Anda di halaman 1dari 19

Makalah Agama Hindu

TATTWA

Disusun oleh:
1. Ni Ketut Supadmi
2. Ni Kadek Prima Yani
3. Ni Nyoman Sumiati
4. Ni Ketut Juliartini
5. Ni Nyoman Murniati
6. I Wayan Wijaya
7. I Wayan Suandra
8. I Nyoman Sumadana
9. I Nyoman Yadnya

STKIP AGAMA HINDU


AMLAPURA
2020
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Ida Sang Hyang Widhi Wasa,
yang telah memberikan asung kerta wara nugraha-Nya sehingga penulis dapat
menyelesaikan makalah dengan judul”Tattwa” tepat pada waktunya.
Penyusunan makalah ini bertujuan untuk memenuhi salah satu tugas mata
kuliah Agama Hindu. Penulis menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini
masih banyak kekurangan dan jauh dari sempurna. Hal ini disebabkan karena
keterbatasan pengetahuan dan kemampuan serta pengalaman yang dimiliki
penulis. Oleh karena itu, penulis harapkan kritik dan saran dari semua pihak yang
sifatnya membangun atau memberikan gambaran penulisan yang lebih baik untuk
penulisan selanjutnya.
Makalah ini tidak akan selesai tanpa bantuan berbagai pihak. Oleh sebab
itu penulis menyampaikan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah
membantu dan memberikan arahan serta motivasi kepada penulis dalam penulisan
makalah ini.
Dengan Segala kerendahan hati akhirnya penulis berharap makalah yang
sederhana ini memberikan manfaat bagi penulis pada khususnya dan bagi
pembaca pada umumnya.

Selat, 20 Oktober 2020


Penulis

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ............................................................................ i


KATA PENGANTAR........................................................................... ii
DAFTAR ISI ......................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN ..................................................................... 1
1.1 Latar Belakang............................................................................. 1
1.2 Rumusan Masalah....................................................................... 1
1.3 Tujuan.......................................................................................... 1
BAB II LANDASAN TEORI .............................................................. 2
2.1 Pengertian Tattwa....................................................................... 2
2.2 Sumber dan Pokok Ajaran Tattwa............................................. 3
BAB III PENUTUP .............................................................................. 14
3.1 Kesimpulan ............................................................................. 14
3.2 Saran .......................................................................................... 14
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................... 15

iii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Ajaran Agama Hindu dibedakan menjadi Tattwa, etika dan acara. Ketiga
bagian ini tidak dapat dipisah-pisahkan. Seseorang yang hanya mengetahui tattwa
tanpa mengetahui etika dan acara tidak disebut pemeluk agama Hindu yang baik.
Demikian juga orang yang hanya bersusila atau melaksanakan ibadah saja tanpa
mengetahui tattwa akan menjadi pemeluk agama yang tangguh.

Tattwa artinya thatness, itu sendiri, atau hakikat. Dalam ajaran Samkhya
tattwa berarti unsur. Dalam agama Hindu di Indonesia tattwa berarti kebenaran.
Ajaran Ketuhanan yang merupakan landasan ajaran agama adalah tattwa.
Kepercayaan akan adanya Tuhan merupakan dasar agama. Oleh karena bayangan
orang akan Tuhan bermacam-macam, maka wujud Tuhan juga dibayangkan
bermacam-macam. Namun dalam tattwa wujud yang bermacam-macam itu
hanyalah kebhinekaan dari yang Esa.

Akan ajaran Tattwa yang demikian dapat kita telusuri dari kitab-kitab
agama Hindu. Dalam pelajaran ini ajaran tattwa dan yang berkaitan dengan itu
akan ditelaah dari beberapa buku sumber. Buku-buku itu ialah Veda, Upanisad
(materi berikutnya), Samkhya, Purana, dan lontar-lontar.

1.2 Rumusan Masalah


Adapun yang menjadi rumusan masalah pada makalah ini adalah:
1. Apa pengertian dari tattwa ?
2. Apa saja Sumber dan Pokok Ajaran Tattwa ?

1.3 Tujuan Penulisan


Adapun yang menjadi tujuan penulisan pada makalah ini adalah:
1. Untuk mengetahui pengertian dari tattwa ?
2. Untuk mengetahui apa saja sumber dan pokok ajaran tattwa ?

