Anda di halaman 1dari 51

MAKALAH MANUSIA DAN KEBUDAYAAN INDONESIA

(Kebudayaan Jawa)

Disusun Oleh:

Kelompok VI

Sunarti 1551141019

Sindi 1551141010

Mustika 1551142012

Dosen Pengampu: Suarni Syam Saguni, S,s., M.Hum

JURUSAN BAHASA DAN SASTRA IMDONESIA

FAKULTAS BAHASA DAN SASTRA

UNIVERSITAS NEGERI MAKASSAR

2017/2018
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Puji syukur kami panjatkan atas kehadirat Allah SWT yang telah memberikan kami
kesehatan dan kesempatan untuk bisa menyelesaikan tugas kelompok yang diberikan oleh
dosen pengampu mata kuliah Manusia dan Kebudayaan Indonesia dengan baik dan tepat
waktu. Shalawat beserta salam tak henti kita kirimkan kepada baginda Rasulullah
Muhammad SAW yang membawa kita dari alam kegelapan ke alam terang benderang seperti
sekarang ini.

Kami menyampaikan rasa terima kasih kepada dosen pengampu yang telah
memberikan arahan kepada kami untuk menyelesaikan makalah ini. Kami menyadari bahwa
makalah ini masih jauh dari kesempurnaan dan terdapat berbagai kekurangan di dalamnya.
Olehnya itu kami memohon maaf atas kekurangan tersebut dan sekiranya pembaca dapat
memberikan masukan berupa saran dan kritik yang bersifat membangun demi kesempurnaan
makalah ini.

Terima kasih,

Wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Makassar, 9 Oktober 2017

Kelompok VI
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR

DAFTAR ISI

KEBUDAYAAN JAWA

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


B. Rumusan Masalah
C. Tujuan Penulisan

BAB II PEMBAHASAN

A. Mitos dan Kronik Manusia Jawa


B. Simbolisme dalam Budaya Jawa
C. Simbolis dan Nasib Manusia
D. Agama dan Spiritualitas Jawa
E. Filsafat Jawa Dalam Realitas Kehidupan
F. Filsafat Ha-Na-Ca-Ra-Ka

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan
B. Saran

DAFTAR PUSTAKA
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Indonesia merupakan negara kepulauan yang terdiri dari banyak pulau dan memiliki berbagai
macam suku bangsa, bahasa, adat istiadat atau yang sering kita sebut kebudayaan. Keanekaragaman budaya
yang terdapat di Indonesia merupakan suatu bukti bahwa Indonesia merupakan negara yang kaya akan
budaya. Tidak bisa kita pungkiri, kebudayaan daerah merupakan faktor utama berdirinya kebudayaan yang
lebih global, yang biasa kita sebut dengan kebudayaan nasional.

Maka atas dasar itulah segala bentuk kebudayaan daerah akan


sangat berpengaruh terhadap budaya nasional, begitu pula sebaliknya kebudayaan nasional yang
bersumber dari kebudayaan daerah, akan sangat berpebgaruh pula terhadap kebudayaan daerah / kebudayaan
lokal. Kebudayaan merupakan suatau kekayaan yang sangat benilai karena selain merupakan cirri khas dari
suatu daerah juga mejadi lambang dari kepribadian suatu bangsa atau daerah. Karena kebudayaan merupakan
kekayaan serta ciri khas suatu daerah, maka menjaga, memelihara dan melestarikan budaya merupakan
kewajiban dari setiap individu, dengan katalain kebudayaan merupakan kekayaan yang harus dijaga dan
dilestarikan oleh setiap suku bangsa.

B. Rumusan Masalah

Adapun rumusan masalah yang akan menjadi pusat pembahasan kelompok enam
ialah sebagai berikut.
1. Bagaimanakah Mitos dan Kronik Manusia Jawa ?
2. Bagaimanakah Simbolisme dalam Budaya Jawa ?
3. Bagaimanakah Simbolis dan Nasib Manusia dalam pandangan Kebudayaan Jawa ?
4. Bagaimanakah Agama dan Spiritualitas Jawa ?
5. Bagaimanakah Filsafat Jawa Dalam Realitas Kehidupan serta Filsafat Ha-Na-Ca-Ra-Ka ?
C. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan penulisan makalah ini ialah untuk mengetahui dan memahami
bagaimana kebudayaan Jawa.
BAB II

PEMBAHASAN

A. Mitos dan Kronik Manusia Jawa

Kekhasan budaya Jawa yang paling menonjol adalah penggunaan symbol dalam segala
aspek kehidupannya, terutama dalam beragama. Symbol dijadikan sarana atau media untuk
menitipkan atau menyampaikan pesan serta nasihat-nasihat kepada manusia secara
menyeluruh. Oleh sebab itu, dalam kebudayaan Jawa, kehidupan moral religious dijadikan
sebagai pola dan falsafah hidup mereka. Hal ini tercermin pada konsep hidupnya dalam
memandang alam lingkungan dan sesama manusia. Penggunaan symbol jadi sangat penting,
sebagai media dalam proses penyatuan diri antara Tuhan, manusia dan alam. Ia tunduk
terhadap hokum kosmos yang berlaku dan hidup terbatas pada nasib maksud dan kemauan.
Artinya, proses kehidupan yang dijalaninya, melangka tanpa adanya kehendak, semua
bergantung pada alam. Dengan demikian segala bentuk keinginan terpendam dalam
kenyataan kehidupan yang diterimanya, yaitu hidup apa adanya. Ia kan mendapatkan
sejatineng urip (kesejatian hidup). Apabila ia dapat mengendalikan hidupnya sesuai dengan
kehendak alam, ia akan dapat bersatu dengan Tuhan, alam dan sesame manusia.

Proses penyatuan diri dapat dilakukan atau tterwujud apabila ia dapat memaknakan
symbol-simbol alam yang ada atau dengan penyakralan terhadap symbol yang diyakininya.
Sebagai media dalam proses penyatuan diri, symbol harus ditempatkan pada posisi yang
layak, yaitu penyucian dan penghargaan yang tinggi terhadap symbol. Oleh karena itu, perlu
adanya penyakralan terhadap symbol. Sakralitas penyimbolan, hanya dapat dilakukan jika
manusia menyadari fungsi dan makna sesuatu yang dikehendakinya. Tanpa kesakralan yang
terwujud dalam diri manusia, sakralitas penyimbolan tidak bermakna dan berdampak pada
proses kehidupan manusia.

Misalnya, penyimbolan terhadap wayang, baik bentuk maupun ceritanya menyimpan


makna kehidupan manusia yang sangat luas. Demikian pula terhadap keris, burung, atau
benda-benda lainnya yang ada disekitar manusia. Jika dalang tidak melakukan syarat-syarat
atau proses penyimbolan dengan kesadaran yang tinggi terhadap lakon dalam pewayangan,
cerita dalam wayang tidak memiliki makna dan tidak mampu membangun jati diri pendengar
ataupun penonton.

Demikian juga, penyimbolan terhadap benda-benda yang diyakini khasiatnya. Apabila


tidak melalui proses yang diyakini kebenarannya, benda-benda tersebut tidak memancarkan
cahaya, “penguasaan” atau “keberuntungan” bagi pemiliknya. Pada sisi lain, penyimbolan
tidak hanya terdapat atau diberikan pada kekuatan suatu benda. Akan tetapi berlaku juga
pada keyakinan-keyakinan yang berkaitan langsung dengan diri atau nasib manusia.
Misalnya, wethonan, yaitu upacara ritual atau selamaetan untuk menyambut bayi yang baru
lahir, atau ramalan-ramalan lain yang langsung berkaitan dengan nasib dan masa depan.
Bahkan, untuk penebusan dosa (pertobatan). Seseorang yang telah melakukan kesalahan,
baik disengaja ataupun tidak, pada sesuatu yang dianggap keramat, ia harus ngruwat (tolak-
bala).

Berdasarkan contoh penyimbolan diatas, simbolisme pada religi ataupun budaya,


senantiasa mendasarkan diri pada perkembangan emosi seseorang. Hal ini Karen asimbol
dalam budaya Jawa merupakan kaitan yang tidak terpisahkan dengan agama dan budaya asli
Jawa secara keseluruhan. Symbol dijadikan juga sebagai pegangan bagi penganut mistisme
Jawa karena mistisme Jawa mendasarkan aspek kehidupannya pada symbol-simbol. Juga
sebagai perjalanan batin untuk mendapatkan kesempurnaan diri dalam penyatuannya dengan
Tuhan.

Mistisme Jawa adalah upaya penebusan serta pengetahuan mengenai alam raya dengan
tujuan mengadakan hubungan langsung antara individu dan lingkungannya dan Tuhan. Yang
terpenting adalah, mistisme Jawa tidak berdasrakan doktrin tertentu. Ia berproses bedasarkan
pengalaman hidup masing-masing.

Bagi setiap individu yang berharap mencapai kesempurnaan dan keselamatan hidup,
mistisme merupakan media yang tepat. Hal ini karena keselamatan dan kesempurnaan hidup
merupakan kesadaran individu yang mengalami asal-usul diri, yang selanjutnya menyadari
tempat ia harus kembali. Dalam konteks bahasa Jawa disebut dengan sangkan parining
dumadi 9asal-usul dan tujuan akhir segala wujud).
Keastuan antara manusia, alam dan Tuhan, tidak terbatas atau diabatasi oleh apa pun.
Tidak ada sekat-sekat atau pemilihan untuk membagi-bagi antara manusia, alam dan Tuhan.
Bagaikan dalam satu lingkaran yang tidak bertepi, semuanya berputar dalam satu “poros”,
dan manusia adalah pusatnya. Pusat bagi kehidupan di dunia mikro.

Sangkan parining dumadi adalah totalitas kehidupan manusia yang terus dijaga
keselarasannya. Sangkan merupakan symbol adanya makrokosmos dan mikrokosmos. Kedua
jagad tersebut merupakan perputaran yang tiada henti bagi manusia untuk mendapatkan
kesejatian dalam hidup. Penyatuan diri dengan Sang pencipta merupakan hakikat tertinggi
dan tujuan akhir bagi jiwa manusia. Dengan kata lain, mengusahakan keteraturan dan
keselarasan dengan pengada (JagadGedhe), kesatuan antara pencita dan ciptaan, hamba
dengan Tuhan, sangkan dan paran. Mengadakan kesatuan kembali dengan hakikat yang
tinggi merupakan tugas moral bagi penganut mistisisme, bahkan bagisemua orang.

Perjalan batin dilakukan adalah ungkapan emosi yang paling tinggi untuk mewujudkan
perubahan, dari yang lahir (yang selalu disimbolkan dengan keburukan), menuju yang batin
(selalu disimbolkan dengan kesucian dan kebaikan).

Penyimbolan tersebut dapat dilakukan oleh manusia apabila ia sadarakan dirinya. Ia


mengetahui dan memahami, bahkan meyakini simbol-simbol yang berkaitan dengan dirinya
sendiri. Artinya, manusia menggunakan symbol sebagai media, berdasarkan kebutuhan dan
kemampuan dalam memaknai symbol tersebut, karena symbol merupakan media komunikasi
untuk mengungkap kangejolak batin dan pegalaman-pengalaman spiritual yang sulit di
ungkapkan terhadap symbol sangat bergantung pada latarbelakang dan kemampuan
seseorang dalam memaknakan simbol.

Simbol adalah tanda yang sentral bagi manusia yang bersifat vital, evektif, dan
emosional, yang evektif serta eksistensial, juga menyeluruh dan total.Akan tetapi, symbol
juga bisa menjadi hanya sebagai alat (tanpamakna), apabila tersisih dati kehidupan.Kemudian
menjadimati sehingga hanya konsep yang kemudian menja dipersialdan regional.

Oleh karena itu, pengertian symbol bergantung pada diri manusia, sejauh mana ia dapa
tmemaknakan symbol secara maksimal. Karena makna simbol yang sesungguhnya ialah,
berkaitan langsung dengan tingkat spiritual manusia, tigkat pemahaman mistikmanusia, dan
tingkat pengaruh agama pada manusia.

Adapun memahami makna simbol yang terdapat pada filsafat jawa, lebih dipengaruhi
oleh agama asli jawa, atau paham pantaisme dan tentunya pengaruh agama-agama yang
berkembang di jawa, misalnya Hindu, Buddha, dan Islam.Seperti yang di tulis oleh
Koencoronigrat, bahwa nenek moyang orang Jawa beranggapan semua benda yang ada di
sekelilingnya itu bernyawa, dan semua yang bergerak dianggap hidup memiliki kekuatan
gaib atau mempunyai roh yang berwatak baik atau pun jahat.Untukitu, BudionoHerusatoto,
dalam bukunyaSimbolisme dalam budaya Jawa, mengelompokkan simbol-simbol religious
dalam tiga kelompok, yaitu :

1. Simbol religious yang terbentuk karena pengaruh zaman mitos atau di sebut dengan
zaman kebudayaan asli jawa
2. Simbol religious yang berbentuk karena pengaruh zaman kebudayaan Hindu-Jawa
3. Simbol religious yang berbentuk karena pengaruh zaman kebudayaan Hindu-Jawa,
dengan kebudayaan Islam-Jawa

Kebudayaan kelompok tersebut telah berbaur menjadi adat istiadat atau tradisi dan
budaya jawa yang tidak terpisahkan. Artinya, ketiga kelompok tersebut saling memengaruhi
dalam perilaku dan pola berpikir orang jawa

Keterpengaruhan itu dapat terjadi karena antara agama asli dan agama pendatang,
memiliki kesamaan dalam memahami sesuatu yang “ada”.Karena pada dataran mistik,
pembicaraan mengenai yang “ada” akan bertemu pada kesatuan pandangansebabakibat, atau
yang disebut dengan sangkan paraning dumadi.

