Oleh : Hasbullah
I. Pendahuluan
Pensejarahan (historiografi) berasal dari kata sejarah, yang secara umum
diartikan sebagai catatan peristiwa-peristiwa atau peristiwa-peristiwa itu sendiri. 1
Dalam pengertian ini, catatan peristiwa-peristiwa dan peristiwa-peristiwa itu
sendiri saling mempunyai hubungan yang relatif. Suatu peristiwa yang terjadi itu
dicatatkan dan jadilah peristiwa itu sebagai sejarah, ini adalah pengertian sejarah
yang konvensional.
Dalam catatan peristiwa-peristiwa terkandung pula bebepa hal yang
penting, yaitu ; pertama, siapakah yang mencatat peristiwa itu ; kedua,
bagaimanakah peristiwa itu dicatat tetap atau tidak, bias atau sebaliknya,
objektif atau subjektif, emosional atau rasional, apa dan bagaimanakah sudut
pandang pencatat berdasarkan peristiwa dan latar belakang yang berkaitan
dengannya ; ketiga, apakah cara dan kaedah, pendekatan dan teori, falsafah dan
pemikiran yang digunakan ; keempat, dalam konteks pengertian pencatatan
peristiwa masa kini, dengan nilai-nilai ilmiah diterapkan dalam pencatatan
tersebut dengan menggunakan sumber sekunder, bagaimanakah sumber itu
digunakan.2
Dalam peradaban Barat, sejak Herodotus bapak sejarah
sampai
Penulis adalah Dosen tetap Fakultas Ushuluddin IAIN Susqa Pekanbaru dan alumni PPs.
UNPAD Bandung dengan bidang kajian utama Sosiologi dan Antropologi.
bukan semata- mata menyerap data dan fakta historis belaka. Ia juga perlu
memperhatikan bentuk dan cara penggambaran yang disajikan pengarang.
Bagaimanakah pandangannya, interpretasinya, pendekatannya, penyeleksian data,
struktur rekonstruksi, dan sebagainya. Dimensi-dimensi subjektivitas itu, sedikit
banyak
dipengaruhi
oleh
persepsi
pengarang
terhadap
masa
lampau
masyarakatnya.
Dengan demikian, studi historiografi terutama memusnahkan perhatian
kepada dimensi-dimensi subjektivitas penulis sejarah, termasuk visinya,
persepsinya, struktur pikirannya dan sebagainya. Ini berarti bahwa objek studinya
adalah ide atau alam pikiran manusia.
Permasalahan yang sering muncul dalam pengkajian teks-teks historiografi
tradisional khususnya pensejarahan Melayu adalah tentang kewujudan atau
pencampuran unsur fantasi (seperti mitos, legenda, dongeng, dan post-eventum)
yang dianggap bukan sejarah. Sikap para pengkaji awal yang nampaknya memang
disadari oleh sarjana semasa Robson, Jones, Kratz dan Brakel terhadap penelitian
teks-teks ini ialah untuk mendapatkan bukti dan data sejarah untuk mendukung
dan melengkapkan penulisan mereka tentang kebudayaan penduduk lokal.
Banyaknya pencampuran unsur-unsur mitos dalam pensejarahan Melayu
mengakibatkan karya ini dipandang sinis oleh sebagian sarjana Barat. Mereka
menganggap karya historiografi tradisional bukanlah sebuah karya sejarah
dalam arti sejarah modern yang bisa digunakan sebagai sumber dan informasi
yang valid tentang suatu masyarakat. Oleh karena itu, karya-karya ini tidak bisa
dijadikan rujukan dalam suatu studi ilmiah. Hal ini tentu saja merugikan
masyarakat lokal, karena kajian yang dilakukan selalu bersandar dengan
informasi-informasi yang dibuat atau dicacat oleh para penjajah atau musafir,
sehingga karya seperti ini lebih terkesan eropa sentris.
