Anda di halaman 1dari 25

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.

net/publication/356412625

HISTORIOGRAFI

Presentation · January 2018


DOI: 10.13140/RG.2.2.14953.62565

CITATIONS READS

0 9,915

1 author:

Denis Guritno Sri Sasongko


SMP Santo Yakobus
49 PUBLICATIONS 1 CITATION

SEE PROFILE

All content following this page was uploaded by Denis Guritno Sri Sasongko on 20 November 2021.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


HISTORIOGRAFI

Makalah Ilmiah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah


Metode Sejarah

Oleh:

Denis Guritno Sri Sasongko


NPM. 20177379144

Fakultas Pascasarjana
Magister Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial
UNIVERSITAS INDRAPRASTA PGRI

2018

1
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Historiografi modern yang ditandai dengan usaha penulisan sejarah bangsa

Indonesia telah dilakukan pada zaman penjajahan. Dari periode ini, dikenallah

karya sejarah Hindia-Belanda (Geschiedenis van Nederlands-Indie) sejumlah 5

jilid. Jilid pertama tentang prasejarah, jilid dua tentang sejarah Hindu-Jawa, jilid

tiga tentang pembentukan VOC, dan jilid empat tentang sejarah Hindia Belanda

abad ke-18.

Jilid lima buku ini ditulis oleh F.W. Stappel dan diterbitkan pada 1943,

ketika Belanda diduduki Jerman dan kepulauan Indonesia diduduki Jepang. Oleh

karena itu, jilid lima ini tidak beredar di Indonesia. Tentu saja, kecenderungan

penulisan buku tersebut didasarkan pada perspektif kolonial Belanda (Purwanto

dan Asvi sebagaimana dikutip Subekti, 2010:2).

Dari peristiwa tersebut, sejarawan menjadi orang yang berperan penting

dalam penulisan peristiwa-peristiwa masa silam melalui berbagai fakta yang ada.

Tanpa melihat fakta-fakta sejarah, seorang sejarawan tidak mungkin dapat

merekonstruksi sejarah yang telah terjadi. Fakta inilah yang memungkinkan

seorang sejarawan mengungkapkan sejarah.

Fakta-fakta sejarah tentu saja tidak ada dalam satu kesatuan utuh. Agar

menjadi kesatuan utuh, seorang sejarawan harus mengumpulkan fakta-fakta yang

ada dan dituangkan dalam bentuk tulisan atau cerita. Susunan inilah yang dikenal

2
dengan historiografi (penulisan sejarah). Di dalamnya, seorang sejarawan menulis

apa yang sudah dipikirkan, dikatakan, dikerjakan, dirasakan dan dialami oleh

seseorang atau narasumbernya.

Makalah ilmiah adalah studi deskriptif dengan topik “Historiografi”.

Konteksnya adalah Metode Sejarah. Untuk itu, pendekatan penulis adalah analisis

dari sumber-sumber kepustakaan yang relevan dengan topik tersebut.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut, penulis merumuskan beberapa masalah

berikut:

1. Apa yang dimaksud dengan historiografi?

2. Apa saja faktor-faktor yang mempengaruhi historiografi?

3. Apa saja bentuk pemaparan atau penyajian historiografi?

4. Bagaimana periodisasi historiografi di Indonesia?

C. Tujuan Penulisan

Tujuan penulisan makalah ilmiah ini adalah:

1. Untuk mengetahui pengertian historiografi

2. Untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi historiografi

3. Untuk mengetahui bentuk pemaparan atau penyajian historiografi

4. Untuk mengetahui periodisasi historiografi di Indonesia

3
BAB II

PEMBAHASAN

A. Definisi dan Konteks

Secara etimologis, historiografi berasal dari dua kata, yaitu historia (sejarah,

Lat) dan graphein (menulis, Yun). Dari dua kata tersebut, Kamus Besar Bahasa

Indonesia (KBBI) menyebut definisi historiografi sebagai penulisan sejarah.

Secara lebih luas, historiografi dapat diartikan sebagai sejarah penulisan sejarah.

Salah satu bentuk historiografi adalah kronik-kronik yang ditulis pada masa

kerajaan-kerajaan kuno. (Tarunasena, 2009:25)

Historiografi adalah langkah terakhir dalam penelitian sejarah. Secara

kronologis dan sistematis, seorang sejarawan harus mampu merangkai fakta,

menginterpretasi makna, dan menghasilkan tulisan sebagai sejarah yang

dituliskan. Karya historiografi ini adalah gabungan kedua proses, penafsiran

(Auffassung) dan formulasi/presentasi (Darstellung) (Sjamsuddin, 2016:99). Oleh

karena itu, penulisan sejarah dilakukan setelah fakta-fakta sejarah berhasil

dihimpun, dikritisi, dan disusun.

Definisi tersebut menunjukkan bahwa penulisan sejarah menjadi usaha

seorang sejarawan merekonstruksi sumber-sumber primer yang ditemukan.

