. Jika kita
ingin memiliki atau mempersembahkan yadnya yang berkualitas hendaknya kita mampu
mengendalikan diri sendiri terutama mengendalikan pikiran.
Manawa Dharmasastra II.92 dikatakan bahwa ; “pikiran adalah indra yang kesebelas,
pikiran itu disebut rajendrya atau raja-raja indria”. Jadi jika ingin yadnya yang kita
persembahkan berkualitas, maka kita harus dapat memahami bahwa sebenarnya Tuhan ada
dalam diri serta mampu untuk mengendalikan pikiran. Sebab pikiran merupakan penyebab dari
kehancuran.
Demikian untuk dipahami umat sedharma, beryadnya yang berkualitas bukan diukur
dari kemegahan dan besar kecilnya upacara. Sesungguhnya kualitas dari yadnya tersebut berada
dalam diri sendiri. Jika sudah mampu untuk mengendalikan pikiran, tindakan dan nafsu dalam
diri maka apapun perbuatan yang kita lakukan adalah yadnya yang berkualitas. Umat sedharma
yang berbahagia sesungguhnya tatwa atau esensi dari yadnya yang kita lakukan adalah bertolak
ukur dari diri sendiri. Selain itu jika dikaitkan dengan kehidupan dijaman yang modern ini tatwa
yadnya itu sendiri, bilamana kita mampu untuk mengendalikan pikiran dan tindakan serta dapat
menolong orang yang sedang kesusahan adalah besar yadnya tersebut. Harapan saya dari apa
yang telah saya sampaikan dapat bermanfaat bagi kita semua, jika kita menghargai ciptaan
Tuhan maka kita secara tidak langsung telah melakukan yadnya yang utama. Seperti dalam
Hindu dikatakan dalam konsep Tat Twam Asi, aku adalah kamu yang artinya jika kita
menyayangi dan memelihara ciptaan Tuhan maka sama artinya kita mempersembahkan bhakti
kepada-Nya. Jika ada kekurangan dalam penyampaian dharma wacana ini saya mohon maaf.
Karena tidak ada manusia yang sempurna, tiada gading yang tak retak. Akhir kata saya tutup
dengan paramasantih.
Om Santih, Santih, Santih Om

DHARMA WACANA
IMPLENTASI AJARAN TRI HITA KARANA DALAM KEHIDUPAN
OLEH :
I Nyoman Juliana

Om Swastyastu,
Pada hari yang berbahagia ini saya ingin menyampaikan sedikit ulasan tentang” Tri Hita
Karana”. Tri Hita Karana merupakan suatu konsep atau ajaran dalam agama hindu yang selalu
menitikberatkan bagaimana antara sesama bisa hidup secara rukun dan damai. Tri hita karana
bisa diartikan Secara leksikal yang berarti tiga penyebab kesejahteraan. Yang mana Tri yang
artinya tiga, Hita yang artinya sejahtera, dan Karana yang artinya penyebab. Adapun tiga hal
tersebut adalah parhayangan, pawongan, dan palemahan. Konsep Tri Hita Karana muncul
berkaitan dengan keberadaan desa adat di Bali. Hal ini disebabkan oleh terwujudnya suatu desa
adat di Bali bukan saja merupkan persekutuan daerah dan persekutuan hidup atas kepentingan
bersama dalam masyarakat, namun juga merupakan persekutuan bersama dalam kepercayaan
memuja Tuhan. Dengan kata lain bahwa ciri khas desa adat di Bali harus mempunyai unsur
wilayah, orang-orang atau masyarakat yang menempati suatu wilayah serta adanya tempat suci
untuk memuja Tuhan.

Pembagian ajaran Tri Hita karana meliputi;

1. Parhayangan
Parhyangan berasal dari kata hyang yang artinya Tuhan. Parhayangan berarti ketuhanan atau hal-
hal yang berkaitan dengan keagamaan dalam rangka memuja ida sang hyang widhi wasa. Dalam
arti yang sempit parhyangan berarti tempat suci untuk memuja tuhan.
Menurut tinjauan Dharma susilanya, manusia menyembah dan berbhakti kepada tuhan
disebabkan oleh sifat-sifat parama (mulia) yang dimilkinya. Rasa bhakti dan sujud pada tuhan
timbul dalam hati manusia oleh karena sanghyang widhi maha ada, maka kuasa, maha pengasih
yang melimpahkan kasih dan kebijaksanaan kepada umatnya. Kita Sebagai umat yang beragama
yang bernaung dibawah perlindungannya sangat berutang budi lahir bhatin kepada beliau. Dan
utang budhi tersebut tak akan terbalas oleh apapun. Karena hal tersebut diatas, maka satu-
satunya dharma/susila yang dapat kita sajikan kepada beliau hanyalah dengan jalan
menghaturkan parama suksmaning idep atau rasa terima kasih kita yang setinggi-tingginya
kepada beliau.
Adapun contoh implementasi rasa syukur kita kepada tuhan adalah dengan jalan :
a) Dengan khidmat dan sujud bhakti menghaturkan yadnya dan persembahyangan kepada tuhan
yang maha esa).
b) Berziarah atau berkunjung ketempat-tempat suci atau tirta yatra untuk memohon kesucian lahir
dan bhatin
c) Mempelajari dengan sungguh-sungguh ajaran-ajaran mengenai ketuhanan, mengamalkan
serta menuruti dengan teliti segala ajaran-ajaran kerohanian atau pendidikan mental spiritual.
Dalam Bhagawadgita dikatakan bahwa :
“Satatam kirtayatom mam
Yatantas ca drsha vrtatah
Namasyantas ca mam bhatya
Ni tyayuktah upsate”(IX.14)