Pandangan tersebut menyebabkan terjadinya krisis sistem pengetahuan
lokal akibat serangan frontal dari konvensi dan metode modern yang
diperkenalkan. Hal ini bukan saja telah menjadikan informasi yang diberikan oleh
sistem pengetahuan itu hanya sebagai pantulan dari keprihatinan kultural
sebagaimana dikemukakan oleh C.C. Berg seorang Javanolog Belanda tetapi
2
juga memandangnya tidak lebih dari dongeng, legenda, atau mitos belaka. Jadi,
kredibilitas dari sistem dan materi pengetahuan hanya terletak pada nilai
antropologisnya sebagai kesaksian akan diri sendiri (self image) bukan sebagai
sumber pengetahuan yang sah tentang sejarah 3. Dalam konteks ini, proses
pengislaman Raja Pasai atau Raja Melaka tidak bisa dilihat sebagai sejarah
empiris, melainkan sebagai pertanggungjawaban kultural Melayu tentang proses
yang dramatis dan luar biasa tersebut. Local knowledge bukanlah pengetahuan
yang informatif tentang realitas empiris, tetapi kesaksian kultural terhadap dirinya
sendiri.
Dalam dua tiga dasawarsa terakhir ini, pandangan tersebut telah
mengalami perubahan. Local knowledge dan historiografi tradisional tidak lagi
dianggap hanya sebagai kesaksian atau pertanggungjawaban kultural, tetapi telah
dipertimbangkan sebagai kemungkinan dari sumber informasi yang sah tentang
sejarah4. Peristiwa-peristiwa ajaib yang kerap kali ditonjolkan dalam historiografi
tradisional tidak lagi hanya diperlakukan sebagai dongeng atau mitos (seperti
perlakuan Winstedt), tetapi bisa dipertimbangkan sebagai simbol yang mungkin
ingin mengatakan sesuatu tentang sesuatu.
Sekalipun cerita-cerita yang disampaikan secara lisan itu tidak dapat
dipercaya sebagai berita tentang apa yang sebenarnya terjadi dalam sejarah,
namun cerita itu selamanya masih penting untuk dipelajari tentang bagaimana
para leluhur memandang dan menilai dunia mereka pada waktu itu. Mitos dan
legenda dengan demikian mendapatkan arti yang baru, antara lain menjadi sumber
tentang bagaimana dan apa yang dipercaya di masa lalu tersebut. Juga adat istiadat
rakyat, seperti yang masih terpelihara sampai sekarang merupakan sumber
informasi mengenai bentuk-bentuk hidup dari masa lalu5.
Pandangan positif para sarjana masa kini, menyebabkan unsur mitos yang
terdapat pada hampir semua karya historiografi tradisional telah dinilai dari
sudut ilmiah dengan menggunakan disiplin ilmu tertentu seperti, sastera, filologi,
sosiologi-antropologi, arkeologi, etnologi, atau dengan menggunakan pendekatan
multi-dimensional. Walau bagaimanapun pandangan tersebut menumpu kepada
fungsi berbagai unsur dalam komposisi penulisan.
b.
sebuah babad untuk menyanjungkan rajanya, misalnya dalam ciptaan seninya itu
raja disamakannya dengan leluhurnya yang masyhur yang berasal dari dewadewa. Hal ini terlihat dengan jelas dalam epos besar Mahabharata8 dengan
tokohnya Arjunawiwaha, bukan saja merupakan cerita tentang Arjuna, tetapi di
samping itu epos ini dalam bentuk yang tersembunyi menceritakan kehidupan raja
Airlangga. Dengan penyamaan serupa itu, raja adalah lebih dari seorang penguasa
dunia, dia adalah pusat sakral dari pergaulan hidup, wakil terkemuka dari seluruh
masyarakat, dalam dirinya dan dengan perantaraan dialah masyarakat itu
berhubungan dengan susunan kosmis, dialah pendukung kelanjutan hidup dan
oleh karenanya mempertahankan hubungan dengan leluhur yang dianggap dewadewa itu. Dalam arti ini dia melindungi masyarakat, jadi dia lebih dari penguasa
politik dalam pengertian modern. Dalam gilirannya raja yang bersifat dewa ini
harus pula dilindungi, didukung, diperkuat dengan jalan ritus dan kultus, seperti
jelas kelihatan dalam kebudayaan Jawa lama (kuil-kuil, prasasti-prasasti, dan lainlain).
