Anda di halaman 1dari 11

HISTORIOGRAFI BARAT KLASIK:

YUNANI DAN ROMAWI

Oleh : Agung Purnama

Pengerfian "klasik" umumnya diberikan kepada semua hasil peradaban


Yunani dan Romawi kuno. Sebutan ini diberikan oleh mereka yang hidup dan
mendukung kebudayaan masa Renaissance, dan yang menjadikan Yunani-
Romawi kuno sehagai rujukan mereka. Sebaliknya oleh para sejarawan
Kristen vang hidup pada masa Abad Pertengahan, kebudayaan Yunani dan
Romawi ini dinilai sebagai hasil kebudayaan pagan, kebudayaan kafir dairi
orang-orang yang belum beragama Kristen.

A. Yunani
Seorang penyair bernama Homerus vang hidup kira-kira pada abad ke-
10 SM, dianggap sebagai pelopor penulis sejarah di dunia barat, meskipun
menurut ukuran modern sekarang kedua epos dalam bentuk puisi yang
ditulisnya yaitu Iliad dan Odyssey bukanlah benar-benar sejarah yang baik.
Meskipun ia memberikan juga beberapa aspek sejarah dari zamannya dalam
tulisan-tulisan tersebut sebagaimana terbukti kemudian dari ekskavasi situs
kota Troya di Asia Kecil (Turki sekarang), namun Homerus tidak dapat
melepaskan diri dari peran para dewa yang amat menentukan sehingga hasil
karyanya itu lebih merupakan legenda dan mitos daripada karya sejarah yang
objektif.
Iliad bercerita tentang peperangan mati-matian antara orang-orang
Yunani melawan orang-orang Troya, karena Paris, putra Raja Troya melarikan
Helen, istri Raja Sparta. Orang-orang Yunani mengejar untuk membalas
dendam dan mengepung kota Troya selama sepuluh tahun. Akhirnya kota itu
berhasil direbut dengan siasat menggunakan kuda kayu raksasa yang
diusulkan oleh Raja Yunani bernama Odysseus. Perut kuda kayu yang kelak
dikenal dengan sebutan Kuda Troya itu dimasuki oleh prajurit-prajurit
Yunani. Orang-orang Troya yang menyangka bahwa orang-orang Yunani telah
kalah, menyeret maasuk kuda raksasa. Malam hari ketika orang-orang Troya
lengah tertidur, prajurit-prajurit Yunani keluar dari perut kuda dan
menghabisi semua musuh-musuh mereka.
Berabad-abad cerita ini dianggap sebagai khayalan saja sampai pada
tahun 1870-1873 arkeolog Heinrich Schliemann mengadakan ekskavasi di
situs seiarah kota Troya. la berhasil menemukan sembilan kota yang tersusun
di atas yang lainnya. Menurut perkiraan kota lapis keenam adalah kota Troya
yang disebutkan dalam cerita Iliad.
Adapun Odyssey menceritakan tentanng pengembaraan Odysseus
setelah kota Troya jatuh. Ia kembali ke kampung halamannya di Ithaca
(Yunani), dan membalas dendam terhadap bangsawan-bangsawan yang telah
mencoba merebut tahtanya. Rupanya cerita ini dituturkan dari mulut ke
mulut sampai akhirnya dituliskan pada kira-kira tahun 800 SM.
Perkembangan menuju ke penulisan sejarah sebenarnya memerlukan
waktu vang cukup lama. Kemampuan dasar bersumber semula dari puisi dan
keterampilan berbicara (diskusi) sehingga karena ini Yunani dikenal pula
sebagai negeri tempat kelahiran epos dan cerita sejarah. Abad ke-6 SM
merupakan masa transisi intelektrual, yaitu ketika orang-orang Yinani mulai
meninggalkan puisi, dan mulai menulis dalam bentuk prosa. Muncul tulisan-
tulisan mengenai geografi dan kronologi. Penulis-penulis terawal ini disebut
“Logografoi”. Mereka ini menghasilkan tulisan-tulisan dalam bentuk prosa
sederhana tanpa bahasa yang dibumbui indah-indah mengenai tradisi-tradisi
lisan, legenda-legenda yang berhubungan dengan asal usul kota-kota, bangsa-
bangsa, pangeran-pangeran, kuil-kuil, dan sebagainya.
Semua ini menjadi sumber-sumber sejarah sebelum Herodotus tampil.
Di antara penulis-penulis Logografhoi ini misalnya Hecatacus dari Miletus
(kira-kira 550-478 SM), Dionysius dari Miletus, dan Charon dari Lampsacus
(kira-kira 470 SM). Ketiganya adalah orang-orang Yunani kelahiran daratan
Asia dan mereka hidup pada zaman yang sama dan merupakan saksi mata
dari peristiwa dari penyerbuan bangsa Persia (Thompson, 1958: 21-23).
Di antara sejumlah sejarawan Yunani terkemuka yang perlu diketahui
adalah sebagai berikut:

