Anda di halaman 1dari 14

METODOLOGI SEJARAH

FRAWITA SARI, 1406515791


Pascasarjana Departemen Ilmu Sejarah - Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya
Universitas Indonesia

 APA ITU METODOLOGI ?

Secara kategoris terdapat dua bidang ilmu yang kedudukannya berada pada dua ujung
yang berlawanan. Ujung satu ditempati oleh Ilmu Pengetahuan Alam dan ujung yang lainnya
ditempati oleh Ilmu Humaniora. Antara abad 18 smpai 19, sewaktu aliran rasionalisme
memuncak dan mencapai fase positivisme, konsepsi tentang ilmu dipengaruhi oleh kemajuan
ilmu pengetahuan alam yang demikian kuat sehingga ilmu tersebut seakan punya fungsi
normative untuk menjadi “hakim” yang menentukan kriteria seberapa jauh berbagai cabang ilmu
yang lain dapat dikategorikan sebagai science atau ilmu. Kriteria yang diciptakan untuk
menentukan aturan atau hukum, sehingga dapat membuat generalisasi dan memprediksi masa
depan. Berdasarkan kriteria yang ada pada saat itu, ilmu Humaniora termasuk Ilmu Sejarah dan
ilmu humanis lainnya dikategorikan sebagai bukan ilmu karena tidak mampu merumuskan
hukum.
Hal ini mendapat reaksi dari kaum Neo-Kantian yang berpendapat bahwa antara kedua
cabang ilmu tersebut bersifat generic, berdiri sejajar, dan masing-masing memiliki otonomi
sendiri sehingga salah satu ilmu tidak berhak untuk menghakimi ilmu yang lainnya. Ilmu
pengetahuan alam mengarahkan ke pembuatan generalisasi yang dicapai lewat analisis dan
bersifat kuantitatif, sedangkan ilmu humaniora mengarah ke perumusan gambaran khusus yang
diperoleh lewat narasi dan lebih bersifat kualitatif. Dalam dikotomi ini, kedudukan Ilmu
Pengetahuan Sosial berada di tengah-tengah sebagai jembatan penghubung kedua ilmu tersebut.
Ilmu social memperhatikan keteraturan tindakan dan kelakuan manusia yang kesemua hal
tersebut hampir sama dengan hukum-hukum.
Sementara itu, terdapat perkembangan yang menunjukkan adanya pengaruh kuat Ilmu
Sosial pada Ilmu sejarah terutama dalam hal teori dan metodologi. Dengan demikian, bila
dibandingkan dengan Ilmu Humaniora lainnya, ilmu sejarah lebih memiliki kedekatan pada ilmu
Sosial. Artinya juga, Ilmu Sejarah lebih dekat pada ilmu Alam di banding Ilmu Humaniora
lainnya terhadap Ilmu Alam. Dari uraian yang telah diulas ini, secara anatomis keilmuan cukup

1
punya “legalitas” bila pengkajian ilmu sejarah mengarah ke terciptanya generalisasi dan
melakukan approaches yang bersifat kuantitatif. (Muhsin, 2009: 1-3).
Sejarah mempunyai kedudukan yang setara dengan ilmu-ilmu lain, terutama dengan
ilmu sosial, yang sampai tingkat tertentu menerapkan metode ilmiah. Metode dan hasil yang
ilmiah menerapkan konsep yang memandang ilmu sebagai suatu kumpulan kebenaran yang
diperoleh dengan sistematis mengenai suatu persoalan tertentu melalui suatu metode yang
efektif. Metode yang efektif memperoleh perhatian utama dalam meningkatkan suatu
pengetahuan untuk bisa menjadi ilmu. Oleh karena itu sejarah sebagai ilmu harus bekerja
menurut tahapan tertentu yang mempunyai metode, yang di dalam penelitian sejarah disebut
dengan metodologi sejarah. (Yass, 2004: 3).
Pengertian metode dan metodologi mempunyai hubungan erat meskipun dapat
dibedakan. Banyak definisi-definisi mengenai metode, menurut definisi kamus The New Lexicon
Webster’s Dictonary of the English Language yang di kutip di dalam buku karangan Helius
Sjamsuddin, metode ialah: “Suatu cara untuk berbuat sesuatu; suatu prosedur untuk mengerjakan
sesuatu; keteraturan dalam berbuat, berencana; suatu susunan atau sistem yang teratur. Jadi
metode ada hubungan dngan suatu prosedur, proses, atau teknik yang sistematis dalam
penyidikan suatu disiplin ilmu tertentu untuk mendapatkan objek yang diteliti. Sedangkan
mengenai metodologi menurut The New Lexicon definisi umumnya ialah “suatu cabang filsafat
yang berhubungan dengan ilmu tentang metode atau prosedur; suatu sistem tentang metode-
metode dan aturan-aturan yang digunakan dalam sains (science). (Sjamsuddin, 2012: 10-11).
Dari definisi yang dikemukakan ini, bahwa metode dan metodologi adalah dua fase kegiatan
yang berbeda untuk tugas yang sama. Metode sejarah ialah “bagaimana mengetahui sejarah”,
sedangkan metodologi sejarah “mengetahui cara bagaimana mengetahui sejarah”.
Dua fase kegiatan ini sangat dibutuhkan dalam penelitian sejarah (historia). Menurut
F. Muller, seperti yang dikutip oleh Topolski di dalam buku Helius Sjamsuddin, istilah historia
mempunyai tiga arti: (1) Penelitian (research) dan laporan tentang penelitian itu sendiri; (2)
suatu cerita puitis; (3) suatu deskripsi yang persis tentang fakta-fakta 1.( Sjamsuddin, 2012:1).
Menurut pendapat Gay dalam tulisan Sukardi (2003; 203) secara definisi penelitian sejarah dapat
diartikan sebagai salah satu penelitian mengenai pengumpulan dan evaluasi data secara
sistematik, yang berkaitan dengan kejadian masa lalu untuk menguji hipotesis yang berhubungan
dengan penyebab, pengaruh, atau perkembangan kejadian yang mungkin membantu dengan