Penggunaan mitos oleh penguasa dalam historiografi tradisional pada
umumnya atau pensejarahan Melayu khususnya itu bertujuan
mempertahankan
untuk
a. Mitos-mitos itu merupakan alegori yang disusun oleh para penyair tentang
perjuangan antara unsur-unsur atau lambang-lambang berbagai bakat dan
watak manusia seperti rasio, kebodohan, cinta, dan lain-lain. Untuk alegori
semacam ini ada topangannya dalam kenyataan, bahwa beberapa dewa
tidak dapat dipungkiri lagi ada kaitannya dengan segi-segi tertentu dari
alam atau sifat-sifat dan kegiatan manusia.
b. Mitos-mitos itu adalah cerita tentang raja-raja dengan kekuasaan besar dan
kebijaksanaan tinggi, yang hidup di zaman kuno sekali, lalu didewakan
oleh anak cucunya.
c. Mitos-mitos itu adalah hasil penipuan para imam atau raja-raja, yang
dengan cara itu menciptakan suatu posisi kekuasaan bagi diri sendiri untuk
mengekang massa atau untuk tetap melanggengkan kekuasaannya.
Penjelasan-penjelasan di atas memperlihatkan bagaimana peran mitos
dalam masyarakat masa lampau, namun secara garis besar para sarjana
menyimpulkan fungsi mitos dalam dua kategori, yaitu ; pertama, mitos yang
berfungsi menjelaskan , kedua, mitos yang berfungsi memberikan pembenaran /
pembuktian.10
Mitos yang berfungsi memberikan penjelasan yang juga dikenal sebagai
mitos etiologi (yang mencari penyebab), memberikan penjelasan tentang alam
atau dunia fisik. Biasanya, ia menjelaskan asal-usul adat istiadat, nama, sebuah
benda, kejadian atau peristiwa. Dalam hal ini, dapat juga disebut sebagai mitos
tentang asal-usul. Mitos yang berfungsi menjelaskan ini merupakan cikal bakal
ilmu (proto science) yang di dalamnya tercermin rasa keingintahuan manusia
primitif akan lingkungannya. Lang, menyebutkan mitos ini bertujuan
untuk
tempat (Seperti asal-usul Kerajaan Siak, Kerajaan Pagar Ruyung), adat istiadat
(Seperti assl-usul adat Melayu yang bersumber dari adat Ketemenggungan dan
adat Perpatih) , objek atau pun kepercayaan. Walaupun demikian, maksud mitosmitos ini tidak semata-mata memberikan penjelasan, tetapi juga memberikan
pembuktian atau alasan untuk hal-hal tertentu.
Fungsi mitos yang menjelaskan ini sangat banyak ditemukan di dalam
historiografi tradisional dan cerita-cerita rakyat. Namun fungsi mitos yang
memainkan peran yang sangat penting dalam pensejarahan Melayu atau
historiografi tradisional
kepangkatan dan kekuasaan., adanya hak-hak istimewa dan subordinasi, dan tentu
saja pada situasi perubahan-perubahan penting yang bersifat historis yang telah
terjadi.
Fungsi yang mengangung-agungkan kelompok orang tertentu dan
memberikan justifikasi pada status istimewa, jelas kelihatan dalam mitos-mitos
Melayu feodal. Mitos-mitos ini digunakan untuk mengkuduskan, mengesahkan
dan mengabsahkan pemikiran kelas penguasa Melayu feodal.
Dalam penulisan historiografi tradisional, seperti dalam Hikayat, Babad,
atau Kronik, nyatalah sekali bahwa penulisan itu bertujuan untuk membuat
pembenaran
eksistensinya.