Dalam teori metafisika, yang disebut dengan yang sang ada, berada dalam diri manusia.
Kemampuan intelek manusia dalam memahami kebenaran serta menginginkan kebaikan,
memiliki hubungan yang intrinsic dengan yang ada. L, Bagus yang mengutip dari Rosmini,
menggambarkan adanya distingsi dalam memahami yang ada, yaitu ; a) yang ada bersifat
ideal, sejauh manusia berpikir, b) yang ada bersifat real, sejauh manusia mengalami
eksistensi; c) yang ada, bersifat moral, sejauh mana manusia bertindak.
Karena membicarakan tentang yang ada bersifat metafisis, pengaruh mitos menjadi
sangat kuat. Menurut Peursen, mitos tidak hanyalah peran atau kisah dan peristiwa yang
pernah terjadi, tetapi berkaitan dengan upacara-upacara tentang dunia gaib dan dewa-dewa.
Bahkan, mitos memberikan arah kepada manusia untuk bersikap bijak dan turut serta
menanggapi daya kekuatan alam.

Oleh karena itu, banyak buku atau hasil penelitian yang menyebutkan bahwa mistisme
sama artinya dengan kebatinan. Dejong berpendapat bahwa mistik merupakan visi dasar dari
Javanisme. Seluruh budaya Jawa di liputi oleh suasana mistik yang merangkum semua
kelompok penduduk. Suasana mistik tersebut saat ini mencapai kristalisasinya dalam macam-
macam organisasi yang tersebar dimana-mana. Seperti halnya di ungkapkan oleh Dr. Adi dan
Heru, bahwa kebatinan adalah mistik penembusan dan pengetahuan langsung mengenai alam
raya dan kesatuan denganTuhan.

Sesungguhnya, banya kpenelitian yang berkenaan langsung dengan simbolisme dan


mistisis medalam budaya Jawa. Akan tetapi, di sini hanya beberapa yang dapat di
sebutkan.Misalnya yang digambarkan mengenai asal-usul tanah Jawa dan sukuJawa,
meskipun dalam bentuk dongeng dan mitologi. Hasil penelitian ini mengungkap makna-
makna symbol dalam dataran ontologis. Adapun pada simbol nonverbal, yang berkaitan
laangsung dengan benda-benda; misalnya keris, benda-benda pusaka, pepohonan, burung
perkutut, dan yang berkaitan langsung dengan aspek kehidupan manusia.

Niels Mulder dalam penelitiannya menekankan pada hubungan kosmologis antara


manusia, alam, dan Tuhan. Menggambarkan bagaimana masyarakat Jawa sangat menghargai
moralitas religius, yang diwujudkan dalam bentuk ketenangan, ketentraman, keselarasan,
kesejatian, dan kesempurnaan dalam hidup. Frans Magnis menekankan tulisannya mengenai
etika Jawa, yang dipenuhi dengan nuansa mistik dan simbolik. Karena penelitian ini
merupakan analisis filosofis tentang kebijaksanaan hidup masyarakat Jawa, terutama
persoalan-persoalan etika, yaitu hubungan antaraTuhan, alam, dan manusia. Adapun Rahmat
Subagya (1995), mendeskripsikan secara historis tentang muncul dan berkembangnya aliran
kebatinan yang ada di Indonesia.
Bab ini mencoba untuk memfokuskan pada masalah-masalah simbol yang digunakan
oleh masyarakat Jawa dalam memahami aspek kehidupannya. Mencoba untuk
mengidentifikasi makna-makna symbol dalam budaya Jawa, dan hubungan makna dengan
mistisisme Jawa. Tentunya setelah mengetahui bentuk-bentuk simbol yang digunakan dalam
filsafat Jawa.

Sebab orang jawa yang tradisional tidak dapat memisahkan simbol dan mitos dalam
kehidupan mereka. Oleh sebab itu, kita telaah dan coba menguraikan tentang orang jawa dan
latar belakang yang ikut mewarnai pemikiran mereka dalam menafsirkan kehidupan. Yang
dimaksud orang Jawa oleh Magnis-suseno adalah orang yang bahasa ibunya bahasa Jawa dan
merupakan penduduk asli bagian tengah dan timur pulau Jawa.

Berdasarkan golongan sosial, menurut sosiolog Koentjaraningrat, orang jawa


diklasifikasikan menjadi dua, yaitu :

1. Wong cilik (orang kecil), terdiri atas petani dan yang berpendapat rendah
2. Kaum priayi, terdiri atas pegawai dan orang-orang intelektual. Kaum ningrat gaya
hidupnya tidak jauh dari kaum priayi.

Selain dibedakan golongan sosial, orang Jawa juga di bedakan atas dasar keagamaan
dalam dua kelompok, yaitu :

1. Jawa kejawen yang sering sering disebut abangan, yang dalam kesadaran dan cara
hidupnya di tentukan oleh tradisi Jawa para Islam. Kaum priayi tradisional hampir
seluruhnya dianggap Jawa kejawen,walaupun mereka secara resmi mengaku Islam.
2. Santri yang memahami dirinya sebagai Islam atau orientasinya yang kuat terhadap agama
islam dan berusaha untuk hidup menurut ajaran islam

Pusat yang dimaksud dalam pengertian ini adalah yang dapat memberikan kehidupan,
keseimbangan, kestabilan, yang dapat juga memberi kehidupan dan penghubung dengan
dunia atas. Pandangan dengan demikian biasa disebut Kawula Gusti, yaitu pandangan yang
beranggapan bahwa kewajiban moral manusia adalah mencapai harmoni dengan kekuatan
terakhir, dan pada kesatuan terakhiritulah, manusia menyerahkandiri secara total selaku
kawula (hamba) terhadap gustinya (sang pencipta). Sebagian besar orang jawa termasuk
dalam golongan bukan muslim santri, yaitu yang mencampurkan beberapa konsep dan cara
berpikir Islam dengan pandangan asli mengenai alam kodrati dan alam adikodrati. Niels
mulder mengatakan bahwa pandangan hidup merupakan abstraksi dari pengalaman hidup.
Pandangan hidup adalah pengaturan mental dari pengalaman hidup, yang kemudian dapat
mengembangkan sikap terhadap hidup.

Ciri pandangan hidup orang jawa adalah realitas yang mengarah pada pembentukan
kesatuan numinus antara alam nyata, masyarakat, dan alam adikodrati yang di anggap
keramat. Orang jawa percaya bahwa kehidupan dan mereka telah ada garisnya, mereka hanya
menjalankan.

Dasar kepercayaan Jawa dan javanisme adalah keykinan bahwa segala sesuatu yang ada
di dunia ini pada hakikatnya adalah satu atau merupakan kesatuan hidup. Javanisme
memandang kehidupan manusia selalu terpaut erat dalamkosmos alam raya. Dengan
demikian, kehidupan manusia merupakan perjalanan yang penuh dengan pengalaman-
pengalaman yang religius.

Alam pikiran orang jawa merumuskan kehidupan manusia berada dalam dua kosmos
(alam), yaitu makrokosmos dalam pikiran orang Jawa adalah sikap dan pandangan hidup
terhadap alam semesta yang mengandung kekuatan supranatural dan penuh dengan hal-hal
yang bersifat misterius.

Adapun mikrokosmos dalam pikiran orang Jawa adalah sikap dan pandangan hidup
terhadap dunia nyata. Tujuan utama dalam hidup adalah mencari serta menciptakan
keselarasan atau keseimbangan antara kehidupan makrokosmos dan mikrokosmos. Dalam
makrokosmos, pusat alam semesta adalah Tuhan. Alam semesta memiliki hierarki yang di
tujukan dengan adanya jenjang alam kehidupan orang Jawa dan adanya tingkatan dunia yang
semakin sempurna. Alam semesta terdiri atas empat arah utama di tambah satu pusat, yaitu
Tuhan yang mempersatukan dan memberi keseimbangan.

Sikap dan pandangan terhadap dunia nyata (mikrokosmos) tercermin pada kehidupan
manusia dengan lingkungannya, susunan manusia dalam masyarakat, tata kehidupan manusia
sehari-hari, dan kehidupan manusia yang baik dan benar, manusia di dunia ini bergantung
pada kekuatan batin dan jiwanya.
Bagi orang Jawa, pusat di dunia ada pada raja dan keraton. Tuhan adalah pusat
makrokosmos, sedangkan raja adalah perwujudan Tuhan di dunia sehingga dalam dirinya
terdapat keseimbangan berbagai kekuatan alam. Jadi, raja adalah pusat komunitas di dunia
seperti halnya dengan raja menjadi mikrokosmos dari Tuhan dengan keraton sebagai
kediaman raja. Keraton merupakan pusat keramat kerajaan dan bersemayamnya raja karena
raja merupakan sumber kekuatan kosmis yang mengalir ke daerah dan membawa
ketentraman, keadilan, dan kesuburan.

B. Simbolisme dalam Budaya Jawa

Pola hidup orang Jawa, yang kebanyakannya telah terbentuk oleh pemahaman mistis,
yaitu animismedan dinamisme, sering menjadikan simbol sebagai satu-satunya media yang di
gunakan untuk memahami alam agar dapat menyatu dengan tuhan. Oleh karena itu, setiap
individu berbeda-beda dalam memahami simbol, bergantung pada latar belakang kemampuan
seseorang dalam memahami simbol tersebut. Artinya, tidak selamanya simbol itu dapat di
jadikan sebagai media komunikasi batin antara manusia, alam, dan Tuhan.

Simbol tidak akan memiliki makna jika tersisih dari kehidupan manusia. Seperti halnya
di ungkapkan oleh Anton Baker, bahwa simbol adalah tanda yang sentral bagi manusia yang
bersifat penting, afektif dan emosional serta eksistensial, juga menyuruh dan total. Akan
tetapi, simbol bisa menjadi hanya sebagai alat, (tanpa makna) apabila tersisih dari kehidupan.
Kemudian, menjadi mati hanya konsep yang kemudian mejadi persial dan regional.

Oleh karena itu, pemaknaan terhadap simbol bergantung pada seberapa besar tingkat
keyakinan dan pemahaman seseorang terhadap totalitas jagad gedhe dengan jagad cilek.
Apabila simbol di sikapi hanya sebagai “kepemilikan”, simbol tersebut bersifat rgional dan
persial. Apabila simbol disikapi dengan sungguh-sungguh, yang didasarkan pada kesadaran
diri dalam memahami kosep alam dan kenyataan hidup, simbol tersebut memiliki makna
mistis yang berkaitan langsung dengan aspek kehidupan manusia. Dengan demikian, simbol-
simbol itu senantiasa berdimensi sakral bukan profan.

Nilai- nilai sakral pada simbol dapat ditemukan dalam pengalaman mistik. Karena, mistik
merupakan kepercayaan bahwa manusia dapat mengadakan komunikasi langsung, atau
bahkan bersatu dengan Tuhan (kesunyataan agung) melalui tanggapan batin di dalam
meditasi. De Jong menyebutkan bahwa kebatinan merupakan mistik Jawa yang tidak di
dasarkan pada dokrtin tertentu, ia berproses berdasarkan pengalaman masing-masing.

Meskipun selama ini mitos di anggap hanya mengenai sebuah cerita tentang dewa-dewa,
mitos juga memiliki fungsi yang dapat mengantarkan manusia menuju pada kesunyataan dan
kesempurnaan hidup. Jaminan bagi keberhasilannya, apa yang dilakukan sesuai dengan apa
yang di harapkannya.

Manusia adalah pusat dari totalitas kosmos maka untuk mencapai tujuan dalam
kesempurnaan hidup, manusia mencari objek dalam rangka penyimbolan terhadap sesuatu
yang dianggap (diyakini) dapat menyelesaikan dan memenuhi harapan hidupnya dalam
bentuk simbol. Sekalipun demikian, tanpa adanya proses mistis, simbol tidak berfungsi apa-
apa karena ia berdimensi profan. Simbol akan memiliki makna apabila berdimensi sakral,
yang berkaitan erat dengan ajaran-ajaran mistik. Apabila proses tersebut dapat di lakukan
dengan baik dan benar, manusia akan dapat bersatu dengan Tuhan, atau dapat disebut dalam
filsafat Jawa dengan menunggaling kawula gusti, yaitu penyatuan diri dengan Tuhan.

Nilai-nilai sakral dalam simbol, dapat di temukan apabila manusia dapat mengendalikan
diri dari aspek-aspek duniawi. Manusia harus sadar akan sangkang paraning dumadi
karenasangkang paraning dumadiadalah totalitas kehidupan manusia yang harus tetap di jaga
keselarasannya, dan manusia merupakan pusatnya. Apabila manusia telah sadar, ia harus
melakukan laku tapa untuk memupus dua bahaya dalam dirinya. Dua bahaya sering
mencelakakan manusia adalah malimo dan pamrih. Adapun nafsu pamrih adalah senantiasa
mementingkan diri sendiri, yang selalu ingin menangedewe, nefsu bendere dewa, dan nefsu
butuhe dewe.

Dalam mistik Jawa, spiritualitas mendapat tekanan pada fakta bahwa segala bentuk
gerakan atau praktik hanya kendaraan atau jalan untuk mencapai yang hakiki. Artinya,
bentuk-bentuk peribadatan bukan yang esensi dari ibadah, melainkan hanya sebagai sarana.
Dan yang terpenting adalah eling atau ingat bahwa sesungguhnya manusia harus selalu
menjaga keselarasan dalam hidupnya untuk berkomunikasi dengan Tuhan, alam, dan
sesamanya.
a. Simbolisme Jawa

Simbol dalam filsafat Jawa tidak sekadar simbol, tetapi telah menjadi suatu ajaran
atau doktrin yang harus diyakini. Bagi masyarakat Jawa, simbol merupakan media yang
dapat menghantarkan manusia pada tujuan spiritualitas dirinya. Oleh karena itu, mereka
meyakini bahwa keberadaan simbol itu sakral, sangat dibutuhkan, bahkan diharuskan.

b. Bentuk-bentuk simbolisme Jawa

Simbolisme dalam budaya Jawa berkaitan erat, bahkan tidak terpisahkan dengan
agama dan budaya asli Jawa secara keseluruhan. Misalnya, yang terdapat pada simbol bahasa
yang berbentuk ramalan, sangat memengaruhi poila hidup orang Jawa, dan dijadikan
sebagaipatokan dalam menjalani kehidupan. Bagaimana manusia harus berhati-hati untuk
menjalani hidup sekarang, yang diyakini sebagai zaman edan.