1
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Tattwa


Tattwa berasal dari kata Sanskerta “Tat” yang berarti “itu” dan “twa” yang
berarti engkau. Kata tattwa dapat diartikan sebagai tentang keituan. Keituan yang
dimaksud adalah tentang kebenaran atau Tuhan. Tattwa sendiri merupakan salah
satu bagian dari Tri Kerangka Agama Hindu di samping Suúìla dan Upacara. Ada
beberapa istilah terkait tattwa, yakni : filsafat dan darúana. Filsafat merupakan
dasar untuk memahami hakekat. Kata “Filsafat” termasuk kata Arab yang berasal
dari kata Yunani “phillo” dan “sophia” (Poedjawijatna, 2005: 1-2). Kata “phillo”
artinya “cinta”, dan “sophia” berarti “kebijaksanaan”. Jadi filsafat pada
hakekatnya adalah cinta kebijaksanaan. Kecintaan akan kebijaksanaan ini
membuat seorang filsuf (ahli filsafat) selalu ingin tahu lebih mendalam. Dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia selanjutnya disingkat KBBI (1995: 277),
disebutkan bahwa istilah filsafat mempunyai kesamaan makna dengan istilah
falsafah. Terkait dengan hal tersebut, penulis akan menggunakan kedua istilah
tersebut pada tulisan ini secara bergantian. Selanjutnya dijelaskan bahwa falsafah
adalah anggapan, gagasan dan sikap batin paling dasar yang dimiliki oleh
seseorang atau masyarakat. Falsafah juga dapat diartikan sebagai pandangan
hidup (KBBI, 1995: 274). Pengertian ini senada dengan terminologi filsafat yang
diidentikkan dengan istilah way of life, weltanschaung, wereldbeschowing atau
wareld en levens beschouwing. Kesemua istilah tersebut merujuk pada pengertian
pandangan, pegangan dan petunjuk hidup (Sudarto, 1997: 39). Selain itu, filsafat
juga dikenal sebagai induk ilmu pengetahuan. Secara keilmuan, filsafat akan
bertalian dengan masalah tentang keberadaan atau kenyataan (ontologi), teori
pengetahuan (epistemologi) dan nilai-nilai (aksiologi). Batasan ini mengikuti
pembagian filsafat atas bidang induk yang menyangkut tentang pengetahuan,
kenyataan, tindakan dan sejarah (Hemersma, 1986: 14). Darúana berasal dari akar
kata Sanskerta “dås (d*Za()” yang artinya melihat (ke dalam), atau mengalami.
Oleh karena itu Darúana merupakan sebuah pandangan tentang realitas. Istilah
filsafat sesungguhnya tidak dikenal dalam tradisi intelektual India yang mendapat

2
benih benih subur didalam kitab upanisad. Dan istilah yang mendekati istilah
filsafat dalam filsafat barat adalah Darúana. Dan juga Darúana ini merupakan
sebuah pikiran yang diperoleh secara intuituf dan dipertahankan secara logis
(Radhakhrisnan).

2.2 Sumber dan Pokok Ajaran Tattwa


Sumber-sumber ajaran Tattwa adalah Lontar-lontar kuno tentang tattwa.
Lontar-lontar tersebut umumnya berbahasa Jawa Kuno. Adapun beberapa contoh
sumber ajaran tattwa adalah : Lontar Bhuwana Kosa, Lontar Wåhaspatti Tattwa,
Lontar Tattwa Jñàna, Gaóapati Tattwa, Màha Jñàna, Jñàna Úiddhànta dan
sebagainya. Walaupun tidak tepat sekali, istilah Tattwa dalam agama Hindu dapat
disejajarkan dengan pengertian Filsafat Ketuhanan yang mencakup Teologi dan
Metafisika (Pudja dkk,1982: 39). Sebagaimana filsafat pada umumnya tattwa
mencakup tiga aspek yakni : ontologi, epistemologi dan aksiologi.
a. Ontologi
Ontologi berasal dari kata Yunani “on” yang berarti “ada” dan “logos”
yang artinya “ilmu atau teori” (Noorsyam, 1984: 32). Jadi, ontologi dapat
didefinisikan sebagai teori tentang ada (the theory of being qua being).
Ditambahkan juga oleh Noorsyam (1984: 28-31), bahwa kadang-kadang
“ontologi” disamakan dengan “metafisika” yang dapat diartikan sebagai “dibalik
fisika” (meta = di belakang). Metafisika juga dikenal sebagai filsafat pertama
(prote filosifia).
Terkait dengan masalah ontologi tersebut, tattwa memandang yang “ada”
dari segi pengalaman dan penghayatan manusia. Kemudian, dari sini diperoleh
kompilasi yang sistematis mengenai konsep “ada”. Konsep ini pun secara umum
dapat diklasifikasikan ke dalam rumusan-rumusan tentang keberadaan Tuhan,
manusia dan alam semesta.
Menurut Punyatmaja (1976) keberadaan dalam tattwa Hindu dirumuskan
menjadi 5 yakni : Widdhitattwa, Àtmatattwa, Karmaphalatattwa,
Punarbhavatattwa dan Moksatattwa. Kelimanya sering dikenal sebagai Pañca
Tattwa atau Pañca Úraddha. Berikut penjelasannya.

