Anda di halaman 1dari 7

Nama : Dwi Nur Ikawati

Kelas : SPI 4A
Nim : 12307183003
No. Hp: 085235474632

Hal yang perlu dipelajari sejak dini ketika kita belajar filsafat sejarah adalah
Berbicara mengenai eksistensi dan urgensi filsafat sejrah dalam ilmu sejarah.
Eksistensi atau keberadaan filsafat sejarah untuk imu sejarah ini ingin menyelidiki
atau memeriksa sebab-sebab dari suatu peristiwayang ingin memberikan jawaban
atas sebab dan alasan segala sesuatu dari suatu peristiwa sejarah. Eksistensi atau
keberadaan filsafat sejarah ingin menggali lebih dalam kejadian atau eristiwa yang
telah terjadi sehingga nisa diketahui makna yang terkandung dalam kejadian atau
peristiwa tersebut. Apa urgensi sebenarnya dari Filsafat sejarah? Dalam hal ini saya
mengambil satu contoh dari beberapa fungsi Flsafat sejarah yaitu untuk melatih
kepekaan kritis seseorang peneliti sejarah. Dalam artian hal ini para penulis sejarah
lebih mampu mengadakan penilaian pribadi dan koreksi mengenai pengkajian
sejarah pada saat tertentu. Hal ini menurut saya akan lebih bermakna dan
memuaskan sehingga kajian tentang sejarah akan lebih tuntas, menarik, dan
bermakna bagi kehidupan manusia hari ini dan esok.
Dalam bab pertama ini yang membahas tentang sejarah dalam zaman
realitas fiksi, bab ini pun pernah dibahas di kelas daring saya, lalu saya
menyimpulkan sebagai berikut, kita bebicara tentang sejarah dan fiksi, disini kaum
intelektual Yunani menganggap bahwa fiksilah yang mengangkat sejarah dari
sekedar peristiwa bertuntutan menjadi sebuah cerita naratif yang lebih serat dengan
filosofi yang enak ketika dibaca. Lalu tanpa fiksi sejarah itu akan benar-benar
menjadi sebuah catatan minimal peristiwa lokal, sangatlah terbatas, dan tanpa
bentuk. Dan Aristoteles juga enggan mengizinkan jika sejarah itu dibuat menurut
suasana hati maupun terprogram dari puisi. Namun perbedaan sejarawan dan
penyair bukan dalam hal penulisan, tetapi sejarah menggambarkan suatu hal yang
telah terjadi. Sehingga sejarah adalah suatu hal yang bersifat tunggal, sedangkan
puisi itu dianggap lebih filosofis dan bersifat universal.
Mari kita jelaskan mengenai sejarah fiksi atau non fiksi, dimana cara itu untuk
menentukan sejarah itu fiksi atau non fiksi yaitu dengan mencari berbagai aspek
kebenaran dan mendapatkan dukungan oleh sumber-sumber atau bukti-bukti yang
ada. Masalah utama dari hal ini adalah suatu kebenaran yang mana manusia sejak
dahulu selalu terobsesi dengan kebenaran, terutama bagaimana mana mereka
membuktikan kebenaran itu sendiri. Lalu memperdebatkan sejarah fiksi atau non
fiksi ini sangatlah penting karena seringkali terjadi kekaburan antara fakta dan fiksi
dalam membahas sejarah. Lalu bagi filsafat analitis ini sangatlah menolak metafisik,
bagi mereka metafisik itu tidak bisa dipertanggung jawabkan secara ilmiah dan tidak
memiliki logika seperti konsep idealisme. Yang diperlukan dalam sejarah ini adalah
sebuah fakta yang memiliki tantangan dalam menggali sejarah adalah suatu
peristiwa sesuai dengan kebenaran yang ada. Sejarah atau sastrawan itu pasti
memiliki berbagai ide-ide atau pola dalam menuliskan cerita. Jadi sastrawan itu
menuliskan cerita dalam berbagai bentuk novel tetapi menurut sejarawan yang
ditulis oleh sastrawan itu sangatlah berlebihan. Dalam hal ini ada yang
mempermasalahkan tentang fiksi atau non fiksi, namun pada abad ke 18 ada
sebuah buku fiksi dan cerita didalamnya itu hanyalah karangan dari penulis bahkan
cerita-cerita didalamnya itu bertentangan dengan hukum yang ada, namum pada
waktu itu sebagian pembaca belum menyadari bahwa buku itu hanya fiksi, lambat
laun fiksi itu membuat sejarah mudah diterima oleh pembaca dalam memahami
penulis. Jadi fiksi itu bukan tersingkir dari genre sejarah tapi menjadi pelengkap bagi
sejarah.