Justru tujuan melegitimasikan kedudukan yang berkuasa (dalam hal
tersebut adalah raja) struktur cerita tidak hanya berpusat pada raja (raja sentris),
tetapi juga seluruh sintese yang mendarahdagingi struktur itu bernada
pengagungan ataupun pengkultusan raja. Persepsi masa lampau berkisar
sekitar raja sebagai pusat makrokosmos dan suasana religiomagis. Persepsi yang
dikuasai pandangan itu akan mudah memasukkan unsur-unsur mitologis ke dalam
historiografi14.
Mitologisasi akan memperkuat proses legitimasi itu karena mitos-mitos
menambah sifat supernatural dan sanksi-sanksi yang sakral. Kontinuitas
kekeramatan terwujud dengan perantaraan historiografi, pusaka-pusaka dan
pelbagai tradisi. Mitos sering juga dipandang sebagai sejarah teladan, artinya
berfungsi sebagai model-model tokoh kepahlawanan ataupun kepemimpinan,
yang sedemikian besar atau luar biasa kekuasaannya, sehingga melampaui
kemanusiaan dan menjadi supernatural sifatnya.
Maka dari itu, tokoh itu diliputi suasana keramat atau dalam istilah
masyarakat tradisional disebut kesaktian. Pada hakikatnya sumber-sumber
kekuasaan dikembalikan kepada kesaktian atas kekeramatan itu. Suasana
religiomagis memudahkan pembauran sifat-sifat sakral dan sekuler dan hal itu
dirasakan wajar terdapat di dalam kesatuan hidup. Dalam Sejarah Melayu
diceritakan kesaktian anak cucu Iskandar Zulkarnain sebagai cikal bakal raja
8
Historiografi ini ditulis sebagai bimbingan bagi para penguasa tatkala terjadi
dekadensi pemerintahan Sultan Mahmud, yang lebih cenderung kepada kehidupan
modern dengan gaya yang menyimpang dari ajaran Islam.
c.
semangat
suatu
suku
Bangsa
Melayu
perlu
ditonjolkan.
umum yang melahirkan mitos adalah gejala patologis seperti dislokasi sosial, rasa
tidak aman kelompok, ekonomi yang kacau, dan depresi psikologis. Mitos sering
merupakan upaya untuk menyesuaikan diri pada ketegangan sosial yang luar biasa
dan tekanan dari masa sulit. Mitos adalah penangkal dari status quo yang
terancam. Unsur-unsur formula mitos yang biasa adalah rasionalisasi, eskapisme
(penghindaran diri dari masalah dengan berbagai jalan seperti berkhayal, dan lainlain), dan legitimasi.20
Mitos dalam pensejarahan Melayu tidak hanya memberikan justifikasi
untuk tujuan-tujuan politis, tetapi juga untuk mengimbangi kemegahan dan
kebanggaan yang sudah tiada, perasaan rendah diri dan perasaan tidak aman.
Tambahan lagi, mitos itu dapat pula menutupi dua bentuk kebobrokan moral kelas
penguasa, yaitu lemah dan dekadensi.
Salah satu cara untuk dapat mengatasi rasa tidak aman dan cemas adalah
dengan jalan membayangkan dunia lain, alam lain, wujud lain di balik kenyataan
yang dihadapi saat ini. Yang terjadi adalah membangkitkan zaman keemasan,
yakni masa-masa yang penuh kesemarakan melebihi masa kini. Zaman keemasan
ini bisa terjadi pada masa yang akan datang atau pun pada masa silam. Shafie Abu
Bakar menyebutkan bahwa dengan menceritakan masa-masa kegemilangan yang
pernah dicapai pada masa silam yang tentu saja terdapat kegagalan-kegagalan
akan mempertajam persepsi tentang masa depan. Secara psikologis keagungan
silam yang dibanggakan oleh generasi berikutnya, akan menyemaikan rasa
keyakinan dan tidak akan merasa hina diri untuk disejajarkan dengan keagungankeagungan yang pernah dicapai oleh bangsa-bangsa lain.21
Terjadinya keadaan-keadaan genting pastilah merupakan hal yang
kondusif terhadap penciptaan mitos. Ini diperlihatkan dengan ditemuinya sejenis
mitos dalam Sejarah Melayu, Hikayat Hang Tuah dan Hikayat Siak, yang
mencerminkan rasa tidak aman dan frustrasi yang dialami oleh sekelompok orang,
yang bisa disebut dengan meminjam istilah Sharifah Maznah Syed Omar mitos tentang zaman keemasan. Dengan istilah ini dapat menjelaskan serentetan
kisah atau cerita yang mengungkapkan keinginan untuk kembali pada asal usul
semula sebagai cara untuk menghidupkan kembali kejayaan masa lalu, dengan
11
ilusi
seseorang. Apa yang terlihat dalam kisah-kisah itu bukanlah sejarah Melaka,
melainkan sejarah semu dan mitos tentang Melaka yang kebesaran dan
kejayaannya terletak pada kaitan atau identifikasinya dengan masa silam yang
mitologis. Identifikasi ini diperoleh baik dari peniruan terhadap gambaran masa
lalu yang mitologis, atau dengan jalan menyatakan adanya hubungan keturunan
kelas penguasa Melayu dengan tokoh-tokoh yang ada di dalam mitos itu.
