Anda di halaman 1dari 11

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Sebagai istilah, hingga kini humanisme mengalami proses penafsiran sejak
akhir abad keempat belas dan kelima belas.  Terdapat tiga tahap penafsiran
atasnya, yakni: pertama, kata ‘humanismus’ diciptakan pada tahun 1808 oleh
ahli pendidikan Jerman  F. J. Niethammer yang dimaksudkan untuk
menunjukkan tekanan pengajaran yang lebih tertuju pada karya-karya klasik
berbahasa Latin dan Yunani di sekolah-sekolah menengah yang dilawankan
dengan  tuntutan yang semakin meluas terhadap pendidikan yang lebih
mengedepankan segi praktisnya dan berorientasi pada  ilmu pengetahuan atau
sains.  Istilah humanismus itu sendiri diturunkan dari istilah humanista yang
diciptakan pada  puncak kejayaan zaman Renaissance untuk memberi predikat
kepada para profesor humanisme di universitas-universitas Italia.  Kata
humanista sendiri diturunkan dari  sebuah istilah yang lebih tua lagi,
yaknihumanities atau studia humanitatis yang digunakan untuk mengacu
pendidikanliberal arts dengan menggunakan karya-karya pengarang-
pengarang Romawi klasik seperti Cicero dan Gellius.  Pada pertengahan abad
kelima belas istilah  studia humanitatis dipakai untuk menunjuk bidang-bidang
studi yang berbeda-beda, meliputi tata bahasa, retorika, sejarah, puisi, dan
filsafat moral.  Studi dalam bidang-bidang ini biasanya dilakukan  dengan
membaca dan menafsirkan  karya-karya pengarang-pengarang klasik yang
cukup standar, terutama yang berbahasa Latin dan sedikit banyak dalam
bahasa Yunani.
Dengan penjelasan tersebut di atas jelas terlihat bahwa humanisme dalam
kerangkaRenaissance bukanlah sebuah sistem filosofis, meskipun gerakan
tersebut memiliki berbagai paham filosofisnya sendiri, melainkan merupakan
program budaya dan bercorak pendidikan. Jika kurikulum humanisme hanya
mencakup satu bidang  filsafat, yakni filsafat moral, itu disebabkan oleh

1
adanya kecenderungan di masa Renaissance dahulu untuk mempelajari filsafat
sebagai ilmu yang sekunder dan pada umumnya terbatas pada bidang etika. 
Berbeda halnya dengan karya-karya para humanis di bidang terjemahan,
komentar atas karya pengarang  klasik, puisi, pidato, surat-surat serta karya-
karya yang menyangkut sejarah, tata bahasa dan retorika yang mereka tulis
dalam jumlah yang amat banyak.
Dalam konteks intelektual, ‘humanisme’ sebagai istilah sering
dipercakapkan dalam berbagai konteks, terutama konteks filsafat, pendidikan,
dan kesusasteraan.  Ini memperlihatkan bahwa sebagai istilah humanisme
memperoleh sebaran pengaruh yang meluas. Mengingat makna yang diberikan
kepadanya dapat berbeda-beda, bergantung pada kepentingan dan proyek-
proyek kemanusiaan masing-masing dan pembicaraan atasnya berada dalam
zaman yang mana, maka penting kiranya melihat konteks-konteks penggunaan
humanisme tersebut, sekaligus kaitan dengan kemunculannya dengan konteks
zaman masing-masing.  Oleh karena itu, tulisan ini dimaksudkan untuk
memaparkan hasil penelusuran atas semua itu untuk menemukan pergeseran
makna dan berbagai penggunaannya tapi dengan memberikan tekanan bahasan
dalam konteks filsafat.
Paparan tentangnya akan dimulai dengan bertumpu pada kebangkitan
humanisme di masa Renaissance yang menjadi tonggak penting bagi
kebangkitan kembali pemikiran Barat setelah Abad-abad Pertengahan (The
Dark Ages) yang panjang dan menguasai alam pikiran Barat.  Pembicaraan
secara cukup kronologis, sejak masa Yunani hingga dewasa ini,  baru akan
dilakukan setelah persoalan di balik humanisme itu terterangi.  Fokus
pembicaraan akan menekankan perhatian pada humanisme dari perspektif
filsafat.

