Isabella
Fakultas FKIP Prodi Pendidikan Sejarah Universitas PGRI Palangka raya
Email : isabellaiban0303@gmail.com
A. PENDAHULUAN
Penulisan sejarah (historiografi) merupakan cara penulisan, pemaparan, atau
pelaporan hasil penelitian sejarah yang telah dilakukan sebagai hal perwujudan
laporan penelitian atau penulisan sejarah tersebut. Penulisan Sejarah (Historiografi
) juga dapat menjadi ekspresi kultural dan pantulan keprihatinan sosial masyarakat
atau kelompok sosial yang dihasilkan oleh zamannya.
Penulisan sejarah Sebagai bahan perbandingan bagi peneliti selanjutnya,
Menambah wawasan dan pengetahuan bagi peneliti maupun pembaca, Sebagai
bahan informasi dan referensi bagi pihak lain yang berhubungan dengan penulisan
sejarah.
B. PEMBAHASAN
1. Penulisan Barat
a. Penulisan Zaman Yunani – Romawi
Dalam penulisan sejarah (historiografi) para pakar sejarah umumnya
melihat kepada historiografi Eropa karena dari wilayah inilah bermula
munculnya tradisi penulisan sejarah, khususnya sejarah sebagai kajian
ilmiah. Di Yunani tradisi penulisan sejarah disusun dalam bentuk puisi
misalnya karya Homer yaitu Luiad-Odessy yang menceritakan kehancuran
kerajaan Troya tahun 1200 SM. Meskipun karya ini bertolak dari suatu
kenyataan masa lampau, namun budaya zaman yang hidup waktu itu telah
membuat karya lebih menyerupai mitologi dari pada karya sejarah. Banyak
aspek supernatural dipergunakan sebagai dasar penjelasannya mengenai
asal muasal terjadinya suatu peristiwa. Penulisan sejarah yang lebih
rasional baru muncul sekitar abad ke-5 SM, yaitu dengan terbitnya karya
Herodotus yang disusul oleh karya Thucydides.
Tradisi Yunani itu kemudian dijadikan model dan di kembangkan oleh
para sejarawan Romawi, antara lain oleh Polybius (orang Yunani yang
dibesarkan di Roma). la banyak menulis tentang masa akhir Yunani
sampai awal berdirinya Romawi. Penulis Romawi sendiri antara lain:
Julius Caesar (100-44 SM), Gaius Sallustius Crispus (ca. 86-34 SM), Titus
Livius (59 SM-17 M), dan Pablius Cornelius Tacitus (ca. 55-120 M).
Julius Caesar adalah seorang jenderal yang kemudian menjadi kaisar,
menuIis Commentaries on Gallic Wa, yang merupakan memoir tentang
suku Gallia, dan civil War yang merupakan penjelasan mengenai sebab-
musabab terjadinya perang Gallia, sekaaligus tentang adat-istiadat suku
tersebut.
Sallustius terkenal dengan monografi dan biografinya. Bentuk karya
yang disebut terakhir sekaligus menjadi salah satu ciri bagi penulisan
sejarah era Romawi. la menulis Rofome, Conspiracy of Catiline,
Jugurtbine War. Analisanya dinilai cukup netral, namun sayang dia
ceroboh dalam masalah kronologi dan geografi sehingga mengurangi nilai
karyanya itu.
Livius merupakan salah satu contoh penulis yang hampir sepenuhnya
menggunakan model Yunani. Dalam pembuktiannya ia lebih banyak
mengemukakan retorika sehingga mengorbankan kebenaran sejarah.
Karyanya tentang berdirinya kota Roma merupakan campuran antara data
faktual dan fantasi.
Tacitus menulis Annals, Histores dan Germania Karyanya itu
merupakan paduan antara karya Livius yang cenderung pada retorika dan
Polybius yang cenderung pada sejarah. la tercatat sebagai orang pertama
yang melukiskan sebab moral runtuhnya kekaisaran Romawi.
2. Penulisan Tionghoa
Sejarah Tiongkok ditulis dalam kamus-kamus besar yang disusun
sistematis dan dimulai sejak awal zaman dinasti Tiongkok. Sejarah Tiongkok
yang agak terang diketahui ialah semenjak 1500 SM. Dinasti tertua adalah
dinasti Zhou (1066 SM - 221 SM).
