Anda di halaman 1dari 13

TUGAS AGAMA

“PERNIKAHAN DALAM ISLAM”

Oleh:

Kelompok V

1. Lionita Amanda
2. Meta Permata Sari
3. Mutia Nurwaida
4. Nada Maidani

SMA N 3 TUALANG

2019-2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT sehingga penulis dapat menyelesaikan
tugas ini pada waktu yang telah ditentukan.

Adapun tujuan dari makalah yang berjudul “Munakahat” ini adalah untuk memenuhi
tugas Pendidikan Agama islam tahun pelajaran 2019/2020.

Dengan selesainya makalah ini tidak luput dari bantuan segala pihak. Penulis tak lupa
mengucapkan terimakasih kepada:

1. Bapak Izhar sebagai guru Pendidikan Agama Islam yang telah membimbing kami.

2. Orang tua yang telah mendukung penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini
dengan baik.

Penulis menyadari bahwa hasil makalah ini masih jauh dari sempurna, seperti kata
pepatah tak ada gading yang tak retak dan tak ada mawar yang tak berduri.

Walaupun makalah ini sangat sederhana, namun mudah-mudahan memberi manfaat bagi
penulis untuk pelatihan, dan khususnya bagi pembaca untuk pembelajaran.

Penulis
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Allah telah menciptakan segala sesuatu yang berpasang-pasangan. Ada lelaki, ada
wanita. Allah memberi karunia kepada manusia berupa pernikahan untuk memasuki jenjang
hidup abru yang bertujuan untuk melajutkan dan melestarikan generasinya.
Dalam masalah perkawinan, Islam telah berbicara banyak. Dari mulai bagaimana
mencari kriteria bakal calon pendamping hidup, hingga bagaimana memperlakukannya saat
ia resmi menjadi sang pendamping hidup. Begitu pula Islam mengajarkan bagaimana
mewujudkan sebuah pesta pernikahan yang meriah, namun tetap mendapatkan berkah dan
tidak melanggar tuntunan Rasulullah SAW, begitu pula dengan pernikahan yang sederhana
namun tetap penuh pesona. Islam mengajarkannya. Oleh karena itu, melalui makalah ini,
kami ingin membahas pernikahan yang sesuai dengan syariatNya.

B. Rumusan Masalah

1. Apa definisi pernikahan?

2. Bagaimana konsep pernikahan dalam Islam?

3. Apa hukum dilakukannya pernikahan?

4. Apa saja syarat dan rukum pernikahan?

5. Apa hikmah pernikahan?

6. Apa saja larangan pernikahan dalam Islam?

7. Bagaiamana kafaah dalam munakaha


BAB II

PEMBAHASAN

A. Definisi Munakahat

Kata munakahat yang tedapat dalam bahsa Arab yang berasal dari akat kata na-ka-ha,
yang terdapat dalam bahasa Indonesia berarti pernikahan. Munakahat atau pernikahan adalah
ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan
membentuk rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Pernikahan adalah suatu cara yang Allah tetapkan sebagai jalan bagi manusia untuk beranak,
berkembang biak, dan menjaga kelestarian hidupnya, setelah masing-masing pasangan siap
melakukan peranannya yang positif dalam mewujudkan tujuan pernikahan. Selain itu,
perkawinan adalah sunatullah yang dengan sengaja diciptakan oleh Allah yang tujuannya
untuk melanjutkan keturunan dan tujuan-tujuan lainnya. Allah SWT berfirman:

“Dan segala sesuatu kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu mengingat kebesaran
Allah.” (Al Qur’an surat Adh-Dhariyat : 49)5

Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) di Indonesia disebutkan bahwa perkawinan


menurut hukum Islam adah ‘akad yang sangat kuat atau miitsaqon gholiidhon untuk
menaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.

B. Konsep Pernikahan Dalam Islam

Sesungguhnya Islam telah memberikan tuntunan kepada pemeluknya yang akan


memasuki jenjang pernikahan, lengkap dengan konsep atau aturan-aturan Allah SWT.
Berikut adalah hal-hal yang perlu dilakukan sebelum menikah :
1. Minta pertimbangan.

