DIMENSI ALAM KEHIDUPAN DAN MANUNGGALING KAWULAGUSTI
DALAM SERAT JATIMURTI
Natural Life Dimension and Manunggaling KawulaGusti in Serat Jatimurti
Andi Asmara
Balai Bahasa Provinsi Jawa Timur, Jalan Siwalan Panji II/1, Buduran, Sidoarjo 61252.
Telepon/Faks. (031)8051752. Pos‐el: and1_asmara@yahoo.com
(Makalah diterima tanggal 12 September 2013—Disetujui tanggal 30 Oktober 2013)
Abstrak: Artikel ini bertujuan memahami dimensi alam kehidupan dan proses pencapaian
manunggaling kawulaGusti menurut Serat Jatimurti. Terpahaminya dimensi alam kehidupan
tersebut diharapkan mampu menuntun pelaku mistik kejawen mencapai tujuan mistiknya. Puncak
laku mistik orang kejawen adalah manunggaling kawulaGusti. Metode yang digunakan adalah
metode analisis wacana dan interprestasi. Teori yang dmanfaatkan ialah teori pragmatik. Teori
pragmatik diterapkan karena berkait erat dengan manfaat karya sastra bagi pembaca dan
masyarakat. Hasil pengkajian ini adalah terungkapnya berbagai dimensi alam kehidupan dan
makna manunggaling kawulaGusti, yaitu menyatunya gesang sejati atau urip sejati dengan Kang
Maha Gesang atau Kang Maha Urip, Tuhan Yang Maha Esa.
KataKata Kunci: dimensi alam kehidupan, manunggaling kawulaGusti, Serat Jatimurti
Abstract: The aim of this article is to comprehend the dimension of natural life and the
achievement process of manunggaling kawula Gusti ‘the unity of human soul and God’ according to
Serat Jatimurti. It is expected that comprehending the natural life dimensions can lead the
performer of mystic of kejawen to get his mystical goal. The ultimate mystical goal of the kejawen
people is manunggaling kawula Gusti. The data was analized by using discourse analysis and
interpretation method. Pragmatic theory was applied because it was closely related with the
benefit of the literary works for the reader and the society. This study has found variuous
dimensions of natural life and the meaning of manunggaling kawula Gusti, which is the unity of
true gesang or true urip ‘life’ with God, Kang Maha Gesang or Kang Maha Urip ‘the eternal’.
Key Words: natural life dimension, manunggaling kawulaGusti, Serat Jatimurti
PENDAHULUAN Hindu, Budha, dan Islam di tanah Jawa.
Karya sastra tradisional Jawa dikenal Kerohanian kejawen adalah sinkretisme
menyiratkan ajaran‐ajaran adiluhung di antara ketiga ajaran agama tersebut
yang mendalam. Ajaran‐ajaran tersebut dengan kepercayaan lokal Jawa. Keem‐
jika benar‐benar dihayati dan diterapkan pat unsur kerohanian ini berpadu mem‐
dalam kehidupan sehari‐hari diyakini bentuk kepercayaan yang disebut keja
mampu membawa pencerahan etika, wen.
mental, dan spiritual. Ajaran‐ajaran Kejawen adalah jati diri Jawa. Ke‐
adiluhung yang tersirat dan tersurat percayaan kejawen mengakar cukup
dalam karya‐karya sastra tradisional Ja‐ kuat di dalam masyarakat Jawa melam‐
wa disebut dengan ajaran kejawen. Ke‐ paui batas status sosial dan ekonomi. Ti‐
percayaan kejawen tumbuh dan berkem‐ dak hanya di pedesaan, dalam masya‐
bang seiring dengan masuknya agama rakat perkotaan pun penganut kejawen
153
ATAVISME, Vol. 16, No. 2, Edisi Desember 2013:153—167
154
Dimensi Alam Kehidupan ... (Andi Asmara)
155
ATAVISME, Vol. 16, No. 2, Edisi Desember 2013:153—167
156
Dimensi Alam Kehidupan ... (Andi Asmara)
157
ATAVISME, Vol. 16, No. 2, Edisi Desember 2013:153—167
Jadi titik tadi tidak punya cara menyim‐ dua, dimensi dua ditopang oleh dimensi
pang. Makanya jika titik dihadang de‐ tiga, dan dimensi tiga ditopang dimensi
pan dan belakang, tidak dapat tempat empat. Eksistensi dimensi empat bahkan
lagi, kecuali jika beralih ke alam lumah. menopang segenap dimensi, karena di‐
Agar bisa beralih di alam lumah jika
mensi empat merupakan sumber eksis‐
berganti wujud sesuai caranya lumah,
tensi setiap dimensi. Dimensi satu bu‐
tegasnya: berupa lumah sempit atau
bundaran yang lembut, jadi sudah tidak kanlah tonggak atau sumber dari setiap
berwujud titik garis tidak dianggap ber‐ dimensi, justru tonggak kehidupan ada
tempat di garis, tapi bertempat di pada dimensi empat. Seperti sebuah
lumah.’ lingkaran siklus, mana yang awal,
tengah, dan akhir tidak dapat dinyatakan
Ukuran kesatu yang berwujud garis, secara pasti. Oleh karena yang awal bisa
terdapat di dalam perasaan seseorang. menjadi pertengahan atau akhir dari se‐
Apabila garis itu diperkirakan berada di buah siklus. Sebaliknya, yang akhir pun
luar rasa manusia, garis itu digambarkan dapat pula menjadi awal atau pertengah‐
sebagai sebuah titik secara berjajar. Ti‐ an dari hukum perputaran sempurna.
