Anda di halaman 1dari 19

MAKALAH

PENGEMBANGAN PEMBELAJARAN IPS DI SD

Makalah ini disusun untuk memenuhi Tugas


Mata Kuliah “Kajian IPS”

Dosen Pengampu : Dr. YUDI SUPIYANTO, M.Pd

Oleh:

KELOMPOK 9
1. SRI ASMUNIK NIM : 1121230033
2. THERYSTA D.K.M NIM : 1121230037
3. SITI SOLIKHAH NIM : 1121230024

PROGRAM STUDI MAGISTER PENDIDIKAN DASAR


UNIVERSITAS PGRI RONGGOLAWE TUBAN
2023
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, senantiasa kita ucapkan puji syukur kehadirat Allah SWT yang hingga
saat ini masih memberikan kita nikmat iman dan kesehatan, sehingga saya diberi kesempatan
yang luar biasa ini yaitu kesempatan untuk menyelesaikan tugas penulisan makalah
tentang“Pengembangan Pembelajaran IPS di SD” Shalawat serta salam tidak lupa selalu saya
haturkan untuk junjungan nabi agung kita, yaitu Nabi Muhammad SAW yang telah
menyampaikan petunjukan Allah SWT untuk kita semua, yang merupakan sebuah petunjuk
yang paling benar yakni Syariat agama Islam yang sempurna dan merupakan satu-satunya
karunia paling besar bagi seluruh alam semesta. Adapun penulisan makalah ini merupakan
bentuk dari pemenuhan beberapa Tugas mata kuliah Kajian IPS.

Saya juga berharap semoga makalah ini dapat memberikan manfaat bagi setiap
pembaca. Tak lupa dengan seluruh kerendahan hati, kami meminta kesediaan pembaca untuk
memberikan kritik serta saran yang membangun mengenai penulisan makalah kami ini, untuk
kemudian kami akan merevisi kembali pembuatan makalah ini di waktu berikutnya.

Tuban, 2023

Penulis
DAFTAR ISI

Kata Pengantar.....................................................................................................................................................i

Daftar Isi.................................................................................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN………………………………………………………………………………………… 1

A. Latar Belakang...............................................................................................................................................1

B. Rumusan Masalah.........................................................................................................................................1

C. Tujuan Penulisan...........................................................................................................................................1

BAB II PEMBAHASAN..................................................................................................................................2

A. Integrasi Pendidikan Karakter dalam pembelajaran IPS di SD............................................................2

B. Bentuk-Bentuk Model Pembelajaran IPS di SD.....................................................................................7

C. Sumber-Sumber Pembelajaran IPS di SD ……………………………………………………………. 9

D. Perencanaan dan Pelaksanaan Pembelajaran IPS di SD ……………………………………………. 10

E. Paradigma Pendidikan IPS………………………………………………………………………………14

BAB III PENUTUP........................................................................................................................................15

A. Kesimpulan...................................................................................................................................................15

B. Saran..............................................................................................................................................................15

DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................................................................16
BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Proses pembelajaran berperan penting dalam usaha meningkatkan hasil pembelajaran. Dalam
hal ini diperlukan beberapa faktor pendukung di antaranya guru yang profesional, metode
pembelajaran, media pembelajaran, penguasaan materi, dan model pembelajaran. Sebagai guru untuk
melaksanakan tugas secara profesional memerlukan wawasan tentang kemungkinan-kemungkinan
strategi belajar mengajar yang sesuai dengan tujuan belajar yang telah dirumuskan. Strategi
merupakan komponen yang juga mempunyai fungsi yang sangat menentukan. Keberhasilan
pencapaian tujuan sangat ditentukan oleh komponen ini. Bagaimanapun lengkap dan jelasnya
komponen lain, tanpa dapat diimplementasikan melalui strategi yang tepat, maka komponen ‐
komponen tersebut tidak akan memiliki makna dalam proses pencapaian tujuan. Oleh karena itu
setiap guru perlu memahami secara baik peran dan fungsi metode dan strategi dalam pelaksanaan
proses pembelajaran.
Menurut Kurikulum Berbasis Kompetensi yang disempurnakan dalam Kurikulum Tingkat
Satuan Pendidikan (KTSP) bahwa setiap individu mempunyai potensi yang harus dikembangkan,
maka proses pembelajaran yang cocok adalah yang menggali potensi anak untuk selalu kreatif dan
berkembang oleh karena itu pembelajaran harus tetap sesuai tujuan dan tetap menyenangkan sesuai
perkembangan psikologis peserta didik. Namun kenyataan di lapangan belum menunjukkan ke
arah pembelajaran yang bermakna. Pembelajaran saat ini siswa dipandang sebagai subjek yang
berkembang melalui pengalaman belajar sedangkan guru lebih berperan sebagai fasilitator dan
motivator belajar bagi siswa, memberikan kemudahan agar siswa mendapatkan pengalaman belajar
sesuai dengan kemampuannya. Namun yang terjadi selama ini, banyak guru yang mendominasi
kegiatan pembelajaran sehingga siswa kurang terlibat partisipasinya dan kurang mendapatkan
pengalaman yang bermakna. Contohnya pada materi yang berhubungan dengan kegiatan sosial seperti
koperasi dan kesejahteraan masyarakat, kebanyakan guru hanya berceramah pada proses
pembelajaran tanpa melibatkan aktivitas siswa di dalamnya sehingga proses pembelajaran berpusat
pada guru.

