Anda di halaman 1dari 9

historiografi

Minggu, 25 November 2012

historiografi sejarah
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Historiografi mulai ada dan dikenal oleh manusia pada dasarnya sejak manusia mengenal

tulisan atau ketika manusia memasuki zaman sejarah. Ketika manusia mengenal tulisan, pada dasarnya

mereka sudah tumbuh kesadaran untuk menulis tentang jati dirinya sebagai manusia dalam keluarga dan

hidup berbangsa bernegara.

Fakta-fakta sejarah adalah bagaikan kepingan-kepingan suatu botol yang pecah. Pecahan-pecahan itu

berserakan dimana-mana. Oleh sejarawan kepingan-kepingan (fakta) itu dikumpulkan satu persatu lantas

kemudian disusun kembali menjadi bentuk aslinya. Dalam penyusunan kepingan (fakta) tersebut, sejarawan

tuangkan dalam bentuk tulisan atau cerita yang sering disebut dengan historiografi (penulisan sejarah).

Pada tahap penulisan, peneliti menyajikan laporan hasil penelitian dari awal hingga akhir, yang meliputi

masalah-masalah yang harus dijawab. Tujuan penelitian adalah menjawab masalah-masalah yang telah

diajukan. Penyajian historiografi meliputi (1) pengantar, (2) hasil penelitian, (3) simpulan. Penulisan sejarah

sebagai laporan seringkali disebut karya historiografi yang harus memperhatikan aspek kronologis, periodisasi,

serialisasi, dan kausalitas.

B. Rumusan Masalah

Dari latar belakang diatas, maka rumusan masalahnya antara lain:

1. Pengertian dari historiografi?

2. Jenis-jenis historiografi?

3. Bagaimanakah fungsi, tujuan, prinsip serta kelemahan dari historiografi?

C. Tujuan

Adapun tujuan dari penulisan makalah ini untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan historiografi, jenis-

jenisnya, fungsi, tujuan, prinsip beserta kelemahan historiografi. Agar lebih memahami mengenai historiografi.
D. Manfaat

Sebagai pengembangan ilmu pengetahuan tentang historiografi serta digunakan sebagai acuan dalam

penulisan sejarah.

BAB II

ISI

A. Pengertian Historiografi

Historigrafi terbentuk dari dua akar kata yaitu history dan grafi. Histori artinya sejarah dan grafi artinya

tulisan. Jadi historiografi artinya adalah tulisan sejarah, baik itu yang bersifat ilmiah (problem oriented) maupun

yang tidak bersifat ilmiah (no problem oriented).Problem oriented artinya karya sejarah ditulis bersifat ilmiah

dan berorientasi kepada pemecahan masalah (problem solving), yang tentu saja penulisannya menggunakan

seperangkat metode penelitian. Sedangkan yang dimaksud dengan no problem orientedadalah karya tulis

sejarah yang ditulis tidak berorientasi kepada pemecahan masalah dan ditulis secara naratif, juga tidak

menggunakan metode penelitian.

Historiografi merupakan tahap terakhir dalam penyusunan sejarah. Disini diperlukan kemahiran

mengarang oleh seorang sejarawan. Ada cara-cara tertentu yang perlu sekali diperhatikan oleh sejarawan

dalam menyusun ceritera. Dengan kata lain, penulisan atau penyusunan ceritera sejarah memerlukan

kemampuan-kemampuan tertentu untuk menjaga standart mutu dari ceritera tersebut. Seperti misalnya prinsip

serialisasi(cara-cara membuat urutan-urutan peristiwa), yang mana memerlukan prinsip-prinsip seperti

kronologi (urutan-urutan wakutnya), prinsip kausasi (hubungan dengan sebab akibat) dan bahkan juga

kemampuan imajinasi: kemampuan untuk menghubungkan peristiwa-peristiwa yang terpisah-pisah menjadi

suatu rangkaian yang masuk akal dengan bantuan pemgalaman, jadi membuat semacam analogi antara

peristiwa diwaktu yang lampau dengan yang telah kita saksikan dengan mata kepala sendiri diwaktu sekarang,

terutama bagi peristiwa-peristiwa yang sulit dicarikan dasar kronologi dan kausasih dalam perhubungannya

(G.J. renier,dalam karya IG widya. Ibid: 24-25).