tik‐titik tersebut membentuk sebuah ga‐ Hal yang sama dapat juga terjadi pada
ris yang panjangnya tidak terbatas. Pada posisi tengah, pertengahan bisa mendu‐
hakikatnya titik‐titik tersebut tidaklah duki posisi awal atau akhir.
membentuk sebuah garis, karena antara
titik satu dengan titik lainnya tidak me‐ Alam Kehidupan Dimensi Dua
nyatu, melainkan terpisah sebuah jarak. Kehidupan di dimensi dua lebih luas dan
Pemisahnya tidak lain adalah titik itu leluasa jika dibanding dengan dimensi
sendiri. Oleh karena itu, garis tidak lain satu. Berbeda dengan dimensi satu yang
adalah perasaan manusia dalam me‐ hanya mengenal garis, kehidupan di di‐
nanggapi bentuk ukuran kesatu. Setiap mensi dua mengenal depan dan bela‐
orang menanggapi wujud ukuran kesatu kang serta kiri dan kanan. Kehidupan di
sebagai garis. Jadi garis itu dicipta oleh dimensi dua dapat bergerak atau berja‐
rasa manusia (Suryomentaram, lan dari depan dan belakang serta dari
1990:28). kanan ke kiri. Ini terjadi karena alam di
Kehidupan di dimensi satu ini ada‐ dimensi dua berwujud sebuah dataran.
lah kehidupan yang berlandaskan naluri. Kondisi dataran ini serupa dengan garis,
Apa yang terjadi hanyalah daya gerak karena dataran ini digambarkan sebagai
naluri semata. Kehidupan di dimensi ini sejumlah garis yang berjajar yang jum‐
memang masih sangat sederhana, akal‐ lahnya tidak terhingga. Dengan perkata‐
budi belum berkembang. Hukum alam an lain, dimensi dua terbentuk dari kum‐
yang alamiah menguasai sepenuhnya ke‐ pulan dimensi satu yang tidak terhingga
hidupan di dimensi pertama. Pada alam jumlahnya. Oleh karena tidak terhingga
kehidupan di dimensi satu, ego suatu jumlahnya maka dataran ini pun tidak
makhluk belum muncul sehingga upaya terukur pula batasnya atau tanpa batas.
untuk mementingkan diri sendiri atau Garis‐garis yang tidak berkesudahan itu
bersaing dengan mahkluk lain tidak ter‐ berkumpul dalam sebuah satu kesatuan
jadi. yang akhirnya membentuk sebuah da‐
Konsep sangkan paraning dumadi taran.
dalam laku kejawen dapat disejajarkan
konsep empat dimensi kehidupan. Bah‐ Alam lumah luwih jembar tinimbang
wasannya adaya kehidupan di dimensi alam garis, sebab ing alam lumah ora
satu ditopang oleh kehidupan dimensi mung ana ngarep karo buri bae, uga
ana keblat kiwa sarta tengen. Ananging
158
Dimensi Alam Kehidupan ... (Andi Asmara)
159
ATAVISME, Vol. 16, No. 2, Edisi Desember 2013:153—167
akan tiba di tempat yang dituju. Oleh ka‐ luas, sebab bisa naik turun, ke kiri dan
rena itu, pendapat yang menyatakan ke kanan, maju mundur, belok ke kiri
bahwa ruang itu berada di luar perasaan dan ke kanan, belok ke atas dan ke ba‐
manusia adalah keliru. Jadi, benda dan wah: terserah seperti terbangnya lalat
atau berenangnya ikan.
ruang itu terdapat di dalam rasa manu‐
Namun, bila jisim itu dibungkus dalam
sia.
tempat yang luas seperti beruk (tempat
Berbeda halnya dengan kehidupan beras) atau seperti peti, tidak menda‐
di dimensi satu dan dua yang pakarti patkan tempat lagi, sebab di alam jirim
batiniahnya dikendalikan oleh naluri dan itu, apa pun yang ada pasti jisim, sehing‐
nafsu, segenap mahkluk yang paling ga semua butuh jirim untuk bertempat,
sempurna di dimensi tiga (manusia) ke‐ tidak ada caranya keadaan yang tidak
hidupan batiniahnya dikendalikan oleh bertempat atau tidak butuh jirim, ke‐
empat komponen dasar, yaitu naluri, cuali bila bisa berubah di alam kese‐
nafsu, akal, dan budi. Adanya akal dan jatian.’