Selain dominasi guru, ketidak variatifan penyajian materi merupakan penyebab utama
yang mengakibatkan siswa merasa jenuh dan tidak bersemangat dalam belajar sehingga siswa
merasa kesulitan dalam mengerti, memahami dan menghafal konsep- konsep. Padahal di sisi
lain pemberian pemahaman konsep-konsep IPS harus mendalam karena hal tersebut akan menjadi
bekal dalam menghadapi tantangan hidup. Pemahaman konsep IPS dapat dilakukan dengan cara
mengerti, memahami dan menghafal konsep- konsep tersebut. Dengan pemahaman konsep yang
cukup maka siswa akan mudah mengungkapkan pengalamannya tentang kegiatan-kegiatan sosial
melalui sebuah praktek. Pengembangan pendidikan karakter sangat strategis bagi
keberlangsungan dan keunggulan bangsa di masa mendatang. Pengembangan tersebut harus
dilakukan dengan perencanaan yang baik, pendekatan yang sesuai, dan metode belajar dan
pembelajaran yang efektif. Sesuai dengan sifat nilai pendidikan karakter merupakan usaha bersama
sekolah dan oleh karenanya harus dilakukan secara bersama oleh semua guru, semua mata
pelajaran, dan menjadi bagian yang tak terpisahkan dari budaya sekolah.
Pendidikan karakter sejalan dengan tujuan pendidikan IPS yaitu membina anak didik menjadi
warga negara yang baik, yang memiliki pengetahuan, keterampilan dan kepedulian sosial yang
berguna bagi dirinya sendiri serta bagi masyarakat dan bagi negara. Untuk merealisasikan tujuan
tersebut, proses mengajar dan membelajarkannya, tidak hanya terbatas pada aspek-aspek
pengetahuan (kognitif) dan keterampilan (psikomotor) saja, melainkan juga meliputi aspek
akhlak (afektif) serta bertanggung jawab sesuai yang terkandung dalam nilai-nilai Pancasila.

B. RUMUSAN MASALAH

1. Bagaimana Integrasi Pendidikan Karater dalam pembelajaran IPS di SD?

2. Bagaimana bentuk-bentuk model pembelajaran IPS di SD?

3. Apa yang termasuk sumber-sumber pembelajaran IPS di SD?

4. Bagaimana perencanaan dan pelaksanaan pembelajaran IPS di SD?

5. Bagaimana Paradigma Pendidikan IPS ?

C. TUJUAN

1. Dapat Mengetahui Integrasi Pendidikan Karakter dalam Pembelajaran IPS di SD.


2. Dapat Mengetahui bentuk-bentuk model pembelajaran IPS di SD .
3. Dapat Mengetahui Sumber-sumber pembelajaran IPS di SD.

4. Dapat Mengetahui perencanaan dan pelaksanaan pembelajaran di SD.

5. Dapat Mengetahui Paradigma Pendidikan IPS.


BAB II
PEMBAHASAN

A. Integrasi Pendidikan Karakter dalam Pembelajaran IPS di SD

a. Pengertian Pendidikan Karakter

Istilah karakter berasal dari bahasa Yunani charassein dan “kharax” yang maknanya tools
for making atau to engrave yang artinya mengukir, kata ini mulai banyak digunakan kembali
dalam bahasa prancis “caracter” pada abad ke 14 dan kemudian masuk dalam bahasa inggris
menjadi “character' sebelum akhirnya menjadi bahasa Indonesia menjadi “karakter”. Membentuk
karakter seperti kita mengukir di atas batu permata atau permukaan besi yang keras.
Karakter adalah watak, tabiat, akhlak, atau juga kepribadian seseorang yang terbentuk dari
hasil internalisasi berbagai kebajikan yang diyakini dan mendasari cara pandang, berpikir,
sikap, dan cara bertindak orang tersebut. Kebajikan tersebut terdiri atas sejumlah nilai, moral,
dan norma seperti jujur, berani bertindak, dapat dipercaya, hormat kepada orang lain. Karakter
terwujud dari karakter masyarakat dan karakter masyarakat terbentuk dari karakter masing-
masing anggota masyarakat bangsa tersebut. Pengembangan karakter, atau pembinaan
kepribadian pada anggota masyarakat, secara teoretis maupun secara empiris, dilakukan sejak
usia dini hingga dewasa.

Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan
proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk
memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak
mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.
Pendidikan karakter adalah suatu sistem pendidikan dengan penanaman nilai- nilai sesuai
dengan budaya bangsa dengan komponen aspek pengetahuan (cognitive), sikap perasaan
(affection felling), dan tindakan, baik terhadap Tuhan Yang Maha Esa (YME) baik untuk diri
sendiri, masyarakat dan bangsanya. Pengembangan pendidikan karakter sangat strategis bagi
keberlangsungan dan keunggulan bangsa di masa mendatang. Pengembangan tersebut harus
dilakukan dengan perencanaan yang baik, pendekatan yang sesuai, dan metode belajar dan
pembelajaran yang efektif. Sesuai dengan sifat nilai pendidikankarakter merupakan usaha
bersama sekolah dan oleh karenanya harus dilakukan secara bersama oleh semua guru,
semua mata pelajaran, dan menjadi bagian yang tak terpisahkan dari budaya sekolah.

Pendidikan karakter sejalan dengan tujuan pendidikan IPS yaitu membina anak didik
menjadi warga negara yang baik, yang memiliki pengetahuan, keterampilan dan kepedulian
sosial yang berguna bagi dirinya sendiri serta bagi masyarakat dan bagi negara. Untuk
merealisasikan tujuan tersebut, proses mengajar dan membelajarkannya, tidak hanya terbatas
pada aspek-aspek pengetahuan (kognitif) dan keterampilan (psikomotor) saja, melainkan juga
meliputi aspek akhlak (afektif) serta bertanggung jawab sesuai yang terkandung dalam nilai-nilai
Pancasila.
b. Landasan Pendagogik Pendidikan Karakter

Pendidikan pada dasarnya merupakan suatu upaya sadar untuk mengembangkan potensi
peserta didik secara optimal. Usaha sadar tersebut tidak boleh dilepaskan dari lingkungan
dimana peserta didik berada terutama dari lingkungan budayanya (Ki Hajar Dewantara; Pring;
Oliva) karena peserta didik hidup dalam lingkungan tersebut dan bertindak sesuai dengan kaedah-
kaedah budayanya. Pendidikan yang tidak dilandasi oleh prinsip tersebut akan menyebabkan
peserta didik tercerabut dari akar budayanya. Ketika hal ini terjadi maka mereka tidak
akan mengenal budayanya dengan baik sehingga ia menjadi orang “asing” dalam lingkungan
budayanya. Selain menjadi orang asing, yang lebih mengkhawatirkan adalah dia menjadi
orang yang tidak menyukainya budayanya.