1. Herodotus (448-425).
Herodotus lahir di Asia, yaitu di Halikarnasus di sebelah barat
daya Asia Kecil (selarang termasuk Turki). Pada masa hidupnya ia
banyak mengembara dan berhasil memperkenalkan dunia Timur
(Orient) kepada bangsa-bangsa Yunani. Ia menjelajah seluruh Asia Kecil,
pedalaman Asia, sampai ke Susa (Persia), kepulauan Yunani, Mesir,
perbatasan Kaukasus dan muara Sungai Donau. semua wilayah Yunani,
Sisilia, dan akhirnya ke Italia, di mana ia kemudian meninggal (Seyffert,
1957: 28; Barnes, 1963: 8). Mengenai apa yang telah dilakukan
Heredotus dalam pengembaraannya, Maurice Croiset menulis:
Ia, Heredotus telah berhasil melakukan inkuiri yang teramat
berharga, mewawancarai orang-orang, mengunjungi monument-
monument bersejarah, mendapatkan informasi tentang segala hal,
tentang adat istiadat, undang-undang, bentuk-bentuk pemerintahan,
dan agama-agama, tanpa pengetahuan sebelumnya atau prasangka,
tetapi dengan suatu paduan antara ketajaman berpikir dan kesediaan
untuk menerima begitu saja informasi atas dasar keingintahuan yang
tidak pernah terpuaskan dan kebebasan pilihan agama. Dan dari apa
yang ia lihat, baca dan dengar, ia menghasiikan dengan kekuatan
kejeniusannya dengan rasa tajam akan hal-hal yang indah, dengan
bakatnya sehagai seorang tukang cerita, dan dengan keindahan gaya
penulisannya, suatu karya yang benar-benar mengagumkan. Dalam
suatu kerangka yang amat besar, sebagaimana dalam suatu panorama
yang mengesankan, ia memberikan kepada para pembacanya suatu
gambaran kehidupan dua puluh bangsa yang berbeda. Betapa
banyaknya pelajaran vang diberikan dalam koleksi yang ensiklopedis di
mana berbagai tipe manusia, kemajemukan, agama, dan sejarah dari
berbagai lembaga, yang disajikan secara menarik (Barnes, 1963: 28).
Bersumber dari apa yang dibaca, dilihat dan dialaminya.
Herodotus menulis karya sejarahnya yang terkenal, History of the
Persian Wars (Sejarah Perang Persia, 500-479 SM). Ia melihat
peperangan ini sebagai bentrokan antara dua kebudayaan/peradaban
yang berbeda yaitu Yunani dan Persia. Oleh sebab itu, ia mencoba
menyelami kedua kebudayaan dan peradaban tersebut. Meskipun ia
menganggap Persia sebagai bangsa “barbar” yang dibencinya, namun ia
juga mencoba bersikap objektif untuk menghargai peradaban yang telah
dicapai oleh bangsa Persia. Oleh sebab itu Herodotus dianggap sebagai
“Bapak Sejarah” dan juga “Bapak Antropologi” (Gawronski, 1969: 68).
Herodotus menulis pada pertengahan abad ke-5 SM. Dalam
menulis sejarah, karena dokumen di Yunani masih sedikit, maka ia
banyak tergantung kepada tradisi lisan, testimoni (kesaksian), inskripsi
(prasasti), sehingga membuat tingkat akurasinya tinggi. Tulisannya
menarik, karena perhatiannya kepada kemanusiaan yang luas. Ia
menulis untuk “melestarikan dari kelupaan ingatan atas perbuatan-
perbuatan manusia dan mencegah tindakan-tindakan besar dan indah
dan orang-orang Yunani dan Persia, kehilangan bagian-bagian yang
pantas mengenai mereka, dan mencatat alasan-alasan perselisihan di
antara keduanya. (Conkin dan Strombero, 1971: 12).
Herodotus mencoba kritis dan memberikan penjelasan-penjelasan
wajar alami (naturalistik) dari berbagai kejadian. Ia jarang merujuk
kepada campur tangan ketuhanan (Dewa) sebagaimana vang dilakukan
oleh Homerous dalam kedua eposnya tentang peperangan Troya,
beberapa abad sebelumnya. Heredotus seorang sejarawan naratif vang
terampil, yang sangat menaruh perhatian besar pada peristiwa sejarah.
Oleh sebab itu ia disebut juga “bapak penulisan prosa” (Thompson,
1958: 25).
Sebagai seorang Yunani yang kritis, ia sangat peduli untuk
melakukan inkuiri yang cermat untuk memisahkan kebenaran dari
kepalsuan yang meragukan. Ia tahu nilai dari testimoni oleh karena ia
mencari kesaksian-kesaksian lain yang otentik dan dipercaya. Metode
sejarah lisan sebenarnva telah dimulai oleh Herodotus. (Thompson,
1958: 23-28; Barnes, 1963: 28-29; Gawronski, 1969: 68)