3
1. Widdhitattwa
Widdhitattwa adalah filsafat tentang keberadaan Tuhan dan Alam Semesta.
Umat Hindu percaya
bahwa keberadaan Brahman/Tuhan itu satu/esa. Tetapi umat Hindu tidak
memungkiri bahwa manifestasi Tuhan itu banyak sebagaimana disebutkan dalam
Ågveda I.64.46 :

Terjemahan:
Tuhan itu satu, tetapi orang bijak menyebutkan-Nya dengan banyak Nama
(Titib,1998).
Itu semua semata-mata karena kemahakuasaan-Nya. Salah satu sifat
kemakuasaan-Nya dimanifestasikan dalam wujud-Nya yang disebut Nawa
Dewata. Kata “Nawa” berarti “sembilan” dan dewata sendiri adalah manifestasi
Tuhan. Nawa Dewata berarti manifestasi Tuhan sebagai Penguasa 9 penjuru
alam/dunia.

4
Di samping itu Tuhan atau Brahman adalah Saguóa (Immanent) dan
sekaligus Nirguóa (Transendent) atau disebutkan dalam konsep : Úiwa – Sadà
Úiwa – Parama Úiwa. Úiwa dan Sadà Úiwa masih bersifat Saguóa, sementara
Parama Úiwa sudah bersifat Nirguóa. Tuhan tidak terbatas sebagaimana sifat
kemahakuasaan Tuhan dalam Cadu Úaktì (Wibhù, Prabhu, Jñàna dan Kriya
Úakti). Salah satu aspek Cadu Úakti yang dimiliki oleh Sadà Úiwa seperti
disebutkan dalam Wåhaspati Tattwa 65-66 adalah 8 kekuasaan-Nya yang disebut
Asþaiswarya, terbagi atas : aóimà (sangat halus), laghimà (maha ringan), mahimà
(maha besar), pràpti (bisa menjangkau mana saja), pràkàmya (apapun yang
menjadi kehendakNya akan terlaksana), ìúitwa (maha mulia), waúitwa (maha
kuasa) dan yatrakàmàwasayitwa (bisa berbentuk apa saja).
Tentang alam semesta dalam tattwa Hindu disebut sebagai bhuwana
agung. Kata “bhuwana agung” terdiri dari dua suku kata “bhuwana” (Sanskerta)
yang berarti jagad atau dunia dan “göng” (Kawi) yang menunjuk pada sesuatu