Budaya yang menyebabkan peserta didik tumbuh dan berkembang dimulai dari
budaya di lingkungan terdekat, kemudian berkembang ke lingkungan yang lebih luas yaitu
budaya nasional bangsanya dan budaya universal yang dianut oleh ummat manusia. Apabila
peserta didik menjadi asing terhadap budaya terdekatnya maka dia tidak mengenal dengan baik
budaya bangsanya dan dirinya sebagai anggota budaya bangsa. Dalam situasi demikian maka
dia sangat rentan terhadap pengaruh budaya luar dan bahkan cenderung untuk menerima
budaya luar tanpa proses pertimbangan.
Dengan demikian peserta didik sebagai anak bangsa dan warganegara Indonesia akan
memiliki wawasan, pola berpikir, pola sikap, dan pola tindak dan menyelesaikan masalah yang
sesuai dengan norma dan nilai ciri ke-Indonesiaannya. Secara kultural pendidikan berfungsi
untuk mewariskan nilai-nilai dan prestasi masa lalu ke generasi muda melalui proses
enkulturasi. Nilai-nilai dan prestasi tersebut akan menjadi kebanggaan bangsa dan pada
gilirannya akan menjadikan bangsa tersebut lebih dikenal oleh bangsa-bangsa lain. Selain
berfungsi mewariskan nilai, pendidikan juga memiliki fungsi untuk mengembangkan nilai-nilai
budaya dan prestasi masa lalu itu menjadi nilai-nilai budaya bangsa yang sesuai dengan
kehidupan masa kini dan masa yang akan datang serta mengembangkan prestasi baru yang
menjadi karakter baru bangsa. Oleh karena itu, pendidikan karakter merupakan inti dari suatu
pendidikan.

c. Fungsi Pendidikan Karakter

Pendidikan karakter berfungsi sebagai:

1) wahana pengembangan, yakni: pengembangan potensi peserta didik untuk


menjadi berperilaku yang baik bagi peserta didik yang telah memiliki sikap dan
perilaku yang mencerminkan karakter
2) wahana perbaikan, yakni: memperkuat kiprah pendidikan nasional untuk lebih
bertanggungjawab dalam pengembangan potensi peserta didik yang lebih
bermartabat, dan
3) wahana penyaring, yakni: untuk menyaring budaya-budaya bangsa sendiri dan
budaya bangsa lain yang tidak sesuai dengan nilai-nilai

karakter.

d. Tujuan Pendidikan Karakter

Tujuan pendidikan karakter sebagai berikut:

1) Mengembangkan potensi kalbu/nurani atau afektif peserta didik sebagai manusia


dan warganegara yang memiliki nilai-nilai karakter

2) Mengembangkan kebiasaan dan perilaku (habituasi) peserta didik yang terpuji dan
sejalan dengan nilai-nilai universal dan tradisi budaya bangsa yang religious
3) Menanamkan jiwa kepemimpinan dan tanggungjawab peserta didik sebagai
generasi penerus bangsa

4) Mengembangkan kemampuan peserta didik menjadi manusia yang mandiri,


kreatif, berwawasan kebangsaan

5) Mengembangkan lingkungan kehidupan sekolah sebagai lingkungan belajar yang


aman, jujur, penuh kreativitas dan persahabatan, serta dengan rasa kebangsaan
yang tinggi dan penuh kekuatan (dignity).9

e. Nilai-nilai Pendidikan Karakter

Nilai-nilai yang dikembangkan dalam pendidikan karakter diidentifikasi dari sumber-


sumber sebagai berikut:

a. Agama
Masyarakat Indonesia adalah masyarakat beragama. Oleh karena itu kehidupan
individu, masyarakat, dan bangsa selalu didasari pada ajaran agama dan kepercayaannya.
Secara politis kehidupan kenegaraan pun didasari oleh nilai- nilai yang berasal dari agama.
Atas dasar pertimbangan itu, maka nilai-nilai pendidikan karakter harus didasarkan pada
nilai-nilai dan kaidah yang berasal dari agama.
b. Pancasila

Negara Kesatuan Republik Indonesia ditegakkan atas prinsip-prinsip kehidupan


kebangsaan dan kenegaraan yang disebut Pancasila. Pancasila terdapat pada Pembukaan
UUD 1945 dan dijabarkan lebih lanjut dalam pasal-pasal yang terdapat dalam UUD 1945
tersebut. Artinya, nilai nilai yang terkandung dalam Pancasila menjadi nilai-nilai yang
mengatur kehidupan politik, hukum, ekonomi, kemasyarakatan, budaya, dan seni yang diatur
dalam pasal-pasal UUD 1945. Pendidikan karakter bertujuan mempersiapkan peserta didik
menjadi warga negara yang lebih baik, yaitu warga negara yang memiliki kemampuan,
kemauan, dan menerapkan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupannya sebagai warga negara.
9
c. Budaya
Adalah suatu kebenaran bahwa tidak ada manusia yang hidup bermasyarakat yang
tidak didasari oleh nilai-nilai budaya yang diakui masyarakat tersebut. Nilai-nilai budaya
tersebut dijadikan dasar dalam memberi makna terhadap suatu konsep dan arti dalam
komunikasi antaranggota masyarakat tersebut. Posisi budaya yang demikian penting
dalam kehidupan masyarakat mengharuskan budaya menjadi sumber nilai-nilai dari
pendidikan karakter.

d. Tujuan Pendidikan Nasional

Tujuan pendidikan nasional mencerminkan kualitas yang harus dimiliki setiap warga
negara Indonesia, dikembangkan oleh berbagai satuan pendidikan di berbagai jenjang dan
jalur. Dalam tujuan pendidikan nasional terdapat berbagai nilai kemanusiaan yang harus
dimiliki seorang warga negara Indonesia. Oleh karena itu, tujuan Pendidikan nasional adalah
sumber yang paling operasional dalam pengembangan pendidikan karakter dibandingkan
ketiga sumber yang disebutkan di atas.

f. Pendidikan IPS di Sekolah Dasar

Dalam kepustakan asing mengenai pendidikan IPS dikenal dengan berbagai istilah
seperti social secience education, social studies, and social education.20 Sedangkan di Indonesia
istilah Ilmu Pengetahuan Sosial baru mulai muncul pada tahun 1975-1976, yaitu sebuah label
untuk mata pelajaran sejarah, ekonomi, geografi dan mata pelajaran ilmu sosial lainnya untuk
tingkat pendidikan dasar dan menengah. Istilah IPS juga dimaksudkan untuk membedakan
dengan nama-nama disiplin ilmu di universitas. Kemudian dalam perkembangan selanjutnya,
nama IPS ini beranjak menjadi pengertian "suatu mata pelajaran yang menggunakan
pendekatan integrasi dari beberapa mata pelajaran, agar pelajaran itu lebih mempunyai arti
bagi peserta didik serta untuk mencegah tumpang tindih.