Yang artinya adalah :


Berbuatlah selalu hanya untuk memuji-Ku dan lakukanlah tugas pengabdian itu dengan tiada
putus-putusnya. Engkau yang memujaku dengan tiada henti-hentinya itu serta dengan kebaktian
yanbg kekal adalah dekat dengan-Ku.
Disamping itu rasa bhakti kepada ida sanghyang widhi wasa itu timbul dalam hati manusia
berupa sembah, puji-pujian, doa penyerahan diri, rasa rendah hati dan rasa berkorban untuk
kebajikan. Kita sebagai umat manusia yang beragama dan bersusila harus menjunjung dan
memenuhi kewajiban, antara lain cinta kepada kebenaran, kejujuran, keikhlasan, dan keadilan.
Dengan demikian jelaslah begaimana hubungan antara sanghyang widi dengan manusia.
Hubungan ini harus dipupuk dan ditingkatkan terus kearah yang lebih tinggi dan lebih suci lahir
bhatin. Sesuai dengan swadharmaning umat yangb religius, yakni untuk dapat mencapai
moksartam jagad hita ya ca itri dharma, yakni kebahagiaan hidup duniawi dan kesempurnaan
kebahagioan rohani yang langgeng (moksa).

2. Pawongan
Pawonan berasal dari kata wong (dalam bahasa jawa) yang artinya orang. Pawongan adalah
perihal yang berkaitan dengan orang dalam satu kehidupan masyarakat, dalam arti yang sempit
pawongan adalah kelompok manusia yang bermasyarakat yang tinggal dalam satu wilayah.
Pada mulanya Tuhan yang lebih dulu menciptakan bhuwana atau alam, maka munculah
palemahan, setelah itu barulah beliau menciptakan manusia beserta mahluk hidup lainya. Setelah
manusia berkembang dan menghimpun diri dalam kehidupan bersama dan mendiami suatu
wilayah tertentu maka muncullah masyarakat yang disebut dengan pawongan.
Selain menyelaraskan hubungan atman dengan paramatman atau hubungan manusia dengan
tuhan, kita sebagai mahluk sosial juga harus membina hubungan dengan sesama Manusia dan
mahluk lainya. Yang dimaksud dengan hubungan antar manusia dan mahluk lain ini adalah
hubungan antar anggota keluarga , masyarakat, antara anak, suami dan istri dan lainnya.
Hubungan manusia dengan mahluk lainya hendaknya dapat menciptanya suasana rukun,
harmonis, dan damai serta saling bantu membantu satu sama lain dengan hati yang penuh dengan
cinta kasih. Yang mana kasih merupakan dasar kebajikan. Kasih muncul dari dalam kalbu yang
merupakan alam paramatman, yaitu lama ananda (kebahagiaan).
Dalam manu smerti II,138 disebut :

“satyam bruyat priyam bruyam


na bruyam satyam, priyam
canartam, bruyat esa dharmah sanatanah”
yang artinya:
berkatalah yang sewajarnya jangan mengucapkan kata kata yang kasar. Walaupun kata-kata itu
benar, jangan pula mengucapkan kata-kata lemah lembut namun dusta. Inilah hukum susila yang
abadi(sanatana dharma).
Perilaku yang baik adalah dasar mutlak dalam kehidupan sebagai manusia, karena dengan
berbuat susila manusia dapat meningkatkan taraf hidupnya baik di alam sekala maupun di alam
niskala.