Sumber-sumber tersebut mulanya terpisah dan belum mempunyai makna secara

keseluruhan. Maka, pada proses selanjutnya, sumber-sumber tersebut disusun

4
sesuai alur agar menggambarkan proses terjadinya peristiwa sejarah secara

holistik.

Proses penulisan sejarah tentu saja menjadi tahap paling menentukan dalam

penelitian sejarah. Pada tahap ini, rekonstruksi sejarah yang dibangun oleh

seorang sejarawan akan dituliskan, dibaca, dan dikritisi oleh pembacanya. Tahap

ini akan mendorong penulis untuk mengerahkan seluruh daya pikirannya, bukan

saja keterampilan teknis penggunaan kutipan-kutipan dan catatan-catatan, tetapi

yang terutama adalah penggunaan pikiran-pikiran kritis dan analisisnya karena

pada akahirnya, ia harus menghasilkan suatu sintesis dari seluruh penelitian atau

penemuannya ke dalam suatu penulisan yang utuh (Sjamsuddin, 2016: 99). Untuk

itulah, tahap ini adalah tahap yang paling menentukan bagi seorang sejarawan

karena situasi zaman (Zeitgeist) dan lingkungan kebudayaan akan mempengaruhi

cara pandang sejarawan tersebut. Singkatnya, situasi zaman dan kebudayaan

diwakili dengan pandangan seorang sejarawan.

Dari waktu ke waktu, penulisan sejarah selalu berkembang. Setiap periode

sejarah melahirkan penulisan sejarah masing-masing yang berbeda ciri-cirinya.

Dalam konteks inilah, historiografi di Indonesia terbagi menjadi tiga jenis, yaitu:

historiografi tradisional, historiografi kolonial, dan historiografi modern.

B. Historiografi: Interpretasi, Penjelasan, dan Penyajian

Penulisan sejarah diwujudkan dalam paparan, penyajian, presentasi atau

penampilan (eksposisi). Bentuknya dapat berupa deskripsi, narasi, dan analisis.

Dua dorongan utama yang menggerakkan seorang sejarawan dalam menulis karya

5
sejarah adalah mencipta ulang (re-create) dan menafsirkan (interpret), serta

menjelaskan. Dorongan pertama menuntutnya membuat deskripsi dan narasi,

sedangkan dorongan kedua menuntutnya membuat analisis.

Pegangan para sejarawan dalam menulis karya sejarah adalah beberapa

filsafat sejarah tertentu. Filsafat ini bertujuan untuk memberi arti atau makna

kepada seluruh sejarah kegiatan manusia, sebagai petunjuk bagi suatu penafsiran

yang valid dari materi sejarah, dan suatu pemahaman mengenai penyebab dan

keberartian (signifikansi) dari peristiwa dan lembaga yang dicatat dalam materi

sejarah. (Sjamsuddin, 2016:99)

Faktor-faktor tetap yang mendasari sejarah adalah: manusia, geografi,

kebudayaan, dan supernatural atau metafisik. Keempatnya dianggap sebagai

penyebab yang mengkondisikan sejarah manusia. Para sejarawan mengangkat

filsafat sejarah dari keempat faktor tersebut, terutama manusia sebagai titik

tolaknya. Jika tidak hati-hati, penulisan sejarah yang dihasilkan menjadi filsafat

sejarah yang deterministik.

Filsafat deterministik menolak semua penyebab yang berdasarkan

kebebasan manusia dalam menentukan dan mengambil keputusan. Manusia

menjadi robot karena ditentukan oleh kekuatan yang berada di luar dirinya.

Bentuk penafsiran deterministik ini tampil dalam determinisme rasial, penafsiran

geografis, interpretasi ekonomi, penafsiran teori “orang besar”, penafsiran

spiritual atau idealistik, penafsiran ilmu dan teknologi, penafsiran sosiologis, serta

penafsiran sintesis. (Sjamsuddin, 2016:103-104)

6
Penulisan sejarah pun tidak luput dari kritikus. Beberapa kesalahan yang

disebut D.H. Fischer sebagaimana dikutip oleh Sjamsuddin (2016:109) adalah

kekeliruan anakronisme, kekeliruan presentisme, kekeliruan antikuarian,

kekeliruan sejarah terowongan, kekeliruan periodisasi, kekeliruan teleskopik,

kekeliruan berkepanjangan, kekeliruan kronik, dan kekeliruan didaktik.

Kekeliruan anakronisme adalah kekeliruan yang terjadi ketika sejarawan

membuat deskripsi, narasi atau analisis, dan pertimbangan mengenai suatu

peristiwa, tidak jarang disebutkan seolah-olah terjadi pada suatu waktu yang lain

dari yang sebenarnya. Anakronisme dapat terjadi dalam beberapa bentuk. Contoh

kekeliruan anakronisme adalah kesalahan penempatan tanggal, penempatan objek,

peristiwa, atau kata-kata serta istilah-istilah. Dalam periodisasi sejarah di

Indonesia, kekeliruan anakronisme didapati sebagai kelemahan historiografi

modern.