budi pada diri manusia menjadi pembe‐
da batiniah antara tumbuhan, binatang, Di alam jirim semua realita adalah
dan manusia. jisim. Oleh karena itu, seluruh eksistensi
Sehubungan dengan eksistensi di‐ di dimensi ketiga membutuhkan jirim
mensi ketiga yang disebut juga sebagai agar bisa eksis. Tidak ada satu entitas
alam jirim, dalam Serat Jatimurti, hala‐ pun di dimensi ketiga yang bisa eksis
man 17—18 dipaparkan sebagai berikut. tanpa adanya ruang, kecuali apabila enti‐
tas di dimensi ketiga tersebut manjing ke
Alam jirim luwih jembar tebane katim dimensi ke empat. Hal ini bisa terjadi ka‐
bang alam lumah, awit ora mung duwe rena di dimensi keempat tidak mengenal
keblat ngarep mburi lan kiwa tengen ruang—waktu, yang ada adalah kesejati‐
bae, uga duwe keblat ngisor lan dhuwur. an, ketunggalan, tanpa sebab, karena
Mulane yen jisim kinubengan ing garis menjadi sebab dari segala eksistensi
temu gelang, isih oleh panggonan yang yang ada di semua dimensi kehidupan.
jembar. Awit bisa munggah mudhun,
mangiwa manengen, maju mundur, nge
Alam Kehidupan Dimensi Empat
was mangiwa lan manengen, ngewas
Di dalam Serat Jatimurti dimensi keem‐
mandhuwur lan mangisor. Sakarepka
rep kaya dene aburing laler utawa ngla pat ini disebut sebagai alam kajaten.
ngining iwak. Alam kajaten adalah alam langgeng yang
Ananging yen jisim iku kabungkus ing tanpa mobah mosik, alam suwung, atau
barang kang amba lendhuk kaya beruk, alam sunyaruri. Alam kajaten sungguh
utawa kaya pethi, ora oleh panggonan luasnya tidak terkira tan kena kinaya
menah, sebab ing alam jirim iku sa ngapa, tidak bisa diukur luasnya karena
rupane kang lungguh mesthi jisim, dadi memang tidak terbatas, tidak bisa diban‐
kabeh butuh jirim dienggo manggon. dingkan dengan keadaan mana pun di
Ora ana carane kahanan kang ora dunia ini, dan tidak bisa digambarkan
manggon utawa ora butuh jirim, kajaba
dengan gambaran yang bagaimanapun
yen wis manjing ing kajaten (Anonim,
juga.
1980:17—18).
Alam kajaten yaitu alam yang terbe‐
‘Alam jirim lebih luas daripada alam lu bas dari dimensi ruang dan waktu. Di
mah, sebab tidak hanya memiliki kiblat alam kajaten tidak ada batas ruang dan
belakang dan kiri, kanan saja, juga me‐ batas waktu. Waktu dan ruang adalah
miliki keblat bawah dan atas, oleh kare‐ tunggal. Alam langgeng yang abadi ini
na itu bila jisim dikitari oleh garis yang tidak mengenal adanya keblat atau arah
melingkar, masih dapat tempat yang mata angin, yang ada adalah keblat lair
160
Dimensi Alam Kehidupan ... (Andi Asmara)
dan batin. Oleh sebab itu, kajaten tidak upama kahanan jati digedhong wesi
membutuhkan ruang dan waktu untuk kang rapet kaya cangkok kemiri, isih ko
eksis, malahan eksistensi kajaten me‐ bet banget sarta ora dadi sebab apa
ngendalikan segenap ruang—waktu di apa. Ora dadi sebab mau kaya dene ja
ran kinubeng ing tapaking potelot ate
segenap dimensi kehidupan. Kajatenlah
mu gelang, sarta tapaking potelot mau
yang melahirkan ruang dan waktu seba‐
ana ing kulite jaran.
gai sarana eksistensinya kehidupan di Kajaten ora nandhang apaapa, sebab
dimensi satu, dua, dan tiga. dudu jisim sarta tansah pernah, malah
Menurut Suryadipura (1993:162), andhoking sakehing pernah.
jika kita ingin mengetahui ruang dengan Kang lungguh ing kajaten yaiku ingsun,
empat dimensi, kita harus memiliki pan‐ tegese pribadi, dhewek, aku, jumeneng
caindra lain, yakni otak lain, dan tubuh jejer sakehe kadadiyan, yaiku kang di
lain dari yang kita miliki saat ini. Dengan akoni dening makhluk saisining alam
kata lain kita harus meninggalkan jasma‐ kabeh utawa kang andhaku marang sa
ni kita menjadi makhluk yang bentuk isining alam kabeh.
