Anda di halaman 1dari 8

HISTORIOGRAFI MASA KLASIK INDONESIA

MAKALAH

HISTORIOGRAFI MASA KLASIK

Oleh :

Muhammad Ahsan Sanusi PASCA SARJANA (S2)

UNIVERSITAS NAHDLATUL ULAMA INDONESIA


HISTORIOGRAFI MASA KLASIK

Historiografi Masa Klasik Berbicara mengenai historiografi, tentu tidak bisa

mengesampingkan peran ilmuwan Yunani kuno yang suka mencari hubungan

genealogis mereka dan menggambarkan kisah-kisah lama dalam bentuk syair

kepahlawanan. Homerus mencatat kisah Illiad and Oddyssey dalam sebuah syair

kepahlawanan yang begitu retoris dan sastrawi. Pengkisahan ini lambat laun

berkembang menjadi sebuah tuntutan intelektual, dimana sejarah merupakan sebuah

pengetahuan mengenai masa lampau yang diperlukan untuk mengetahui proses

evolutif kekinian. Hal ini memunculkan gagasan untuk membuat sebuah historiografi

dalam bentuk sebuah prosa, gagasan yang di-backing-i oleh sejumlah filsuf rasionalis

saat itu. Herodotus menjadi pionir dalam usaha prosanisasi historiografi, dimana ia

menawarkan sebuah penulisan sejarah yang sistematis, memakai perspektif dari

berbagai bidang ilmu, dan tidak terjebak pada keberpihakan. Tuchydides juga

menampilkan kesegaran dalam perkembangan historiografi pada masa itu, dimana ia

menjadi penulis sejarah yang anti terhadap sifat retorik, mengedepankan kritik sumber,

menanggalkan mitos dan hal-hal yang bersifat epik, menyingkirkan segala hal yang

berbau supranatural, sehingga ia menjadi seorang yang bisa dibilang “sejarawan

sekuler” dan “bapak sejarah kritis”. Dua aliran besar ini, dimana Herodotus merupakan

ahli “sejarah kebudayaan” dan Tuchydides yang ahli “sejarah politik” menjadi aliran

besar dalam penulisan sejarah saat itu. Hingga akhirnya Polybius muncul dalam kancah
historiografi Yunani klasik dengan menggabungkan prinsip kedua sejarawan tersebut.

Ia memegang teguh prinsip kritik sumber dan akurasi data Tuchyides dengan gaya

bahasa serta multi-perspektif keilmuan a la Herodotus dalam menulis sebuah karya

sejarah. Netralitas menjadi unsur penting dalam sejarah, seperti yang dilakukan oleh

ketiga tokoh yang telah kita bahas diatas. Tetapi hal ini tidak berlaku bagi Titus Livius,

dimana baginya sejarah adalah sebuah keberpihakan dan kebanggaan. Subyektifitas

yang tinggi dan sifat-sifat nasionalis dalam karya Livius. Ia memandang sejarah adalah

sebuah ilmu pengetahuan sekaligus seni; dimana fakta, mitos, keajaiban, dan isyarat-

isyarat supranatural ia campur-adukkan dalam karyanya. Ia adalah seorang penulis

sastra yang sangat baik, tetapi mungkin bukan merupakan contoh penulis sejarah yang

baik. Penghormatannya yang berlebihan terhadap Romawi merupakan contoh buruk

dalam sebuah penulisan sejarah. Keberpihakan ini nantinya akan menjadi sebuah

proses penting dalam kemunduran karya-karya historiografi zaman klasik.