2. Thucydides (471-395 SM)


Thucydides adalah scorang pensiunan Jenderal Athena yang
dituduh berkhianat karena kegagalan militer. Ia kemudian dibuang dari
Athena pada tahun 421 SM selama 20 tahun, samai ia mati terbunuh
tahun 395 SM. Dalam pengasingannya, Thucydides melanjutkan apa
yang telah dirintis oleh Heredotus. Ia kemudian menulis The
Peloponnesian War (Perang Peloponesia 431-404 SM) yang isinya
mengenai perang saudara di Yunani, yaitu antara dua negara kota;
Athena dan Sparta yang dibantu oleh sekutu-sekutu mereka masing-
masing pada tahun 431 SM. Karya Thucydides ini merupakan kajian
sejarah kontemporer sebagaimana juga sebagian besar dari karya
Herodotus. Tulisan itu bertahan lama menjadi standar yang diikuti
dalam penulisan sejarah lama. Ia dianggap sebagai sejarawan dalam arti
sebenarnya karena ia mencoba mencari sebab-sebab dari peristiwa-
peristiwa sejarah, menekankan ketepatan (akurasi), berusaha seobjektif
mungkin, dan mengutamakan kualitas analisis. “Saya (Thucydides)
menulis karya saya, tidak sebagai suatu esai yang akan memperoleh
tepuk tangan sebentar, tetapi menjadi suatu milik sepang masa” (Conkin
dan Stromberg, 1971: 12; Gawronski, 1969: 68).
Dalam tulisannya itu ia menyelipkan pidato-pidato yang
diucapkan oleh pelaku-pelaku sejarahnya. Praktek penulisan semacam
ini menimbulkan tanda tanya besar dan acapkali ditolak oleh sejarawan-
sejarawan modern kelak yang mempertanyakan apakah pidato-pidato ini
memang benar-benar diucapkan oleh pelaku-pelaku sejarah yang
bersangkutan. Akan tetapi Thucydides mengklaim bahwa model
keterampilan pidato-pidato itu menambah efek yang esensinya secara
literer adalah benar. Dengan cara ini dapat membantunya dalam
penelitian mengenai motif-motif dan dilemma-dilema yang dihadapi
manusia. Akan tetapi kritik utama terhadapnya karena tekanan yang
berlebih-lebihan kepada masalah-masalah politik. Akibatnya, tanpa
disadari menjadi suatu pola yang kuat sampai abad ke-19, yaitu
dominasi yang kuat isu-isu politik dalam penulisan sejarah.
Segala intervensi ketuhanan dan berbagai peristiwa ajaib tidak
terdapat dalam karyanya Thucydides. Ia mengharapkan karyana dapat
dipertimbangkan berguna oleh mereka yang menginginkan suatu
pengetahuan yang tepat dari masa lalu sebagai suatu bantuan untuk
menafsirkan masa yang akan datang, yang mana dalam masalah-
masalah manusia (human affairs) harusnya mirip, jika tidak dapat
dikatakan duplikat dari masa lalu. Ini yang membuat Thucdides
tergolong sejarawan moralis (Thompson, 1958: 32; Conkin dan
Stromberg, 1971: 13).
Setelah Thucydides terjadi kemunduran dalam historiografi.
Penulisan sejarah Yunani kehilangan pamornya selama beberapa abad
berikutnya. Tulisan-tulisan para sejarawan berikutnya dilakukan
pertama-tama untuk mengajarkan para pembaca prinsip-prinsip moral.
Sebab lain karena di Yunani menyusul periode Alexander Agung antara
kira-kira tahun 336-323 SM dan Yunani ditaklukkan Romawi tahun 146
SM. (Thompson, 1958: 28-33; Barnes, 1963; 29-32; Hoaglind, 1960: 60).

