Anda di halaman 1dari 20

MITOS DAN PENSEJARAHAN MELAYU

Oleh : Hasbullah
I. Pendahuluan
Pensejarahan (historiografi) berasal dari kata sejarah, yang secara umum
diartikan sebagai catatan peristiwa-peristiwa atau peristiwa-peristiwa itu sendiri. 1
Dalam pengertian ini, catatan peristiwa-peristiwa dan peristiwa-peristiwa itu
sendiri saling mempunyai hubungan yang relatif. Suatu peristiwa yang terjadi itu
dicatatkan dan jadilah peristiwa itu sebagai sejarah, ini adalah pengertian sejarah
yang konvensional.
Dalam catatan peristiwa-peristiwa terkandung pula bebepa hal yang
penting, yaitu ; pertama, siapakah yang mencatat peristiwa itu ; kedua,
bagaimanakah peristiwa itu dicatat tetap atau tidak, bias atau sebaliknya,
objektif atau subjektif, emosional atau rasional, apa dan bagaimanakah sudut
pandang pencatat berdasarkan peristiwa dan latar belakang yang berkaitan
dengannya ; ketiga, apakah cara dan kaedah, pendekatan dan teori, falsafah dan
pemikiran yang digunakan ; keempat, dalam konteks pengertian pencatatan
peristiwa masa kini, dengan nilai-nilai ilmiah diterapkan dalam pencatatan
tersebut dengan menggunakan sumber sekunder, bagaimanakah sumber itu
digunakan.2
Dalam peradaban Barat, sejak Herodotus bapak sejarah

sampai

sepanjang abad-abad berikutnya, dihasilkan karya-karya penulisan sejarah.


Namun, dalam kebudayaan Indonesia atau Melayu pada umumnya dikenal
sejumlah besar historiografi tradisional, yang lebih dikenal sebagai Kronik,
Silsilah, Hikayat, Sejarah, atau Babad. Dalam mempelajari karya-karya itu, akan
ditemui keragaman versi, bentuk, dan gaya penyajian, dan tidak jarang pula terjadi
perbedaan interpretasi.
Kesemuanya itu dapat dikembalikaan kepada faktor subjektif yang
berkaitan dengan faktor kehadiran si subjek, ialah pengarang karya-karya itu.
Pada hakikatnya tujuan setiap pembaca karya sejarah dalam bentuk apa pun

Penulis adalah Dosen tetap Fakultas Ushuluddin IAIN Susqa Pekanbaru dan alumni PPs.
UNPAD Bandung dengan bidang kajian utama Sosiologi dan Antropologi.

bukan semata- mata menyerap data dan fakta historis belaka. Ia juga perlu
memperhatikan bentuk dan cara penggambaran yang disajikan pengarang.
Bagaimanakah pandangannya, interpretasinya, pendekatannya, penyeleksian data,
struktur rekonstruksi, dan sebagainya. Dimensi-dimensi subjektivitas itu, sedikit
banyak

dipengaruhi

oleh

persepsi

pengarang

terhadap

masa

lampau

masyarakatnya.
Dengan demikian, studi historiografi terutama memusnahkan perhatian
kepada dimensi-dimensi subjektivitas penulis sejarah, termasuk visinya,
persepsinya, struktur pikirannya dan sebagainya. Ini berarti bahwa objek studinya
adalah ide atau alam pikiran manusia.
Permasalahan yang sering muncul dalam pengkajian teks-teks historiografi
tradisional khususnya pensejarahan Melayu adalah tentang kewujudan atau
pencampuran unsur fantasi (seperti mitos, legenda, dongeng, dan post-eventum)
yang dianggap bukan sejarah. Sikap para pengkaji awal yang nampaknya memang
disadari oleh sarjana semasa Robson, Jones, Kratz dan Brakel terhadap penelitian
teks-teks ini ialah untuk mendapatkan bukti dan data sejarah untuk mendukung
dan melengkapkan penulisan mereka tentang kebudayaan penduduk lokal.
Banyaknya pencampuran unsur-unsur mitos dalam pensejarahan Melayu
mengakibatkan karya ini dipandang sinis oleh sebagian sarjana Barat. Mereka
menganggap karya historiografi tradisional bukanlah sebuah karya sejarah
dalam arti sejarah modern yang bisa digunakan sebagai sumber dan informasi
yang valid tentang suatu masyarakat. Oleh karena itu, karya-karya ini tidak bisa
dijadikan rujukan dalam suatu studi ilmiah. Hal ini tentu saja merugikan
masyarakat lokal, karena kajian yang dilakukan selalu bersandar dengan
informasi-informasi yang dibuat atau dicacat oleh para penjajah atau musafir,
sehingga karya seperti ini lebih terkesan eropa sentris.
Pandangan tersebut menyebabkan terjadinya krisis sistem pengetahuan
lokal akibat serangan frontal dari konvensi dan metode modern yang
diperkenalkan. Hal ini bukan saja telah menjadikan informasi yang diberikan oleh
sistem pengetahuan itu hanya sebagai pantulan dari keprihatinan kultural
sebagaimana dikemukakan oleh C.C. Berg seorang Javanolog Belanda tetapi
2