Bagi seorang lelaki, sebelum ia memutuskan untuk menikahi seorang wanita untuk
menjadi istrinya, hendaklah ia juga meminta pertimbangan dari kerabat dekat wanita
tersebut yang baik agamanya. Mereka hendaknya orang yang tahu benar tentang hal ihwal wanita
yang akan dilamar oleh lelaki tersebut, agar ia dapat memberikan pertimbangan dengan jujur dan
adil. Begitu pula bagi wanita yang akan dilamar seorang lelaki, sebaiknya ia minta
pertimbangan dari kerabat dekatnya yang baik agamanya.

2. Shalat istikharah.

Setelah mendapatkan pertimbangan tentang bagaimana calon isterinya,


hendaknya ia melakukan shalat istikharah sampai hatinya diberi kemantapan oleh Allah
SWT dalam mengambil keputusan
3. Khitbah (peminangan).

Setelah seseorang mendapat kemantapan dalam menentukan wanita pilihannya,


maka hendaklah segera meminangnya. Laki-laki tersebut harus menghadap orang
tua/wali dari wanita pilihannya itu untuk menyampaikan kehendak hatinya, yaitu untuk
memintanya agar ia direstui untuk menikahi anaknya. Adapun wanita yang boleh
dipinang bilamana memenuhi dua syarat, sebagai berikut :

a. Pada waktu dipinang tidak ada halangan-halangan yang menyebabkan laki-laki


dilarang memperistrinya saat itu, seperti karena suatu hal sehingga wanita tersebut
haram dinikahinya selamanya (masih mahram) atau sementara (masa iddah /
ditinggal suami atau ipar dan lain-lain.)
b. Belum dipinang oleh orang lain secara sah, sebab Islam mengharamkan seseirang
meminang pinangan saudaranya.
c. Wanita pezina. Wanita pezina hanya boleh menikah dengan laki-laki pezina, kecuali
kalau wanita itu benar-benar bertaubat.
4. Melihat wanita yang dipinang.
Islam adalah agama yang mensyariatkan pelamar untuk melihat wanita yang dilamar
dan mensyariatkan wanita yang dilamar untuk melihat laki-laki yang meminangnya, agar
masing-masing pihak benar-benar mendapatkan kejelasan tatkala menjatuhkan pilihan
pasangan hidupnya.
5. Aqad nikah
Dalam aqad nikah ada beberapa syarat dan kewajiban yang harus dipenuhi :
a. Adanya suka sama suka dari kedua calon mempelai.
b. Adanya ijab qabul.
c. Adanya mahar.
d. Adanya wali.
e. Adanya sanksi – sanksi
6. Walimah. (undangan makan)
Walihatul urusy hukumnya wajib. Dasarnya adalah sabda Rasulullah SAW
kepada Abdurrahman bin Auf :

“…Adakanlah walimah sekalipun hanya dengan seekor kambing.” (Hadits Rimawat Abu
Dawud disahihkan oleh Al-Alabni dalam Shahih Abu Dawud no. 1854.)

Adapun sunah yang harus diperhatikan ketika mengadakan walimah adalah


sebagai berikut :

a. Dilakukan selama tiga hari setelah hari dukhul (masuknya).

b. Hemdaklah mengundang orang-orang shahih, baik miskin atau kaya.

c. Sedapat mungkin memotong seekor kambing atau lebih sesuai dengan taraf
ekonominya.
C. Hukum Dilakukannya Pernikahan

Para ulama berbeda pendapat dalam menentukan hukum nikah, ada yang mengatakan
wajib, sunah, hara, makruh, dan mubah.

1. Wajib nikah

Banyak dari ulama mengatakan bahwa seseorang yang mampu (secara fisik dan
ekonomi) untuk menikah, maka wajib baginya untuk menikah, karena pada dasarnya
perintah itu menunjukkan kewajiban, dan di dalam pernikahan tersebut terdapat
maslahat yang agung.