3. Polybius (198-117 SM)


Polyubius adalah seorang Yunani yang memperkenalkan sejarah
kepada orang Romawi. Sejarawan besar Yunani klasik terakhir ini
namanya sejajar dengan Herodolus dan Thucydides. Ia menghidupkan
kembali tradisi Herodotus dan Thucydides dalam karyanya yang
berjudul Punic Wars (Perang Punisia 264-146 SM) yang menekankan
ketepatan, objektivitas, dan kegunaan sejarah. Ia ditangkap tahun 168
SM, lalu dibawa ke Roma, menjadi sahabat dan tutor bagi para
pembesar Romawi. Ia yang pertama membawa sastra dan pengetahuan
Yunani ke Roma. Ia kagum dengan melesatnya Republik Roma (509-30
SM) sebagai pusat kekuasaan. Peristiwa-peristiwa luar biasa itu
merangsangnya mengajukan inkuiri historis. Polybius menyaksikan
kemunculan kekuasaan Romawi dan ia ingin mengetahui mengapa itu
bisa terjadi (Conkin dan Stromberg,1971: 13-14).
Faktor-faktor sebab (causal) itu sangat sulit dijawab dengan tepat,
dan Polybius tidak dapat dikatakan berhasil menjawabnya. Tetapi
penelitiannya mengenai sejarah sangat produktif. Ia termasuk penulis
sejarah vang sangat kritis, tidak memihak, ditunjang mempunyai
pengalaman lama dalam pemerintahan. Ia sangat tajam dalam memilih
ilustrasi yang tepat dari peristiwa penting. Meskipun mungkin ia tidak
berhasil memecahkan teka-teki mengenai sebab-sebab kemunculan
Romawi menjadi suatu kekuatan yang besar, namun ia mempunyai
jawaban terkenal terhadap pertanyaan mengapa Romawi berkembang.
Menurutnya karena keserasian dalam konstitusi Romawi yaitu terdapat
campuran yang seimbang dalam tipe-tipe pemerintahan klasik, yaitu
demokrasi, aristokrasi, dan monarki yang memberikan ruang lingkup
bagi rakyat biasa, bangsawan, dan raja.

