Nim : 2005111090
Mk : Historiografi
PERKEMBANGANNYA
Penulisan sejarah mengalami perkembangan yang berbeda yang dipengaruhi oleh zaman,
lingkungan kebudayaan, dan tempat dimana historiografi dihasilkan. Pada masa lampau,
seorang sejarawan mempunyai fungsi untuk menafsirkan tradisi bangsanya. Jadi disinilah
peran sejarawan sebagai informan untuk menyampaikan informasi seputar peristiwa sejarah
dimasa lampau. Yang mana semua peristiwa yang ia tulis adalah karya sejarah yang memuat
kekhasan zamannya. Dalam perkembangan historiografi di Barat, dapat diamati bahwa bukan
hanya sejarawan professional saja yang menulis sejarah, melainkan juga para politikus,
jenderal, dan para pendeta. Sepanjang perkembangannya, telah beberapa kali “ledakan” yang
menunjang kemajuan historiografi di Barat. Yaitu:
1. Ketika Jean Mabillion memperkenalkan cara atau metode kritik teks melalui bukunya
yang berjudul "On Diplomatics" (1675). Metode ini dapat menentukan otensitas sumber
sejarah. Meto e ini muncul tidak lain sebagai reaksi atas penulisan sejarah konvensional
yang tidak memperhatikan otensitas sumber yang digunakan dalam penulisan sejarah,
terutama untuk sejarah abad pertengahan yang mengandalkan otoritas sumber-sumber
gereja.
2. Ketika muncul gagasan Leopold von Ranke tentang keharusan menulis sejarah
sebagaimana sebuah peristiwa terjadi. Gagasan ini memunculkan loncatan besar karena
unsur-unsur mistis dan irasional harus dihapus dari historiografi ilmiah. Dalam hal ini,
Ranke ingin menunjukan bahwa sejarah adalah juga sebuah ilmu, selain sebagai seni
(sastra). Ranke-lah yang menggagas metode kritik internal, selain kritik eksternal, yang
kemudian dikembangkan lebih lanjut oleh Mabilion dengan metode inkredibilitasnya.
Dengan metode ini, sebuah sumber dapat ditentukan asal usulnya.
3. Munculnya socio-scientific approach. Pendekatan ini muncul pada abad ke-20 yang
melibatkan ilmu-ilmu sosial ke dalam penelitian sejarah. Dalam hal ini, peranan Mazhab
Annales dari Prancis, dengan tokohnya Marc Bloch dan Lucien Febvre, dapat disebut
sebagai pionir dalam penelitian sejarah yang bersifat multidimensi. Seiring dengan
keadaan sejarawan Prancis tersebut, peranan sejarawan Jerman, Karl Lamprecht,
menghendaki agar studi sejarah diperluas bukan hanya maralak politik tetapi juga
menyangkut masalah ekonomi dan budaya.
Perkembangan filsafat pada zaman ini disebut kosmosentris. Para filosofi pada
masa ini mempertanyakan asal-usul alam semesta dan jagatraya. Periode Yunani,
dalam aspek historiografi, berawal dari tatanan pemerintahan yang ada saat itu. Para
sejarawan Yunani, pada umumnya, berasal dari lingkungan orang yang berada atau,
secara material, berasal dari kalangan masyarakat yang posisi ekonominya baik.
Mereka, tampaknya, telah menjalani masa kehidupan sebagai pengarang, atau
ilmuwan. Tetapi, kebanyakan dari mereka adalah para politikus, pegawai negeri,
militer, dokter (tabib) atau guru. Pada waktu yang sama, atau sesudahnya, mereka juga
masih tetap menjalankan pekerjaan dan penulisan sejarah sebagai salah satu kegiatan
rutinnya.
Dalam ruang lingkup zaman Yunani, penulisan sejarah hanya sebatas pada
cerita mitos dan legenda belaka. Unsur objektivitas dalam sejarah sebagai sebuah
peristiwa yang benar-benar nyata terjadi belum mengalami internalisasi. Dalam
pengisahan sejarah masa lampau yang jauh ke belakang, para sejarawan Yunani, pada
umumnya, mendasarkannya pada cerita rakyat dan kisah-kisah yang disampaikan
secara turun menurun, atau atas karya para penulis terdahulu, yang sesungguhnya juga
berasal dari para penulis yang mendahuluinya. Namun, sejauh yang bisa diketahui,
tradisi penulisan sejarah yang paling awal pada zaman Yunani kuno terjadi pada era
tradisi Homerus, disusul kemudian dengan munculnya para logograaf, dan yang
terakhir zaman keemasan historiografi Yunani Kuno.
