historiografi sejarah
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Historiografi mulai ada dan dikenal oleh manusia pada dasarnya sejak manusia mengenal
tulisan atau ketika manusia memasuki zaman sejarah. Ketika manusia mengenal tulisan, pada dasarnya
mereka sudah tumbuh kesadaran untuk menulis tentang jati dirinya sebagai manusia dalam keluarga dan
Fakta-fakta sejarah adalah bagaikan kepingan-kepingan suatu botol yang pecah. Pecahan-pecahan itu
berserakan dimana-mana. Oleh sejarawan kepingan-kepingan (fakta) itu dikumpulkan satu persatu lantas
kemudian disusun kembali menjadi bentuk aslinya. Dalam penyusunan kepingan (fakta) tersebut, sejarawan
tuangkan dalam bentuk tulisan atau cerita yang sering disebut dengan historiografi (penulisan sejarah).
Pada tahap penulisan, peneliti menyajikan laporan hasil penelitian dari awal hingga akhir, yang meliputi
masalah-masalah yang harus dijawab. Tujuan penelitian adalah menjawab masalah-masalah yang telah
diajukan. Penyajian historiografi meliputi (1) pengantar, (2) hasil penelitian, (3) simpulan. Penulisan sejarah
sebagai laporan seringkali disebut karya historiografi yang harus memperhatikan aspek kronologis, periodisasi,
B. Rumusan Masalah
2. Jenis-jenis historiografi?
C. Tujuan
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan historiografi, jenis-
jenisnya, fungsi, tujuan, prinsip beserta kelemahan historiografi. Agar lebih memahami mengenai historiografi.
D. Manfaat
Sebagai pengembangan ilmu pengetahuan tentang historiografi serta digunakan sebagai acuan dalam
penulisan sejarah.
BAB II
ISI
A. Pengertian Historiografi
Historigrafi terbentuk dari dua akar kata yaitu history dan grafi. Histori artinya sejarah dan grafi artinya
tulisan. Jadi historiografi artinya adalah tulisan sejarah, baik itu yang bersifat ilmiah (problem oriented) maupun
yang tidak bersifat ilmiah (no problem oriented).Problem oriented artinya karya sejarah ditulis bersifat ilmiah
dan berorientasi kepada pemecahan masalah (problem solving), yang tentu saja penulisannya menggunakan
seperangkat metode penelitian. Sedangkan yang dimaksud dengan no problem orientedadalah karya tulis
sejarah yang ditulis tidak berorientasi kepada pemecahan masalah dan ditulis secara naratif, juga tidak
Historiografi merupakan tahap terakhir dalam penyusunan sejarah. Disini diperlukan kemahiran
mengarang oleh seorang sejarawan. Ada cara-cara tertentu yang perlu sekali diperhatikan oleh sejarawan
dalam menyusun ceritera. Dengan kata lain, penulisan atau penyusunan ceritera sejarah memerlukan
kemampuan-kemampuan tertentu untuk menjaga standart mutu dari ceritera tersebut. Seperti misalnya prinsip
kronologi (urutan-urutan wakutnya), prinsip kausasi (hubungan dengan sebab akibat) dan bahkan juga
suatu rangkaian yang masuk akal dengan bantuan pemgalaman, jadi membuat semacam analogi antara
peristiwa diwaktu yang lampau dengan yang telah kita saksikan dengan mata kepala sendiri diwaktu sekarang,
terutama bagi peristiwa-peristiwa yang sulit dicarikan dasar kronologi dan kausasih dalam perhubungannya
3) Sejarawan gagal menangkap maksud-maksud apa yang dilihat dan didengar serta menurunkan laporan atas
6) Kecenderungan sejarawan untuk mendekatkan diri kepada penguasa atau orang berpengaruh.
7) Sejarawan tidak mngetahui watak berbagai kondisi yang muncul dalam peradaban.
C. Kesubyektifitas Historiografi
Walaupun historiografi adalah langkah terakhir dalam sebuah penelitian yang menggunakan metode
sejarah, namun menurut Soedjatmoko dalam bukunya An Introduction to Indonesia Historiography (1968)
seperti yang dikutip dalam Poespoprodjo (1987:1), historiografi adalah langkah terberat karena dalam langkah
terakhir ini lah pembuktian metode sejarah sebagai suatu bentuk disiplin ilmiah. Adapun menurut Arthur
Marwick dalam The Nature of History (1971) dalam Poespoprodjo (1987:1), hingga historiografi, langkah-
langkah metodologis yang dikerjakan oleh sejarawan pada umumnya diterima sebagai langkah yang memiliki
validitas objektivitas ilmu. Tapi, langkah selanjutnya disebut art atau seni sehingga sejarah sesungguhnya tidak
mungkin objektif. Padahal sejarah sebagai sebuah ilmu dituntut memiliki objektivitas.