B. Romawi
Penulisan sejarah era Romawi sangat dipengaruhi oleh Yunani
sebelumnya. Pengaruh Yunani ini berlangsung sampai abad ke-2 SM.
Sejarawan Romawi pertama, Fabius Pictor (254 SM) menulis Annals tentang
perang Funisia (Gawronski, 1969: 39) dalam bahasa Yunani. Kemudian,
sejarawan Romawi pertama yang menuiis Origins dalam bahasa Latin adalah
Cato (234-149 SM) mengenai sejarah Roma menurut tafsirannva yang diwarnai
prasangka patriotik dan aristokratis (Barnes, 1963: 36).
Adapun tokoh utama yang mempopulerkan penulisan sejarah Romawi
adalah Julius Caesar (100-44 SM), yang juga merupakan Kaisar Romawi.
Karyanya berjudul Commentaries on the Gallic Wars (Catatan-catatan tentang
Perang Gallia) dan Commentaries on the Civil War (Catatan-catatan mengenai
Perang Saudara). Meskipun tulisan-tulisannya itu merupakan pembelaan karir
politiknya terhadap lawan-lawannya, namun ia tetap menekankan objektifitas,
kejelasan, dan tingkat ketepatan yang tinggi. Karya-karyanya memberikan
informasi yang penting mengenai Galia pra-Romawi, seperti halnya karya
Tacitus Germania mengenai Jerman pra-Romawi (Gawronski, 196: 644;
Bames, 1963: 36-37).

1. Titus Livius (59 SM-17 M)


Titus Livius adalah seorang sejarawan nasional Romawi yang
paling terkemuka. Karyanya merupakan suatu epos besar tentang
pertumbuhan Romawi sebagai sebuah emporium dunia. Meskipun ia
menghargai ketepatan sejarah dalam pemaparannya, namun ia terlalu
mengagungkan Romawi, menghidupkan kebanggaan nasional, dan
memberikan inspirasi kepada pemuda-pemuda Romawi semangat
patriotism (Barnes, 1963: 37-38).
Titus Livius mencatat proses kemunduran Romawi. Pada mulanya
menulis mengenai awai Empirium Romawi 30 SM-400/476 M) zaman
keemasan Kaisar Augustus (63 SM-14 M). Tetapi ia menyadari
kemerosotan dalam karakter dan institusi-institusi Romawi dan menulis
sebagian untuk menghidupkan kembali moral untuk menunjukkan
kepada orang-orang Romawi peninggalan bahan-bahan yang telah
dibuat oleh nenek moyang mereka.
Titus Livius kurang dapat disebut sejarawan karena sebagian ia
tidak sanggup mendapatkan sumber-sumber dokumen. Ia mensuplai
legenda-legenda tentang sejarah awal Roma. Tetapi ia mencari
penjelasan-penjelasan peristiwa pada masa 1alu. Pada point ini, Titus
Livius mengajarkan fungsi-fungsi pembelajaran sejarah: kebanggaa pada
ras, bangsa, atau kelompoknya.
2. Tacitus (55-120 M).
Tokoh besar lainnya dalam historiograti Romawi adalah Tacitus
yang meninggal kira-kira sekitar tahun 120 M. Ia menulis antara tahun
85 sampai tahun 115 M, dari mulai emporium Romawi mencapai
puncak kekuasaan dan kejayaannya, sampai pada ketika Romawi mulai
mengalami proses kemunduran dari dalam. Dengan menggunakan
teknik-teknik ilmiah yang dicontohkan oleh Polybius, Tacitus dalam
karya-karyannya yang terkenal Annals dan Histories mencoba
memberikan cerita yang tidak memihak mengenai keruntuhan
kebesaran Romawi.
Kelebihan yang sesungguhnya ialah dalam kemampuannya
menganalisis intrik vang menjadi karakter jamannya. Karya lain dari
Tacitus adalah Germania, yang lebih sosiologis daripada historis. Dalam
karya ini, Tacitus memberikan kepada dunia keterangan tentang
gerakan bangsa Teutonik ke dalam imperium Romawi. Tacitus adalah
sejarawan moralis (moralizing historian). Ia terkenal dengan ucapannya:
“sejarah tertinggi adatah untuk menjamin bahwa aksi-aksi mulia harus
dicatat dan bahwa kata-kata dan perbuatan-perbuatan, jahat
diperlihatkan untuk dikutuk oleb keturunan (Conkin dan Stromberg,
1971: 15).