Selayaknya kita ketahui bahwa sejarah Yunani merupakan kebudayaan yang
taraf perkembangannya masih primitif. Kita mempelajarinya secara intensif dari
pikiran-pikiran yang jarak waktunya sudah kira-kira 25 abad lalu dari zaman kita.
Artinya, alam pikiran Yunani sebenarnya tidak asing lagi bagi kita. Karena, jika kita
tidak memandang pada sejarah Yunani, kita tidak bisa meninjau rerunTuhan yang
sudah lama ditinggalkan.
Filsafat Yunani Kuno, pada awal kelahirannya, menunjukkan perha tiannya
terutama pada pengamatan gejala kosmik dan fisik. Tindakan ini diusahakan sebagai
ikhtiar untuk menemukan sesuatu tentang asal mula (arche) yang menjadi unsur awal
terjadinya segala gejala.
a. Thales (640-550 SM) menyimpulkan bahwa air merupakan arche (asal mula)
dari segala sesuatu. Pendapatnya ini didukung oleh kenyataan bahwa air
meresapi seluruh benda-benda di jagad raya ini.
b. Anaximander (611-545 SM) meyakini bahwa asal mula dari segala sesuatu
adalah apeiron, yaitu sesuatu yang tak terbatas.
c. Aaximenes (588-524 SM) mengatakan bahwa asal mula segala sesuatu itu
adalah udara, keyakinan ini didukung oleh kenyataan bahwa udara merupakan
unsur-unsur vital kehidupan.
2. Historiografi Romawi
Periode historiografi Romawi ini tidak jauh berbeda dengan periode Yunani
(abad ke-6 SM hingga abad 6 M). Kebanyakan para sejarawan memiliki orientasi yang
lebih kuat terhadap kesusastraan. Sayangnya, banyak sejarawan yang menceritakan
sejarah hanya sebatas pengalaman, perasaan, mitos, legenda, ketimbang peristiwa
sejarah itu sendiri, yang sesungguhnya lebih besar dan lebih utama. Mungkin,
kecenderungan itu terjadi karena, pada dua zaman ini, para sejarawan merangkap juga
sebagai pegawai pemerintahan, guru, atau pedagang. Karena itu, mereka menceritakan
sejarah (historiografi lisan) hanya sebatas ruang lingkup retoris.
Kebiasaan ini juga bisa dijumpai pada para penulis sejarah zaman Romawi
bahwa publikasi sejarah harus didahului atau diawali dengan pembacaan naskah secara
terbuka untuk umum. Hal ini juga terjadi pada zaman Herodotus, dan masih tetap
terjadi selama 8 abad kemudian, tepatnya hingga era sejarawan Ammianus
Maecellinus. Historiografi pada zaman Romawi itu sejalan dengan kejayaan Kerajaan
Romawi itu sendiri. Karena itu, historiografi Romawi lebih banyak menghasilkan
karya-karya sejarah yang bersifat Rome-Oriented.
Dalam sebuah buku disebutkan bahwa orang-orang Yunani Romawi memiliki
kelemahan tersendiri. Kelemahan yang dimaksud terjadi karena kekurangan
pengertian dari sudut akhlak atau psikologis. Dasar pernyataan di atas adalah adanya
anggapan bahwa, pada dasarnya, manusia itu hewan rasional. Inilah doktrin yang
menganggap bahwa setiap manusia itu hewan yang mampu berfikir.
Sejarah filsafat abad ini sering juga disebut dengan zaman Patristik dan
Skolastik. Kata "Patristik" berasal dari kata "Patres" yang artinya "Bapak bapak
gereja". Ajaran filsafat Patristik menunjukkan adanya pengaruh dari zaman
Hellenisme. Mereka berusaha untuk memperlihatkan bahwa iman itu sesuai dengan
pikiran-pikiran yang sangat dalam dari manusia. Mereka berhasil membela ajaran-
ajaran Kristiani terhadap tuduhan dari pemikir-pemikir kafir. Tulisan-tulisan bapak
bapak Gereja merupakan sumber yang sangat kaya dan luas, yang sekarang masih
tetap memberi inspirasi baru. Zaman Skolastik ini ditandai oleh diajarkannya filsafat
di sekolah-sekolah biara dan universitas-universitas terkemuka dengan
mempergunakan kurikulum yang tetap dan bertaraf internasional yang berisi tentang
hakikat Tuhan, antropologi, etika dan politik.