2
1.2. Rumusan Masalah
1.2.1. Sejarah kelahiran humanisme
1.2.2. Visi humanisme di dunia barat
1.2.3. Renaisance; gerakan kemanusiaan dan ilmu
1.2.4. Kelahiran filsafat modern

1.3. Tujuan
Tujuan pembuatan makalah ini, yaitu :
1.3.1. Untuk mengetahui tentang sejarah kelahiran humanism
1.3.2. Untuk mengetahui visi humanism di dunia modern
1.3.3. Untuk mengetahui renaissance; gerakan kemanusiaan dan ilmu
1.3.4. Untuk mengetahui kelahiran filsafat modern

1.4. Manfaat
Manfaat penulisan makalah ini, yaitu agar mahasiswa lebih memahami
tentang humanisme.

3
BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Sejarah Kelahiran Humansime

Dilatarbelakangi oleh Abad Pertengahan yang panjang di Eropa Barat


antara tahun 500-1000,  yang dikenal dengan Zaman Kegelapan (The Dark
Ages), Eropa dilanda oleh invasi dari kaum Barbar yang merongrong separuh
bagian Barat kekaisaran Roma hingga akhirnya Roma jatuh pada tahun 410. 
Bangsa-bangsa Norwegia dan Denmark pun menyerbu dari arah utara,
ditambah lagi gelombang serbuan Islam melalui Spanyol di bagian selatan. 
Singkat cerita, situasi hidup di Eropa ketika itu tidak stabil.  Akibat dari
semua itu, disadari adanya  bahaya besar yang tengah mengancam keberadaan
dan keutuhan filsafat dan warisan masa lalu. Karena itu, di abad-abad di mana
orientasi perhatian memang tertuju pada Tuhan dan kehidupan akhirat,
muncullah beberapa studi teologis-monastik di dalam gereja-gereja yang
ketika itu seakan-akan menjadi pusat kehidupan.

Seiring dengan berjalannya waktu, kira-kira pada tahun 1000


berkumpullah sekelompok cendekiawan di Roma pada malam tahun baru atas
restu Paus  Sylvester II.  Pada mulanya,  pertemuan itu memperoleh restu
dari Paus akan tetapi kemudian entah mengapa dibubarkan.  Selanjutnya,
pada awal abad ke-11 berlangsung kebangkitan studi saat stabilitas sosial-
politis mulai dirasakan sebagai akibat dari banyaknya penyerbu barbar yang
masuk menjadi Kristen. Kelak sejarah mencatat saat demikian itu sebagai saat
di mana kebangkitan bangsa Barat tengah terjadi. Persoalan yang  dihadapi
ketika itu bukan lagi invasi bangsa barbar, melainkan persoalan tentang
bagaimana  hubungan antara iman (teologi) dan akal budi (filsafat)
seharusnya disikapi oleh para teolog. Persoalan tersebut kemudian menjadi
persoalan mendesak bagi Abad Pertengahan, yang selanjutnya mengerucut

4
pada pertanyaan: bagaimana caranya menyelaraskan akal budi dan iman.
Dalam perkembangan baru tersebut, pendekatan filsafati dilakukan terhadap
teologi hingga menghasilkan skolastisisme atau teologi skolastik.

Pada tahun 1500 pengaruh Paus terhadap kekristenan Barat sangat luas
dan aman; gereja-gereja pun mengumpulkan banyak kekayaan dan pengaruh
yang meluas.  Kenyaman akan kehidupan yang berkecukupan tersebut 
sekonyong-konyong diguncang oleh munculnya Reformasi yang
diperjuangkan oleh kaum Protestan yang dirintis oleh Desiderius Erasmus
dan mencapai klimaksnya pada Marthin Luther.