B. Kelemahan Dari Historiografi


Adapun dalam penyusunan historiografi mengalami hambatan-hambatan yang disebabkan oleh

kelemahan dalam penulisan sejarah (historiografi) yaitu:

1) Sikap pemihakan sejarawan kepada mazhab-mazhab tertentu.

2) Sejarawan terlalu percaya kepada penukil berita sejarah.

3) Sejarawan gagal menangkap maksud-maksud apa yang dilihat dan didengar serta menurunkan laporan atas

dasar persangkaan keliru.

4) Sejarawan memberikan asumsi yang tak beralasan terhadap sumber berita.

5) Ketidaktahuan sejarawan dalam mencocokkan keadaan dengan kejadian yang sebenarnya.

6) Kecenderungan sejarawan untuk mendekatkan diri kepada penguasa atau orang berpengaruh.

7) Sejarawan tidak mngetahui watak berbagai kondisi yang muncul dalam peradaban.

C. Kesubyektifitas Historiografi

Walaupun historiografi adalah langkah terakhir dalam sebuah penelitian yang menggunakan metode

sejarah, namun menurut Soedjatmoko dalam bukunya An Introduction to Indonesia Historiography (1968)

seperti yang dikutip dalam Poespoprodjo (1987:1), historiografi adalah langkah terberat karena dalam langkah

terakhir ini lah pembuktian metode sejarah sebagai suatu bentuk disiplin ilmiah. Adapun menurut Arthur

Marwick dalam The Nature of History (1971) dalam Poespoprodjo (1987:1), hingga historiografi, langkah-

langkah metodologis yang dikerjakan oleh sejarawan pada umumnya diterima sebagai langkah yang memiliki

validitas objektivitas ilmu. Tapi, langkah selanjutnya disebut art atau seni sehingga sejarah sesungguhnya tidak

mungkin objektif. Padahal sejarah sebagai sebuah ilmu dituntut memiliki objektivitas.

Mengapa sejarah tak mungkin objektif? Karena sejarah sudah memakai interpretasi dan seleksi.

Interpretasi dapat berarti sejarah menurut pendapat seseorang dan seleksi dilakukan dalam memilih fakta-fakta

sejarah yang akan dikaji dalam sebuah penelitian dengan metode sejarah. Interpretasi dan seleksi mau tak

mau harus melibatkan pendirian pribadi peneliti. Fakta sejarah yang dibutuhkan dalam historiografi harus

diolah terlebih dahulu oleh peneliti sejarah dari data-data sejarah. Dalam hal ini E.H. Carr dalam bukunyaWhat

is History (1970), mengungkapkan fakta sejarah tidak mungkin dapat objektif karena kumpulan data sejarah

hanya dapat disebut sebagai fakta sejarah apabila diberi arti oleh peneliti. Maka, dalam sebuah penelitian yang

memakai metode sejarah, subjektivitas tidak dapat dielakkan.