St. Augustinus dan Thomas Aquinas merupakan dua tokoh pelopor dalam
sejarah filsafat pada zaman ini. Menurut Thomas, terjadinya alam semesta menganut
teori penciptaan; artinya Tuhanlah yang menciptakan alam semesta. Dengan tindakan
mencipta, Tuhan menghasilkan sebuah ciptaan dari ketiadaan. Tuhan mencipta dari
ketiadaan. Pada awal mulanya, tidak terdapat dualisme antara Tuhan (kebaikan)
dengan materia (keburukan). Karena segala sesuatu timbul oleh penciptaan Tuhan,
segala sesuatu itu juga turut ambil bagian dalam kebaikan Tuhan. Itu berarti, alam
material mempunyai bentuk kebaikannya sendiri. Tuhan menciptakan alam semesta
dan waktu dari keabadian. Gagasan penciptaan ini tidak bertentangan dengan alam
abadi. Kitab suci mengajarkan bahwa alam semesta berawal mula. Tetapi, filsafat
tidak bermaksud membuktikan hal itu, seperti halnya filsafat juga tidak dapat
membuktikan bahwa alam semesta ini tidak berawal mula.
Zaman Barok (1600-1700 M). Pada zaman Barok, tepatnya pada periode antara
sekitar 1600 dan 1700 M, penyelidikan subjektivitas manusia lebih berkisar pada
"rasio-nalar".
Sekitar tahun 1750, "zaman romantik" mulai berlangsung. Sebagai reaksi terhadap
semua tekanan atas "rasio-nalar" dan "empiris", timbullah kecenderungan yang kuat untuk
mementingkan peranan perasaan dan fantasi. Romantik menjadi suatu gerakan dalam agama,
seni, puisi rakyat, sastra teologi dan filsafat. Filsafat pada zaman romantik seringkali terikat
kuat pada kesusasteraan. Sebagai akibat timbulnya epistemologi, di dalam filsafat Barat di
zaman modern (abad ke 17) itu, muncullah aliran aliran filsafat seperti rasionalisme;
empirisme; kritisisme; idealisme; positivisme; dan marxisme.
Teori merupakan unsur esensial dari semua disiplin ilmu pengetahuan. Dalam
mengkaji sebuah fenomena empirik perlu didukung oleh berlakunya sebuah teori. Dalam hal
ini, teori akan menjadi hukum absolut terhadap fenomena yang diteliti oleh disiplin ilmu
tersebut. Dalam ilmu sejarah, persoalan teori diperdebatkan sangat sengit dari berbagai aliran,
terutama dari aliran empirisme dan idealisme, mengenai penerapan hukum umum (general
law), dan teori generalisasi (generalizing theory). Adanya kontroversi dari dua aliran ini
berimplikasi pada sedikitnya teori-teori sejarah yang dihasilkan.
1. Teori Gerak Siklus Sejarah (Ibnu Khaldun 1332-1406 M)
Ibnu Khaldun, lahir di Tunisia pada 1332 M, merupakann filsuf Islam dan penggagas
pertama teori gerak siklus sejarah. Teorinya dipaparkan secara jelas dalam buku yang bertitel
Al Muqaddima Ibn Khaldun. Pokok-pokok pikirannya sebagai berikut:
a. Kebudayaan adalah masyarakat yang memiliki landasan di atas hubungan antara
manusia dengan tanah, di satu sisi, serta hubungan manusia dengan manusia lain, di
sisi lain. Hubungan itu menimbulkan upaya-upaya mereka untuk memecahkan
kesulitan-kesulitan lingkungan, serta mendapatkan kesenangan dan kecukupan hidup
dengan membangun industri, menyusun hukum, dan menertibkan transaksi.
b. Kebudayaan tersebut berkembang di semua bangsa melalui empat fase:
Fase Primitif. Manusia, pada mulanya masih berkehidupan sederhana dan
nomaden, kemudian berkembang dengan membentuk kelompok sosial yang
terdiri dari beberapa yang terdiri dari beberapa kelompok sosial. Pada proses
ini, timbullah keinginan dari kelompok yang satu kepada kelompok lainya
untuk menguasainya. Proses penguasaan ini sangat ditentukan oleh kekuatan
untuk bertahan dan menghancurkan.
Fase Urbanisasi. Pada fase ini, setelah mampu menguasai kelompok lain,
manusia memulai proses pembangunan. Perkembangan kebudayaan pun
semakin maju, dan terjadi pembangunan yang berkelanjutan khususnya di
kota-kota.