Mungguh kahanan kang dudu jirim iku
dan susunan tubuhnya bebeda dengan
ora pisanpisan kena kinirakira dening
makhluk yang dinamakan manusia.
kahanan kang arupa jirim, awit dudu
Pendapat tersebut senada dengan timbangane, yen meksa kacakrabawa
pandangan kejawen terhadap eksistensi kadadeyane banjur kaya watu katan
dimensi keempat. Bahwasannya dimensi dhing karo warna ing raening watu, uta
keempat terbebas dari ruang dan waktu wa kaya sameter persegi katandhing ka
dan tan kena kinaya ngapa, tidak bisa di‐ ro sameter. Anjaba saka mangkono, ka
bandingkan atau diumpamakan dengan bisaning manungsa iku nganggit ngira
apa pun yang kita kenal. Dimensi ke‐ nuju marang kahanan kang awujud ji
empat hanya bisa dikenali dengan rasa rim, sebab rasa pangrasaning manungsa
jati. Rasa saja manusia akan eksis mana‐ (piranti kang dienggo nyakrabawa) du
du rasa kang sejati. Yen rahsaning ma
kala seseorang dapat memasifkan pan‐
nungsa katandhing lan rasa jati, kada
caindra, pikiran, dan perasaannya yang
deyane iya kaya warna ing raen katan
senantiasa bergolak. dhing lan barang gembleng kang meng
Pembahasan masalah dimensi ke‐ ku raen mau. Utawa kena kasanepakake
empat ini di dalam Serat Jatimurti dite‐ ciptaning wayang kang lagi dilakokake
rangkan seperti pada kutipan berikut. ing dhalang. Katandhing lan ciptaning
dhalang kang lagi nglakoake wayang
Kajaten iku benget enggone kobet, ora iku (Anonim, 1980:18—19).
kena kinira jembaring tebane, kongsi
ora kena ginayuh ing budi, ora temi tine ‘Kesejatian itu sangatlah luas, tidak da‐
mu yen katimbag ing jirim, marga ing pat dikira luasnya, sekelompok orang
kajaten ora ana keblat maneh sinebut tidak boleh bergantung pada budi, tidak
lahir lan batin. Sakehing jirim dumu akan ketemu bila ditimbang dalam ji
nung ing sisih lahiring kajaten, dene an rim, sebab dalam kesejatian ada keblat
taraning lahir lan batin, iku keblat kang lagi yang disebut lahir dan batin. Semua
ora kene kinaya ngapa dening manung jirim bertempat dalam sisi lahirnya ke‐
sa. sejatian, sedangkan antara lahir dan ba‐
Sarehning kajaten iku jumeneng bati tin, itu kiblat yang tidak dapat dijang‐
ning jirim utawa awak kang mengku kau oleh manusia (kang ora kena
marang jirim, mulane kajaten ora butuh kinaya ngapa).
jirim kanggo manggon, malah mengku Sebab kesejatian itu bertempat dalam
marang sakehing enggon, kaya pameng batin jirim atau tubuh yang memangku
ku jisim marang raine, utawa kaya pa terhadap jirim, makanya kesejatian ti‐
mengkuning raen marang garis. Dadi dak butuh jirim yang bertempat, malah
161
ATAVISME, Vol. 16, No. 2, Edisi Desember 2013:153—167
memangku terhadap sebanyak tempat, kesucian. Artinya: hilang kemanusiaan‐
seperti memangkunya jisim terhadap nya dengan maksud kalau wujud yang
raennya, atau memangkunya raen ter‐ sesungguhnya bukan badan wadak. ‘
hadap garis. Jadi seandainya keadaan
jati dibungkus besi yang rapat seperti Manunggaling Kawula Gusti
cangkok kemiri, masih sangat luas serta Manunggaling kawula Gusti adalah ber‐
tidak menjadi sebab apa‐apa. Tidak satunya kembali jiwa manusia dengan
jadinya sebab tadi seperti kuda yang di‐
Tuhan di alam kelanggengan. Jiwa manu‐
kelilingi dalam tapak pensil yang ber‐
sia adalah percikan jiwa dari jiwa yang
bentuk seperti gelang, serta tapaknya
pensil tadi ada dalam kulit si kuda. mahaluas yaitu Tuhan. Oleh karena jiwa
Kesejatian tidak merasakan apa‐apa, manusia bersumber dari jiwa yang ma‐
sebab bukan jisim serta selalu pernah, haluas, maka jiwa manusia dapat ma‐
malah andhoking sakeh prenah. nunggal dengan sifat sumbernya. Itu se‐
Yang duduk di kesejatian yaitu: ingsun babnya, manusia dapat mencapai penya‐
(saya), artinya: pribadi = diri = aku, ber‐ tuan atau kemanunggalan dengan
diri dekat dengan seluruh kejadian, yai‐ Tuhan.
tu yang dianggap oleh makhluk seisi Dalam mistik kejawen, Manunggal
alam semua atau yang andhaku terha‐ ing kawula Gusti itu adalah sebuah ke‐
dap isi alam semua.