Kekeliruan lain yang dapat terjadi dalam historiografi adalah kekeliruan

teleskopik dan kekeliruan berkepanjangan. Kekeliruan pertama adalah kekeliruan

yang terjadi karena membuat cerita panjang menjadi singkat. Sejarawan terdorong

untuk menciutkan apa yang seharusnya dapat ditulis dengan panjang lebar. Karena

ada bagian-bagian yang dihilangkan, hasilnya adalah suatu historiografi yang

tidak utuh. Sementara yang kedua adalah, kekeliruan yang terjadi karena membuat

cerita yang seharusnya pendek menjadi panjang. Hasilnya berupa tulisan yang

berkepanjangan dan bertele-tele. Salah satu kemungkinan penyebabnya karena

sumber materi sejarah yang kurang. (Sjamsuddin, 2016:112)

7
Pemamparan atau penyajian sejarah pun berdekatan dengan persoalan

objektivitas dan subjektivitas. Objektivitas berarti kebenaran mutlak, sesuai

dengan kenyataaan, netral, tidak memihak, dan tidak terikat. Tuntutan seperti ini

tentu cukup sulit untuk dipenuhi dalam disiplin ilmu sejarah.

Sejarah dipahami oleh para sejarawan sebagai catatan dan ingatan akan

masa lalu. Untuk itu, jika tidak ada catatan atau ingatan, tidak ada sejarah. Sebagai

catatan atau ingatan, tentu ada orang yang mencatat atau mengingat. Dalam

konteks inilah, sejarawan mempunyai pandangan-pandangan, prasangka-

prasangka yang dapat ditemukan dalam catatan atau ingatan tersebut. Akibatnya,

catatan atau ingatan akan masa lalu tersebut dapat memihak (bias), memuat

prasangka-prasangka kelompok, memuat teori-teori yang bertentangan tentang

penafsiran sejarah, dan memuat konflik-konflik filsafat yang mendasar. Dengan

kata lain, pemaparan atau penyajian sejarah tidak akan pernah lepas dari unsur

subjektivitas. Untuk itu, dalam metodologi sejarah, penjelasan (eksplanasi) sejarah

menjadi upaya para sejarawan untuk menjelaskan hubungan di antara pernyataan-

pernyataan mengenai fenomena-fenomena sejarah yang ada. Karya sejarah yang

dihasilkan mencakup hubungan kausalitas (sebab-akibat) dan bentuk-bentuk

penghubung lain (koneksi). Keduanya digunakan oleh para sejarawan ketika

mensintesiskan fakta-fakta sejarah yang dijumpai. (Sjamsuddin, 2016:121)

Dalam historiografi, pemaparan atau penyajian sejarah dapat dibagi menjadi

tiga jenis karya; deskriptif-naratif, analitis-kritis, dan gabungan keduanya.

Perwujudan historiografi yang deskriptif-naratif dan analitis-kritis merupakan dua

kutub dengan kekuatan dan kelemahan masing-masing. Pada perkembangan

8
berikutnya, para sejarawan mulai mengembangkan historiografi yang lebih

“moderat” untuk tidak terlibat dalam dikotomi tersebut. Para sejarawan mencoba

mengambil jalan tengah di antara dua kutub tersebut. Mengutip Burke,

Sjamsuddin (2016:151-152) menjelaskan ketiganya sebagai berikut:

1. Deskriptif-naratif

Sejarah yang bersifat naratif dapat disebut sebagai sejarah populer karena

menyandarkan diri pada peristiwa-peristiwa atau sejarah lama (tradisional). Dalam

penulisan sejarah, sejarawan berperan sebagai narator. Kelemahan jenis karya

deskriptif-naratif ini ada pada penulisan peristiwa-peristiwa sejarah yang hanya di

bagian permukaan saja.

2. Sejarah analitis-kritis

Penyajian sejarah yang bersifat analitis-kritis dianggap sebagai sejarah

akademik. Orientasi penyajian sejarah ini adalah permasalahan dan struktur

sehingga disebut sejarah struktural. Para sejarawan tidak lagi mengambil peran

sebagai narrator, melainkan sebagai analis yang membedah karya sejarah dari

sudut pandang akademis, dipilah-pilah, dan disusun secara runtut. Dengan

demikian, penulisan sejarah analitis-kritis lagi tidak bersifat naratif, tetapi lebih

bersifat akademis. Penyajian jenis ini terdapat dalam karya-karya ilmiah, jurnal,

tesis, atau desertasi. Oleh karena itu, sejarah struktural yang analitis tampil

sebagai karya sejarah yang terlalu kaku (statis) dan tidak historis (unhistorical).