Lahirnya Humanisme

Humanisme yang lahir di abad ke-16 berbeda dengan humanisme modern


yang beraneka-ragam.  Karena itu, keduanya tidak boleh ditumpang-tindihkan
satu dengan lainnya.  Perbedaan tersebut dinilai mendasar karena humanisme
modern ditandai dengan sikap  agnostik dan ateistik yang dengan sikapnya
masing-masing tidak memercayai keberadaan Tuhan. Sementara itu, di Eropa
bagian Selatan muncul kembali minat yang besar untuk kembali mempelajari
warisan kebudayaan klasik Yunani dan Romawi.  Gerakan ini kelak kemudian
hari pada tahun 1860 oleh Jakob Buckhardt diberi nama Renaissance yang
berarti kelahiraan kembali.
Humanisme itu sendiri umum dimengerti sebagai gerakan budaya dan
sastra tertulis yang menekankan dan mengembangkan studi literatur klasik. 
Karena itu, karya-karya para pengarang klasik, baik yang berbahasa Latin
maupun Yunani, merebut perhatian utama para humanis Renaissance.  Dalam
sejarah Barat, gerakan ini diakui sebagai bagian dari tradisi retorika yang
berkembang  sejak zaman klasik.  Sebagai gerakan budaya dan sastra tertulis,
ia memandang peradaban Yunani klasik sebagai tolok ukur standar dan model
dalam menuntun aneka macam kegiatan budaya. Ketertarikan para humanis
Renaissance terhadap warisan Yunani klasik membawa mereka ke dalam

5
kecenderungan untuk menyamakan Humanisme Renaissance dengan filsafat.
Berbicara mengenai kelahirannya, humanisme tak dapat dilepaskan dari
arti penting Italia karena tokoh-tokoh pendahulu humanisme dari negara itulah
yang kemudian menciptakan sebuah ‘kepribadian bebas’ yang baru (a new free
personality) yang rindu akan kemasyhuran dan bersikap naturalistik terhadap
dunia. Burckhardt menyebut manusia baru ini dengan istilah  ‘a spiritual
individual’ (individu rohani) untuk menunjuk pada manusia pribadi
yang menjadikan diri sendiri sebagai pusat, yang selanjutnya mengklaim
otonomi moral atau emansipasi dari tolok ukur tradisional dan otoritas politik,
atau menunjuk pada orang yang selalu mencoba mengungkapkan
kepribadiannya secara penuh.

2.2. Visi humanisme di dunia barat

Dalam konteks sejarah filsafat Barat, pemikiran Yunani dianggap sebagai


cikal bakal segala pemikiran yang berkembang hingga sekarang.  Oleh karena
itu, pembicaraan tentang humanisme juga akan dicari asal-usulnya di masa
klasik tersebut.  Pada masa Yunani klasik, humanisme diwujudkan
dalam paideia, yakni suatu sistem pendidikan masa itu yang diselenggarakan
dengan maksud untuk menerjemahkan visi tentang manusia ideal.  Perpektif
tentangnya sepenuhnya bertumpu pada pandangan yang semata-mata kodrati
tentang manusia. Perspektif yang demikian itu memperoleh pembaharuan
berdasarkan ajaran-ajaran kristiani yang amat mempengaruhi cara pandang
Abad Pertengahan tersebut.  Jika pada masa Yunani Kuno/Klasik manusia
dipandang semata-mata sebagai makhluk kodrati, maka pada Abad
Pertengahan citra manusia tidak sebatas kodrati, melainkan juga
makhluk adikodrati, imanen dan transenden.  Citra manusia yang pada
mulanya sebagai  faber mundi (pekerja atau pencipta dunianya sendiri), lalu
berkembang menjadi imago dei/the image of God (makhluk ilahi/ citra
Tuhan/segambar dan serupa dengan Allah).