juga memandangnya tidak lebih dari dongeng, legenda, atau mitos belaka. Jadi,
kredibilitas dari sistem dan materi pengetahuan hanya terletak pada nilai
antropologisnya sebagai kesaksian akan diri sendiri (self image) bukan sebagai
sumber pengetahuan yang sah tentang sejarah 3. Dalam konteks ini, proses
pengislaman Raja Pasai atau Raja Melaka tidak bisa dilihat sebagai sejarah
empiris, melainkan sebagai pertanggungjawaban kultural Melayu tentang proses
yang dramatis dan luar biasa tersebut. Local knowledge bukanlah pengetahuan
yang informatif tentang realitas empiris, tetapi kesaksian kultural terhadap dirinya
sendiri.
Dalam dua tiga dasawarsa terakhir ini, pandangan tersebut telah
mengalami perubahan. Local knowledge dan historiografi tradisional tidak lagi
dianggap hanya sebagai kesaksian atau pertanggungjawaban kultural, tetapi telah
dipertimbangkan sebagai kemungkinan dari sumber informasi yang sah tentang
sejarah4. Peristiwa-peristiwa ajaib yang kerap kali ditonjolkan dalam historiografi
tradisional tidak lagi hanya diperlakukan sebagai dongeng atau mitos (seperti
perlakuan Winstedt), tetapi bisa dipertimbangkan sebagai simbol yang mungkin
ingin mengatakan sesuatu tentang sesuatu.
Sekalipun cerita-cerita yang disampaikan secara lisan itu tidak dapat
dipercaya sebagai berita tentang apa yang sebenarnya terjadi dalam sejarah,
namun cerita itu selamanya masih penting untuk dipelajari tentang bagaimana
para leluhur memandang dan menilai dunia mereka pada waktu itu. Mitos dan
legenda dengan demikian mendapatkan arti yang baru, antara lain menjadi sumber
tentang bagaimana dan apa yang dipercaya di masa lalu tersebut. Juga adat istiadat
rakyat, seperti yang masih terpelihara sampai sekarang merupakan sumber
informasi mengenai bentuk-bentuk hidup dari masa lalu5.
Pandangan positif para sarjana masa kini, menyebabkan unsur mitos yang
terdapat pada hampir semua karya historiografi tradisional telah dinilai dari
sudut ilmiah dengan menggunakan disiplin ilmu tertentu seperti, sastera, filologi,
sosiologi-antropologi, arkeologi, etnologi, atau dengan menggunakan pendekatan
multi-dimensional. Walau bagaimanapun pandangan tersebut menumpu kepada
fungsi berbagai unsur dalam komposisi penulisan.

b.

Fungsi Mitos Dalam Pensejarahan Melayu


Sepanjang sejarah, mitos telah dinilai baik secara positif maupun negatif.
Penilaian yang positif terhadap mitos dilakukan oleh orang-orang yang
menganggap mitos memiliki kebenaran-kebenaran filosofis, agamis maupun
alegoris. Kelompok ini diwakili oleh Vico, Goethe, Schelling, Jung, Neuman,
Campbell, dan lain-lain. Walaupun demikian, banyak juga orang-orang yang tidak
melihat mitos sebagai pengungkapan kebenaran yang fundamental tentang
eksistensi manusia. Sebaliknya, mereka melihat mitos itu sebagai fiksi,
kebohongan, fabel, khayalan, fantasi yang tidak akan mungkin terjadi. Mereka
juga memandang mitos merupakan pelarian manusia karena ketidakmampuan
rasional dalam menjelaskan berbagai fenomena dan kejadian alam serta berbagai
peristiwa yang dialami manusia. Asal muasal kritikan terhadap mitos merujuk
pada zaman Yunani abad kelima. Kelompok ini diwakili oleh antara lain,
Xenophanes, Thales, Heraclitus, dan Homer.
Mitos dikritik tidak hanya karena ia berisikan gagasan-gagasan yang tidak
bermoral, tapi juga karena sifatnya yang tidak rasional yang menghambat
pertumbuhan pemikiran ilmiah. Pada waktu bangsa Yunani melakukan
perpindahan dari mitos masa lampaunya, yaitu dari mitos dan kemudian
mengambil logos kata yang mengacu pada kemampuan rasional atau
penanganan kebenaran itulah mereka berhasil membuat kemajuan yang pesat
sekali dalam bidang filsafat dan ilmu alam6.
Kebanyakan karya sejarah masa lalu (historiografi tradisional) ditulis
untuk kepentingan para penguasa atau keluarga istana. Hal ini terlihat dengan
jelas dalam bentuk dan susunan Sejarah Melayu yang menunjukkan bahwa
penulisan sejarah ini ialah untuk mengabdi kepada kepentingan raja yang
kedudukannya lebih dari pusat kerajaan di dunia saja. Keadaan serupa juga bisa
ditemukan dalam kesusasteraan Jawa, yang juga ditulis di Kraton yang merupakan
pusat kekuasaan. Seorang pujangga Jawa semenjak dulu bukan hanya berfungsi
sebagai pujangga saja dalam arti sekarang ini. Dia menjabat fungsi yang penting
di Kraton atau seperti yang disebut oleh Berg, dia adalah Pendeta-bahasa. 7
Sebagai seorang pendeta-bahasa, dia menulis sebuah epos, sebuah roman,
4

sebuah babad untuk menyanjungkan rajanya, misalnya dalam ciptaan seninya itu
raja disamakannya dengan leluhurnya yang masyhur yang berasal dari dewadewa. Hal ini terlihat dengan jelas dalam epos besar Mahabharata8 dengan
tokohnya Arjunawiwaha, bukan saja merupakan cerita tentang Arjuna, tetapi di
samping itu epos ini dalam bentuk yang tersembunyi menceritakan kehidupan raja
Airlangga. Dengan penyamaan serupa itu, raja adalah lebih dari seorang penguasa
dunia, dia adalah pusat sakral dari pergaulan hidup, wakil terkemuka dari seluruh
masyarakat, dalam dirinya dan dengan perantaraan dialah masyarakat itu
berhubungan dengan susunan kosmis, dialah pendukung kelanjutan hidup dan
oleh karenanya mempertahankan hubungan dengan leluhur yang dianggap dewadewa itu. Dalam arti ini dia melindungi masyarakat, jadi dia lebih dari penguasa
politik dalam pengertian modern. Dalam gilirannya raja yang bersifat dewa ini
harus pula dilindungi, didukung, diperkuat dengan jalan ritus dan kultus, seperti
jelas kelihatan dalam kebudayaan Jawa lama (kuil-kuil, prasasti-prasasti, dan lainlain).
Penggunaan mitos oleh penguasa dalam historiografi tradisional pada
umumnya atau pensejarahan Melayu khususnya itu bertujuan
mempertahankan

untuk

atau menggunakaan kekuasaan mereka, dan sekaligus untuk

mendapat pengakuan dari masyarakat banyak. Sehingga karya-karya ini


menampilkan hal-hal yang bersifat magic, menakjubkan, supernatural dan ajaib.
Cerita-cerita ini merupakan produk pikiran yang tidak logis, cerita-cerita itu
menuntut keyakinan dan ditujukan untuk menjaga kepentingan kelas penguasa
dengan mengorbankan orang banyak, hal seperti ini terlihat jelas dalam mitos
Melayu feodal.
Mitos adalah hal yang sangat penting dalam peradaban klasik yang harus
dihadapi oleh para ilmuwan. Mitos merupakan tradisi dari zaman prasejarah, yang
biasanya berhubungan dengan salah satu dewa atau suatu kekuatan alam yang
dipersonifikasikan, juga cerita yang tidak mengandung kebenaran, dan yang
diperlakukan sebagai kebenaran. Van Baal9 menyebutkan mitos-mitos itu biasanya
dijelaskan dengan salah satu dari tiga cara sebagai berikut :