1
Makna Historia didalam teks-teks Yunani Kuno sama dengan bahasa latin klasik, sehingga tekanan diletakkan pada
pengamatan langsung (direct observasition), Penelitian (research), dan laporan-laporan hasilnya. Helius Sjamsuddin.
“Metodologi Sejarah” Yogyakarta 2012 hlm. 2.

2
memberikan informasi pada kejadian sekarang, dan mengantisipasi kejadian yang akan datang.
Penelitian sejarah akan memperoleh manfaat maksimal, apabila digunakan untuk tujuan
menjawab hipotesis penelitian yang diajukan peneliti dan merekonstruksi kembali peristiwa dan
kehidupan masa lampau dengan tepat dan objektif. Melalui usaha peneliti untuk merelokasi,
mengevaluasi, dan menginterpretasi data dimana kita dapat belajar tentang masa lalu. (Sukardi,
2003; 204).
Metodologi dalam sejarah berperan sebagai penengah antara dua pernyataan data atau
fakta sebuah peristiwa dari berbagai sumber media dan sebagainya. Selain itu metodologi
sejarah sebagai jembatan penghubung/ menghubungkan data – teori dengan daya kritis. Dalam
hal yang lain juga metodologi dapat menyelematkan kita dalam pernyataan ideologis yang
tertutup dalam perspektif keyakinan dan kebenaran. Bagi sejarawan dan peneliti, meneliti
peristiwa sejarah dengan fakta-fakta yang berbeda-beda menjadi hal menarik dalam penelusuran
terhadap sejarah itu sendiri. Hal yang paling tidak boleh dilewatkan fungsi dari metodologi
sejarah adalah menjelaskan kajiannya terkait pengembangan keilmuan dalam segi-segi ontologis
(sudut pandang), epistemologis (pengembangan ilmu itu sendiri) dan axiologis (kepentingan
ideology dll). (Zuhdi, 2013; 1).
Ada dua bagian yang harus dikerjakan sejarawan menurut pendapat Prof. Susanto
Zuhdi (2013;5) dalam kajiannya pada pelatihan metode penelitian lintas disiplin FIB-UI
berkaitan dengan metode penelitian dan metode penulisan. Metode penulisan sejarah pada
prinsipnya deskriptif dengan gaya narasi (pengkisahan). Terdapat pula metode yang lebih
structural dan analitis yang menggunakan konsep-konsep (ilmu-ilmu sosial) secar lebih ketat.
Hal inilah yang akan terlihat dari kecenderungan penulisan ke arah pendekatan ilmu-ilmu social
dan humaniora. Keduanya merupakan kecenderungan yang wajar. Persoalan yang mendasar ada
pada cara menjelaskan yaitu apakah dengan metode deduktif (diturunkan) seperti cara kerja
ilmuwan alam (fisika) atau induktif, yang bertolak dari hal-hal yang particular, unik, spesifik lalu
ditarik ke atas untuk mengambil kesimpulan. Carl Hempel misalnya lebih menekankan cara
kerja ilmu alam dalam penjelasan sejarah dengan menggunakan hubungan sebab-akibat. Ada
premis mayor dan premis minor. Ada eksplanan (yang menerangkan) dan eksplanandum
(diterangkan). Pendekatan ini mengabaikan unsur keunikan dalam sejarah yang boleh jadi jsutru
disitulah faktor yang justru tak diduga tetapi (turut) menentukan jalnnya sejarah.

3
 MENGAPA METODOLOGI ?

Banyaknya pengaruh perkembangan Ilmu Sosial pada satu sisi dan perkembangan
Ilmu Sejarah sendiri pada sisi lain, pengkajian sejarah tidak lagi memuaskan bila hanya bersifat
deskriptif-naratif tapi menuntut bersifat analisis-struktural. Sejarah yang bersifat analisis-
struktural memiliki kemampuan memberikan daya-jelas yang lebih tinggi. Kecenderungan
semacam ini mengisyaratkan pentingnya diterapkan teori dan metodologi ilmu social dalam
pengkajian sejarah. Melalui upaya ini ilmu sejarah akan mampu menganalisis dan
mengungkapkan hal-hal yang umum (pola-pola, kecenderungan, serta berbagai aspek structural),
disamping hal-hal yang unik. Pada gilirannya, hal ini menuntut generalisasi dan penerapan
metode kuantitatif.
Divernitas tema kajian yang semangkin beragam, seperti sejarah ekonomi, sejarah
pertanian, sejarah demografi, sejarah perkotaan dan sebagainya penuntutan penelitian sejarah
dengan menggunakan pendekatan kuantitatif semangkin terasa urgenitasnya. Tingkat tuntutan itu
lebih memungkinkan untuk direspons dengan tersedianya sumber data yang cukup serta
perangkat teknologi sebagai instrument yang memudahkan pengolahan data. Selain itu,
penerapan analisis kuantitatif akan lebih terasa urgenitasnya mengingat dalam perkembangan
terakhir ini pengaruh posmodernisme atau posmo dengan dekonstruksinya cukup terangkat.
Pandangan posmo dengan dekonstruksinya meragukan tentang kebenaran, ralitas, makna, dan
pengetahuan yan dibangun diatas kekuatan fondasi teks, bahasa, ataupun permainan kata.
Dengan kata lain, semua disiplin ilmu Bahasa, termasuk ilmu sejarah, menjadi “diragukan”.
Kaitan inilah posmo mengancam dan dapat menggoyahkan eksistensi ilmu sejarah, karena
posmo berpandangan relative terhadap fakta, objektivitas, dan kebenaran yang justru menjadi
pokok kajian sejarah. Pandangan skeptic teori posmo yang mempersoalkan validitas yang
menjadi pokok kajian sejarah perlu ada penanganan yang diperlukan berbagai teori dan
metodologi penelitian sejarah yang dapat mengkokohkan tegaknya fakta, objektivitas dan
kebenaran sejarah. Untuk menghadapai hal ini diberikan beberapa solusi, yaitu melalui
penerapan teori korespondensi, teori korelasi, dan metodologi strukturistik. (Zuhdi, 2008; 1-3).
Selanjutnya terdapat penambahan solusi yang dikemukakan oleh Muhsin (2009; 4) dalam
seminar akademik Unpad yakni, penerapan analisis kuantitatif.