Poespoprodjo (1987) mengungkapkan subjektivitas dalam sebuah penulisan sejarah adalah ‘halal’

karena tanpa subjektivitas maka tidak akan pernah ada objektivitas. Lebih lanjut, Poespoprodjo menyatakan

yang tidak diperbolehkan mempengaruhi sebuah penulisan sejarah adalah adanya unsur subjektivisme. Ia

mengingatkan perlunya memisahkan arti dari subjektivitas yang akan mengarah pada objektivitas dengan
subjektivisme. Menurutnya, dalam subjektivisme, objek tidak dinilai sebagaimana harusnya, namun dipandang

sebagai ‘kreasi’, ‘konstruksi’ akal budi. Berpikir disamakan dengan menciptakan, bukan membantu kebenaran

keluar dari ketersembunyiannya (Pospoprodjo, 1987:23). Agar lebih mudah dimengerti, subjektivisme adalah

kesewenangan subjek dalam mengadakan seleksi, interpretasi, dalam menyusun periodisasi, namun

kesewenangan tersebut tidak bertumpu pada dasar yang dapat dipertanggungjawabkan, sedangkan

subjektivitas sangat erat hubungannya dengan kejujuran hati dan kejujuran intelektual. Hal inilah yang akan

membuat seorang peneliti sejarah membuat simpulan-simpulan dan hipotesis berdasarkan argumentasi yang

kuat. Salah satu contoh subjektivitas yaitu ketika peneliti sejarah melakukan kritik ekstern dan intern terhadap

sumber atau pengarang/pembuat dokumen. Dalam kegiatan heuristik dan kritik, serta melakukan perbandingan

dengan sumber lainnya, seorang peneliti sejarah akan memakai teori-teori. Hal ini lah yang dimaksud dengan

subjektivitas.

Poespoprodjo (1987:39) mengungkapkan ada tiga hal yang dapat mempengaruhi subjektivitas peneliti

sejarah yang akan membantu menuju objektivitas yakni :

1. Peranan Human Richness

Keberhasilan sebuah karya sejarah sangat bergantung pada seluruh disposisi intelektual sejarawan

atau peneliti sejarah tersebut. Oleh karena itu merupakan sebuah syarat bahwa seorang peneliti sejarah atau

sejarawan mempunyai suatu filsafat manusia yang sehat, terbuka terhadap nilai kemanusiaan, dan terbuka

terhadap segala koreksi (Poespoprodjo, 1987:40).

Seorang sejarawan atau peneliti sejarah dalam penelitiannya tidak hanya bertemu dengan beribu

fakta, a matter of indicative, tetapi juga beribu nilai, imperatif. Untuk dapat menangkapnya dengan tepat,

seorang peneliti sejarah harus mampu mendalami permasalahan, masalah nilai, sehingga dapat diperoleh

skala yang tepat mengenai nilai-nilai moral, budaya, politik, religius, teknik, artistik, dan sebagainya

(Pospoprodjo, 1987:41).

Jika seorang peneliti sejarah tidak peka terhadap beragam hal yang berasal dari beragam bidang dan

sektor kehidupan, maka bukan tidak mungkin ia tidak akan bisa menangkap peristiwa sejarah tersebut

sebagaimana mestinya, maka objektivitas pun akan sulit dicapai. Maka, benarlah apa yang dikatakan oleh

Jaques Maritain bahwa semuanya berpulang pada kekayaan intelektual yang dimiliki oleh indicidu peneliti

sejarah atau sejarawan.

2. Titik Berdiri

Cara seseorang untuk memandang sebuah objek akan berbeda satu sama lain akibat titik berdiri yang

berbeda. Masing-masing akan melihat dan memberikan persepsi terhadap objek sesuai dengan apa yang ia

lihat dari titik di mana ia berdiri. Dalam hal ini, masing-masing persepsi tentunya akan berbeda dan tidak akan

ada yang salah dan yang benar. Dengan mengidentifikasi titik di mana kita beridri, kita juga akan bisa
mengidentifikasi sikap dalam keadaan titik berdiri tertentu itu. Adalah diri kita sendiri yang tahu tentang

argumentasi kita mengapa akhirnya kita bersikap seperti itu dalam titik bediri tertentu.

