MAKALAH
Oleh :
kepahlawanan. Homerus mencatat kisah Illiad and Oddyssey dalam sebuah syair
kepahlawanan yang begitu retoris dan sastrawi. Pengkisahan ini lambat laun
evolutif kekinian. Hal ini memunculkan gagasan untuk membuat sebuah historiografi
dalam bentuk sebuah prosa, gagasan yang di-backing-i oleh sejumlah filsuf rasionalis
saat itu. Herodotus menjadi pionir dalam usaha prosanisasi historiografi, dimana ia
berbagai bidang ilmu, dan tidak terjebak pada keberpihakan. Tuchydides juga
menjadi penulis sejarah yang anti terhadap sifat retorik, mengedepankan kritik sumber,
menanggalkan mitos dan hal-hal yang bersifat epik, menyingkirkan segala hal yang
sekuler” dan “bapak sejarah kritis”. Dua aliran besar ini, dimana Herodotus merupakan
ahli “sejarah kebudayaan” dan Tuchydides yang ahli “sejarah politik” menjadi aliran
besar dalam penulisan sejarah saat itu. Hingga akhirnya Polybius muncul dalam kancah
historiografi Yunani klasik dengan menggabungkan prinsip kedua sejarawan tersebut.
Ia memegang teguh prinsip kritik sumber dan akurasi data Tuchyides dengan gaya
sejarah. Netralitas menjadi unsur penting dalam sejarah, seperti yang dilakukan oleh
ketiga tokoh yang telah kita bahas diatas. Tetapi hal ini tidak berlaku bagi Titus Livius,
yang tinggi dan sifat-sifat nasionalis dalam karya Livius. Ia memandang sejarah adalah
sebuah ilmu pengetahuan sekaligus seni; dimana fakta, mitos, keajaiban, dan isyarat-
sastra yang sangat baik, tetapi mungkin bukan merupakan contoh penulis sejarah yang
dalam sebuah penulisan sejarah. Keberpihakan ini nantinya akan menjadi sebuah
tertentu ini kelak akan dimanfaatkan oleh golongan Kristen yang akan meletakkan
prinsip-prinsip ketuhanan pada umat manusia saat itu. Proses-proses ini yang kelak
akan dimainkan oleh Marcus Aurelius (Variae), Procopius (History of His Own Time),
paganisme atas agama Kristen. Caesar Constantine yang menetapkan agama Kristen
sebagai agama negara pasca Konsili Nicea menggelorakan semangat anti-pagan dan
mengikuti zeitgeist (jiwa zaman) saat itu, bahkan para pendeta dan uskup ini ikut
menulis sejarah. Kini sejarah bukan milik para ilmuwan dan filsuf, tetapi juga agamawan
dan tentunya: penguasa. Prinsip yang mendasarkan segala hal pada “keimanan-
ketuhanan” menjadi dasar penulisan sejarah kala itu. Hal ini tentu saja meminggirkan
yang bisa kita sebut sebagai pagan. Unsur propaganda (penyangkalan) terhadap
paganisme menjadi perhatian utama dibandingkan analisis kritik sumber. Hal ini
religius, dan akhirnya kekhasan abad pertengahan pun muncul: hampir semua tulisan
Romawi klasik. Berangkat dari hal diatas, maka ketika itu sejarah dianggap merupakan
proses kosmis dimana Tuhan dan manusia merupakan partisipan utama. Peristiwa
yang terjadi di dunia tidak hanya merupakan perbuatan manusia, tetapi juga merupakan
rencana-rencana Tuhan. Oleh karena itu karya historiografi saat itu tidak lebih dari
melawan “iblis”, alias “baik” dan “jahat”. Hal ini sebagaimana ditulis Agustinus
dalam City of God yang menggambarkan antara Civitas Dei (negara Tuhan) dan Civitas
Dobuli (negara setan). Gereja pun juga turut berperan dalam perkembangan
historiografi saat itu. Kontribusi nyata adalah gereja menulis mengenai sejarahnya
pribadi, patronase, dan loyalitas kelompok. Banyak sejarawan kala itu merupakan
biarawan, pejabat gereja, atau bahkan uskup sekalipun. Begitu jelasnya unsur
kepentingan (terutama kepentingan gereja dan penguasa) inilah yang menjadi
Kembali HistoriografiKesadaran akan “sejarah sebagai ilmu” makin lama tumbuh, dan
sejarawan pun (dengan didorong arus renaissans) berusaha membawa sejarah kembali
pada posisi yang lebih ilmiah. Usaha yang dimulai pada abad ke-12 inilah yang menjadi
benih-benih dari historiografi modern. Sejarawan saat itu tidak didominasi oleh teolog
peniruan-peniruan mereka pada model historiografi klasik membuat babak baru bagi
sejarawan abad pertengahan akhir inilah yang akhirnya memasukkan kembali unsur
penting dalam penulisan sejarah: Humanisme. Humanisme pada dasarnya adalah nilai-