4
Sejarawan akademik2 dilatih dengan wawasan teoritik, terlepas dari teori apa yang
digunakan atau dipilihnya. Menerapkan metodologi dan penggunaan sumber yang beragam
dengan metode kritik yang dipertanggungjawabkan. Prinsip kerja dalam sejarah yang selalu
ditekankan adalah untuk menguasai ketrampilan dalam metode historis yaitu heuristic, kritik,
dan penerapan teori dan metodologi yang tepat sehingga penulisan hasil penelitian (historiografi)
bisa dipertanggungjawabkan. (Zuhdi, 2008; 4).
Menurut Abdurahman (1993; 43) metode historis adalah seperangkat aturan dan
prinsip sistematis untuk mengumpulkan sumber-sumber sejarah secara efektif. Menilainya
dengan kritis dan mengajukan sintesis dalam bentuk tertulis. Sedangkan menurut Yass (2004; 4)
mengutip dari penjelasan Ernest Bernheim, bahwa metode historis ialah “suatu proses untuk
menentukan adanya pendapat yang tepat mengenai kejadian-kejadian yang sudah lampau, karena
tidak mungkin bahwa keseluruhan dari proses tersebut dapat di alami dan diketahui secara
langsung. Tujuan metode historis adalah untuk membuat rekonstruksi masa lampau secara
sistematis dan objektif dengan cara mengumpulkan, mengevaluasi, memperifikasi, serta
mensistesiskan bukti-bukti untuk menegakkan fakta-fakta dan memperoleh kesimpulan yang
kuat (Suryabrata, 1988; 12).
Selain metode historis yang digunakan di dalam penelitian sejarah, terdapat pula
metode yang mengkaji sumber sejarah secara lisan atau yang dikenal dengan sejarah lisan.
Sejarah lisan merupakan salah satu metodologi sejarah yang berguna untuk mengatur interview,
mempersiapkan interview, melakukan intervieuw, menyusun kuesioner, serta masalah hukum
dan etika yang berkaitan dengan penelitian sejarah. (Kuntowijoyo, 1995:81-82). Dalam metode
sejarah lisan ini, para sejarawan kebanyakan menerapkan metode wawancara sebagai
pengumpulan data dalam mendapatkan sumber lisan, sehingga dapat ditemukan data-data
tambahan yang berasal dari sumber khususnya sumber lokal.
Pertanyaan bagaimana metodologi didalam penelitian sejarah dapat diterapkan, hal ini
dapat di lihat dari para sejarawan melakukan penelitiannya. Penelitian dengan metode sejarah
yang dikerjakan sejarawan akan bermuara pada hasil sebuah karya tulis (historiografi).
Sejarawan umumnya tidak bertolak dari teori atau konsep, tetapi berangkat dari isu atau masalah
tertentu. Itu diperoleh karena kepedulian sejarawan terhadap masalah yang tidak harus muncul
dari masa lalu, tetapi justru yang terkait dengan masa kini. Melalui perspektif historis, isu atau

2
Pembedaan terhadap sejarawan informal yang mengkaji sejarah yang dituangkan dalam karya-karya tulisannya didapat
melalui otodidak bukan dari hasil pendidikan formal seperti kalangan akademisi. Susanto Zuhdi. “Titik Balik Historiografi
di Indonesia”, Jakarta 2008 hlm. 3.