Mengapa sejarah tak mungkin objektif? Karena sejarah sudah memakai interpretasi dan seleksi.
Interpretasi dapat berarti sejarah menurut pendapat seseorang dan seleksi dilakukan dalam memilih fakta-fakta
sejarah yang akan dikaji dalam sebuah penelitian dengan metode sejarah. Interpretasi dan seleksi mau tak
mau harus melibatkan pendirian pribadi peneliti. Fakta sejarah yang dibutuhkan dalam historiografi harus
diolah terlebih dahulu oleh peneliti sejarah dari data-data sejarah. Dalam hal ini E.H. Carr dalam bukunyaWhat
is History (1970), mengungkapkan fakta sejarah tidak mungkin dapat objektif karena kumpulan data sejarah
hanya dapat disebut sebagai fakta sejarah apabila diberi arti oleh peneliti. Maka, dalam sebuah penelitian yang
Poespoprodjo (1987) mengungkapkan subjektivitas dalam sebuah penulisan sejarah adalah ‘halal’
karena tanpa subjektivitas maka tidak akan pernah ada objektivitas. Lebih lanjut, Poespoprodjo menyatakan
yang tidak diperbolehkan mempengaruhi sebuah penulisan sejarah adalah adanya unsur subjektivisme. Ia
mengingatkan perlunya memisahkan arti dari subjektivitas yang akan mengarah pada objektivitas dengan
subjektivisme. Menurutnya, dalam subjektivisme, objek tidak dinilai sebagaimana harusnya, namun dipandang
sebagai ‘kreasi’, ‘konstruksi’ akal budi. Berpikir disamakan dengan menciptakan, bukan membantu kebenaran
keluar dari ketersembunyiannya (Pospoprodjo, 1987:23). Agar lebih mudah dimengerti, subjektivisme adalah
kesewenangan subjek dalam mengadakan seleksi, interpretasi, dalam menyusun periodisasi, namun
kesewenangan tersebut tidak bertumpu pada dasar yang dapat dipertanggungjawabkan, sedangkan
subjektivitas sangat erat hubungannya dengan kejujuran hati dan kejujuran intelektual. Hal inilah yang akan
membuat seorang peneliti sejarah membuat simpulan-simpulan dan hipotesis berdasarkan argumentasi yang
kuat. Salah satu contoh subjektivitas yaitu ketika peneliti sejarah melakukan kritik ekstern dan intern terhadap
sumber atau pengarang/pembuat dokumen. Dalam kegiatan heuristik dan kritik, serta melakukan perbandingan
dengan sumber lainnya, seorang peneliti sejarah akan memakai teori-teori. Hal ini lah yang dimaksud dengan
subjektivitas.
Poespoprodjo (1987:39) mengungkapkan ada tiga hal yang dapat mempengaruhi subjektivitas peneliti
Keberhasilan sebuah karya sejarah sangat bergantung pada seluruh disposisi intelektual sejarawan
atau peneliti sejarah tersebut. Oleh karena itu merupakan sebuah syarat bahwa seorang peneliti sejarah atau
sejarawan mempunyai suatu filsafat manusia yang sehat, terbuka terhadap nilai kemanusiaan, dan terbuka
Seorang sejarawan atau peneliti sejarah dalam penelitiannya tidak hanya bertemu dengan beribu
fakta, a matter of indicative, tetapi juga beribu nilai, imperatif. Untuk dapat menangkapnya dengan tepat,
seorang peneliti sejarah harus mampu mendalami permasalahan, masalah nilai, sehingga dapat diperoleh
skala yang tepat mengenai nilai-nilai moral, budaya, politik, religius, teknik, artistik, dan sebagainya
(Pospoprodjo, 1987:41).