Apa yang saya bahas ini terkait dalam persoalan tentang kebenaran yang
khusus dimana didalamnya itu ada epistomologi dengan berbagai macam hal seperti
rasionalisme dan empirisme, namun itu semua lebih mengarah kepada empirisme
yang harus dibuktikan. Didalam hal ini sejarah juga ada terutama ketika sejarah itu
memasuki sekolah-sekolah dan harus dikaji secara ilmiah, kajian ini bahkan
dianggap sebagai hukum umum, sehingga pengkaji sejarah itu tidak bisa terpaku
pada hukum umum. Sejarah dahulu atau tradisional ini juga dikembangkan tanpa
ada aturan khusus sehingga tidak dibedakan mana yang fiksi dan non fiksi. Apabila
sejarah tidak dijelaskan dengan menggunakan hukum maka kita akan kehilangan
banyak hal lalu kata-kata pun menjadi sangat terbatas. Bahasa ini berkembang lebih
ke arah empiris yang harus dimengerti ketika ditemukan faktanya. Namun jika
menggunakan empiris itu akan membatasi sebuah penggambaran sejarah, lalu
sejarah pun menjadi sangat kaku dan imajinasi itu terlepas. Fiksi itu dibutuhkan
dalam sejarah namun bukan sebagai hal yang utama namun sebagai pelengkap
saja. Dalam hal apapun manusia itu tidak bisa melepaskan fiksi dalam dirinya sendiri
dan selalu integratif dalam kondisi apapun.
Di dalam bab yang kedua ini membahas tentang mengubah linguistik sejarah
dan teori, muncul berbagai macam pertanyaan dari filsafat sejarah atau sejarah
filsafat nah ini merupakan narasi klasik dari pergulatan panjang seputar ranah
keilmuan peradaban manusia. Yang pertama mari kita membahas sedikit tentang
sejarah dan teori berbagai banyak perdebatan yang masih berkecambuk di sekitar
penerapan postif atau konversi ke penjelasan historis. Ada beberapa sejarawan dan
kritikus sastra itu menjunjung tinggi hakikat sastra dalam sejarah, akan tetapi ini
tidak jauh dari mendorong para sejarawan untuk menulis dengan baik.
Disini yang kita bicarakan adalah bahwa penulisan sejarah itu utamanya
filsafat sejarah, bukan suatu yang tiba-tiba lahir atau ada. Namun semua itu berawal
dari kecenderungan budaya lama dengan titik tekan analitis filsafat sejarah yang
bercorak historiosme estetik yang artinya itu akan terlepas dari sejarah yang
informasinya menjadi bias. Namun penulisan tersebut menjadikan sejarawan
menulis ulang bukan malah memberi komentar, juga harus menegaskan subjektif
dan imajinatif narasi dan sebaiknya itu memberikan secara komprehensif dan
berdasarkan dengan kronologis yang jelas.
Pada pemaikaian kosa kata dalam penulisan sejarah pemikiran untuk
memberikan kritis yang disebut dengan Analisis Wacana Sejarah dan retorika mulai
dimasukkan. Dalam penyematan data itu pendukung penulisan seperti catatan kaki,
atau kutipan langsung yang relevan untuk membantu si pembaca dalam memahami
maksut dari penulis tersebut. Ada aturan dampak yang maksimal itu bahkan bisa
menjadi masalah ter hadap sejarawan yang terjebak dalam taraf pemberian
informasi terkait dengan sumber bacaan atas objektifitas fakta.
Lalu dalam penulisan sejarah itu sudah lama terjadi dan mulai berkembang
tapi sayangnya sejarawan memiliki sebuah masalah dimana pemberian informasi itu
kurang dapat dipercayai fakta dan kejelasannya. Lalu penulisan sejarah itu ditulis
dengan fakta secara subtansial dan tidak berputar. Namun pada bahasa penulis itu
juga sangatlah perlu untuk diketengahkan dan tidak kembali ke tradisi yang lama.