5
masalah kekinian itulah yang menarik perhatian sejarawan sehingga mendorongnya untuk
melakukan penelitian/penulisan. (Zuhdi, 2013; 6).
Seperti yang dibahas sebelumnya mengenai solusi metodologi historis untuk
mematahkan serangan posmo terhadap sejarah, salah satunya adalah penerapan analisis
kuantitatif. Penerapan pendekatan kuantitatif dapat dilakukan oleh sejarawan yang berhadapan
dengan peristiwa-peristiea lampau yang kompleks, yang digambarkan secara kualitatif atau pun
kuantitatif. Dengan metode ini kuantitatif dilakukan untuk eksplanasiperistiwa-peristiwa
historis., terutama dalam hal penggambaran kondisi-kondisi “material” yang diakibatkan oleh
lingkungan-lingkungan tertentu. Yang akhirnya sejarawan harus “menghitung” sesuatu yang
secara implisit merefleksikan bentuk penghitungan secara kasar.
Menurut Muhsin (2009; 8-10) terdapat lebih dari satu metode kuantitatif yang dapat
diterapkan untuk penelitian sejarah sebagai metodologi, diantaranya terdapat analisis statistic
seri (the statistical analysis of a series) yang menunjukkan seputar waktu tertentu. Selanjutnya
terdapat tipe seri statistic yang cukup mendapat perhatian sejarawan yaitu “time-series” tipe ini
menghitung kuantitas item pada titik waktu yang berbeda atau interval waktu yang berbeda dan
juga sejarawan dapat membandingkan keterhubungan masing-masing item yang berubah dan
berhubungan, atau saling mempengaruhi satu dengan yang lainnya. Sehingga, sejarawan dapat
menemukan korelasi yang menandakan hubungan kausal. Selain itu sejarawan dapat mengkaji
masa lampau dengan menggunakan perhitungan (counting) dan penyortiran (sorting) untuk
mengorganisasikan item ke dalam seri statistic dan dengan menggunakan “peralatan” dasar
seperti perbandingan (ratio) dan presentase. Selain melalui statistical series, quanto-history
dapat dilakukan melalui survey analysis. Dan terakhir, metode kuantitatif lainnya bersifat lebih
kompleks ialah, New Economic History sejarawan dapat melihat tekanan pada pola performance
ekonomi keseluruhan. Dengan ini sejarawan dapat menyusun model-model matematik yang
dapat diwujudkan dalam bentuk “persamaan” dalam historiografi. Perlu dicatat bahwa tidak
semua jenis penulisan sejarah memerlukan kuantifikasi. Seperti kesadaran manusia, semua yang
berhubungan dengan ini tidak perlu di kuantifikasi karena dapat menafikan nilai-nilai
kemanusiaan (dehumanisasi). Statistic yang digunakan sejarawan lebih banyak yang merupakan
descriptive statistic, yakni hanya berkisar seputar teknik untuk mendeskripsikan data dalam
angka, yaitu distribusi, pengukuran hubungan antara dua variable (korelasi, regresi), analisis isi,
dan time series. (Kuntowijoyo, 2008; 132
Tanpa metode kuantitatif, bidang-bidang tertentu dalam sejarah menjadi tidak
mungkin untuk pengokohan kebenaran terhadap fakta penelitian ilmu sejarah dari kritikan
posmo. Kegunaan metode kuantitatif, dapat mendorong sejarawan untuk berfikr sejenak
6
mengenai “adakah data kuantitatif untuk mengganti atau melengkapi pernyataan kualitatif itu”
sebelum menggunakan istilah-istilah “lebih banyak, lebih sedikit, meningkat, menurun dan
sebagainya”, sehingga kritikan posmo terhadap kebenaran sejarah yang diragukan bisa
terpatahkan.

 BAGAIMANA METODOLOGI ?

Sebagai sebuah penelitian sejarah diperlukan sebuah proses dalam penggalian


dokumen sebagai sumber sejarah. Dokumen disini diartikan sebagai benda-benda tertulis yang
dapat memberikan berbagai macam keterangan peristiwa dan kejadian dimasa lampau, misalnya:
buku, majalah, surat kabar, hukum, peraturan-peraturan, keputusan-keputusan pengadilan,
manuskrip, surat-surat perjanjian, surat-surat perintah, brosur, piagam, gambar, potret, dan lain-
lain. (Yass, 2004; 33). Menggali sebuah peristiwa harus diterangkan secara lebih jauh dan
mendalam mengenai terjadinya latar belakang, kondisi ekonomi, politik dan kulturalnya, di
sinilah diperlukan bagaimana metodologi sebagai dasar pijakan. Dalam memahami peristiwa-
peristiwa masa lampau sebagai fakta sejarah diperlukan tahapan-tahapan dan proses, maka untuk
itu dibutuhkan metode dan pendekatan agar dapat direkonstruksi secara utuh. Oleh karena itu
didalam penelitian studi sejarah, perlu adanya perhatian terhadap aspek ruang dan waktu beserta
kausalitasnya dipergunakan metode dan pendekatan sejarah. Metode sejarah mempunyai empat
tahapan kerangka ilmiah, yaitu:

 Heuristik
Langkah awal dalam penelitian sejarah ialah Heuristik. Heuristik merupakan teknik atau
cara-cara untuk menemukan sumber yang bisa didapat melalui studi kepustakaan, pengamatan
secara langsung di lapangan, atau melalui interview. Saat ini data sejarah bisa di dapat dari
berbagai macam cara selain studi pustaka, sumber sejarah dapat juga diakses melalui media
cetak dan elektronik. Yang terpenting seorang peneliti harus mengetahui bagaimana menangani
bukti-bukti sejarah dan bagaimana menghubungkannya. (Alian, 2012; 9-10).
Sumber dapat diklasifikasikan menjadi sumber primer (langsung atau direct) dan sumber
sekunder (tidak langsung atau indirect), serta sumber asli dan sumber palsu. Dimaksud sumber
primer adalah kesaksian langsung dari seseorang atau golongan, yang betul-betul menyaksikan
suatu peristiwa. Sumber sekunder adalah kesaksian tidak langsung yang di berikan seseorang.
Artinya seseorang atau kelompok tertentu dalam masyarakat memberikan kesaksian sudah

