Anda di halaman 1dari 9

SEJARAH SEBAGAI SUBJEK

Kelompok 10
Aprilia Van Gobel (911421055)
Claudea Anisa Adam (911421156)
Nurlindawati Amrain (911421129)

Dosen Pembimbing
Drs. Resmiyati Yunus, M. Pd

Universitas Negeri Gorontalo


Fakultas Ekonomi
Tahun 2021
Subjek Sejarah
Seorang pemula dengan mudah dapat
menemukan suatu subjek yang menarik minatnya
dan subyek itu akan layak untuk diselidiki,
setidak-tidaknya pada tahapan pengantar. Ia
hanya perlu menanyakan empat perangkat
pertanyaan.
1. Bentuk pertanyaan bersifat geografis. Yang
menjadi fokus adalah introgatif: “Dimana?”
wilayah dunia yang mana yang ingin saya
pelajari? Asia Timur? Brazil? Negri? Kota
saya? Kampung saya?.
2. Bentuk pertanyaan bersifat biografis. Dan di
pusatkan di sekitar introgatif: “Siapa?” saya
menaruh minat apa? Orang Cina? Orang
Yunani? Nenek moyang saya? Tetangga
saya? Seorang tokoh yang terkenal?.
3. Bentuk pertanyaan bersifat kronologis. Dan
dipusatkan disekitar introgatif: “Bilamana?”
Periode yang mana pada masa lampau yang
ingin saya pelajari? Sejak awal sampai
sekarang? Abadi ke sebelum Masehi? Abad
pertengahan? 1780? Tahun yang lalu?.
4. Bentuk pertanyaan bersifat fungsional, atau
okupasionil dan berkisar disekitar introgatif:
“Apa?” lingkungan manusia yang mana yang
paling menarik minat saya? Kegiatan manusia
jenis apa? Ekonomi? Sastra? Atletik? Sex?
Politik?.

Subjektivitas adalah kesaksian atau


tafsiran yang merupakan gambaran hasil perasaan
atau pikiran manusia. Jadi, subjektivitas adalah
suatu sikap yang memihak dipengaruhi oleh
pendapat pribadi atau golongan, dan dipengaruhi
oleh nilai-nilai yang melingkupinya. Dalam
sejarah subjektivitas banyak terdapat dalam
proses interpretasi. Sejarah, dalam
mengungkapkan faktanya membutuhkan
interpretasi dan interpretasi melibatkan subyek.
Dalam subjektivisme, dimana objek tidak lagi
dipandang sebagaimana seharusnya, tetapi
dipandang sebagai kreasi dan konstruksi akal
budi. Subjektif diperbolehkan selama tidak
mengandung subjektivistik yang diserahkan
kepada kesewenang-wenangan subjek, dan
konsekuensinya tidak lagi real sebagai objektif.
Dalam suatu peninggalan sejarah, seorang
sejarawan menggunakan analisis dan
penafsirannya. Disinilah akan muncul
subjektivitas dalam penulisan sejarah. Dia
berusaha untuk menerangkan mengapa,
bagaimana peristiwa terjadi dan mengapa saling
berhubungan dengan peristiwa lain serta berupaya
menceritakan apa, bilamana, dimana terjadi dan
siapa yang ikut serta didamnya. Sehingga dalam
penulisannya lebih bermakna.
Dalam merekonstruksi suatu peristiwa
sejarah tidaklah akan untuk bagaimana peristiwa
itu terjadi dimasa lampau. Hal ini disebabkan
karena banyaknya hal atau rangkaian peristiwa
yang hilang atau memang sengaja dihilangkan.
Karena alasan itu juga, penafsiran dari seorang
sejarawan sangat diperlukan untuk
menghubungkan suatu peristiwa dengan peristiwa
yang lain. Sehingga mendekati kebenaran. Dari
sini dapat dilihat bahwa suatu penulisan peristiwa
sejarah itu tidak dapat lepas dari unsur
subjektivitas. Karena dalam penulisan sejarah itu
tidak dapat objektif 100%. Dalam penulisan
sejarah, seseorang tidak dapat melepaskan
subjektifitasnya. Terdapat dua faktor utama yang
dapat menjadikan suatu penulisan sejarah bersifat
subjektif, yaitu :

1. Pemihakan pribadi (personal bias) : Persoalan


suka atau tidak suka pribadi terhadap
individu-individu atau golongan dari
seseorang dapat memengaruhi subjektivitas
dari penulisan sejarah.
2. Prasangka kelompok (group prejudice) :
Keanggotaan sejarawan dalam suatu
kelompok (rasa, golongan, bangsa, agama)
dapat membuat mereka memiliki pandangan
yang bersifat subjektif dalam mengamati
suatu peristiwa sejarah.