2. Sunah nikah

Nikah hukumnya sunah bagi orang yang mempunyai syahwat, dan mempunyai
harta, tetapi tidak khawatir terjerumus dalam maksit dan perzinaan. Imam Nawawi di
dalam Syareh Shahih Muslim menyebutkan judul dalam Kitab Nikah sebagai berikut :
“Bab Dianjurkannya Menikah Bagi Orang yang Kepingin Sedangkan Dia Mempunyai Harta.”

3. Haram nikah

Orang yang belum mampu membiayai rumah tangga, atau diperkirakan tidak
dapat memenuhi nafkah lahir batin, maka haram baginya menikah, sebab akan menyakiti
perasaan wanita yang akan dinikahinya. Demikian juga diharamkan menikah, apabila
ada tersirat niat menipu wanita itu atau menyakitinya.

4. Makruh nikah
Orang yang tidak dapat memenuhi nafkah lahir batin, tetapi tidak sampai
menyusahkan wanita itu. Kalau dia orang berada dan kebutuhan biologisnya tidak begitu
menjadi tuntutan, maka terhadap orang itu dimakruhkan menikah. Sebab, nafkah lahir
batin menjadi kewajiban suami, entah itu diminta atau tidak oleh istri.17

5. Mubah nikah

Pada dasarnya hukum nikah adalah mubah, karena tidak ada dorongan atau larangan
untuk menikah, sebagaimana telah disebutkan di atas.
D. Syarat dan Rukun Pernikahan

Setiap perbuatan hukum -hukum negara dan hukum Islam- harus memenuhi dua unsur,
yaitu rukun dan syarat. Rukun ialah pokok (tiang) dalam setiap perbuatan hukum.
Sedangkan syarat ialah unsur pelengkap dalam setiap perbuatan hukum. Jika kedua unsur ini
tidak terpenuhi, maka perbuatan itu dianggap tisak sah menurut hukum. Rukun juga bisa diartikan
dengan sesuatu yang mesti ada sebagai penentu sah dan tidaknya suatu pekerjaan (ibadah), dan
sesuatu itu termasuk dalam rangkaian pekerjaan tersebut. Secara rinci, rukun nikah adalah :

1. Calon mempelai pria

2. Calon mempelai wanita

3. Wali nikah

4. Dua orang saksi

5. Ijab dan qabul.

Kelima rukun nikah ini, masing- masing harus memenuhi syarat :

1. Calon mempelai pria :

a) Beragama Islam

b) Laki-laki

c) Baligh

d) Berakal

e) Jelas orangnya

f) Dapat memberikan persetujuan

g) Tidak terdapat halangan perkawinan, seperti tidak dalam keadaan ihram dan umrah.

2. Calon mempalai wanita :

a) Beragama, meskipun Yahudi atau Nasrani (pendapat sebagian ulama).

b) Perempuan.

c) Jelas orangnya.

d) Dapat memberikan persetujuan.

e) Tidak terdapat halangan perkawinan, seperti tidak dalam keadaan ihram dan umrah.

3. Syarat wali nikah :

a) Laki-laki.

b) Dewasa.

c) Mempunyai hak perwalian.

d) Tidak terdapat halangan perwaliannya.


4. Syarat saksi nikah :

a) Minimal dua orang laki-laki.

b) Hadir dalam ijab dan qabul.

c) Dapat memahami maksud akad.

d) Beragama Islam.

e) Dewasa.

5. Syarat ijab qabul :

a) Ada ijab (pernyataan) mengawinkan dari pihak wali.

b) Ada qabul (pernyataan) penerimaan dari calon suami.

c) Memakai kata “nikah”, “tazwij”, atau terjemahannya seperti “kawin”.

d) Antara ijab dan qabul bersambungan, tidak boleh terputus.

e) Orang yang terkait dengan ijab dan qabul tidak sedang dalam keadaan haji dan
umrah.

f) Majlis ijab dan qabul itu harus dihadiri paling kurang empat orang, yaitu calon
mempelai pria atau wakilnya, wali dan calon mempelai wanita atau wakilnya, dan
dua orang saksi.