7
melalui kesaksian orang lain. Dengan kata lain sumber sekunder menurut Imam Bernadib adalah
dokumen yang menguraikan atau membicarakan sumber primer. Kategori sumber sekunder
adalah monograf, buku-buku pelajaran, hasil kongres, makalah, prasaran, dan lain-lain.
Sedangkan sumber asli dan palsu, maksud disini sumber asli ialah sumber yang mengandung
gagasan yang segar, belum di upam atau di terjemahkan, masih dalam bentuk asli, sedangkan
sumber palsu adalah kebalikannya. (Yass, 2004; 34-35)
Dalam penjelasan langkah-langkah penelitian sejarah ini dapat dilihat dari studi
penelitian penulis mengenai “Perkembangan Kebudayaan Zuriat Kesultanan Palembang Di
Muntok Kabupaten Bangka Barat Kepulauan Bangka Tahun 1734-1816” 3. Langkah awal
penelitian melakukan proses heuristik dengan mencari dokumen-dokumen tertulis masa
kesultanan Palembang sampai invansi Inggris di pulau Bangka dan sejarah Pulau Bangka
khususnya sejarah Muntok, baik yang berupa buku, laporan, memoar dan surat kabar yang sesuai
dengan tema. Dan untuk memperkuat bukti-bukti tertulis yang terdapat di dalam dokumen
penulis juga melakukan wawancara untuk mengetahui lebih mendalam mengenai tema yang
penulis tulis, dalam skop temporal pada masa Muntok berada di wilayah kekuasaan Kesultanan
Palembang 1734 sampai invansi Inggris 1816 atas wilayah Bangka.

 Kritik Sumber (Verifikasi)


Langkah selanjutnya dalam penelitian sejarah yakni kritik sumber. Dalam menggunakan
sumber-sumber sejarah, haruslah mengevaluasi atau melakukan kritik terhadap sumber-sumber
yang digunakan. Kritik sumber adalah proses menguji sumber, apakah sumber yang
diketemukan asli atau palsu dan apakah isinya dapat dipercaya atau dipertanggung jawabkan
atau tidak. (Alian, 2012; 11)
Kritik ada dua macam, yaitu: Kritik Ekstern dan Kritik Intern. Kriti ekstern adalah
menyelidiki untuk menentukan keaslian dengan menjawab pertanyaan-pertanyaan 5W+1H.
Sedangkan kritik intern adalah penentuan dapat tidaknya keterangan dalam dokumen digunakan
sebagai fakta sejarah. (Yass, 2004; 35-36). Jadi dapat disimpulkan bahwa kritik intern dilakukan
untuk mencari keaslian isi sumber atau data guna memperoleh suatu kebenaran atau kekeliruan
yang terjadi, sedangkan kritik ekstern bertujuan untuk mencari keaslian sumber yang ditelusuri
melalui kritik intern. Sumber yang penulis kritik atau penulis bandingkan dalam penelitian
sejarahnya adalah:
3
Tugas akhir akademik (skripsi). “Perkembangan Kebudayaan Zuriat Kesultanan Palembang Di Muntok Kabupaten
Bangka Barat Kepulauan Bangka Tahun 1734 – 1816 (Sumbangan Pada Mata Pelajaran Sejarah Kelas Xi Di Sekolah
Menengah Atas Negeri 1 Kota Muntok)”. Frawita Sari, Prodi Pendidikan Sejarah FKIP Univesritas Sriwijaya Palembang
2013.

8
Kritik Ekstern
Dalam kritik ekstern ini yang dilakukan penulis adalah pengujian atas asli dan tidaknya
sumber sehingga cara yang dilakukan adalah menyeleksi segi-segi fisik dari sumber yang
ditemukan. Bila sumber tersebut merupakan dokumen tertulis seperti buku, maka peneliti harus
melihat hal-hal yang berkaitan dengan penampilan luar yang meliputi kertas, tintanya tulisan
kalimat, gaya bahasa/ ejaan yang digunakan pengarang. (Kuntowijoyo, 1995; 99)
Berkaitan dengan hal tersebut diatas, penulis melakukan kritik sumber yang diperoleh.
Penulis melakukan kritik terhadap dua sumber, yaitu sumber yang berupa buku yang
menyangkut masalah gaya bahasa atau ejaan yang digunakan oleh pengarang buku-buku yang
berkaitan dengan Sejarah Bangka dan sumber berupa tokoh-tokoh adat maupun lembaga-
lembaga adat yang mengetahui sejarah Bangka khususnya kota Muntok. Dalam hal ini penulis
melihat dari fisik, status maupun umur tokoh tersebut dan juga kita bisa melihat pengarang
merupakan sejarawan akademisi kah atau sejarawan informal.

Kritik Intern
Kritik intern yang di lakukan dalam sebuah penelitian yang disebutkan sebelumnya
adalah berkaitan dengan perolehan berupa buku-buku yang menyangkut tentang Sejarah Bangka
khususnya Sejarah Muntok seperti buku karangan Sutedjo Sujitno yang berjudul Legenda dalam
Sejarah Bangka terbitan Cempaka Publishing dan buku karangan Arifin Machmud yang berjudul
Pulau Bangka dan Budayanya. Buku tersebut berisi kumpulan Sejarah Bangka dari Abad ke- 7
Era Hindu-Budha hingga masa Kolonialisme di Pulau Bangka. Sama halnya dengan sumber
tokoh yang akan diwawancarai. Setelah diseleksi melalui kondisi fisik, status/jabatan, umur, dan
pendidikan narasumber, tahap selanjutnya melakukan wawancara dan bukan hanya dengan satu
orang tokoh melainkan dengan tokoh-tokoh lainnya dari kalangan sejarawan, budayawan,
arkeolog, antropolog dan juga tokoh-tokoh adat daerah setempat.
Untuk menghindari subjektifitas yang berlebihan oleh pengarang dan tokoh-tokoh
yang dijadikan sebagai informan terhadap data yang diperlukan, maka penulis berusaha
mengkritisinya dengan membandingkannya dengan buku atau sumber lainnya. Hal ini dilakukan
untuk mendapatkan data yang valid sehingga dapat menyajikan data dan fakta yang seobjektif
mungkin.
Hasil kritik menunjukkan bahwa dalam buku berjudul Legenda dalam sejarah Bangka
karangan Sutedjo Sujitno mengatakan bahwa saat Sultan Mahmud Badaruddin I kembali ke
Palembang dari Siantan, beliau dan rombongan singgah di Pulau Bangka karena kondisi cuaca