a. Mitos-mitos itu merupakan alegori yang disusun oleh para penyair tentang
perjuangan antara unsur-unsur atau lambang-lambang berbagai bakat dan
watak manusia seperti rasio, kebodohan, cinta, dan lain-lain. Untuk alegori
semacam ini ada topangannya dalam kenyataan, bahwa beberapa dewa
tidak dapat dipungkiri lagi ada kaitannya dengan segi-segi tertentu dari
alam atau sifat-sifat dan kegiatan manusia.
b. Mitos-mitos itu adalah cerita tentang raja-raja dengan kekuasaan besar dan
kebijaksanaan tinggi, yang hidup di zaman kuno sekali, lalu didewakan
oleh anak cucunya.
c. Mitos-mitos itu adalah hasil penipuan para imam atau raja-raja, yang
dengan cara itu menciptakan suatu posisi kekuasaan bagi diri sendiri untuk
mengekang massa atau untuk tetap melanggengkan kekuasaannya.
Penjelasan-penjelasan di atas memperlihatkan bagaimana peran mitos
dalam masyarakat masa lampau, namun secara garis besar para sarjana
menyimpulkan fungsi mitos dalam dua kategori, yaitu ; pertama, mitos yang
berfungsi menjelaskan , kedua, mitos yang berfungsi memberikan pembenaran /
pembuktian.10
Mitos yang berfungsi memberikan penjelasan yang juga dikenal sebagai
mitos etiologi (yang mencari penyebab), memberikan penjelasan tentang alam
atau dunia fisik. Biasanya, ia menjelaskan asal-usul adat istiadat, nama, sebuah
benda, kejadian atau peristiwa. Dalam hal ini, dapat juga disebut sebagai mitos
tentang asal-usul. Mitos yang berfungsi menjelaskan ini merupakan cikal bakal
ilmu (proto science) yang di dalamnya tercermin rasa keingintahuan manusia
primitif akan lingkungannya. Lang, menyebutkan mitos ini bertujuan

untuk

menaggapi rasa keingintahuan manusia tentang sebab terjadinya sesuatu,


menjembatani kesenjangan dalam hal pengetahuan mereka dan menyampaikan
informasi tentang segala sesuatu yang berada di luar pengalaman praktis mereka.11
Dalam kisah-kisah kesejarahan Melayu, banyak sekali ditemui mitos-mitos
yang berfungsi menjelaskan asa-usul putera atau puteri mahkota (seperti asal usul
raja-raja Melayu yang dinisbatkan kepada Iskandar Zulkarnain), nama-nama
6

tempat (Seperti asal-usul Kerajaan Siak, Kerajaan Pagar Ruyung), adat istiadat
(Seperti assl-usul adat Melayu yang bersumber dari adat Ketemenggungan dan
adat Perpatih) , objek atau pun kepercayaan. Walaupun demikian, maksud mitosmitos ini tidak semata-mata memberikan penjelasan, tetapi juga memberikan
pembuktian atau alasan untuk hal-hal tertentu.
Fungsi mitos yang menjelaskan ini sangat banyak ditemukan di dalam
historiografi tradisional dan cerita-cerita rakyat. Namun fungsi mitos yang
memainkan peran yang sangat penting dalam pensejarahan Melayu atau
historiografi tradisional

adalah fungsi mitos yang memberikan pembenaran

(justifikasi). Pengamatan Malinowski tentang peranan mitos dalam suatu


kelompok sosial sangat relevan dalam konteks ini. Kajiannya tentang orang-orang
Tobriand memperlihatkan bagaimana mitos dapat digunakan untuk mewadahi
hasrat orang akan kekuasaan atau untuk mengagung-agungkan sekelompok orang
tertentu. Menurut pendapat Malinowski, mitos selalu digunakan untuk
menjelaskan hak-hak atau kewajiban-kewajiban yang luar biasa, kesenjangan
sosial yang besar dan beban-beban yang berat untuk masing-masing kedudukan
baik yang tinggi maupun yang rendah12.
Bronislaw Malinowski adalah penganut tangguh dari fungsi mitos seperti
ini, ia menolak gagasan yang menyatakan bahwa fungsi mitos itu adalah untuk
menjelaskan atau untuk menyalurkan rasa keingintahuan manusia, dan sebaliknya
ia berpendapat bahwa mitos itu berfungsi sebagai piagam atau kesepakatan
tentang kepercayaan, adat istiadat, lembaga, upacara, dan lain-lain13.
Mitos bukanlah semata-mata dongeng, akan tetapi memiliki kekuatan aktif
sebagai hasil dari kerja keras. Ia bukanlah merupakan penjelasan yang rasionalintelektual dan bukan pula merupakan khayalan yang artistik, akan tetapi adalah
piagam tentang kesetiaan orang-orang primitif dan kebijaksanaan dalam bidang
moral.
Mitos dapat juga dimanfaatkan untuk memberikan justifikasi dan
penjelasan tentang keadaan sesuatu atau status sesuatu yang kelihatannya ganjil
atau aneh. Mitos berfungsi, terutama pada situasi yang memiliki masalah-masalah
yang bersifat sosiologis seperti adanya perbedaan yang besar dalam hal
7

kepangkatan dan kekuasaan., adanya hak-hak istimewa dan subordinasi, dan tentu
saja pada situasi perubahan-perubahan penting yang bersifat historis yang telah
terjadi.
Fungsi yang mengangung-agungkan kelompok orang tertentu dan
memberikan justifikasi pada status istimewa, jelas kelihatan dalam mitos-mitos
Melayu feodal. Mitos-mitos ini digunakan untuk mengkuduskan, mengesahkan
dan mengabsahkan pemikiran kelas penguasa Melayu feodal.
Dalam penulisan historiografi tradisional, seperti dalam Hikayat, Babad,
atau Kronik, nyatalah sekali bahwa penulisan itu bertujuan untuk membuat
pembenaran

