Anda di halaman 1dari 19

MAKALAH

TRADISI SLAMETAN KEMATIAN DALAM BUDAYA JAWA


Untuk Mmemenuhi Mata Kuliah Filsafat Budaya Jawa
Dosen Pengampu Nurul Baiti Rohmah, S.S., M. Hum

Disusun Oleh:

A Raziq Nazmi 12307183032


M Afifudin Khoirul A 12307183047
Ibrahim Saleareh 12307183064

SEJARAH PERADABAN ISLAM

FAKULTAS USHULUDDIN ADAB DAN DAKWAH

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI TULUNGAGUNG

MARET 2020

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT. bahwa penulis telah menyelesaikan
tugas mata kuliah Filsafat Budaya Jawa dengan membahas “Tradisi Slametan Kematian
Dalam Budaya Jawa”. Dalam penyusunan tugas bahwa kelancaran dalam penyusunan materi
ini tidak lain berkat bantuan, dorongan dan bimbingan orang tua, atau materi ini, tidak sedikit
hambatan yang kami hadapi. Oleh karena itu kami mengucapkan terima kasih kepada :

1. Prof. Dr. Maftukhin, M.Ag. selaku Rektor IAIN Tulungagung yang telah memberikan
penghargaan kepada kami dan memungkinkan kami memakai semua fasilitas yang ada
di IAIN Tulungagung untuk menunjang kelancaran proses perkuliahan kami.
2. Nurul Baiti Rohmah, S.S., M. Hum selaku dosen pengampu mata kuliah Filsafat
Budaya Jawa yang sangat tulus dan ikhlas memberikan bimbingan dan pembelajaran
kepada kami.
3. Teman-teman yang selalu memberi semangat dan dukungan agar selalu senantiasa
semangat dalam mengerjakan makalah ini.

Semoga materi ini dapat bermanfaat dan menjadi sumbangan pemikiran bagi pihak yang
membutuhkan, khususnya bagi kami sehingga tujuan yang diharapkan dapat tercapai, Amiin.

Tulungagung, 6 Maret 2020

Penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...............................................................................................................................ii
DAFTAR ISI.............................................................................................................................................iii
BAB I PENDAHULAN.............................................................................................................................1
A. Latar Belakang..............................................................................................................................1
B. Rumusan Masalah.........................................................................................................................2
C. Tujuan............................................................................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN...........................................................................................................................3
A. Jenis-Jenis Slametan Kematian....................................................................................................3
1) Nelung Ndina..............................................................................................................................3
2) Mitung Ndina..............................................................................................................................3
3) Matang Puluh Ndina..................................................................................................................4
4) Nyatus Ndina..............................................................................................................................4
5) Mendhak Pisan...........................................................................................................................6
6) Mendhak Pindho........................................................................................................................6
7) Nyewu Ndina...............................................................................................................................6
B. Fungi dari Ritual Slametan...........................................................................................................8
C. Makna dari Bentuk Slametan untuk Orang yang Sudah Meninggal........................................9
BAB III PENUTUP.............................................................................................................................12
A. Kesimpulan..................................................................................................................................12
B. Saran.............................................................................................................................................13
C. Lampiran Pertanyaan.................................................................................................................13
Daftar Pustaka.........................................................................................................................................16

