net/publication/356412625
HISTORIOGRAFI
CITATIONS READS
0 9,915
1 author:
SEE PROFILE
All content following this page was uploaded by Denis Guritno Sri Sasongko on 20 November 2021.
Oleh:
Fakultas Pascasarjana
Magister Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial
UNIVERSITAS INDRAPRASTA PGRI
2018
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Indonesia telah dilakukan pada zaman penjajahan. Dari periode ini, dikenallah
jilid. Jilid pertama tentang prasejarah, jilid dua tentang sejarah Hindu-Jawa, jilid
tiga tentang pembentukan VOC, dan jilid empat tentang sejarah Hindia Belanda
abad ke-18.
Jilid lima buku ini ditulis oleh F.W. Stappel dan diterbitkan pada 1943,
ketika Belanda diduduki Jerman dan kepulauan Indonesia diduduki Jepang. Oleh
karena itu, jilid lima ini tidak beredar di Indonesia. Tentu saja, kecenderungan
dalam penulisan peristiwa-peristiwa masa silam melalui berbagai fakta yang ada.
Fakta-fakta sejarah tentu saja tidak ada dalam satu kesatuan utuh. Agar
ada dan dituangkan dalam bentuk tulisan atau cerita. Susunan inilah yang dikenal
2
dengan historiografi (penulisan sejarah). Di dalamnya, seorang sejarawan menulis
apa yang sudah dipikirkan, dikatakan, dikerjakan, dirasakan dan dialami oleh
Konteksnya adalah Metode Sejarah. Untuk itu, pendekatan penulis adalah analisis
B. Rumusan Masalah
berikut:
C. Tujuan Penulisan
3
BAB II
PEMBAHASAN
Secara etimologis, historiografi berasal dari dua kata, yaitu historia (sejarah,
Lat) dan graphein (menulis, Yun). Dari dua kata tersebut, Kamus Besar Bahasa
Secara lebih luas, historiografi dapat diartikan sebagai sejarah penulisan sejarah.
Salah satu bentuk historiografi adalah kronik-kronik yang ditulis pada masa
4
sesuai alur agar menggambarkan proses terjadinya peristiwa sejarah secara
holistik.
Proses penulisan sejarah tentu saja menjadi tahap paling menentukan dalam
penelitian sejarah. Pada tahap ini, rekonstruksi sejarah yang dibangun oleh
seorang sejarawan akan dituliskan, dibaca, dan dikritisi oleh pembacanya. Tahap
ini akan mendorong penulis untuk mengerahkan seluruh daya pikirannya, bukan
pada akahirnya, ia harus menghasilkan suatu sintesis dari seluruh penelitian atau
penemuannya ke dalam suatu penulisan yang utuh (Sjamsuddin, 2016: 99). Untuk
itulah, tahap ini adalah tahap yang paling menentukan bagi seorang sejarawan
Dalam konteks inilah, historiografi di Indonesia terbagi menjadi tiga jenis, yaitu:
Dua dorongan utama yang menggerakkan seorang sejarawan dalam menulis karya
5
sejarah adalah mencipta ulang (re-create) dan menafsirkan (interpret), serta
filsafat sejarah tertentu. Filsafat ini bertujuan untuk memberi arti atau makna
kepada seluruh sejarah kegiatan manusia, sebagai petunjuk bagi suatu penafsiran
yang valid dari materi sejarah, dan suatu pemahaman mengenai penyebab dan
keberartian (signifikansi) dari peristiwa dan lembaga yang dicatat dalam materi
filsafat sejarah dari keempat faktor tersebut, terutama manusia sebagai titik
tolaknya. Jika tidak hati-hati, penulisan sejarah yang dihasilkan menjadi filsafat
menjadi robot karena ditentukan oleh kekuatan yang berada di luar dirinya.
spiritual atau idealistik, penafsiran ilmu dan teknologi, penafsiran sosiologis, serta
6
Penulisan sejarah pun tidak luput dari kritikus. Beberapa kesalahan yang
peristiwa, tidak jarang disebutkan seolah-olah terjadi pada suatu waktu yang lain
dari yang sebenarnya. Anakronisme dapat terjadi dalam beberapa bentuk. Contoh
modern.