Dalam pandangan orang Jawa, yang tentunya berpikiran tradisional, ramalan juga
dijadikan sebagai tolok ukur hidup manusia selanjutnya. Hal demikian karena mitos adalah
“kebenaran” yang ada di jagad gedhe dan memengaruhi jagad cilek, serta sebagai satu-
satunya penjelasan yang paling benar tentang realitas sesungguhnya. Hal itu dapat dilakukan
melalui penyimbolan-penyimbolan terhadap sesuatu yang di anggap memiliki kekuatan lebih,
baik berbentuk benda maupun kalimat-kalimat sakral yang di yakini kebenarannya.

Dengan demikian, akan ditemukan kejelasan makna dan kepentingan atau


kegunaan simbol-simbol. Setidaknya ada dua macam simbol, yang diyakini oleh kebanyakan
mistikus Jawa, yaitu simbol verbal dan nonverbal. Simbol verbal senantiasa mendasarkan diri
pada ramalan-ramalan, syair, puisi, dan sejenisnya. Sedangakan simbol nonverbalbiasanya
pada benda-benda, bintang-bintang, dan lainnya.

1. Simbol berbentuk ramalan

Bagi penganut mistisisme Jawa, ramalan merupakan bagian inti dari proses kehidupan
manusia. Apakah ramalan tersebut raja, mantra, ataupun ramalan yang terdapat dalam
primbon, mulai dari hitungan hendak bercocok tanam, menghitung pencuri, sampai hitungan
baku mengenai nasib baik buruk manusia dari lahir hingga ke liang lahat.
Bahkan hitungan wethon (tanggal lahir), dipercaya dapat mengetahui jenis watak dan
keberuntungan manusia atau ramalan-ramalan mengenai bentuk struktur tubuh manusia dan
tanda-tanda yang mengitari pada diri manusia. Selain itu, ada juga ramalan-ramalan yang
berkaitan langsung dengan alam,atau sering disebut dengan tanda-tanda zaman.

Ramalan adalah pedoman dalam memaknakan hidup, karena dalam ajaran mistisisme
Jawa, kehidupan merupakan penggalan cerita dari ada menuju tiada. Hidup bagaikan perjalan
yang pelan, tetapi pasti pada keakanan guna kembali pada kelanggenan. Kehidupan tidak
ubahnya dari sangkan paranining dumadi, yang berasa pada kesementeraan dan tidak
mungkin direkayasa menjadi abadi.

Termasuk diantaranya adalah ramalan menghitung waktu, apakah waktu tersebut sesuai
dengan tanggal lahir seseorang atau tidak. Biasanya ramalan ini digunakan untuk
menentukan musim bercocok tanam, hendak bepergian, hendak mengadakan jemuan
pernikahan, atau mengetahui karakter dan kepribadian pasangan hingga menentukan lokasi
pembuatan sumur. Bahkan, untuk kepentingan yang tidak dibenarkan, misalnya mencuri dan
berjudi.

Meskipun metode perhitungan ini berawal dari abad ke-18, hingga saat ini, rumus-rumus
yang digunakan belum ada perubahan, kecuali sebatas interpretasinya. Kitab primbon yang
terkenal di Jawa dan di pakai oleh banyak paranormal adalah kitab betaljemur adammakna,
karya Kanjeng Pangeran Haryo Tjakraningrat. Ia membedah garis tangan secara kejawan.
Demikian pula, metode penghitungannya melibatkan penghitungan ajisaka ditambah dengan
proyeksi penghitungan secara Jawa.

2. Simbol Keris Pusaka

Selain simbol dalam bentuk verbal, manusia di Jawa juga sangat meminati simbol-simbol
yang berbentuk nonverbal. Kalau simbol verbal kebanyakan berwujud ramalan dan nasihat
dalam syair, simbol nonverbal merupakan benda pusaka yang menjaga keselamatan manusia.
Manusia mengungkapkan bahwa simbol nonverbal berkaitan dengan benda-benda pusaka
dan binatang, yang tentunya di anggap memiliki kekuatan lebih. Misalnya, simbol yoni pada
keris pusaka, begitu juga yang terdapat dalam burung perkutut.
Dalam proses meyakini kekuatan atau kesaktian suatu keris atau benda pusaka lainnya,
perlu dilihat terlebih dahulu pancer-nya, yaitu cikal bakal lahirnya keris pusaka, dan secara
turun temurun dijadikan sebagai pola dalam pembuatannya. Bersamaan dengan itu, pada segi
makna dan esensinya terdapat kesejajaran antara pancer sebuah keris keluarga Jawa dan
pancer keris pusaka. Misalnya ada pancer keris Nagasasra, pancer keris Ngeraja, pancer keris
Sangkelat, pancer keris Pandawa Cinarita, pancer keris Paniwe, dan sebagainya.

Yoni atau kekuatan yang terdapat di keris pusaka berbeda-beda makna dan fungsinya.
Oleh karena itu, tidak satupun empu (ahli keris) yang berkarya atau membuat keris pusaka
tanpa tujuan. Tidak satu empu pun yang memiliki tujuan buruk dalam pembuatannya. Karena
bagi sang empu, berkarya bertujuan memayu hayuning bawono, yaitu untuk memenuhi dan
memelihara kesejahteraan manusia dalam mengarungi kehidupannya. Linus membagi tiga
kategori besar keris pusaka dengan daya yoni dalam tujuan spiritual, yaitu sebagai berikut.

a. Keris pusaka yang memiliki yoni wahyu

Diciptakan sesuai dengan tingkat kesadaran rohaniah dan kesadaran peradaban bangsa
Jawa yang tersimpan dalam keris pusaka sebagai daya esoterik, yang memiliki berbagai
hierarki. Hierarki wahyu yang menjadi yoni keris pusaka ini, dalam parameter fungsional
akan mempermudah pemahaman uyang berdoa. Doa tersebut sesuai dengan pihak pemesan
keris pusaka, yaitu bergantung pada hierarki kedudukan si pemesan itu dan peran pada masa
hidupnya. Adapun khazanah pusaka yang beryoni wahyu, seperti wahyu ratu, wahyu putih,
wahyu begawan, wahyu keraton, wahyu pengusaha, wahyu nakhada, wahyu menteri, wahyu
pujangga, wahyu nujum,dan lain-lain.

b. Keris Pusaka yang mempunyai yoni mantra sakti empu

Keris Pusaka yang memiliki yoni mantra sakti empu ini sepenuhnya berasal dari daya
kesaktian sang empu yang membuat keris pusaka itu. Semakin sakti sang empu, semakin
sakti pula yoni keris tersebut. Manakala sang empu bersiap hendak membuat keris pusaka
yoni mantra, berdoa dan membacakan mantra yang khas bagi pekerjaan sang empu, yaitu :

“Aum sembahing anantha,

Tingghalana de trilokasana
Awighnham astu, insunempu..... (nama empu disebutkan)

Tan awacana,

De nirarthaka darpa

Dang dahana hagni niraweh sara sudharma”

Artinya :

“Ya pencipta, semoga sembah permohonan hamba ini Paduka ketahui, sang pelindung
Tiga Buawana, jangan ada halangan, hamba empu. Tidak mengucapkan kata-kata yang tidak
berguna dan sombong. Api yang menyala-menyala ini semoga memberi pusaka yang
berguna.”

c. Keris pusaka yang mempunyai yuni alam binatang

Tidak semua binatang dijadikan sebagai yoni keris pusaka. Empu pusaka akan memilih
jenis binatang tertentu yang dianggap memiliki daya kekuatan istimewa, supaya keris pusaka
yang diciptakaannnya mempunyai daya kesaktian yang istimewa. Adapun yoni keris pusaka
dari alam binatang yang biasa digunakan, antara lain naga, meskipun ada dua jenis naga,
misalnya naga emas dan raja naga, singa barong, harimau loreng, harimau putih, ular, gajah,
dan lainnya. Empu keris yang hendak menciptakan keris nagasasra, tentu memohon yoni
seekor naga.

Pekerjaan seorang empu keris memerlukan keahlian khususyang tidak hanya fisik, tetapi
juga nonfisik. Sebuah keris yang baik memancarkan keindahan yang khas, sebab keris
tersebut memiliki paduan beberapa unsur, antara lain sebagai berikut.

1. Bentuknya yang bermacam-macam dan bahannya yang serba metal campuran,


menunjukkan bahwa tata cara pembuatannya membutuhkan teknik dan keahlian yang
tinggi.
2. Artistik, daya keindahan yang terdapat dalam keris ditentukan oleh perincian bagian-
bagian dan nama setiap bagiannya. Meskipun berumur ratusan tahun, keindahan keris
yang hakiki selalu memancarkan keindahan.
3. Daya magis, setiap keris yang baik memiliki daya magis yang keberadaannya tidak dapat
di ketahui dengan mata telanjang. Wilayah ini di dominasi oleh esoteris atau supranatural,
dan hanya orang tertentu yang dapat mengetahui kesaktian keris. Mereka yang sudah
cukup jauh perjalanan spiritual atau perjalanan mistik yang diamalkannya. Untuk itu, ia
dapat menangkap daya-daya adikodrati yang terdapat di keris.

Pamor keris pusaka

Kesohoran seorang empu pembuat keris pusaka dikarenakan hasil pekerjaannya


menampakkan kekhasan tertentu dari karyanya. Ciri khas karya seorang empu, bagi kalangan
peminat keris pusaka disebut sebagai penangguhan. Seorang empu yang telah tersohor
(terkenal), mampu menciptakan pamor yang tidak pernah ada sebelumnya.

Untuk memberikan satu nama terhadap pamor yang telah diciptakan, seorang empu akan
menyesuaikannya dengan karakteristik nama benda yang diambil sebagai nama pamor itu.
Misalnya, hasil ciptaan keris pustaka seorang empu mirip dengan blarak (daun kelapa kering)
yang ditarik di atas tanah kering dan berdebu, sehingga menimbulkan bekas yang khas dan
artistik. Pamor tersebut diberi nama dengan Blarak Sineret. Apabila diambil dari tumbuhan
lain, misalnya model daun kendhuru, nama pomor itu adalah Ron Kendhuru. Demikian
seterusnya yang jelas, bahwa seorang empu Jawa ketergantungannya terhadap alam sangat
tinggi, karena alam merupakan sumber inspirasi mereka. Kebanyakannya model pamor
diambil dari motif pepohonan dan dedaunan.

Pembuatan para pada keris bergantung pada permintaan pemesan, fungsi pusaka yang
dibuat, dan cita rasa empu yang bersangkutan. Peling tidak, jenis pamor dipakai sesuai
dengan keperluan untuk tujuan keris itu diciptakan.

Makna pamor keris Pusaka

Karena pentingnya keberadaban keris pusaka bagi keluarga Jawa, hampir dapat
dipastikan bahwa keluarga Jawa identik dengan keris pusaka. Setidak-tidaknya, keluarga
Jawa akan menganggap bahwa keris pusaka merupakan piranti hidup, yang tidak semata-
mata sebagai barang antik yang di simpan dalam lemari, atau sekadar sebagai pajangan.
Keris pusaka menyimpan banyak makna bagi pemelihara keris pusaka. Makna
adikodrati yang diyakini oleh keluarga Jawa adalah bahwa keris pusaka merupakan “bagian”
inti dari dirinya. Oleh karena itu, ketergantungan sang pemilik keris terhadap yang
dimilikinya begitu tinggi. Karena nasib dan keberuntungan dirinya sangat ditentukan oleh
kualitas yoni yang ada di keris pusaka, baik kehormatan, kekayaan, keberuntungan, maupun
keselamatan.

Yoni diciptakan oleh sang Empu tidak semata-mata atas dasar keinginan pesan, tetapi
melalui proses panjang sang Empu dalam memasukkan yoni ke dalam keris. Linus
berpendapat bahwa aura atau kekuatan (yoni) keris pusaka merupakan daya kekuatan gaib
yang berasal dari Hyang Mahakuasa, berkat budi daya dan permohonan sang empu ketika dia
berlaku tapa-brata, ketika hendak menciptakan keris pusaka. Selain yoni, keris pusaka juga
memiliki nilai estetis yang disebut dengan pamor. Ada banyak pamor dalam keris pusaka,
bergantung pada empu yang membuatnya.

Oleh karena itu, tidak mengherankan kalau orang Jawa sangat mengagungkan keris.
Keris dijadikan sebagai bagian dari proses perjalanan hidup mereka, bagian dari nasib
mereka, bahkan bagian dari nyawa mereka. Seperti di ungkapkan oleh linus, bahwa daya
esoterik keris pusaka disebut juga dengan daya kekuatan gaib, atau yoni yang terdapat di
keris pusaka merupakan karunia ilahi yang berada di alam. Dalam sebuah konvensi religi
formal, kuasa ilahi itu dikenal sebagai magis. Adapun kekuatan magis bagi orang Jawa,
terdapat pada binatang di sejumlah pohon dan alam.

3. Simbol burung perkutut

Selain “memelihara” keris pusaka sebagai apresiasi seni dan penghayatan terhadap
kehidupan, orang Jawa juga menyadarkan hidupnya, pada pemeliharaan burung perkutut. Hal
tersebut dilakukan karena burung perkutut menyimpan yoni yang khasiatnya sama dengan
keris pusaka. Ada yoni kekuasaan, keberuntungan, keselamatan, umur panjang, dan
sebagainya.

Selain mengandung kekuatan gaib, karena memiliki yoni, burung perkutut juga secara
tidak langsung mengajarkan hidup luwes bagi penggemarnya. Hal tersebut karena burung
perkutut bukan burung yang buas, selalu menerima apa adanya, makanannya tidak neko-
neko, cukup ketan hitam.