iii
BAB I PENDAHULAN

A. Latar Belakang
Slametan sejatinya adalah sebuah budaya yang sudah berlangusng lama di
Indonesia. Acaranya biasanya memanjatkan doa keselamatan dan diakhiri makan
bersama. Slametan menandakan keunikan Islam di Indonesia. Meski sudah ada dan
dijalankan sebelum Islam berkembang di Indonesia, selamatan tetaplah bukanlah bentuk
baru dalam ritual Islam. Selametan sebagai kembang dari peradaban Islam di Indonesia
sesungguhnya punya nilai yang agung dan sangat dibutuhkan oleh manusia. Kata
selametan, sebagaimana banyak bahasa Indonesia lain berasal dari bahasa serapan, Arab;
salamah yang berarti selamat, tidak dalam bahaya.
Dalam sebuah sejarah perkembangan kebudayaan masyarakat Jawa mengalami
akulturasi dengan berbagai bentuk kultur yang ada.oleh karena itu, corak dan bentuk di
warnai unsur budaya yang beranekaragam. Hal ini seperti masyarakat Jawa yang
mempunyai budaya yang beranekaragam. Hal ini disebabkan oleh kondisi sosial budaya
masyarakat antara satu dengan yang lain berbeda. Kebudayaan sebagai cara berpikir
manusia yang membentuk kesatuan sosial dalam suatu ruang dan waktu. Salah satu unsur
budaya Jawa yang menonjol adalah adat istiadat.1
Di kalangan masyarakat Jawa terdapat kepercayaan adanya hubungan yang sangat
baik antara manusia dengan hal yang ghaib. Oleh karena itu perlu dilakukan berbagai
ritual ghaib. Menurut Clifoord Greetz bahwa hubungan manusia dengan hal yang ghaib
dalam dimensi kehidupan termasuk cabang kebudayaan. Juga, setelah kita
menyelenggarakan slametan, arwah setempat tidak akan mengganggu kita, tak akan
membuat kita merasa sakit, sedih, atau bingung. Sasaran- sasaran itu bersifat negatif dan
kejiwaan-ketiadaan perasaan agresif terhadap orang lain, ketiadaan kekacauan emosional.
Keadaan yang didambakan adalah slamet.2
Salah satunya adalah tradisi upacara Slametan setelah meninggal seperti Nelung
Ndina, Mitung Ndina dll. Tadisi ini merupakan implementasi kepercayaan mereka
terhadap adanya hubungan yang baik antara manusia dengan mereka yang ghaib. Makna
1
Tim Direktorat Jendral Pendidikan Islam Kemenag RI, Ensiklopedi Islam Nusantara Edisi Budaya ( Jakarta: Kemenag RI,
2018). Hal 465.
2
Clifford Greetz, Abangan, Santri, Priyayi: Dalam Masyarakat Jawa (Depok: Komunitas Bambu, 2014). Hal 8.

1
upacara dalam hal ini lebih mengarah kepada kronologis ritual slametan. Masyarakat
Jawa mengartikan ini guna untuk memanjatkan doa memohon keselamatan bagi yang
meninggal dan bagi yang ditinggal.

B. Rumusan Masalah

a) Bagaimana bentuk slametan untuk orang yang sudah meninggal?


b) Bagaimana fungi dari ritual slametan?
c) Bagaimana makna dari bentuk slametan untuk orang yang sudah meninggal?
C. Tujuan

a) Mengetahui jenis-jenis bentuk dari slametan kematian


b) Mengetahui fungsi dari ritual slametan tersebut
c) Mengetahui makna dari bentuk slametan

2
BAB II PEMBAHASAN

A. Jenis-Jenis Slametan Kematian

Dalam keterkaitanya dengan tradisi Slametan kematian bagi orang Jawa


terdapat beberapa komponen dalam ritual kematian. Pada saat melaksanakan
Slametan kematian tidak sembarangan dalam persoalan waktu. Tradisi Slametan
kematian atau orang pedesaan biasa menyebutnya tahlil yang berkaitan dengan nilai
angka dan kandungan makna tersendiri didalamnya. Masyarakat Jawa membagi
Slametan kematian ini menjadi beberapa jenis dari Nelung Ndina sampek Nyewu.

Jenis hari tersebut mempunyai arti penting yang mendasari tradisi Slametan
kematian atau yang biasa disebut dengan Tahlilan. Jenis-jenis tersebut diantaranya
yaitu:

1) Nelung Ndina
Slametan tiga hari setelah meninggal orang Jawa menyebut dengan
Nelung Ndina. Pelakasanaan ini biasanya dilaksanakan malam hari
menjelang hari dan pasaran ke tiga. Selametan Nelung Ndina dimaksudkan
sebagai ahli waris untuk penghormatan kepada roh yang sudah meninggal.
Dalam hal ini masyarakat Jawa menyakini bahwa roh orang yang
meninggal masih berada di dalam rumah. Akan tetapi roh tersebut sudah
tidak berada di tempat tidur lagi. Arwah sudah mulai berkeliaran untuk
mencari jalan agar dengan mudah meninggalkan rumah dan anggota
keluarga dengan tenang.3
2) Mitung Ndina
Slametan tujuh hari kematian masyarakat Jawa menyebutnya
dengan Mitung Ndina. Slametan ini bertujuan untuk penghormatan
terhadap roh setelah tujuh hari mulai keluar dari rumah. Itulah sebabnya
secara simbolis ahli waris membuka genting atau jendela agar sebelum
Slametan dimulai agar roh yang meninggal dapat keluar dengan lancar dari
3
Amru Almu’tasim dan Jerry Hendrajaya, “Tradisi Slametan Kematian Nyatus dan Nyewu: Implikasi Nilai Pluralisme Islam
Jawa ”. Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 17, No. 2, 2019: 431-460.” Hal 436.