Pengagungan terhadap satu sosok tertentu dan keberpihakan terhadap golongan

tertentu ini kelak akan dimanfaatkan oleh golongan Kristen yang akan meletakkan

prinsip-prinsip ketuhanan pada umat manusia saat itu. Proses-proses ini yang kelak

akan dimainkan oleh Marcus Aurelius (Variae), Procopius (History of His Own Time),

Uskup Gregorius (History of The Franks), dan yang lainnya. Historiografi

Gerejasentris Penulisan sejarah bergaya Livius menjadi populer pasca kekalahan

paganisme atas agama Kristen. Caesar Constantine yang menetapkan agama Kristen

sebagai agama negara pasca Konsili Nicea menggelorakan semangat anti-pagan dan

kristenisasi di kalangan biarawan dan pendeta-pendeta kristen. Penulisan sejarah pun

mengikuti zeitgeist (jiwa zaman) saat itu, bahkan para pendeta dan uskup ini ikut
menulis sejarah. Kini sejarah bukan milik para ilmuwan dan filsuf, tetapi juga agamawan

dan tentunya: penguasa. Prinsip yang mendasarkan segala hal pada “keimanan-

ketuhanan” menjadi dasar penulisan sejarah kala itu. Hal ini tentu saja meminggirkan

prinsip kepercayaan terhadap unsur alam, pengetahuan, rasionalitas, akal-budi, atau

yang bisa kita sebut sebagai pagan. Unsur propaganda (penyangkalan) terhadap

paganisme menjadi perhatian utama dibandingkan analisis kritik sumber. Hal ini

menimbulkan sebuah pertarungan antara tulisan-tulisan yang bersifat sekuler dan

religius, dan akhirnya kekhasan abad pertengahan pun muncul: hampir semua tulisan

bersifat pengagungan terhadap sejarah Yahudi dan meminggirkan sejarah Yunani-

Romawi klasik. Berangkat dari hal diatas, maka ketika itu sejarah dianggap merupakan

proses kosmis dimana Tuhan dan manusia merupakan partisipan utama. Peristiwa

yang terjadi di dunia tidak hanya merupakan perbuatan manusia, tetapi juga merupakan

rencana-rencana Tuhan. Oleh karena itu karya historiografi saat itu tidak lebih dari

sebuah epos ketuhanan, yang dipahami sebagai pertarungan antara “malaikat”

melawan “iblis”, alias “baik” dan “jahat”. Hal ini sebagaimana ditulis Agustinus

dalam City of God yang menggambarkan antara Civitas Dei (negara Tuhan) dan Civitas

Dobuli (negara setan). Gereja pun juga turut berperan dalam perkembangan

historiografi saat itu. Kontribusi nyata adalah gereja menulis mengenai sejarahnya

sendiri, dan menggunakannya sebagai media dalam kristenisasi serta melawan

paganisme. Sejarawan abad pertengahan membawa prinsip “demi kemuliaan Tuhan”

dalam menulis sejarah, sehingga karya-karya mereka tampak unsur-unsur ambisi

pribadi, patronase, dan loyalitas kelompok. Banyak sejarawan kala itu merupakan

biarawan, pejabat gereja, atau bahkan uskup sekalipun. Begitu jelasnya unsur
kepentingan (terutama kepentingan gereja dan penguasa) inilah yang menjadi

kelemahan penulisan sejarah era abad pertengahan ini. Humanisme: Pencerahan

Kembali HistoriografiKesadaran akan “sejarah sebagai ilmu” makin lama tumbuh, dan

sejarawan pun (dengan didorong arus renaissans) berusaha membawa sejarah kembali

pada posisi yang lebih ilmiah. Usaha yang dimulai pada abad ke-12 inilah yang menjadi

benih-benih dari historiografi modern. Sejarawan saat itu tidak didominasi oleh teolog

ataupun gerejawan, tetapi masyarakat awam, sehingga posisi netralitas benar-benar

terjaga. Ketertarikan kembali para sejarawan terhadap kebudayaan klasik dan

peniruan-peniruan mereka pada model historiografi klasik membuat babak baru bagi

historiografi. Dengan membawa sikap yang berdasarkan rasionalitas inilah, beberapa

sejarawan mengangkat kembali nilai-nilai kemanusiaan dalam penulisan sejarah. Para