Sedangkan di dalam KTSP dirumuskan bahwa Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS)


merupakan salah satu mata pelajaran yang diberikan mulai dari SD/MI/SDLB sampai
SMP/MTs/SMPLB. IPS mengkaji seperangkat peristiwa, fakta, konsep, dan generalisasi yang
berkaitan dengan isu sosial. Pada jenjang SD/MI mata pelajaran IPS memuat materi Geografi,
Sejarah, Sosiologi, dan Ekonomi. Melalui mata pelajaran IPS, peserta didik diarahkan untuk
dapat menjadi warga negara Indonesia yang demokratis, dan bertanggung jawab, serta warga
dunia yang cinta damai. Adapun tujuan mata pelajaran IPS di SD/MI ditetapkan sebagai berikut:

1. Mengenal konsep-konsep yang berkaitan dengan kehidupan masyarakat dan


lingkungannya;
2. Memiliki kemampuan dasar untuk berpikir logis dan kritis, rasa ingin tahu, inkuiri,
memecahkan masalah, dan keterampilan dalam kehidupan social;
3. Memiliki komitmen dan kesadaran terhadap nilai-nilai sosial dan kemanusiaan;
4. Memiliki kemampuan berkomunikasi, bekerjasama dan berkompetisi dalam masyarakat yang
majemuk, di tingkat lokal, nasional, dan global.
Menurut Sapriya menganalisis bahwa “secara konseptual, melalui mata pelajaran IPS,
peserta didik diarahkan untuk menjadi warga Negara yang demokratis dan bertanggungjawab,
serta menjadi warga dunia yang cinta damai”.Bertolak dari pendapat diatas pembelajaran Ilmu
pengetahuan Sosial (IPS) dapat pula dimasukkan nilai-nilai yang ada dalam pendidikan karakter,
karena dimana sesuai dengan tujuan dari pembelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS)
adalah peserta didik dapat bertanggung jawab terhadap masyarakat, berbangsa dan bernegara.
Karena pembelajaran IPS juga terdapat unsur-unsur nilai yang harus ditanamkan kepada

peserta didik, menurut Sumaatmadja nilai-nilai yang harus ditanamkan dalam pembelajaran IPS
adalah nilai Ke-Tuhanan, nilai edukatif, nilai praktis, nilai filsafat dan nilai teoritis. Nilai-nilai
dalam pembelajaran IPS tersebut sangat sesuai dengan nilai yang terkandung dalam pendidikan
karakter, sehingga melalui pembelajaran IPS ini dalam pembelajaran seorang guru harus bisa
dalm menanamkan unsur-unsur nilai pendidikan karakter dalam pembelajaran IPS.

B. Bentuk- Bentuk Model Pembelajaran IPS di SD

Menurut Susilowaty (2013) terdapat beberapa model pembelajaran untuk mengatasi masalah
pembelajaran IPS. Beberapa dari sejumlah pendekatan yang menjadi rujukan secara parsial terliput
dalam kerangka teknis model pilihan berikut antara lain:

a. Model inkuiri

Model inkuiri adalah salah satu model pembelajaran yang memfokuskan kepada
pengembangan kemampuan peserta didik dalam berpikir reflektif kritis dan kreatif.
Pengembangan strategi pembelajaran dengan model inkuiri dipandang sangat sesuai dengan
karakteristik materi pendidikan pengetahuan sosial yang bertujuan mengembangkan
tanggungjawab individu dan kemampuan berpartisipasi aktif baik sebagai anggota
masyarakat dan warganegara.
b. Model Pembelajaran VCT (Value Clarification Technique)

VCT adalah salah satu teknik pembelajaran yang dapat memenuhi tujuan pancapaian
pendidikan nilai. VCT berfungsi untuk : a) mengukur atau mengetahui tingkat kesadaran
siswa tentang suatu nilai; b) membina kesadaran siswa tentang nilai-nilai yang dimilikinya
baik yang positif maupun yang negatif untuk kemudian dibina kearah peningkatan atau
pembetulannya; c) menanamkan suatu nilai kepada peserta didik melalui cara yang rasional
dan diterima mereka sebagai milik pribadinya.
c. Model bermain peta
Keterampilan menggunakan dan menafsirkan peta dan globe merupakan salah satu
tujuan penting dalam pembelajaran pengetahuan sosial. Peta dan globe

memberikan manfaat, yaitu: a) siswa dapat memperoleh gambaran mengenai bentuk, besar,
batas-batas suatu daerah; b) memperoleh pengertian yang lebih jelas mengenai istilah-
istilah geografi; c) memahami peta dan globe. Dalam memahami peta dan globe diperlukan
beberapa syarat yaitu : (a) arah, (b) skala,; (c) lambang-lambang,; (d) warna.

d. Pendekatan ITM (Ilmu Teknologi dan Masyarakat)

Pendekatan ITM (Ilmu, Teknologi, dan Masyarakat) atau juga disebut STS
(Science-Technology-Society) muncul menjadi sebuah pilihan jawaban atas kritik terhadap
pengajaran Ilmu Pengetahuan Sosial yang bersifat tradisional. ITM dikembangkan sebagai
sebuah pendekatan guna mencapai tujuan pembelajaran yang berkaitan langsung dengan
lingkungan nyata dengan cara melibatkan peran aktif peserta didik dalam mencari informasi
untuk memecahkan masalah yang ditemukan dalam kehidupan kesehariannya
e. Model Portofolio
Sapriya (dalam Winataputra, 2008) menegaskan bahwa portofolio merupakan karya
terpilih kelas atau siswa secara keseluruhan yang bekerja secara kooperatif membuat kebijakan
publik untuk membahas pemecahan terhadap suatu masalah kemasyarakatan. Makna
pembelajaran berbasis portofolio dalam pembelajaran pengetahuan sosial adalah
memperkenalkan kepada peserta didik membelajarkan mereka pada metode dan langkah-
langkah yang digunakan dalam proses politik kewarganegaraan atau kemasyarakatan.