3
rumah. Roh yang sudah keluar rumah akan berhenti sejenak di pakarangan
halaman sekitar. Untuk mempermdah perjalanan roh meninggalkan
pekarangan ahli waris membantu dengan acara Tahlilan.
Pada malam terakhir, pembacaan tahlil ditutup dan sekaligus
Slametan Mitung Ndina. Biasanya Slametan pada hari ke tujuh ini jamaah
tahlil diberi berkat yang berisi laukpauknya.
3) Matang Puluh Ndina
Tradisi Slametan Matang Puluh Ndina hal ini bermaksud sebagai
upaya untuk mempermudah perjalanan roh menuju ke alam kubur. Ahli
waris membantu perjalanan itu dengan mengirim Do’a yaitu dengan
bacaan Tahlil dan Slametan. Dengan ubarampe Slametan yang
bermacam-macam itu dimaksudkan sebagai sajian kepada roh dan jasad
yang harus disempurnakan adalah berupa darah, daging, sumsum, jeroan,
kuku, rambut, tulang dan otot.
Fungsi dari Slametan Matang Puluh Ndina juga untuk memberi
penghormatan kepada roh yang meninggal yang mulai keluar rumah dari
pekarangan (Sanjabaning Wangon) dan akan menuju ke alam kubur. Roh
mulai mencari jalan yang lurus dan bersih yaitu jalan mana yang
keberangkatan jenazah sudah disapu. Jika jalanya sudah bersih, maka
tidak ada hal yang menghambat untuk menuju alam kubur.
Hal seperti ini sesuai dengan esensi Slametan yang sebenarnya,
yaitu sebagai upaya pemujaan pada roh orang yag meninggal.
4) Nyatus Ndina
Tradisi selamatan Nyatus Ndina dimaksudkan untuk
menyempumakan semua hal yang bersifat badan wadhag. Di alam kubur
ini, roh masih sering kembali ke dalam keluarga sampai upacara
selamatan tahun pertama (Mendhak Pisan) dan peringatan tahun kedua
(Mendhak Pindho). Ubarampe selamatan Nyatus Ndina dengan sajian
selamatan Nelung Ndina, Mitung Ndina, Matang Puluh Ndina.
Perbedaannya pada selamatan Nyatus Ndina sudah menggunakan pasung,
ketan, dan kolak.

4
Pasung yang dibuat seperti gunung (payung) dari daun nangka dan
diisi bahan dari gandum. Maknanya adalah agar yang meninggal
mendapatkan payung (perlindungan). Karena orang yang meninggal akan
melewati jalan panjang dan panas, maka untuk dia dibuatkan ketan
sebagai alas (lemek) agar kakinya tidak panas. Ketan juga bermakna
raketan artinya mendekatankan diri kepada Tuhan. Sajian juga dilengkapi
kolak yang berasal dari kata khaliq atau kolaq (pencipta). Dengan sajian
semacam ini, diharapkan orang yang meninggal akan dengan lancar
menghadap Sang Khalik. Penafsiran semacam itu menunjukkan bahwa
ada perpaduan antara Hindu-Jawa dengan Islam yang pada prinsipnya
orang Jawa mempunyai dambaan untuk kembali kepada Tuhan dalam
keadaan tata-titi-tentrem (tenang).
Hal ini seperti halnya dikemukakan Geertz bahwa kondisi
tenteram dan selamat adalah dambaan setiap individu dan masyarakat
Jawa. Langkah untuk mencapai keselamatan yang selalu ditempuh adalah
menjaga kesatuan kekuatan adikodrati, yakni bahwa dalam rangkaian
kosmos itu dihuni oleh makhlukmakhluk seperti roh leluhur, dewa, jin,
yang mbaureksa, lelembut. dhemit, thuyul, dan sebagainya. Makhluk-
makhluk ini dimungkinkan berasal dari roh orang meninggal yang salah
kedaden. Seperti halnya, jika ada orang Jawa yang mati konduran
(meninggal karena melahirkan), mati menggantung diri, dan mati-mati
yang lain yang tidak wajar. Masih ada yang percaya bahwa roh-roh orang
mati tersebut akan berkeliaran (gentayangan) di sekitar manusia.
Uraian tersebut menunjukkan bahwa tradisi selamatan kematian
merupakan upaya untuk menghubungkan diri orang yang hidup dengan
roh orang yang meninggal. Upaya ini menggambarkan bahwa sebagian
masyarakat Jawa percaya bahwa roh orang yang telah mati itu masih
“hidup” di alam semesta. Roh tersebut perlu dijaga dan diupayakan agar
tidak mengganggu, bahkan diharapkan dapat mendatangkan kebahagiaan.