Siapapun memelihara burung perkutut, biasanya memiliki sikap yang luwes, seluwes
peliharaannya. Karena daya kekuatan sebagai inti hakikat yang terdapat pada makhluk hidup,
berakar pada kenyataan yang dapat disaksikan oleh mata telanjang. Untuk selebihnya, ia akan
tersimpan dalam misteri alam. Hubungan kausalitas antara manusia dan hewan peliharaan
merupakan hubungan mistis yang hanya ada pada dimensi rasa, yaitu kesadaran adanya jagad
gedhe dan jagad cilek, yang tidak ada keterpisahan di antaranya, yang ada hanya kesatuan
kosmis.

Untuk itu, di kalangan masyarakat Jawa, khususnya Jawa tengah, lebih khusus lagi
Yogyakarta, seekor burung perkutut tidak beda dengan sebilah keris pusaka, yaitu dalam hal
yoni atau isinya. Sebagaimana ragam keris pusaka, yoni yang berfungsi kekuatan bagi
kehidupan manusia berbeda-beda. Menurut Linus, ada beberapa yoni, diantaranya yoni untuk
berdagang, yoni untuk mengandung kekuatan bagi pejabat tinggi, pangeran pati, ratu atau
raja, patih, bupati, tumenggung, guru, wiku Begawan, pujangga, petani, nujum, pagar rumah,
dan lain-lain.

Karena yoni burung perkutut bergantung pada fungsi dan kebutuhannya, kehendak
manusia jadi dominan. Hanya, karena keris pusaka dapat dipesankan kepada sang empu,
burung perkutut tidak demikian. Itulah sebenarnya, pemelihara burung perkutut terjkadang
tidak cocok dengan yoni yang terkandung pada burung perkutut tersebut. Akibat yang timbul
adalah pemelihara akan sakit.

Tidak semua burung perkutut memiliki yoni, ada pula burung perkutut yang kosong tidak
beryoni. Ada dan tidaknya yoni pada burung perkutut tiddakdapat diketahui secara langsung,
akan tetapi bertahap dan akibat yang ditimbulkannya atau dirasakan ada oleh pemelihara.

Jika burung perkutut nyekukruk, kotorannya tampak tidak sehat, ia kemasukan yoni, atau
sebalikny aditinggalkan oleh yoni, dan yoni tersebut secara gaib berpindah ke burung lain.
Burung perkutut yang kemasukan yoni, hanya sementara tampak tidak sehat, hanya dalam
beberapa hari, ssudah si yoni mapan, burung tersebut sehat kembali dan tampak normal.
Akan tetapi, jika burung ditinggalkan yoni lazimnya nyekukuruk terus tanpa daya sama sekali
dan akhirnya mati.

a. Keistimewaan burung perkutut

Keistimewaan burung perkutut adalah:


1) Makanannya relative mudah;
2) Kotoran burung perkutut tidak berbau;
3) Bangkainya tidak bau;
4) Berumur panjang;
5) Hewan jinak;
6) Daya tawar yang tinggi.

b. Makna symbol burung perkutut

Pemaknaan terhadap symbol tidak hanya berdasarkan tingkat kebutuhan dan


kepentingan manusia. Akan tetapi, bergantung juga pada seberapa besar tingkat keyakina dan
pemahaman seseorang terhadap totalitas jagad gedhe dengan jagad cilek. Ajaran
keselamatan dapat diterima dengan baik oleh kebanyakan orang Jawa, wayang, keris, dan
burung perkutut yang, sarat akan nilai moral.

Symbol bagi para penganut kejawen /kebatinan merupakan media untuk menyatukan
dirinya, Tuhan, dan alam. Oleh sebab itu, symbol harus bersifat sacral, tidak sekedar symbol
kepemilikan.

Adapun keistimewaan mistis atau yang disebut dengan katurungan dari burung
perkutut tersebut terdapat pada kitab Primbon bataljemur adammakna. Berikut ini beberapa
keistimewaan dari burung perkutut.

1) Jika kuku jari dan ibu jari keduanya berwarna putih, dan memiliki nama Srimenggepel
biasanya menjadi peliharaannya para petani. Bagi siapa pun yang memeliharanya, segala
keinginannya akan tercapai.
2) Jika paruh dan kakinya agak hitam, bernama Wisnuwicitra, bagi yang memeliharanya akan
rahayu/ selamat dan tahan terhadap godaan.
3) Jika seluruh tubuhnya agak hitam, brnama wisnumangenu, biasanya dipelihra priayi,
dipercaya akan mendatangkan banyak rezeki.
4) Jika paruh dan kakinya putih, bernama Kusuma wecitra, yang memeliharanya akan banyak
rezeki dan tercapai apa yang yang diinginkannya.
5) jika jumlah bulu ekornya ada 15 helai, itu bernama Pandawamijil, yang memeliharanya akan
terhormat.
6) jika matanya merah, bersinar goyang seperti mirah, itu bernama Purnawasedi, biasanya
dipeliha rawingit, dipercaya bahwa pemeliharaannya dicintai orang.
7) jika mata kuning njait bersinar, bernama mercujiwa, yang memelihara disenangi orang,
mendatangkan rezeki, dan selamat. Jika kuning matanya sampai kepangkal ekor, segala
kebaikan menjadi satu yang memelihara.
8) jika seluruh tubuhnya putih berarti peliharaan raja.
9) jika sore berbunyi bernama, mini bgedong, akan mendatangkan kekayaan atau harta benda
pada yang memeliharanya
10) jika pada pagi hari berbunyi, besamaan dengan terbitnya matahari, burung tersebut bernama
gedong menga, yang memelihara akan rahayu/selamat dapat menyimpan harta (emas,perak)
11) jika mata, paruh dan kakinya hitam, bernama wisnumurti, yang memelihara raja dan
berguna untuk tumbal.
12) jika warnanya agak kuning dan berkalung, bernama udanmas, yang memeliharanya banyak
rezekinya , keuntungannya ada terus menerus.
13) jika bunyinya sunsun, bernama widahsanagastagasti sangat baik Karena yang
memeliharanya akan tercapai maksudnya dan dicintai banyak orang.
14) jika muncis, yang memeliharanya tenang, selamat, biasanya dipelihara seorang bupati,
ditakuti orang banyak.
15) jika berbunyi ngelik-elik (suaranyatinggi) dan nyaring, dipercaya bahwa orang yang
memelihara rahayu. Jika untuk memikat pemeliharaannya akan mendapatkan banyak.
16) jika yang menyala seperti api baik mukanya (manon) yang memelihara akan kaya dan
tercapai keinginannya.
17) jika bersarang di tanah, kotorannya dibakar dan abunya dapat dijadikan untuk mengobati
segala macam penyakit.
Demikianlah bebagai makna symbol dalam mistisme Jawa. Disini jelas bahwa orang
jawa sangat mengagumi, bahkan menyakini symbol sebagai media untuk mencapai
penyatuan diri dengan alam, tuhan dan sesame. Selain itu symbol yang yang memiliki makna
dijadikan sebagai pedoman dalam menjalani kehidupan,.

Dengan demikian terlihat keunikan dalam kehidupan masyarakat jawa ketika di


dihadapkan oleh fenomena alam yang tentunya biasa terjadianya. Semuanya telah diatur dan
ditentukan oleh tuhan.. dengan demikian tidak pernah terjadi adanya konsep kebetulan.
Segala sesuatu terjadi adalah kersanin.

Karena kepasrahannya itu, pengalaman mistik bagi orang jawa merupakan suatu
kepastian dan keharusan. Disadari atupun tidak, kepercayaan terhadap hal-hal yang bersipat
adikodrati adalah bagian dari kehidupannya. Apapun bentuknya baik yang tampak ataupun
yang tidak tampak, selama berada dalam dunia, semuanya adlah ciptaan tuhan dan harus
diberi identitas.

C. Simbolisme dan Nasib Manusia

Pada bab-bab sebelumnya dijelaskan bentuk-bentuk symbol yang ada dan diyakini oleh
masyarakat jawa. Sebagai media untuk sampai pada tujuan sangkan praning dumadi, yaitu
penyatuan diri dengan tuhan, symbol yang ada dan diyakini kebenarannya dapat menentukan,
bahkan mengubah nasib manusia, terutama symbol berbentuk ramalan ramalan, baik yang
berhubungan dengan karakteristik manusia, alam dan seisinya maupun ramalan ramalan
hidup manusia. Rumusan atau penjelasan ramalan-ramalan tersebut dapat dibukukan dalam
kitab primbon. Sebagian isi dari primbon adamakna adalah sebagi berikut.

a. Makna simbol gempa bumi

Jika gempa terjaadi pada:

1. Bulan sura pada siang hari, akan banyak penyakit serta memprihatinkan. Apabila terjadi pada
malam hari, makanan dan segala kebutuhan hidup akan mahal;
2. Bulan safar siang hari, banyak orang yang berpindah tempat tinggal. Jika pada malam hari;
banyak orang senang dan binatang tidak kekurangan makanan.
3. Bulan rabiul awal siang hari, banyak orang yang saling memfitnah., pada malam hari, banyak
hujan disertai angin.
4. Bulan rabiul akhir siang hari, banyak perselisihan dan kematian. Jika malam hari, banyak
angin atau topan dan hujan, tetapi banyak pula yang merasakan kenikmatan.
5. Bulan jumadil awal siang hari; banyak orang desa saling berselisih, saling memfitnah dan
membuat kejahatan apabila pada malam hari; terjadi musim kemarau yang sangat panjang,
serta banyak buah-buahan yang berjatuhan.
6. Bulan jumadil akhir siang hari; terjadi kemarau panjang dan banyak perbuatan tercelah
(maksiat), pada malam hari, banyak orang yang merasa tentram hatinya.
7. Bulan rajab pada siang hari; banyak binatang kena penyakit, sedangkan pada malam hari, di
desa banyak orang jahat dan pindah tempat tinggal.
8. Bulan ruwah pada siang hari; harga makanan melonjak, jika pada malam hari; makanan dan
pakaian murah harganya.
9. Bulan Ramadhan (puasa) pada siang hari banyak orang desa yang bertengkar, jika pada
malam hari, banyak orang desa berpindah tempat.
10. Bulan syawal pada siang hari; banyak orang desa yang prihatin, jika pada malam hari;
banyak orang desa yang bertengkar Dan tidak patuh pada pemimpinnya.
11. Bulan dzulkaiddah pada siang hari; banyak orang tua yang mengumpat atau marah, oranng-
perang besar berselisih, dan orang desa banyak yang melupakan orang tua. Jika terjadi pada
malam hari, banyak orang meninggal dan berpindah tempat yang jauh.
12. Bulan besar pada siang hari; banyak muncul penyakit dan banyak pula penderitaan. Jika
pada malam hari; banyak turun hujan, tetapi banyak pula kebahagian dan Sentosa.

b. Makna symbol gerhana

Apabila terjadi gerhana matahari atau pun bulan pada;

1. Bulan sura; banyak masalah atau perkara dan banyak orang yang ingkar pada Tuhan.
2. Bulan safar; angin besar, harga makanan mahal, dan hujan jarang turun.
3. Bulan rabiul awal; banyak hujan disertai angin topan, tanaman banyak yang rusak, berjangkit
penyakit di desa, banyak orang meninggal, pejabat banyak yang prihatin.
4. Bulan rabiul akhir; banyak terjadi kejahatan, banyak orang kaya yang susah, dan banyak
orang miskin yang berpindah tempat tinggal.
5. Bulan jumadil awal; banyak petir/atau halililntar yang saling menyambar, dan banyak
perkara atau masalah dan banyak juga terjadi banjir.
6. Bulan jumadil akhir; akan memperoleh kebahagiaan dan tidak ada halangan
7. Bulan rajab; makanan harganya mahal, banyak peperangan dimana-mana dan banyak pula
orang jahat.
8. Bulan ruwah; terjadi perselisihan antara raja dan prajuritnya, selain itu rezeki berkurang.
9. Bulan ramadhan; banyak orang bersenang- senang, tetapi kemudian akan muncul penyakit.
10. Bulan syawal; banyak angin besar, pejabat bertengkar, banyak penyakit dan kematian.
11. Bulan dzulkaiddah; banyak topan dan banyak bermunculan fitnah, dan praurit berselisih
dengan kawannya sendiri.
12. Bulan besar; tuhan memberikan rahmatnya, harga makanan dan pakaiaan murah.

c. Makna Simbol Andeng-andeng (Tahilalat)

Jika andeng-andeng terletak di:

