Anda di halaman 1dari 11

Nama : Arifatur Rohma

NIM : 12307183045

Mata Kuliah : Filsafat Sejarah

Kelas : SPI 4-B

SEJARAH SEBAGAI KOMPETENSI DAN PERTUNJUKAN : CATATAN TENTANG


MUSEUM IRONIK STEPHEN BANN

Dalam bab ini dijelaskan bahwa Albertine de Broglie menegaskan pada tahun 1825, kita
merupakan orang yang pertama kali memahami masa lalu dan dia juga meramalkan apa yang
akan terjadi di masa yang akan datang. Pada tahun itu disebut dengan periode kita sendiri,
dimana orang-orang akan berusaha memahami masa lalu dan juga masa yang akan datang. Pada
akhir abad ke-20 mulai adanya berbagai bentuk kesadaran dalam mempelajari sejarah secara
kritis, dimana hal tersebut ditandai dengan masyarakat di dunia Barat yang belajar menyusun tata
bahasa secara global yang digunakan sebagai petunjuk sejarah. Mereka menjadi lebih
perpengalaman dalam mengenali dan menilai adanya masa lalu sebagai bagian dari kerangka
kehidupan sehari-hari.

Pada awal abad ke-20 Alois Riegl menyatakan bahwa, para petani pada masa itu sudah
mampu membedakan antara menara tempat lonceng bergantung yang lama dan yang baru (masa
lalu dan masa sekarang) meskipun dengan pemikiran yang sederhana. Pada abad ke-18 ajaran
agama dinilai banyak mengandung tahayul (kepercayaan terhadap mitos-mitos dari para leluhur
mereka), sehingga pada awal abad k-19 mereka tidak lagi terikat oleh ajaran agama. Pengaruh
dari Riegl dinilai sebagai penanda perubahan secara luas, ia menyatakan bahwa nilai dari usia
dianggap telah menjadi pandangan secara budaya yang tidak dapat dihilangkan. Proses dari
perubahan tersebut menjadi penanda bahwa ajaran dimasa lalu telah menyebar dari kelompok
intelektual kecil yang sadar akan dirinya sendiri kemudian menyebar hingga luas. Jika
diibaratkan antara masalah sejarah dengan perolehan bahasa baru, maka kita akan dihadapkan
dengan masalah yang dianggap sebagai penjelasan sebuah keadaan yang ahli akan sejarah.
Dalam hal ini berarti bahwa, segala sesuatu yang dianggap sebagai awal dalam kemajuan suatu
penulisan sejarah baru sifatnya tidaklah populer, dan hanya ditemukan tanda-tanda karakter
secara acak dari analisis pada periode tersebut.

Sebagai contohnya, fakta bahwa pada tahun 1824, baik sejarawan Leopold Von Ranke
yang berasal dari Jerman dan sejarawan Augustin Thieryy yang berasal dari Perancis lebih suka
menginstruksikan tolak ukur yang baru dalam beasiswa sejarah namun tidak membantu kita
dalam memahami pada periode yang mana masa lalu itu mengalami kemajuan. Untuk
menghargai harapan dari Ranke dalam menunjukkan masa lalu, kita harus selalu berpatokan
pada mottonya “wei es eigentlich gewesen” yaitu “apa yang sesungguhnya terjadi”, maka dari itu
untuk menilai keadaan dari suatu kehidupan kita harus mengetahui apa yang sesungguhnya
terjadi pada masa itu. Musee de Cluny (Museum Cluny) karya dari Alexander Du Sommerard,
dapat membantu kita dalam memahami bagaimana gerakan yang bersifat tertentu dalam suatu
wilayah dapat di hubungkan dengan perolehan tertentu dari pengetahuan sejarah. Salle de
Francois Ier merupakan sebuah perabot modern dan benda-benda lokal yang di buat oleh Du
Sommerard untuk pengunjung yang mengagumi keistimewaan dari suatu periode yang sekarang
disebut dengan renaissance. Penggunaan istilah renaissance ini dinilai lebih tepat dari pada
istilah yang umum dipakai. Orang mungkin akan mengatakan bahwa pemahaman menganai
renaissance sebagai periode bersejarah yang benar-benar ada tergantung pada pengakuan
sebelumnya mengenai keadaan yang sama pada abad pertengahan. Filfasat pada abad ke-18 telah
melewati abad pertengahan dimana pada abad tersebut ditandai dengan pola-pola kepahlawanan
Romawi dan bentuk kekejaman dari Negara otoriter, pada masa renaissance pengkajian tentang
abad pertengahan dipulihkan kembali yang mana pengkajian tersebut telah banyak tersapu oleh
berbagai permasalahan usaha revolusioner dan kekaisaran.