Hubungan ilustrasi di atas dengan kegiatan penelitian sejarah bahwa kegiata interpretasi bukan

kegiatan yang dilakukan atas kesewenangan subjek. Ketajaman dan kecermatan subjek dalam melakukan

interpretasi harus terpenuhi agar dapat mencapai objektivitas. Menurut Gordon Leff dalam History and Social

Theory (1969:126) yang dikutip dalam Poespoprodjo (1987:48), interpretasi yang dapat diterima dan

memenuhi obejktivitas harus memenuhi tiga syarat.

3. Mengenal Sumber Distorsi

Seorang peneliti sejarah atau sejarawan seharusnya mengenali sumber-sumber distorsi yang dapat

mengganggu subjektivitas dirinya. Sumber distorsi yang berasal dari dalam diri sendiri dapat diketahui dengan

mempertanyakan kedalaman subjektivitas diri.

Dengan mengenal diri sendiri, maka niscaya tersadarilah bahwasanya subjektivitas merupakan

simpang jalan dunia subjek dan dunia objek. Ini merupakan kesadaran utama. Jika kita tatap lebih lanjut, maka

kita kana memasuki kedalaman subjektivitas, yakni kedalaman kemerdekaan (untuk mengakui atau menolak,

apakah saya merdeka betul tidak diikat oleh sesuatu sehingga bisa mengatakan sesuatu sebagaimana

mestinya dan sebagainya), kedalaman kritik diri (apakah saya tidak membohong, memutarbalikkan kenyataan

yang ada, apakah tahu betul apa yang dihadapi, apakah reserve tidak perlu dibuat dan sebagainya),

penyesuaian pada tuntutan-tuntutan objek (objek tertentu hhanya dapat dijumpai dengan semestinya bila

menggunakan metode tertentu, objek yang eenmalig contingent, lain dengan objek yang dapat direproduksi

sewaktu-waktu, dan sebagainya) (Poespoprodjo, 1987:56).

D. Jenis-jenis Historiografi

1. Historiografi Tradisional

Historiografi tradisional adalah karya tulis sejarah yang dibuat oleh para pujangga dari suatu kerajaan,

baik itu kerajaan yang bernafaskan Hindu/Budha maupun kerajaan/kesultanan yang bernafaskan Islam tempo

dulu yang pernah berdiri di Nusantara Indonesia. Seperti kita ketahui di Nusantara Indonesia, bahwa sejak

awal bangsa Indonesia memasuki zaman sejarah, diiringi pula dengan berdirinya kerajaan-kerajaan terutama

yang dominan dipengaruhi oleh budaya Hindu dan Budha.

 Ciri-Ciri Historiografi Tradisional

1. Regio sentris, artinya segala sesuatu dipusatkan pada raja atau keluargaraja (keluarga istana).
2. Bersifat feodalistis-aristokratis, artinya yang dibicarakan hanyalah kehidupan kaum bangsawan feodal, tidak

ada sifat kerakyatannya dan tidak memuat riwayat kehidupan rakyat, tidak membicarakan segi-segisosial dan

ekonomi dari kehidupan rakyat.

3. Regio magis, artinya dihubungkan dengan kepercayaan dan hal-hal yang gaib.

4. Tidak begitu membedakan hal-hal yang khayal dan hal-hal yang nyata.

5. Bersifat regio-sentris/etnosentrisme (kedaerahan), maka historiografi tradisional banyak dipengaruhi daerah,

misalnya oleh cerita-cerita gaib atau cerita-cerita dewa di daerah tersebut.

6. Raja atau pemimpin dianggap mempunyai kekuatan gaib dan kharisma.

7. Sebagai ekspedisi budaya maksudnya sebagaisarana legitimasi tentang jati dirinya dan asal-usulnya yang

dapat menerangkan keberadaannya dan memperkokoh nilai-nilai budaya yang dianut.