5
yang besar. Bhuwana agung diartikan sebagai jagad raya atau alam semesta
(makrokosmos) ini.
Alam semesta ini dahulu kala pernah tidak ada, lalu menjadi ada,
kemudian tidak ada lagi, demikianlah seterusnya. Pada saat alam ini meng“ada”
disebut “såsþi” yang terjadi pada siang hari Brahma atau Brahmadiwa. Sedangkan
ketika alam ini “meniada” disebut “pralàya” yang terjadi pada malam hari Brahma
atau Brahmanakta. Jika digabungkan siang hari dan malam hari Brahma ini
disebut satu hari Brahma yang lama sama dengan satu Kalpa.
Bhuwana agung terdiri atas lima unsur yang disebut Pañca Mahàbhùta.
Adapun unsur-unsur Pañca Mahàbhùta itu terdiri atas : Påthivi, yaitu unsur zat
padat terdiri dari benda-benda seperti batu, tanah dan lain-lain. Àpaá, yaitu unsur
zat cair atau benda-benda cair seperti air sungai, laut dan sebagainya. Tejo, yaitu
unsur panas atau cahaya yang memberikan penerangan pada alam ini. Bayu, yaitu
unsur gas atau udara yang ada di sekitar manusia. Àkàúa, yaitu unsur ether. Proses
terjadinya Bhuwana agung menurut Hindu berawal dari Brahmaóða (Telur
Brahma). Dari telur Brahma inilah keluar semua unsur-unsur alam semseta. Oleh
karena itu Brahman dikatakan sebagai “urna nabhwat” yaitu makhluk yang
mengeluarkan sutra dari pusat perutnya.
Di samping itu dalam tattwa samkhya disebutkan bahwa awalnya alam
semesta merupakan sesuatu yang hampa/kosong (Parama Úiwa/Nirguóa
Brahman). Kemudian atas pengaruh Màyà, Parama Úiwa berevolusi menjadi
Sada Úiwa dengan berwujudkan Purusa (unsur kejiwaan) dan Prakåti (unsur
kebendaan). Sebagai unsur kebendaan Prakåti mempunyai ketiga guóa yang
disebut Tri Guóa (Sattwam, Rajas dan Tamas). Akibat pengaruh guóa tersebut
maka reaksi antara Purusa dan Prakåti menghasilkan Mahat, Buddhi, Ahaýkàra.
Kemudian dari Ahaýkàra sebagai prinsip kepribadian mucullah Manas. Buddhi,
Ahaýkàra dan Manas ini secara bersama-sama disebut tiga unsur batin (Tri
Antaákaraóa Úarira). Pada perkembangan kejiwaan selanjutnya muncullah indra
persepsi yang disebut Pañca Buddhendriya atau Pañca Jñànendriya dan Pañca
Karmendriya.
Sedangkan pada perkembangan fisik menghasilkan asas dunia luar yang
terjadi pada dua tahap. Tahap pertama yaitu diawali dengan munculnya Pañca

6
Tanmàtra sebagai unsur halus dari sari-sari suara (úabda tanmàtra), raba (sparúa
tanmàtra), warna (rùpa tanmàtra), rasa (rasa tanmàtra) dan bau (gandha tanmàtra).
Tahap kedua terjadi kombinasi unsur-unsur halus yang menghasilkan unsur-unsur
kasar yang disebut Pañca Mahàbhùta. Adapun unsur-unsur Pañca Mahàbhùta
inilah yang selanjutnya menjadi alam semesta dengan segala isinya.
Dari penjelasan di atas dapat diketahui bahwa proses penciptaan alam
menurut Hindu didahului proses evolusi secara metafisik kemudian dilanjutkan
dengan evolusi secara biokimia (Bandingkan dengan teori kosmologi seperti :
Teori Big Bang, Evolusi Darwin, atau pun Teori Stainley Miller).
Menurut Lontar Jñàna Úiddhànta alam semesta terdiri atas Sapta Loka
(dunia atas) dan Sapta Pàtàla (dunia bawah). Bagian-bagian dari Sapta Loka
adalah : Bhurloka, Bhuwarloka, Swarloka, Maharloka, Janaloka, Tapaloka dan
Satyaloka. Semestara bagian-bagian Sapta Pàtàla adalah : Tàla, Sutàla, Nitàla,
Atàla, Santàla, Vaitàla dan Pàtàla.

2. Àtmatattwa
Àtmatattwa adalah filsafat tentang Àtman atau Bhuwana Alit. Sesuai asal
katanya bhuwana alit
berarti dunia kecil yang unsur-unsurnya sama dengan bhuwana agung. Bhuwana
alit adalah tubuh manusia itu sendiri. Bhuwana alit juga dikenal dengan istilah
mikrokosmos. Apa yang ada dalam bhuwana agung juga ada dalam bhuwana alit.
Unsur Purusa dalam bhuawa alit menjadi Jiwàtma. Sedangkan unsur Prakåtinya
menjadi badan manusia yang terdiri atas Úuksma Úarìra (sebagai Liòga Úarìra)
dan Sthulà Úarìra. Úuksma Úarìra dalam badan manusia berupa Tri Antaá Karaóa
Úarìra yang terdiri atas buddhi (sebagai penentu keputusan), manas (berpikir) dan
ahaýkàra (merasakan dan bertindak). Sedangkan Sthulà Úarira/raga manusia
terjadi dari Pañca Tanmàtra dan Pañca Mahàbhùta. Berikut evolusi Pañca
Mahàbhùta dalam tubuh manusia.
Påthiwi : menjadi tulang, daging, dan segala yang padat (gandha tanmàtra)
Àpaá : darah, lemak, kelenjar, empedu, air badan (rasa tanmàtra)
Tejo : panas badan, sinar mata, dan segala yang panas/bercahaya
(rùpa tanmàtra)