Fase Kemewahan Fase ini merupakan puncak dari pembangunan dengan
beberapa indikator yang sangat jelas: ketangguhan mempertahankan diri,
perolehan kemewahan dan kekayaan, keinginan untuk hidup bebas, serta
mengejar nafsu kepuasan dan kesenangan.
Fase Kemunduran dan Kehancuran. Pada fase ini, kelalaian pada urusan
kerajaan dan negara, serta kemasyarakatannya mempengaruhi proses
kemunduran. Pada fase ini pula ketidak-mampuan mempertahankan diri dari
serangan kelompok dan negara lain.
2. Teori Daur Cultural Spiral Giambastita Vico (1668-1744 M)
Menurut teorinya, Giambastita Vico membagi sejarah dalam tiga periode, sebagai
berikut:
Pada periode ini, manusia percaya bahwa ia dikendalikan oleh kekuatan yang
berada di luar dirinya, yakni Tuhan. Manusia cenderung berpikir abstrak dan irasional.
Buktinya, mitos dijadikan pandangan hidup untuk mencapai kehidupan yang lebih
baik. Pada periode ini pula ada individu yang dianggap mampu berkomunikasi dengan
Tuhannya.
b. Periode kepahlawanan.
Pada periode ini, individu yang dianggap istimewa itu sudah kehilangan
kekuasaanya. Sebab, absolutnya penguasaan mereka seringkali menimbulkan
ketidakadilan. Kondisi ini menjadi dasar perubahan pola pikir masyarakat, dari yang
abstrak kepada sesuatu yang material. Lebih dari itu, masyarakat mulai menuntut
adanya sistem politik yang bersifat manusiawi, bukan dewa.
c. Periode Manusia.
Auguste Comte, lahir di Pran cis pada tahun 1789 M. Auguste Comte menempatkan
sejarah sebagai hukum untuk mema hami hukum-hukum dinamika sosial. Bagi Comte,
sejarah diya kini mampu menjelaskan proses perkembangan masyarakat dari waktu ke waktu.
Comte meru muskan hukum-hukum perkem bangangan sejarah manusia menjadi sebuah studi
yang terstruktur.
4. Karl Marx
Karl Marx merupakan seorang filsuf terkenal de ngan dialektika materialis menya. la
lahir di Jerman pada tahun 1818 M. Menu rut Marx, perkembangan masyarakat dan sosial
akan sangat bergantung pada pola perekonomiannya. Atas gagasannya itu, lahirlah teori
kapitalisme, sosialisme, dan komunisme.
Perkembangan masyara kat, dalam pandangan Marx, dapat dibagi dalam lima tahap
yaitu primitive, kuno, feudal, kapitalis, dan komunis.
5. Oswald Spengler
Menurut Arnold Joseph Toynbee, sejarah dan hukum-hukumnya pasti melewati empat
proses, yakni lahir, tumbuh, mandek dan hancur. Proses tersebut sangat dipengaruhi oleh
proses interaksi antara manusia dengan alam dan lingkungannya. Dalam konteks budaya,
empat fase proses tersebut juga berlaku.
REFERENSI
https://books.google.co.id/books?
id=FuJ0DwAAQBAJ&printsec=frontcover&hl=id&source=gbs_ge_summary_r&cad=
0#v=onepage&q&f=true
http://file.upi.edu/Direktori/FPIPS/JUR._PEND._SEJARAH/197101011999031-
WAWAN_DARMAWAN/HISTORIOGRAFI_BARAT.pdf
https://d1wqtxts1xzle7.cloudfront.net/34684376/HISTORIOGRAFI_KELOMPOK_6.docx?
1410324753=&response-content-disposition=attachment%3B+filename
%3DHISTORIOGRAFI_KELOMPOK_6.docx&Expires=1666073167&Signature=Lf
M9PymETxx6aNPQ4eKHcEGgFuvltjWUC~~C1mG-1QSsgq8skmGSUo2h-
YhRRdKoUx4rHbQPi7zPA4sOh1d2Txlx6T1Q7e1lQHokiVN8odyxQUcshH8Mreuob
SN2C4kJU74iWghY8EKFAsoNN0StkiFr5nxUKoYL7R50EDkleW~xONJUs581LLK
sTv-xMyIS~42ohspPoRkNcGJauP-YE0ckI5Q9I-
AHn07p~shu6Ew79D8SCvPoFMKv5S8LlbB0HOS6g3yJVGa1e1VyBCJbdGIUo6~7
74BYDoHTmhlqGDqsQKqxWg4wVhyxlEydjnk-jF0i-
ykh13DTvdAJygH23g__&Key-Pair-Id=APKAJLOHF5GGSLRBV4ZA