5
5) Mendhak Pisan
Upacara mendhak pisan merupakan upacara yang diselenggarakan
ketika orang meninggal pada setahun pertama. Tata cara pelaksanaan
tradisi selamatan kematian pada mendhak sepisan sama dengan tradisi
selamatan kematian lainnya . Fungsi selamatan ini adalah untuk
mengingat kembali akan jasa-jasa orang yang telah meninggal. Satu
tahun setelah kematian (mendak pisan) dengan rumus patsarpat, yaitu
hari ke empat dan pasaran ke empat.4
6) Mendhak Pindho
Medhak pindho atau selamatan setelah dua tahun kematian
Slamatan Mendhak Pindho dimaksudkan untuk menyempurnakan semua
kulit, darah dan semacamnya. Pada saat ini jenazah sudah hampir luluh,
tinggal tulang saja. Pada saat ini juga dilakukan pengiriman doa dengan cara
tahlil dan sajian selamatan. Ubarampe selamatan sarana dengan selamatan
sebelumnya. Tradisi selamatan kematian sangat mungkin merupakan hasil
akumulasi kepercayaan masyarakat Jawa dengan kepercayaan lain, seperti
adanya pengaruh Hindu, Budha, dan Islam. Akibat dari pembauran
kepercayaan ini dinamakan sinkretisme Jawa.5
Hal ini seperti halnya juga dikemukakan Geertz bahwa di Jawa
sering terjadi manifestasi Islam sinkretik dalam arti, umpamanya,
kepercayaan dan ritual-ritual Jawa tetap dipertahankan sebagai ritual Islam
setempat. Hasil sinkretik itu telah mewarnai kehidupan masyarakat Jawa
sehingga hampir sulit dipisahkan antara kepercayaan asli dan kepercayaan
yang mempengaruhinya
7) Nyewu Ndina
Nyewu boleh dikatakan sebagai puncak dari rangkaian tradisi
slamatan kematian. Pada saat ini orang Jawa meyakini bahwa roh manusia
4
Abdul Karim, “Makna Ritual Kematian Dalam Tradisi Islam Jawa”. Jurnal Sabda Volume 12, Nomor 2, Desember 2017. Hal
167.
5
Amru Almu’tasim dan Jerry Hendrajaya, “Tradisi Slametan Kematian Nyatus dan Nyewu: Implikasi Nilai Pluralisme Islam
Jawa ”. Hal 439.

6
yang meninggal sudah tidak akan kembali ke tengah-tengah keluarganya
lagi. Roh tersebut telah akan meninggalkan keluarga untuk menghadap
Tuhan. Tradisi slamatan kematian atau yang biasanya disebut tahlilan pada
saat dilaksanakan lebih besar dibanding selamatan sebelumnya, karena itu
untuk pembacaan kalimat tayyibah (tahlil) pun peserta yang diundang juga
jauh lebih banyak.

Tradisi di atas mempunyai tujuan untuk memberikan tanda makam


sebagai wujud penghormatan mereka terhadap keluarga mereka yang telah
meninggal. Pada saat jenazah dikebumikan sampai dengan tradisi Nyatus Nyewu
dilaksanakan, makam hanya berbentuk gundukan tanah dengan papan nisan di kedua
ujungnya.6 Unsur-unsur animisme-dinamisme hingga kini pengaruhnya masih
mewarnai sendi-sendi kehidupan mayarakat, terutama dalam ritualitas kebudayaan.
Hal ini bisa diamati pada seremonial seremonial budaya dalam masyarakat masih
menunjukkan akan kepercayaannya terhadap makhluk supranatural. Jika ditelusuri
sejak masuknya Islam ke Jawa sekitar abad ke-7. 7 sampai adanya tradisi Nyatus
Nyewu yang masih dilakukan di abad 20.