9
saat itu buruk. Sedangkan di dalam buku berjudul Pulau Bangka dan Budayanya karangan Arifin
Machmud, Sultan Mahmud Badaruddin I singgah di Pulau Bangka saat kembali dari Siantan
karena beliau dan rombongan mendapat serangan dari Sultan Anom Komarudin saat beliau
memasuki wilayah perairan Palembang. Sehingga pasukan dari Sultan Mahmud Badaruddin
mundur dan singgah di Pulau Bangka. Adanya perbedaan tulisan dari sumber dalam melakukan
kritik intern ini pada kedua buah buku tersebut, peneliti harus melakukan telaah atas hasil tulisan
sejarah sehingga muncul kekhasan dari masalah atau peristiwa yang diangkat dengan melihat
dari berbagai sumber yang membahas peristiwa atau masalah yang sama. Sehingga dapat
diputuskan dari kritik ini data mana yang harus digunakan.

 Interpretasi
Langkah ketiga dalam penelitian sejarah adalah interpretasi. Menurut Bekker interpretasi
yaitu penafsiran terhadap fakta-fakta yang dimunculkan dari data-data yang sudah terseleksi atau
kenyataan yang dapat dipertanggungjawabkan untuk mencari kebenaran otentik yang di
sesuaikan dengan tema yang yang dibahas. Interpretasi atau penafsiran sejarah sering disebut
analisis sejarah. Analisis berarti menguraikan secara terminologis sedangkan sintesis berarti
menyatukan data-data yang ada. Analisis dan sintesis ini dipandang sebagai metode-metode
utama dalam interpretasi. (Kuntowijoyo, 1995; 100).
Interpretasi merupakan penetapan makna dan saling berhubungan antara fakta-fakta yang
telah diperoleh, hal ini sangat diperlukan agar data yang mati dapat berbicara atau mempunyai
arti (Yass, 2004; 43). Dalam tahap ini, penulis melakukan analisis data yang diperoleh akan
diuraikan dengan melihat adanya beberapa kemungkinan yang terkandung dalam sumber
tersebut. Selanjutnya dengan melakukan sintesis dilakukan penyimpulan dari uraian-uraian
sumber yang telah dilakukan dalam tahap analisis, sehingga dihasilkan sebuah kesimpulan yang
merupakan hasil interpretasi dari sumber-sumber yang telah ditemukan. Dengan interpretasi,
penulis berusaha menghubungkan fakta atau data antara sumber yang satu dengan sumber yang
lain dan berusaha untuk dapat memberikan penafsiran yang terkandung dalam sumber yang ada
untuk membahas masalah dalam penulisan berikutnya.
Peristiwa sejarah yang di interpretasikan dalam tahap yang dilakukan oleh peneliti
sejarah bisa berdasarkan ilmu, politik, ekonomi, sosial, budaya, dan geografi. Sebagai contoh
tulisan mengenai kajian perkembangan kebudayaan Zuriat di pulau Bangka, dalam interpretasi
politik dijelaskan bagaimana jatuhnya Pulau Bangka kedalam kekuasaan Kesultanan Palembang,
dengan perkawinan politik yang dilakukan sultan Palembang dengan anak dari Bupati Banten
yang ada diwilayah Bangka, serta menempatkan kerabat kesultanan yang berasal dari Johor

10
Siantan berada di Muntok wilayah pulau Bangka, untuk legitimasi kekuasaan wilayah
Kesultanan Palembang sekaligus mengkokohkan hubungan Kesultanan Palembang dengan
Kerajaan Johor.
Interpretasi ekonomi menjelaskan tentang komoditi timah dan lada yang dihasilkan
wilayah Pulau Bangka, sehingga menjadi rebutan para penguasa kerajaan di Nusantara pada
masa itu, karena dianggap menguntungkan dari segi sumber daya alam wilayah Bangka apabila
bisa dikuasai. Dalam interpretasi sosial dan budaya digambarkan kehidupan para Zuriat/ kerabat
kesultanan yang berasal dari Siantan Johor yang menempati wilayah Muntok secara turun
temurun dari awal kemunculannya hingga pada masa invansi Inggris setelah secara de facto
wilayah Bangka tidak lagi dalam kekuasaan Kesultanan Palembang. Dan interpretasi geografi
menjelaskan secara geografis daerah-daerah yang ditempatkan oleh Zuriat/ kerabat kesultanan
dalam membangun kota Muntok dan menjadikan Kota Muntok sebagai wilayah strategis
didalam pelayaran Malaka dan Nusantara pada masa Kesultanan Palembang Darussalam.

