POKOK BAHASAN
A. Epistimologi Sejarah
PENGANTAR
EPISTIMOLOGI SEJARAH
Epistimologi (teori ilmu pengetahuan) ialah cabang filsafat yang membahas tentang
hakikat kenyataan, lingkup pengetahuan dasar-dasar dan syarat kepastian pengetahuan
manusia. Kalau dihubungkan dengan studi sejarah, maka epistimologi sejarah berarti
melacak sejarah teori perubahan tentang (a) Sejarah sebagai pengetahuan dan (b) Sejarah
sebagai pengetahuan ilmiah. Dari sejarah ilmu sejarah (lihat hand-out dua), dapat dilihat,
bahwa pengetahuan sejarah secara Herodatus sampai sebelum Ranke abad ke-19, bersifat
sastra dan kadang-kadang bercampur aduk dengan pemikiran filosofis.
Leopold von Ranke telah mengangkat studi sejarah sebagai disiplin ilmiah dari
perguruan tinggi sejak abad ke-19. Kemudian J.B. Burry, pengikut Ranke, lagi-lagi
memproklamasikan, history is a science, no loess and no more (1903). Prestasi ilmu sejarah
mencapai puncaknya ketika R. Fogel dan temannya Engerman, keduanya sejarawan ekonomi
Amerika menerima hadiah Nobel 1993. Walaupun begitu, masih ada sebagian sejarawan
yang tetap mempertahankan sejarah sebagai bagian dari sastra dan sebagian cenderung
menganggap sejarah bukan ilmu.
Sehubungan dengan itu, ada tiga argumen yang berkembang:
1. Alasan-alasan yang membela sejarah sebagai bukan ilmu
Sejarah bukanlah disiplin ilmiah jika yang dimaksud “ilmu” dan
“keilmuan” menurut versi ilmu-ilmu alam yang berpengang kepada
filsafat Ilmu positivistik. Kaum Positivistis mengklaim hanya ada satu
ilmu di dunia, yaitu ilmu alam. Setiap disiplin yang hendak mendaulat
dirinya sebagai disiplin ilmu haruslah ikut aturan main (paradigma) ilmu-
ilmu alam: observasi langsung, hukum-hukum umum yang universal,
matematis dan kendala prediksi.
2. Alasan-alasan yang membela bahwa sejarah sebagai disiplin ilmiah yang
otonom, seperti halnya dengan disiplin ilmu yang lain (lihat sub pokok
bahasan 2) di bawah membela pandangan berikut:
Jalan menuju ilmu pengetahuan tidak hanya lewat jalur positivistik
(Naturwissenschaften, atau ilmu alam), karena kenyataan alam (fisik dan
manusia) jauh lebih komplek dari pada yang dipikirkan ilmuwan alam.
Objek kajian Ilmu-Ilmu Sosial (IIS), termasuk sejarah adalah manusia dan
bukan benda. Maka paradigma Ilmu-Ilmu alam tidak mungkin dipaksakan
berlaku atas manusia. Manusia memiliki kenyataan fisik dan sekaligus
kenyataan batiniah (inner reality). Jadi disiplin itu itu harus dibedakan,
baik obyeknya maupun metodologinya, sesuai dengan bidang perhatian
masing-masing.
3. Alasan-alasan yang membela sejarah tetap sebagai bagian sastra:
Sejarah adalah disiplin yang terbuka bagi siapa saja, seperti yang pernah
berkembang sejak awal penulisan sejarah dikenal manusia (atau sejak
Herodatus). Karena ini tidak perlu meninggalkan selera sastra dan juga
publik pembacanya. Biarlah sejarah berkembang seperti sedia kala tanpa
pengaturan-pengaturan teknis metodologi ilmiah, atau ikuti sekedarnya,
selebihnya diserahkan pada penulisnya. Terserah anda mau pilih yang
mana. Dan anda bisa menilai studi sejarah di Indonesia atau jurusan anda
disini sekarang. Penjelasan selanjutnya tentu bisa didiskusikan lebih jauh.
Tapi standar yang ada kira-kira demikian adanya.
Salah satu manfaat belajar sejarah yaitu berfikir kritis dan analitis terutama dalam
mempresentasikan masa lalu atau disebut juga berfikir sejarah. Berfikir sejarah bukanlah
hanya sekedar mendeskripsikan fakta-fakta serta menghafal-hafal defenisi sejarah. Tetapi
terdapat rambu-rambu yang mengarahkan bagaimana berfikir sejarah tersebut. Mestika Zed
yang dikutipnya dari Salevouris (1988) mengemukakan ada lima standar berfikir sejarah
yang bersandar kepada konsep historical mindedness.
a) Berfikir kronologis, yaitu; memiliki kepekaan (sensitive) terhadap adanya
perbedaan kondisi sejarah pada waktu dan tempat tertentu di banding dengan
hari ini.
b) Kesadaran akan sifat “continuum” sejarah, dalam arti bahwa setiap gejala
sejarah merupakan suatu proses kesinambungan yang dinamis antara yang
sebelum dengan yang sesudahnya.
c) Kemampuan (ability) untuk menangkap dan menerangkan perubahan
(change).
d) Kepekaan untuk menganalisis hubungan bahwa sebab akibat sejarah itu tidak
tunggal, melainkan banyak (multi causal).
e) Kemampuan menganalisis isu dan pengambilan keputusan untuk memecahkan
masalah (problem solving).
Lima standar berfikir sejarah ini mencerminkan indikator dari ruang lingkup sejarah
nantinya.
B. Pertanyaan dan Evaluasi
1. Jelaskan konsep Epistimolgi (Teori Pengetahuan) yang saudara ketahui !
2. Jelaskan perbedaan metode dan metodologi sejarah beserta aturannya masing-
masing !
3. Jelaskan manfaat belajar sejarah yang saudara ketahui, selain dari hand out di
atas !