Gambaran ini diperluaskan atas fakta yang bahkan akan dijadikan sebagai acuan
dalam melakukan spekulatif sejarah.
Jadi penulisan sejarah dahulu itu tidak seperti yang saat ini. Historiografi
sejarah pada saat ini mengalami banyak pergeseran dan perkembangan. Namun
sejarah pada awalnya itu ditulis secara bebas dan kemudian penulisan ini
mengalami beberapa kritikan bahwa sejarah itu harus copas atau hanya menulis
ulang peristiwa tanpa ada komentar. Sejarah pun dituliskan dengan menyertai
analisis terhadap peristiwa tanpa disertai dengan referensi yang jelas. Lalu
penulisan itu dengan cara referensial dan menjadikan sejarah itu terjebak pada
aturan penulisannya. Namun ada keterlibatan sastra dalam sejarah dan ikut
mempengaruhi historiografi. Penggunaan sastra dalam penulisan sejarah itu hanya
melemahkan pada umumnya sebelum dijaga dengan ketat. Namun tidak hanya itu
saja sastra justru mengembalikan aspek budaya ke dalam historiografi.
Dalam bab ke tiga ini kita akan berbicara tentang kemunduran dan kejatuhan
filsafat analitik sejarah, disini filsafat sejarah analitis adalah suatu penolakan
terhadap metafisika. Namun bagi mereka filsafat ini tidak dapat dipertanggung
jawabkan secara ilmiahnya. Pada konsep filsafat ini hampir sebagian menyerupai
filsafat sains. Ini muncul di Jerman, Inggris, dan Polandia dengan berbagai macam
tokoh seperti Ludwig Wittgenstein dan Bertrabd Russel. Yang telah dilatar belakangi
reaksi keras atas filsafat Hegel dengan mengusung Idealisme. Gerakan ini
memfokuskan pada upaya menganalisis pernyataan dalam konteks kebahasaan
yang bersandar pada tehnik linguistik dan analisis logis. Filsafat sejarah analitis ini
dipengaruhi oleh rasionalisme Perancis, empirisme Inggris, dan kritisisme Kant.
Pada saat idealisme berada dipuncak oleh kaum Hegelian, George Edward Moore
pada tauun 1873-1958 dari Cambridge University, Inggris dengan terang-terangan
menyatakan anti Hegelian. Filsafat Hegel ini dianggap tidak memiliki dasar logika
sehingga tidak dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah. Penggunaan bahasa
dalam kalimat ini menjadi penentu dalam filsafat. Pada tahun 1942 filsafat sejarah
analitis mulai diangkat kepublik dengan dikenalnya makalah klasik CG Hempel yang
berjudul “The Function of General Laws in History". Kontroversi panas ini mengenai
tesis sentral Hempel pada pertengahan tahun 1950-an membawa sejarah pada
pengetahuan ilmiah. Ini masih diperdebatkan antara penggunaan filsafat bahasa
biasa dengan filsafat bahasa analitis. Sampai pada akhirnya William Craig
mengatakan bahwa apapun bahasa formal yang menggunakan non-empiris dapat
dikatakan kosakata yang sepele dan dapat digantikan dengan kosakata yang
disukai. Bahasa itu sebagai lambang wujud manusia didunia, karena memang
semua manusia ini dapat berkomunikasi dan proses adaptasi dengan lingkungan.
Ada beberapa faktor penentu filsafat sejarah analitis yakni, bahasa, sudut
pandang, empirisme, terbuka, rasional atau logika, dan beberapa pendekatan. Ada
juga faktor kemunduran filsafat adalah fikiran yang terbatas, sudut pandang setiap
individu serta tidak dapat memposisikan diri sebagai objek. Dipertengahan tahun
1950-an teori gambar dan logika bahasa ini juga digunakan sebagai dasar prinsip
dalam ilmu pengetahuan bahkan sampai saat ini masih besar pengaruhnya. Didalam
hubungan metafisik, positivme logis bersikap lebih radikal. Dalam sejarah analitis
penggunaan bahasa menjadi aspek yang sangat fundamental dimana dengan
bahasa dapat menuangkan pemahaman yang sangat konkrit terhadap teks sehingga
pemilihan fiksi kata itu sangat diperhatikan dalam penggunaan bahasa sejarah
analitis. Namun bahasa yang cenderung tidak ilmiah itu akan ditinggalkan. Masalah
yang dihadapi oleh bahasa itu adalah kebahasaan sering kali rentan terhadap
kesalahan makna. Apabila hal ini terjadi pada penulisan sejarah akan menimbulkan
perbedaan narasi sejarah. Jadi penggunaan gaya bahasa dan rekotika bisa
mengaburkan sejarah. Memang tidak salah apabila dalam penyampaian sejarah
harus menggunakan pendekatan seni, namun terkadang penggunaan rekotika yang
berlebihan itu bisa mengorbankan kebenaran sejarah.