Bagi orang Jawa, hidup ini penuh dengan upacara. Upacara itu berkaitan
dengan lingkaran hidup manusia sejak dari kandungan ibunya, kanak-kanak, remaja,
dewasa sampai dengan saat kematian dan setelahnya, atau juga upacara-upacara yang
berkaitan dengan aktivitas kehidupan sehari-hari. Upacara-upacara itu semula
dilakukan dalam rangka untuk menangkal pengaruh buruk dari daya kekuatan gaib
yang tidak dikehendaki yang akan membahayakan bagi kelangsungan kehidupan
manusia. Dalam kepercayaan lama, upacara dilakukan dengan mengadakan sesaji
yang disajikan kepada daya-daya kekuatan gaib (roh-roh, mahluk halus, dewa-dewa)
tertentu. Tentu dengan upacara itu harapan pelaku adalah agar hidup senantiasa
dalam keadaan selamat. Kentalnya warna Animism dan Dinamisme dalam tradisi
Slametan Kematian tidaklah kemudian dimaknai sebagai bentuk sinkretis, melainkan
suatu bentuk dari kemampuan adaptasi kultural yang dimiliki oleh masyarakat

6
Koentjaraningrat, Kebudayaan Jawa (Jakarta: Balai Pustaka, 1994). Hal 361.
7
Darori Amin, Islam Dan Kebudayaan Jawa, (Yogyakarta: Gama Media, 2000). Hal 28.

7
setempat untuk mempertahankan nilai-nilai luhur yang melembaga dalam ritualitas
kebudayaan masyarakat.8

B. Fungi dari Ritual Slametan

Bagi masyarakat Jawa hidup penuh dengan upacara baik upacara yang
berkaitan dengan lingkungan hidup manusia itu sendiri sejak masih dalam kandungan
ibu, lahir kanak-kanak, remaja bahkan sampai pada kematianya atau upacara yang
berkaitan dengan aktivutas kehidupan sehari-hari dalam mencari nafkah misalnya
khususnya bagi para petani, pedagang, dan nelayan dan ada juga upacara yang
berhubungan dengan tempat tinggal seperti membangun gedung, meresmikan rumah
dll.9 Seperti halnya kematian, masyarakat Jawa pada umumnya menyakini bahwa roh
tersebut beberapa hari setelah meninggal akan pergi dari rumah dan pada waktu-
waktu tertentu keluarganya akan mengadakan Slametan untk menandai jarak roh
jarak yang ditempuh roh itu menuju alam roh tempat yang abadi kelak.

Masyarakat Jawa pada umumnya mempunyai adat ataupun kebiasaan


mengadakan Slametan orang mati. Slametan yang dimaksud adalah dengan cara
berdoa secara bersama-sama dengan mengirimkan doa kepada orang yang meninggal.
Yang di mana Slamatan ini mengakar kepada Islam sebagai agama yang salam penuh
dengan kedamaian dan kesejahteraan.

Sebagai bentuk dari ritual, selametan memiliki unsur-unsur tertentu, yaitu


kegiatan makan seremonial, benda-benda simbolis, pidato, dan doa bersama. Bila
diuraikan secara lebih lanjut, unsur-unsur dalam upacara selametan dapat kita
pisahkan antara yang hidup dan mati. Fungsi dari upacara selametan kematian ini
menjadi dua, yaitu fungsi sosial dan fungsi ritual.

Dalam fungsi sosial ini yang dimaksud adalah bagaimana masyarakat


menghadiri ritual tersebut dalam bentuk Tahlilan dimana masyarakat berkumpul
untuk mendo’akan si arwah. Disamping itu fungsi sosial juga berfungsi sebagai
penguatan tali silaturrahmi. Sedangkan dalam hal fungsi Ritual Slametan kematian

8
Franz Magnis-Suseno, Etika Jawa: Sebuah Analisa Falsafi Tentang Kebijaksanaan Hidup Jawa (Jakarta: Gramedia, 1984). Hal
1.
9
Darori Amin, Islam Dan Kebudayaan Jawa. Hal 131.

8
sendiri berrfungsi sebagai bentuk untuk kirim do’a ke si arwah tersebut agar diampuni
dosanya yang berlalu dan di selamatakan dari siksa kubur dsb. Karena upacara ini
seolah menjembatani antara dunia yang hidup dengan yang mati untuk saling
melakukan komunikasi.