Dalam KHI, tentang rukun nikah ini disebutkan dalam Pasal 14 yaitu untuk melaksanakan perkawinan harus
ada : calon suami, calon istri, wali nikah, dua orang saksi dan ijab serta qabul. Mengenai syarat-
syarat melakukan perkawinan dijelaskan dalam pasal 15 sampai dengan pasal 38. Berkaitan dengan
kedua calon mempelai yang akan melangsungkan pernikahan disyaratkan juga ketentuan-ketentuan
sebagaimana yang tercantum dalam UU No. 1/1974 tentang Perkawinan Pasal 6 dan Pasal 7
E. Larangan Pernikahan Dalam Islam

A. Nikah Mut’ah

Nikah mut’ah ialah suatu perkawinan yang dalam jangka waktunya ditetapkan,
baik dalam akad nikah maupun dalam perjanjian sebelum atau sesudahnya. Nikah mut’ah
atau nikah yang sifatnya sementara ini merupakan suatu bentuk perkawinan terlarang yang
dijalin dalam tempo yag singkat untuk mendapakan perolehan yang ditetapkan. Maksud dan
tujuan dari nikah mut’ah hanya untuk memperoleh kesenangan seksual, dan tidak ada tujuan
untuk membentuk rumah tangga yang abadi, kekal, sakinah, mawaddah wa rahmah, dan
itu bertentangan dengan tujuan pernikahan yang disyariatkan dalam Islam.

B. Nikah Muhallil

Nikah muhallil adalah nikah yang dimaksudkan untuk menghalalkan mantan istri
yang telah ditalak tiga kali. Nikah yang semacam ini termasuk dosa besar dan mungkar
yang diharamkan oleh Allah dan pelakunya mendapat laknat.

C. Nikah Syighar

Nikah syighar adalah pernikahan yang didasarkan pada janji atau kesepakatan
penukaran, yaitu menjadikan dua orang perempuan sebagai mahar atau jaminan masing-
masing. Ucapan aqad adalah “saya nikahkan Anda dengan anak saya atau saudara
perempuan saya, dengan syarat Anda menikahkan anak atau saudara perempuan Anda.”
Jika pernikahan ini terjadi, maka pernikahannya batal

F. Hikmah Pernikahan

Pernikahan adalah ikatan batin antara seorang pria dan wanita sebagai suami istri. Ia
merupakan pintu gerbang kehidupan berkeluarga yang mempunyai pengaruh terhadap
keturunan dan kehidupan masyarakat. Banyak sekali hikmah yang terkandung dalam pernikahan,
yaitu:

A. Menentramkan jiwa.

Bila sudah terjadi aqad nikah, si wanita merasa jiwanya tenteram, karena merasa ada
yang melindungi dan ada yang bertanggung jawab dalam rumah tangga. Suami pun merasa
tentekan karena ada pendampingnya untuk mengurus rumah tangga, tempat menumpahkan
perasaan suka dan duka, dan bermusyawarah dalam menghadapi berbagai persoalan. Allah
berfirman :

“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri - istri
dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan
dijadikanNya diantaramu rasa kasih sayang. Sesungguhnya yang demikian itu benar-
benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.” (Al-Qur’an surat Ar-Ruum : 21)
B. Mewujudkan (melestarikan) keturunan.
Allah SWT berfirman :

“Allah menjadikan bagi kamu istri-istri dari jenis kamu sendiri dan menjadikan bagimu dari
istri-istri kamu itu, anak-anak dan cucu-cucu, dan memberimu rezeki dari yang baik- baik. Maka
mengapakan mereka beriman kepada yang bathil dan mengingkari nikmat Allah?” (Al Qur’an
surat An Nahn : 72)

Berdasarkan ayat tersebut di atas jelas, bahwa Allah menciptakan manusia ini
berpasang-pasangan supaya berkembang biak mengisi bumi ini dan memakmurkannya.
Atas kehendak Allah, naluri manusia pun menginginkan demikian.