Jika abad pertengahan dinilai sebagai pemikiran yang tidak berarti, namun periode ini
dinilai sebagai periode yang penuh dengan kisah kepahlawanan bersejarah, maka munculnya
renaissance sebagai wujud temporal dan budaya yang bebas pasti akan mengikuti abad
sebelumnya. Kompetensi dalam historis dapat dibandingkan dengan perolehan bahasa baru dan
bahasa sebelumnya sebagai bentuk perbedaan. Jadi para pendahulu dari Du Sommerard,
Alexander Lenoir mengatur Musee des Petits-Augustins sedemikian rupa untuk membedakan
suatu abad, ia menandai suatu abad sejarah Perancis dengan benda yang berhubungan dengan
sejarah tersebut dalam bentuk patung bersejarah dan dekoratif. Selama setengah abad setelah
pembukaan Musee de Cluny konsep renaissance yang awalnya renggang harus di isi kembali
dengan berbagai produk budaya hingga kokoh kembali. Untuk memahami perkembangan
masalah sejarah dari abad 19 hingga saat ini, kita harus mencari cara untuk membedakan mana
yang harus di gabungkan dan mana yang tidak harus digabungkan dalam suatu kelompok
sejarah.

Pada abad ke-19 menurut Hyden White pengkisahan kondisi atau kejadian yang terjadi
pada abad ke-19 sudah sesuai dengan catatan sejarah pada saat itu, bahkan ada juga peristiwa-
peristiwa yang dihilangkan atau tidak tercatat dalam catatan sejarah. Namun hal itulah yang
mewakili keadaan sejarah pada saat itu seperti yang dituliskan pada novel, sejarah, lukisan,
museum untuk menjadikan sejarah masa lalu sebagai daftar perbedaan-perbedaan secara spesifik.
Menurut Nietzche masa lalu dapat di bayangkan melalui tiga sikap yang berbeda meskipun tidak
sepenuhnya terpisah, yang bersifat sejarah, bersifat kuno atau tradisional dan yang bersifat kritis.
Sebagimana yang telah disebutkan sebelumnya, Alois Reigl menyatakan bahwa nilai usia dari
barang mempengaruhi nilai sejarah dan nilai seni dari barang tersebut. Pada tahun 1973 muncul
perbedaan dalam ruang lingkup penulisan sejarah, perbedaan tersebut dikelompokkan menjadi
sejarah yang diperuntukkan bagi sejarawan, filsafat sejarah bagi para filsuf, sejarawan seni serta
sejarawan sastra.

White menunjukkan bahwa untuk dua wilayah (sejarah yang diperuntukkan bagi
sejarawan, filsafat sejarah bagi para filsuf) kita membutuhkan pemahaman dalam menggunakan
bahasa kiasan untuk menemukan suatu bentuk perbedaan yang dikelompokkan kedalam wilayah
historis dan filosofis. Dengan memahami bahasa kiasan tersebut kita bisa membentuk ulang
perbedaan pengelompokan yang berfungsi sebagai penghambat pemahaman mengenai masalah
yang terjadi pada masa lalu (sejarah) dan kita juga bisa berekspresi serta berkreasi tentang
susunan perbedaan yang baru dengan bantuan empat kiasan yaitu, metomini majas, metafora,
synecdoche dan ironi. Bagi White kiasan-kiasan tersebut akan tetap seperti itu dan tidak akan
berubah, kiasan-kiasan tersebut di tahun 1973 pada dasarnya digunakan sebagai alat
pembelajaran dan tidak ada perubahan sama sekali untuk kedepannya serta menjadikan
keterampilan berbahasa sebagai catatan yang berbeda dari pikiran manusia. Jika kita
menganalisis kelemahan atau proses dari sebuah sejarah sebagai kemampuan untuk
menggambarkan berbagai bentuk analisis wujud pada suatu objek (sebuah kejadian) dan teks
yang di artikan sebagai “sejarah”,seandainya kita sepakat bahwa gambaran sejarah adalah efek
dari keberhasilan wujud atau bentuk dengan teks atau media tertentu, maka ironi disini menjadi
hal yang terpisah.