manunggalan antara ingsun atau urip
Sesungguhnya keadaan yang bukan ji
atau gesang dengan Kang Maha Urip
rim itu tidak sekali‐kali dapat dikira‐ki‐
ra dengan keadaan yang berupa jirim, atau Kang Maha Gesang, yaitu Tuhan
sebab bukan bandingannya, bila dipak‐ Yang Maha Esa. Meleburnya gesang pri‐
sa dikira‐kira kejadiannya maka seperti badi kepada Kang Maha Gesang akan
batu yang ditandingkan dengan warna menjadikan gesang pribadi kehilangan
dalam rupa batu, atau seperti satu me‐ identitas sehingga yang ada hanya Kang
ter persegi ditandingkan dengan satu Maha Gesang. Jiwa individu yang telah
meter. Demikian pula, kemampuan meleburkan diri ke dalam jiwa alam se‐
manusia itu nganggit ngira nuju terha‐ mesta yaitu Tuhan, mengakibatkan jiwa
dap keadaan yang berwujud jirim, se‐ individu kehilangan jati dirinya. Oleh ka‐
bab rasa yang merasakan manusia (alat
rena itu, setelah kemanunggalan terjadi
yang dipakai untuk mempersepsikan)
yang ada hanya jiwa alam semesta atau
bukan rasa yang sejati. Bila rahsanya
manusia dibandingkan dengan rasa se‐ Tuhan. Jiwa individu tidak eksis lagi. Dia
jati, kejadiannya ya seperti warna da‐ telah mencapai tujuan akhir, kembali ke‐
lam permukaan (raen) dibandingkan pada sumbernya.
dengan benda gembleng, yang me‐ Manunggaling kawula Gusti yang di‐
mangku permukaan (raen) tadi. Atau ajarkan dalam Serat Jatimurti adalah ma‐
dapat dianalogikan dengan perbuatan nunggalnya rasa manusia yaitu rasa seja‐
wayang yang sedang dijalankan oleh ti dengan Tuhan. Yang manunggal itu
dalang: dibandingkan dengan perbuat‐ adalah rasanya bukan raganya. Raga ma‐
an dalang yang sedang menjalankan nusia tidak bisa manunggal dengan
wayang. Bagi dalang: wujud wayang itu
Tuhan karena raga adalah unsur dunia.
tidak ada, hanya wujudnya dalang yang
Pada saat kematian tiba raga harus kem‐
ada: tanpa ukuran. Pendeknya bagian
manusia: diam. Diamnya bisa diumpa‐ bali ke asalnya, melebur ke dalam unsur‐
makan: salah satunya wujud wayang unsur alam, air, angin, api, dan tanah se‐
berhenti tidak diwujudkan lagi oleh da‐ dangkan rasa sejati yang sejatinya me‐
lang, kembali kepada wujudnya dalang. mang berasal dari Tuhan akan kembali
Jadi ya hanya diam itu saja perbuatan kepada Tuhan. Meleburya rasa sejati de‐
manusia berada pada kebenaran sebab ngan Tuhan inilah yang disebut Manung
masuknya ke dalam kesejatian melalui galing kawula Gusti.
162
Dimensi Alam Kehidupan ... (Andi Asmara)
Kemanunggalan rasa sejati manusia awor dadi siji lan segara, iku dadi pipin
dengan rasa Tuhan dalam Serat Jatimurti dhan woring kawula ing Gusti (Anonim,
digambarkan sebagai meleburnya garam 1980:13).
dengan air laut. Garam yang sejatinya
‘Ada perumpamaan begini: garam dice‐
berasal dari air laut yang dikristalkan itu,
burkan ke lautan, lenyapnya garam me‐
ketika dilarutkan ke dalam air laut akan
nyatu menjadi satu dengan lautan, hal
kehilangan bentuknya. Bentuknya le‐ ini menjadi gambaran manunggalnya
nyap, namun sifat sejati garam tetap. Si‐ kawula dengan Gusti.’
fat sejati itu kemudian melebur atau ber‐
satu kembali dengan sifat air laut. Sete‐ Tumpraping Pengeran, kabeh mau dudu
lah terjadi kemanunggalan maka tidak wujud. Manawa ciptaan mau kasirep ing
dapat lagi dibedakan mana sifat garam Pangeran, kabeh sirna. Panyirepe kena
dan sifat air laut. Mana rasa garam dan kaumpamaake: ngedhepake gambar ing
mana rasa air laut. pangangenangen utawa kaya bunglon
Demikian pula saat manusia sudah ngilangi warna kuning ana ing jisime,
kasalin warna ijo utawa warna abang
manunggal dengan Kang Agawe Gesang
(Anonim, 1980:34).
maka tidak dapat dipilah‐pilah lagi mana
rasa manusia sejati dan mana rasa ‘Bagi Tuhan, semua yang ada itu bukan
Tuhan. Hal ini terjadi karena rasa sejati wujud. Apabila ciptaan itu menyatu
itu tidak lain adalah rasa Tuhan. Tidak kembali kepada Tuhan, semua sirna.