C. Makna dari Bentuk Slametan untuk Orang yang Sudah Meninggal


Tradisi yang dilakukan oleh banyak masyarakat Jawa, khususnya dalam
menghadapi peristiwa kematian hamper sama persis dengan apa yang digambarkan
oleh Cliford Geertz dalam bukunya The Religion of Java. Bahwa ketika terjadi
kematian di sebuah keluarga, maka hal yang pertama harus dilakukan adalah
memanggil modin (kiyai) dan selanjutnya menyampaikan berita kematian tersebut di
sekitar daerahnya. Ketika kematian terjadi pagi atau siang maka pemakaman
dilaksanakan secepat mungkin sesudah kematian. Tetapi ketika berita itu datang
malam hari maka bisa dilaksanakan ketika keesokan harinya. Segera setelah adanya
pengumuman para warga dan tetangga akan lekas pergi ke rumah orang yang
meninggal tersebut. Setiap perempuan membawa sebaki beras, yang telah diambil
sejumput oleh orang yang sedang berduka untuk disebarkan ke luar pintu, kemudian
segera ditanak untuk slametan. Orang laki-laki membawa alat-alat menggali tanah
dan pembuat nisan serta usungan/keranda untuk membawa mayat ke tempat
pemakaman, dan lembaran papan untuk diletakan di liang lahad. Dalam kenyataannya
hanya sekitar beberapa orang saja yang membawa atau keluarga dari orang yang
meninggal yang mengurus, selebihnya hanya akan sekedar datang dan berdiri sambil
berbincang di sekitar halaman.10
Dalam tradisi masyarakat Islam Jawa kematian seseorang dalam ritual
pemakamannya pertama terdapat ritual semacam pembekalan bagi ruh yang menuju
fase kehidupan alam yang baru. Kepercayaan bahwa ruh itu tidak akan pernah mati,
oleh karena itu pembekalan terhadap sesorang yang sudah meninggal dapat dirasakan
oleh ruh orang tersebut. Diantaranya adalah dengan dikumandangkannya adzan dan
iqomah serta talqin setelahnya mayat diletakan di liang lahat dan ditimbun dengan
tanah. Modin membacakan talqin yang merupakan rangkaian pidato pemakaman yang

10
Clifford Greetz, Abangan, Santri, Priyayi: Dalam Masyarakat Jawa. Hal 91-92.

9
ditujukan kepada almarhum, pertama-tama dalam bahasa Arab dan kemudian dalam
bahasa Jawa.11
Upacara selamatan tiga hari memiliki arti penghormatan pada ruh orang yang
meninggal. Bahwa keyakinan ruh orang yang meninggal masih berada di dalam
rumah dan sedang berudaha mencari jalan untuk meninggalkan rumah. Selamatan
hari ketujuh berarti melakukan penghormatan terhadap ruh yang mulai akan
meninggalkan rumah. Dalam selamatan dari hari pertama sampai ketujuh dibacakan
tahlil dan doa-doa, agar orang yang sudah meninggal dosa-dosannya diampuni dan
tenang di alam kubur. Upacara selametan empat puluh hari, dimaksudkan untuk
memberi penghormatan ruh yang sudah mulai keluar dari pekarangan, dan ruh sudah
mulai bergerak menuju alam kubur. Upacara selametan seratus hari, untuk memberi
penghormatan terhadap ruh yang sudah berada di alam kubur. Di dalam alam kubur
ini ruh masih sering pulang ke rumah keluarganya sampai upacara peringatan tahun
pertama dan kedua dan benar-benar tidak akan kembali lagi setelah peringatan seribu
hari kematiannya.12

Selanjutnya ada peringatan tahunan dan kematian seseorang yang disebut


haul. Biasanya diperingati untuk seorang alim ulama, kiyai atau sesepuh. Mempunyai
arti untuk mengenang kembali memori perjalanan beliau yang telah meninggal untuk
sepenuhnya dijadikan suri tauladan dan contoh dalam aspek kebaikan dalam
kehidupan masyarakat. Penghormatan ini salah satu tujuannya dalan memberi
penghormatan atas jasa-jasanya terhadap keluarga ataupun masyaraakat dan
agamanya. Tradisi lain yang serupa adalah pembacaan surah Yasin dan tahlil rutin
setiap malam jumat yang dikhususkan kepada ahli kubur/orang yang sudah
meninggal, dengan tujuan untuk berdoa memohonkan ampun bagi ahli kubur dan
mendapatkan tempat dan kasih Tuhan di alam kubur. Atau ada lagi peringatan
penghormatan kepada orang yang sudah meninggal lebih dari seribu hari yakni,
dengan menyelenggarakan acara kirim doa. Keluarga mengundang tetangga atau
masyarakat untuk datang ke rumah setelah magrib atau isya’ dengan mengadakan

11
Clifford Greetz, Abangan, Santri, Priyayi: Dalam Masyarakat Jawa. Hal 95.
12
Layungkuning. Sangkan Paraning Dumadi Orang Jawa dan Rahasia Kematian. (Yogyakarta : Penerbit Narasi). Hal 118-119.