 Historiografi
Setelah dilakukan proses heuristik, interpretasi, dan kritik sumber sebagai tahap akhir
dalam metode sejarah serta, menjawab pertanyaan untuk apa metedologi diterapkan adalah
teknik penulisan sejarah atau dikenal dengan historiografi. Historiografi adalah rekonstruksi
yang imajinatif dari masa lampau berdasarkan data yang diperoleh dengan menempuh proses
(Gootschalk, 1986: 32). Penulisan laporan disusun berdasarkan serialisasi (kronologis, kausasi,
dan imajinasi). Penulisan sejarah sedapat mungkin disusun berdasarkan kronologis, ini sangat
penting agar peristiwa sejarah tidak menjadi kacau, walaupun dalam ilmu-ilmu sosial kecuali
sejarah, kronologis dianggap tidak terlalu penting dan cenderung di kerjakan berdasarkan
sistematika. Berbeda halnya dalam ilmu sejarah perubahan-perubahan sosial akan diurutkan
kronologinya (Kuntowijoyo,1995; 103).
Selanjutnya penulisan sejarah hendaknya di susun berdasarkan sebab-akibat (kausasi).
Proses mencari sebab dan akibat akan memperjelas jalannya suatu peristiwa. Suatu cerita sejarah
yang terputus-putus karena datanya tidak lengkap, dapat diisi dengan imajinasi. Imajinasi disini
bukan dalam artian imajinasi yang fiktif tetapi imajinasi yang masih dituntun oleh sejarah yang
ada. Selain itu penulisan sejarah dapat dilakukan dengan cara koligasi. Yang dimaksud koligasi
ialah suatu cara, sejarawan menerangkan kejadian atau peristiwa yang dipelajarinya, yaitu
dengan menelusuri kejadian-kejadian yang secara sekilas tidak berhubungan, tetapi setelah
ditelusuri ternyata mempunyai hubungan yang erat (Alian, 2012; 13-14)

11
Kajian penelitian sejarah dalam laporan tulisan mengenai sejarah kebudayaan zuriat
kesultanan Palembang di Muntok Bangka, penulis berusaha untuk menyusun dan menyajikan
dalam bentuk sejarah sebagai peristiwa sejarah sehingga berbentuk tulisan yang utuh dan dapat
dipertanggungjawabkan sesuai dengan fakta yang diperoleh. Kajian sejarah ini berdasarkan
proses serialisasi terutama kronologis dan kausasi. Penyusunan laporan penelitian sejarah secara
kronologis sangat penting agar peristiwa sejarah tidak menjadi kacau dan tumpang tindih, oleh
karena itu kronologis didalam penulisan sejarah harus berurutan dari awal hingga akhir.
Misalnya saat Konflik Kesultanan Banten dengan Kesultanan Palembang yang dimulai tahun
1596. Pada saat itu Pulau Bangka dalam kekuasaan Kesultanan Banten hingga dalam
perkembangan selanjutnya, Pulau Bangka jatuh dalam kekuasaan kesultanan Palembang pada
tahun 1667 karena adanya perkawinan politik yang dilakukan oleh Sultan Palembang
Abdurrachman. Periode selanjutnya pada masa kekuasaan Sultan Mahmud Jayawikrama yang
menempatkan para bangsawan Siantan di Pulau Bangka pada tahun 1734 untuk membangun
wilayah Muntok sebagai pusat pemerintahan di Pulau Bangka. Dan berlanjut pada masa
kolonial, dimana invansi Inggris terhadap wilayah kekuasaan Kesultanan Palembang yang
akhirnya menghasilkan dekrit politik tahun 1812, antara Sultan Palembang Najamuddin dan
Inggris yang menyebabkan Bangka lepas secara de facto dari kekuasaan Kesultanan Palembang
dan beralih ketangan Inggris sampai tahun 1816..
Sedangkan proses kausasi adalah adanya hubungan sebab akibat dari suatu peristiwa
dengan peristiwa lainnya. Misalnya dalam menghadapi konflik yang terjadi di Kesultanan
Palembang atas perebutan tahta, yang menyebabkan Pangeran Mahmud Badaruddin
meninggalkan Palembang dan menuju ke Johor untuk meminta pertolongan Raja Johor. Di Johor
Pangeran Mahmud Badaruddin menikahi anak bangsawan Siantan yang dipercaya oleh Raja
Johor bernama Zamnah beretnis Melayu-Tionghoa. Dengan adanya dukungan ini akhirnya
Pangeran Mahmud Badaruddin dapat naik tahta di Kesultanan Palembang, serta awal
penempatan Zuriat Kesultanan Palembang yang berasal dari Johor di Kota Muntok Pulau
Bangka (Heidhues, 2008; 10).

 Pendekatan
Dalam penulisan sejarah biasanya melibatkan penelitian suatu gejala sejarah dengan
jangka yang relatif panjang (aspek diakronis), dan melibatkan penelitian aspek ekonomi,
masyarakat, atau politik (aspek sinkronis) pastilah memakai juga pendekatan ilmu-ilmu sosial
(Kuntowijoyo, 1995; 115). Sartono Kartodirjo dalam tulisan Yass mengemukakan,
penggambaran mengenai suatu peristiwa sangat tergantung pada pendekatan yaitu dari segi mana