berbeda dengan garam dan air laut tadi. Menyatunya itu dapat diumpamakan
Mana rasa asin garam dan mana rasa seperti melihat gambar di dalam pikir‐
asin air laut tidak bisa dibedakan lagi, ka‐ an, atau seperti hewan bunglon yang
rena rasa asin garam bersumber dari ra‐ menghilangkan warna kuning ditubuh‐
sa asin air laut. Demikian juga rasa sejati nya, diganti dengan warna hijau atau
manusia bersumber dari rasa Tuhan. merah. ‘
Sehubungan dengan konsep kema‐
nunggalan antara kawula dan Gusti, dan Manunggaling kawula Gusti meru‐
Tuhan sebagai sumber dari setiap keber‐ pakan puncak perjalanan spritual manu‐
adaan, karena hanya Tuhan yang ada se‐ sia. Untuk mencapai kesempurnaan spi‐
benar‐benarnya, yang lainnya hanya ilu‐ ritual tersebut, manusia harus memiliki
si, ada tetapi sebenarnya tidak ada, se‐ budi pekerti yang luhur. Budi pekerti lu‐
bab bersifat fana dan sementara saja ke‐ hur merupakan ajaran dasar dalam
hadirannya. sangkan paraning dumadi. Sebagai dasar
Serat Jatimurti halaman 11, 13, dan dari lelaku, manusia yang berbudi luhur
34 menyatakan sebagai berikut. pastilah memiliki sifat yang jujur, sabar,
andhap asor (rendah hati), lila legawa
Ora ana apaapa, mung Allah kang ana, (ikhlas), dan sumeleh (pasrah).
yaiku kang ana sabenerbenere. Kasebut Pencapaian derajat budi luhur me‐
kahanan jati, tegese kang temen anane rupakan syarat utama yang harus dimi‐
(Anonim, 1980:11). liki oleh setiap manusia apabila ingin da‐
pat kembali kepada sang Pencipta. Budi
‘Tidak ada apa‐apa, hanya Tuhan yang luhur adalah laku batin untuk menyuci‐
ada, yaitu yang sebenar‐benarnya ada. kan hati dan pikiran. Setelah tercapainya
Disebut kahanan jati, artinya benar‐be‐ kesucian hati dan pikiran maka pelaku
nar adanya. ‘
mistik kejawen harus meningkatkan ta‐
raf kemampuan batinnya pada pencapai‐
Ana pipindhan mangkene: uyah kacem
plungake ing segara, sirnaning uyah an kebijaksanaan. Selanjutnya, dari kebi‐
jaksanaan menuju ke tahap ke
163
ATAVISME, Vol. 16, No. 2, Edisi Desember 2013:153—167
kesempurnaan batin. Pada tahap kesem‐ dicapai dengan tiga tahap, yaitu kasucen,
purnaan batin inilah derajat manunggal kawicaksanan, dan kasampurnan. Kasu
ing kawula Gusti dapat dicapai oleh pela‐ cen yaitu menghilangakn sifat‐sifat nega‐
ku mistik kejawen seperti dalam kutipan tif dalam diri kita. Kawicaksanan adalah
di bawah ini. mengendalikan diri sepenuhnya untuk
tidak terjebak dalam hal‐hal yang negatif
Manungsa sadurunge nggayuh kasam dan positif. Pada tahap ini para pencari
purnan, wajibe anggayuh kawicaksanan kebenaran hakiki memposisikan diri pa‐
lan kasukcen, patrape: nguripnguripi da keseimbangan batin. Untuk tidak me‐
dayaning budi sarta mamati marang lekat pada penilaian‐penilaian baik dan
dayaning nafsu kang ala. Eling, urip iku
buruk. Para penghayat berupaya mem‐
saka kereping epan, lemper utawa ken
bebaskan diri dari dimensi baik‐buruk.
dho saka kuranging empan, mati saka
ora tau diempakake dayane. Saben ana Berikutnya adalah tahap kasampurnan.
kakarepan kang tuwuh, kudu weweka Tahap ini adalah fase pemahaman kese‐
sarana karasakake, apa saka dayaning jatian terkait dengan asal‐usul manusia
budi apa saka dayaning nafsu. Yen saka dan cara manusia kembali ke asalnya.
dayaning nafsu kabantaha dewe. Yen tu Fase ini adalah tahap kepasrahan total
wuh saka ing budi, sanadyan badan li kepada Tuhan.
yane lumuh, kudu dipeksa. Yen bisa Adapun tahap penyucian diri Serat
mangkono, budi kang gedhe dayane Jatimurti menyatakan sebagai berikut.
Angenangen kang mengkoni karem,
manuta pituduh ing budi enggone nge Nyirnaake anggep kumingsun, gumedhe,
reh nafsu. Aja kalah karo nafsu kuminter spanunggalane. Manungsa
(Anonim, 1980:36). kang bener mungguh ing panganggepe
marang kahanan kang sajati, iku lakune
‘Manusia sebelum mencapai taraf ke‐ satindak lan ujare sakecap tansah kati
sempurnaan, harus dapat mencapai ta‐ tik ana ing pasemon, yen sepi saka ing
raf kebijaksanaan dan kesucian terlebih pamrih, tegese sepi saka ing anggep mi
dahulu. Caranya, dengan menghidup‐ tontonake dhiri.
kan daya dari budi serta memupus ke‐ Nyirnaake watak melikan, penginen, su
kuatan hawa nafsu yang jelek. Sadar gih pakareman, sapanunggaale. Apa se
bahwa kekuatan berasal dari seringnya bape, iya saka rumasa yen donya iku lu
menerapkan, kencang atau kendor itu wih dening sapele sarta mung sedhela,
berasal dari kurangnya penerapan. Ma‐ jer dudu kahanan jati. Dheweke kang sa
ti berasal tidak pernah diterapkan da‐ jati, langgeng ana ing kasukcen ora bu
yanya. Setiap ada keinginan yang mun‐ tuh apaapa.