dari kedudukan yang sedang berkuasa atau melegitimasikan

eksistensinya.
Justru tujuan melegitimasikan kedudukan yang berkuasa (dalam hal
tersebut adalah raja) struktur cerita tidak hanya berpusat pada raja (raja sentris),
tetapi juga seluruh sintese yang mendarahdagingi struktur itu bernada
pengagungan ataupun pengkultusan raja. Persepsi masa lampau berkisar
sekitar raja sebagai pusat makrokosmos dan suasana religiomagis. Persepsi yang
dikuasai pandangan itu akan mudah memasukkan unsur-unsur mitologis ke dalam
historiografi14.
Mitologisasi akan memperkuat proses legitimasi itu karena mitos-mitos
menambah sifat supernatural dan sanksi-sanksi yang sakral. Kontinuitas
kekeramatan terwujud dengan perantaraan historiografi, pusaka-pusaka dan
pelbagai tradisi. Mitos sering juga dipandang sebagai sejarah teladan, artinya
berfungsi sebagai model-model tokoh kepahlawanan ataupun kepemimpinan,
yang sedemikian besar atau luar biasa kekuasaannya, sehingga melampaui
kemanusiaan dan menjadi supernatural sifatnya.
Maka dari itu, tokoh itu diliputi suasana keramat atau dalam istilah
masyarakat tradisional disebut kesaktian. Pada hakikatnya sumber-sumber
kekuasaan dikembalikan kepada kesaktian atas kekeramatan itu. Suasana
religiomagis memudahkan pembauran sifat-sifat sakral dan sekuler dan hal itu
dirasakan wajar terdapat di dalam kesatuan hidup. Dalam Sejarah Melayu
diceritakan kesaktian anak cucu Iskandar Zulkarnain sebagai cikal bakal raja
8

Melayu, yang turun di Bukit Siguntang dan mengakibatkan padinya berbuah


emas, berdaun perak dan berbatang suasa15. Hal serupa juga terjadi pada calon
penguasa Pasai, Merah Silu yang telah menjadikan rimba yang dilaluinya menjadi
emas dan orang pun menurut perkataannya. 16 Suasana religiomagis juga amat
kelihatan dalam pensejarahan Melayu tatkala menjelaskan proses masuk Islam
penguasa Melayu baik di Pasai maupun di Melaka, yang melalui tahapan yang
peristiwa luar biasa, yang dilakukan sendiri oleh Rasulullah sekalipun melalui
mimpi.
Mitos sebagai lambang juga berfungsi untuk menciptakan atau
mencerminkan kesadaran. Maka mitos tokoh-tokoh sejarah dapat mengukuhkan
realitas masa lampau, sehingga tumbuhlah kepercayaan dan loyalitas kepada
ideologinya serta establishment yang mendukungnya. Dipandang dari segi ini,
jelaslah mitos-mitos yang tercakup dalam historiografi tradisional berfungsi untuk
mendukung atau melegimasikan penguasa-penguasa.
Fungsi lain dari historiografi tradisional yang juga cukup menonjol adalah
fungsi didaktis, yaitu menjadi suri teladan bagi generasi kemudian, dan juga bagi
kelakuan para penguasa (raja-raja). Hal ini terlihat dengan jelas dalam
historiografi Melayu

Riau, yaitu Tuhfat-al Nafis karya Raja Ali Haji17.

Historiografi ini ditulis sebagai bimbingan bagi para penguasa tatkala terjadi
dekadensi pemerintahan Sultan Mahmud, yang lebih cenderung kepada kehidupan
modern dengan gaya yang menyimpang dari ajaran Islam.
c.

Mitos Tentang Zaman Keemasan.


Sewaktu Sejarah Melayu ditulis, kelas penguasa baru saja mengalami
kumunduran dari kebesaran Istana Melaka menjadi - seperti yang digambarkan
oleh Josselin de Jong sebagai istana kecil yang apatis, yang terus menerus
diganggu oleh Portugis dan Aceh serta terletak di daerah pinggiran, dan ini
merupakan tamparan yang tak kepalang tanggung bagi harga diri mereka.
Kekayaan yang melimpah yang didapatkan dari perdagangan yang sangat
menguntungkan melalui pelabuhan Melaka tinggal sejarahnya saja. Melaka tidak
hanya menjadi pusat perdagangan di Asia Tenggara, tetapi juga merupakan pusat
9

penyebaran Islam di kawasan ini, serta mampu menjadikan Bahasa Melayu


sebagai lingua franca bagi masyarakat Asia Tenggara, sehingga banyak kalangan
memandang Melaka merupakan lambang keagungan Bangsa Melayu18. Kejatuhan
Melaka berarti hancurnya keagungan Bangsa Melayu dan secara berangsurangsur mengurangi wibawa Bangsa Melayu di kawasan ini. Keadaan ini tidak
hanya berakibat secara politis maupun ekonomis, tetapi juga berdampak secara
psikologis bagi orang-orang Melayu. Karena setelah kejatuhan Melaka, tidak ada
lagi kerajaan Melayu yang besar, yang muncul hanyalah kerajaan-kerajaan kecil
yang merupakan kepingan-kepingan dari warisan kekuasaan Melaka dan pusatnya
pun berpindah-pindah, serta menghadapi persoalan politik yang rumit sehingga
sulit berkembang.
Motif serupa juga terjadi dalam penulisan Hikayat Siak, dan secara jelas
hikayat ini lahir dari arahan raja-raja Siak. Buktinya amat jelas, ketika hikayat ini
ditulis, berkemungkinan kedudukan politik raja-raja Siak telah merosot dan taat
setia rakyat semakin berkurang. Untuk tujuan propaganda bagi memulihkan
kepercayaan rakyat dan mengembalikan rasa kesetiaan rakyat serta kuasa politik
raja-raja Siak yang diwarisi secara turun temurun itu, sebuah piagam yang lahir
dalam bentuk tulisan dan dokumen perlu diciptakan. Ciptaan ini lahir dalam suatu
bentuk penyusunan semula silsilah raja-raja Siak dari zaman-berzaman itu,
disertai dengan peristiwa bersejarah dan yang bersifat mitos sejarah yang
dialami oleh raja-raja Siak berkenaan. Yang penting ditonjolkan oleh Hikayat Siak
ialah tentang kegiatan politik dan sosial, kemampuan, semangat gigih dan
keberanian raja-raja Siak menentang musuh-musuh mereka. Lantaran itu,
keunggulan

semangat

suatu

suku

Bangsa

Melayu

perlu

ditonjolkan.