Jika seorang peneliti sejarah tidak peka terhadap beragam hal yang berasal dari beragam bidang dan
sektor kehidupan, maka bukan tidak mungkin ia tidak akan bisa menangkap peristiwa sejarah tersebut
sebagaimana mestinya, maka objektivitas pun akan sulit dicapai. Maka, benarlah apa yang dikatakan oleh
Jaques Maritain bahwa semuanya berpulang pada kekayaan intelektual yang dimiliki oleh indicidu peneliti
2. Titik Berdiri
Cara seseorang untuk memandang sebuah objek akan berbeda satu sama lain akibat titik berdiri yang
berbeda. Masing-masing akan melihat dan memberikan persepsi terhadap objek sesuai dengan apa yang ia
lihat dari titik di mana ia berdiri. Dalam hal ini, masing-masing persepsi tentunya akan berbeda dan tidak akan
ada yang salah dan yang benar. Dengan mengidentifikasi titik di mana kita beridri, kita juga akan bisa
mengidentifikasi sikap dalam keadaan titik berdiri tertentu itu. Adalah diri kita sendiri yang tahu tentang
argumentasi kita mengapa akhirnya kita bersikap seperti itu dalam titik bediri tertentu.
Hubungan ilustrasi di atas dengan kegiatan penelitian sejarah bahwa kegiata interpretasi bukan
kegiatan yang dilakukan atas kesewenangan subjek. Ketajaman dan kecermatan subjek dalam melakukan
interpretasi harus terpenuhi agar dapat mencapai objektivitas. Menurut Gordon Leff dalam History and Social
Theory (1969:126) yang dikutip dalam Poespoprodjo (1987:48), interpretasi yang dapat diterima dan
Seorang peneliti sejarah atau sejarawan seharusnya mengenali sumber-sumber distorsi yang dapat
mengganggu subjektivitas dirinya. Sumber distorsi yang berasal dari dalam diri sendiri dapat diketahui dengan
Dengan mengenal diri sendiri, maka niscaya tersadarilah bahwasanya subjektivitas merupakan
simpang jalan dunia subjek dan dunia objek. Ini merupakan kesadaran utama. Jika kita tatap lebih lanjut, maka
kita kana memasuki kedalaman subjektivitas, yakni kedalaman kemerdekaan (untuk mengakui atau menolak,
apakah saya merdeka betul tidak diikat oleh sesuatu sehingga bisa mengatakan sesuatu sebagaimana
mestinya dan sebagainya), kedalaman kritik diri (apakah saya tidak membohong, memutarbalikkan kenyataan
yang ada, apakah tahu betul apa yang dihadapi, apakah reserve tidak perlu dibuat dan sebagainya),
penyesuaian pada tuntutan-tuntutan objek (objek tertentu hhanya dapat dijumpai dengan semestinya bila
menggunakan metode tertentu, objek yang eenmalig contingent, lain dengan objek yang dapat direproduksi
D. Jenis-jenis Historiografi
1. Historiografi Tradisional
Historiografi tradisional adalah karya tulis sejarah yang dibuat oleh para pujangga dari suatu kerajaan,
baik itu kerajaan yang bernafaskan Hindu/Budha maupun kerajaan/kesultanan yang bernafaskan Islam tempo
dulu yang pernah berdiri di Nusantara Indonesia. Seperti kita ketahui di Nusantara Indonesia, bahwa sejak
awal bangsa Indonesia memasuki zaman sejarah, diiringi pula dengan berdirinya kerajaan-kerajaan terutama
1. Regio sentris, artinya segala sesuatu dipusatkan pada raja atau keluargaraja (keluarga istana).
2. Bersifat feodalistis-aristokratis, artinya yang dibicarakan hanyalah kehidupan kaum bangsawan feodal, tidak
ada sifat kerakyatannya dan tidak memuat riwayat kehidupan rakyat, tidak membicarakan segi-segisosial dan
3. Regio magis, artinya dihubungkan dengan kepercayaan dan hal-hal yang gaib.
4. Tidak begitu membedakan hal-hal yang khayal dan hal-hal yang nyata.
7. Sebagai ekspedisi budaya maksudnya sebagaisarana legitimasi tentang jati dirinya dan asal-usulnya yang
8. Oral tradition Historiografi jenis ini di sampaikan secara lisan, maka tidak dijamin keutuhan redaksionalnya.
9. Anakronistik Dalam menempatkan waktu sering terjadi kesalahan-kesalahan, pernyataan waktu dengan fakta
sejarah termasuk di dalamnyapenggunaan kosa kata penggunaan kata nama dll. Pada masa kerajaan-
kerajaan Hindu-Budha penulisan sejarahnyacontohnya seperti Kitab Mahabrata dan Ramayana. Sedangkan
pada masakerajaan-kerajaan Islam sudah dihasilkan karya sendiri, bahkan sudahmenerapkan sistem
3. Untuk membuat simbol identitas baruUntuk menghormati dan meninggikan kedudukan raja, dan nama raja,
2. Historiografi Kolonial
Historiografi Kolonial sering di sebut sebagai Eropa Sentris, yang berasal darikarya-karya yang ditulis
orang-orang Belanda.