cul, harus diamati dengan cara dirasa‐ Nyirnaake watak getingan, panasten,
kan. Apakah berasal dari dayanya budi, muringan, sugih duka, sapanunggalane,
apakah berasal dari dayanya nafsu. Bila awit rumasa yen dhirine padha lan
berasal dari dayanya nafsu, bantahlah wong liya. Kabeh kang wujud jirim, si
sendiri. Kalau tumbuh dari budi, walau‐ pate dhewe.
pun badan yang lainnya malas, harus Nyirnaake watak kagetan, gumunan, gi
dipaksa. Jika bisa begitu, budi yang be‐ miran, ngresula, uwas, sumelang, sapa
sar kekuatannya. nunggalan, awit saka kandel piyandela
Angan‐angan yang berkuasa atas ke‐ yen dheweke kang sajati ra ika iki.
inginan, hendaknya mengikuti petunjuk Nyirnaake watak demen goroh, dening
budi dalam mengendalikan nafsu. rumasa yen goroh iku gawe gorohing
Jangan kalah dengan nafsu. ‘ atine dhewe, sarta tuwuhe mung saka
pamrih kang banget enggone sapele.
Serat Jatimurti mengisyaratkan bah‐ Nganakake watak lembah manah, welas
wa Manunggaling kawula Gusti dapat asih, ayem, tentrem, narima, sumeleh,
164
Dimensi Alam Kehidupan ... (Andi Asmara)
dhemen tetulung, rilan, tuwajuh, sapa Perihal terangnya budi, Serat Jati
nunggalane (Anonim, 1980:54—55). murti memaparkannya sebagaimana ku‐
tipan di bawah ini.
‘Menghilangkan rasa keakuan, tinggi
hati, sok pandai, dan sebagainya. Manu‐ Manungsa nggayuh marang padhang
sia yang sudah benar menurut kahanan ing budi, kudu mbuwang reregeding ati.
jati itu setiap tindak‐tanduk dan tutur Patrape mbuwang reregeding ati, kudu
katanya dapat diketahui dari sepinya kanthi padanging budi. Karone kudu tu
pamrih, maksudnya sepi dari memper‐ mindak bareng.
lihatkan keakuannya. Marsudi padhang kanthi mbuwang rere
Menghilangkan watak melikan, pengin geding ati mau, kudu bener. Pengang
an, banyak kesenangan, dan sebagai‐ gepe mungguh ing kajaten, dene bisane
nya. Apa sebabnya, ya dari kesadaran‐ bener penganggepe mungguh ing kaja
nya bahwa dunia ini lebih dari sekadar ten, sranane iya kudu mbuwang rere
sepele serta hanya sebentar, dan bukan geding ati kanthi madhangake budi. Ka
kahanan jati. rone tetep tinetepan, kudu tumindak ba
Menghilangkan watak dengki, panas reng.
hati, pemarah, suka mencela, dan seba‐
gainya, karena dari kesadarannya bah‐ ‘Manusia yang berupaya mencapai te‐
wa dirinya sama dengan orang lain. Se‐ rangnya budi, haruslah membuang ke‐
mua yang wujud jirim, sendiri. Semua kotoran hatinya. Caranya membuang
rasa, rasanya sendiri, serta semua itu kekotoran hati, harus dengan cara te‐
bukan keadaan yang sejati. rangnya budi. Keduanya harus berjalan
Menghilangkan watak gampang kaget, berbarengan.
gampang kagum, gimiran, tidak rela, Mencari terangnya dengan membuang
was‐was, cemas, dan sebagainya. kekotoran hati tadi, harus benar. Ang‐
Menghilangkan watak suka berbohong, gapannya terhadap kajaten, agar bi‐
oleh karena merasa jika berbohong itu sanya benar anggapannya terhadap ka
membohongi hatinya sendiri, serta jaten, sarananya ya harus membuang
munculnya hanya dari pamrih yang kekotoran hati dengan terangnya budi.
sangat sepele. Keduanya saling mendukung, harus di‐
Membentuk watak rendah hati, welas lakukan bersama‐sama.’
asih, ayem, tenteram, menerima, pas‐
rah, suka menolong, rela, tuwajuh, dan
Setelah tahap kasucen dan kawicak
sebagainya.’
sanan tercapai, selanjutnya adalah tahap
Menghilangkan berbagai sifat ne‐ kasampurnan. Tahap ini adalah proses
gatif dan menggantinya dengan watak Manunggaling kawula Gusti. Manunggal
positif bertujuan untuk mencapai te‐ ing kawula Gusti merupakan proses mis‐
rangnya budi. Terangnya budi diharap‐ tik yang sangat pribadi. Artinya, pengala‐
kan akan mampu menuntun manusia man orang per orang sesama pelaku
menuju terangnya hati atau bijaksana. mistik belum tentu sama meskipun me‐
Caranya adalah dengan membuang ke‐ miliki hakikat yang sama. Sehubungan
kotoran hati. Kekotoran hati menyebab‐ dengan konsep sangkan paraning duma
kan manusia kehilangan kebijaksanaan, di, mistik memiliki pengertian sebagai
padahal kebijaksanaan jalan menuju ke perjalanan rohani manusia menuju
kesempurnaan. Kebijaksanaan yang di‐ Tuhan. Perjalanan spiritual menuju sum‐
hayati dan diterapkan dalam kehidupan ber dari segala sumber kehidupan di ja‐
sehari‐hari secara terus‐menerus akan gat raya di bawah bimbingan seorang
menuntun pada kesempurnaan yang guru spiritual.