C. Memenuhi kebutuhan biologis.

Hampir semua orang yang sehat jasmani dan rohaninya menginginkan hubungan
seks. Pemenuhan kebutuhan ini harus diatur melalui lembaga perkawinan, supaya tidak
terjadi penyimpangan, tidak lepas begitu saja sehingga norma-norma adat-istiadat dan
agama dilanggar. Kecenderungan cinta lawan jenis dan hubungan seksual sudah ada
tertanam dalam diri manusa atas kehendak Allah. Allah menghendaki demikian
sebagaimana firman-Nya :

“Bagaimana kamu akan mengambilkanya kembali, padahal sebagian kamu telah bergaul
(bercampur) dengan yang lain sebagai suami-istri. Dan mereka (istri-istrimu) telah
mengambil dari kamu perjanjian yang kuat.” (Al Qur’an surat An-Nisa : 21)

D. Latihan memikul tanggung-jawab

Pada dasarnya, Allah menciptakan manusia di dalam kehidupan ini, tidak hanya
untuk sekedar makan, minum, hidup kemudian mati seperti yang dialami oleh makhluk
hidup lainnya. Lebih jauh lagi, manusia diciptakan supaya berpikir, menentukan,
mengatur, mengurus segala persoalan, mencari dan memberi manfaat untuk umat.

Sesuai dengan maksud penciptaan manusia dengan segala keistimewaan


berkarya, maka manusia itu tidak pantas bebas dari tanggung jawab. Manusia
bertanggung jawab dalam keluarga, masyarakat, dan negara. Latihan itu dimulai dari
ruang lingkup yang terkecil terlebih dahulu (keluarga), kemudian baru mengingkat
kepada yang lebih luas lagi. Biasanya orang yang sudah terlatih dan terbiasa
melaksanakan tanggung jawab dalam suatu rumah tangga akan sukses pula dalam
masyarakat.

E. Untuk membentengi akhlak yang luhur.

Sasaran utama dari disyari’atkannya perkawinan dalam Islam di antaranya ialah


untuk membentengi martabat manusia dari perbuatan kotor dan keji, yang telah
menurunkan dan meninabobokan martabat manusia yang luhur
G. Kafaah Dalam Munakahat

Kafaah dalam terminologi hukum Islam ialah menyaratkan agar suami muslim mesti
sederajat, sepadan, atau lebih unggul dibandingkan sitrinya, meskipun seorang perempuan
boleh memilih pasangannya dalam perkawinan. Ini bertujuan agar ia tidak kawin dengan laki-
laki yang derajatnya berada di bawahnya.

Hasbullah Bakry menjelaskan bahwa pengertian kafaah ialah kesepakatan di antara calon
suami dan istri setidak-tidaknya dalam tiga perkara, yaitu :

1. Agama (sama-sama Islam)

2. Harta (sama-sama berharta)

3. Kedudukan dalam masyarakat (sama-sama merdeka.)

Dalam hal kafaah, baik Imam Abu Hanafi, Imam Malik, Imam Asy-Syafi’i, maupun
Imam Hambali memandang penting faktir agama sebagai unsur yang harus diperhitungkan.
Bahkan Imam Asy-Syafi’i dan Imam Malik lebih menekankan pentingnya unsur ketaatan
dalam beragama.39 Sedangkan Nabi Muhammad SAW memberikan ajaran mengenai ukuran-
ukuran kafaah dalam perkawinan agar mendapatkan kebahagiaan dalam rumah tangga
berdasarkan hadits nabi :

“Dari Said bin Abu Su’bah dari ayahnya dari Abu Hurairah dari Nabi SAW : Sesungguhnya beliau
bersabda : “Nikahilah perempuan karena empat perkaa : pertama karena hartanya, kedua karena
derajatnya, (nasabnya), ketiga kecantikannya, ke empat agamanya, maka pilihlah karena agamanya, maka
terpenuhi semua kebutuhanmu.”