1. Kepala bagian kanan, namanya mani karda, artinya banyak berbahagia anda tercapai
kehendaknya.
2. Kepala bagian kiri; namanya jemjem, artinya tidak memiliki kemantapan, sering mendapat
gangguan.
3. Kepala bagian belakang; namanya cantuk, artinya sabar, berani dan sentosa.
4. Embun-embun, namanya duryati, artinya pembohong dan tidak terus terang.
5. Unyeng-unyeng, namanya pulung jati, artinya, teliti dan berhati-hati.
6. Kening kiri atau kanan, namanya werda-tama, artinya tajam pikirannya.
7. Tengah-tengah bathuk, namanya rcara, artinya pandai, halus berbicara, berani serta baik hati.
8. Pelipis kiri atau kanan, namanya srituwah, artinya banyak rezeki dan segala sesuatu banyak
membawa untung.
9. Kelopak mata kanan atau kiri, namanya gunasakti, artinya dapat bermasyarakat, tidak
kekurangan serta mudah pendapatnya.
10. Bawah kelopak mata atau kkiri, namanya pungggung, artinya bodoh, malas, kehidupannya
sulit, dan tidak mau menerima nasihat.
11. Sudut mata kanan atau kiri, namanya tameng tuwuh, artinya, pendiam, omongannya dapat
diterima.
12. Sudut mata (dekat pangkal hidung), namanya sripadu, artinya berwatak rendah hati dan
dapat dipercaya.
13. Bagian putih mata kanan/kiri namanya, buta, artinya pemarah, pembohong dan sombong.
14. Alis kanan, namanya kajen, artinya baik hati dan suka menolong.
15. Alis kiri namanya jatmika, artinya banyak orang yang mencintainya, jika ia telah menikah
akan mendapatkan keselamatan.
16. Pipi kanan/kiri, namanya srigati, artinya suka bersahabat, memberi jika ada tamu menjamu
dengan sangat memuaskan.
17. Pipi kiri/kanan namanya tujungsuh, artinya banyak orang yang mencintai dan berkunjung
kerumahnya.
18. Hidung bagian mana saja namanya pulungsih, artinya cita-citanya banyak terlaksana, banyak
untung dan dicinttai orang.
19. Bawah saluran hidung, namanya palguna artinya pandai berbicara, rajin bekerja tapi sering
susah rezekinya.
20. Bibir atas namanya gunasakti, artinya mudah penghidupannya serta pandai.
21. Apabila terletak di bibir atas, namanya Gunasakti; orangnya mudah penghidupannya dan
pandai.
22. Apabila terletak di bibir bawah, namanya Lumer; orangnya baik hati dan dicintai orang.
23. Jika terletak di daun telinga kanan/kiri atau keduanya, namanya Srikurda; wataknya hatinya
keras, pemarah.
24. Bila terletak di ujung mulut kanan /kiri atau keduanya, namanya Nylarem; pandaibicara, tapi
banyak mengalami kesukaran dalam hidupnya.
25. Jika terletak di dagu bagian mana saja, namanya Ciptakukila; wataknya suka dan pandai
bicara, perkataannya suka melampaui batas.
26. Apabila terletak di leher bagian mana saja, namanya Sridaya; orangnya pandai dan lapang
hatinya.
27. Apabila terletak di belakang leher bagian mana saja, namanya Puggel; orang seperti ini
bodoh dan berfikirnya pendek.
28. Jika terletak di pundak di sebelah kiri, namanya Jayalena; hatinya tidak pernah tetap
(pendiriannya).
29. Jika terletak di pundak di sebelah kanan, namanya Jayakarsa; mengetahui terlebih dahulu apa
yang akan dikerjakannya, sentausa keinginannya.
30. Bila terletak di dada kanan/kiri atau keduanya, namanya Tunggulrana; sifatnya berani
menghadapi kesukaran dan dapat menyelesaikan pekerjaan.
31. Bila terletak di buah dada kiri/kanan atau keduanya namanya Sriasih; banyak orang
mencintainya.
32. Jika terletak di atas ulu hati (bawah tulang dada), namanya Rena; tercapai cita-citanya dan
baik budi.
33. Jika terletak di kedua punggung baik kiri atau kanan, namanya Reksamulya; orang seperti ini
dapat menyimpan rahasia.
34. Apabila terletak di pusat/puser, namanya Manuhara; wataknya baik tingkah lakuknya dan
akan selalu mendapat kesenangan.
35. Apabila terletak di kedua pinggang baik kanan/kiri, namanya Kapita; wataknya keras
kemauannya, dapat dipercaya.
36. Jika terletak di kedua telapak kaki baikkiri/kanan, namanya namanya Buditama; sering
memberi nasihat dan pandai.
37. Jika terletak di kedua telapak kaki kiri/kanan, namanya Weda; watak hatinya suci dan suka
berbuat baik.
38. Bila terdapat di tulang punggung/ ruas tulang belakang, namanya Murwat; dicintai orang,
dapat mencapai jabatan yang tinggi.
39. Bila terletak di kedua lengan baik kiri/ kanan atau kedua pangkal siku baikkiri/ kanan,
namanya Reksamuka; sentausa dan setiap ada pekerjaannya.
40. Jika terletak di kedua telapak tangan kiri/ kanan, namanya Raja keling; badannya kuat, jika
tangannya untuk memukul kadang-kadang membahayakan.
41. Jika terdapat di belakang kedua telapak tangan, namanya Ragam; artinya orang ini dapat
menyimpan harta benda.
42. Apabila terletak di kedua sikut, namanya Gutama; suka berbuat kebaikan dan dicintai orang.
43. Apabila terletak di tekukan kedua sikut, namanya Purusa; watak besar kemauannya
(sentausa).
44. Jika terdapat di kedua ketiak, namanya tutup; orangnya dapat menyimpan rahasia.
45. Jika terletak di jari-jari kedua tangan, namanya Unggul; segala yang dikerjakan
mendatangkan keuntungan.
46. Bila terletak di kedua pergelangan tangan, namanya Brasta; orangnya boros, tanpa
perhitungan.
47. Bila terletak di pantatkiri/kanan, namanya Basu; artinya miskin, sulit dalam kehidupannya.
48. Jika terletak di kedua pangkal paha, namanya Bimalaku; watak besar kemauannya,
beruntung, cekatan dalam bekerja.
49. Jika terdapat di kemaluan, namanya Gutukbrama; orangnya banyak keuntungannya.
50. Apabila terletak di kedua betis, namanya Sitaresmi; watak: ingatannya jernih.
51. Apabila terletak di kedua tulang kering, namanya Wregeng; orangnya boros tanpa
perhitungan.
52. Jika terletak di kedua pergelangan kaki, namanya Pasren; orangnya kuat berjalan jauh dan
suka berpakaian yang baik.
53. Jika terletak di kedua belah kaki, namanya Amertani; orangnya mendapat keuntungan karena
bertani.
54. Jika terletak di kedua tumit, namanya Juti; wataknya suka berbohong dan menipu.
55. Jika terletak di jari kedua kaki, namanya Werdiguna; orangnya dapat melaksanakan setiap
kebajikan.
56. Jika terletak di kedua belah lutut, namanya Ancala; orangnya kuat berjalan jauh, kuat
menderita dan ikhlas.
57. Jika terletak di tekukan kedua lutut tidak ada namanya, watak: pendiriannya tidak tetap.

d. Makna Simbol Mimpi

1. Mimpi disembur ular artinya mendapatkan jodoh.


2. Mimpi melihat ular berganti kulit; artinya panjang umur
3. Mimpi mengambil air wudhu; artinya baik dan sempurna pekerjaannya.
4. Mimpi hanyut di sungai; artinya mendapat kerugiaan
5. Hanyut dan masuk kelaut; artinya memperoleh kesenangan, sedangkan hidupnya bertambah
lebih baik.
6. Mimpi tenggelam dalam air jernih; memperoleh harta benda dan ilmu
7. Mimpi tenggelam dalam air keruh; artinya pergi dan tidak kembali lagi.
8. Mimpi mendaki gunung; artinya berjumpa dengan saudara dan mendapat kebaikan.
9. Mimpi naik dari tebing jurang; artinya akan naik pangkat.
10. Mimpi naik ke masjid; artinya mendapat anugerah
11. Naik ke loteng artinya akan mendapat keuntungan.
12. Mimpi makan pakai sayur artinya akan sakit.
13. Mimpi makan sambil berdiri, artinya akan mendapatkan uang.
14. Mimpi makan dengan daging, artinya akan mendapatkan banyak uang.
15. Mimpi makan dengan pembesar, artinya akan mendapat pangkat yang tinggi.
16. Mimpi minum air bergawan, artinya memperoleh marah dari atasannya.
17. Mimpi minum air jernih, artinya akan memperoleh ilmu.
18. Mimpi meminum air yang kental, artinya akan mendapatkan emas atau perak.
19. Mimpi minum air susu, artinya akan mendapatkan uang.
20. Mimpi berpakaian tentara, artinya mendapat celaka.
21. Berpakaian orang miskin artinya, memperoleh rezeki dan senang.
22. Mimpi melepaskan pakaian : akan kehilangan
23. Mimpi melihat Tuhan: tercapai maksudnya.
24. Mimpi melihat nabi: akan masuk surga
25. Mimpi melihat raja: akan naik pangkat
26. Mimpi melihat api di dalam rumah: akan mendapat fitnah
27. Melihat kilat menyambar: memperoleh pangkat yang mulia.
28. Melihat rumahnya roboh; menderita kesusahan.
29. Melihat banyak kotoran: akan mendapat banyak rezeky
30. Mimpi pergi haji :bekerja secara sempurna.

e. Makna Simbol Hari


Pada persembahan lalu, telah dijelaskan ketergantungan masyarakat jawa terhadap
ramalan dan ketergantunganya terhadap proses alam, sehingga hari, pekan, bulan dan tahun
diberi simbol-simbol tertentu yang memiliki makna tertentu yang dalam perhitungan jawa
disebut neptu. Berdasarkan neptu tanggal kelahiran seseorang bisa dihitung sehingga bisa
diketahui watak dan nasibnya, pantangan-pantangannya dan halhal yang sebaiknya
dikerjakan.

1. Pasaran dan Hari

Sejak dahulu orang jawa telah mempunyai perhitungan (petung jawa) tentang pasaran,
hari, bulan dan sebagainya. Khusus tentang hari dan pasaran yang terdapat dalam mitologi
sebagai berikut.

a. Batara surya (dewa matahari) turun ke bumi menjelma menjadi brahma Raddhi di gunung
tasik. Ia mengubah hitungan yang disebut pancawara (lima bilangan) yang sekarang disebut
pasaran, yaitu legi, paing, pong, wage dan kliwon.
b. Kemudian brahmana Raddhi di boyong dijadikan penasihat prabu slacala di giling wengsi
sang brahmana membuat sesajen, yakni sajian untuk dewa-dewa selama tujuh hari berturut-
turut dan diberi nama sebagai berikut;
1) Sesajen emas, yang dipuja matahari. Hari itu diberi nama Radite, nama sekarang ahad.
2) Sesajen perak yang dipuja bulan, diberi nama soma dan nama sekarang ; senin.
3) Sesajen gangsa, yang dipuja api, hari itu diberi nama anggara dan nama sekarang selasa.
4) Sesajen besi, yang dipuja bumi, dan diberi nama buda, dan nama sekarang; rabu
5) Sesajen perungu yang dipuja petir, dan diberi nama : respati dan nama sekarang Kamis.
6) Sesajen tembaga yang dipuja air, diberi nama: sukra dan nama sekarang jumat.
7) Sesajen timah yang dipuja angin, dan diberi nama saniscara nama sekarang sabtu.

Nama sekarang, hari-hari tersebut adalah, nama hari-hari dalam kalender sultan
agung, yang berasal dari kata-kata arab. Nama-nama sekarang dipakai sejak pergantian
kalender jawa-asli yang disebut saka menjadi kalender jawa/sultan agung, yang nama
ilmiahnya Anno Javanico (AJ). Keseluruhannya merupakan petungan (perhitungan) jawa
yang dicatat dalam primbon.

2. Kalima pancer
Hitungan pasaran yang berjumlah lima itu menurut kepercayaan jawa adalah sejalan
dengan ajaran "sudulur papat, kalmia pancer" empat saudara sekelahiran, kelimanya pusat.
Ajaran ini mengandung pengertian bahwa badan manusia yang berupa jasad lahir bersama
empat unsure atau roh yang berasal dari tanah, air, api dan udara. Empat unsure itu
mempunyai tempat di kiblat empat. Faktor kelima bertempat dipusat, yaitu tengah.

Kelima tempatitu juga merupakantempat lima pasaran maka persamaan tempat


pasaran dan empat unsure dan kelimanya pusat itu sebagai berikut.

a. Pasaran legi bertempat di timur, satu tempat dengan unsure udara, memancarkan sinar
(aura) putih.
b. Pasaran pain bertempat di selatan, salah satu tempat dengan unsu rapi, memancarkan
sinar merah.
c. Pasaran pon bertempat di barat, satu tepat dengan unsur air, memancarkan sinar
kuning.
d. Pasaran wage bertempat di utara, satu tempat dengan unsure tanah, memacarkan sinar
hitam.
e. Kelima di pusat atau ditengah, adalah tempat sukma atau jiwa, memancarkan sinar
manca warna (bemacam-macam)

D. Agama dan Spiritual jawa

Sejak awal kehidupan jawa, masyarakat di jawa telah memiliki sifat spiritual
tersendiri. Telah disepakati di kalangan sejarawan, bahwa pada saman jawa kuno, masyarakat
jawa menganut kepercayaan Animisme-Dinamisme. Saat itu masyarakat jawa telah memiliki
kepercayaan akan adanya kekuatan yang bersifat tidak terlihat (gaib), besar dan
menakjubkan. Mereka menaruh harapan agar mendapat perlindungan dan berharap agar tidak
diganggu kekuatan gaib lain yang jahat.

Hindu dan Budha masuk ke pulau jawa dengan membawa konsep baru tentang
kekuatan-kekuatan gaib. Kerajaan-kerajaan yang berdiri memunculkan figur raja-raja yang
dipercaya sebagai dewa atau titisan dewa. Berkembanglah budaya untuk patuh kepada raja,
karena raja diposisikan sebagai "imam" yang berperan sebagai pembawa esensi kedewataan
di dunia, berkembang pula komunikasi langsung dengan Tuhan , dengan laku spiritual
khusus seperti semedi dan pasa (puasa).

Zaman kerajaan jawa islam membawa pengaruh besar pada masyarakat. Dengan
dimulainya proses peralihan keyakinan dari Hindu-Budha ke Islam. Anggapan bahwa raja
adalah "imam" dan agama ageing ajilah yang turut menyebabkan berahlihnya agama
masyarakat karena berahlihnya agama raja, disamping peran aktif para ulama di masa itu.
Para penyebar islam, para wali dan guru-guru tarekat memperkenalkan islam yang bersifat
tasawuf. Oleh karena itu, pandangan hiidup masyarakat jawa sebelumnya yang bersifat
mistik, dapat sejalan dan kemudian mengikuti islam tasawuf sebagai keyakinan mereka.