merupakan tujuan akhir hidup manusia. Pengetahuan rohani yang berhasil
dicapai manusia pada tahap ini benar‐
165
ATAVISME, Vol. 16, No. 2, Edisi Desember 2013:153—167
benar adalah anugerah Tuhan, manusia persajakan. Gancaran ini gaya bahasa‐
tidak bisa mencapai kesempurnaan tan‐ nya bersifat bebas.
pa mendapat anugerah. Tuhan adalah Dilihat dari kandungan isinya, Serat
pangkal dari segala peristiwa. Apa yang Jatimurti membahas eksistensi manusia,
terjadi di dunia ini dan apa yang dialami baik di alam lahiriah maupun batiniah.
manusia semata‐mata adalah kehendak‐ Dalam hubungannya dengan ruang dan
Nya. waktu, karya sastra ini membaginya da‐
Dikatakan demikian karena penge‐ lam empat dimensi. Dimensi untuk alam
tahuan rohani tentang kesempurnaan garis, dimensi alam lumah, dimensi tiga
berada di luar jangkauan akal pikiran. alam jirim, dan dimensi empat alam ka
Manusia hanya bisa mengendalikan pi‐ sunyatan. Masing‐masing dimensi kehi‐
kirannya, sementara itu pengetahuan ro‐ dupan tidak dapat berdiri sendiri atau
hani hanya bisa didapat apabila individu tanpa hubungan, melainkan berhubung‐
yang bersangkutan telah mampu mele‐ an secara erat satu sama lain, meskipun
paskan diri dari lingkar kesadaran pikir‐ eksistensinya berdiri secara otonom.
an dan perasaannya. Serat Jatimurti juga membicarakan
Perihal Manunggaling kawula Gusti masalah eksistensi alam kesejatian atau
ini, Serat Jatimurti menerangkan sebagai alam langgeng. Alam ini merupakan
berikut. alam keabadian yang menjadi tujuan hi‐
dup setiap manusia. Kelanggengan ada‐
Kahanan jati dumunung ing batine sa lah alam awal dan sekaligus akhir dari
kehing kahanan tur ora kejaba ora ke setiap entitas di jagat raya ini. Setiap
jero, sarta sakehing kahanan wis karo makhluk di alam semesta, mulai dari
jatine apadene, sajatine ora ana apaapa yang hidup di dimensi satu sampai tiga
mung dat kang ana. Dat ora kena di
akan mencapai titik akhir perjalanannya
arani ora kena dirasaake, ora kena disi
di alam langgeng ini. Alam ini adalah
pati. Cekake cep tan kena kinacep, tan
kena cinakrabawa, tan kena kinaya nga alam tanpa sebab dan akibat.
pa. Manungsa iku padha nunggal kaha Untuk bisa mencapai kesempurna‐
nan jati kang jumeneng pribadi an di alam langgeng, manusia harus da‐
(Anonim, 1980:15, 56). pat manunggal dengan Kang Agawe Ge
sang. Manunggaling kawula Gusti ini da‐
‘Kahanan jati berada di batin setiap ke‐ pat dicapai melalui tiga tahap pember‐
beradaan dan lagi tidak di dalam tidak sihan batin, yaitu kasucen, kawicaksanan,
di luar, serta semua keberadaan telah dan kasampurnan. Kasucen adalah mem‐
bersatu dengan kesejatian, apalagi se‐ bersihkan hati dari hal‐hal negatif dan
sungguhnya tidak ada apa‐apa hanya
selanjutnya mengisi dengan hal‐hal yang
dzat yang ada. Dzat tidak bisa dinamai,
positif. Kawicaksanan merupakan kete‐
tidak bisa dirasakan, dan tidak bisa di‐
sifati. Singkatnya, diam tanpa sepatah guhan hati untuk tidak terjerat oleh hal‐
kata, tidak bisa dibicarakan, tidak bisa hal yang buruk maupun yang baik. Ka
diungkapkan dengan apa pun. Manusia sampurnan adalah manunggalnya rasa
itu sama tunggal dengan kesejatian jati manusia dengan Tuhan.
yang meliputi seluruh pribadi.’
SIMPULAN DAFTAR PUSTAKA
Serat Jatimurti (yang pengarangnya ano‐
nim ini) ditulis dalam bentuk prosa atau Abrams, M.H. 1979. The Mirror and the
gancaran, yaitu karya sastra yang sis‐ lamp: Romantic Theory and Critical
temnya tidak diikat oleh aturan‐aturan
166
Dimensi Alam Kehidupan ... (Andi Asmara)
167