sejarawan abad pertengahan akhir inilah yang akhirnya memasukkan kembali unsur

penting dalam penulisan sejarah: Humanisme. Humanisme pada dasarnya adalah nilai-

nilai kemanusiaan. Pada bidang kesusastraan, terutama penulisan sejarah adalah

apresiasi positif terhadap nilai-nilai kemanusiaan, dimana posisi ‘manusia’ dalam

sebuah peristiwa lebih berperan dibanding Tuhan. Dalam penulisan sejarah humanis,

para sejarawan mengurangi sifat-sifat mistis, menghindari keajaiban-keajaiban, dan

memperkecil pengaruh Tuhan pada setiap peristiwa. Dalam konteks ketuhanan, mereka

bukanlah ‘anti-kristen’ atau skeptis terhadap agama Kristen, tetapi mereka lebih

bersikap mengabaikan daripada menolak nilai-nilai teologis. Tetapi pada sisi yang lain,

humanisme ini mendorong para sejarawan cenderung melakukan sekularisasi di bidang

sejarah dan memunculkan kecenderungan baru, yaitu: kebanggaan penduduk di Italia

pada kehidupan kota. Leonardo Bruni menjadi sejarawan panutan dalam historiografi
humanis saat itu, karyanya yang berjudul The Twelve Books of Florentine

History membawa unsur-unsur humanis dalam penulisan sejarah. Bruni

menulis Florentine History dengan gaya retorik khas Romawi-Yunani klasik, dimana ia

mengaku terinspirasi oleh kultur klasik dalam penulisannya. Ia juga menghapus hal-hal

yang bersifat supranatural dan legenda-legenda pagan ataupun Kristen. Dalam hal ini ia

mirip dengan Polybius, yang menganggap bahwa akurasi data dan kritik sumber

merupakan hal yang penting dalam sebuah penulisan sejarah, tetapi menyajikan

sejarah dengan gaya tulisan retoris. Penulisan sejarah oleh Machiavelli dan Guicciardini

adalah contoh yang menunjukkan masa transisi dari abad pertengahan ke masa

renaissans. Mereka adalah sejarawan yang anti terhadap retorika, sangat menghargai

kebenaran, dan cenderung menggurui. Dalam karya mereka, sejarah benar-benar

bersifat sekuler dan terbatas pada analisa-analisa politik. Upaya-upaya sekulerisasi

sejarah dan adanya unsur-unsur humanis inilah yang memicu abad pencerahan

(renaissans) di bidang historiografi. Efek humanis ini juga merembet ke gereja, dimana

perpecahan-perpecahan mulai terjadi di kalangan gerejawan. Kristen terpecah-pecah

pada beberapa kelompok, dan antar kelompok tadi saling bersaing dan saling melawan.

Saat Machiavelli mulai menulis History of Florence, pada saat yang sama Martin Luther

membakar surat kepausan di Wittenberg. Reformasi gereja ini membawa penulisan

sejarah gereja bersifat kontradikitif. Antara golongan reformis dan kontra-reformis saling

bertarung dan keduanya menggunakan sejarah sebagai alat untuk men-delegetimasi

lawan mereka. Kaum Protestan berusaha untuk menemukan bukti-bukti bahwa upacara

dan dogma Katolik bersifat semi-pagan, dan lembaga kepausan merupakan lembaga

anti-kristus. Hal yang sama juga dilakukan oleh Katolik dengan berusaha untuk
membuktikan kesombongan-kesombongan Protestan dan kebid’ahan mereka.