C. Sumber ‐ Sumber Pembelajaran IPS di SD

Menurut Winataputra (2008) ada 3 sumber pembelajaran IPS yaitu :


a. Media sebagai sumber pembelajaran
Media sebagai sumber pembelajaran erat kaitannya dengan peran guru sebagai
mediator dan fasilitator. Sebagai mediator, guru hendaknya memiliki pengetahuan dan
pemahaman yang cukup tentang media pembelajaran karena media merupakan alat
komunikasi untuk lebih mengefektifkan proses belajar mengajar. Dengan demikian, media
merupakan dasar yang sangat diperlukan yang bersifat melengkapi dan merupakan bagian
integral dalam proses belajar mengajar guna mencapai tujuan pembelajaran. Memilih dan
menggunakan media harus sesuai dengan tujuan, materi, metode, evaluasi dan yang lebih
utama dapat memperlancar pencapaian tujuan serta menarik minat peserta didik.

b. Kelas sebagai sumber belajar


Kelas sebagai sumber pembelajaran tidak terbatas pada pemeliharaan dan penciptaan
suasana belajar yang efektif, melainkan juga dapat dijadikan sebagai tempat pameran hasil
karya peserta didik. Kelas yang memiliki pajangan atau pameran hasil karya peserta didik
dapat menjadi tempat yang menarik dan dapat memotivasi peserta didik untuk belajar.
Peserta didik belajar melalui kegiatan mendengar, melihat, meraba, mencium dan berbuat.
Hasil karya peserta didik yang baik akan mendorong mereka untuk menggunakan panca
indera penglihatannya untuk belajar dengan membaca dan memanfaatkan hasil karya
tersebut.
c. Lingkungan sebagai sumber belajar

Lingkungan sebagai sumber pembelajaran menuntut kreativitas guru untuk


memanfaatkannya dan mengeliminasi kebiasaan mengajar yang rutinitas dan monoton.
Terdapat empat jenis sumber pembelajaran yang dapat dimanfaatkan dari lingkungan
yaitu: masyarakat, lingkungan fisik, bahan sisa atau limbah serta peristiwa alam dan
sosial. Memanfaatkan lingkungan sebagai sumber pembelajaran mendorong peserta
didik untuk berpikir logis dan sistematis, karena dari lingkungan muncul berbagai
fenomena yang menarik dan menantang bagi peserta didik. Oleh karena itu, guru dituntut
memiliki keterampilan di dalam kelas dan atau membawa siswa ke luar kelas.

D. Perencanaan dan Pelaksanaan Pembelajaran IPS di SD

Tujuan, materi pelajaran, kegiatan belajar, strategi pembelajaran (bahkan sampai pada
evaluasi) harus diorganisasikan sedemikian rupa untuk menggalakkan pembelajaran yang efektif
sehingga perlu perencanaan dan pelaksanaan. Setiap langkah yang akan dilakukan oleh guru
mengenai apa yang akan diajarkan ditentukan oleh tujuan yang dirumuskan sebelumnya. Oleh sebab
itu, perumusan tujuan merupakan langkah pertama yang harus dilakukan oleh guru dalam
melaksanakan tugasnya sebagai pengelola pembelajaran IPS. Tujuan yang akan dicapai selama proses
belajar mengajar berlangsung dan apakah tujuan itu dapat tercapai atau tidak setelah proses
pembelajaran selesai, hendaknya ditulis dan dirumuskan terlebih dahulu oleh guru dalam satuan
pelajaran yang menuntun guru dan peserta didik ke arah proses pembelajaran yang tampak jelas dan
terarah.
Menurut Susilowaty (2013), dalam perencanaan dan pelaksanaan pembelajaran ada
beberapa hal di bawah ini yang perlu mendapat perhatian yaitu :

a. Materi pelajaran

Guru hendaknya menguasai bidang studi atau mata pelajaran IPS. Materi dalam satuan
pelajaran itu disebar dalam pokok bahasan atau sub pokok bahasan kemudian dirumuskan dalam
TIU (Tujuan Instruksional Umum). Setelah itu rincian meteri yang akan disampaikan.
b. Metode
Uraikan tentang metode apa saja yang akan digunakan dalam kegiatan pembelajaran sesuai dengan
tujuan pendidikan yang hendak dicapai.

c. Alat, sumber belajar dan media perlu diketahui dan disiapkan.

d. Pemanfaatan lingkungan sekolah


Sehubungan dengan poin 3 di atas, lingkungan sekolah perlu dimanfaatkan jika relevan
dengan proses pembelajaran seperti kebun dan tamanan di sekolah, bangunan sekolah, jalan raya di
sekitar sekolah, warung sekolah dan sebagainya.

e. Pemanfaatan ruang kelas

Sehubungan dengan hal-hal di atas juga perlu diperhatikan penempatan papan tulis, meja guru,
bangku-bangku, lemari, penggunaan dinding-dinding kelas untuk display hasil kerja peserta didik.
Begitu juga penggunaan sudut dan serambi kelas untuk pameran hasil karya peserta didik, hasil
penelitian atau hasil karya guru.

f. Pemanfaatan lingkungan.

Penggunaan sumber yang tersedia dari lingkungan fisik sekolah atau masyarakat di sekitar
desa (desa pertanian, atau desa nelayan), flora fauna, batu-batuan dan alat transportasi desa dapat
menjadi alat peraga pelajaran IPS.

g. Pemanfaatan waktu

Prinsip “semakin banyak waktu semakin banyak yang bisa dipelajari” perlu dipegang. Alokasi
waktu perlu diatur sebaik-baiknya dalam jadwal kegiatan

h. Pemanfaatan perpustakaan dan laboratorium.

Dalam rencana pelajaran perlu dinyatakan bilamana perpustakaan dan laboratorium IPS itu
digunakan. Demikian pokok- pokok yang perlu diperhatikan dalam perencanaan dan
pelaksanaan pembelajaran ini agar tujuan-tujuan pendidikan IPS dapat tercapai dengan
efektif.