Dalam “The Clothing of Clio” disebutkan bahwa ironi bukan hanya bagian yang diteliti
setelah prosedur integratif dan syneddoche telah selesai melakukan fungsinya namun ironi juga
diteliti setelah bagian kehancuran dari suatu wujud. Para seniman sejarah, penulis, dan impresisi
dari abad ke-19 mencoba mengulangi keberhasilan yang telah dicapai oleh para pendahulu
mereka namun tidak sesuai dengan yang diharapkan. Jonathan Crary dalam bukunya yang
berjudul “techniques of the observer” menyatakan bahwa jeda epistemologi dalam gambaran
sejarah Barat sejak kemunculan Renaissance bertepatan dengan lahirnya proses penglihatan
ganda atau pengembangan stereoskop. Pemahaman mengenai ruang bermata yang dimulai
dengan penemuan “sudut pandang” pada masa renaissance berakhir pada tahun ke-2 abad ke-19,
ketika tujuan baru ingin dicapai maka hubungan pengamat tertuju pada citra atau gambaran
bukan lagi pada objek yang di kelompokkan berdasarkan jumlahnya yang berkaitan dengan
posisi ruang, melainkan pada dua gambar berbeda yang posisinya digambarkan dengan bentuk
anatomi dari pikiran si pengamat. Kompetensi historis atau sejarah akan menandai hasil yang
tidak dapat diubah, sehingga sudut pandang “ironis” akan seperti pemandangan yang lebih dari
satu, yang menyiratkan gambaran empati ke dalam realitas pihak lain. Masalah yang terjadi di
dalam sejarah terbentuk karena adanya suatu perbedaan, penempatan suatu perbedaan pada
susunan analisis merupakan cara terbaik agar kita dapat memahami fenomena kompetensi
historis yang mengejutkan. Namun kemunculan ironi di dalam kelompok yang berhubungan
dengan kiasan dari suatu wujud menimbulkan pertanyaan, apakah memang ada “acuan kiasan”
yang mempengaruhinya dalam menjelaskan perkembangan lanjutan dari pemikiran historis.

Mungkin kita ragu menggunakan istilah ironi dalam hubungan tersebut, namun hal ini
kemungkinan bisa dihubungan dengan museum ironis oleh Hyden White, yang digambarkan di
gambar cuci, gambar tersebut digambarkan dengan adanya dua pria bertopi tinggi dengan
menggunakan mantel yang sedang berbicara satu sama lain, kedua pria tersebut berdiri di tengah
lorong gereja yang telah hancur. Salah satu dari mereka mengetahui posisi dan pesona dari
bangunan tersebut, ia juga menjulurkan tangan kirinya dengan sikap yang mengacu bahwa ia
adalah seorang yang murah hati. Temannya jelas-jelas seorang pengunjung yang dianiaya berdiri
dengan tanggapan wajah yang diarahkan ke benda-benda yang ditunjuk oleh pemandunya. Di
dekatnya juga ada pengunjung ketiga dengan pakaian yang sama resminya, topinya yang bagian
paling atas ia gunakan untuk mensejajarkan dengan bagian sketsa, dia melewati teman-temannya
dengan melihat ke arah sisi lorong, dimana sejumlah objek pahatan dipajang dengan jelas.
Gambar tersebut selesai sekitar tahun 1850, gambar itu menunjukkan Eglise Eoussaint (gereja)
pada abad ke-13 di Angers (sebuah kota di barat Prancis) beberapa tahun setelah pendirian
lapidaire musee (museum lapidaire) di gedung-gedung yang sudah hancur. Gereja pada masa
revolusi sudah biasa diatur dengan aturan dari para biara-biara Santo Augustinian, para
pendetanya direnggut dan fasilitasnya diambil alih untuk serangkaian tujuan tertentu dan bersifat
merusak.

