Anda di halaman 1dari 6

Tugas Makalah

JUDUL

Filasafat barat masa renaissance dan modern

Mata Kuliah
Filsafat Umum

Dosen Pengampu:
FAUZA ANDRIYADI, S.H.I., M.S.I.

Oleh:
KELOMPOK 7
1. REZA MUKSALMINA NIM: 210212021
2. ABRAR NIM: 210212017

PROGRAM STUDI
PENDIDIKAN TEKNOLOGI INFORMASI
FAKULTAS
TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI AR-RANIRY BANDA ACEH
2022 M/ 1443 H
BAB I

A. PENDAHULUAN
I.LATAR BELAKANG
Tradisi pemikiran Barat dewasa ini merupakan paradigma bagi
pengembangan budaya Barat dengan implikasi yang sangat luas dan
mendalam di semua segi dari seluruh lini kehidupan. Memahami tradisi
pemikiran Barat sebagaimana tercermin dalam pandangan filsafatnya
merupakan kearifan tersendiri, karena kita akan dapat melacak segi-segi
positifnya yang layak kita tiru dan menemukan sisi-sisi negatifnya untuk
tidak kita ulangi.
Ditinjau dari sudut sejarah, filsafat Barat memiliki empat periodisasi.
Periodisasi ini didasarkan atas corak pemikiran yang dominan pada waktu
itu. Pertama, adalah zaman Yunani Kuno, ciri yang menonjol dari filsafat
Yunani kuno adalah ditujukannya perhatian terutama pada pengamatan
gejala kosmik dan fisik sebagai ikhtiar guna menemukan asal mula (arche)
yang merupakan unsur awal terjadinya gejala-gejala. Kedua, adalah zaman
Abad Pertengahan, ciri pemikiran filsafat pada zaman ini di sebut
teosentris. Ketiga, adalah zaman Abad Modern. Keempat, adalah Abad
Kontemporer dengan ciri pokok pemikiran logosentris.
II.RUMUSAN MASALAH
1.Latar belakang terjadinya Renaissance
2.Tokoh-tokoh penting pada masa Renaissance
3.Dampak Renaissance
III.TUJUAN PEMBAHASAN
1.Pembaca dapat mengetahui latar belakang terjadinya Renaissance
2.Pembaca dapat mengetahui tokoh-tokoh Zaman Renaissance
3.Pembaca dapat mengetahui dampak Renaisssance
B. PEMBAHASAN

Filsafat umum
Reneisence

Periode Kelahiran Kembali (Renaissance)

Di akhir abad pertengahan, teologi mengalami krisis berlarat-larat, yang


berujung pada mistisisme. Hal ini disusul dengan runtuhnya otoritas gereja
dan kekaisaran yang brutal, hingga negara-negara mulai terbentuk.
Kertetarikan pada negara pun dimulai: selama fajar Renaisans
menyingsing, muncul para pemikir politik yang tangguh, seperti
Machiavelli, Bacon, dan Hobbes. Kebudayaan klasik warisan Yunani-
Romawi dicermati dan dihidupkan kembali: filsafat menggali inspirasinya
dari sana

Menurut Marias, karakteristik filosofi Renaisans ini kurang memiliki


ketelitian dan disiplin intelektual. Jika dibandingkan dengan momen-
momen terbaik dalam Skolastisisme, inferioritasnya nampak nyata.
Gagasan-gagasannya dari Platonisme—yang pada dasarnya Neoplatonik—
dan Aristoteles tidak memiliki posisi filosofis dan historis yang kuat.
Mereka belum sepenuhnya memikirkan situasi ontologis yang telah
dibangun Abad Pertengahan: dunia yang dihuni oleh manusia rasional dan
terasing dari Tuhan. Mereka pun belum secara serius mempertanyakan
posisi intelektualnya yang baru. Pertanyaan ini, merupakan lanjutan dari
tradisi metafisika yang nampaknya terputus, kemudian dimulai pada
dekade pertama abad ke-17, dalam karya Descartes. Dalam Cartesianisme,
zaman modern dipikirkan secara metafisik melalui pengandaiannya
tersebut.