6
Citra manusia yang sangat duniawi pada masa Yunani Klasik terkait
erat dengan kata bahasa Latin klasik, yakni humus, yang berarti tanah
atau bumi.  Dari istilah tersebut kemudian muncullah kata homo yang
berarti manusia (makhluk bumi), dan humanus yang lebih menunjukkan
sifat membumi dan manusiawi.  Perubahan citra manusia Yunani Kuno saat
memasuki Abad Pertengahan bermula dari cara pandang yang berbeda yang
memandang manusia sebagai makhluk ilahi atau citra Tuhan sebagai bukti
adanya pengaruh ajaran Kristen atas zaman itu melalui filsuf dan sekaligus
teolog Augustinus dan Thomas Aquinas.  Bermula dari kedua tokoh tersebut,
konsep dasar manusia berubah (berkembang) dari semula humanitas (status
manusia sebagai makhluk bumi) menjadi divinitas (status kemanusiaan baru
yang mengandung kesucian di dalam dirinya).

Humanisme Yunani Klasik terkait erat dengan paideia, yakni sistem


pendidikan yang berlaku di Yunani Kuno yang mengedepankan dan
mengupayakan visi tentang manusia ideal, yakni manusia yang mengalami
keselarasan jiwa dan raga yang pada masa Helenistik kedua hal tersebut
mengalami perluasan makna dan disejajarkan dengan penyempurnaan
ideal antara pikiran dan tubuh. Dari visi tersebut diyakini bahwa
kebahagiaan (eudaimonia), hidup yang baik (well being)  hanya akan
dapat terwujud sejauh dua aspek tadi dapat bertemu secara selaras. 
Manusia ideal tersebut akan dapat dicapai melalui kurikulum
tradisional Yunani yang dikenal dengan istilah artes liberales atau liberal
arts.  Yang terdiri dari 7 bidang pelajaran, yakni: tata bahasa,
kemampuan berbicara (retorika), logika, berhitung (matematika),
geometri (ilmu ukur), astronomi, dan musik.  Tingkat
kebajikan (arete) atau  keutamaan (virtue)  bagi manusia Yunani baru
akan dapat dicapai  jika mereka telah melalui tujuh pelajaran
tersebut.  Arete dan virtue tadi akan menjadi semacam jalan untuk
menggapai eudaimonia.

7
2.3. Renaissance; gerakan kemanusiaan dan ilmu
Renaissance sendiri berasal dari bahasa Prancis yaitu dari dua kata
Re + Sance, yang berarti kembalinya sains atau lahirnya kembali
kebudayaan Yunani-Romawi dari masa kegelapan. Gerakan kemanusiaan
dan ilmu dikenal pula sebagai masa humanisme renaissance dimana di tengah
kekelaman Abad Pertengahan yang menjadi masa dimana kemerosotan
peradaban dan kebodohan terjadi, di saat itulah tengah berlangsung gerakan
yang merumuskan ulang esensi dan eksistensi manusia, yang tak lain berupa
proyek besar  kemanusiaan masyarakat Eropa yang kelak mencapai
puncaknya pada abad ke-14, yaitu lahirnya Manusia Renaissance.  Bermula
dari kaum bangsawan dan intelektual Italia yang mewarisi kebudayaan
Romawi kembali menggali kebudayaan Yunani Kuno dan Latin melalui
karya-karya sastra, ilmu pengetahuan dan filsafat, maka digunakanlah lagi
istilah Umanisti yang dulu dipakai oleh guru-guru humanis yang mengajarkan
ilmu-ilmu kemanusiaan pada masa Romawi Kuno, hingga melahirkan Studia
Humanitatis.  Pendidikan humaniora pun lalu menyebar-luas di daratan Eropa
pada umumnya dan perkembangan pesat pun berlangsung di Eropa Barat.
Humanisme Renaissans jauh lebih dikenal karena penekanannya pada
individualisme. Individualisme yang menganggap bahwa manusia sebagai
pribadi perlu diperhatikan. Kita bukan hanya umat manusia, tetapi kita juga
adalah individu-individu unik yang bebas untuk berbuat sesuatu dan
menganut keyakinan tertentu.