Dalam hadits di atas dijelaskan bahwa jika seorang laki-laki akan menikahi seorang perempuan, maka
ia harus memperhatikan empat perkara yaitu hartanya, derajatnya (nasabnya), kecantikannya, dan
agamanya. Namun Rasulullah SAW sangat menekankan faktor agama untuk dijadikan pertimbangan
dalam memilih pasangan.
Meskipun masalah kafaah itu tidak diatur dalam Undang-Undang Perkawinan, akan
tetapi masalah tersebut sangat penting untuk mewujudkan suatu rumah tangga yang harmonis
dan tenteram, sesuai dengan tujuan perkawinan itu sendiri, yakni ingin mewujudkan suatu
keluarga yang bahagia berdasarkan cinta dan kasih saying sehingga masakah keseimbangan
dalam perkawinan itu perlu diperhatikan demi mewujudkan tujuan perkawinan.41

Sesungguhnya kesepadanan atau sederajat dalam perkawinan, dipandang sangat penting


karena dengan adanya kesamaan antara kedua suami istri itu, maka usaha untuk mendirikan
dan membina rumah tangga yang Islami akan terwujud. Tetapi kafaah dalam Islam diukur
hanya dengan kualitas iman dan takwa seseorang. Allah memandang sama derajat seseorang,
tidak ada perbedaan melainkan derajat takwanya
BAB III

PENUTUP

Kata munakahat yang tedapat dalam bahsa Arab yang berasal dari akat kata na-ka-ha,
yang terdapat dalam bahasa Indonesia berarti pernikahan. Munakahat atau pernikahan adalah
ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan
membentuk rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam munakahat antara lain :

A. Minta pertimbangan.
B. Shalat istikharah.
C. Khitbah (peminangan).
D. Melihat wanita yang dipinang.
E. Aqad nikah
F. Walimah.

Hukum dilakukannya munakahat adalah :

A. Wajib nikah, untuk yang mampu (secara fisik dan ekonomi).

B. Sunah nikah, jika orang tersebut mempunyai syahwat, dan mempunyai harta, tetapi tidak
khawatir terjerumus dalam maksit dan perzinaan.

C. Haram nikah, untuk orang yang belum mampu membiayai rumah tangga, atau diperkirakan
tidak dapat memenuhi nafkah lahir batin.

D. Makruh nikah, untuk orang yang tidak dapat memenuhi nafkah lahir batin, tetapi tidak
sampai menyusahkan wanita itu.

E. Mubah nikah. Pada dasarnya hukum nikah adalah mubah, karena tidak ada dorongan atau
larangan untuk menikah, sebagaimana telah disebutkan di atas.

Rukun munakahat adalah :

A. Calon mempelai pria


B. Calon mempelai wanita
C. Wali nikah
D. Dua orang saksi
E. Ijab dan qabul.

Larangan munakahat antara lain :


A. Nikah Mut’ah : perkawinan yang dalam jangka waktunya ditetapkan, baik dalam akad
nikah maupun dalam perjanjian sebelum atau sesudahnya.
B. Nikah Muhallil : nikah yang dimaksudkan untuk menghalalkan mantan istri yang telah
ditalak tiga kali.

C. Nikah Syighar : nikah syighar adalah pernikahan yang didasarkan pada janji atau
kesepakatan penukaran.

Hikmah munakahat antara lain :

A. Menentramkan jiwa.
B. Mewujudkan keturunan.
C. Memenuhi kebutuhan biologis.
D. Latihan memikul tanggung jawab.
E. Membentengi akhlak yang luhur.

Dalam munakahat, kita harus mempertimbangkan kafaah. Kafaah dalam terminologi


hukum Islam ialah menyaratkan agar suami muslim mesti sederajat, sepadan, atau lebih
unggul dibandingkan sitrinya, meskipun seorang perempuan boleh memilih pasangannya
dalam perkawinan. Ini bertujuan agar ia tidak kawin dengan laki-laki yang derajatnya berada
di bawahnya.

Meskipun masalah kafaah itu tidak diatur dalam Undang-Undang Perkawinan, akan
tetapi masalah tersebut sangat penting untuk mewujudkan suatu rumah tangga yang
harmonis dan tenteram, sesuai dengan tujuan perkawinan itu sendiri, yakni ingin
mewujudkan suatu keluarga yang bahagia berdasarkan cinta dan kasih saying sehingga
masakah keseimbangan dalam perkawinan itu perlu diperhatikan demi mewujudkan tujuan
perkawinan.

Anda mungkin juga menyukai