9
3. Gabungan: deskriptif-naratif dan analitis-kritis

Penyajian sejarah terbaru tampil dalam gabungan karya deskriptif-naratif

dan analitis-kritis. Ada beberapa model yang ditunjukkan oleh Peter Burke dari

contoh-contoh yang dilakukan oleh para novelis atau pembuat film dapat dicontoh

oleh para sejarawan.

a. Teknik penulisan novel yang bercerita dari berbagai sudut pandang. Teknik

ini disebut heteroglossia. Cara ini memungkinkan beragamnya pendapat dan

tidak mustahil bertentangan satu sama lain.

b. Narasi sejarah menggunakan plot dasar sastra, antara lain: komedi, tragedi,

satir, dan roman.

c. Banyaknya narasi menggambarkan rangkaian peristiwa dan maksud-maksud

yang disadari oleh para pelaku sejarah, sekaligus melukiskan struktur-

struktur, seperti pranata sosial, lingkungan, budaya, lembaga sosial, dan cara

berpikir zamannya.

d. Cara menulis sejarah dengan model mikronaratif. Cara bercerita ini dapat

ditemui dalam konteks atau setting rakyat setempat.

e. Cara menulis sejarah dilakukan secara mundur. Cara bercerita ini dimulai

dari masa sekarang, kemudian bergerak mundur ke masa yang lebih tua.

Semua wujud penampilan, penyampaian, pemamparannya, dan bentuk

penyajian di atas, yaitu deskriptif-naratif, analitis-kritis, atau gabungan keduanya,

bermuara pada sintesis yang dikenal dengan historiografi.

10
C. Historiografi di Indonesia

1. Historiografi Tradisional

Tradisi sejarah masyarakat Indonesia berkembang pada masa aksara, yaitu

masa ketika masyarakat Indonesia sudah mengenal tulisan. Pada masa ini, tradisi

direkam melalui tulisan yang disebut naskah. Naskah inilah yang menjadi sarana

untuk mewariskan kisah-kisah masa lalu kepada generasi berikutnya.

Di Indonesia, naskah-naskah tersebar di berbagai daerah. Pada umumnya,

bahasa yang digunakan adalah bahasa daerah asal naskah tersebut; Sunda, Jawa,

Bugis, Melayu, Aceh, dan Minang. Hal ini menunjukkan bahwa bangsa Indonesia

memiliki kesadaran sejarah yang sangat tinggi.

Dalam periodisasi sejarah di Indonesia, historiografi tradisional dimulai

pada masa Hindu Buddha. Sebutan tradisional tersebut berdasar pada tahun ketika

naskah itu ditulis, tempat penulisan naskah, dan bentuk cerita yang dikisahkan

dalam naskah. Pada masa ini, dikenal beberapa jenis historiografi tradisional,

antara lain prasasti, babad, dan hikayat. Tiga jenis historiografi ini tampil sebagai

ekspresi budaya dan bentuk keprihatinan sosial masyarakat atau kelompok

sosialnya. Bahasa, adat istiadat, dan khasanah nilai-nilai budaya adalah beberapa

faktor yang sangat mempengaruhi penulisan naskah-naskah, tulisan-tulisan, dan

manuskrip-manuskrip. (Tarunasena, 2009:59)

Karena dipengaruhi sistem kepercayaan masyarakatnya, historiografi

tradisional sarat dengan unsur-unsur mistis masyarakat setempat. Unsur-unsur ini

tampil dalam figur tokoh-tokoh cerita tertentu. Kisah-kisah tersebut bersumber

pada kepercayaan akan kekuatan yang menjadi pangkal seluruh semesta.

11
Fakta-fakta sejarah belum diberi tempat dalam historiografi tradisional.

Salah satu fungsi menempatkan unsur mistis dalam historiografi tradisional adalah

untuk memberi bentuk legitimasi dan kesan mistis dalam narasi tokoh historis.

Hal ini dapat ditemui dalam kisah silsilah raja-raja. Selain memberi kesan mistis,

dengan menempatkan raja sebagai keturunan dari dewa tertentu, penulisan tokoh

tersebut hendak menegaskan bentuk legitimasi kekuasaan yang diterimanya dari

para dewa. (Tarunasena, 2009:60)

Berdasarkan ciri-cirinya, historiografi tradisional di Indonesia dapat

dikelompokkan menjadi dua jenis, yaitu historiografi masa Hindu-Buddha dan

historiografi masa Islam. Keduanya dijelaskan sebagai berikut:

a. Historiografi Masa Hindu-Buddha

Pada masa ini, historiografi tradisional berkembang bersamaan dengan

tradisi tulisan. Di berbagai tempat di Indonesia, periode masa ini dibuktikan

dengan penemuan prasasti-prasasti yang ditulis menggunakan bahasa Sansekerta

dan huruf Pallawa. Prasasti inilah yang merekam kejadian penting, menegaskan

legitimasi kerajaan, dan menunjukkan kuatnya pengaruh budaya India.

Secara umum, historiografi tradisional pada masa Hindu-Buddha dapat

ditemukan dalam karya-karya terjemahan naskah-naskah dari India. Karya-karya

yang dihasilkan bersifat religiomagis. Artinya, karya-karya tersebut memuat

kepercayaan yang meyakini adanya kekuatan di atas manusia dan adanya

kekuatan gaib yang menguasai alam sekitar.