Reformasi gereja membawa motivasi yang berbeda dalam penulisan sejarah, bukan

terletak pada “pengetahuan untuk mengetahui proses evolutif sebuah zaman”, tetapi

berubah menjadi “pembenaran untuk menyerang lawan”. Robert Barnes dalam

karyanya yang berjudul The Life of The Popes of Romemenggambarkan bahwa

kepausan bertanggungjawab terhadap kemelaratan yang terjadi pada masa abad

pertengahan dan memuji pemikiran-pemikiran kaum sekuler yang merupakan lawan

dari kepausan. Humanisme membawa efek negatif bagi historiografi gereja, dimana

saling serang dengan menggunakan media penulisan sejarah menjadi hal biasa pada

masa itu. Masing-masing kelompok berlomba-lomba untuk menjatuhkan lawan-

lawannya dengan menunjukkan sejarah kelam mereka. Sejarah yang penuh dengan

kontroversi ini pastinya tidak membawa dampak menenangkan, justru semakin

memperkeruh suasana. Penulisan yang mampu memunculkan pertikaian fisik ini makin

lama makin dijauhi dan unsur humanis mulai ditinggalkan. Kebangkitan keilmuan

sejarah pun dimulai, setelah benih-benih kebangkitan melalui historiografi humanis,

benih itu terus berkembang menjadi historiografi rasionalis yang sangat mementingkan

akal sehat. Ekspansi bangsa Eropa dalam mencari dunia baru (The New World)

membawa era baru dalam penulisan sejarah. Minat sejarawan semakin meluas dan

berkembang, dan penulisan a la Herodotus mulai banyak disukai oleh para sejarawan.

Historiografi masa itu berkembang pada gaya penulisan yang bersifat deskriptif

daripada narasi kronologis. Cerita mengenai kejelekan-kejelekan antar gereja berganti

mengenai kisah-kisah kebudayaan dan adat-istiadat. Saat-saat inilah studi etnografi

dan geografi memegang peranan penting dalam sebuah historiografi. Ekspansi Eropa
ini mampu membawa pengaruh dalam setiap perkembangan ilmu, terutama pada

dogma-dogma gereja yang makin lama makin disangsikan kebenarannya serta

penemuan-penemuan baru guna mengeksplorasi alam semesta lebih jauh. Sikap-sikap

rasionalisme dan munculnya filsafat-filsafat baru (terutama di bidang sosial dan ilmu

pengetahuan) membuat sejarah juga mengikuti arus zeitgeist(jiwa zaman). Keajaiban

dan segala hal yang bersifat mistis (supranatural) semakin menghilang dan tergantikan

oleh rasionalitas manusia. Rasionalisme (Aufklarung), hal inilah yang menjadi awal bagi

sejarah modern yang ada saat ini. Segala pengetahuan (termasuk sejarah) yang

didasarkan pada akal sehat manusia dengan mengesampingkan peran-peran

supranatural (mistis dan ketuhanan) menjadi unsur penting dalam setiap tulisan

sejarawan saat itu. Voltaire, Monteqieu, Rosseau, Raynal, dan Heeren menularkan

prinsip rasionalitas kepada dunia. Sejarah kini tidak hanya terbatas pada persoalan

intrik gereja, tetapi meluas pada sejarah sosial, kultural, ekonomi, dll. Sejarawan

rasionalis menerima pendekatan kultural dan memperkenalkan prinsip-prinsip sosiologi

dalam historiografi. Mereka juga menghindari unsur-unsur khayal, mistis, supranatural,

dan prinsip teologi (keagamaan), lalu menggantinya dengan unsur-unsur natural

(alami). Sejarawan rasionalis tidak mengesampingkan peran Tuhan, hanya

meminimalisir peran Tuhan dalam sebuah historiografi, dimana Tuhan berperan melalui

hukum alam yang telah dibuatnya. Dalam hal umum, kaum rasionalis ini berusaha

untuk menyepakati dua hal yang bertentangan pada masa sebelumnya (historiografi

gerejasentris dan historiografi humanis) dengan mencari jalan tengah pada dua

perspektif historiografi tersebut. Dari rasionalisme inilah yang kelak menjadi awalan

bagi historiografi modern yang kita gunakan pada saat ini.

Anda mungkin juga menyukai