yang terjadi karena membuat cerita panjang menjadi singkat. Sejarawan terdorong
untuk menciutkan apa yang seharusnya dapat ditulis dengan panjang lebar. Karena
tidak utuh. Sementara yang kedua adalah, kekeliruan yang terjadi karena membuat
cerita yang seharusnya pendek menjadi panjang. Hasilnya berupa tulisan yang
7
Pemamparan atau penyajian sejarah pun berdekatan dengan persoalan
dengan kenyataaan, netral, tidak memihak, dan tidak terikat. Tuntutan seperti ini
Sejarah dipahami oleh para sejarawan sebagai catatan dan ingatan akan
masa lalu. Untuk itu, jika tidak ada catatan atau ingatan, tidak ada sejarah. Sebagai
catatan atau ingatan, tentu ada orang yang mencatat atau mengingat. Dalam
prasangka yang dapat ditemukan dalam catatan atau ingatan tersebut. Akibatnya,
catatan atau ingatan akan masa lalu tersebut dapat memihak (bias), memuat
kata lain, pemaparan atau penyajian sejarah tidak akan pernah lepas dari unsur
8
berikutnya, para sejarawan mulai mengembangkan historiografi yang lebih
“moderat” untuk tidak terlibat dalam dikotomi tersebut. Para sejarawan mencoba
1. Deskriptif-naratif
Sejarah yang bersifat naratif dapat disebut sebagai sejarah populer karena
2. Sejarah analitis-kritis
sehingga disebut sejarah struktural. Para sejarawan tidak lagi mengambil peran
sebagai narrator, melainkan sebagai analis yang membedah karya sejarah dari
demikian, penulisan sejarah analitis-kritis lagi tidak bersifat naratif, tetapi lebih
bersifat akademis. Penyajian jenis ini terdapat dalam karya-karya ilmiah, jurnal,
tesis, atau desertasi. Oleh karena itu, sejarah struktural yang analitis tampil
sebagai karya sejarah yang terlalu kaku (statis) dan tidak historis (unhistorical).
9
3. Gabungan: deskriptif-naratif dan analitis-kritis
dan analitis-kritis. Ada beberapa model yang ditunjukkan oleh Peter Burke dari
contoh-contoh yang dilakukan oleh para novelis atau pembuat film dapat dicontoh
a. Teknik penulisan novel yang bercerita dari berbagai sudut pandang. Teknik
b. Narasi sejarah menggunakan plot dasar sastra, antara lain: komedi, tragedi,
struktur, seperti pranata sosial, lingkungan, budaya, lembaga sosial, dan cara
berpikir zamannya.
d. Cara menulis sejarah dengan model mikronaratif. Cara bercerita ini dapat
e. Cara menulis sejarah dilakukan secara mundur. Cara bercerita ini dimulai
dari masa sekarang, kemudian bergerak mundur ke masa yang lebih tua.
10
C. Historiografi di Indonesia
1. Historiografi Tradisional
masa ketika masyarakat Indonesia sudah mengenal tulisan. Pada masa ini, tradisi
direkam melalui tulisan yang disebut naskah. Naskah inilah yang menjadi sarana
bahasa yang digunakan adalah bahasa daerah asal naskah tersebut; Sunda, Jawa,
Bugis, Melayu, Aceh, dan Minang. Hal ini menunjukkan bahwa bangsa Indonesia
pada masa Hindu Buddha. Sebutan tradisional tersebut berdasar pada tahun ketika
naskah itu ditulis, tempat penulisan naskah, dan bentuk cerita yang dikisahkan
dalam naskah. Pada masa ini, dikenal beberapa jenis historiografi tradisional,
antara lain prasasti, babad, dan hikayat. Tiga jenis historiografi ini tampil sebagai
sosialnya. Bahasa, adat istiadat, dan khasanah nilai-nilai budaya adalah beberapa
11
Fakta-fakta sejarah belum diberi tempat dalam historiografi tradisional.
Salah satu fungsi menempatkan unsur mistis dalam historiografi tradisional adalah
untuk memberi bentuk legitimasi dan kesan mistis dalam narasi tokoh historis.
Hal ini dapat ditemui dalam kisah silsilah raja-raja. Selain memberi kesan mistis,
dengan menempatkan raja sebagai keturunan dari dewa tertentu, penulisan tokoh
dan huruf Pallawa. Prasasti inilah yang merekam kejadian penting, menegaskan
12
Isi karya historiografi tradisional pun bersifat istanasentris. Hal ini tampil
dalam gambaran bahwa istana adalah tempat yang sakral dan memiliki pengaruh.