12
Isi karya historiografi tradisional pun bersifat istanasentris. Hal ini tampil

dalam gambaran bahwa istana adalah tempat yang sakral dan memiliki pengaruh.

Hal ini dapat ditemui dalam kisah-kisah yang berkembang di berbagai daerah. Di

Jawa Barat misalnya, silsilah para Bupati selalu dihubungkan dengan tokoh mitos,

yaitu Prabu Siliwangi. Silsilah tersebut dibuat dengan tujuan agar dapat

memberikan dasar legitimasi bagi raja atau penguasa bahwa dia adalah keturunan

tokoh yang sakral atau berpengaruh. (Tarunasena, 2009:63)

Ciri-ciri di atas menunjukkan bahwa ekspresi budaya dan religiositas masih

berada pada taraf yang sangat sederhana. Karya-karya sejarah yang dihasilkan

berusaha menjelaskan dan memperkokoh nilai-nilai, tatanan, dan norma-norma

sosial budaya yang dihidupi sehari-hari. Untuk itu, unsur kekuasaan adikodrati

yang ditemui di sekitarnya tidak dapat dilepaskan dari naskah-naskah yang

dihasilkan.

Hal ini pun dapat ditemui dalam karya-karya pujangga keraton yang hidup

di lingkungan istana. Tulisan-tulisan yang dihasilkan berhubungan erat dengan

konsep bahwa raja adalah titisan dewa yang harus ditempatkan lebih tinggi

daripada masyarakat pada umumnya. Dengan demikian, keberadaan prasasti,

babad, kronik menunjukkan legitimasi raja, menandakan peristiwa penting, dan

memuji kebesaran raja. Namun, masih dapat ditemukan bahwa kisah-kisah

tersebut masih berdekatan dengan unsur mitos dan cerita takhayul.

Karya-karya historiografi tradisional tidak hanya berisi tentang kisah

sejarah. Beberapa karya historiografi tradisional tersebut sangat kaya dengan

ajaran agama, hukum, adat-istiadat, filsafat politik, sastra, dan doa. Namun, sesuai

13
konteks diskursus ini, karya historiografi tradisional adalah naskah yang berisi

cerita sejarah. Ciri-ciri karya historiografi tradisional ini masih dipengaruhi nilai

mistis dan tidak mengikuti kaidah logis serta akademis. Contoh-contoh karya

historiografi tradisional pada masa ini adalah Pararaton, Negarakertagama,

Mahabarata, dan Ramayana. (Rahata. dkk, 2016:107)

b. Historiografi Masa Islam

Historiografi pada masa ini berkembang seiring berkembangnya pengaruh

kebudayaan Arab di Indonesia. Perkembangan kerajaan-kerajaan Islam di

Indonesia mendorong karya historiografi tradisional ditulis dengan ciri-ciri yang

berbeda dari historiografi pada masa Hindu-Buddha.

Meski masih mengandung unsur mitos, karya historiografi masa Islam

sudah menonjolkan kisah seseorang yang mendapat wahyu sebagai legitimasi

keterpilihannya sebagai raja. Pada masa ini, sudah dikenal unsur kronologi pada

kisah-kisah asal-usul raja atau latar belakang berdirinya sebuah kerajaan. Untuk

itu, karya-karya historiografi pada masa ini sangat berdekatan dengan proses

masuk dan berkembangnya agama Islam di Pulau Jawa. Dengan demikian, karya-

karya tersebut sarat dengan kisah yang menuturkan lingkungan etnis tertentu

(etnosentris). (Rahata. dkk, 2016:108)

Perkembangan historiografi tradisional pada masa ini pun masih bersifat

istanasentris. Namun, legitimasi kekuasaan raja diganti dengan konsep

kalifatullah, yaitu raja sebagai wakil Tuhan di dunia. Hal ini menunjukkan adanya

pengamalan ajaran agama yang dilakukan oleh para pemimpin pada masa Islam.

14
Kisah-kisah tersebut pun masih memuat unsur-unsur mitos dan legenda

yang digunakan secara simbolis untuk memberi legitimasi kepada raja dan

keturunannya yang berkuasa. Contoh karya historiografi tradisional pada masa ini

adalah Hikayat Raja-Raja Pasai, Hikayat Aceh, Babad Tanah Jawi, Babad Demak,

dan Babad Giyanti.

Historiografi tradisional menampilkan budaya masyarakat setempat. Dari

karya ini, dikenallah silsilah yang ditulis runtut dan kronologis. Untuk itu, tekanan

ditempatkan pada struktur, bukan proses. Dalam konteks inilah, dapat dipahami

pentingnya legitimasi raja dan peristiwa yang dianggap penting pada periode

kekuasaan raja tertentu.

Historiografi tradisional pun masih sangat subjektif. Setiap karya yang

dihasilkan menonjolkan sifat istanasentris, kehidupan raja dan bangsawan.

Dengan demikian, karya historiografi tradisional sangat terbatas, terutama karena

tidak memberi tempat pada kehidupan sosial ekonomi masyarakat pada umumnya.