7
Bàyu : nafas atau udara dalam badan/praóa (sparúa tanmàtra)
Àkasa : rongga dada, rongga mulut dan segala rongga lainnya (úabda
tanmàtra)
Terkait dengan badan kasar manusia tersebut ada 6 pembungkus badan
yang disebut Saðkosa dan 10 macam udara yang disebut Daúa Bàyu. Saðkoúa
terdiri atas : asþi (tulang), odwad (otot), sumsum (sumsum), màýúa (daging),
rudhira (darah) dan carma (kulit). Sesuai letaknya Dasa Bàyu terdiri atas : pràóa
(di paru-paru), samàna (di pencernaan), apàna (di pantat), udàna (di
kerongkongan), byana (menyebar ke seluruh tubuh), nàga (di perut), kumara
(keluar dari tangan dan kaki), kåkara (keluar pada saat bersin), dewadatta (keluar
pada saat menguap/angop), dan danañjaya (udara yang memberi makan pada
badan).
Sedangkan unsur Tri Antaá Karaóa Úarìra menjadi Rajendriya (raja dari
segala indriya). Adapun indriya manusia itu sepuluh yang disebut Daúendriya
yang merupakan gabungan dari Pañca Buddhendriya dan Pañca Karmendriya.
Bagian-bagian dari Pañca Buddhendriya : Cakswendriya (pada mata);
Úrotendriya (pada telinga); Gåhanendriya (pada hidung); Jihwendriya (pada
lidah); Twakindriya (pada kulit). Sementara itu bagian-bagian Pañca Karmendriya
yaitu : Panindriya (pada tangan); Padendriya (pada kaki); Garbhendriya (pada
perut); Upasthendriya / Bhagendriya (kelamin laki-laki/perempuan);
Paywendriya (pada alat pelepasan).
Bhuwana alit yang diciptakan oleh Tuhan menurut Hindu digolongkan
menjadi 3 sesuai dengan urutan waktu penciptaan dan pramàóa yang dimilikinya.
Ketiga jenis bhuwana alit tersebut adalah : Stawara (tumbuh-tumbuhan) dengan
eka pramàóa (bàyu saja), satwa marga dengan dwi pramaóa (úabda dan bàyu) dan
nàra marga dengan tri pramàóa (úabda, bàyu dan idep). Kelompok sthawara
(tumbuh-tumbuhan) diklasifikasikan dalam 5 golongan besar yakni : tåóa (bangsa
rumput baik yang darat maupun air), lata (tumbuhan menjalar), taru (semak dan
pepohonan), ulma (pohon berongga), serta janggama (tumbuhan yang
menumpang pada pohon lain). Kelompok satwa atau binatang ada 3 yakni :
swedaya (bangsa binatang dengan satu sel baik di darat atau air), aóðaya (binatang
di darat/air yang bertelur) dan jayayudya (binatang yang menyusui). Sedangkan

8
kelompok manusia atau nàra marga juga ada 3 yaitu : nàra satwa (manusia
setengah binatang), wàmana (manusia kerdil) dan jadma manusa (manusia
normal).
Proses terjadinya bhuwana alit pada dasarnya sama dengan terjadinya
bhuwana agung. Terjadinya bhuwana alit ini disebabkan oleh pertemuan antara
purusa dalam bentuk úukla (sperma) dan pradhàna dalam bentuk swanitha
(ovum).

3. Karmaphalatattwa
Karmaphalatattwa adalah keberadaan tentang karma. Karma Phala terdiri atas
dua kata yakni “karma” yang berarti “perbuatan” dan “phala” yang berarti “buah
atau hasil”. Jadi Karma Phala berarti hasil dari perbuatan seseorang. Umat Hindu
percaya adanya hukum Karma Phala atau yang juga dikenal dengan hukum sebab-
akibat ini. Menurut hukum ini, perbuatan baik (úubha karma) akan berbuah
kebaikan sedangkan perbuatan buruk (aúubha karma) akan berbuah keburukan
pula sebagaimana tersirat dalam kitab Úlokantara 68 yang menyebutkan :

Terjemahan :
Karma Phala itu namanya, hasil perbuatan baik atau buruk”
Dalam Dewì Bhàgawata 1.5.74 juga disebutkan :