8. Oral tradition Historiografi jenis ini di sampaikan secara lisan, maka tidak dijamin keutuhan redaksionalnya.

9. Anakronistik Dalam menempatkan waktu sering terjadi kesalahan-kesalahan, pernyataan waktu dengan fakta

sejarah termasuk di dalamnyapenggunaan kosa kata penggunaan kata nama dll. Pada masa kerajaan-

kerajaan Hindu-Budha penulisan sejarahnyacontohnya seperti Kitab Mahabrata dan Ramayana. Sedangkan

pada masakerajaan-kerajaan Islam sudah dihasilkan karya sendiri, bahkan sudahmenerapkan sistem

kronologi dalam penjelasan peristiwa sejarahnya.

 Tujuan dari Historiografi Tradisional adalah:

1. Untuk menunjukkan kesinambungan yang kronologis

2. Untuk meningkatkan solidaritas dan integrasi di bawah kekuasaan pusat

3. Untuk membuat simbol identitas baruUntuk menghormati dan meninggikan kedudukan raja, dan nama raja,

serta wibawa raja.

2. Historiografi Kolonial

Historiografi Kolonial sering di sebut sebagai Eropa Sentris, yang berasal darikarya-karya yang ditulis

orang-orang Belanda.

 Ciri-ciri Historiografi Kolonial

1. Penulisan sejarahnya biasanya berisi tentang kisah perjalanan atau petualangan untuk menemukan daerah-

daerah baru untuk dijadikan kolonialnya (jajahannya).

2. Tulisan mereka lebih merupakan sarana propaganda untuk kepentingan mereka (Belanda) dan sekaligus

untuk mengendurkasemangat perlawanan bangsa Indonesia.

3. Bersifat Belanda Sentris, kepentingan kolonial sangat mewarnaiinpretasi mereka terhadap suatu peristiwa

sejarah yang terjadi. Tujuan Historiografi kolonial adalah semata-mata untuk memperkokoh kekuasaan

Belanda di Indonesia.
3. Historiografi Nasional

Historiografi Nasional penulisan setelah Indonesia merdeka,bangsa Indonesia berusaha untuk menulis

sejarah nasionalnya sendiri.

 Ciri-ciri Historiografi Nasional

1. Memanfaatkan semua sumber sejarah baik yang bersal dari penulisan sejarah tradisional (karya bangsa

Indonesia) maupun sumber-sumber yang berasal dari pemerintah kolonial untuk melakukan rekontruksi ulang

menjadi sejarah nasional yang berorientasi kepada kepentingan nasional.

2. Objek penelitian sejarah nasional meliputi berbagai aspek dengan menggunakan pendekatan

multidemensional, baik aspek ekonomi,politik, ideologi, sosial budaya, sistem kepercayaan.

3. L e b i h m e n g u t a m a k a n k e p e n t i n g a n n a s i o n a l I n d o n e s i a a t a u b e r s i f a t Indonesia-sentris.

 Tujuan Historiografi Nasional

1. Untuk memberikan legitimasi pada keberadaan bangsa Indonesiasebagai bangsa yang merdeka.

2. Untuk menunjukkan jati dirinya sebagai bangsa yang sederajat dengan bangsa-bangsa lain di dunia.

3. Untuk memberikan pendidikan nasionalisme kepada generasi muda sebagai warga negara dan sebagai

penerus bangsa.

E. Fungsi Historiografi

1. Fungsi Genetis

fungsi Genetis untuk mengungkapkan bagaimana asal usul dari sebuah peristiwa. Fungsi ini terlihat pada

sejumlah penulisan sejarah seperti Babad Tanah Jawi, Sejarah Melayu, dan Prasasti Kutai.

2. Fungsi Didaktis

Fungsi Didaktis merupakan fungsi yang mendidik artinya dalam karya-karya sejarah banyak

memuatpelajaran, hikmah dan suri teladan yang penting bagi para pembacanya.

3. Fungsi Pragmatis

fungsi yang berkaitan dengan upaya untuk melegitimasi suatu kekuasaan agar terlihat kuat dan berwibawa.