10
pembacaan Yasin dan Tahlil yang berkahnya dikhususkan untuk arwah ahli kubur.
Acara kirim doa ini dapat dilaksanakan sewaktu-waktu sesuai keinginan keluarga.

11
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan

Kematian di dalam kebudayaan hampir pasti disertai acara ritual. Ada berbagai
alasan mengapa kematian harus disikapi dengan acara ritual. Masyarakat Jawa
memandang kematian bukan sebagai peralihan status baru bagi orang yang mati.
Segala status yang disandang semasa hidup digantikan dengan citra kehidupan luhur.
Dalam hal ini makna kematian bagi orang Jawa mengacu kepada pengertian kembali
ke asal mula keberadaan (sangkan paraning dumadi). Kematian dalam budaya Jawa
selalu dilakukan acara ritual oleh yang ditinggal mati seperti selamatan kematian.
Setelah orang meninggal biasanya dilakukan upacara doa dalam Tahlil

Dalam upacara kematian terdapat waktu-waktu untuk memperingati


meninggalnya seperti Nelung Ndina, Mitung Ndina, Matang Puluh Ndina, Nyatus,
Mendhak Pisan, Mendhak Pindho dan Nyewu. Semua ritual tersebut memiliki makna
tidak hanya waktunya saja yang memiliki makna, tetapi juga berkat dan jajan yang
diberikan kepada jamaah tahlil juga memiliki filosofi Jawa sendiri. Pada Slametan
Kematian ini memiliki dua fungsi yaitu fungsi sosial dan fungsi ritual. Dalam hal
sosial yang dimasud adalah dapat berkumpul dengan para tetangga untuk mengirim
do’a kepada roh dan juga dapat memperkuat tali persaudaraan. Sedangkan dalam
fungsi ritual berfungsi sebagai bentuk untuk kirim do’a ke si arwah tersebut.

Ritual kematian yang dilakukan oleh masyarakat Islam Jawa sesungguhnya


merupakan adat masyarakat Jawa sebelum masuknya agama Islam. Tradisi ini
kemudian mengalami proses akulturasi budaya antara Islam dan Jawa, sehingga
nampak tradisi tersebut adalah tradisi yang khas Islam Jawa yang ada di Indonesia dan
tidak dimiliki oleh masyarakat yang ada di negara lainnya. Sinergi budaya Islam dan
Jawa ternyata membentuk sebuah kebudayaan baru yang memiliki makna dan tujuan-
tujuan tertentu sebagaimana penulis telah uraikan.

12
B. Saran
Kami menyadari bahwa makalah ini jauh dari kesempurnaan. Banyak sisi
kekurangan yang memerlukan perbaikan. Oleh karena itu, maka kritik & saran
demi baiknya makalah ini sungguh diharapkan. Semoga makalah ini bisa menjadi
manfaat untuk pembacanya dan kami sendiri sebagai penulis.

C. Lampiran Pertanyaan

1) Mengenai awal mula tradisi ini, mulai Nelung ndina, sampai pada Nyewu
Ndina. Apakah dari awal sejak zaman sebelum Islam masuk di Nusantara
seperti itu? Lalu bagaimana peranan Islam dalam sinkretisasi tradisi ini ?
Apakah hanya sebatas menambahi kalimat-kalimat tauhid agar terlihat
Islami, atau mungkin ada yg lain?
Jawab: tradisi ini sudah ada sebelum islam masuk ke Nusantara
khususnya Indonesia. Kemudian setelah islam masuk ke kwasan Indonesia
dengan peranan Sunan Bonang tradisi Pancamakara (Slametan sebelum
Islam) ini dirubah menjadi tardisi slametan ala Islam dengan mengubah
seluruh tatanan yang ada di upacara Pancamakara termasuk makanan,
bacaan dll diselaraskan dengan nilai-nilai keislaman.
2) Di makalah kan disebutkan "Ketika kematian terjadi pagi atau siang maka
pemakaman dilaksanakan secepat mungkin sesudah kematian. Tetapi
ketika berita itu datang malam hari maka bisa dilaksanakan ketika
keesokan harinya" seperti itu nah apakah hal tersebut ada maknaya nya
tersendiri knp harus seperti itu?