Terjemahan :
Mungkinkan (suatu) perbuatan tiada sebab (dan akibatnya) di dalam lingkaran
saýsara (lahir dan mati)
di sini (Punyatmaja, 1976).
Karma Phala itu sendiri digolongkan ke dalam 3 jenis menurut waktu
penerimaan hasil dari perbuatan seseorang. Adapun ketiga jenis Karma Phala itu
adalah : Sañcita Karma Phala, jika pahala atas perbuatan dari kehidupan terdahulu
belum habis dinikmati, dan masih menjadi benih-benih yang menentukan
kehidupan sekarang. Pràrabdha Karma Phala, jika pahala atas perbuatan pada
kehidupan ini tanpa sisa. Kriyamàóa Karma Phala, jika pahala atas pebuatan yang

9
tidak sempat dinikmati pada saat berbuat sehingga harus diterima pada kehidupan
yang akan dating Karma Phala menentukan nasib seseorang di masa yang akan
datang. Hukum Karma Phala bukanlah takdir untuk manusia, karena manusia
harus bertanggung jawab atas semua perbuatan yang dilakukannya. Dalam hukum
sebab akibat ini, manusia akan mendapat pahala sesuai dengan karma yang
dilakukannya. Dalam Sàrasamuúcaya 4 disebutkan :

Terjemahan :
Menjelma menjadi manusia itu sungguh utama, karena ia dapat menolong
dirinya dari belenggu saýsara dengan jalan berbuat baik (Kadjeng,dkk, 2000).

4. Punarbhavatattwa
Kata “Punarbhàwa” berasal dari dua suku kata, “punar” yang berarti
“lagi, kembali” dan “bhàwa” yang berarti “ada, lahir”. Jadi, Punarbhàwa dapat
diartikan sebagai lahir kembali. Punarbhàwa adalah kelahiran kembali atau
kelahiran yang berulang-ulang. Punarbhàwa disebut juga saýsara atau reinkarnasi.
Punarbhàwa terjadi karena karma wàsanà yang dibawa oleh seseorang masih
membekas pada jìwàtman. Bekas-bekas itulah yang menyebabkan seseorang
terlahir kembali setelah kematiannya. Tujuannya seseorang dilahirkan kembali
sesungguhnya adalah untuk memperbaiki karma-karmanya sehingga pada
akhirnya ia dapat mencapai nirwàóa. Akan tetapi jika ia tidak bisa memperbaiki
karmanya dan memanfaatkan kesempatan itu, tidak menutup kemungkinan pada
reingkarnasi selanjutnya ia akan terlahir menjadi makhluk yang lebih rendah.

5. Moksatattwa.
Moksa adalah tujuan terakhir bagi umat Hindu (bukan swarga atau sorga), di
mana pada tataran ini manusia kembali ke asalnya dan bersatu kembali dengan
Sang Pencipta atau Manunggaling Kawula Gusti (Miswanto,2005a:27). Seseorang
yang mencapai moksa akan terbebas dari segala penderitaan atau saýsara dan
mendapatkan kebahagian yang kekal (ananda). Moksa terjadi ketika sang Àtman
terbebas dari selubung mayà atau ikatan duniawi. Setelah itu ia juga akan terbebas

10
dari siklus reinkarnasi. Moksa juga dikenal dengan istilah nirwàóa atau alam
kelanggengan.
Dilihat dari kebebasan yang dicapai oleh Àtman, maka moksa dapat dibagi
menjadi 3 macam: Moksa (kebebasan yang dicapai oleh Àtma seseorang tetapi
masih meninggalkan bekas berupa mayat); Adi Moksa (kebebasan yang dicapai
oleh seseorang dengan meninggalkan bekas berupa abu); Paràma Moksa
(kebebasan yang dicapai oleh seseorang tanpa meninggalkan bekas sama sekali).
Cara untuk mencapai moksa itu banyak sekali, baik dengan jalan bhakti, karma,
jñàna, ataupun yoga. Kesemua itu dapat dilakukan untuk mencapai
kebahagiaan yang kekal tersebut. Dalam Wåhaspati tattwa 52 disebutkan ada
3 hal utama yang harus diperhatikan jika seseorang ingin mencapai moksa :
Jñànabhyudreka, artinya : tahu akan semua tattwa dan kebenaran
Indriyayogamàrga, artinya : tidak menikmati dan mengumbar indriya terutama
sekali hawa nafsu. Tåsóadosaksaya, artinya memusnahkan baik-buruknya hasil
dari perbuatan dan tidak terpengaruh pada hasil tersebut (Putra & Sadia, 1998).
Menurut Bhagavad Gìtà, moksa dapat dicapai dengan berbagai macam jalan
(bhakti, karma, jñàna dan ràja yoga) sebagaimana disebutkan dalam IV.11 yang
bunyinya :