Spiritual islam jawa, yaitu dengan warna tasawuf (islam sufi) berkembang juga
karena pesan sastrawan jawa yang telah beragama islam. Ciri pelaksanaan tasawuf yang
menekankan pada berbagai latihan spiritual, seperti dzikir dan puasa, terus menerus
disampaikannya dalam karya sastra. Petikan serat Wedha tama karya K.G.A.A Mangku
Negara IV:

Ngelmu iko kalokone kanthi laku. Lekase lawan kas, tegase kas nyamkosani. Setya
budya pangekese dur angkara (pupuh-pucung, bait 1) artinya:

Ilmu itu hanya dapat dicapai dengan laku, dimulai dengan niat yang teguh untuk
mengatasi segala godaan rintangan dan kejahatan.

Beberapa laku harus dipraktekkan dengan kesadaran dan ketetapan hati yang mantap.
Pencari dan penghayat ilmu sejati diwajibkan untuk melakukan sesuatu yang berguna bagi
semua orang serta melalui kebersihan hati dan tindakannya. Cipta, rasa, karsa dan karya
harus baik, benar, suci, dan ditujukan untuk Mamayuhayuning bawono.

Dalam budaya jawa dikenal adanya simbolisme, yaitu paham yang menggunakan
lambang atau symbol untuk membimbing pemikiran manusia ke arah pemahaman terhadap
suatu hal secara lebih dalam. Manusia mempergunakan symbol sebagai media penghantar
komunikasi antar-sesama, dan segala sesuatu yang dilakukan manusia merupakan
perlambang dari tidakan atau karakter dari manusia itu selanjutnya.
Tindakan tersebut dibagi tiga bagian, yaitu tindakan simbolis dalam religi, tindakan
simbolis dalam tradisi, dan tindakan simbolis dalam seni. Tindakan simbolis dalam religi
adalah contoh kepercayaan orang Jawa yang percaya bahwa Tuhan adalah Dzat yang tidak
mampu dijangkau oleh pikiran manusia, sehingga harus disimbolkan agar dapat diakui
keberadaannya, misalny adengan menyebut Tuhan dengan Gusti Ingkang Murbheng Dumadi,
Gusti Ingkang Maha Kuaos, dan sebagainya.

Tindakan simbolisme dalam tradisi misalkan dengan adanya tradisi upacara kematian,
yaitu mendoakan orang yang meninggal pada tiga hari, tujuh hari, empat puluh hari, seratus
hari, satu tahun, dua tahun, tiga tahun dan seribu harinya setelah orang itu meninggal
(tahlilan). Tindakan simbolis dalam seni dicontohkan dengan berbagai macam warna yang
terlukis pada wajah wayang kulit; warna ini menggambarkan karakter dari setiap tokoh
dalam wayang.

Orang Jawa percaya bahwa segala sesuatu adalah symbol dari hakikat kehidupan.
Misalnya, syarat sebuah rumah harus memiliki empat bua soko guru (tiang penyangga) yang
melambangkan empat unsure alam yaitu tanah, air, api, dan, udara, yang keempatnya
dipercaya akan memperkuat rumah, baik secara fisik maupun mental bagi penghuni rumah
tersebut.

Sejak adanya teknologi kontruksi yang semakin maju, keberadaan soko giru tidak lagi
menjadi syarat pembangunan rumah. Dengan analisis tersebut, dapat diperkirakan bahwa
paham simbolisme akan bergeser dari budaya Jawa. Sekalipun demikian, menurut mereka,
simbolisme akan terpengaruh oleh kemajuan berpikir manusia, tetapi kehidupan manusialah
yang bergantung pada simbolisme. Sampai kapan pun simbolisme akan terus berkembang
mengikuti berputarnya sangkakala.

Selama manusia mendiami alam semesta beserta misterinya, manusia tidak akan
pernah melepaskan symbol dari lingkaran kehidupannya. Sampai saat ini masih terdapat ritus
yang berhubungan dengan peristiwa kehidupan manusia yang telah diyakini oleh orang Jawa.
Misalnya mereka meyakini adanya poros dalam alam kehidupan manusia, yang berada di
tengah-tengah ruang dan waktu, yaitu proses perjalanan kehidupan dari “tiada” menjadi
“ada”dan kembali ke “tiada”, dan ditengah-tengah proses perjalanan manusia ini, terdapat
ritus pelengkap yang bervariasi jenis dan jumlahnya.

Atas dasar kesadaran tersebut, masyarakat jawa menciptakan pandangan hidup yang
sangat menghargai keselamatan dan keharmonisan alam. Karena alam merupakan bagian dari
makrokosmos san mikrokosmos, kombinasi ini menciptakan harmoni yang seimbang. Itulah
sebabnya, keseimbangan, keselamatan, dan kerukunan, antarsesama, adalah bagian dari
falsafah hidup orang Jawa, setelah pandangan terhadap alam gaib.

Bagi mereka, alam empiris berhubungan erat dengan metaempiris, dan keduany
asaling meresapi. Alam dihayati sebagai “kekuasaan” yang menentukan keselamatan dan
kehancurannya. Oleh karena itu, bagi orang Jawa, alam indrawi merupakan ungkapan alam
gaib, sebuah misteri yang mengelilinginya, sehingga ia dapat menemukan eksistensi dirinya.

Dalam alam, ia mengalami bahkan merasakan ketergantungannya pada alam yang


banyak menyimpan kekuatan-kekuatan gaib. Alam beserta isinya termasuk benda-benda,
kehidupan, dan peristiwa di dunia, merupakan satu kesatuan yang terkordinasi dan teratur.
Suatu kesatuan eksistensi yang setiap gejala, materil dan spiritual, memiliki arti yang jauh
melebihi apa yang tampak. Hal yang terpenting dari semua itu adalah keselamatan,
keselarasan, kerukunan, keharmonisan dan sebagainya,

a. Budaya dan Tradisi Kebatinan

Di dalam serat Wulang Reh, karya “kesusastraan” Jawa (dalam bentuk syair) yang
dituli soleh Sunan Paku Buono IV, terdapat juag ajaran untuk hidup secara esketik, usaha
menuju kesempurnaan hidup dan mendekat Yang Maha Widi bisa dicapai.

Dalam tembang Kinanthi, ajaran itu bertutur: pada gulangen ing kalbu ing sasmita
amrih lantip aja pijer mangan nendra kaprawiran den kaesti pesunen sarira nira sudanen
dhahar lan guling (intinya, orang harus melatih kepekaan hati agar tajam menangkap gejala
dan tanda-tanda. Orang pun tidak boleh mengumbar nafsu makan serta tidur)

1.Sejarah Kebatian
Pada tanggal 19 dan 20 Agustus 1955 di Semarang diadakan kongres dari berpuluh-
puluh budaya kebatian yang ada berbagai daerah di Jawa, dengan tujuan untuk
mempersatukan semua organisasi yang ada pada waktu itu. Kongres berikutnya diadakan
pada tanggal 7 Agustus 1956 di Surakarta sebagai lanjutannya, yang dihadiri oleh lebih 2.000
peserta yang mewakili 100 organisasi. Pertemuan-pertemuam itu berhasil mendirikan suatu
organisasi bernama Badan Kongres Kebatinan Indonesia (BKKI) (badan 1956), yang
kemudian juga menyelenggarakan dua kongres serta seminar mengenai masalah kebatinan
dala tahun 1959, 1961, dan 1962 (Pakan, 1978: 98)

Pada awalnya, kebanyakan budaya kebatinan di Jawa, merupakan budaya local


dengan anggota yang terbatas jumlahnya, yaitu tidak lebih dari 200 orang. Tetapi ada pula
yang berjumlah 1.000 orang. Budaya seperti itu secara resmi merupakan “aliran kecil”,
seperti penunggalan, perukunan kawula menembah gusti, jiwa ayu dan pancasila handaya-
nigratan dari Surakarta;ilmu sejati dari Madiun; dan lain-lain.

Yang tersebar di berbagai kota di Jawa dan terorganisasi dalam cabang-cabang. Lima
yang besar adalah hardapusara dari Purworejo, susila budi darma (SUBUD) yang asalnya
berkembang di Semarang, paguyuban ngesti tunggal (pangestu) dari Surakarta, paguyuban
sumarah, dan sapta dari Yogyakarta.

1. Hardapusara adalah yang tertua diantara kelima gerakan yang didirikan terbesar itu, yang
didirikan tahun 1895 oleh Ki Kusumawicitra.
2. Susila Budi (SUBUD) didirikan pada tahun 1925 di Semarang, pusatnya sekarang berada di
Jakarta.
3. Pengguyuban ngesti tunggal, atau lebih terkenal dengan nama pangestu didirikan oleh
Soenarto yang di antara tahun 1932 dan 1933 menerima wangsit yang oleh kedua
pengikutnya dicatat dan kemudian diterbitkan menjadi buku sasangka djati.
4. Paguyuban sumarahjuga merupakan organisasi besar yang dimulai sebagai suatu gerakan
kecil,dengam pemimpinyya bernama R. Ng. Sukirno Hartono dari Yogyakarta.
5. Sapta darma adalah yang termuda dari kelima gerakan kebatinan yang terbesar di Jawa yang
didirika tahun 1955 oleh guru agama bernama Hardjosaputro (Panuntun Sri Gutomo).

2.Mistik Kebatinan
Menurut pandangan ilmu mistik kebatinan ilmu jawa, kehidupan manusia merupakan
bagian dari alam semesta secara keseluruhan, dan hanya merupakan bagian yang sangat kecil
dari kehidupan alam semesta yang abadi, yang manusia itu seakan-akan berhenti sedikit
untuk minum.

Hal yang harus dimiliki oleh pengikut mistik kebatinan adalah kemampuan untuk
melepaskan diri dari dunia kebendaan, yaitu memiliki sifat rila (rela) untuk melepaskan
segala hak milik, pikiran atau perasaan untuk memiliki, serta keinginan untuk memiliki.
melalui sikap ini orang dapat memebebaskan diri dari berbagai kekuatan serta pengaruh
dunia kebendaan disekitarnya.

Sikap menyerah serta mutlak tidak boleh dianggap sebagi tanda sifat lemahnya
seseorang. SebaliknyA, sifat ini menandakan bahwa sifat seperti itu memiliki kekuatan batin
dan keteguhan imam. Kemampuan untuk memebebaskan diri dari dunia kebendaan dan
kehidupan duniawi juga melibatkan sikap nerimo, yaitu sikap menerima nasib dan bersabar.

Melalui latihan bersemedi diharapkan orang dapat membebaskan dirinya dari keadaan
sekitarnya, yaitu menghentikan segala fungsi tubuh dan keinginan segala nafsu jasmaninya.
Hal ini dapat memberikan keheningan pikiran dan membuatnya mengerti dan menghayati
hakekat hidup serta keselarasan antara kehidupan rohaniah dan jasmania.

Apabila orang sudah bebas dari kehidupan duniawi, orang itu setelah melalui
beberapa tahap berikutnya, pada suatu saat akan dapat bersatu dengan tuhan.

Akan tetapi dengan tercapainya pamudharan, yang memungkinkan orang untuk


melepaskan diri dari kehidupan dunia kebendaan, orang itu juga tidak terbebas dari
kewajiban-kewajibannya dalam kehidupan yang kongkret.

b. Sangkan Paraning Dumadi

Sangkan paraning dumadi adalah totalitas kehidupan manusia yang harus dijaganya
keselarasannya. Sedangkan merupakan simbol adanya jagad gedhe (makrokosmos) dan jagad
cilek (mikrokosmos). Kedua jagad tersebut merupakan perputaran yang tiada henti bagi
manusia untuk mendapatkan kesejatian dalam hidup. Penyatuan diri dengan sang pencipta
merupakan hakekat tertinggi dan merupakan tujuan akhir bagi jiwa manusia. Dengan kata
lain, mengusahakan keteraturan dengan keselarasan dengan pengada, kesatuan antara
pencipta dan ciptaan, hamba dengan tuan, sangkan dan paran.

Perjalanan batin yang dilakukan merupakan ungkapan emosi yang paling tinggi untuk
mewujudkan perubahan, dari yang lahir (yang sesalu disimbolkan dengan keburukan),
menuju pada yang batin. Sankang paranin dumadi adalah simbol mistik mengajarkan pada
manusia untuk menyusun kesadaran tentang tempat ia berasal dari tujuan yang hendak di
capai

Proses sankan paran menjawab pertanyaan bagaiman manusia berhadapan dengan


hakikat yang sebenarnya, memberi wujud paling bermakna pada kehidupannya dan untuk
mencapai hubungan yang tepat terhadap alam lahir. Serta untuk semakin menyelami
batinnya. apabila ketiga dimensi tersebut dapat dikendalikan dengan baik dan benar, ia tidak
akan menjadi manusia yang agresif dan reaktif. Karena kehalusan budi, ditentukan oleh
sejauh mana ia dapat mengendalikan emosi-emosinya dengan baik.

Ia tidak sepenuhnya menampakkan kesdihan, kebahagiaan, marah, kecewa dan sebagainya.


Akan tetapi, yang ditampakkannya adalah sikap yang teduh, tenang dan dipenuhi dengan
keharmonisan. Untuk itu ada proses meditasi yang dilakukan oleh penganut kajawen, antara
lain sebagai berikut.

1. Sembah Raga

Sembah raga adlah penyembah tuhan dengan mengutamakan gerak laku badaniah atau
amal perbuatan yang bersifat lahiriah. Cara bersunyinya sama dengan shalat biasa, yaitu
dengan mempergunakan air (wudu). Sembah yang demikian biasa dikerjakan lima kali sehari
semalam dengan mengindahkan pedoman secara tepat, tekun dan terus menerus, seperti bait
berikut.

2. Sembah cipta

Sembah ini kadang-kadang disebut sembah cipta dan kadang-kadang disebut sembah
kalbu. Cipta mengandung arti gagasan, angan-angan atau keinginan yang tersimpan didalam
hati. Kalbu berarti hati, maka sembah cipta berarti sembah kalbu, bukan sembah gagasan atau
angan-angan. Apabil sembah raga menekankan penggunaan air untuk membasuh segala
kotoran dan najis lahiriah.