Museum lapidaire yang berada di kota Angers ini berbeda dengan musee de Cluny
(museum Cluny) dan musee de petits-Augustins, yang mana museum lapidaire ini tidak
menawarkan kesempurnaan secara metominik maupun pengelompokan objek yang tidak jelas ke
dalam penyatuan synecdochic. Dan disebutkan bahwa museum tersebut dulunya merupakan
sebuah gereja gothic. Objek-objek yang dipajang disana terkadang bergaya gothic, namun lebih
sering berupa peninggalan dari Romawi. Semua bagian yang ditampilkan bisa di artikan sesuai
dengan takaran nilai keindahan, dan hal itulah yang mendorong para seniman untuk berlama-
lama di atas tebing yang telah hancur dari sebuah dinding yang berbunga. Tetapi hal itu
merupakan sebuah bagian untuk petunjuk dan untuk dipikirkan. Berbeda dengan seni litograf
yang memukau dari gereja-gereja yang berada di desa, di dalam karyanya Taylor dan Nodier
“perjalanan indah dan romantis di Prancis kuno” yang terbit pada tahun 1820-an, dimana
manusia yang ditunjukkan diperbolehkan untuk tampil sebagai pelaku yang berbaur dalam
keindahan.

Galeri David d’A I’Angers layak untuk mengubah pandangan ke masa lalu untuk
memahami pentingnya museum kontemporer (modern). Pematung David d’A I’Angers sejak
awal karirnya untuk pendidikan seni dan keindahan warga kota yang ditinggalinya. Pada akhir
1830 ia mengumpulkan karya-karya besar terutama plester (arsitektur) dari pematung yang
terkenal yang bertujuan untuk mengisi koleksi di dalam ruang (museumnya) dan untuk
menyatukan berbagai pelaku dari berbagai periode disamping karyanya. Pendidikan yang di
kembangkan oleh pemahat terbesar Prancis di abad ke-19 ini adalah lingkungan postmodern
yang elegan. Alasan mengapa museum tersebut dengan sengaja disebut postmodern, karena
berhasil mewakili karya kehidupan dari David d’Angers dengan sangat baik. Karya kehidupan
memang mempunyai hubungannya tersendiri, museum harus menjadikan objektivitas sebagai
suatu rangkaian dari perbedaan ini. Sebaliknya karya kehidupan dari David d’Angers ini harus
dilihat sebagai kehidupan yang penuh dengan celah-celah ideologis yang setia dan hal itulah
adalah gambaran tertentu dari peran historisnya yang dinilai aneh. Namun didalamnya juga
terdapat pesan untuk menerapkan nilai dan norma secara umum tentang keberanian dalam
membela keadilan dan kebenaran yang didukung oleh seniman yang juga seorang anak dari
penguasa Prancis. Pelukis David mencatat kisah kepahlawanan anak-anak dari drummer-boy
Barra, selain itu ia juga mencatat kata-kata terakhir dari jenderal Vendee, Charles de Bonchamps
yang berkaitan dengan keputusannya untuk membebaskan tahanan republic dengan maksud
untuk menyelamatkan nyawa ayahnya sendiri. Dalam hal ini kita dihadapkan dengan warisan
seni perdamaian untuk kepentingan kemanusiaan yang akan melewati pertentangaan sejarah,
dengan mengambil contoh besar dari kebencian historis yang tidak dapat di damaikan. Untuk itu
ironi tidak terpisahkan dengan pandangan kualitas yang khas dari karyanya, pada kenyataannya
kelebihan gaya yang ia coba untuk mendamaikan ketegangan ini terkandung dalam gaya dan
materi pelajarannya. Museum postmodern mendukung ironi ini dan memungkinkan gayanya
diungkapkan dengan megah.