Terjemah
an :
Jalan apapun orang memuja-Ku, pada jalan yang sama Aku memenuhi
keinginannya, wahai Pàrtha, karena semua jalan yang ditempuh mereka,
semuanya adalah jalan-Ku (Maswinara, 1997: 193).
b. Epistemologi
Secara etimologi, kata “epistemologi” berasal dari kata Yunani “episteme”
yang berarti “pengetahuan” dan “logos” yang dapat diartikan sebagai “teori”
(Noorsyam, 1984 : 34). Epistemologi berarti teori tentang ilmu pengetahuan.
Runes (dalam Miswanto, 2005b : 28) mendefinisikan epistemologi sebagai,
“the branch of philosophy which investigates the origin, structure, methods and
validity of knowledge”. Dengan epistemologi ini, seseorang dapat mempelajari
proses memperoleh pengetahuan. Jika dalam filsafat Barat, cara yang
dikembangkan untuk memperoleh pengetahuan dapat dilakukan melalui

11
penalaran, akal, rasio, abstraksi ataupun intuisi, maka tattwa pun menggunakan
cara-cara serupa untuk memperoleh pengetahuan. Hanya saja di dalam tattwa,
proses tersebut berupa tahap-tahap penggunaan cipta, rasa dan karsa melalui
tingkat-tingkat kesadaran yang terbagi atas : kesadaran inderawi, kesadaran
hening (manunggal dalam cipta-rasa-karsa), kesadaran pribadi (Ingsun) dan
kesadaran Ilahi (manunggalnya Àtman dan Brahman atau Brahman Àtman
Aikyam).
Punyatmaja (1976 : 5) menjelaskan bahwa epistemologi dalam tattwa
Hindu merupakan bagian yang membentangkan cara untuk mendapatkan segala
pengetahuan. Cara itu ada tiga yang biasa dikenal sebagai Tri Pramàóa
sebagaimana yang terdapat dalam Våhaspati Tattwa 26 yang bunyinya :

Terjemahan :
Orang yang dikatakan memiliki tiga cara untuk mendapatkan pengetahuan (yaitu
pratyaksa, anumàóa, àgama). Pratyaksa (konon) namanya (karena) terlihat dan
terpegang. Anumàóa sebutannya sebagai melihat kepastian (adanya) api, itulah
disebut anumàóa. Àgama disebut pengetahuan yang diberikan oleh para guru
(sarjana). Itulah agama. Orang yang memiliki 3 cara untuk mendapatkan
pengetahuan pratyaksa, anumàóa, àgama, dialah berpengetahuan lengkap.
Adapun bagian-bagian dari Tri Pramàóa adalah :
Pratyaksa Pramàóa, cara untuk mendapatkan pengetahuan yang benar dengan
pengamatan langsung (prati = langsung; iksa = melihat).
Anumàna Pramàna, cara atau jalan untuk mendapatkan pengetahuan berdasarkan
tanda-tanda atau gejala-gejala yang dapat diamati. Gejala-gejala tersebut
kemudian disimpulkan menjadi pengetahuan yang aptopadeúa (yang dapat
dipercaya). Misalnya ada istilah yang menyebutkan :

Terjemahan :
Di manapun ada asap di sana pasti ada api” (Punyatmaja, 1976 : 6)
Agama Pramàóa atau sering juga disebut sebagai Úabda Pramàóa. Agama
Pramàóa adalah cara mendapatkan pengetahuan dengan mendengarkan ucapan-

12
ucapan atau cerita-cerita orang yang wajar dipercaya karena kejujurannya,
kesucian dan keluhuran pribadinya.

c. Aksiologi
Aksiologi sesuai dengan asal katanya “axios”, merupakan bidang filsafat
yang menyelidiki nilai- nilai (value). Brameld (Noorsyam,1984:34-35)
membedakan tiga bagian dalam aksiologi yakni: moral conduct (tindak
moral/etika), esthetic expression (ekspresi keindahan/estetika), social-politic life
(kehidupan sosio-politik).
Aspek etika dalam tattwa Hindu termanifestasikan dalam konsep úìla.
Selanjutnya konsep itu termanifestasikan dalam bentuk ajaran Yoga
(Astaògayoga) terutama dalam aspek Yama dan Niyama Brata.