E. Paradigma Pembelajaran Pendidikan IPS

Kenyataan menunjukkan bahwa program (pendidikan) Ilmu-Ilmu Sosial (IIS), Pendidikan


Ilmu Pengetahuan Sosial (PIPS), dan Pendidikan Disiplin Ilmu Pengetahuan Sosial (PDIPS) telah
menjadi bagian dari wacana kurikulum, sistem pendidikan Indonesia. Secara kelembagaan, IIS
dikelola dan dibina di fakultas-fakultas keilmuan sosial dan humaniora murni, yakni Fakultas
Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP), Fakultas Hukum (FH), Fakultas Ekonomi (FE), Fakultas
Ilmu Komunikasi (FIKOM), Fakultas Geografi (FG), Fakultas Psikologi (FP), dan Fakultas Sastra
(FS). IIS yang dikelola dan dibina di semua fakultas tersebut mencakup pendidikan ilmu geografi,
ilmu sejarah, antropologi, sosiologi, ilmu ekonomi, ilmu politik, ilmu pemerintahan, ilmu hukum,
ilmu komunikasi, dan psikologi. Masing-masing program pendidikan ini bertujuan
menghasilkan ilmuwan sosial dalam berbagai tingkat, yakni sarjana, magister, dan doktor, dan atau
praktisi atau profesional dalam lingkup bidang ilmunya dalam berbagai tingkat seperti tenaga
ahli madya (administrasi, komunikasi), notaris, akuntan, dan jurnalis (UNPAD, 1998; UGM, 1998;
UI, 1998).
Sedangkan PIPS merupakan program pendidikan sosial pada jalur pendidikan sekolah dan
luar sekolah yang mencakup mata pelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKN),
IPS terpadu di Sekolah Dasar (SD) dan Paket A Luar Sekolah; IPS terkorelasi di Sekolah Lanjutan
Tingkat Pertama (SLTP) dan Paket B Luar Sekolah, yang di dalamnya mencakup materi geografi,
sejarah, dan ekonomi koperasi, dan IPS terpisah di Sekolah Menengah Umum (SMU) yang terdiri
atas mata pelajaran geografi, sejarah, antropologi, sosiologi, ekonomi, dan tata negara. Tujuan utama
program pendidikan tersebut adalah menyiapkan peserta didik sebagai anggota masyarakat dan warga
negara yang baik dan memberi dasar pengetahuan dalam masing-masing bidangnya untuk
kelanjutan pendidikan jenjang di atasnya (Depdikbud,1994; 1984; 1975). Secara kelembagaan,
program pendidikan ini dikelola dan dibina oleh Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah
beserta satuan pengelola pendidikan di bawahnya sampai ke daerah, dan lembaga-lembaga
pendidikan persekolahannya
Sementara itu, PDIPS pada dasarnya merupakan program pendidikan guru IPS yang
dikelola dan dibina di Fakultas Pendidikan IPS Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (KIP), dan di
Jurusan Pendidikan IPS Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan (STKIP) atau Fakultas
Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) suatu universitas. Tujuan utama program ini adalah
menghasilkan guru IPS dan PPKN yang pada dasarnya menguasai konsep-konsep esensial ilmu-ilmu
sosial dan materi disiplin ilmulainnya yang terkait, dan mampu membelajarkan peserta didiknya secara
bermakna. Oleh karena itu, para mahasiswa program pendidikan ini antara lain dituntut untuk
mempelajari kelompok tiga kelompok program kurikuler, yakni kelompok mata keilmuan sosial dalam
rangka pembelajaran IPS, teknologi pembelajaran IPS, dan kurikulum serta pembelajaran IPS
persekolahan.
a. Konsep dan Rasional Social Studies

Untuk melihat, bagaimana konsep sosial studies secara umum, nampaknya


perlu dikembalikan kepada perkembangan pemikiran dan praksis dalam bidang itu di Amerika
Serikat (AS) yang penulis anggap sebagai salah satu negara yang telah menunjukkan reputasi
akademis dalam bidang itu. Reputasi tersebut tampak dalam perkembangan pemikiran
mengenai bidang itu, seperti dapat disimak dari berbagai karya akademis yang dipublikasikan
oleh National Council for the Social Studies (NCSS) sejak pertemuan organisasi tersebut
pertama kalinya tanggal 20-30 November 1935 sampai sekarang.
Dalam pertemuan itu disepakati bahwa “ilmu sosial sebagai inti dari suatu
kurikulum”, dengan kerangka pemikiran yang belum solid, yang oleh Longstreet (1965:356)
digambarkan sebagai pertemuan yang penuh dengan kebingungan dan dengan refleksi
pemikiran yang tidak jelas sebagai dampak dari perdebatan intelektual yang tak terselesaikan,
di tengah-tengah situasi sosial, politik, dan ekonomi yang penuh gejolak. Namun demikian,
terkuak harapan pada satu saat dapat dicapai suatu hasil yang gemilang di dalam “social
studies”.
Pilar historis-epistemologis, social studies yang pertama, berupa suatu definisi tentang
“social studies” telah dipancangkan oleh Edgar Bruce Wesley pada tahun 1937 (Barr, Barth,
dan Shermis,1977:1-2), yaitu The Social Studies are the social sciences simplified
pedagogical purposes. Maksudnya, bahwa studi sosial adalah ilmu-ilmu sosial yang
disederhanakan untuk tujuan pendidikan. Pengertian ini, kemudian dibakukan dalam The
United States of Education's Standard Terminology for Curriculum and Instruction (dalam
Barr dan kawan-kawan,1977:2) sebagai berikut: The social studies comprised of those aspects
of history, economics, politicial science, sociology, anthropology, psychology, geography,
and phiplosophywhich in practice are selected for purposes in schools and colleges.
Maksudnya, bahwa social studies berisikan aspek-aspek ilmu sejarah, ilmu ekonomi, ilmu
politik, sosiologi, antropologi, psikologi, ilmu geografi, dan filsafat, yang dipilih untuk
tujuan pembelajaran sekolah dan di perguruan tinggi.
Bila dianalisis dengan cermat, di dalam pengertian awal studi sosial
tersebut di atas menyiratkan hal-hal sebagai berikut. Pertama, studi sosial merupakan
disiplin dari ilmu-ilmu sosial. Kedua, disiplin ini dikembangkan untuk memenuhi
tujuan pendidikan/pembelajaran, baik pada tingkat persekolahan maupun tingkat pendidikan
tinggi. Ketiga, oleh karenanya,aspek-aspek dari masing-masing disiplin ilmu sosial itu perlu
diseleksi sesuai dengan tujuan tersebut. Walaupun telah ada definisi awal sebagai pilar pertama,
di dalam perkembangan selanjutnya ternyata bidang studi sosial ini didera oleh berbagai
ketidakmenentuan, yang oleh pionir studi sosial Edgar Bruce Wesley (Barr dan kawan-
kawan, 1978: iv) berdasarkan pengamatannya selama 40-an tahun dikemukakan bahwa
bidang ilmu studi sosial telah lama mengalami ketidaksepahaman dalam pendefinisian
serta kebingungan dalam falsafahnya. Keadaan itu dinilai telah menimbulkan
ketidakmenentuan, ketidakberkeputusan, ketidakbersatuan, dan ketidak majuan. Keadaan
tersebut dirasakan terutama pada masa tahun 1940- 1970-an.
Pada periode tersebut, seperti digambarkan oleh Barr, Barth, dan Shermis, (1977:33-
46), studi sosial menjalani periode yang sangat sulit.Antara tahun 1940-1950-an ia mendapat
serangan hampir dari segala penjuru, yang pada dasarnya, berkisar pada pertanyaan mesti
atau tidaknya “social studies” menanamkan nilai dan sikap demokratis kepada para pemuda.
Hal itu tumbuh sebagai salah satu dampak dari perang yang berkepanjangan, yang melahirkan
tuntutan bagi sekolah untuk mengajarkan pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang
diperlukan untuk berpartisipasi dalam masyarakat yang demokratis. Tuntutan tersebut telah
mendorong munculnya upaya pemberian tekanan pada pentingnya pengajaran sejarah, berupa
fakta-fakta sejarah yang perlu mendapat perhatian; kelembagaan pemerintahan Amerika;
dan analisis rinci mengenai Konstitusi Amerika. Situasi pembelajarannya kelihatan sangat
kuat menekankan pada mata pelajaran sosial yang terpisah-pisah, memorisasi informasi
faktual, dan transmisi secara tidak kritis dari nilai-nilai budaya terpilih.
Perkembangan selanjutnya, yakni antara tahun 1976-1983, seperti dilaporkan
oleh Stanley (1965:310) pendidikan sosial merupakan suatu bidang yang memiliki beragam
definisi dan rasional. Hal tersebut memang sejalan dengan apa yang dilihat dan dirasakan
oleh Wesley ( Barr, dkk.,1976) yang telah mencatat penggunaan istilah studi sosial sebagai
ilmu sosial, layanan publik, socialism, radikal, reformasi sosial, kurikulum yang terintegrasi
dan lain-lain. Terlepas dari adanya aneka penggunaan pengertian tersebut, ditegaskan bahwa
jantung dari studi sosial adalah hubungan atau interaksi antar manusia. Sedangkan jika
dilihat dari visi, misi dan strateginya, Barr dkk. (1978:17-19) studi sosial telah dan dapat
dikembangkan dalam tiga tradisi, yakni studi sosial diajarkan sebagai pendidikan
kewarganegaraan (citizienship transmmision), studi sosial diajarkan sebagai ilmu sosial, dan
studi sosial yang diajarkan sebagai reflective inquiry.