Gambar dari Eglise Toussaint yang telah dibahas sebelumnya menjadikan masalah ironi
atau penglihatan ganda sebagai keadaan yang mewakili masa lalu. Pada pertengahan abad ke-19
gambar cuci dengan kode-kode sengaja dicampur (deksripsi klasik dan abad pertengahan, verbal
dan visual) digunakan secara bersamaan. Foto modern dari galeri David d’Angers berlawanan
dengan kode tersebut sehingga yang terjadi tidak lagi berkaitan dengan model gaya yang ideal,
tetapi melalui standar karya kehidupan seorang seniman secara pribadi yang menjadi perwakilan
dari bagian tertentu dari suatu pengalaman sejarah. Dalam contoh modern apa yang di perlukan
agar perpecahan internal dan pertentangan antara dua hal yang berlawanan dari pengalaman yang
ia buat bisa menjadi nyata? Jawaban nya terletak pada cara dimana ruang museum yang memiliki
sejarah telah diartikulasikan sedemikian rupa untuk mengekspresikan pesan-pesan sumbang dari
seniman. Bencana yang tampaknya di sengaja dari atap kaca gedung gothic mempersiapakan kita
untuk menerima bahwa pengalaman David sendiri tentang masa lalu ditambah dengan
rangsangan yang sumbang. Meminjam istilah-istilah dari Nietzsche, prosesnya yang bersejarah
dengan masa lalu sebagai repertoar daripada exarmplas harus di damaikan dengan kultus
lokalitas kuno, dan komitmen kritis mengenai sejarah sebagai kemajuan. Si penulis memulai esai
ini dengan memperkirakan pada syarat yang harus di penuhi sebelum menentukan “ kompetensi
“ historis dalam kaitannya dengan sejumlah contoh dari abad ke-19, menurut si penulis poin
utamanya adalah, bahwa kompetensi tersebut berkembang sebagai hasil langsung dari
pengenalan perbedaan kedalam rangkaian sejarah.

Apakah ironi sebagai alat analitik untuk melihat keadaan dari historis tidak secara tersirat
mengakui bahwa keadaan semacam berakhir dengan kagagalan. Gambaran dari Crary yang
berkaitan dengan stereoskop sebagai bentuk visualitas yang terputus dengan tatanan sudut
pandang terhadap ruang pasca-renaisans merupakan petunjuk yang bermanfaat untuk saat ini,
karena memberitahukan kemungkinan bahwa “penglihatan ganda” barangkali menggambarkan
kecanggihan baru dalam memproses pesan-pesan dari bidang visual yang terlihat sumbang. Dua
perwujudan berturut-urut dari “Englise Toussaint” dimaksudkan untuk mempelajari
kemungkinan tersebut. Dalam hal struktur mereka sama, namun keduanya dapat diartikan
sebagai kesaksian terhadap suatu kemajuan yang aneh dalam kompetensi historis. Disini museum
bukan hanya sebagai situs penjajaran (proses) ironis, namun museum ironis. Si penulis
menyarankan bahwa apa yang berlaku untuk arsitektur dan museologi (pengelolaan museum)
“postmodern” dapat dinilai bukan hanya sebagai pengingkaran terhadap representasi atau
keadaan yang mewakili suatu sejarah, namun sebagai cara merangkum ketidaksesuaian yang
sebenarnya. Akan tetapi dalam hal ini tidak berarti bahwa si penulis mengakui tidak perlu
membedakan antara kasus representasi historis yang otentik (faktual) dan tidak otentik pada
masa sekarang. Ini adalah karakteristik dari dua abad terakhir, bahwa publik masa dunia Barat
telah didatangkan atau hanya untuk menjadi bertambah lebih kompeten secara historis, tetapi
juga untuk melakukannya secara historis.

Desa Strubridge Tua pada awalnya adalah kasus yang luar biasa dari dorongan yang
maksimal dan komitmen yang di khususkan untuk pendidikan sejarah. Sebuah museum sejarah
hidup yang menyajikan kisah hidup di kota pedesaan New England selama tahun 1830-an,
adegan di desa Strubridge Tua menyajikan masa lalu sebagai bagian drama yang dibuat tanpa
kesimpulan. Desa Strubridge Tua menilai ironi sistematis dalam arti istilah yang menggangggu
dikarenakan segala sesuatu tercampur dengan yang lainnnya. Masalahnya bukan untuk tujuan
kita apakah orang menikmati dirinya disana, untuk hal itu jelas banyak dari mereka yang
melakukannya. Tetapi masalahnya apakah pengalaman mereka dapat menjadi sarana untuk
memahami sejarah hingga fokus pada kompetensi sejarah. Disini harus diakuai bahwa strategi
representasi Desa Strubridge Tua sebagai totalitas yang dibuat ulang dan diatur ulang, dimana
pada saat yang sama sangat dapat ditembus oleh serangan-serangan dunia kontemporer (modern)
terlalu berkeinginan untuk berhasil. Si penulis mengutip kasus tersebut bukan dalam semangat
kritik seenaknya saja, tetapi ini untuk mencotohkan kesulitan dan begitu banyak karya
representasi sejarah yang bermaksud baik pada saat ini. Para calon pelaku sejarah dipercepat
menjadi perbedaan antara masa lalu dan masa kini yang nyaris tanpa proses. Tidak heran jika
kebijakan semacam itu menghasilkan reaksi yang sama berlebihannya.