Hal ini dapat ditemui dalam kisah-kisah yang berkembang di berbagai daerah. Di
Jawa Barat misalnya, silsilah para Bupati selalu dihubungkan dengan tokoh mitos,
yaitu Prabu Siliwangi. Silsilah tersebut dibuat dengan tujuan agar dapat
memberikan dasar legitimasi bagi raja atau penguasa bahwa dia adalah keturunan
berada pada taraf yang sangat sederhana. Karya-karya sejarah yang dihasilkan
sosial budaya yang dihidupi sehari-hari. Untuk itu, unsur kekuasaan adikodrati
dihasilkan.
Hal ini pun dapat ditemui dalam karya-karya pujangga keraton yang hidup
konsep bahwa raja adalah titisan dewa yang harus ditempatkan lebih tinggi
ajaran agama, hukum, adat-istiadat, filsafat politik, sastra, dan doa. Namun, sesuai
13
konteks diskursus ini, karya historiografi tradisional adalah naskah yang berisi
cerita sejarah. Ciri-ciri karya historiografi tradisional ini masih dipengaruhi nilai
mistis dan tidak mengikuti kaidah logis serta akademis. Contoh-contoh karya
keterpilihannya sebagai raja. Pada masa ini, sudah dikenal unsur kronologi pada
kisah-kisah asal-usul raja atau latar belakang berdirinya sebuah kerajaan. Untuk
itu, karya-karya historiografi pada masa ini sangat berdekatan dengan proses
masuk dan berkembangnya agama Islam di Pulau Jawa. Dengan demikian, karya-
karya tersebut sarat dengan kisah yang menuturkan lingkungan etnis tertentu
kalifatullah, yaitu raja sebagai wakil Tuhan di dunia. Hal ini menunjukkan adanya
pengamalan ajaran agama yang dilakukan oleh para pemimpin pada masa Islam.
14
Kisah-kisah tersebut pun masih memuat unsur-unsur mitos dan legenda
yang digunakan secara simbolis untuk memberi legitimasi kepada raja dan
keturunannya yang berkuasa. Contoh karya historiografi tradisional pada masa ini
adalah Hikayat Raja-Raja Pasai, Hikayat Aceh, Babad Tanah Jawi, Babad Demak,
karya ini, dikenallah silsilah yang ditulis runtut dan kronologis. Untuk itu, tekanan
ditempatkan pada struktur, bukan proses. Dalam konteks inilah, dapat dipahami
pentingnya legitimasi raja dan peristiwa yang dianggap penting pada periode
tidak memberi tempat pada kehidupan sosial ekonomi masyarakat pada umumnya.
metodologi penulisan yang jelas. Unsur mitos dan realitas bercampur aduk dalam
penulisan karya historiografi tradisional. Dengan kata lain, jika harus ditelusuri
dkk, 2016:109-111)
2. Historiografi Kolonial
15
sejarah yang dilakukan tentu saja tidak terlepas dari kepentingan penguasa
sumber lokal seperti babad, hikayat, kronik, atau tradisi lisan seringkali diabaikan.
unsur mitos dalam tulisannya untuk menegaskan bahwa wilayah Indonesia adalah
adalah fokus sekunder yang tidak perlu diberi tempat penting. Untuk itu,
Belanda (Eropa) yang saat itu sedang berkuasa (menjajah) di Indonesia. Dalam
fokus utama kajian sejarah. Dengan kata lain, historiografi kolonial menganggap
16
keberadaan orang-orang Indonesia tidak terlalu penting dan tidak memiliki
Historiografi kolonial yang dikenal pada masa ini adalah History of Java karya
Leopold von Ranke. Ranke berpendapat bahwa sejarah dunia adalah sejarah dari
Barat. Sejarah bangsa lain akan dibahas jika memiliki keterkaitan dengan bangsa
karya F.W. Stapel, seorang penulis Belanda bernama J.C. van Leur mengkritik
masyarakat dari atas geladak kapal saja”. Kritik ini mengingatkan para penulis
atau sejarawan kolonial agar dalam menulis sejarah tidak hanya dari sudut
Nederlandsch Oost-Indie karya A.J. Eijkman dan F.W. Stapel, Oud en Niew Oost-
Indie karya Francois Valentijn, Indische Geschiedenis karya J. Haan dan H. Uljee,
Nederland in de Oost karya M.W.F. Treb, Geschiedenis van Indonesie karya H.J.