12
kita memandangnya, dimensi mana yang diperhatikan dan unsur-unsur mana yang akan
diungkapkan. Hal ini disebabkan karena mengahadapi gejala historis yang serba kompleks.
Setiap penggambaran atau diskripsi menuntut pendekatan yang memungkinkan penyaringan data
yang diperlukan (Yass, 2004; 47).
Pendekatan yang digunakan pada kajian zuriat kesultanan Palembang misalnya adalah
pendekatan Ilmu Antropologi dan multi disiplin dari ilmu sosial, yang meliputi ilmu geografi,
politik, ekonomi, sosiologi, dan budaya. Pendekatan ilmu antropologi, akan digunakan untuk
melihat nilai kebudayaan yang ada di dalam masyarakat kaum zuriat di Muntok. Sedangkan
multi disiplin ilmu sosial, menghubungkan antara satu fakta sejarah dengan fakta yang lainnya
yang di bahas dalam ilm-ilmu sosial.
Seperti pendekatan ilmu geografi di gunakan untuk melihat letak suatu wilayah dan
keadaan alam dimana suatu peristiwa terjadi. Pendekatan ini menyoroti daerah atau wilayah
yang diperebutkan antara Kesultanan Banten dengan Kesultanan Palembang yang melibatkan
Pulau Bangka. Didalam pendekatan ini dapat dilihat wilayah Johor Siantan yang dijadikan
tempat melarikan diri saat konflik di Kesultanan Palembang oleh Sultan Mahmud Badaruddin I
sehingga pada perkembangannya selanjutnya wilayah Bangka ditempatkan oleh Zuriat
Kesultanan Palembang.
Pendekatan politik menyoroti kekuasaan, jenis kepemimpinan, hierarki jenjang/ susunan
sosial dan kekuasaan didalam masyarakat serta pemerintahan. Pendekatan ini mengungkapkan
peranan Zuriat Kesultanan Palembang yang berketurunan melayu-tionghoa dalam membangun
Kota Muntok. Serta meluaskan kekuasaan wilayah kesultanan dengan melakukan perkawinan
politik.
Pendekatan ekonomi bertujuan menyoroti masalah ekonomi dari masa yang satu ke masa
selanjutnya dalam wilayah yang sama. Salah satu penerapan pendekatan ini, menyoroti
mengenai sumber daya alam kota Muntok yaitu pasir timah dan lada yang menjadi perebutan
antara Kesultanan Palembang dengan Inggris serta mata pencaharian masyarakat kaum Zuriat
yang ada di Kota Muntok. Sedangkan pendekatan sosiologi dan budaya, bertujuan untuk
menyoroti sistem pelapisan, struktur, dan interaksi kaum zuriat serta tradisi gelar yang
dipertahankan oleh zuriat keturunan kesultanan Palembang di Kota Muntok dengan peraturan-
peraturan yang telah ditetapkan oleh Sultan Palembang didalam undang-undang sindang
mardika, baik pada masa kesultanan maupun hingga sekarang.

 PENUTUP

13
Uraian di atas, sebenarnya terlalu sederhana bila dibandingkan dengan kompleksitas atau
kerumitan yang melekat pada kajian metodologi sebagai metode sejarah itu sendiri. Masih
banyak hal yang dapat dikaji dalam mengupas metode sejarah kedalam praktek penilitian
sejarah. Sebagian yang sempat terungkap pun masih banyak yang harus dipertajam, diperluas
dan diberi penjelasan lebih lanjut. Dari dalam batasan kajian yang paling minimal, serta upaya
pengkajian awal dalam metodologi history ini diharapkan dapat memberi gambaran umum
mengenai metode serta langkah dasar pemahaman dalam penelitian sejarah ke depannya.

KEPUSTAKAAN
- Abdurrahman, Dudung. “Metode Penelitian Sejarah”. Jakarta: Logos
- Alian. “Metodologi Sejarah dan Implementasi dalam Penelitian”. Criksetra. 2 (2): 1-17.
Jurnal. Prodi Pendidikan Sejarah FKIP Universitas Sriwijaya. Palembang: 2012.
- Gottschalk, Louis. ”Mengerti Sejarah”. UI Press. Jakarta:1986.
- Kuntowijoyo. “Pengantar Ilmu Sejarah”. Yayasan Bentang Budaya. Yogyakarta:1995.
- Muhsin, Mumuh. “ Urgenitas Analisis Kuantitatif Dalam Penelitian Sejarah”.
Makalah. Seminar Akademik Jurusan Ilmu Sejarah Fakultas Sastra Universitas
Padjajaran. Jatinangor: 2009.
- Sari, Frawita. “Perkembangan Kebudayaan Zuriat Kesultanan Palembang Di
Muntok Kabupaten Bangka Barat Kepulauan Bangka Tahun 1734 – 1816
(Sumbangan Pada Mata Pelajaran Sejarah Kelas Xi Di Sekolah Menengah Atas
Negeri 1 Kota Muntok)”. Skripsi. Prodi Pendidikan Sejarah FKIP Univesritas
Sriwijaya. Palembang: 2013.
- Sukardi. “Metodologi Penelitian Pendidikan”. Bumi Aksara. Jakarta: 2003.
- Suryabrata, Sumadi. ”Metodologi Penelitian”. PT. Raja Grafindo. Jakarta :1998.
- Syamsuddin, Helius. “Metodologi Sejarah”. Penerbit Ombak. Yogyakarta: 2012.
- Zuhdi, Susanto. “Metode Penelitian Sejarah” Bahan pelatihan metode penelitian
lintas disiplin. Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Budaya FIB-UI, Depok:
2013.
- _____________. “Metodologi Strukturistik Dalam Historiografi Indonesia”
dalam Djoko Marihandono (ed) Titik Balik Historiografi Indonesia. Depok: 2008.
- Yass. Marzuki Ab. ”Metodologi Sejarah dan Historiografi”. Proyek SP4
Universitas Sriwijaya. Palembang: 2004.

14

Anda mungkin juga menyukai