2.4. Kelahiran Filsafat Modern

Filsafat Modern adalah pembagian dalam sejarah filsafat barat yang


menjadi tanda berakhirnya era skolastisisme. Waktu munculnya filsafat
modern adalah abad ke-17 hingga awal abad ke-20 di Eropa Barat dan
Amerika Utara. Masa modern menjadi identitas di dalam filsafat Modern.

8
Pada masa ini rasionalisme semakin dipikirkan. Tidak gampang untuk
menentukan mulai dari kapan Abad Pertengahan berhenti. Namun, dapat
dikatakan bahwa Abad Pertengahan itu berakhir pada abad 15 dan 16 atau
pada akhir masa Renaissance. Masa setelah Abad Pertengahan adalah masa
Modern. Sekalipun, memang tidak jelas kapan berakhirnya Abad Pertengahan
itu. Akan tetapi, ada hal-hal yang jelas menandai masa Modern ini, yaitu
berkembang pesat berbagai kehidupan manusia Barat, khususnya dalam
bidang kebudayaan, ilmu pengetahuan, dan ekonomi. Pada masa Modern
terjadi perkembangan yang pesat pada bidang ekonomi. Hal ini terlihat dari
kota-kota yang berkembang menjadi pusat perdagangan, pertukaran barang,
kegiatan ekonomi monoter, dan perbankan.

Ciri pokok filsafat modern adalah:

1. pertama, bebas nilai, subyek peneliti harus mengambil jarak dari semesta
dan bersikap imparsial-netral.

2. Kedua, fenomenalisme, yaitu pengetahuan yang absah hanya berfokus


pada fenomena alam semesta, sehingga proposisi-propososi metafisika
seperti “keberadaan Tuhan” ditolak mentah-mentah karena ia adalah
proposisi tak berarti, tidak masuk akal, sebab tidak ada pembuktian
indrawinya, oleh karena itu Tuhan dan wacana-wacana spritual dalam
kacamata positivisme dianggap nonsense.

3. Ketiga, nominalisme. Kenyataan satu-satunya adalah individual partikuler,


sedangkan unversalisme adalah penamaaan semata.

4. Keempat, reduksionisme. Semesta direduksi menjadi fakta-fakta yang


dapat dipersepsi.

5. Kelima naturalisme. Peristiwa-peristiwa alam adalah keteraturan yang


menisbikan penjelasan adikodrati.

9
6. Keenam, mekanisme. Semua gejala-gejala alam bekerja secara determinis-
mekanis seperti mesin.

BAB III

PENUTUP

3.1. Simpulan

Humanisme itu sendiri umum dimengerti sebagai gerakan budaya dan


sastra tertulis yang menekankan dan mengembangkan studi literatur klasik. 
Karena itu, karya-karya para pengarang klasik, baik yang berbahasa Latin
maupun Yunani, merebut perhatian utama para humanis Renaissance.  Dalam
sejarah Barat, gerakan ini diakui sebagai bagian dari tradisi retorika yang
berkembang  sejak zaman klasik.  Sebagai gerakan budaya dan sastra tertulis,
ia memandang peradaban Yunani klasik sebagai tolok ukur standar dan model
dalam menuntun aneka macam kegiatan budaya. Sedangkan Renaisance
sendiri merupakan gerakan perubahan kebudayaan atau lahirnya kembali
kebudayaan Yunani-Romawi.

3.2. Saran
1. sebagai mahasiswa hendaknya kita memahami tentang filsafat renaissance
dan humanism serta perkembangannya.
2. sebaiknya kita bisa memilah faham atau dogmatis yang bermanfaat dan
yang berbahaya bagi kita sebagai insan yang beragama.

10
DAFTAR PUSTAKA

Hadiwijono, Harun. Sari Sejarah Filsafat Barat 2. Cet. IX; Yogyakarta:


Kanisius, 1993.

11

Anda mungkin juga menyukai