C. Kelemahan Historiografi Kuno (Klasik)


Beberapa kesimpulan mengenai historiografi Yunani-Romawi adalah
sebagai berikut:
1. Meskipun sebagian besar sejarawan telah mencoba akurat dan
objektif dalam karya-karya mereka, namun ada kekurangan
kekurangan utama para sejarawan klasik, yaitu mereka rata-rata
sangat terpengaruhi oleh lingkungan budaya mereka sendiri.
Pengaruh dewa-dewa, mitos, dan legenda yang tidak
didokumentasikan terus menerus menyusup dalam tulisan-tulisan
mereka. Meskipun demikian, aspek-aspek dasar dari penulisan
sejarah yang ketat telah diletakkan.
2. Ruang lingkup sempit. Mereka secara eksklusif menulis sejarah
politik khusus pada zaman mereka sendiri, atau tidak jauh daripada
itu. Titus Livius tergantung pada legenda-legenda tentang awal
berdirinya Roma karena hanva sedikit dokumen yang ada.
Thucydides tergantung pada wawanara saksi hidup. Sedikit koleksi
manuskrip dalam arsip. Ini menurut standard modern yang
membatasi ruang lingkup sejarawan-seiarawan kuno dalan waktu
dan materi sejarah.
3. Sejarah dianggap sebagai subjek praktis; berfungsi sebagai “sejarah
didaktik” dan ajaran moral dari contoh-contoh kehidupan. Menurut
definisi terkenal dari Cicero (106-43 SM) “sejarah adalah sinar
kebanaran, saksi waktu guru kehidupan.” Ini merefleksikan
kepercayaan kuno yang sangat berharga dan sangat diyakini bahwa
sejarawan tidak boleh berat sebelah, tidak boleh memihak, dan harus
kritis. “Hukum sejarah yang pertama ialah sejarawan tidak boleh
takut mengatakan sesuatu kecuali kebenaran. Selanjutnya, ia harus
berani mengatakan seluruh kebenaran, kata Cicero. Kita mencari
kebenaran, kita melestarikan yang terbaik dari masa 1a1u untuk
membentuk peradaban, kita mengambil keuntungan dari pelajaran-
pelajaran masa lalu. Tacitus menambah bahwa ingatan pada orang-
orang jahat tidak boleh dilupakan, sebagai peringatan dan pelajaran
bagi keturunan. Sebagai guru kehidupan, sejarah adalah “suatu
pelajaran untuk masa sekarang dan suatu peringatan bagi masa
yang akan datang.”
4. Karya-karya sejarah klasik cenderung retoris dan bombastis,
fungsinya mengajarkan filsafat moral dengan contoh. Thucydides
dalam tulisannya menyelipkan orasi-orasi imajiner (Gawronski, 1969:
69; Conkin dan Stromberg), 1971: 16-18).
DAFTAR PUSTAKA

Barnes, Harry Elmer. (1962). A History of Historical Writing. New York: Dover
Publication.Inc.

Conkin, Paul, dan Stomberg, Roland N. (1971). The Heritage and Challenge of
History. New York: Dodd, Mead and Company.

Gawronski, Donald V. (1969). History: Meaning and Method. Illinois: Scott,


Foresman Compagny.

Hoaglind, Richard B. (1960). Learning World History. Greystone Press.

Thompson, James Westfall. (1958). A History of Historical Writing Vol. II. New
York: The Macmillan Company

Anda mungkin juga menyukai