Upaya kelas penguasa untuk mengatasi situasi-situasi sulit pada masanya
memerlukan justifikasi yang tidak rasional tetapi bersifat mitologis. Masa lalu
yang legendaris, ghaib dan mitologis dibangkit-bangkitkan dan masa kini
dijelaskan atau dicari dalihnya dengan menggunakan masa lalu yang mitologis
tersebut.
Mitos tentang zaman keemasan daspat dilihat sebagai reaksi yang
berkonotasi kompensasi psikologis dan mencerminkan kelas penguasa Melayu
tradisional. C.G. Jung menganggap khayalan tentang kemegahan sebagai akibat
dari berfikir khayal sebagai lawan dari berfikir terarah. Menurutnya, berfikir
terarah terwujud karena menggunakan unsur-unsur bahasa untuk maksud
berkomunikasi dan ini sulit serta melelahkan, sedangkan berfikir khayal dilakukan
tanpa susah payah, dilakukan secara spontan dengan materi yang siap setiap saat,
dan yang diarahkan oleh motif alam bawah sadar. C.G. Jung mempertentangkan
berfikir terarah dengan berfikir khayal ; yang satu melahirkan inovasi dan
adaptasi, meniru kenyataan dan mencoba berbuat sesuatu terhadapnya, sedangkan
yang lainnya mengelakkan diri dari kenyataan, menggunakan tendensi-tendensi
subjekif secara bebas, dan menganggap adaptasi tidak produktif.23
Mitos Melayu tentang zaman keemasan dapat dikatakan regresif (mundur)
karena ia menganjurkan kembali ke masa silam yang tiada kesamaannya dengan
kenyataan yang ada. Kesia-siaan untuk kembali ke masa silam itu tercermin dari
dasar mitologis yang mendasari penciptaan masa lalu tersebut ; dari pernyataan
yang berlebih-lebihan, dari pelukisan dan perlambangan yang fantastis, dari
13
penggambaran yang tidak realistis tentang tokoh-tokoh yang terlibat dan dari ilusi
tentang kemegahan yang sama sekali tidak produktif. Mitos zaman keemasan
sebagaimana yang disebarluaskan oleh kesusasteraan istana menyelipkan
semangat tradisionalisme dan formalisme yang pengaruhnya terus terasa sampai
saat ini. Alatas melihat keadaan ini sebagai kecenderungan orang-orang Melayu
untuk menyembah masa lalu yang feodalistik itu.24
d.