sebuah peristiwa lebih berperan dibanding Tuhan. Dalam penulisan sejarah humanis,
memperkecil pengaruh Tuhan pada setiap peristiwa. Dalam konteks ketuhanan, mereka
bukanlah ‘anti-kristen’ atau skeptis terhadap agama Kristen, tetapi mereka lebih
bersikap mengabaikan daripada menolak nilai-nilai teologis. Tetapi pada sisi yang lain,
pada kehidupan kota. Leonardo Bruni menjadi sejarawan panutan dalam historiografi
humanis saat itu, karyanya yang berjudul The Twelve Books of Florentine
menulis Florentine History dengan gaya retorik khas Romawi-Yunani klasik, dimana ia
mengaku terinspirasi oleh kultur klasik dalam penulisannya. Ia juga menghapus hal-hal
yang bersifat supranatural dan legenda-legenda pagan ataupun Kristen. Dalam hal ini ia
mirip dengan Polybius, yang menganggap bahwa akurasi data dan kritik sumber
merupakan hal yang penting dalam sebuah penulisan sejarah, tetapi menyajikan
sejarah dengan gaya tulisan retoris. Penulisan sejarah oleh Machiavelli dan Guicciardini
adalah contoh yang menunjukkan masa transisi dari abad pertengahan ke masa
renaissans. Mereka adalah sejarawan yang anti terhadap retorika, sangat menghargai
sejarah dan adanya unsur-unsur humanis inilah yang memicu abad pencerahan
(renaissans) di bidang historiografi. Efek humanis ini juga merembet ke gereja, dimana
pada beberapa kelompok, dan antar kelompok tadi saling bersaing dan saling melawan.
Saat Machiavelli mulai menulis History of Florence, pada saat yang sama Martin Luther
sejarah gereja bersifat kontradikitif. Antara golongan reformis dan kontra-reformis saling
lawan mereka. Kaum Protestan berusaha untuk menemukan bukti-bukti bahwa upacara
dan dogma Katolik bersifat semi-pagan, dan lembaga kepausan merupakan lembaga
anti-kristus. Hal yang sama juga dilakukan oleh Katolik dengan berusaha untuk
membuktikan kesombongan-kesombongan Protestan dan kebid’ahan mereka.
Reformasi gereja membawa motivasi yang berbeda dalam penulisan sejarah, bukan
terletak pada “pengetahuan untuk mengetahui proses evolutif sebuah zaman”, tetapi
dari kepausan. Humanisme membawa efek negatif bagi historiografi gereja, dimana
saling serang dengan menggunakan media penulisan sejarah menjadi hal biasa pada
lawannya dengan menunjukkan sejarah kelam mereka. Sejarah yang penuh dengan
memperkeruh suasana. Penulisan yang mampu memunculkan pertikaian fisik ini makin
lama makin dijauhi dan unsur humanis mulai ditinggalkan. Kebangkitan keilmuan
benih itu terus berkembang menjadi historiografi rasionalis yang sangat mementingkan
akal sehat. Ekspansi bangsa Eropa dalam mencari dunia baru (The New World)
membawa era baru dalam penulisan sejarah. Minat sejarawan semakin meluas dan
berkembang, dan penulisan a la Herodotus mulai banyak disukai oleh para sejarawan.
Historiografi masa itu berkembang pada gaya penulisan yang bersifat deskriptif
dan geografi memegang peranan penting dalam sebuah historiografi. Ekspansi Eropa
ini mampu membawa pengaruh dalam setiap perkembangan ilmu, terutama pada
rasionalisme dan munculnya filsafat-filsafat baru (terutama di bidang sosial dan ilmu
dan segala hal yang bersifat mistis (supranatural) semakin menghilang dan tergantikan
oleh rasionalitas manusia. Rasionalisme (Aufklarung), hal inilah yang menjadi awal bagi
sejarah modern yang ada saat ini. Segala pengetahuan (termasuk sejarah) yang
supranatural (mistis dan ketuhanan) menjadi unsur penting dalam setiap tulisan
sejarawan saat itu. Voltaire, Monteqieu, Rosseau, Raynal, dan Heeren menularkan
prinsip rasionalitas kepada dunia. Sejarah kini tidak hanya terbatas pada persoalan
intrik gereja, tetapi meluas pada sejarah sosial, kultural, ekonomi, dll. Sejarawan
meminimalisir peran Tuhan dalam sebuah historiografi, dimana Tuhan berperan melalui
hukum alam yang telah dibuatnya. Dalam hal umum, kaum rasionalis ini berusaha
untuk menyepakati dua hal yang bertentangan pada masa sebelumnya (historiografi
gerejasentris dan historiografi humanis) dengan mencari jalan tengah pada dua
perspektif historiografi tersebut. Dari rasionalisme inilah yang kelak menjadi awalan