SUBJEKTIVITAS SEJARAH
Di dalam bab ke empat ini kita akan membahas tentang subjektivitas sejarah.
Subjektivitas sejarah ini adalah kisah sejarah yang melibatkan sedikit atau banyak
unsur subjektifnya dari diri manusia maupun orang yang mempelajari sejarah.
Sebelum abad ke-19 narasi sejarah itu dinilai terlalu kaku sehingga perlu
dimasukkan unsur emosional pada diri sejarawan agar sejarah mampu lebih hidup
dan lebih merespon pembaca. Tigas tokoh Madame de Stael, Michelet, dan
Tocqueville mencoba menghidupkan kembali unsur emosional dalam diri sejarawan
tersebut. Mereka memiliki berbagai macam narasi seperti fiksi, naratif, dan
kronologis. Dimulai dari narasi inilah memasukkan unsur emosional dalam
historiografinya.
Ada beberapa hal yang menjadikan sejarah itu bersifat subjektif, namun
sejarah subjektif itu memiliki beberapa kekurangan diantaranya adalah subjek
sejarah itu bukan merupakan objek, berbeda latar zaman, dan masih banyak lagi.
Dengan subyektivitas sejarah dalam sejarah narasi itu dapat lebih hidup dan serta
dapat merespon pembacanya. Ada cara untuk meminimalisir subjekivitas sejarah
yaitu dengan memperbanyak sumber-sumber primer. Sejalan dengan itu,
subjektivitas dalam penulisan sejarah selalu hadir karena sejarawan tidak akan
mengungkapkan peristiwa sejarah yang begitu kompleks. Namun hanya bagian kecil
dari peristiwa yang dilakukan oleh manusia agar dapat teridentifikasi oleh penulisan
sejarah karena merupakan hasil rekonstruksi dan bukan aslinya maka sejarah
dikatakan subjektif.
Pandangan kita terhadap subyektivitas sejarah itu sekarang masih menjadi
kintroversi, disisi lain ada yang menganggap bahwa dengan dimasukan unsur
emosional dalam narasi sejarah akan menjadi lebih hidup. Namun ada juga yang
menganggap subjektivitas sejarah itu justru malah dapat merusak keontentikan
sejarah itu sendiri karena dinilai akan rentan dimasuki unsur pribadi didalamnya.
Dalam bab ini membahas tentang sekolah analisis yang memperkenalkan
konsep baru sejarah yang bertemakan sejarah sosial yang bertujuan untuk
menggantikan model konvensional yang fokus kepada peristiwa politik dan militer
saja. Analis ini menawarkan tiga point yang paling utama, yaitu sejarah analitik yang
berorientasi untuk menggantikan narasi peristiwa tradisional, sejarah seluruh
rangkaian aktivitas manusia untuk menggantikan model sejarah politik, untuk
mencapai dua tujuan itu, analisis harus menganjurkan kolaborasi dengan disiplin
seperti geografi, sosiologi,dan psikologi. Sehingga sekolah analisis ini
mengembangkan jenis sejarah baru yang didukung oleh ilmu sosial. Hasilnya adalah
sejarah total, sejarah yang berorientasi pada masalah, sejarah komperatif, sejarah
psikologi, geo-sejarah, antropologi sejarah, dan masih banyak lagi.
Seorang sejarawan itu tidak bisa menyebutkan dirinya dalam penulisan
sejarah kecuali dalan hal kesaksian, karena hal itu akan berpengaruh paea efek
realitas yang kuat dari sebuah historiografi. Sejarawan juga dilarang untuk
menuliskan oranh pertama tunggal apalagi sejarawab tersebut adalah pelajar yang
kepribadiannya tidak sepenuhnya terbentuk. Tapi kita diizinkan untuk menuliskan
bentuk orang pertama jamak karena dinilai lebih elegan dan sopan.