Jika dilihat dari definisi dan tujuannya, studi sosial menurut laporan tersebut
menyiratkan dan menyuratkan hal-hal sebagai berikut. Pertama,“social studies” merupakan
mata pelajaran dasar di seluruh jenjang pendidikan persekolahan; kedua, tujuan utama mata
pelajaran ini ialahmengembangkan siswa untuk menjadi warga negara yang memiliki
pengetahuan, nilai, sikap, dan keterampilan yang memadai untuk berperan serta dalam
kehidupan demokrasi; Ketiga, contents pelajarannya digali dan diseleksi dari sejarah dari
ilmu-ilmu sosial, serta dalam banyak hal dari humaniora dan sains; dan keempat,
pembelajarannya menggunakan cara- carayang mencerminkan kesadaran pribadi
kemasyarakatan, pengalaman budaya, dan perkembangan pribadi siswa. Kesemua itu,
mencerminkan visi, misi, dan strategi yang senapas dengan apa yang telah diajukan oleh Barr,
dan kawan-kawan (1978). Hal tersebut sekaligus mencerminkan bahwa pada dasawarsa 1980-
an telah terjadi kristalisasi lebih pemikiran studi sosial yang lebih solid dan telah
mencairnya masalah ketidakmenentuan, ketidakberkeputusan, ketidakbersatuan, dan
ketidakmajuan yang menandai perkembangan studi sosial pada 4-5 dasawarsa sebelumnya.

b. Perkembangan pemikiran mengenai social studies selanjutnya

Pada tahun 1992, the Board of Directors of the National Council for the Social
Studies mengadopsi visi terbaru mengenai social studies, yang kemudian diterbitkan dalam
dokumen resmi NCSS pada tahun 1994 dengan judul Expectations of Excellence:
Curriculum Standards for Social Studies. Dokumen ini nampaknya yang sedang mewarnai
pemikiran dan praksis studi sosial di Amerika Serikat sampai dengan saat ini. Di dalam
dokumen tersebut, secara esensial mengandung visi, misi, dan strategi pendidikan studi
sosial, yang mengokohkan kristalisasi pemikiran yang lebih solid dan kohesif dari para pakar
dan praktisi yang tergabung dalam NCSS, yang secara sosial akademik sangat berpengaruh di
Amerika Serikat, yang juga biasanya memberi dampak yang signifikan terhadap pemikiran
dan praksis dalambidang itu di negara lain

Hal tersebut mengisyaratkan bahwa dalam duadasawarsa terakhir, 1980 dan 1990-
an, pemikiran mengenai studi sosial yang sebelumnya dilanda penyakit ketidakmenentuan,
ketidakberkeputusan, ketidakbersatuan, dan ketidakmajuan, seperti telah dibahas pada awal
bab ini, paling tidak secara konseptual telah dapat diatasi. Hal ini, penulis pikir, merupakan
suatu kemajuan besar dalam epistemologi disiplin pendidikan studi sosial. Dengan demikian
pula, dapat diperkirakan bahwa pemikiran tersebut akan banyak mewarnai pemikiran dan
praksis pendidikan studi sosial di Amerika Serikat dan negara lainnya pada dasawarsa awal
abad ke-21.