3. Palemahan
Palemahan berasal dari kata lemah yang artinya tanah. Palemahan juga berati bhuwana atau
alam. Dalam artian yang sempit palemahan berarti wilayah sutu pemukiman atau tempat tinggal.
Manusia hidup dimuka bumi ini memerlukan ketentraman, Kesejukan, ketenangan dan
kebahagiaan lahir dan bhatin. Untuk mencapai tujuan tersebut manusia tidak bisa hidup tanpa
bhuwana agung (alam semesta). Manusia hidup di alam dan dari hasil alam. Hal inilah yang
melandasi terjadinya hubungan harmonis antara manusia dengan alam semesta ini.
Untuk tetap menjaga keseimbangan dan keharmonisan alam, umat Hindu melaksanakan upacar
tumpek uye (tumpek kandang), yang bertujuan untuk menjaga kelestarian hidup binatang dan
melaksanakan upacara tumpek wariga (tumpek bubuh) untuk melestarikan tumbuh-tumbuhan..
Demikianlah penjelasan mengenai pembagian dari tri hita karana tersebut. Arti penting ajaran Tri
hita karana ini merupakan ajaran agama hindu yang universal. Ajaran tri hita karana
mengarahkan manusia untuk selalu mengharmoniskan hubungan manusia dengan sang pencipta,
manusia dengan alam semesta, dan hubungan manusia dengan alam semesta atau lingkunganya.
Arah dan sasaran dari tri hita karana adalah mencapai mokrastham jagad hita ya ca iti dharma,
yakni mencapai kebahagiaan lahir dan bhatin sehingga dengan keharmonisan maka tercapailah
kebahagiaan yang merupakan tujuan akhir dari agama hindu yakni bersatunya atman dengan
paramatman.
Implementasi Ajaran Tri Hita Karana Dalam Rumah Tangga
Berbicara kebahagiaan atau mengenai Tri Hita Karana tidaklah bisa dipisahkan antara pawongan,
palemahan dan parahyangan sebab antara satu dan yang lainya saling keterikatan yang mana
implementasi ketiga ajaran tersebut menentukan kebagaiaan manusia dan alam semesta ini sebab
dalam Tri Hita Karana tidak saja hubungan antara manusia saja, melainkan hubungan dengan
alam dan tuhan pula diajarkan.
Implementasi Tri Hita Karana sesungguhnya dapat diterapkan dimana dan kapan saja dan
idealnya dalam setiap aspek kehidupan manusia dapat menerapkan dan mempraktekan tri hita
karana ini yang sangat sarat dengan ajaran etika yakni tidak saja bagaimana kita diajarkan
bertuhan dan mengagungkan tuhan namun bagaimana srada dan bhakti kita kepada tuhan
melalaui praktik kita dalam kehidupan sehari-hari seperti mengahargai antara manusia dan alam
semesta ini yang telah memberikan kehidupan bagi kita.
Dalam kehidupan sehari-hari setiap manusia selalu mencari kebahagiaan dan selalu
mengharapkan agar dapat hidup secara damai dan tentram baik antara manusia dalam hal ini
tetangga yang ada dilingkungan tersebut maupun dengan alam sekitarya. Hubungan tersebut
biasanya terjalin dengan tidak sengaja atau secara mengalir saja terutama dengan manusia namun
ada juga yang tidak memperdulikan hal tersebut dan cenderung melupakan hakekatnya sebagai
manusia sosial yang tak dapat hidup sendiri. Dalam kehidupan manusia, segala sesuatu berawal
dari diri sendiri dan kemudian berlanjut pada keluarganya. Dalam keluarga, manusia akan
diberikan pengetahuan dan pelajaran tentang hidup baik tentang ketuhanan ataupun etika oleh
orang tua atau pengasuh kita (wali), dan beranjak dari hal tersebut pula orang tua secara perlahan
menanamkan nilai-nilai keagamaan dalam tubuh dan pikiran setiap anak-anaknya melalui praktik
maupun teori. Begitu pula halnya dengan pendidikan atau pemahaman tentang tri hita karana itu
sendiri, secara sadar maupun tidak sadar hal tersebut atau nilai-nilai ajaran tersebut sudah
ditanamkan oleh orang tua melalui praktik kepada anak-anaknya seperti mengajarkan anaknya
untuk mebanten saiban. Memang hal ini manpak sepele namun jika kita mampu mengkaji lebih
dalam sesungguhnya hal ini mengandung nilai pendidikan yang sangat tinggi meskipun orang tua
kebanyakan tidak mampu menjelaskan secara logika dan benar makna dari tindakan tersebut.
Selain hal tersebut diatas masih banyak hal terkait implementasi tri hita karana yang dapat
dilakukan dalam kehidupak keluarga, seperti mebanten ketika hendak melakukan suatu kegiatan
seperi membuka lahan perkebunan yang baru. Hal ini jika dikaji tidak hanya penghormatan
kepada alam namun penghormatan kepada tuhan melalui tindakan yang secara kasat mata
meminta ijin beliau untuk memakai alam tersebut untuk kebutuhan manusia. Interaksi manusia
dengan alam dan Tuhan yang nampak pada kegiatan tersebut hampir tidak pernah
diperbincangkan oleh manusia dan menganggap hal tersebut sebagi hal yang biasa, namun
demikianlah umat hindu mengimani ajaran Tri Hita Karana yang mana implementasinya sendiri
terkadang dilakukan secara tidak sengaja namun mengena pada sasaran.
Mengenai hubungan manusia dengan sesam (pawongan), ajaran tri hita karana nampak pada
upacara manusia yadnya misalnya upacara otonan yang mana yang dilakukan untuk
memperingati hari kelahiran kita dan bersyukur kepada tuhan karena telah dilahirkan. Ajaran Tri
Hita Karana tidak bisa diterapkan dalam satu bidang saja namun ada keterkaitannya dengan yang
lain seperti contoh diatas, tidak saja untuk manusia dilakukan upacara tersebut namun ditujukan
pula kepda tuhan. Demikian mulianya huhungan yang diajarkan tri hita karana pada manusia
yang selalu menekankan kepada manusia agar selalu ingat bahwa kita didunia ini tidaklah hidup
sendirian, ada tentangga dalam hal ini manusia lain yang kita butuhkan sebagai mahluk sosial,
ada alam yang memberi kita berkah agar bisa meneruskan hidup dan ada tuhan sebagai pencipta
kita. Sehingga kita senantiasa harus menjaga hubungan tersebut agar terjadi keseimbangan dalam
hidup ini. Demikianlah contoh secara gamlang yang dapat diuraikan selain masih banyak lagi
contoh lain yang terkait mengenai hal tersebut yang mana bisa dimulai dari lingkungan rumah
tangga atau lingkungan keluarga, sebab dalam keluarga banyak memberikan edukasi yang tinggi
tentang nilai-nilai serta konsep ketuhanan, sehingga dari padanya hendaknya kepada anak
diberikan hal itu sedini mungkin.
Demikianlah sedikit ulasan yang dapat saya sampaikan pada hariyang berbahagia ini.
Semoa apa yang di saya jelaskan tadi dapat diterapkan dalam kehidupan kita supaya tercipta
suatu keadaan yang harmonis, tentram dan damai.
Om santhi, santhi, santhi om.