kisah-kisah
kesejarahan
Melayu,
penonjolan
kehebatan,
Iskandar yang sebelumnya beliau menyebut nama Allah Taala dan selamat atas
nabi-nabi sebelumnya, dan kemudian berkata kepada Raja Kida Hindi bahwa :
Ketahuilah olehmu, hai Raja Kida Hindi, bahwa raja kami inilah yang diserahkan
Allah Taala kerajaan dunia ini kepadanya, dari timur (masyrik) sampai ke barat
(maghrib), dari utara (daksina) sampai ke selatan (paksina). Telah didengarnya
bahwa engkau memiliki seorang puteri yang sangat cantik parasnya, dan raja kami
menyatakan harapannya agar engkau menerimanya sebagai menantu, sehingga
hubungan antara anak cucu Raja Kida Hindi dengan anak cucu Raja Iskandar
tiada putus sampai hari kiamat.26
Ungkapan Nabi Khaidir yang ditujukan kepada Raja Kida Hindi
mengandung dua implikasi penting, yaitu ; pertama, kutipan itu tidak berlaku
untuk semua raja, melainkan kepada raja tertentu raja kami inilah yang
ditunjuk secara keilahian (devinitas) yang diserahkan Allah kerajaan dunia ini.
Nuansa keagamaan dibangkitkan dalam rangka mengacu tidak saja kepada Tuhan,
tetapi juga pada tokoh-tokoh keagamaan yang memiliki sifat-sifat ghaib. Kedua,
adanya kesinambungan kekuasaan raja-raja ikatan anak cucu Raja Kida Hindi
dan anak cucu Raja Iskandar tidak akan putus sampai hari kiamat, karena anak
keturunannya berasal dari nenek moyang yang hebat dan mewarisi sifat-sifat
tersebut. Dengan landasan bahwa asal usul keturunan mereka dari Raja Iskandar,
raja-raja Melaka mencoba memberikan legitimasi keberadaan mereka sebagai
wakil Tuhan di muka bumi ini.
Di samping mempertegas hak terhadap fungsi keilahian (devinitas),
prinsip kepusakaan juga memberikan keabsahan atas dimilikinya asal usul dan
sifat-sifat yang penuh keghaiban. Sang Sapurba muncul dari laut dengan
menunggang kuda putih dan kedatangannya di Bukit Siguntang telah membuat
ladang padi menjadi emas27, dan kemampuan Sang Sapurba merubah air asin
menjadi tawar dengan mencelupkan kakinya di laut ketika berada di Kuala
Kuantan.28 Kekuatan ghaib yang dimiliki raja dilihat tidak sebagai atribut pribadi,
tapi lebih sebagai emanasi dari kekuatan yang bersifat baik atau buruk yang
dibawa lahir oleh raja dan yang dapat duturunkan melalui keturunan. Keadaan
serupa juga terjadi pada Sultan Mansur, air basuh kakinya mampu menyembuhkan
15
penyakit kedal Raja Cina29, ia memberikan legitimasi asal usul keghaiban dan
warisan kekuatan magis yang diperoleh dari nenek moyangnya.
Dalam Sejarah Melayu, Raja Iskandar dan Sang Sapurba berasal dari satu
silsilah keturunan merupakan hal yang menarik. Pada suatu saat dalam alur
ceritanya, Raja Iskandar yang secara keilahian
penakluk dunia menganugerahkan kekuatan ghaib dan magis kepada tokoh Sang
Sapurba, walaupun mereka mewakili bentuk legitimasi yang berbeda. Raja
Iskandar digunakan untuk menampilkan tokoh raja agamis, sedangkan Sang
Sapurba untuk menyatakan asal usul yang magis. Yang satu berkaitan dengan
jabatan raja, sedangkan yang lain dengan raja pribadi. Legitimasi seperti ini tidak
membuat pembedaan antara agama dan magic. Ini menjelaskan kenapa Raja
Iskandar dan Sang Sapurba berasal dari satu silsilah keturunan. Sama halnya
dengan prinsip kepusakaan yang menghendaki peleburan unsur-unsur keturunan
(pertalian darah), silsilah keturunan mengaduk dan mengaburkan batas antara
agama dan magic.