Historiografi tradisional ini pun tidak melandasi penulisannya dengan

metodologi penulisan yang jelas. Unsur mitos dan realitas bercampur aduk dalam

penulisan karya historiografi tradisional. Dengan kata lain, jika harus ditelusuri

kembali, sumber-sumber data penulisannya mustahil untuk dibuktikan. (Rahata.

dkk, 2016:109-111)

2. Historiografi Kolonial

Historiografi kolonial adalah penulisan sejarah yang dilakukan oleh seorang

sejarawan yang tinggal di daerah koloni atau jajahan. Kepentingan penulisan

15
sejarah yang dilakukan tentu saja tidak terlepas dari kepentingan penguasa

kolonial yang berusaha untuk melegitimasi kekuasaannya di daerah koloni. Dalam

konteks Indonesia, historiografi kolonial berarti tulisan sejarah karya sejarawan

yang dilakukan pada masa pemerintahan kolonial.

Karakteristik historiografi kolonial sarat dengan penulisan yang subjektif.

Di Indonesia, fokus kajian sejarawan lebih banyak mencatat aktivitas para

pegawai Belanda dan kegiatan gubernur jenderal. Dengan demikian, sumber-

sumber lokal seperti babad, hikayat, kronik, atau tradisi lisan seringkali diabaikan.

Penulisan historiografi kolonial pun sering bersifat diskriminatif. Demi

mendapat keuntungan psikologis, ekonomis, dan politis, penulisan historiografi

tidak sesuai dengan fakta-fakta historis. Bahkan, sejarawan pun menggunakan

unsur mitos dalam tulisannya untuk menegaskan bahwa wilayah Indonesia adalah

daerah kekuasaan Belanda. Sejarawan kolonial menciptakan mitos bahwa bangsa

Belanda adalah tuan atas wilayah Indonesia.

Sudut pandang yang tidak berimbang inilah yang membuat historiografi

kolonial ditulis berdasarkan unsur kepentingan. Kehidupan bangsa Indonesia

adalah fokus sekunder yang tidak perlu diberi tempat penting. Untuk itu,

historiografi kolonial bersifat eropasentrisme dan neerlandosentrisme. Artinya,

sejarah Indonesia ditulis berdasarkan sudut pandang dan kepentingan orang-orang

Belanda (Eropa) yang saat itu sedang berkuasa (menjajah) di Indonesia. Dalam

historiografi kolonial, aktivitas orang Belanda, pemerintahan kolonial, dan

kegiatan para pegawai kolonial yang menjalankan tugasnya di Indonesia menjadi

fokus utama kajian sejarah. Dengan kata lain, historiografi kolonial menganggap

16
keberadaan orang-orang Indonesia tidak terlalu penting dan tidak memiliki

pengaruh. (Rahata. dkk, 2016:113)

Perkembangan historiografi kolonial di Indonesia berkembang dengan

pesat. Setelah perkembangan VOC pada pemerintahan Hindia Belanda, penulisan

historiografi kolonial dilanjutkan oleh pemerintah Inggris pada 1811.

Historiografi kolonial yang dikenal pada masa ini adalah History of Java karya

Gubernur Jenderal Thomas Stamford Raffles.

Tokoh yang mempengaruhi perkembangan historiografi kolonial adalah

Leopold von Ranke. Ranke berpendapat bahwa sejarah dunia adalah sejarah dari

Barat. Sejarah bangsa lain akan dibahas jika memiliki keterkaitan dengan bangsa

Eropa. Dalam Geschiedenis van Nederlandsche-Indie (Sejarah Hindia Belanda)

karya F.W. Stapel, seorang penulis Belanda bernama J.C. van Leur mengkritik

penulisan historiografi kolonial dengan menegaskan “Jangan melihat kehidupan

masyarakat dari atas geladak kapal saja”. Kritik ini mengingatkan para penulis

atau sejarawan kolonial agar dalam menulis sejarah tidak hanya dari sudut

penguasa. (Rahata. dkk, 2016:114)

Beberapa contoh historiografi kolonial dari masa VOC sampai berakhirnya

kekuasaan Belanda di Indonesia adalah Beknopt Leerboek der Geschiedenis van

Nederlandsch Oost-Indie karya A.J. Eijkman dan F.W. Stapel, Oud en Niew Oost-

Indie karya Francois Valentijn, Indische Geschiedenis karya J. Haan dan H. Uljee,

Nederland in de Oost karya M.W.F. Treb, Geschiedenis van Indonesie karya H.J.

de Graaf, Geschiedenis van Java karya W. Fruin Mees dan Rijklofs van Goens,

17
History of Java karya Gubernur Jenderal Thomas Stamford Raffles, dan Max

Havelaar karya E.F.E. Douwes Dekker. (Rahata. dkk, 2016:116-117)

Meskipun tidak berimbang, historiografi kolonial tetap memuat fakta-fakta

sejarah yang dapat digunakan sebagai sumber primer. Namun, karena

subjektivitas penulisan yang cukup tinggi, sejarawan kolonial mengesampingkan

sumber-sumber lokal seperti syair-syair, hikayat, babad, dan kronik yang telah ada

di lingkungan masyarakat. Alhasil, karya historiografi kolonial memiliki

kekurangan data kualitatif dari sumber lokal.