de Graaf, Geschiedenis van Java karya W. Fruin Mees dan Rijklofs van Goens,
17
History of Java karya Gubernur Jenderal Thomas Stamford Raffles, dan Max
sumber-sumber lokal seperti syair-syair, hikayat, babad, dan kronik yang telah ada
Kekurangan tersebut dapat dibaca pada buku tentang sejarah kolonial yang
menuliskan hal-hal yang kaku dan dibuat-buat. Hanya sedikit karya historiografi
kolonial banyak memberi tempat pada aktivitas para pejabat dan pegawai
dari sumber lokal bersumber pada pola pikir sejarawan kolonial yang menganggap
tulisan pribumi terlalu rendah sehingga ia tidak berusaha meneliti sumber tersebut
historiografi kolonial yang dihasilkan pun dapat lebih meluas. Hingga saat ini,
jumlah yang cukup banyak. Namun, harus diakui bahwa akses atas sumber-
18
3. Historiografi Modern
nasionalisme diberi tempat tersendiri. Hal ini menjadi bentuk perlawanan terhadap
penjajahan.
tetapi sudah memberi tempat pada peran para petani dan kondisi sosial ekonomi
dalam ilmu sejarah digunakan secara ketat. Jika historiografi tradisional tidak
19
Historiografi modern pun berkembang pesat. Hal ini ditandai dengan
1888 karya Prof. Dr. Sartono Kartodirdjo, Autobiografi Soekarno karya Cindy
Adams, Revolusi Pemuda karya Benedict Anderson, Islam dan Masyarakat karya
Taufik Abdullah, dan Sukarno, Tentara, PKI karya Rosihan Anwar. (Rahata. dkk,
2016:122-123)
pada pemahaman sejarah yang cenderung tidak cocok dengan zaman tertentu.
Banyak fakta sejarah, sosial, budaya pada masa kolonial tidak ditulis karena
dianggap bukan bagian dari sejarah Indonesia. Dengan demikian, dapat dipahami
20
dari sejarah objektif. Kecenderungan ini muncul karena nasionalisme yang
Ribu Tahun Sang Merah Putih, Yamin mencoba meyakinkan bangsa Indonesia
bahwa sejarah bendera nasional Indonesia, Merah Putih, telah digunakan sejak
enam ribu tahun yang lalu. Dasar penafsiran ini adalah penemuan warna pada
merah dan putih menjadi dasar untuk menjelaskan kesakralan arti simbol warna
21
BAB III
PENUTUP
A. Simpulan
penelitian. Ilmu sejarah adalah ilmu empiris. Artinya, sejarah sangat tergantung
pada pengalaman manusia. Pengalaman ini terekam pada dokumen atau sumber
sejarah.
Peristiwa sejarah hanya terjadi sekali dan tidak terulang. Untuk itu,
menghasilkan karya yang baik. Sumber utama penelitian sejarah adalah dokumen
sejarah. Dokumen-dokumen inilah yang menjadi obyek utama para peneliti dalam
sejarah harus melakukan interpretasi untuk menentukan makna dan arti yang
saling berhungan dari fakta-fakta yang diperoleh. Hasilnya adalah sintesis yang
harmonis dan logis. Akhirnya, para peneliti sejarah menyajikan hasil penelitian
dalam bentuk historiografi atau penulisan sejarah yang runtut, sistematis, dan
B. Saran
sangat pesat, termasuk di dalamnya ilmu sejarah. Dari sudut pandang kesenjangan
22
antargenerasi, generasi sekarang sangat memahami Zeitgeist (jiwa zaman) seluruh
gejolak dan keresahan yang terjadi saat ini. Untuk itu, keunggulan para sejarawan
milenial. Banyak di antara para sejarawan muda tersebut dididik dalam tradisi
dan tema yang sangat beragam. Situasi inilah yang diharapkan mendorong
mazhab” tertentu dalam ilmu sejarah. Tentu saja, sikap kritis tetap harus diberi
23
DAFTAR PUSTAKA
Budaya
Rahata, Ringo, dkk. (2016). Sejarah Peminatan Ilmu-Ilmu Sosial. Klaten: Intan
Pariwara
publications/5045-ID-tinjauan-kritis-terhadap-kecenderungan-
24