Robert Hewison menyatakan dalam kalimat terakhir dari studinya yang bernama The
Heritage Industry (1987) : kita harus hidup di masa depan, dan bukan masa lalu yang sempurna,
namun untuk hidup dimasa sekarang yang merupakan prasyarat tertentu dari masa depan, kita
harus kompeten dalam menggunkan imperfect, the perfect dan why not? The pluperfect dengan
kata lain kita harus kompeten dalam mengeksplorasi berbagi tenses atau konten temporal mereka
hanya untuk berhenti berkembang. Sekali lagi Nietzsche bijak dalam menyarankan bahwa apa
yang dibutuhkan adalah keseimbangan antara “monumental (historis), antiquarium (berhubungan
dengan zaman kuno) dan kritis”, daripada berjuang untuk satu jenis hubungan tertentu dengan
sejarah dan temporalitas.

Menurut penulis Desa Strubridge Tua adalah salah satu model dalam representasi
perbedaan dalam historis, namun skema yang jauh lebih kaya pada tahap proposal yang
dirancang oleh Bernard Lassus untuk taman rekreasi Duisburg-Nord, di disktrik Ruhr Jerman.
Lassus telah menekankan bahwa lokasi bersejarah semacam palimpsest dan tugas perancang
lanskap adalah untuk memungkinkan masa lalu yang berbeda dari masing-masing situs untuk
menemukan ekspresi, alih-alih memperbaiki Nord ia dihapakan dengan tantangan khusus karena
pabrik-pabrik besar dan bekas ledakan dari kejayaan industri Ruhr merupakan kedatangan tidak
di dsetujui di situs. Dia bertekad bahwa monument-monumen ini untuk zaman industri yang
lampau seharusnya tidak hanya dibiarkan seperti paus yang terdampar, tetapi dimasukkan dalam
pandangan masa lalu yang teratur. Oleh karena itu, Lassus memahami dengan benar tugas
merepresentasikan sejarah sebagai salah satu dari membangun perbedaan yang jelas. Skemanya
untuk Duisburg-Nord memperkenalkan gagasan mengejutkan tentang “pena temporal” yang
mana dengan cara yang sama seperti pena dikanal untuk menandai transisi ketinggian air,
diketahui menandai perubahan dari satu tingkat historis ke historis yang lain. Pada satu titik
Emscher benar-benar dikanalisasi dalam fase industrinya, dan di titik lain jalannya yang berliku-
liku dibangun kembali melalui taman yang indah di Westphalia tua lengkap dengan padang
rumput dan pabrik air yang merumput. Hal tersebut membuat perbedaan antara kemarin dengan
hari ini, dan antara kemarin dengan kemarin lusa, tidak hanya membolehkan taman masa kini
yang melayani bentuk rekreasi dan olahraga kontemporer tetapi juaga taman masa depan, dimana
fasilitas eksperimental (bersangkutan degan percobaan) baru akan dikembangkan di laboratorium
tanah. Lassus mengenang bahwa dimasa lalu, taman bukan hanya nostalgia tetapi kiasan simbolis
dengan penelitian dan penemuan saat itu. Tentunya seni kebun dimasa lalu telah membuka
pandangan masa depan, seperti misalnya pada abad ke-18 ketika bangunan yang mempunyai
nilai bersejarah ditempatkan di tepi taman untuk kemuliaan kapten Cook. Taman Lassus di
Duisburg-Nord dengan demikian mencotohkan strategi kontemporer dalam representasi historis,
yang akan menguji dan memperluas catatan sejarah, sebuah bahan dari perbedaan historis yang
tidak berusaha untuk menghapus diri sendiri dan mengadili tuduhan ironi.