Pada masa ini, norma-norma susila dijamin dan dilindungi Oleh
kerajaan. Tidak heran jika kebudayaan yang menitikberatkan susila dalam
kehidupannya, mengajukan pertanyaan tentang kehidupan masa lalu.
Disusunlah sejarah untuk menjawab pertanyaan ini. Objek sejarah atau factor
yang tetap dipandang dalam sejarah adalah kebajikan dan susila.
Bentuk sejarah adalahnna/resmi dari berbagai dinasti, riwayat hidup dari
orang-orang ternama, lukisan perjalanan, perantauan, pengembaraan, dan
pembicaraan yang bersifat khusus. Karena pokok-pokoknya beragam sekali
tanpa ukuran yang penting, penulisan sejarah tenggelam dalam jumlah
kekhususan yang tidak habis-habisnya.
3. Penulisan Indonesia
Penulisan sejarah di Indonesia sebenamya sudah ada sejak masa kerajaan
HinduBuddha berkembang di kepulauan Indonesia, misalnya "Pararaton",
"Negara Kertagama", dan "Carita Parahiyangan". Demikian pula era
kesultanan atau kesunanan Yang bercorak islam, terbit misalnya; "Hikayat
Tanah Hitu", "Tuhfat al Nafis", "Babad Tanah Jawi", dan "Babad Kraton".
Akan tetapi karyanya para "sejarawan" atau tepat para pujangga dinilai kurang
bernilai sejarah karena sarat dengan mitos-mitos seperti halnya historiografi
Abad Pertengahan di Eropa. Sifatnya primordial atau istana sentries,
legitimasi, anakronis, dengan sumber data yang seringkali sulit dilacak serta
analisa sebab-musabab supernaturalnya. Oleh karena itu pada awalnya tidak
sedikit sejarawan akademik yang menilai karya-karya seperti itu tidak patut
dijadikan sebagai referensi penelitian sejarah ilmiah.
Salah satu pujangga istana Surakarta, Yasadipura (1729-1805)
barangkali dapat disebut sebagai 'sejarawan' yang mulai mengkaji kembali
historiografi tradisional Indonesia. la menulis Babad Giyanti yang merupakan
penafsiran kembali karya-karya yang lebih tua, yang disesuaikan dengan
kebutuhan zamannya. Kemudian pada abad ke-19 beberapa pelaku sejarah
juga menuliskan sejarahnya, seperti Pangeran Dipenogoro menulis Babad
Dipenogoro, yang ditulisnya pada tahun 1835, semasa dia berada di
pengasingan. Mungkin saja masih banyak pujangga dan pelaku sejarah
Indonesia yang menulis, namun sejalan dengan perkembangan dunia kolonial,
penelitian, pengumpulan data dan komunikasi pemikiran sejarah pada abad ke-
19 hampir sepenuhnya berada di tangan orangorang Belanda/Barat. Selain itu
mereka mempunyai tradisi dalam historiografi kolonial yang cukup lama Oleh
karena itu pada masa kolonial, sejarah dianggap benar dan penting-bahkan
oleh orang-orang Indonesia berpendidikan londo dengan tokoh tokoh yang
berkuasa seperti gubernur jenderal dan para residennya, bukan sultan,
susuhunan, kiai atau pemimpin Indonesia lainnya.
Awal abad ke-20 perkembangan historiografi Ihdonesia dimulai
dengan munculnya studi sejarah yang kritis. Husein Djajadiningrat dapat
dikatakan sebagai orang Indonesia pertama yang melakukan prinsip-prinsip
metode kritis sejarah. Karyanya, Critische Beschouwingen van de Sejarah
Banten (1913) sebenarnya merupakan studi filologis yang menggunakan
historiografi tradisional sebagai obyeknya. Kemudian pada tahun 1936 giliran
saudaranya, Pangeran Aria Achmad Djajadiningrat yang menerbitkan karya
biografinya, Kenang-kenangan Pangran Aria Achmad Djajadiningrat
(Herrineringen van Pangran Aria Achmad Djajadiningrat) dalam dua bahasa,
Indonesia dan Belanda.