Diposting oleh HINDU RESEARCH CENTER di 01.36 Tidak ada komentar:


Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Berbagi ke TwitterBerbagi ke FacebookBagikan ke Pinterest

MEMAHAMI TATWA DALAM YADNYA DI ERA MODERN

MEMAHAMI TATWA DALAM YADNYA DI ERA MODERN


Oleh : Ni Kadek Martina

Om Swastyastu
Om Anobhadrah krtavoyanthu visvataha ; semoga pikiran yang baik datang dari segala
penjuru
Umat Hindu sedharma yang berbahagia, atas karunia Ida Sang Hyang Widhi Wasa,
Tuhan Yang Maha Esa kita diberikan kesempatan berkumpul ditempat ini dengan limpahan
kesehatan dan tidak kurang sesuatu apapun. Rasa bahagia yang tidak terkira manakala pada
kesempatan ini, saya bisa menyampaikan Dharma Wacana dengan topik “Memahami Tattwa
Dalam Yadnya Di Era Modern”. Lebih bahagianya lagi berada didepan umat sedharma yang
begitu antusias mengikuti dharmawacana ini dengan wajah yang berseri laksana teja sang surya
yang bersinar cemerlang, Tidak tampak oleh saya kesedihan yang tersirat menandakan para umat
sedharma dilimpahkan kebahagian.
Umat sedharma yang berbahagia, kata yadnya seperti yang kita ketahui sudah lama
populer, tetapi masih banyak umat yang memberi arti sempit pada kata yadnya tersebut. Bagi
umat yang masih awam setiap mendengar kata yadnya dalam benaknya selalu terbayang bahwa
di suatu tempat ada berbagai jenis sesajen, asap dupa mengepul, bau bunga dan wangi kemenyan
yang semerbak, ada puja stawa sulinggih atau pemangku, ada suara tabuh, kidung, gambelan
yang meriah dan berbagai atraksi seni religious. Bayangan tersebut tidaklah salah, namun ada
kekeliruan anggapan kalau yadnya diidentikkan dengan kegiatan upacara keagamaan, yang
sesungguhnya pengertian yadnya tidak sesempit itu.
Kata yajnya sesungguhnya berasal dari bahasa sanskerta.Yadnya secara etimologi
berasal dari akar kata Yaj artinya : “korban”. Dengan demikian yadnya dapat diartikan korban
suci dengan tulus iklas. Pengorbanan dalam konteks ini cakupanya sangat luas dan bukan saja
dalam bentuk ritual, upakara tetapi dapat juga dipahami sebagai pengorbanan dalam bentuk
pikiran, tindakan dan yang lainya. Dalam kitab Bhagavadgita IV.33 dinyatakan sebagai berikut:
Sreyaan dravyamayaad yadnyaaj.
Jnyanayadnyaah paramtapa.
Sarvam karmaa'khilam paartha.
Jnyaane parsamaapyate
(Bhagavad Gita IV.33)

Artinya:
Lebih utama persembahan dengan Jnyana Yadnya daripada persembahan materi dalam wujud
apa pun. Sebab, segala pekerjaan apa pun seharusnya berdasarkan ilmu pengetahuan suci
(Jnyana).