Terlepas dari itu, Renaisans pun menyebar luas ke seluruh dataran Eropa
hingga melahirkan suatu bentuk pemikiran humanis. Pada abad ke-15,
mulai muncul akademi Platonis dan pusat kegiatan besar yang condong
pada filsafat dan sastra. Ada juga kelompok ‘Aristotelian’ yang tumbuh
subur di Italia, mereka memperjuangkan gagasan Aristoteles yang buruk
rupa, di antaranya Ermolao Barbaro dan Pietro Pomponazzi. Sedangkan,
para teoritikus politik dan negara membentuk kelompok terpisah, meski
masih berhubungan erat dengan para humanis. Salah satunya, Nicollo
Machiavelli, dalam bukunya The Prince, menguraikan teori negara di atas
segalanya, yang tidak tunduk pada otoritas tertinggi, baik agama atau
moralitas.

Renaisans di Prancis memiliki tendensi skeptisme yang menonjol. Salah


satunya, Michel de Montaigne, penulis buku Essais, yang cukup mahir
dalam sastra ketimbang kedalaman filosofisnya. Ada juga Pierre Charron,
yang merupakan tokoh skpetis par excellence. Pada masa ini, muncul
gerakan anti-Aristotelian dan bertentangan dengan kelompok
Skolastisisme. Tokoh utamanya adalah Pierre de la Ramée, yang dengan
kasar menyerang si buruk rupa Aristoteles dan akhirnya memeluk
Calvinisme. Humanisme juga dengan cekatan menjalin hubungan dengan
Reformasi, termasuk Hellenis Henri Estienne yang agung.

Awal Mula Filsafat Modern

Para filsuf di zaman modern menegaskan bahwa pengetahuan bukan


bersumber dari ajaran agama, dari otoritas tertinggi gereja dan penguasa,
dan beranggapan bahwa sumber pengetahuan yang sebenarnya adalah
rasio (akal). Maka, tak heran nama Descartes selalu dilekatkan pada zaman
modern, karena metode kesangsiannya yang selalu percaya pada akal
hingga digadang-gadang sebagai “Bapak Filsafat Modern”. Tapi, kali ini
kita tak akan membicarakan si peragu Descartes lebih jauh, atau terburu-
buru menggumuli para pemikir modern, seperti Spinoza hingga John
Locke, dengan bekal ‘iman’ filsafat yang tipis.

Kita akan memulainya dari momen-momen paling penting pada abad-15


dan ke-16 sebagai gerbang menuju filsafat modern. Suatu garis pemikiran
yang tersembunyi dan terputus yang berupaya menjaga persoalan ontentik
filosofis atau membangun suatu pijakan untuk mengajukan pertanyaan-
pertanyaan krusial metafisika Eropa baru dengan cara yang khas. Sosok
Nicholas Cusa dan Giordano Bruno, yang mungkin cukup asing di telinga
kita, adalah sosok yang akan dibahas secara sepintas dalam diskusi ini
sebagai wakil filsafat Renainsans, hingga Skolastik Spanyol abad ke-16.

Nicholas Cusa

Nicholas Cryfftz (Krebs) lahir pada tahun 1401 di Cusa dekat sungai
Moselle antara Koblenz dan Trier. Ia sering disebut Nicolaus Cusanus atau
Nicholas dari Cusa (Nicholas Cusa). Ia merupakan salah satu dari empat
anak yang dibesarkan dalam keluarga borjuis. Ayahnya, Johan Cryfftz,
adalah saudagar kaya yang menjadi salah satu bangsawan di Trier.
Nicholas Cusa pertama kali mengenyam pendidikan seni liberal di
Universitas Heidelburg (1416-1417), kemudian pindah ke Universitas
Padua dengan bidang studi hukum, dan memperoleh gelar dokter hukum
kanonik pada tahun 1423. Di Padua, ia bertemu dengan matematikawan
sekaligus dokter bernama Paolo Toscanelli, serta para humanis Guarino de
Verona dan Vittorino de Feltre.