F. Tujuan Historiografi

1. Sekedar kenangan pribadi untuk keluarga.

2. Koreksi atau pembelaan peranan sendiri atau golongan.

3. Kisah kepahlawanan.

4. Sebagai apologi atau kepentingan pendidikan.


G. Prinsip-Prinsip Historiografi

1. Kejadian diceritakan secara kronologis, dari awal sampai akhir.

2. Ada penentuan fakta kausal (penyebab dan akibat)

3. Perlu adanya periodisasi berdasarkan kriteria tertentu.

4. Perlu adanya seleksi terhadap peristiwa sejarah.

5. Memerlukan episode-episode tertentu.

6. Bila bersifat deskriptif maka perlu proses mengurutkan peristiwa.

7. Bersifat deskriptif analitis.

BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

Historiografi adalah tahap akhir dari penelitian sejarah yaitu penulisan sejarah, yang dimana telah

melalui proses-proses sebelumnya, seperti heuristik, verifikasi, interpretasi.

Historiografi terbagi-bagi lagi beberapa jenis, yaitu:

1. Historiografi tradisional merupakan penulisan sejarah yang dalam penulisannya masih terpengaruh oleh

istana sentris, raja sentris, dan masih bersifat kedaerahan.

2. Historiografi nasional merupakan penulisan sejarah yang mendeskripsikan perjuangan bangsa indonesia

melawan penjajah.

3. Historiografi kolonial merupakan penulisan sejarah yang dalam penulisannya dipengaruhi oleh Eropa sentris.

Fungsi-fungsi dari historiografi ialah:

1. Fungsi Genetis

fungsi Genetis untuk mengungkapkan bagaimana asal usul dari sebuah peristiwa. Fungsi ini terlihat

pada sejumlah penulisan sejarah seperti Babad Tanah Jawi, Sejarah Melayu, dan Prasasti Kutai.

2. Fungsi Didaktis

Fungsi Didaktis merupakan fungsi yang mendidik artinya dalam karya-karya sejarah banyak memuat

pelajaran, hikmah dan suri teladan yang penting bagi para pembacanya.

3. Fungsi Pragmatis

fungsi yang berkaitan dengan upaya untuk melegitimasi suatu kekuasaan agar terlihat kuat dan

berwibawa.

Tujuan dari historiografi


1. Sebagai kenangan pribadi bagi keluarga

2. Sebagai Koreksi atau pembelaan peranan sendiri atau golongan.

3. Kisah kepahlawanan.

4. Sebagai apologi atau kepentingan untuk pendidikan.

Prinsip-Prinsip Historiografi

1. Kejadian diceritakan secara kronologis, dari awal sampai akhir.

2. Ada penentuan fakta kausal (penyebab dan akibat).

3. Perlu adanya periodisasi berdasarkan kriteria tertentu.

4. Perlu adanya seleksi terhadap peristiwa sejarah.

5. Memerlukan episode-episode tertentu.

6. Bila bersifat deskriptif maka perlu proses mengurutkan peristiwa.

7. Bersifat deskriptif analitis.

DAFTAR PUSTAKA

Cahyadi, Irwan. (2012). Pengertian dan Kajian Historiografi. [Online].

Tersedia: http://irwan-cahyadi.blogspot.com/2012/05/pengertian-dan-kajian-historiografi. html

[19 November 2012]

Priyadi, Sugeng. (2012). Metode Penelitian Pendidikan Sejarah. Yogyakarta: Ombak.

Sjamsuddin, Helius. (2007 ). Metodologi Sejarah. Yogyakarta: Ombak.

Syafri Tanjung, Arby. (2010). Metodelogi Historiografi Sejarah. Skripsi Sarjana pada Alumni Jurusan

Pendidikan Sejarah Universitas Negeri Medan: Online.

Tersedia: http://pussisunimed.wordpress.com/2010/02/05/penulisan-sejarah-historiografi-indonesia/ html [19

November 2012]

Anda mungkin juga menyukai