Umat sedharma yang terkasih, dijaman yang modern seperti sekarang ini yang mana
kehidupan masyarakat yang serba praktis pola hidup masyarakat cendrung konsomtif (serba
instan) dan hedonisme. Masyarakat pada umumnya melakoni hidup dengan rutinitas yang padat,
terkadang sampai lupa waktu, terutama masyarakat yang hidup di kota-kota besar. Jika umat
tidak memahami tatwa yadnya yang sesungguhnya , sudah pasti umat akan beranggapan bahwa
beryadnya khuusnya di Hindu akan sangat memberatkan umat kerena penuh dengan ritual
upacara dengan berbagai sesajen atau banten yang begitu banyak. Sesungguhnya jika umat
memahami tatwa atau esensi dari yadnya, maka umat akan dapat memahami kalau beryadnya
tidak hanya dengan ritual semata tetapi dapat pula dilakukan dengan melaksanakan ajaran
dharma. Jika segala sesuatu atau perbuatan yang kita lakukan berdasarkan atas dharma dengan
tulus ikhlas dapat disebut yadnya.
Dalam Bhagavadgita dikatakan belajar dan mengajar yang didasari oleh keiklasan serta
penuh pengabdian untuk memuja nama Tuhan maka itu pun tergolong kedalam yadnya.
Memelihara alam dan lingkungan sekitar pun tergolong kedalam yadnya. Mengendalikan hawa
nafsu dan panca indra adalah yadnya. Selain itu menolong orang sakit, mengentaskan
kemiskinan, menghibur orang yang sedang tertimpa musibah pun adalah yadnya. Jadi jelaslah
yadnya itu bukan terbatas pada kegiatan upacara keagamaan saja.
Umat sedharma yang berbahagia jika umat telah memahami tatwa yadnya yang
sesungguhnya maka umat tidak akan beranggapan kalau yadnya yang setiap hari kita lakukan
hanya berkutat dengan ritual upacara semata yang penuh dengan sesajen. Hal tersebut terkadang
dapat memberatkan umat sehingga muncul anggapan kalau beryadnya itu rumit dan terkesan ada
unsur pemaksaan. Sesungguhnya jika dipahami, Hindu itu merupakan Agama yang fleksibel.
Hindu adalah “cara hidup” kata S Radhakrisnan. Dan, “Hindu disetiap aktifitasnya menunjukan
elastisitasnya (fleksibel) tidak kaku” ujar MK Gandhi. Demikian juga “Hindu fleksibel tidak
membunh budaya setempat dimana Hindu itu berkembang, seperti ibarat bola karet yang
mengelinding. Menggelinding di pasir ia akan menjadi pasir, menggelinding dirumput ia akan
menjadi rumput”. Ujar guru agung Svami Vivekananda. Jadi ajaran Hindu tidak kaku, demikian
juga kaitanya dalam melakukan ritual yadnya Hindu tidak mengharuskan beryadnya dengan
kemegahan dan kemewahan serta mengeluarkan uang banyak.
Umat sedharma yang berbahagia, jika ditinjau dari tiga kerangka dasar Agama Hindu
yaitu Tatwa, Etika, dan Upakara atau Upacara, dimana kerangka ini merupakan cerminan dari
“Tri Angga Sarira” dari manusia diantaranya ada badan Atma yang bermanifestasi sebagai
“Mahat” dan tercermin sebagai Tatwa. Kedua adalah badan Antakarana (jiwa) bermanifestasi
sebagai “Budhi” dan tercermin sebagai perilaku atau etika. Ketiga adalah adanya jasad tubuh
“Panca Maha Butha” bermanifestasi sebagai “Ahamkara” dan merupakan cerminan upakara atau
upacara (bersifat material). Sesungguhnya yadnya yang kita lalukan adalah cerminan dari diri
sendiri, dikatakan dalam Upanisad; sesungguhnya tuhan berada dalam diri kita sendiri. Jika kita
ingin memiliki atau mempersembahkan yadnya yang berkualitas hendaknya kita mampu
mengendalikan diri sendiri terutama mengendalikan pikiran.
Manawa Dharmasastra II.92 dikatakan bahwa ; “pikiran adalah indra yang kesebelas,
pikiran itu disebut rajendrya atau raja-raja indria”. Jadi jika ingin yadnya yang kita
persembahkan berkualitas, maka kita harus dapat memahami bahwa sebenarnya Tuhan ada
dalam diri serta mampu untuk mengendalikan pikiran. Sebab pikiran merupakan penyebab dari
kehancuran.
Demikian untuk dipahami umat sedharma, beryadnya yang berkualitas bukan diukur
dari kemegahan dan besar kecilnya upacara. Sesungguhnya kualitas dari yadnya tersebut berada
dalam diri sendiri. Jika sudah mampu untuk mengendalikan pikiran, tindakan dan nafsu dalam
diri maka apapun perbuatan yang kita lakukan adalah yadnya yang berkualitas. Umat sedharma
yang berbahagia sesungguhnya tatwa atau esensi dari yadnya yang kita lakukan adalah bertolak
ukur dari diri sendiri. Selain itu jika dikaitkan dengan kehidupan dijaman yang modern ini tatwa
yadnya itu sendiri, bilamana kita mampu untuk mengendalikan pikiran dan tindakan serta dapat
menolong orang yang sedang kesusahan adalah besar yadnya tersebut. Harapan saya dari apa
yang telah saya sampaikan dapat bermanfaat bagi kita semua, jika kita menghargai ciptaan
Tuhan maka kita secara tidak langsung telah melakukan yadnya yang utama. Seperti dalam
Hindu dikatakan dalam konsep Tat Twam Asi, aku adalah kamu yang artinya jika kita
menyayangi dan memelihara ciptaan Tuhan maka sama artinya kita mempersembahkan bhakti
kepada-Nya. Jika ada kekurangan dalam penyampaian dharma wacana ini saya mohon maaf.
Karena tidak ada manusia yang sempurna, tiada gading yang tak retak. Akhir kata saya tutup
dengan paramasantih.
Om Santih, Santih, Santih Om