Pada tahun 1425 ia memasuki dinas uskup agung Trier dan, sebagai
sekretarisnya, meraup penghasilan dari beberapa orang yang diuntungkan.
Pada tahun 1426, ia mengajar hukum kanonik, serta mulai mempelajari
filsafat dan teologi di Cologne. Di sana, pada tahun yang sama, ia bertemu
Heimerich dari Campo, yang memperkenalkannya dengan naskah Ramon
Llull, dan komentarnya tentang Dionysius, serta komentar Proclus tetang
Plato. Nicholas Cusa meninggal di Todi dalam perjalanan dari Roma ke
Anconia pada tahun 1464.

Cara pandang Nicolas Cusa:


Salah satu konsep yang terkenal dalam pemikiran Nicholas Cusa, yang
kelak mempengaruhi Hegel cukup dalam, yaitu koinsidensi oposisi
(coincidentia oppositorum). Ia menggunakan ide-ide matematika untuk
membuat hal tersebut dapat dipahami. Lebih jauh lagi, Nicholas Cusa
membandingkan pikiran Tuhan dan pikiran manusia, dan pada saat yang
sama, ia menarik perbedaan yang tajam di antara keduanya. Cusa pun
beranggapan bahwa sesungguhnya pengetahuan didasarkan pada
kemiripan (likenesses). [10] Dalam hal ini, ia telah melakukan suatu
interpretasi yang berbeda dari tradisi Skolastik dan para penerusnya pasca-
Renainsans, perihal kebenaran dan pengetahuan. Meski Nicholas Cusa tak
begitu berhasil memisahkan ontologi dari epistemologi, seperti ia
memisahkan iman dan akal.

Ada beberapa poin penting yang dari konsep ‘kemiripan’ antara pikiran
Tuhan dan manusia dari Nicholas Cusa. Pertama, isi konseptual dari
pengetahuan manusia terikat pada hal-hal yang diciptakan Tuhan untuk
suatu kemiripan epistemiknya. Dalam hal ini, Nicholas Cusa berada dalam
tradisi realisme Kristen. Kedua, keterhubungan antara pikiran Tuhan dan
pikiran manusia sangat dimodifikasi oleh fakta bahwa “konsep’ Tuhan,
“eksemplar” benda, benar-benar tak ada yang lain dalam Tuhan, tetapi
keesaan Tuhan tidak terdiferensiasi. Keesaan adalah yang utama dalam
pengetahuan Tuhan, “keberagaman” dan yang lainnya mencirikan domain
konseptual manusia.
BAB II
KESIMPULAN
Renaissance berasal dari bahasa Prancis (renaissance) yang berarti
kelahiran kembali. Istilah ini sering digunakan untuk menamai berbagai
gelombang kebudayaan dan pemikiran di Eropa yang terjadi mulai dari
Italia, kemudian meluas ke beberapa negara Eropa lainnya. Kemunculan
renaisans telah membawa hidupnya kembali ilmu pengetahuan, filsafat
dan perubahan di berbagai lini kehidupan, sehingga para sejarawan
menganggapnya sebagai awal zaman modern. Berbagai perubahan yang
terjadi selama era renaisans menjadi persiapan bagi pembentukan filsafat
pad abad ke-17, atau yang dikenal dengan filsafat modern.

Karakteristik filsafat modern adalah antroposentrisme, Manusia melihat,


merasakan dan menyadari adanya potensi pada dirinya untuk
menentukan kebenaran (eksistensialisme), tolak ukur dan validitasnya
lewat metode penginderaan-observasi atau eksprimen terhadap realitas
fisik yang melahirkan cara yang selanjutnya disebut metode ilmiah.

SARAN
Mengenai filasafat di menjelang masa modern, kita semua tau terdapat
banyak berubah yang begitu signifikan, pengaruhnya pun sampai di
berbagai bidang, moralitas penduduk dan menyangkut nilai kebangsaan.
Semuanya seakan terkalahkan dengan logika-logika manusia.
REFRENSI

https://lsfcogito.org/sejarah-kemunculan-filasafat-modern-dari-
nicholas-cusa-sampai-skolastisisme-spanyol/

Anda mungkin juga menyukai