Kekurangan tersebut dapat dibaca pada buku tentang sejarah kolonial yang

menuliskan hal-hal yang kaku dan dibuat-buat. Hanya sedikit karya historiografi

yang membahas tentang aktivitas rakyat pribumi. Sebaliknya, karya historiografi

kolonial banyak memberi tempat pada aktivitas para pejabat dan pegawai

pemerintahan Belanda di Indonesia. Dengan demikian, kurangnya data kualitatif

dari sumber lokal bersumber pada pola pikir sejarawan kolonial yang menganggap

tulisan pribumi terlalu rendah sehingga ia tidak berusaha meneliti sumber tersebut

dengan jeli. (Rahata. dkk, 2016:116)

Seiring perkembangan teknologi mesin cetak, penulisan karya historiografi

kolonial dipermudah dengan biaya yang lebih murah. Penyebaran karya

historiografi kolonial yang dihasilkan pun dapat lebih meluas. Hingga saat ini,

sumber-sumber kolonial inilah yang disimpan dengan rapi di Belanda dalam

jumlah yang cukup banyak. Namun, harus diakui bahwa akses atas sumber-

sumber kolonial tersebut masih terbatas.

18
3. Historiografi Modern

Historiografi modern lahir sebagai tanggapan atas historiografi kolonial.

Karya-karya yang dihasilkan menjadi upaya melepaskan diri dari kolonialisme

dalam penulisan sejarah. Sebagai babak baru dalam perkembangan historiografi,

nasionalisme diberi tempat tersendiri. Hal ini menjadi bentuk perlawanan terhadap

penjajahan.

Berbeda dengan historiografi tradisional, historiografi modern bersifat

indonesiasentris. Sudut pandang dan kepentingan bangsa dipakai sebagai tolok

ukur dalam penulisan sejarah di Indonesia. Dengan demikian, karya historiografi

yang tidak menempatkan kehidupan orang-orang Indonesia sebagai subjek utama,

dikesampingkan. Alasannya, karya-karya tersebut berpotensi merugikan proses

pembangunan, terutama dalam mengembangkan sikap nasionalisme. Untuk itulah,

historiografi modern tidak terbatas pada penulisan sejarah orang-orang besar,

tetapi sudah memberi tempat pada peran para petani dan kondisi sosial ekonomi

rakyat kecil. (Tarunasena, 2009:67)

Historiografi ini pun bersifat metodologis. Kaidah-kaidah penulisan ilmiah

dalam ilmu sejarah digunakan secara ketat. Jika historiografi tradisional tidak

terlalu mementingkan fakta, historiografi modern sangat mementingkan fakta

dengan pendekatan multidimensional. Dengan pendekatan ini, sumber kolonial

dan lokal digunakan oleh sejarawan. Perbandingan keduanya dipakai oleh

sejarawan agar validitas dan kredibilitas fakta yang ditemukan dapat

dipertanggungjawabkan. Oleh karena itu, substansi dan isi karya historiografi

modern dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.

19
Historiografi modern pun berkembang pesat. Hal ini ditandai dengan

munculnya tokoh-tokoh intelektual nasional yang berusaha memikirkan nasib

bangsanya dengan menuangkan pemikirannya dalam bentuk tulisan. Pasca

kemerdekaan Indonesia, penulisan historiografi modern bermanfaat untuk

menunjukkan legitimasi pemerintahan Indonesia yang berdaulat. Para sejarawan

menuliskan peristiwa besar yang bersifat nasionalis dan mengobarkan semangat

kebangsaan untuk menunjukkan eksistensi bangsa.

Beberapa contoh historiografi modern adalah Pemberontakan Petani Banten

1888 karya Prof. Dr. Sartono Kartodirdjo, Autobiografi Soekarno karya Cindy

Adams, Revolusi Pemuda karya Benedict Anderson, Islam dan Masyarakat karya

Taufik Abdullah, dan Sukarno, Tentara, PKI karya Rosihan Anwar. (Rahata. dkk,

2016:122-123)

Historiografi modern tidak lagi memberi tempat pada religiomagis dan

etnosentris (berpusat pada etnis/daerah tertentu). Pendekatan ilmiah dan

kebangsaan diberi tempat penting sehingga sudut pandang historiografi modern

menjadi indonesiasentris. Dengan demikian, penulis tidak lagi terjebak dalam

subjektivitas karena telah menggunakan metode penulisan yang kritis, struktural,

analitis, sekaligus menggunakan pendekatan multidimensional.

Prinsip indonesiasentris dalam historiografi modern tentu saja berdampak

pada pemahaman sejarah yang cenderung tidak cocok dengan zaman tertentu.