Ilmu sejarah itu tidak bisa berdiri sendiri ia juga membutuhkan dorongan dari
berbagai ilmu sosial untuk menyajikan peristiwa secara kompleks. Kita itu lebih
penting dari pada aku bahwa sosok aku itu akan menimbulkan pertanyaan
problematis, apalagi untuk sejarawan yang dalam fase belajar pasti memiliki
berbagai kekurangan dalam dirinya sehingga karakter dan kepribadiannya itu belum
terbentuk sempurna. Lalu bentuk orang pertama jamak akan dianggap lebih elegan
dari pada orang pertama tunggal.
Dalam bab ke enam ini kita membahas tentang relevansi, revisi, dan
ketakutan terhadap buku panjang. Urutan adalah hal yang paling penting dalam
sebuah tulisan. Sejarawan itu memiliki banyak masalah dari pada penulis lain di
Indonesia. Oleh larena itu ia diliputi banyaknya bahan dan jika tidak berhasil
membangun perjalanan sejarah dengan benar. Dari faktor yang berkontribusi pada
keberhasilan karya sejarah, yang paling penting adalah pilihan sejarawan tentang
disposisi yang dimunculkan ke kesatuan yang utuh dengan hal yang menarik
menjadi pusat perhatian.
Untuk menyusun kalimat informasi yang koheren dengan peristiwa sejarah itu
bisa disebut dengan ide yang mengatur produksi wacana sejarah. Lalu untuk
mewujudkan gagasan ini sejaeawan pertama-tama harus nememukan prinsip
penghubung agar nantinya tulusan itu mudah dipahami. Dalam melakukan hal ini
sejarawan juga bisa saja menemukan hambatan seperti masalah dalam mengurangi
jumlah informasi yang tersedia dan dalam mengaturnya. Begitupun sebaliknya,
masalah dalam menambahkan informasi itu terbatas oleh referensinya. Para
sejarawan perlu untuk memilah antara sumber primer dan sekunder.
Dalam penulisan sejarah tidak terfokuskan topik yang dibahas, maka perlu
dikritisi dan dilakukan reorganisasi materi. Gagasan tentang eksperimen dan ketidak
sempurnaan dalam penulisan sejarah bertentangan dengan kecenderungan umum
untuk mempertimbangkan penulisan sejarah dalam suatu karya. Dengan
memperkenalkan kemungkinan ketidak jelasan dan kompromi ke dalam
pertimbangan teoritis penulisan sejarah, ini menjadi menarik untuk
mempertimbangkan kembali bagaimana penulisan sejarah itu berkembang,
bagaimana sejarawan saling menstimulasi untuk menindaklanjuti topik tertentu,
bagaimana mungkin dipengaruhi dalam pilihan subjek oleh fiksi novelistik, dan
bagaimana mereka belajar dari kesalahan masing-masing. Karya-karya yang
dipertimbangkan di sini menyarankan bahwa proses ini melibatkan daur ulang dan
adaptasi diskursif, tetapi juga perubahan konsepsi apa yang tepat dan subjek yang
dapat dikelola untuk wacana historis.
Bab ini juga menjelaskan tentang kejebuhan terdahap bacaan sejarah, selain
pembaca yang merasa jenuh terhadap tulisan sejarah yang terlalu panjang, penulis
juga akan terlalu lama dalam menyelesaikan tulisannya. Keadaan ini disebabkan
dengan tidak adanya heirarki dan batasan di mana penulisan sejarah itu dimulai dan
diakhiri. Mungkin dalam hal ini akan terjadu pengaruh pada kelengakapan suatu
tulisan sejarah dan orang itu menilai buku sejarah yang sedikit atau tipis itu tidak
dinilai komplit isinya, namun itu semua tergantung pada data yang didapat dari
penulis buku kalau data yang didapat sedikit maka buku yang ditulis juga sedilit kita
harus paham mengrnai metodologi sejarah yang mana historiografi adalah tahap
terakhir dalam penulisan sejarah. Sehingga penulisan sejarah tergantung tebal
tipisnya data yang didapat, kalau datanya sedikit dan sejarag ditulis tebal bulu
tersebut bisa terlalu subjektif dan minim fakta jadi menulis sejarah itu juga harus
memperhatikan data yang didapat.