Sejalan dengan berkembangnya metode kritis, perkembangan
nasionalisme Indonesia yang berkembang sejak awal tahun 1920-an,
membutuhan pula sejarah yang dapat menunjukkan identitas dan simbol
keindonesiaan. Semangat inilah yang mendorong penulisan sejarah dengan
pendekatan "lndonesia sentries” menggantikansudut pandang "Eropa sentries"
atau "Belanda sentries" yang berkembang waktu itu. Namun seperti
dikemukakan oleh Coolhaas bahwa harapan penulisan sejarah Indonesia akan
sulit berkembang mengingat orang-orang Indonesia masih sedikit yang terlibat
secara aktif dalam politik. Kenyataannya memang demikian, sampai
meletusnya Perang Dunia II karya-karya sejarah kolonial masih mendominasi,
di antaranya karya FW Stapel Geschiedenis van Nederlandsch Indie, yang
mempunyai pengaruh besar terhadap penulisan sejarah Indonesia kemudian,
terutama buku-buku ajar sejarah pada tingkat sekolah menengah.
Setelah proklamasi kemerdekaan literatur sejarah Indonesia
mengalami "booming". Semangat nasionalisme yang berkobar-kobar dalam
periode post colonial telah mendorong diterbitkannya buku -buku sejarah yang
"Indonesia Sentris". Oleh karena itu pada periode post revolusi ini banyak
diterbitkan biografi tokoh -tokoh maupun pahlawan nasional seperti: Teuku
Umar, Imam Bonjol, Pattimura, Nuku dan Diponegoro karena obyek-obyek
penulisan seperti ini yang mampu menunjukkan identitas dan symbol
keindonesiaan. Demikian pula sejarah perlawanan terhadap penjajah,
seperti Perang Dipenogoro, Perang Aceh, Perang Padri, pergerakan nasional
dan sebagainya menempati posisi yang sama seperti biografi para tokoh tadi.
Tidak sedikit politisi aktif yang ikut menulis sejarah seperfi Mr. Muhammad
Yamin menghasilkan beberapa karya sejarah, antara lain 6000 Tahun Sang
Merah Putih, atau menuliskan memoarnya, seperti TB Simatupang menulis
Laporan dari Banaran (1960).
Semangat patriotisme yang berkobar-kobar namun tidak disertai dengan
penguasaan metode sejarah teknis membuat banyak karya sejarah terbit pada
periode ini sulit dipertanggungjawabkan dengan metode kritis. Dapat
dikatakan sebagian besar karya sejarah waktu itu tidak lebih dari sejarah
kolonial yang diputar balik peranan pelakunya dari "pemberontak" menjadi
"pahlawan", dari "jahat" menjadi "baik", dari pembntak Diponegoro menjadi
pahlawan Diponeogoro dan seterusnya. Karena itu pula banyak kritik terhadap
karya seperti itu. Tidak sedikit pula sejarawan asing yang pesimis terhadap
obyektivitas sejarah yang "Indonesia sentries".
Pesimistis yang sempat berkembang itu kemudian menghilang sejalan
dengan dibukanya kembali program studi sejarah di beberapa perguruan tinggi
Indonesia. Pada tahun 1966 terbit buku The Peasants' Revolt of Banten in
1888: Its Conditions, Coursand Seque/(terjemahannya, Pemberontakan Petani
Banten 1888 terbit pada tahun 1984) karya Sartono Kartodirdjo. Dengan
karyanya ini, yang disusul oleh karyanya yang lain seperti Protest Movement
in Rural Java (1973), Sartono menawarkan alternatife dan perspektif baru
dalam penulisan sejarah Indonesia, yang kemudian dikenal sebagai sejarah
sosial.
Meskipun sudah muncul alternatif baru dengan multidimensinya,
namun sampai sampai dekade 1970-an, sejarah politik-khususnya masa
pendudukan Jepang dan revolusi kemerdekaan masih cukup dominan. Pada
tahun 1977-1979 terbit secara bertahap karya monumental AH Nasution
Sekitar Perang Kemerdekaan Indonesia yang terdiri dari II jilid. Bükü ini
banyak memberikan intormasi tentang jalannya perang pada periode 1945-
1949, Namun buku yang cukup tebai ini mempunyaj satu kelemahan yang
cukup mendasar, yaitu dalam masalah sumber data. Dalam waktu yang hampir
sama terbit kumpulan biografi singkat dari berbagai tokoh yaitu Manusia
Dalam Kemelut Sejarah (1978). Buku ini semula adalah artikel-artikel yang
dimuat dalam majalah Prisma No.8 tahun 1977.