Diposting oleh HINDU RESEARCH CENTER di 01.33 Tidak ada komentar:


Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Berbagi ke TwitterBerbagi ke FacebookBagikan ke Pinterest

BHAKTI MARGA JALAN MENCAPAI KEBAHAGIAAN

BHAKTI MARGA JALAN MENCAPAI KEBAHAGIAAN


Oleh :
Ni Komang Nova Ayu Purnami

Om Swastyastu,
Om Anobadrah Krtavoyantu visvatah,
(Semoga pikiran yang baik datang dari segala penjuru)

Puja dan puji syukur saya panjatkan kehadirat Ida Sang Hyang Widhi Wasa, karena atas
berkah dan rahmatnya, saya diperkenankan untuk menyampaikan dharma wacana yang
bertemakan Catur Marga, Jalan Mencapai Kebahagiaan.
Umat Sedharma yang terkasih,
Catur Marga adalah salah satu konsep yang diajarkan didalam Veda yang secara umum
berarti empat jalan untuk mendapatkan inti sari kebenaran dan kebahagiaan serta mencapai Ida
Sang Hyang Widhi Wasa, yang dibagi menjadi empat jalan, yakni:
1. Bhakti Marga adalah usaha untuk mencapai Jagadhita dan Moksa dengan jalan sujud bhakti
kepada Sang Hyang Widhi Wasa.
2. Karma Marga berarti jalan atau usaha untuk mencapai Jagadhita dan Moksa dengan
melakukan kebajikan, pelayanan, tugas, persembahan dan amal dengan tiada terikat oleh nafsu
hendak mendapatkan kemasyuran, kewibawaan dan keuntungan - keuntungan lainnya.
3. Jnana Marga ialah suatu jalan dan usaha untuk mencapai Jagadhita dan Moksa dengan
mempergunakan kebijaksanaan filsafat (Jnana).
4. Raja Yoga Marga ialah suatu jalan untuk mencapai Jagadhita dan Moksa melalui pengabdian
diri kepada Sang Hyang Widhi Wasa yaitu yang di dasari oleh asana, yoga, kosentrasi dan
meditasi pada atman untuk merealisasikan Tuhan dalam diri manusia.
Jalan/marga yang paling sederhana dalam kehidupan saat ini (jaman kali) adalah Bhakti
Marga. Disini Tuhan diwujudkan sebagai penguasa yang sangat penyayang, di ibaratkan sebagai
ayah, ibu, kakak, sahabat, tamu dan sebagainya. Orang yang melaksanakan jalan ini
meninginkan kebahagiaan rohani (svasti). Menurut Bhakti Marga, Tuhan adalah sosok yang
dekat, umum, dapat dengan mudah dicintai dan di dekati dengan berbagai cara yang diyakini,
seperti yang terdapat dalam sloka Bhagavadgita (IV,11), yang bunyinya sebagai berikut:
Ye Yatha mam prapadyante
Tams tathaiva bhajami aham
Mama vartmanuvartante
Manusyah partha sarvasah
Yang artinya :
Bagaimanapun (jalan) manusia mendekati-Ku, Aku terima, wahai Arjuna. Manusia mengikuti
jalan-Ku pada segala jalan.
Kemudian sloka berikutnya, (Bhagavadgita,IX,26) yakni :
Patram puspam phalam toyam
Yo me bhaktya prayacchati
Tad aham bhakty-upahrtam
Asnami prayatatmanah
Yang artinya :
Siapapun yang dengan sujud bhakti kepada-Ku mempersembahkan sehelai daun, setangkai
bunga, sebiji buah, setetes air, Aku terima dengan segala bhakti persembahan dari orang yang
berhati suci.
Saudara-saudaraku yang berbahagia,
Bhakti merupakan dasar penbentuk agama. Bhakti adalah jalan termudah dan dapat
dikombinasikan dengan ketiga jalan yang lainnya, pada dasarnya ketiga jalan yang lain
memerlukan adanya Bhakti untuk membuat jalan tersebut menjadi lebih mudah dan membuat
seseorang semakin tegar dalam menghadapi cobaan yang mungkin muncul dalam menempuh
kehidupannya. Dalam Bhakti tidak ada aturan yang begitu mengikat, intinya adalah adanya rasa
bhakti atau kecintaan pada Sang Hyang Widhi Wasa.
Suatu kisah tentang Rama seorang Avatara dan raja yang Agung, dengan Sabari, salah
seorang bhaktanya yang termashyur. Sabari adalah seorang wanita kasta rendah yang ingin sekali
memperoleh darsan Rama sang Avatara. Ia tinggal seorang diri di suatu pertapaan yang terpencil
di dalam hutan. Ia mengisi hidupnya untuk menanti Rama dan berharap sang Avatara akan
datang melewati hutan tempat tinggalnya dan menghampirinya. Setiap hari ia mengumpulkan