Sewajarnyalah pengagungan semula dilakukan dengan melahirkan sebuah piagam


tertentu yang bertulis.19
Dalam keadaan seperti ini, faktor sosial psikologis mendasari penciptaan
mitos. G.M. Cuthbertson menyatakan, bahwa mitos secara sistematis memberikan
respon terhadap teriakan zaman. Perubahan kultural terjadi apabila sekompok
mitos menentang kelompok-kelompok mitos lainnya. Janis mitos politik yang
lazim secara inheren merupakan fungsi dari lingkungan sosial. Sebab-sebab
10

umum yang melahirkan mitos adalah gejala patologis seperti dislokasi sosial, rasa
tidak aman kelompok, ekonomi yang kacau, dan depresi psikologis. Mitos sering
merupakan upaya untuk menyesuaikan diri pada ketegangan sosial yang luar biasa
dan tekanan dari masa sulit. Mitos adalah penangkal dari status quo yang
terancam. Unsur-unsur formula mitos yang biasa adalah rasionalisasi, eskapisme
(penghindaran diri dari masalah dengan berbagai jalan seperti berkhayal, dan lainlain), dan legitimasi.20
Mitos dalam pensejarahan Melayu tidak hanya memberikan justifikasi
untuk tujuan-tujuan politis, tetapi juga untuk mengimbangi kemegahan dan
kebanggaan yang sudah tiada, perasaan rendah diri dan perasaan tidak aman.
Tambahan lagi, mitos itu dapat pula menutupi dua bentuk kebobrokan moral kelas
penguasa, yaitu lemah dan dekadensi.
Salah satu cara untuk dapat mengatasi rasa tidak aman dan cemas adalah
dengan jalan membayangkan dunia lain, alam lain, wujud lain di balik kenyataan
yang dihadapi saat ini. Yang terjadi adalah membangkitkan zaman keemasan,
yakni masa-masa yang penuh kesemarakan melebihi masa kini. Zaman keemasan
ini bisa terjadi pada masa yang akan datang atau pun pada masa silam. Shafie Abu
Bakar menyebutkan bahwa dengan menceritakan masa-masa kegemilangan yang
pernah dicapai pada masa silam yang tentu saja terdapat kegagalan-kegagalan
akan mempertajam persepsi tentang masa depan. Secara psikologis keagungan
silam yang dibanggakan oleh generasi berikutnya, akan menyemaikan rasa
keyakinan dan tidak akan merasa hina diri untuk disejajarkan dengan keagungankeagungan yang pernah dicapai oleh bangsa-bangsa lain.21
Terjadinya keadaan-keadaan genting pastilah merupakan hal yang
kondusif terhadap penciptaan mitos. Ini diperlihatkan dengan ditemuinya sejenis
mitos dalam Sejarah Melayu, Hikayat Hang Tuah dan Hikayat Siak, yang
mencerminkan rasa tidak aman dan frustrasi yang dialami oleh sekelompok orang,
yang bisa disebut dengan meminjam istilah Sharifah Maznah Syed Omar mitos tentang zaman keemasan. Dengan istilah ini dapat menjelaskan serentetan
kisah atau cerita yang mengungkapkan keinginan untuk kembali pada asal usul
semula sebagai cara untuk menghidupkan kembali kejayaan masa lalu, dengan
11

demikian akan dapat mengimbangi rasa ketidakpuasan terhadap kenyataan yang


sekarang dihadapi. Ciri-ciri mitos zaman keemasan secara umum adalah sebagai
berikut22 :
1. Menganggap bahwa zaman keemasan itu memang pernah terjadi pada
masa lalu.
2. Pelaku-pelakunya berupa makhluk-makhluk supernatural (ghaib) atau
tokoh-tokoh sejarah yang terkenal.
3. Kejadian-kejadian yang bersifat supernatural (ghaib), magic atau luar biasa
yang terjadi pada masa silam.
4. Segala sesuatu yang terjadi pada masa silam tersebut semuanya bersifat
ideal.
5. Berkaitan dengan masa lalu yang diangap keramat didasarkan pada adanya
makhluk-makhluk supernatural (ghaib) di dalamnya.
6. Mengembangkan keinginan untuk meniru.
7. Perkembangannya dapat ditelusuri pada kondisi-kondisi sosial historis
pada masa itu dan biasanya mencerminkan konstelasi sosial-psikologis
dari kelompok yang berada di belakangnya.
Dalam kasus dunia Melayu, mitos zaman keemasan itu merupakan upaya
kelas penguasa untuk mengatasi perasaan kehilangan kejayaan yang disebabkan
oleh runtuhnya Melaka pada awal abad ke XVI. Melaka pada abad ke XV berada
pada puncak kejayaan dan kebesaran yang dipandang sebagai masa keemasan
dalam perjalanan sejarah politik Melayu. Dan pada masa itu Melaka memainkan
peranan yang cukup penting dalam berbagai bidang kehidupan, sehingga kejayaan
Melaka dipandang sebagai contoh yang baik untuk membangkitkan semangat
Bangsa Melayu.
Kemegahan dan kebesaran Melaka memang tidak bisa dinafikan, namun
penulisan Sejarah Melayu, Hikayat Hang Tuah, dan Hikayat Siak yang ditulis
setelah kejatuhan Melaka sedikit banyak memuat hal-hal yang berbau mitos, yang
berupaya membangkitkan masa lalu sebagai pertanda kejayaan. Dalam hal ini,
Melaka dapat dilihat sebagai fokus dari situasi kejiwaan dan kesejarahan kelas
12

penguasa Melayu. Kisah-kisah yang diceritakan dalam pensejarahan Melayu itu


tidak dibuat berdasarkan catatan sejarah yang valid, melainkan dengan
menggunakan imajinasi dan fantasi yang bebas untuk menyalurkan