Setelah itü pada tahun 1979 terbit buku Tentara Peta pada jaman
pendudukan Jepang di Indonesia (1979) karya Nugroho Notosusanto yang
merupakan studi akademik pertama tentang masa pendudukan Jepang yang
dikalakukan oleh orang Indonesia.
Meskjpun ada perkembangan dalam penulisan sejarah Indonesia, namun
banyak orang Indonesia yang menilai penulis-penulis asing masih lebih bajk
dalam tulisan sejarah yang bertema "perang kemerdekaan Indonesia",
misalnya Nationalism and Revolutjon in Indonesia (1970) karya George Mc T
Kahin dama in a Time of Revolution: Occupation and Resistance 1944-1946
BROG Anderson. Demikian pula dengan sejarah sosial Indonesia, sampai
akhir dekade 1970-an masih lebih banyak ditulis oleh peneliti asing, di
samping beberapa orang Indonesia dalam bentuk disertasi, misalnya
Onghokham (1975) yang menulis tentang Madiun pada abad ke-19, yang
sampai akhir hayatnya belum sempat diterbitkan.
Selain itu, dalam dekade 1970-an, tepatnya tahun 1977 terbit bükü
Sejarah Nasional Indonesia (SNI) yang terdiri dari 6 jilid yang diterbitkan oleh
Balai PustakaDepartemen Pendidikan dan Kebudayaan. Bükü ini merupakan
karya bersama sejarawan Indonesia waktu itü dalam upaya mewujudkan
sejarah nasional. Düdük sebagai editor umumnya adalah Sartono Kartodirdjo,
Marwaö Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto. Di satu pihak
kehadiran bükü SNI berhasil menjawab kebutuhan akan adanya bükü sejarah
Indonesia yang "nasionalistis"; namun di pihak lainnya telah mengundang
polemik dan keprihatinan dart beberapa sejarawan lainnya. Bükü SNI dinilai
masih mengandung banyak kelemahan, baik dart segi metode maupun data
faktualnya. Keprihaünan inilah antara lain yang menjadi salah satu faktor
untuk menulis bükü sejarah nasional sejenis yang lebih baik. Upaya itü mulai
dirintis sejak penghujung abad ke-21. Para sejarawan yang dimotori oleh Prof.
Dr. Taufik Abdullah dan Prof. Dr.A.B. Lampiran yang bertindak sebagai
editor umum, merencanakan untuk menulis sejarah Indonesia yang nantinya
terdiri dari 8 jilid (plus satu jilid tambahan).
Di łuar keprihatinan itu, sebenarnya perkembangan historiografi
Indonesia tidaklah sesuram itu. Justru sejak akhir abad ke-20 telah
berkembang pula penulisan sejarah dengan pendekatan baru. Namun
perkembangan itu luput dari pengamatan para pakar sejarah, karena sebagian
besar lebih tertarik untuk mengamati dan mendekonstruksi sejarah politik
masa Orde Baru, khususnya yang menyangkut tema sekitar "Gerakan
September Tiga Puluh" atau 30-S-PKI". Metode baru itu, yaitu metode
strukturistik, dapat dikatakan semacam jembatan antara metode naratif dengan
metode struktural. Perintis pendekatan strukturistik di Indonesia adalah R.Z.
Leirissa dari Universitas Indonesia. Penggunaan metode strukturistik itu
terlihat dalam beberapa karyanya seperti Halmahera Timur dan Raja Jailolo
(1996) dan Kekuatan Ketiga Dalam Perjuangan Kemerdekaan Indonesia
(2006).
Daftar pustaka
Aam Abdilah. 2012Pengantar Ilmu Sejarah Cet. I. Bandung: Pustaka Setia
Abd Rahman Hamid & Muh. Saleh Madjid. 2011 Pengantar Ilmu Sejarah.
Yogyakarta: Ombak E.Tamburaka, Rustam 1999.
Pengantar Ilmu Sejarah Teori Filsafat Sejarah SejarahFilsafat dan Iptek. Cet. l;
Jakarta: PT Rineka Cipta.
SUMBER INTERNET
www.wikipedia.org www.pustakaunpad.ac.id
www.academia.edu/14727521/Pengantar_limu_Sejarah
http://bangsalimtuban.blogspot.com/2013/05/filsafat-sejarah.
http://aldenabil.blogspot.com/2013/09/ilmu-bantu-sejarah.