Sebagai rambu-rambu dalam rangka mewujudkan visi, misi, dan strategi baru studi
sosial tersebut, NCSS (1994) menggariskan hal-hal sebagai berikut:

• Pertama, program studi sosial mempunyai tujuan pokok membangun warga negara yang
kompeten, yaitu pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang dibutuhkan oleh anak didik
agar mampu berperan serta dalam kehidupan yang demokratis (NCSS,1994:3). Di sini,
kembali ditegaskan bahwa pendidikan kewarganegaraan, yang secara tersurat dikatakan
sebagai pengembangan warga negara yang kompeten atau kemampuan sebagai
warga negara yang memerlukan pengetahuan, keterampilan, dan sikap untuk dapat
berperan serta dalam kehidupan demokrasi. Walaupun demikian, ditegaskan bahwa
pengembangan warga negara yang kompeten itu bukanlah hanya menjadi tanggung
jawab dari studi sosial. Yang dimaksudkan adalah, bahwa esensi tujuan tersebut lebih
diutamakan dalam studi sosial daripada dalam bidang lain.

• Kedua, program studi sosial dalam dunia pendidikan persekolahan, mulai dari
pendidikan taman kanak-kanak sampai dengan pendidikan menengah, ditandai oleh
keterpaduan pengetahuan, keterampilan, dan sikap di dalam dan antar disiplin (NCSS,
1994:3). Hal ini, memberi dasar bahwa pendidikan studi sosial memiliki dua alternatif,
yakni yang bersifat mono displiner dan multi disipliner. Pada kelas-kelas rendah,
ditekankan pula studi sosial yang mengintegrasikan beberapa disiplin yang bertolak dari
suatu tema tertentu, misalnya tema waktu dan perubahan yang memungkinkan guru
mengembangkan pengalaman belajar siswa yang melibatkan disiplin sejarah, sains, dan
bahasa. Pada kelas-kelas lanjutan dan menengah, program studi sosial dapat diteruskan
dengan pengintegrasian secara interdisipliner yang lebih luas; atau dengan
menempatkan suatu disiplin sebagai titik tolak, kemudian dikaitkan dengan atau
diperkaya dari materi disiplin lainnya, yang sering disebut lintas disipliner. Karena itu,
pendekatan mono disipliner yang dimungkinkan bukanlah dalam arti pembelajaran suatu
disiplin sosial secara soliter, misalnya hanya sejarah atau geografi saja. Hal itu dapat
dipahami karena fenomena dan masalah sosial dalam kenyataannya. tidak bisa
dipisahkan, misalnya antara pemanasan global, timbulnya el nino dan la nina, perubahan
musim (dimensi geografi), produktivitas pertanian, tingkat pendapatan petani, dan
tingkat kesejahteraan (dimensi ekonomi), serta perlindungan hukum (dimensi politik).

• Ketiga, program studi sosial dititik beratkan pada upaya membantu siswa dalam membangun
pengetahuan. Di sini, siswa diperankan bukan sebagai penerima pengetahuan yang pasif,
tetapi sebagai pembangun pengetahuan dan sikap yang aktif melalui cara pandang secara
akademik terhadap realita. Nampaknya, pandangan konstruktivisme yang
menitikberatkan pada prosesmengetahui akan menjadi salah satu pilar dari studi sosial
pada abad ke-21 tersebut, menggeser pandangan behaviorisme yang
mengasumsikan pengetahuan ada di luar diri manusia dan menempatkan siswa sebagai
penerima dari pengetahuan.
• Keempat, program pengetahuan dari studi sosial mencerminkan perubahan alami dari
pengetahuan, membantu pengembangan beragam pendekatan yang baru dan
terintegrasi untuk memecahkan isu-isu penting bagi manusia (NCSS, 1994). Dengan
begitu, hakikat pengetahuan yang semula dilihat secara terkotak-kotak, kini harus
dilihat secara terpadu yang menuntut pelibatan berbagai disiplin.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

IPS merupakan salah satu mata pelajaran yang diajarkan di sekolah dasar agar peserta didik dapat
memperoleh pengetahuan, keterampilan, sikap, dan kepekaan untuk menghadapi hidup dengan tantangan-
tantangannya. Bagi guru IPS, buku sumber bukan satu-satunya sumber pembelajaran yang dapat
digunakan, karena buku sumber pada umumnya memuat informasi yang sudah lama. Media dan alat
peraga dalam pengajaran merupakan sumber pembelajaran yang dapat membantu guru dalam
melaksanakan perannya sebagai fasilitator. Adanya sumber belajar dipadukan dengan model pembelajaran
yang tepat dapat digunakan untuk merancang dan melaksanakan pembelajaran IPS di SD dengat
tepat agar tercapai tujuan pembelajaran yang diharapkan.

B. Saran

Adapun saran yang disampaikan dalam makalah ini yaitu :

1. Kemampuan peserta didik dalam kualitas pembelajaran khususnya di tingkat SD sangat ditentukan
oleh kemampuan guru, oleh karena itu guru harus mampu mengembangkan kreativitas agar
pembelajaran semakin berkualitas.

2. Untuk meningkatkan kualitas pembelajaran, guru harus bisa menggunakan sumber belajar dan
media serta model pembelajaran yang sesuai dengan perkembangan zaman dengan memperhatikan
karakteristik dan minat peserta didik.
DAFTAR PUSTAKA

Budiningsih, C. (2005). BELAJAR DAN PEMBELAJARAN. Jakarta: PT Rineka Cipta.

Hernawan, A. H. (2008). PENGEMBANGAN KURIKULUM DAN PEMBELAJARAN . Jakarta: Universitas Terbuka.

Purwanto, M. N. (2006). ILMU PENDIDIKAN TEORETIS DAN PRAKTIS. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

Rukmana, A. (2006). PENGELOLAAN KELAS. Bandung: UPI PRESS.

Sapriya. (2006). KONSEP DASAR IPS. Bandung: UPI PRESS.

Sundawa, D. (2006). PEMBELAJARAN DAN EVALUASI HASIL BELAJAR IPS. Bandung: UPI PRESS.

Supriatna, N. (2007). PENDIDIKAN IPS DI SD. Bandung: UPI PRESS.

Wahyudin, H. D. (2007). PENGANTAR PENDIDIKAN. Jakarta: Universitas Terbuka.

Winataputra, U. S. (2008). MATERI DAN PEMBELAJARAN IPS DI SD. Jakarta: Universitas Terbuka.

Winataputra, U. S. (2008). TEORI BELAJAR DAN PEMBELAJARAN. Jakarta: Universitas Terbuka.

Anda mungkin juga menyukai