ilusi

seseorang. Apa yang terlihat dalam kisah-kisah itu bukanlah sejarah Melaka,
melainkan sejarah semu dan mitos tentang Melaka yang kebesaran dan
kejayaannya terletak pada kaitan atau identifikasinya dengan masa silam yang
mitologis. Identifikasi ini diperoleh baik dari peniruan terhadap gambaran masa
lalu yang mitologis, atau dengan jalan menyatakan adanya hubungan keturunan
kelas penguasa Melayu dengan tokoh-tokoh yang ada di dalam mitos itu.
Upaya kelas penguasa untuk mengatasi situasi-situasi sulit pada masanya
memerlukan justifikasi yang tidak rasional tetapi bersifat mitologis. Masa lalu
yang legendaris, ghaib dan mitologis dibangkit-bangkitkan dan masa kini
dijelaskan atau dicari dalihnya dengan menggunakan masa lalu yang mitologis
tersebut.
Mitos tentang zaman keemasan daspat dilihat sebagai reaksi yang
berkonotasi kompensasi psikologis dan mencerminkan kelas penguasa Melayu
tradisional. C.G. Jung menganggap khayalan tentang kemegahan sebagai akibat
dari berfikir khayal sebagai lawan dari berfikir terarah. Menurutnya, berfikir
terarah terwujud karena menggunakan unsur-unsur bahasa untuk maksud
berkomunikasi dan ini sulit serta melelahkan, sedangkan berfikir khayal dilakukan
tanpa susah payah, dilakukan secara spontan dengan materi yang siap setiap saat,
dan yang diarahkan oleh motif alam bawah sadar. C.G. Jung mempertentangkan
berfikir terarah dengan berfikir khayal ; yang satu melahirkan inovasi dan
adaptasi, meniru kenyataan dan mencoba berbuat sesuatu terhadapnya, sedangkan
yang lainnya mengelakkan diri dari kenyataan, menggunakan tendensi-tendensi
subjekif secara bebas, dan menganggap adaptasi tidak produktif.23
Mitos Melayu tentang zaman keemasan dapat dikatakan regresif (mundur)
karena ia menganjurkan kembali ke masa silam yang tiada kesamaannya dengan
kenyataan yang ada. Kesia-siaan untuk kembali ke masa silam itu tercermin dari
dasar mitologis yang mendasari penciptaan masa lalu tersebut ; dari pernyataan
yang berlebih-lebihan, dari pelukisan dan perlambangan yang fantastis, dari
13

penggambaran yang tidak realistis tentang tokoh-tokoh yang terlibat dan dari ilusi
tentang kemegahan yang sama sekali tidak produktif. Mitos zaman keemasan
sebagaimana yang disebarluaskan oleh kesusasteraan istana menyelipkan
semangat tradisionalisme dan formalisme yang pengaruhnya terus terasa sampai
saat ini. Alatas melihat keadaan ini sebagai kecenderungan orang-orang Melayu
untuk menyembah masa lalu yang feodalistik itu.24
d.

Mitos Tentang Raja Sebagai Wakil Tuhan.


Penciptaan fiksi yang menonjolkan kehebatan penguasa Melayu dari segi
moral merupakan salah satu fungsi utama dari mitos yang terdapat dalam kisahkisah kesejarahan Melayu. Upaya seperti ini terkandung nuansa-nuansa ideologis
tertentu, yaitu untuk memberikan legitimasi bagi posisi orang-orang yang
berkuasa dan memberikan justifikasi bagi moralitas mereka.
Dalam

kisah-kisah

kesejarahan

Melayu,

penonjolan

kehebatan,

kekeramatan, dan kemampuan penguasa dalam hal magis dimaksudkan untuk


memperdayakan pikiran rakyat agar mereka tetap bermental budak, dan
kemudian kesetiaan dari rakyat dimanfaatkan oleh penguasa. Kesemua hal-hal
tersebut berkenaan dengan gagasan moral dan etika, dan dengannya raja
kelihatannya merupakan pemberi keadilan dan pemelihara rakyat, hal-hal tersebut
masih tetap secara teoretis bersifat ideal yang hampir-hampir tidak akan pernah
tersentuh oleh politik praktis.
Salah satu mitos yang paling berarti yang dikisahkan dalam kesejarahan
Melayu adalah yang berkenaan dengan status keilahian(devinitas) raja. Sejak
zaman purbakala, prinsip bahwa keilahian itu memagari raja telah menjadi salah
satu alat yang paling ampuh untuk memberikan legitimasi keberadaan raja,
dengan catatan bahwa raja dilihat sebagai inkarnasi Tuhan atau wakil Tuhan.25
Dalam dunia Melayu ide bahwa raja memerintah melalui tugas keilahian
atau divinitas mendapatkan perumusannya melalui kata Nabi Khaidir ketika
beliau memberikan persetujuan atas perkawinan Raja Iskandar Muda (asal usul
raja Melayu) dan puteri raja Kida Hindi, yang bernama Syahrul-Bariah. Dalam
upacara perkawinan tersebut, Nabi Khaidir membacakan khutbah nikah Raja
14

Iskandar yang sebelumnya beliau menyebut nama Allah Taala dan selamat atas
nabi-nabi sebelumnya, dan kemudian berkata kepada Raja Kida Hindi bahwa :
Ketahuilah olehmu, hai Raja Kida Hindi, bahwa raja kami inilah yang diserahkan
Allah Taala kerajaan dunia ini kepadanya, dari timur (masyrik) sampai ke barat
(maghrib), dari utara (daksina) sampai ke selatan (paksina). Telah didengarnya
bahwa engkau memiliki seorang puteri yang sangat cantik parasnya, dan raja kami
menyatakan harapannya agar engkau menerimanya sebagai menantu, sehingga
hubungan antara anak cucu Raja Kida Hindi dengan anak cucu Raja Iskandar
tiada putus sampai hari kiamat.26
Ungkapan Nabi Khaidir yang ditujukan kepada Raja Kida Hindi
mengandung dua implikasi penting, yaitu ; pertama, kutipan itu tidak berlaku
untuk semua raja, melainkan kepada raja tertentu raja kami inilah yang
ditunjuk secara keilahian (devinitas) yang diserahkan Allah kerajaan dunia ini.
Nuansa keagamaan dibangkitkan dalam rangka mengacu tidak saja kepada Tuhan,
tetapi juga pada tokoh-tokoh keagamaan yang memiliki sifat-sifat ghaib. Kedua,
adanya kesinambungan kekuasaan raja-raja ikatan anak cucu Raja Kida Hindi
dan anak cucu Raja Iskandar tidak akan putus sampai hari kiamat, karena anak
keturunannya berasal dari nenek moyang yang hebat dan mewarisi sifat-sifat
tersebut. Dengan landasan bahwa asal usul keturunan mereka dari Raja Iskandar,
raja-raja Melaka mencoba memberikan legitimasi keberadaan mereka sebagai
wakil Tuhan di muka bumi ini.
Di samping mempertegas hak terhadap fungsi keilahian (devinitas),
prinsip kepusakaan juga memberikan keabsahan atas dimilikinya asal usul dan
sifat-sifat yang penuh keghaiban. Sang Sapurba muncul dari laut dengan
menunggang kuda putih dan kedatangannya di Bukit Siguntang telah membuat
ladang padi menjadi emas27, dan kemampuan Sang Sapurba merubah air asin
menjadi tawar dengan mencelupkan kakinya di laut ketika berada di Kuala
Kuantan.28 Kekuatan ghaib yang dimiliki raja dilihat tidak sebagai atribut pribadi,
tapi lebih sebagai emanasi dari kekuatan yang bersifat baik atau buruk yang
dibawa lahir oleh raja dan yang dapat duturunkan melalui keturunan. Keadaan
serupa juga terjadi pada Sultan Mansur, air basuh kakinya mampu menyembuhkan
15