Banyak fakta sejarah, sosial, budaya pada masa kolonial tidak ditulis karena

dianggap bukan bagian dari sejarah Indonesia. Dengan demikian, dapat dipahami

bahwa pada awal perkembangannya, historiografi modern cenderung menjauh

20
dari sejarah objektif. Kecenderungan ini muncul karena nasionalisme yang

ditonjolkan dalam historiografi terlalu berlebihan tanpa mengutamakan penelitian

yang detail dan akurat.

Ketidakobjektifan historiografi indonesiasentris ini tercermin dalam karya

generasi awal sejarawan Indonesia pascakemerdekaan. Dalam karyanya Enam

Ribu Tahun Sang Merah Putih, Yamin mencoba meyakinkan bangsa Indonesia

bahwa sejarah bendera nasional Indonesia, Merah Putih, telah digunakan sejak

enam ribu tahun yang lalu. Dasar penafsiran ini adalah penemuan warna pada

masyarakat Indonesia masa praaksara. Selain itu, kebiasaan tradisional bubur

merah dan putih menjadi dasar untuk menjelaskan kesakralan arti simbol warna

merah putih. (Rahata. dkk, 2016:122)

21
BAB III

PENUTUP

A. Simpulan

Perbedaan penelitian sejarah dengan ilmu-ilmu lain adalah masalah sumber

penelitian. Ilmu sejarah adalah ilmu empiris. Artinya, sejarah sangat tergantung

pada pengalaman manusia. Pengalaman ini terekam pada dokumen atau sumber

sejarah.

Peristiwa sejarah hanya terjadi sekali dan tidak terulang. Untuk itu,

historiografi memerlukan teknik tersendiri dalam penelitian agar dapat

menghasilkan karya yang baik. Sumber utama penelitian sejarah adalah dokumen

sejarah. Dokumen-dokumen inilah yang menjadi obyek utama para peneliti dalam

merekonstruksi fakta-fakta sejarah.

Setelah fakta-fakta sejarah dipahami secara menyeluruh, para peneliti

sejarah harus melakukan interpretasi untuk menentukan makna dan arti yang

saling berhungan dari fakta-fakta yang diperoleh. Hasilnya adalah sintesis yang

harmonis dan logis. Akhirnya, para peneliti sejarah menyajikan hasil penelitian

dalam bentuk historiografi atau penulisan sejarah yang runtut, sistematis, dan

dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.

B. Saran

Dalam dua dasawarsa terakhir, perkembangan ilmu sosial di Indonesia

sangat pesat, termasuk di dalamnya ilmu sejarah. Dari sudut pandang kesenjangan

22
antargenerasi, generasi sekarang sangat memahami Zeitgeist (jiwa zaman) seluruh

gejolak dan keresahan yang terjadi saat ini. Untuk itu, keunggulan para sejarawan

generasi ini adalah sejarawan sekaligus generasi milenial.

Masa depan historiografi Indonesia berada di tangan para sejarawan

milenial. Banyak di antara para sejarawan muda tersebut dididik dalam tradisi

akademik Eropa dan Amerika. Hal ini memungkinkan pendekatan, metodologi

dan tema yang sangat beragam. Situasi inilah yang diharapkan mendorong

historiografi Indonesia semakin mandiri dan tidak bergantung kepada “mazhab-

mazhab” tertentu dalam ilmu sejarah. Tentu saja, sikap kritis tetap harus diberi

tempat dalam perkembangan disiplin ilmu sejarah.

23
DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Taufik. (2006). ‘Historiografi dalam Denyut Sejarah Bangsa’

disampaikan dalam Ceramah Ilmiah Historiografi Indonesia dalam

Perspektif Sejarah di Teater Salihara, Selasa, 26 Januari 2016,

diakses dari http://salihara.org/kalam/back-issues/detail/historiografi-

dalam-denyut-sejarah-bangsa pada Senin, 22 Oktober 2018

Ahsan, Ivan Aulia. (2017). Historiografi Indonesia di Tangah Sejarawan

Milenial. Diakses dari https://tirto.id/historiografi-indonesia-di-tangan-

sejarawan-milenial-cwla pada Senin, 22 Oktober 2018

Kuntowijoyo. (1995). Pengantar Ilmu Sejarah. Yogyakarta: Penerbit Bentang

Budaya

Rahata, Ringo, dkk. (2016). Sejarah Peminatan Ilmu-Ilmu Sosial. Klaten: Intan

Pariwara

Subekti, Slamet. (2010). Tinjauan Kritis terhadap Kecenderungan Historiografi

Indonesia Masa Kini. Diakses dari https://media.neliti.com/media/

publications/5045-ID-tinjauan-kritis-terhadap-kecenderungan-

historiografi-indonesia-masa-kini.pdf pada Senin, 22 Oktober 2018

Sjamsuddin, Helius. (2016). Metodologi Sejarah. Yogyakarta: Penerbit Ombak

Tarunasena, M. (2009). Sejarah SMA/MA untuk Kelas X. Jakarta: Pusat

Perbukuan Departemen Pendidikan Nasional

24

View publication stats

Anda mungkin juga menyukai