Tidak adanya perbedaan antara agama dan magic terjadi pada setiap mitos
Melayu berkenaan dengan kerajaan keilahian. Mimpi Raja Kecil besar merupakan
contoh perpaduan antara magic dan ide keagamaan dalam mitos Melayu
sehubungan dengan kerajaan keilahian ini. Dalam mimpi tersebut Nabi
Muhammad
muncul
untuk
mengislamkannya,
meludahi
mulutnya
dan
Pencipta
mitos
tersebut
menggunakan
kedua-duanya
untuk
mendapatkan dampak penuh bagi motifnya, sebagai bentuk dari legitimasi, mimpi
dimaksudkan sebagai tanda persetujuan bagi raja untuk memerintah.
16
e.
Kesimpulan.
Mitos merupakan hal yang senantiasa melingkupi kehidupan manusia,
baik mitos yang menimbulkan dampak positif maupun dampak negatif bagi
perjalanan kehidupan manusia. Banyaknya unsur mitos dalam pensejarahan
(historiografi) Melayu membuat karya ini tidak dianggap penting dalam
menyampaikan informasi yang absah tentang sejarah orang-orang Melayu.
Pandangan seperti ini telah menempatkan historiografi tradisional Melayu
menjadi tidak berarti dan cerita yang dikandungnya dianggap hanya sebagai
mitos, fabel atau legenda belaka yang tidak mengandung kebenaran rasional.
Namun, secara antropologis pengkajian mitos tidak memperbincangkan persoalan
benar atau salah, rasional atau irrasional suatu
Catatan :
18
P.W. Goetz, et.al. (eds.), Encyclopedia Britannica, Vol II, (William Benton Publisher, Chicago, London :
1970) hlm. 529 544.
2
Muhammad Yusoff Hashim, Pensejarahan Melayu Kajian Tentang Tradisi Sejarah Melayu Nusantara,
(Dewan Bahasa dan Pustaka, Kuala Lumpur : 1992) , hlm. 1
3
Azyumardi Azra, Renaisans Islam Asia Tenggara Sejarah Wacana dan Kekuasaan, (Rosdakarya, Bandung :
1999), hlm. XI.
4
Sebagai contoh, penggunaan historiografi tradisional atau sumber sejarah lokal sebagai data atau rujukan
dalam suatu karya ilmiah telah dilakukan oleh Denys Lombard dalam karyanya Nusa Jawa Silang Budaya (3jilid) dan
De Graaf & TH. Pigued, Kerajaan Islam Pertama di Jawa Tinjauan Sejarah Politik Abad XV dan XVI.
5
J. Van Baal, Sejarah dan Pertumbuhan Teori Antropologi Budaya (Hingga Dekade 1970), Jilid I, (Gramedia,
Jakarta : 1987), hlm. 39 40.
6
Sharifah Maznah Syed Omar, Mitos dan Kelas Penguasa Melayu, (UNRI Press, Pekanbaru : 1995), hlm. 2.
7
T.D. Situmorang & A. Teeuw (Penyelenggara), Sedjarah Melaju, (Djambatan, Djakarta : 1952), hlm. VIII.
8
Krishna Dwaipayana Vyasa, The Mahabharata (terj.), (Hanuman Sakti, Jakarta : 1995).
9
J. Van Baal, Ibid., hlm. 42 43.
10
Sharifah Maznah Syed Omar, Ibid., hlm. 4 5.
11
Andrew Lang, Myth, Ritual and Religion, Vol. II, (Longmans, Green, London : 1913), hlm. 300 301.
12
Bronislow Malinowski, Magic, Science and Religion , (Garden City, New York : 1954), hlm. 64.
13
Sharifah Maznah Syed Omar, Ibid., hlm. 5.
14
Anthony Reid & David Marr (eds.), Dari Raja Ali Haji Hingga Hamka, (Grafiti, Jakarta : 1983), hlm. V.
15
T.D. Situmorang & A. Teeuw (Penyelenggara), Ibid., hlm. 22 24.
16
A. Samad Ahmad, Sulalatus Salatin (Sejarah Melayu), (Dewan Bahasa dan Pustaka, Kuala Lumpur : 1986),
hlm. 54 55.
17
Raja Ali Haji, Tuhfat al-Nafis, (Malaysia Printers Limited, Singapura : t.th.).
18
Abd. Latiff Abu Bakar, Sejarah di Selat Melaka, (United Selangor Press, Kuala Lumpur : 1984), hlm. 1
46.