penyakit kedal Raja Cina29, ia memberikan legitimasi asal usul keghaiban dan
warisan kekuatan magis yang diperoleh dari nenek moyangnya.
Dalam Sejarah Melayu, Raja Iskandar dan Sang Sapurba berasal dari satu
silsilah keturunan merupakan hal yang menarik. Pada suatu saat dalam alur
ceritanya, Raja Iskandar yang secara keilahian

telah ditunjuk menjadi

penakluk dunia menganugerahkan kekuatan ghaib dan magis kepada tokoh Sang
Sapurba, walaupun mereka mewakili bentuk legitimasi yang berbeda. Raja
Iskandar digunakan untuk menampilkan tokoh raja agamis, sedangkan Sang
Sapurba untuk menyatakan asal usul yang magis. Yang satu berkaitan dengan
jabatan raja, sedangkan yang lain dengan raja pribadi. Legitimasi seperti ini tidak
membuat pembedaan antara agama dan magic. Ini menjelaskan kenapa Raja
Iskandar dan Sang Sapurba berasal dari satu silsilah keturunan. Sama halnya
dengan prinsip kepusakaan yang menghendaki peleburan unsur-unsur keturunan
(pertalian darah), silsilah keturunan mengaduk dan mengaburkan batas antara
agama dan magic.
Tidak adanya perbedaan antara agama dan magic terjadi pada setiap mitos
Melayu berkenaan dengan kerajaan keilahian. Mimpi Raja Kecil besar merupakan
contoh perpaduan antara magic dan ide keagamaan dalam mitos Melayu
sehubungan dengan kerajaan keilahian ini. Dalam mimpi tersebut Nabi
Muhammad

muncul

untuk

mengislamkannya,

meludahi

mulutnya

dan

memerintahkannya untuk membaca ayat-ayat suci. Setelah berjalan, sang raja


menyadari bahwa dia telah disunat secara magic dan mampu membaca al-Quran
dengan lancar tanpa diajar.30 Hal serupa juga terjadi daalam proses Islamnya
Merah Silu sebagai calon Raja Pasai.31 Faktor-faktor magic dan keagamaan
sedemikian eratnya terjalin dalam mimpi tersebut sehingga tidak dapat
dipisahkan.

Pencipta

mitos

tersebut

menggunakan

kedua-duanya

untuk

mendapatkan dampak penuh bagi motifnya, sebagai bentuk dari legitimasi, mimpi
dimaksudkan sebagai tanda persetujuan bagi raja untuk memerintah.

16

e.

Kesimpulan.
Mitos merupakan hal yang senantiasa melingkupi kehidupan manusia,
baik mitos yang menimbulkan dampak positif maupun dampak negatif bagi
perjalanan kehidupan manusia. Banyaknya unsur mitos dalam pensejarahan
(historiografi) Melayu membuat karya ini tidak dianggap penting dalam
menyampaikan informasi yang absah tentang sejarah orang-orang Melayu.
Pandangan seperti ini telah menempatkan historiografi tradisional Melayu
menjadi tidak berarti dan cerita yang dikandungnya dianggap hanya sebagai
mitos, fabel atau legenda belaka yang tidak mengandung kebenaran rasional.
Namun, secara antropologis pengkajian mitos tidak memperbincangkan persoalan
benar atau salah, rasional atau irrasional suatu

cerita, yang terpenting adalah

mitos merupakan produk nalar manusia yang mampu menggambarkan situasi


suatu masyarakat tertentu pada waktu tertentu, dan juga menggambarkan worldview penulisnya. Pandangan ini belakangan banyak dianut oleh para sarjana, yang
kembali menempatkan atau mempertimbangkan historiografi tradisional sebagai
sumber yang sah tentang sejarah lokal suatu masyarakat dan kebudayaannya.
Mitos dalam pensejarahan Melayu seperti Sejarah Melayu, Hikayat
Hang Tuah dan Hikayat Siak ditulis karena adanya kepentingan-kepentingan
atau motif-motif tertentu. Dan semua produk kesejarahan Melayu ditulis untuk
kepentingan penguasa dan dilakukan pada saat terjadinya situasi yang tidak
menguntungkan bagi para penguasa baik secara politis maupun ekonomis.
Mitos dalam pensejarahan Melayu paling tidak mengandung dua fungsi
penting, yaitu, fungsi menjelaskan dan fungsi membenarkan atau justifikasi.
Fungsi menjelaskan berkaitan dengan mitos tentang asal usul, dan fungsi
pembenaran berkaitan dengan etika atau moral dan wibawa para penguasa. Fungsi
justifikasi memainkan peranan yang sangat penting dalam mendukung kekuasaan
para raja dan anak cucunya, sehingga dalam mitos Melayu sering menggambarkan
kemampuan yang luar biasa para raja dan sifat keilahiannya. Di samping itu di
dalam pensejarahan Melayu terjadi perpaduan antara magic dan agama guna
memperbaiki image para penguasa, baik dalam bentuk kemampuan pribadi
maupun dari asal usul keturunan.
17

Catatan :