Dalam bab ke tujuh ini kita akan membahas tentang keuntungan
profesionalitas dalam presumen penulisan sejarah, pemahaman saya mengenai
adanya peralihan dari sejarah kuno ini masih sangat erat kaitannya dengan sastra
dan bersifat makro untuk diganti kepada sejarah baru dengan menggunakan fokus
disiplin ilmu sosial yang bersifat mikro. Dari yang bersifat naratif kepada sejarah
yang bersifat deskriptif. Seperti contoh begini, jika dilu data atau sumber yang ada
itu disajikan kembali dalam bentuk naratif sehingga banyak terjadunya kekaburan
pada suatu peristiwa tersebut. Hal ini tidak dengan sejarah dari yang mencoba untuk
menyajikan dengan disiplin ilmu sosial, seperti menyajikan hanya dalam lingkup
mikro saja.
Begitupun ada tujuannya yaitu untuk menawarkan laporan tentang basis
intelektual atau departenenisasi historiografi. Disini ada juga penjelasan tentang apa
yang menjadi tulisan sejarah dimasa lalu rasanya kurang tepat, karena pada
penulisan sejarah itu harus ditulis secara berurutan memulai dari sebab akibatnya.
Sejarah juga harus dikaji secara berurutan agar dapat dipertanggungjawabkan
keotentikannya.
Selanjutnya dalam bab ke delapan ini membahas tentang sudut pandang
dalam praktek sejarah, dimulai dari sejarawan ini selalu menghadapi suara dan
sudut pandang. Dari masalah suara dan sudut pandang ini muncul dalam
perdebatan tentang siapa yang dapat memahami dalam hal gender, ras, etnis, dan
lain sebagainya. Hal ini suara dapat diartikan sebagai ucapan atau jawaban tentang
siapa yang dibicarakan dalam teks tersebut. Sedangkan sudut pandang itu
prespektif dalam memahami analisis sejarah.
Dalam sudut pandang sejarah ini memiliki dua pandangan, yaitu pandangan
penulis merupakan sebuah pandangan yang keseluruhan dapat dilihat dengan jelas,
dan sedangkan pandangan karakter bisa dikaitkan dengan melihat hal-hal dari
prespektif kongemporer. Mari kita berbicara tentang pengaruh sudut pandang dalam
sejarah, sudut pandang sejarah ini sangat penting karena didalam sudut pandang ini
nosa berupa waktu dan ruang. Dalam pemahaman tentang ruang dan waktu itu
diperlukan untuk mengembangkan kemampuan berpikir secata kronologis. Namun
juga semua itu tergantung para pelaku sejarah dalam menarasikan sumber sejarah,
karena pelaku juga dapat diberikan suaranya sendiri dalam wacana sejarah.
Dalam bab ke sembilan ini menjelaskan tentang sejarah sebagai kompetensi
dan pertunjukan. Sejarah sebagai kompetensi dimana abad pertengahan
kompetensi sejarah dapat dibandingkan dengan perolehan bahasa baru. Sejarah
pertunjukan dimana hal ini ditunjukan adanya Muse de Cluny yang membantu kita
memahami masa lalu dan benda-benda lokal. Pada abad ke 20 terjadi sebuah
eksplorasi secara mendalam yang memunculkan berbagai bentuk kesadaran historis
yang masuk ke budaya kita, tentunya hal itu harus didapatkan dengan belajar untuk
menyusun tata bahasa secara komprehensif dengan mengacu pada literatur historis.
Hal ini bertujuan untuk mengidentifikasi dan menilai kejadian di masa lalu sebagai
representasi dalam konteks kejadian sehari.
Terdapat satu fakta bahwa pada tahun 1824 baik sejarawan Jerman Leopold
Von Ranke dan sejarawan Prancis Augustin Theiry yang memerintahkan strandar
kritis baru dalam beasiswa sejarah dengan sendirinya, kita juga tidak bisa membantu
untuk memahami pada tahap pemahaman batu tentang masa lalu yang sedang
berproses untuk mengalami kemajuan. Didalan bab ini bukan berarti kebanyakan
orang yang ketika di museum itu hanya melihat dari sudut pandang saja, namun
tidaklah demikian bila terpaku pada satu sudut pandang itu mustahil, karena setiap
orang dalam melihat objek pameran atau manuskrip atau benda bersejarah
dimuseum pastinya juga akan melihat dari berbagai sudut pandang.

Anda mungkin juga menyukai