buah dan akar-akaran untuk dipersembahkan pada Rama. Pada suatu hari kerinduannya
terpenuhi. Rama benar-benar datang melewati hutan itu. Ketika Rama menikmati buah dan akar-
akaran persembahannya, Sabari menjatuhkan diri dan bersujud di kaki-Nya dan berkata,” Oh
Tuhan, saya hanyalah seorang wanita yang bodoh dan berasal dari kasta yang rendah. Bagaimana
saya dapat memuji Tuhan? Saya tidak tahu harus berbuat apa dan bagaimana cara
melakukannya.” Rama tersenyum dan berkata, “ Sabari, misi-Ku adalah menjalin hubungan
bhakti. Aku tidak mempunyai pertalian dengan suku bangsa atau kasta. Apakah gunanya
memiliki kekayaan, kedudukan, atau karakter tanpa bhakti kepada Tuhan? Bhakta dapat
mencapaiKu melalui Sembilan jalan, masing-masing jalan itu dapat membawa mereka
kepadaKu.”
Sembilan jalan yang dimaksud (Nava Vida Bhakti) tercantum dalam Bhagavata Purana
(VII, 5.23) yaitu :
Sravanam, kirtanam, visnohsmaranam,
Padasevanam, vandanam, arcanam, dasyam,
Sakhyam, atmanivedanam.
Yang artinya :
Mendengarkan prihal kemuliaan Tuhan, menyanyikan namaNya, mengingat dan
merenungkan kemuliaan Tuhan, memuja kaki Tuhan, membaca kitab suci, menghormati Tuhan
melalui media Arca, mengabdi kepada Tuhan, mencapai kedekatan dengan Tuhan, pasrah diri
kepada Tuhan.
Penjelasannya sebagai berikut :
1. Sravanam artinya mendengarkan mengenai nama suci Tuhan, lila rohani-Nya, kemunculan
rohani-Nya ini adalah merupakan awal pelayanan bhakti. Kemunculan dan aktivitas rohani
sangat penting di awali dengan sravanam seperti yang diajarkan oleh Rsi Narada, ini adalah awal
untuk mencapai sad-cid-ananda-vigraha.
2. Kirtanam adalah memuja Tuhan dengan menyanyikan nama-nama Tuhan atau kidung suci
keagamaan seperti bhajan yang bertujuan memuliakan Tuhan dan menjelaskan tentang nilai-nilai
kemanusiaan. Kidung suci yang dinyanyikan dengan sungguh-sungguh dan terus menerus akan
dapat mengantarkan manusia pada suatu kehidupan yang bahagia. Dengan kirtanam kita
melakukan bhakti guna membuka pintu Padma Hrdaya untuk menstanakan Tuhan dalam diri.
Kirtanam dapat mengakibatkan atman menguasai budhi, budhi menguasai manah, dan manah
menguasai indria. Dengan kondisi seperti ini, maka orang akan dapat mengendalikan tingkah
lakunya dan menyebabkan nya selalu betusaha berbuat baik. Selanjutnya kirtanam dapat
dilakukan dengan tiga cara, yakni :
1. Nista atau melakukan kirtanam secara waikhari yakni dengan suara yang jelas dan dapat
didengar.
2. Madhya atau melakukan kirtanam secara upamsu yakni hanya dengan gerak lidah tetapi tanpa
suara, artinya tidak dapat didengar.
3. Utarna atau melakukan kirtanam secara manasika yakni diucapkan didalam hati.
3. Smaranam adalah berbhakti kepada Tuhan dengan jalan selau ingat pada Tuhan dan manifestasi-
Nya. Ini sangat penting dalam menjaga prilaku agar tidak menyimpang dari jalan dharma.
Semakin kuat kita mengingat keberadaan dan kemahakuasaan-Nya, maka semakin kuat pula
getaran kesucian Tuhan mempengaruhi totalitas diri kita. Dengan semakin kuatnya getaran
kesucian yang kita dapatkan, maka kegiatan kita pun akan menjadi semakin baik, dijauhkan dari
segala halangan dan selalu memperoleh perlindungan-Nya.
4. Vandanam adalah bentuk bhakti yang dilakukan dengan jalan membaca kitab suci Veda dan
sastra suci. Ini sangat bermanfaat untuk menambah penguasaan dan pemahaman akan sastra-
sastra suci Veda. Vandanam adalah suatu bentuk bhakti yang menjaga proses terbentuknya
struktur alam pikiran yang ideal. Dengan membaca secara berulang-ulang, baik itu sastra –sastra
agama maupun mitologi agama dengan penuh rasa bhakti, maka kekuatan budhi akan semakin
terbentuk, sehingga pikirn egoisme pun dapat dikuasai.
5. Padasevanam merupakan perwujudan bhakti kepada Tuhan dengan menyembah kaki padma