1. Penulisan sejarahnya biasanya berisi tentang kisah perjalanan atau petualangan untuk menemukan daerah-
2. Tulisan mereka lebih merupakan sarana propaganda untuk kepentingan mereka (Belanda) dan sekaligus
3. Bersifat Belanda Sentris, kepentingan kolonial sangat mewarnaiinpretasi mereka terhadap suatu peristiwa
sejarah yang terjadi. Tujuan Historiografi kolonial adalah semata-mata untuk memperkokoh kekuasaan
Belanda di Indonesia.
3. Historiografi Nasional
Historiografi Nasional penulisan setelah Indonesia merdeka,bangsa Indonesia berusaha untuk menulis
1. Memanfaatkan semua sumber sejarah baik yang bersal dari penulisan sejarah tradisional (karya bangsa
Indonesia) maupun sumber-sumber yang berasal dari pemerintah kolonial untuk melakukan rekontruksi ulang
2. Objek penelitian sejarah nasional meliputi berbagai aspek dengan menggunakan pendekatan
3. L e b i h m e n g u t a m a k a n k e p e n t i n g a n n a s i o n a l I n d o n e s i a a t a u b e r s i f a t Indonesia-sentris.
1. Untuk memberikan legitimasi pada keberadaan bangsa Indonesiasebagai bangsa yang merdeka.
2. Untuk menunjukkan jati dirinya sebagai bangsa yang sederajat dengan bangsa-bangsa lain di dunia.
3. Untuk memberikan pendidikan nasionalisme kepada generasi muda sebagai warga negara dan sebagai
penerus bangsa.
E. Fungsi Historiografi
1. Fungsi Genetis
fungsi Genetis untuk mengungkapkan bagaimana asal usul dari sebuah peristiwa. Fungsi ini terlihat pada
sejumlah penulisan sejarah seperti Babad Tanah Jawi, Sejarah Melayu, dan Prasasti Kutai.
2. Fungsi Didaktis
Fungsi Didaktis merupakan fungsi yang mendidik artinya dalam karya-karya sejarah banyak
memuatpelajaran, hikmah dan suri teladan yang penting bagi para pembacanya.
3. Fungsi Pragmatis
fungsi yang berkaitan dengan upaya untuk melegitimasi suatu kekuasaan agar terlihat kuat dan berwibawa.
F. Tujuan Historiografi
3. Kisah kepahlawanan.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Historiografi adalah tahap akhir dari penelitian sejarah yaitu penulisan sejarah, yang dimana telah
1. Historiografi tradisional merupakan penulisan sejarah yang dalam penulisannya masih terpengaruh oleh
2. Historiografi nasional merupakan penulisan sejarah yang mendeskripsikan perjuangan bangsa indonesia
melawan penjajah.
3. Historiografi kolonial merupakan penulisan sejarah yang dalam penulisannya dipengaruhi oleh Eropa sentris.
1. Fungsi Genetis
fungsi Genetis untuk mengungkapkan bagaimana asal usul dari sebuah peristiwa. Fungsi ini terlihat
pada sejumlah penulisan sejarah seperti Babad Tanah Jawi, Sejarah Melayu, dan Prasasti Kutai.
2. Fungsi Didaktis
Fungsi Didaktis merupakan fungsi yang mendidik artinya dalam karya-karya sejarah banyak memuat
pelajaran, hikmah dan suri teladan yang penting bagi para pembacanya.
3. Fungsi Pragmatis
fungsi yang berkaitan dengan upaya untuk melegitimasi suatu kekuasaan agar terlihat kuat dan
berwibawa.
3. Kisah kepahlawanan.
Prinsip-Prinsip Historiografi
DAFTAR PUSTAKA
Syafri Tanjung, Arby. (2010). Metodelogi Historiografi Sejarah. Skripsi Sarjana pada Alumni Jurusan
November 2012]