18

P.W. Goetz, et.al. (eds.), Encyclopedia Britannica, Vol II, (William Benton Publisher, Chicago, London :
1970) hlm. 529 544.
2
Muhammad Yusoff Hashim, Pensejarahan Melayu Kajian Tentang Tradisi Sejarah Melayu Nusantara,
(Dewan Bahasa dan Pustaka, Kuala Lumpur : 1992) , hlm. 1
3
Azyumardi Azra, Renaisans Islam Asia Tenggara Sejarah Wacana dan Kekuasaan, (Rosdakarya, Bandung :
1999), hlm. XI.
4
Sebagai contoh, penggunaan historiografi tradisional atau sumber sejarah lokal sebagai data atau rujukan
dalam suatu karya ilmiah telah dilakukan oleh Denys Lombard dalam karyanya Nusa Jawa Silang Budaya (3jilid) dan
De Graaf & TH. Pigued, Kerajaan Islam Pertama di Jawa Tinjauan Sejarah Politik Abad XV dan XVI.
5
J. Van Baal, Sejarah dan Pertumbuhan Teori Antropologi Budaya (Hingga Dekade 1970), Jilid I, (Gramedia,
Jakarta : 1987), hlm. 39 40.
6
Sharifah Maznah Syed Omar, Mitos dan Kelas Penguasa Melayu, (UNRI Press, Pekanbaru : 1995), hlm. 2.
7
T.D. Situmorang & A. Teeuw (Penyelenggara), Sedjarah Melaju, (Djambatan, Djakarta : 1952), hlm. VIII.
8
Krishna Dwaipayana Vyasa, The Mahabharata (terj.), (Hanuman Sakti, Jakarta : 1995).
9
J. Van Baal, Ibid., hlm. 42 43.
10
Sharifah Maznah Syed Omar, Ibid., hlm. 4 5.
11
Andrew Lang, Myth, Ritual and Religion, Vol. II, (Longmans, Green, London : 1913), hlm. 300 301.
12
Bronislow Malinowski, Magic, Science and Religion , (Garden City, New York : 1954), hlm. 64.
13
Sharifah Maznah Syed Omar, Ibid., hlm. 5.
14
Anthony Reid & David Marr (eds.), Dari Raja Ali Haji Hingga Hamka, (Grafiti, Jakarta : 1983), hlm. V.
15
T.D. Situmorang & A. Teeuw (Penyelenggara), Ibid., hlm. 22 24.
16
A. Samad Ahmad, Sulalatus Salatin (Sejarah Melayu), (Dewan Bahasa dan Pustaka, Kuala Lumpur : 1986),
hlm. 54 55.
17
Raja Ali Haji, Tuhfat al-Nafis, (Malaysia Printers Limited, Singapura : t.th.).
18
Abd. Latiff Abu Bakar, Sejarah di Selat Melaka, (United Selangor Press, Kuala Lumpur : 1984), hlm. 1
46.
19
Muhammad Yusoff Hashim, Ibid., hlm. 344 345.
20
G.M. Cuthbertson, Political Myth and Epic, (Michigan State University Press, East Lansing : 1975), hlm.
160 161.
21
Shafie Abu Bakar, Melaka Sebagai Lambang Keagungan Bangsa Melayu, dalam Abd. Latiff Abu Bakar,
Ibid., hlm. 13.
22
Sharifah Maznah Syed Omar, Ibid., hlm. 44 45.
23
C.G. Jung, Symbol of Transformation, dalam The Collected Work of C.G. Jung, (Routledge & Kegal Paul,
London : 1956), hlm. 18.
24
S.H. Alatas, Modernization and Social Change, (Angus & Robertson, Sydney : 1972), hlm. 100 101.
25
Sharifah Maznah Syed Omar, Ibid., hlm. 60.
26
Situmorang T.D. & A. Teeuw (Penyelenggara), Ibid., hlm. 1 6.
27
Ibid., hlm. 22 23.
28
Ibid., hlm. 34.
29
Ibid., hlm. 144.
30
Ibid., hlm. 81 82, dan A. Samad Ahmad, Ibid., hlm. 72 73.
31
Ibid., hlm. 61, dan A. Samad Ahmad, Ibid., hlm. 57.

Daftar Kepustakaan
Abu Bakar, Abd. Latiff, 1984. Sejarah di Selat Melaka, Kuala Lumpur : United sSelangor Press.
Ahmad, A. Samad, 1986. Sulalatus Salatin (Sejarah Melayu), Kuala Lumpur : Dewan Bahasa dan
Pustaka.
Alatas, S.H., 1972. Modernization and Social Change, Sydney : Angus & Robertson.
Azra, Azyumardi, 1999. Renaisans Islam Asia Tenggara Sejarah Wacana dan kekuasaan,
Bandung : Rosdakarya.
Baal, J. Van, 1987. Sejarah dan Pertumbuhan Teori Antropologi Budaya (Hingga Dekade 1970),
Jilid I, Jakarta : Gramedia.
Cuthbertson, G.M., 1975. Political Myth and Epic, East Lansing : Michigan State University Press.
De Graaf, H.J. & TH. Pigeud, 2001. Kerajaan Islam Pertama di Jawa Tinjauan Sejarah Politik
Abad XV dan XVI, Jakarta : Grafiti.

Goetz, P.W. et.al. (eds.), 1970. Encyclopedia Britannica, Vol II, Chicago & London : William
Benton Publisher.
Hashim, Muhammad Yusoff, 1992. Pensejarahan Melayu Kajian Tentang Tradisi Sejarah Melayu
Nusantara, Kuala Lumpur : Dewan Bahasa dan Pustaka.
------- (Penyelenggara), 1992. Hikayat Siak, Kuala Lumpur : Dewan Bahasa dan Pustaka
Jung, C.G., 1956. The Collected Work of C.G. Jung, London : Routledge & Kegal Paul.
Lang, Andrew, 1913. Myth, Ritual and Religion, Vol. II, London : Longmans, Green.
Lombard, Denys, 2000. Nusa Jawa Silang Budaya, 3 Jilid, Jakarta : Gramedia.
Malinowski, Bronislaw, 1954. Magic, Science and Religion, New York : Garden City.
Raja Ali Haji, t.th., Tuhfat al-Nafis, Singapura : Malaysia Printers Limited.
Reid, Anthony & David Marr, 1983. Dari Raja Ali Haji Hingga Hamka, Jakarta : Grafiti.
Situmorang T.D. & A. Teeuw (penyelenggara), 1952. Sedjarah Melaju, Djakarta : Djambatan.
Syed Omar, Sharifah Maznah, 1995. Mitos dan Kelas Penguasa Melayu, Pekanbaru : UNRI Press.
Vyasa, Krishna Dwaipayana, 1995. The Mahabharata (terj.), Jakarta : Hanuman Sakti.

Anda mungkin juga menyukai