Tuhan. Kaki padma diartikan sebagai kaki yang maha suci milik Tuhan.
6. Dasyam adalah berbhakti dengan jalan melayani dan mengabdi pada Tuhan Yang Maha Esa yang
pada umumnya lewat pemujaan pada arca dan pelayanan kemanusiaan. Proses bhakti ini di Bali
biasa disebut dengan ngayah. Ngayah itu merupakan pengabdian yan penuh keikhlasan,
ketetapan hati yang bulat dan kesungguhan serta penuh rasa bhakti.dengan ngayah atau
mengabdi ataupun melayani Tuhan, maka rasa ego atau ahamkara itu ditiadakan atau dikekang
sekuat mungkin. Dengan menghilangkan egoisme, maka orang akan merasa sangat dekat dengan
Tuhan. Sebaliknya, jika egoisme itu tinggi, apalagi jika disertai dengan keterikatan dengan
duniawi dan rasa amarah, maka orang akan menjadi jauh dengan Tuhan.
7. Arcanam adalah memuja dan menghormati Tuhan melalui media arca atau pratima. Perlu
dimaklumi bahwa dalam kitab Pratimalaksana menjelaskan bahwa jika seseorang membuat atau
memperbaiki Arca pemujaan kepada Tuhan, maka jiwanya yang murni akan mendapatkan hidup
bagai di Surga lebih dari 100 Yuga. Ini berarti bahwa, berbhakti kepada Tuhan melalui
pembuatan atau pemeliharaan Arca akan memberikan pahala yang sangat tinggi.
8. Sakhyam adalah bentuk bhakti kepada Tuhan seperti hubungan bersahabat dekat. Dalam
hubungan ini seseorang tidak perlu canggung lagi, ia dapat mengutarakan semua isi hatinya
kepada Tuhan.
9. Atmanivedanam adalah bentuk pemujaan yang dilakukan dengan penyrahan diri sepenuhnya
kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Ini dilaksankan oleh para bhakta yang murni. Menurut
Svami Sivananda, Atmanivedanam atau penyerahan diri secara total kepada Tuhan dapat dibagi
dalam dua tahap sebagai berikut :
1. Tahap pertama adalah Markata Nyaya yang merupakan penyerahan diri secara total kepada
Tuhan, dengan selalu berpegang teguh pada keberadaan dan kemahakuasaan-Nya, melalui semua
ajaran yang diturunkan-Nya dalm kitab suci Veda. Penyerahan diri seperti ini hanya dapat
dilakukan oleh mereka yang atmanya telah sepenuhnya menguasai budhi, manah, dan indriya.
Segala aktivitas manah, budhi dan indriyanya sudah dapat dkendalikan oleh atman. Penyerahan
diri sepenuhnya seperit ini diyakini akan memberikan keselamatan, sepanjang orang yang
bersangkutan berpegang teguh kepada Tuhan dan ajaran-Nya.
2. Tahap kedua adalah Marjara Nyaya yaitu merupakan penyerahan diri sepenuhnya kepada Tuhan
yang sudah sempurna dan lebih tinggi tingkatanya. Orang yang berbhakti dengan jalan Marjara
Nyaya ini tidak lagi aktif mendekati Tuhan, tetapi Tuhanlah yang sepenuhnya menentukan
bagaimana nasib orang itu yang paling tepat, sesuai dengan tingkatan karma yang telah
dilakukan. Penyerahan diri kepada Tuhan ini janganlah dipandang sebagai prilaku yang pasif
atau hanya menunggu nasib saja, sebab menyerah dan menugu nasib tidaklah termasuk dalam
Atmanivedanam.
Umat Sedharma yang Budiman,
Bhakti yang murni segera membawa rasa lega, bebas dari segala jenis kesengsaraan
material. Bhakti Marga adalah pencarian sejati, pencarian sebenarnya terhadap Tuhan, sebuah
pencarian yang berawal dari kasih, berlanjut dengan kasih dan berakhir dengan kasih. Satu
momen kerinduan yang yang mendalam akan kasih Tuhan yang akan membawa kita pada
kebebasan yang abadi. “ Bhakti “ seperti yang dikatakan oleh Rsi Narada dalam penjelasannya
tentang bhakti, “ adalah kasih mendalam terhadap Tuhan.” Ketika manusia mencapainya, ia akan
mengasihi semua, tidak membenci siapapun, mencapai kedamaian dan mencapai suatu
kebahagiaan. Kebahagiaan adalah suatu keadaan pikiran atau perasaan yang ditandai dengan
kesenangan, rasa damai, cinta kasih, kepuasan, kenikmatan dan kegembiraan.
Om Santih, Santih, Santih Om

Anda mungkin juga menyukai