Jawab: Ada beberapa masyarakat di daerah tertentu yang tetap


melaksanakan pemakaman pada malam hari bahkan tengah malam.
Karena mereka meyakini bahwa proses pemakaman tidak boleh ditunda
terlalu lama. Hal ini juga didukung peran masyarakat yang dengan
sukarela berkenan membantu proses pemakaman dan juga alat-alat
pendukung yang cukup lengkap.

13
3) Perlukah tradisi slametan itu dilaksanakan?. Dan semisal tradisi slametan
itu tdk dilakukan, dampak apa yang akan kita terima, misalkan mendapat
kesialan dll?

Jawab: Tergantung masyarakat itu menyakini atau tidak. Slametan


sendiri merupakan tradisi masyarakat yang dilaksanakan bagi
menyakininya, jika tidak menyakininya adanya slametan ya gapapa. Jadi
jika tidak dilaksanakan slametan ya tidak terjadi apa-apa. Karena slametan
ini hanya penyesuaian saja. Sepeti NU yang melestarikan tradisi slametan
ini dengann harapan melestarikan slameten tersebut.

4) Apakah slametan pada zaman dahulu ada berkatnya? Bagaiama pendapat


kelompok anda terkait orang datang ke slametan dengan hanya
menginginkan berkat saja?

Jawab: Ada. Mengutip dari pendapat sejarawan KH Agus tradisi


slametan dimulai dari Desa Singkal, Nganjuk, Jawa Timur, masa Sunan
Bonang atau Syekh Maulana Makhdum Ibrahim yang lahir sekitar 1465
M. Nama “singkal” sendiri sebagai simbol yang artinya tanah bajakan.
Maksudnya membajak untuk menebar benih Islam.

Sunan Bonang melakukan slametan sebagai perlawanan terhadap


bhairawa tantra, orang (laki-laki) yang mengamalkan ajaran Tantrayana
dari India Selatan yaitu pancamakara atau batara lima atau malima,
antara lain: harus melakukan mamsa, makan daging mayat dan minum
darah. Madya atau menenggak minuman keras, mabuk-mabukan.
Matsya, makan ikan gembung beracun, Maithuna, bersetubuh secara
berlebihan. Mudra atau samadhi yaitu tarian melelahkan hingga jatuh
pingsan. Ajaran Tantrayana sendiri memiliki tujuan untuk mencari
kesaktian sehingga saat itu penganutnya mampu mengalahkan Sunan
Bonang ketika berada di Kediri. Berawal peristiwa pancamakara itulah
upacara slametan diadakan dan tumpengnya berupa kepala manusia, akan
tetapi setelah islam datang terlebih yang dibawakan oleh Sunan Bonang
mengubah upacara pancamakara dengan Slametan. Dan terkait dengan

14
orang datang ke slametan kematian hanya menginginkan berkat saja,
terkait hal tersebut mungkin si dia hanya ingin mencari berkat saja dan
tidak berniat untuk mendoakan tidak apa-apa hukumnya juga tidak ada,
tetapi kehadiranya sudah dianggap cukup baik itu sebagai penyambung
tali silaturahmi.

4) Apakah slametan ini berkaitan dengan karya Greetz tentang abangan,


Apakah islam murni atau campuran? Dan bagaimana pendapat kelompok
anda terkait slametan bid'ah?
Jawab :

15
Daftar Pustaka

Amin, D. 2000. Islam dan Kebudayaan Jawa. Yogyakarta: Gama Media.


Greetz, C.2014. Abangan, Santri dan Priyayi dalam Masyarakat Jawa. Depok : Komunitas
Bambu.
Jerry Hrendrawijaya, & Amru Almu'tasalim. 2019. Tradisi Slametan Kematian Nyatus dan
Nyewu: Implikasi nilai Pluralisme Islam Jawa. Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 17, No. 2,
436.
Karim, A. 2017. Makna Ritual Kematian Dalam Tradisi Islam Jawa. Jurnal Sabda Volume 12,
Nomor 2, 167.
Koentjaraningrat. 1994. Kebudayaan Jawa. Jakarta: Balai Pustaka.
Layungkuning. 2013. Sangkal Paraning Dumadi. Yogyakarta: Penerbit Narasi.
Magnis-Suseno, F. 1984. Etika Jawa Sebuah Analisis Falsafi tentang Kebijaksanaan Hidup
Jawa. Jakarta: Gramedia.
RI, T. D. 2018. Ensiklopedi Islam Nusantara Edisi Budaya. Jakarta : Direktorat Jendral
pendidikan islam Kamenag RI.

16

Anda mungkin juga menyukai