Subjektif merupakan unsur personal bias


atau pandangan pribadi seorang sejarawan yang
berimajinasi merekonstruksi peristiwa masa
lampau dengan bertolak pada dokumen (docere
atau mengajar) yang valid dan otentik. Dalam
bukunya, Sartono Kartodirjo mengatakan sejarah
dalam arti subjektif adalah suatu konstruk yang
berarti sebuah bangunan yang disusun oleh
penulis sejarah sebagai suatu uraian atau
rangkaian cerita. Uraian atau rangkaian cerita itu
merupakan suatu kesatuan atau unit yang
mencakup fakta-fakta terangkaian untuk
menggambarkan suatu gejala sejarah baik proses
maupun struktur.

Subjektivitas berangkat dari penalaran


individu secara kontekstual. Dalam metode
Sejarah, Asas dan Proses (E.Kosim: 1983),
disebutkan beberapa hal yang dapat menimbulkan
subjektivitas dalam proses pengkajian peristiwa
sejarah, yakni :

1) Pandangan pribadi (personal bias)


2) Prasangka kelompok (group prejudice)
3) Teori interpretasi yang bertentangan dan
berbeda

Semua faktor tersebut adalah alasan


mengapa dalam suatu penulisan sejarah muncul
unsur subjektivitas. DR. Sulasman berpendapat
mengenai hal ini, menurutnya dalam setiap
penulisan sejarah (historiografi), pandangan yang
beragam merupakan hal yang lumrah terjadi.
Beliau memberikan contoh dalam karya para
sejarawan lokal. Seperti dalam karya Prof.
Mansur Suryanegara berjudul “API SEJARAH”,
disebutkan bahwa subtansi mengenai penjelasan
Kemerdekaan Indonesia adalah hasil perjuangan
para ulama dan santri. Berbeda halnya dengan
pandangan Nugroho Notosusanto dalam Sejarah
Nasional Indonesia jilid IV, beliau menjelaskan
peran daripada tokoh Nasional seperti M. Natsir,
Bung Karno, Aa Maramis, Bung Hatta, dan lain
sebagainya.

Konteks ini bersifat subjektif dalam artian


konstruk yang berbeda. Dari penjelasan mengenai
mengapa adanya subjektivitas dalam kajian ilmu
sejarah, kami melihat adanya undur pandangan
pribadi sang sejarawan, ilmu bantu yang
digunakan, serta teori sejarah uang dipakai Prof.
Mansur sebagai seorang mubaligh, sejarawan
muslim, dan tokoh pendidik, yang berlatar
muslim sebagai pandangannya memiliki
pandangan pribadi sebagaimana tertera di atas
bahwa Kemerdekaan Indonesia adalah berangkat
dari perjuangan para ulama dan santri.

Konsepsi subjektivisme jelas


mengabaikan hakikat yang sebenarnya dari
kegiatan tahu dan korelasi neomatiknya. Dalam
subjektivisme, objek tidak dinilai sebagaimana
mestinya, tetapi dipandang sebagai sebuah kreasi,
konstruksi akal budi. Sedangkan objektivitas
diperoleh hanya jika subjek dieliminasi dari
kegiatan perjumpaan, yakni kegiatan tahu. Tetapi
menyingkirkan subjek dari kegiatan perjumpaan
berarti menghancurkan kegiatan tahu itu sendiri.
Maka objektivitasnya akan berupa objektivisme,
dan realitas-objektifnya adalah realitas-objektif.
DAFTAR PUSTAKA

Notosusanto, Nugroho. “Mengerti Sejarah”.


Jakarta: UI Press. 1986

Anda mungkin juga menyukai