Dengan menjelaskan kebutuhan tentang “ penglihatan temporal ganda” metafora: kita


suka berbicara tentang gambar-gambar masa lalu mengenai sudut pandang dari mana sejarawan
melihat” dimasa lalu”, penyimpangan realitas sejarah yang sudut pandangnya salah mungkin
untuk membentuk suatu metafora visual, filosofi sejarah masa kini adalah kebiasaan yang
menghubungkan kajian sejarah dengan novel dan sastra. Gambar realitas historis yang di
tunjukkan oleh sejarawan adalah karakterisasi yang salah dari hubungan antara
representasi( keadaan) dengan apa yang diwakilkan. Dalam hal ini bukan filsafat seni visual
yang digambarkan tetapi teori sastra,oleh karena itu disiplin tersebut yang harus diubah oleh
filsuf sejarah. Pengantar metahistory yang terkenal, pernyataan dari pendekatan sastra untuk
representasi sejarah masa lalu, Hayden White membuat pernyataan rancangan berikut: “Saya
akan menganggap karya sejarah sebagai segala sesuatu yang paling nyata, yaitu wujud verbal
dalam bentuk prosa naratif”. Dalam buku ini dan dalam karyanya nanti, White melanjutkan
untuk mengembangkan argumen yang kuat yang mendukung pengertian sastra dari teks sejarah
ini. Keberhasilan dari pengertian White berarti bahwa pengertian gambar dari teks harus
didorong latar belakang sebagai metafora yang naif dan menyesatkan. Karena alasan tersebut,
tujuan dari si penulis dalam esai ini adalah untuk membuat hubungan pendek antara dua
pertentangan ini, setiap kali filsafat sejarah dan masa lalu menyebut metafora visual dan gambar
perhatiannya adalah pada pernyataan. Penafsiran gambar teks historis begitu erat terhubung
dengan tuntutan kognitif studi sejarah dan pembenaran epistemilogis, dari tuntutan tersebut
secara terus-menerus akan merangsang penggunaan metafora visual dan gambar. Di sisi lain
penentangan umum terhadap sastra dan pendekatan visual untuk studi sejarah adalah, bahwa ia
mengabaikan pertanyaan tentang kebenaran dan keunggulan dari studi sejarah. Dalam prateknya
kelihatannya bahwa sejarawan dan filsuf sejarah tidak dapat melihat literatur( seni sastra) untuk
jawaban atas pertanyaan tentang apa itu sejarah sejati. Ahli teori sastra jarang menghubungkan
pertanyaan realisme dalam novel dengan tujuan ahli sejarah, meskipun orang akan berharap ini
menjadi prinsip bersama yang penting antara sastra dan studi sejarah.
SEB
AGA
I
KO
MPE
TEN
SI
DAN
PER
TUN
JUK
AN

Awal abad ke-20 Pada 1824, Ranke Pada 1973 terjadi perbedaan dalam
(penyataan Alois Reigl) menunjukkan masa lalu ruang lingkup penulisan sejarah

melalui Dibagi menjadi


“nilai usia suatu barang
mempengaruhi nilai Museum Cluny yang didalamnya 1. sejarah bagi sejarawan, 2.
sejarah” terdapat “salle de Francois ler” Pendahulu Du Filsafat sejarah bagi filsuf, 3.
Mem (perabot modern) , karya Du Sommerand Sejarawan seni, 4. Sejarawan
bawa Sommerand mengatur Musee sastra
perub des petits-
ahan menunjukkan Augustins
Wilayah sejarah bagi
sejarawan dan Filsafat sejarah
Abad ke-20 (adanya kesadaran tujuannya
Periode renaissans bagi filsuf, menggunkan
dalam mepelajari sejarah)
bahasa kiasan untuk
Membedakan suatu menentukan perbedaan
abad di Pancis
ditandai
1. metomini majas, 2.
Masyaraka Barat belajar Metafora, 3. Synecdoche, 4.
Ditandai dengan
menyusun tata bahasa secara
patung dan dekoratif
global
Perbedaan akan membentuk
sehingga masalah sejarah, dan
penempatan perbedaan susunan
analisis
Ajaran sejarah menyebar dari
kalangan intelek kecil hingga cara
masyarakat luas
Memahami fenomena dalam
kompetensi historis

Anda mungkin juga menyukai