3. Sembah jiwa

Sembah jiwa adalah sembah kepada hyang sukma (Allah) dengan mengutamakan peran
jiwa. Jika sembah cipta (kalbu) mengutamakan peran kalbu, sembah jiwa lebih halus dan
mendalam dengan menggunakan jiwa atau ar-ruh. Sembah ini hendaknya diresapi secara
menyeluruh tanpa henti dan dilaksanakan dengan tekun secara terus menerus.

Berbeda dengan sembah raga dan sembah kalbu, ditinjau dari segi perjalanan suluk,
sembah ini adalah tingkat permulaan dan sembah kedua adalah tingkat lanjutan. Ditinjau dari
segi tata pelaksanaanya, sembah yang pertama menekankan kesuciaan jasmaniah dengan
menggunakan air dan sembah yang kedua menekankan kesucian kalbu dari pengaruh jahat
hawa nafsu. Pelaksanaan sembah jiwa adalah dengan berniat teguh didalam hati untuk
mengemaskan segenap aspek jiwa, lalu mengikatnya kuat-kuat untuk diarahkan pada tujuan
yang hendak dicapai tanpa melepaskan apa yang telah di pegang pada saat itu.

4. sembah rasa

Sembah rasa berdasarkan pada rasa cemas, menurut Mangkunegasa IV, sembah ini
adalah sembah yang dihayati dengan merasakan intisari kehidupan mahluk semesta alam.
Pelaksanaan sembah rasa tidak lagi memerlukan petunjuk bimbingan guru seperti ketigia
sembah sebelumnya, tetapi harus dilakukan sendiri dengan kekuatan batinnya. Apabila
sembah jiwa dipandang sebagi sembah pada proses pencapaian tujuan akhir perjalanan
suluk, sembah rasa adalah sembah yang dilakukan bukan dalam perjalanan suluk, melainkan
sembah yang dilakukan ditempat tujuan akhir suluk.

Pada tingkatan ini seorang salik dapatr melaksanakan sendiri sembah rasa sesuai
petunjuk-petunjuk guruhnya.
c. Puasa dalam Tradisi Jawa

Untuk menyempurnakan laku tapa atau semedi, diperlukan proses puasa sebagai
bentuk penyempurnaan. Pada saat ini terdapat bermacam-macam jenis puasa dalam
masyarakat jawa, ada yang sejalan dengan fiqh Islam, tetapi banyak juga yang merupakan
ajaran guru-guru kebatinan ataupun warisan saman hindu-budha. Macam-macam puasa adlah
sebagi berikut:

1. puasa/tapa mutih, hamya makan nasi selama 7 hari berturut-turut;


2. Puasa/tapa mutih, berpantang makan garam, selama tiga hari atau 7 hari;
3. Puasa/tapa ngerawat, hanya makan sayur semlam 7 hari 7 malam;
4. Puasa/tapa pati geni, berpantang makan makanan yang dimasak memakan api (geni)
selama sehari semalam;
5. Puasa/tapa ngebleng, tidak makan dan tidak tidur selama tiga hari 3 malam;
6. Puasa/tapa a ngrame, siap berkorban/ atu siapa saja dan kapan saja;
7. Puasa/tapa ngeli, menghanyutkan diri di air
8. Puasa/tapa mendem, menyembunyikan diri;
9. Puasa/tapa kumkum, menenggelamkan diri dalam air;
10. Puasa/tapa nggantung, menggantung pohon dan masih banyak lagi jenis lainnya.

Secara garis besar, interpretasi laku spiritual puasa dalam budaya jawa adalah sebagai
berikut.

1. Puasa sebagai symbol keprihatinan dan praktik asketik.


2. Puasa sebagai sarana penguatan batin.
3. Puasa sebagai ibadah.

E. Falsafat Jawa dalam Realitas Kehidupan

Dalam kehidupan masyarakat Jawa banyak sekali nilai budaya Jawa yang sangat sarat
dengan falsafat hidup, yang selalu dijadikan patolan atau pedoman hidup dalam kehidupan
sehari-hari. Sebagai contohnya ada yang disebut sebagai Hasta Bratayang merupakan teori
kepemimpinan, berisi mengenai hal-hal yang disimbolosasikan dengan benda atau kondisi
alam, seperti Surya, Candra, Kartika, Angkasa, Maruta, Samudra, Dahana, dan Bhumi.
1. Surya (matahari) memancarkan sinar terang sebagai sumber kehidupan. Pemimpin
hendaknya mampu menumbuh-kembangkan daya hidup rakyatnya untuk membangun bangsa
dan negaranya. Dengan kekuatannya, matahari dapat menguasai kegelapan atau kejahatan
manusia lain yang mengganggu kekuasaan seorang pemimpin.
2. Candra (bulan) yang memancarkan sinar di kegelapan malam. Seorang pemimpin hendaknya
mampu menberi semangat kepada rakyatnya ditengah suasana suka ataupun duka, dan
menciptakan ketenangan atau ketentraman, keteduhan dan kemakmuran bagi rakyatnya yang
ada dalam kedukaan ataupun kesenangan. Tugas pemimpin adalah menciptakan keindahan
dunia yang disebut dengan mamayu hayuninbg bawono.
3. Kartika (bintang), memancarkan sinar kemilauan, berada di tempat tinggi sehingga dapat
dijadikan pedoman arah, sehingga seorang pemimpin hendaknya menjadi teladan bagi rakyat
untuk berbuat kebaikan. Seorang pemimpin hendaknya memberikan suri teladanbagi
rakyatnya untuk senantiasa berbuat baik dan menjaga perbuatansalah dan dosa. Kebaikan
seorang pemimpin adalah pancaran bagirakyat untuk turut serta berbuat baik, demikian pula
sebaliknya, buruknya seorang pemimpin akan menciptakan masyarakat yang buruk pula.
4. Angkasa (langit), luas tidak terbatas, hingga mampu menampung apa saja yang dating
padanya. Seorang pemimpin hendaknya mempunyai ketulusan batin dan kemampuan
mengendalikan diri dalam menampung pendapat rakyatnya yang bermacam-macam. Luasnya
angkasa adlah symbol luasnya pengetahuan dan pengalaman bagi seorang pemimpin. Dengan
demikian, seorang pemimpin akan mampu mengelola wilayah kekuasaannya dengan baik
dan benar, memberikan aturan-aturan, hukum, dan norma-norma yang dapat
menyejahterakan rakyatnya dan menjaga keharmonisan dengan alam. Apabila seorang
pemimpin pendek akal dan dangkal pengalaman, rakyat akan kehilangan kepercayaan dan
tidak mengikuti aturan hokum yang dibuat oleh sang pemimpin.
5. Maruta (angin) selalu ada dimana-mana tanpa membedakan tempat serta selalu mengisi
semua ruang yang kosong. Seorang pemimpin hendaknya selalu dekat dengan rakyat, tanpa
membedakan derajat dan martabatnya. Seorang pemimpin lahir dari kehendak rakyat, sebisa
mungkin seorang pemimpin memberikan perhatian kepada rakyatnya secara tulus tanpa tanpa
dibedakan oleh golongan dan kelompok tertentu. Pemimpin tidak mementingkan dirinya
sendiri ataupun kelarga dan golongan dalam memberikan kesejahteraan. Prioritas utama akan
diberikan kepada siapa pun yang membutuhkan tanpa memerhatikan golongan tertentu,
6. Samudra (laut/air) betapapun luasnya, permukaan selalu bersifat datar dan sejuk
menyegarkan. Pemimpin hendaknya bersifat kasih saying terhadap rakyatnya. Lautan
merupakan symbol perdamaian, tetapi dapat membawa bencana kepada yang tidak
menghargai lautan. Dalamnya lautan dan luasnya samudra adalah symbol kemampuan dan
kebaikan pemimpin. Oleh sebab itu, kebaikan seorang pemimpin bagi rakyatnya merupakan
tanggung jawab dan kewajiban yang harus dilaksanakan dengan baik adan benar.
7. Dahana (api), memiliki kemampuan membakar semua yang bersentuhan dengannya.
Seorang pemimpin hendaknya berwibawa dan berani menegakkan kebenaran secara tegas,
tanpa pandang bulu. Sifat panasnya akan memberikan pengaruh positif bagi siapa saja yang
dapat memaknakannya dengan positif. Artinya, meskipun membahayakan, api dapat
digunakan untuk kepentingan manusia. Oleh sebab itu pemimpin selain berwibawa, juga
dapat member manfaat bagi manusia dengan kemampuannya.
8. Bhumi (bumi/tanah), bersifat kuat dan murah hati. Selalu member hasil kepada yang
merawatnya. Pemimpinn hendaknya bermurah hati (melayani) kepada rakyatnya untuk tidak
mengecewakan kepercayaan rakyatnya. Sifat bumi yang menyuburkan tanah, mengandung
berbagai macam kebaikan dan manfaat. Untuk itu seorang pemimpin hendaknya dapat
memberi manfaat kepada manusia seluas-luasnya.

Dalam teori kepemimpinan lain ada beberapa falsafah lagi yang banyak dipakai, agar
setiap pemimpin memiliki sifat yang tenag dan wibawa sehingga masyarakatny adapat hidup
tenang dalam menjalankan aktifitas.

Falsafah sebai anak buah pun ada dalam ajaran Jawa, ini terbentuk agar bawahan dapat
tepo seliro atau kooperatif dengan pemimpin dan tidak mengandalkan egoisme kepribadaian,
terlebih untuk mempermalukanatasan, seperti digambarkan oleh falsafah Jawa lainnya, keno
cepet ning aja ndhisiki, kenopinter ning aja ngguroni, keno taking ning aja ngrusuhi.
Maksudnya, boleh cepat, tetapi jangan mendahului (sang pemimpin), boleh pintar, tetapi
jangan menggurui (pimpinan), boleh bertanya tetapi jangan menyudutkan pimpinan. Intiny
aseorang anak buah jangan bertindak memalukan pimpinan, walaupun dia mungkin lebih
mampu dari sang pemimpin.
Falasafah ini bukan untuk menghambat karier seseorangg dalam bekerja, melainkan kode
etik atau norma yang harus dippahami oleh setiap anak buah atau seorang warga Negara,
demi menjaga citra pimpinan yang merupakan citra bawahan dan bangsa pada umumnya.
Penyampaian pendapat tidak harus dengan memalukan, menggurui dan mendemonstrasi
pimpinan. Tetapi ada cara diluar itu yang lebih baik. Jika kita baik, tanpa harus
mendemonstrasikan secara vulgar kebaikan kita, orang pun akan menilai baik.

a. Alam dan Lingkungan dalam Kultur Jawa

Seperti yang telah dijelaskan bahwa hubungan makro dan mikrokosmos adalah
hubungan yang sangat kuat dan teratur. Manusia dalam pandangan kosmologi Jawa
merupakan pusat dari perputaran mikro dan makrokosmos. Hidup di bumi bagi mereka
dipandang sebagai bayangan belaka dari yang lebih tinggi dan pada kebenaran itu, setiap
individu harus menyerahkan diri.

Sejauh manusia merupakan ungkapan fisik dari tata kehidupan di semesta alam, ia
diberi tugas untuk mengendalikan badan, hawa nafsu, dan emosi-emosinya. Dengan
demikian, ia mewujudkan hidupnya secara indah disertai kewajibannya untuk menjaga
keselarasan dan keharmonisan dengan alam dan Tuhan.

Seperti yang diungkapkan oleh Mulder, bahwa dalam batinnya,masyarakat Jawa


membawa percikan dari hakikat kehidupan yang menjiwai alam raya dan bumi. Secara
mistik, ia merupakan mikrokosmos yang berhubungan dengan makrokosmos, yaitu Sang
Hidup. Dengan menguasai eksistensi lahiriah, ia membebaskan daya kekuatannya guna
mengembangkan hakikat batiniahnya dalam melatih rasanya agar ia lebih serasi dengan
kebanaran yang lebih tinggi.

Dengan demikian, penampakan lahiriah manusia tidak lagi berarti, dan segala
pengalaman hidup di dunia merupakan kenyataan yang harus diterima. Penerimaan ini
membebaskan seseorang untuk menyadari aku-nya yang sejati. Untuk itulah, seseorang harus
menyesuaikan rasa batinnya pada komunikasi intuitif dengan rahasia kehidupan, dan
akhirnya menjadi satu dengan hakikat kehidupan.
Mengendalikan sikpa lahiriah berguna untuk mencapai kesadaran diri. Dengan
demikian, menikmati keheningan batin, poros yang tidak bergerak ditengah-tengah dunia
lahir yang selalu berputar. Kehidupan batin merupakan integritas dan pengendalian diri,
sedangkan kehidupan lahir hanya sebagai pagar. Oleh karena itu, setiap orang memiliki
kemampuan untuk merangkul semesta alam, dan ini alas an pemikiran mistik Jawa berpusat
pada pribadi seseorang. Penyatuan dengan semesta bagi orang Jawa tidak sekedar dalam
konsep, tetapi merupakan bentuk konkret yang diwujudkan dengan peliharaan-peliharaan
yang memiliki symbol-simbol tertentu. Misalnya, hanya akan menumbangkan sebatang
pohon, mistik Jawa harus melakukan upacara-upara tertentu. Itu merupakan salah satu bentuk
penjagaan terhadap lingkungan.

Simbolisme dalam budaya Jawa, berkaitan erat bahkan tidak terpisahan dengan
agama danbudaya asli Jawa secara keseluruhn. Misalnya yang terdapat dalam symbol bahasa
yang berbentuk ramalan, sangat memengaruhi pola hidup orang Jawa, dan dijadikan sebagai
patokan dalam menjalani kehidupan. Bagaimana manusia harus berhati-hati untuk
menjalanni hidup sekarang, yangdiyakini sebagai zaman edan.