d. Siwaisme
Pudja dkk. (1982:23) menyatakan bahwa siwaisme adalah salah satu madzab
dalam agama Hindu. Asal-usulnya tidak banyak kita kenal namun dalam
sejarah penyebaran agama Hindu, Úiwaisme mempunyai pengaruh dan peranan
yang amat penting dalam tata kehidupan agama Hindu, terutama setelah
Úiwaisme berkembang menjadi ajaran Tantra.
Pada dasarnya, Úiwaisme dibedakan atas 4 tingkat yaitu : Pura-pura camaya, Pura
Camaya, Aha pura camaya, Aha camaya. Úiwa Úiddhànta sendiri dibagi atas
beberapa golongan besar yakni : Úiddhànta, Paúupata, Ratnahara dan Úambhu.
Pada jaman dahulu ajaran siwa mempunyai kitab sendiri yang dikenal sebagai
“siwàgama”.
Ada beberapa rontal yang bersifat siwaistik yaitu : Sang Hyang
Kamahayanikan, Sutasoma, Àrjuna Wijaya, Bubuksaá, Gagakaking, Bhuwana
Kosa, Bhuwana Saòksepa, Wåhaspati Tattwa, Úiwàgama, siwatattwapùraóa,
Tutur Gong Wësi, Purwa Bhumi Kamulan, Tantu Panggelaran, Usaha Dewa,
Gaóapati Tattwa, Tattwa Jñàna, Jñàna siddhànta dan lain-lain.

13
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Dalam agama Hindu di Indonesia tattwa berarti kebenaran. Ajaran
Ketuhanan yang merupakan landasan ajaran agama adalah tattwa. Kepercayaan
akan adanya Tuhan merupakan dasar agama. Oleh karena bayangan orang akan
Tuhan bermacam-macam, maka wujud Tuhan juga dibayangkan bermacam-
macam. Namun dalam tattwa wujud yang bermacam-macam itu hanyalah
kebhinekaan dari yang Esa.

14
3.2 Saran
Demikianlah tattwa Hindu Dharma. Tidak terlalu rumit, namun penuh
kepastian. Istilah- istilah yang disebutkan di atas janganlah dianggap sebagai
dogma, karena dalam Hindu tidak ada dogma. Yang ada adalah kata- bantu yang
telah disarikan dari sastra dan veda, oleh para pendahulu kita, agar lebih banyak
lagi umat yang mendapatkan pencerahan, dalam pencarian kebenaran yang hakiki.

DAFTAR PUSTAKA

Hemersma, Harry. 1986. Tokoh-Tokoh Filsafat Modern. Jakarta: Gramedia.


Kadjeng, I Nyoman, dkk. 2000. Sārasamuçcaya, Dengan Teks Bahasa Sanskerta
dan Jawa Kuna. Surabaya: Pāramita.
Maswinara, I Wayan. 1996. Konsep Pañca Śraddhā. Surabaya: Pāramita.
, I Wayan. 1997. Śrīmad Bhagavad Gītā, dalam Bahasa Indonesia dan
Bahasa Inggris. Surabaya: Pāramita. Miswanto, 2005. “Epistemologi
Jawa, Sebuah Rekonstruksi Makna”, Warta Hindu Dharma, No. 463: hal.
27-30.
, 2005. “Hindu dan Teologi Pembebasan dalam Konteks Kekinian”,
Warta Hindu Dharma, No. 450 – 455, hal: 25-27.

15
Noorsyam, Mohammad, 1984. Filsafat Pendidikan dan Dasar Filsafat
Pendidikan Pancasila. Surabaya: Usaha Nasional. Poedjawijatna. 2005.
Pembimbing ke Arah Alam Filsafat. Jakarta: Rineka Cipta.
Pudja, Gde, dkk. 1982, Siwa Sasana, Jakarta: Mayasari.
Punyatmaja, IB Oka, 1976. Panca Çraddha, Denpasar: PHDI Pusat.
Putra, I.G.A.G., I Wayan Sadia. 1998. Vrhaspati Tattwa. Surabaya: Pāramita.
Sudarto. 1997. Metodologi Penelitian Filsafat. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Tim Penyusun. 1995. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai
Pustaka.
Titib, I Made, 1998. Veda Sabda Suci, Pedoman Praktis Kehidupan. Surabaya:
Pāramita.

16

Anda mungkin juga menyukai