19
Muhammad Yusoff Hashim, Ibid., hlm. 344 345.
20
G.M. Cuthbertson, Political Myth and Epic, (Michigan State University Press, East Lansing : 1975), hlm.
160 161.
21
Shafie Abu Bakar, Melaka Sebagai Lambang Keagungan Bangsa Melayu, dalam Abd. Latiff Abu Bakar,
Ibid., hlm. 13.
22
Sharifah Maznah Syed Omar, Ibid., hlm. 44 45.
23
C.G. Jung, Symbol of Transformation, dalam The Collected Work of C.G. Jung, (Routledge & Kegal Paul,
London : 1956), hlm. 18.
24
S.H. Alatas, Modernization and Social Change, (Angus & Robertson, Sydney : 1972), hlm. 100 101.
25
Sharifah Maznah Syed Omar, Ibid., hlm. 60.
26
Situmorang T.D. & A. Teeuw (Penyelenggara), Ibid., hlm. 1 6.
27
Ibid., hlm. 22 23.
28
Ibid., hlm. 34.
29
Ibid., hlm. 144.
30
Ibid., hlm. 81 82, dan A. Samad Ahmad, Ibid., hlm. 72 73.
31
Ibid., hlm. 61, dan A. Samad Ahmad, Ibid., hlm. 57.
Daftar Kepustakaan
Abu Bakar, Abd. Latiff, 1984. Sejarah di Selat Melaka, Kuala Lumpur : United sSelangor Press.
Ahmad, A. Samad, 1986. Sulalatus Salatin (Sejarah Melayu), Kuala Lumpur : Dewan Bahasa dan
Pustaka.
Alatas, S.H., 1972. Modernization and Social Change, Sydney : Angus & Robertson.
Azra, Azyumardi, 1999. Renaisans Islam Asia Tenggara Sejarah Wacana dan kekuasaan,
Bandung : Rosdakarya.
Baal, J. Van, 1987. Sejarah dan Pertumbuhan Teori Antropologi Budaya (Hingga Dekade 1970),
Jilid I, Jakarta : Gramedia.
Cuthbertson, G.M., 1975. Political Myth and Epic, East Lansing : Michigan State University Press.
De Graaf, H.J. & TH. Pigeud, 2001. Kerajaan Islam Pertama di Jawa Tinjauan Sejarah Politik
Abad XV dan XVI, Jakarta : Grafiti.
Goetz, P.W. et.al. (eds.), 1970. Encyclopedia Britannica, Vol II, Chicago & London : William
Benton Publisher.
Hashim, Muhammad Yusoff, 1992. Pensejarahan Melayu Kajian Tentang Tradisi Sejarah Melayu
Nusantara, Kuala Lumpur : Dewan Bahasa dan Pustaka.
------- (Penyelenggara), 1992. Hikayat Siak, Kuala Lumpur : Dewan Bahasa dan Pustaka
Jung, C.G., 1956. The Collected Work of C.G. Jung, London : Routledge & Kegal Paul.
Lang, Andrew, 1913. Myth, Ritual and Religion, Vol. II, London : Longmans, Green.
Lombard, Denys, 2000. Nusa Jawa Silang Budaya, 3 Jilid, Jakarta : Gramedia.
Malinowski, Bronislaw, 1954. Magic, Science and Religion, New York : Garden City.
Raja Ali Haji, t.th., Tuhfat al-Nafis, Singapura : Malaysia Printers Limited.
Reid, Anthony & David Marr, 1983. Dari Raja Ali Haji Hingga Hamka, Jakarta : Grafiti.
Situmorang T.D. & A. Teeuw (penyelenggara), 1952. Sedjarah Melaju, Djakarta : Djambatan.
Syed Omar, Sharifah Maznah, 1995. Mitos dan Kelas Penguasa Melayu, Pekanbaru : UNRI Press.
Vyasa, Krishna Dwaipayana, 1995. The Mahabharata (terj.), Jakarta : Hanuman Sakti.