Sebagai sebuah refleksi dari budaya Jawa atau cermin dari kenyataan kehidupan, nilai
dan tujuan kehidupan, moralitas, harapan, dan cita-cita kehidupan. Melalui cerita wayang,
orang Jawa memberikan gambaran kehidupan tentang bagaimana hidup sesungguhnya dan
bagaimana hidup itu seharusnya.

Pemanfaatan tokoh wayang pun ternyata tidak terbatas di dalam rangkaian ceritanya,
tetapi ada kecenderungan pemanfaatan tokoh-tokoh wayang di luar cerita, yang dipakai
secara khusus oleh masyarakat untuk menghadirkan citra tertentu.

Mitologi wayang terutama tokoh semar dalam pembangunan budaya, social, dan
politik sangat erat hubungannya dengan orde baru. Dikalangan spiritualis Jawa, tokoh
wayang semar ternyata dipandang bukan sebagai fakta historis, tetapi lebih bersifat mitologi
dan simbolis tentang keesaan, yaitu suatu lambang dari pengejawantahan ekspresi, persepsi,
dan pengertian tentang ilahi yang menunjukkan pada konsepsi spiritual.
Oleh sebab itu, dari tokoh Semar wayang akan dapat dikupas, dimengerti, dan
dihayati sampai dimana wujud religi yang telah dilahirkan oleh kebudayaan Jawa. Gambar
tokoh Semar tampaknya merupakan symbol pengertian atau konsepsi dari konsep Ilahi.

Tokoh mistis ini kerap hadir pada cerita-cerita mutakhir dalam bentuk novel atau
drama. Kepopuleran tokoh Semar sebagai wacana tradisional tidak dapat diragukan lagi,
karena pada tokoh ini tergambar citra manusia-dewa yang menjadi representasi pada rakyat
jelata, perpaduan dunia laki-laki dan wanita, kearifan manusia, pembimbing moral para
ksatria, dan sebagainya.

Akan tetapi, citra demikian lambat laun menjadi terkontaminasi akibat dari
kepopulerannya itu. Artinya, kemunculan Semar tidak terbatas pada kerangka dasar wayang
purwa, tetapi juga dalam kehidupan modern sebagai symbol budaya modern. Pada
keadaannya, citra Semar tidak lagi utuh, tetapi sudah mengalami perubahan makna sesuai
dengan bentuk barang yang diperjualbelikan. Dengan demikian telah terjadi masifikasi,
proses pemassalan pada tokoh ini.

Semar Mencari Raga dan Semar Gugat, digambarkan tokoh Semar yang dekaden. Ia
kehilangan dan mempertanyakan jati dirinya. Masifikasi tokoh ini sebagai dampak dari
popularitasnya pada masyarakat. Dalam Semar Mencari Raga, Semar tidak ubahnya seperti
botol yang dapat diisi dengan cairan apa saja. Hal itu berkaitan dengan raga Semar yang
ditempati pleh roh-roh lain, sehingga begitu banyak tokoh Semar.

Kaitannya dengan masyarakat saat ini, banyaknya wajag Semar (tokoh ini mewakili
identitas rakyat jelata yang dekat dengan kesengsaraan social) pada masyarakat identik
dengan banyaknya kesengsaraan yang merebak. Dalam Semar Gugat, tokoh ini meminta
keadilan atas perilaku ksatria yang menjadi momongannya, Arjuna.

Arjuna telah memotong kuncung Semar—salah satu identitas diri Semar—sehingga


semar merasa terhina dan peristiwa itu merupakan wujud simbolik dari kesewenang-wenagan
para penguasa terhadap rakyat jelata. Pada Semar Mbahar Jati Diri, tokoh semar hadir secara
utuh dan membeberkan bagaiamana mengamalkan dan menghayati pancasila. Lakon ini sarat
akan pesan-pesan polotik pemerintah. Mitologi wayang dalam pembangunan budaya, social,
dan politik Indonesia tetap menjadi acuan pokok pemerintah orde baru.

Hal itu disebabkan oleh kuatnya penghayatan elit politik terhadap budaya Jawa.
Seringkali symbol dan idiom budaya dipakai dalam kehidupan sehari-hari menyebabkan
kurangnya makna simbolik dari symbol dan idiom tersebut. Masifikasi terhadap symbol dan
idiom budaya tersebut merupakan salah satu akibat dari pengeksposan secara besar-besaran
symbol atau idiom pada masyarakat. Masyarakat tidak memiliki jarak lagi dengan symbol
dan idiom. Akibat lainnya citra symbol dan idiom tidak bermakna lagi seperti seharusnya.

Hamper setiap orang yang mempelajari wayang mengakui bahwa didalamnya


mengandung simbolisme. Simbolisme tersebut merujuk adanya keterkaitan antara
makrokosmos dan mikrokosmos yaitu struktur alam batin dan dunia fisik yang ada
didalamnya.

Wayang tidak sekedar pertunjukan baying-bayang tetapi sebagai bayangan hidup


manusia. Dalam pertunjukan wayang dapat dinalar dan dirasakan kehidupan manusia mulai
dari lahir hingga mati. Dari pertunjukan wayang, dapat diperoleh pesan untuk hidup penuh
amal saleh guna mendapatkan ridha ilahi. Wayang juga dapat secara nyata menggambarkan
konsepsi hidup “sangkan paraning dumadi” dari mana manusia berasal dan kemana ia harus
kembali.

Selain sebagai ruwatan, pergelaran wayang dijadikan sebagai peringatan bagi yang
lupa, atau di Jawa disebut dengan pepadhang, yaitu penerangan bagi yang gelap mata dan
gelap hati. Biasanya, dalam setiap kali pertunjukan, sebelum pergelaran dimulai, terlebih
dahulu sang dalang memberikan gambaran suatu zaman yang bahagia atau yang disebut
dengan zaman Kertayuga. Saat itulah dalang menyanyikan situasi social manusia yang ideal.
“…nagari kang panjang-panjung, gemah-ripah, lohjinawi, murah sandang, pangan lan
papan, tata-titi-tentrem, kerja rahaja…” dan deterusnya.

Ketika tengah malam terjaga goro-goro, yaitu peristiwa kehancuran/peperangan.


Setelah goro-goro berlalu, perlahan-lahan dunia berjalan kea rah yang baik. Setting cerita
tersebut dikenal dengan istilah zaman kalabendu, yaitu siklus zaman, bahwa setiap
kehancuranakan mewujudkan wujud baru.

Dalam bukunya, Aji Sutarjo menuliskan bahwa irama temang menggambarkan siklus
kehidupan manusia dalam alam purwa, madya lan wusono (dunia awl, kini, dan akhir).
Selain berfungsi sebagai hiburan, seni wayang sarat akan kandungan nilai yang bersifat
sacral. Wayang merupakan bagian dari system kepercayaan masyarakat Jawa, yang di
dalamnya terkandung unsure-unsur ritual kepercayaan, do’a, pemujaan, dan persembahan
terhadap penguasa adi duniawi.

b. Hubungan Sosial Kemasyarakatan

Menjadi orang yang berbudaya berarti tahu akan tata tertib, baik dalam batin maupun
dalam sikap lahir.tata tertib tersusun secara hierarkis, dan ini diwujudkan dalam konsep
social kemasyarakatan ataupun keluarga, misalnya rasa hormat dalam berbahasa, memiliki
tingkatan-tingkatan tertentu.

Interaksi social yang dibangun adalah prinsip kerukunan dan prinsip hormat. Peinsip
kerukunan memuat perintah mutlak untuk mencegah adanya konflik, baik konflik individu,
social maupun konflik batin. Hal ini karena semua aspek kehidupan di jagad ini dibangun di
atas keselarasan dan keharmonisan, sedangkan prinsip hormat adalah membangun rasa
hormat terhadap orang yang lebih tua, lebih tinggi kedudukannya, atau menghormati
terhadap alam sekitarnya, bahkan hormat terhadap batinnya sendiri.

Mempertahankan hubungan yang tertib, sama sekali tidak berhubungan dengan


kemesraan, tetapi berfungsi sebagai strategi yang berpusat pada diri sendiri guna memajukan
kelangsungan, baik abgi pribadi sendiri maupun masyarakat. Tekanan terhadap tata tertib,
bertujuan agar manusia dapat hidup dengan tenteram. Oleh karena itu, orang harus dapat
hidup dengan supel terhadap orang lain, melakukan toleransi, dan menaati kesopanan.

Kebiksanaan ini menggambarkan adanya pengendalian diri, kepekaan terjadap


pendapat orang lain, kesediaan yntuk tidak menonjolkan diri atau bahkan meremdahkan diri.
Semangat pengekangan diri cepat juga dicapai dalam proses sosialisai yang tampaknya
terarah pada penguasaan diri serta penampiilan diri sebagai seorang yang dapat
menyesuaikan diri. Salah satu perasaan yang sejak kecil ditanamkan dalam jiwa seorang anak
ialah rasa malu yang berfungsi mengontrol penampilan lahiriah seseorang.

Hubungan social orang Jawa juga dibentuk karena adanya tepo sliro, artinya
mengukur kepada diri sendiri sebelum sesuatu dilakukan terhadap orang lain. Nasihat ini
dapat diartikan lain bahwa, “jangan melakukan sesuatu kepada orang lain, yang tidak ingin
dilakukan kepada diri sendiri, jangan melukai orang lain, jangan mencampuri urusan orang
lain” dan sebagainya.

Karena kebanyakan orang Jawa khususnya, dan kebanyakan orang Timur, lebih
mementingkan aspek rasa dibandingkan dengan, rasio, “rasa” dalam filsafat Jawa dijadikan
sebagai ikatan atau penghubung bagi perjalanan mistik seseorang. Paul Stange mengatakan
bahwa rasa selain pengindraan fisik dalam bentuk emosi, juga sebagai penghayatan mistik
yang terdalam, yaitu sebagai rangkaian yang menghubungkan antara makna yang dangkal
dengan taraf batin yang dalam.

Dalam hubungannya dengan social kemasyarakatan, orang Jawa tidak melepaskan


diri dari unsure-unsur mistis. Karena sejak mula, yaitu konsep hidupnya bernuansa mistik,
begitupula dengan hubungannya dengan alam dan lingkungan. Konsep tersebut dijalankan
karena masyrakat Jawa pada umumnya mengharapkan adanya ketenangan, ketentraman, dan
kedamaian, guna mewujudkan harmonisasi ataukeseimbangan diri dengan alam dan Tuhan.
Itulah wujud yang harus selalu ditampakkan dalam segala aspek kehidupannya.

F. Falsafat Ha Na Ca Ra Ka

Filsafat ha-na-ca-ra-ka yang diungkapkan Paku Buwana IX dikutip oleh Yasadipura


sebagai bahan Sarasehan yang diselenggarakan Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional
Yogyakarta pada tanggal 19 Juni 1992. Dalam makalah itu dikemukakan oleh Yasadipura
bahwa Paku Buwana IX memberikan ajaran (filsafat hidup) berdasarkan aksara ha-na-ca-ra-
ka itu sebagai berikut:

Ha-Na-Ca-Ra-Ka berarti ada “utusan”, yakni utusan hidup, berupa napas yang
berkewajiban menyatukan jiwa dengan jasad manusia. Maksudnya, ada yang memercayakan,
ada yang dipercaya, dan ada yang dipercaya untuk bekerja. Ketiga unsure itu adalah Tuhan,
manusia, dan kewajiban manusia (sebagai ciptaan).

Da-Ta-Sa-Wa-La berarti manusia setelah diciptakan sampai dengan data “saatnya”


(dipanggil) tidak boleh sawala “mengelak” manusia (dengan segala atributnya) harus
bersedia melaksanakan, menerima, dan menjalankan kehendak Tuhan.

Pa-Dha-Ja-Ya-Nya berarti benyatukan zat pemberi hidup (Khalik) dengan yang diberi
hidup (makhluk). Maksudnya, padha “sama” atau sesuai, jumbuh, cocok tunggal batin yang
tercermin dalam perbuatan yang berdasarkan keluhuran dan keutamaan. Jaya itu “menang”,
unggul, sungguh-sungguh dan bukan “menang-menangan” (sekedar menang) atau menang
tidak sportif.

Ma-Ga-Ba-Tha-Nga berarti menerima segala yang telah diperintahkan dan yang dilarang
oleh Tuhan Yang Mahakuasa. Maksudnya, manusia harus pasrah, sumarah pada garis kodrat,
meskipun manusia diberi hak untuk mewiradat, berusaha untuk menanggulanginya.
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Suku Jawa adalah suku bangsa Indonesia yang paling banyak jumlahnya, menempati
seluruh daerah Jawa Tengah, Jawa Timur dan sebagian Jawa Barat mereka menggunakan
bahasa jawa secara keseluruhan, hanya saja terdapat perbedaan dialek di daerah tertentu.
Suku bangsa jawa termasuk suku bangsa yang telah maju kebudayaannya, karena sejak
zaman dahulu mereka telah banyak mendapat pengaruh dari berbagai kebudayaan, seperti :
kedubayanan Hindu, Budha, Islam dan Eropa

B. Saran
Jika ada yang kurang jelas, penulis dalam hal ini kelompok enam menyarankan agar
pembaca mencari referensi lain terkait dengan pembahasan yang sama atau pembaca dapat
melakukan Tanya jawab dengan pakar atau ahli yang telah berpengalaman dalam bidang ini.
DAFTAR PUSTAKA

Alfan, Muhammad & Nuraeni, H.Gustini.(2012).Studi Budaya di Indonesia,Bandung:


CV. Pustaka Setia.

http://danu-umbara18.blogspot.co.id/2013/04/kebudayaan-suku-jawa-di-indonesia.html.
Diakses pada tanggal 9 Oktober 2017. Pukul 21.28 WIT.

http://www.boombastis.com/kebudayaan-jawa-turun-temurun/76156. Diakses pada


tanggal 6 Oktober 2017. Pukul 21.33 WIT.

Anda mungkin juga menyukai