Anda di halaman 1dari 11

OBJEKTIVITAS DAN

SUBJEKTIVITAS DALAM PENULISAN


SEJARAH
Oleh

LALU MURDI

A. Makna Obyektivitas dan Subyektivitas dalam


Penulisan Sejarah
Dalam sebuah kuliah umum di Hotel Grage Yogyakarta,
Prof.Dr.Bmbang Purwanto mengatakan bahwa subyektifitas
dalam penulisan sejarah selalu hadir, karena penulis sejarah
(sejarawan) tidak akan mampu mengungkapkan peristiwa sejarah
yang begitu komleks yang pernah terjadi pada masa lampau,
hanyalah bagian kecil dari peristiwa yang dilakukan oleh manusia
tersebut dapat teridentifikasi oleh penulisan sejarah. Karena
merupakan hasil rekonstruksi dan bukan aslinya maka sejarah
dikatakan subjektif. Adapun sejarah yang obyektif seperti
kesepakatan dari sejarawan adalah adalah apa yang sebenrnya
terjadi atau peristiwanya itu sendiri dan tidak bisa terulang
lagi, dengan demikian untuk mendapatkannya sejarawan
memerlukan dokumen, wawancara (sejarah lisan) dan
pengungkapan kembali tradisi lisan untuk masa prasejarah.
Setiap pengungkapan atau atau penganggapan telah
melewati proses “pengolahan” dalam pikiran dan angan-angan
seorang subjek. Kejadian sebagai sejarah dalam arti objektif
atau aktualitas di amati, dialami, atau dimasukkan ke pikiran
subjek sebagai persepsi, sudah barang tentu sebagai ‘masukan”
tidak akan pernah tetap murni atau jernih sebagai Ding an sich
(benda tersendiri) tetapi telah diberi “ warna” atau “rasa”
sesuai dengan “kacamata” atau “ selera” subjek (Srtono
Kartodirdjo, 1992: 62).
Walaupun pada dasarnya perasangka dalam arti subyektif
individu tidak pernah lepas namun yang tidak diinginkan adalah
adalanya perasangka yang ekstrim, dalam artian perasaan suka-
tidak suka, senang-tidak senangharis di hindari, kesimpulan atau
penjelasan ilmiah harus mengacu hanya pada fakta yang ada,
sehingga setiap orang dapat melihatnya secara sama pula tanpa
melibatkan perasaan peribadi yang ada pada saat itu (Uhar
Suharsaputra, 2004: 49). Artinya bahwa dalam penulisan ilmiah
prasangka memang ada namun kecendrungan untuk suka-tidak
suka yang ditunjukkan untuk menggambarkan sesuatu misalnya
adalah suatu kesalahan.
Sejalan dengan itu berbicara tentang sikap atau pendangan
suatu bangsa sudah barang tentu hal itu dihubungkan dengan
konteks kebudayaan masyarakatnya, yaitu ikatan kulturalnya.
Umum mengetahui bahwa individu dijadikan anggota masyarakat
lewat proses sosialisasi atau enkulturasi, suatu proses yang
membudidayakan pada diri individu serta membentuk seluruh
pikiran. Perasaan, dan kemauannya dengan menolaknya menurut
struktur ideasional, estetis, dan etis yang berlaku dalam
masyarakat. Kesemuanya perlu melembaga dalam diri individu,
sehingga tidak berlebihan apabila dia ada dalam keterikatan
pada kebudayaannya. akibatnya ialah bahwa ada padanya
subyektivitas kultural yang sangat mempengaruhi pandangannya
terhadap sejarah (Kartodirdjo, 1992: 63-64).
Lebih lanjut dikatakan bahwa subjektivitas kultural telah
mencakup subjektivitas waktu atau zaman oleh karena
kebudayaan bereksistensi dalam waktu tertentu.Dalam banyak
karya sejarah subyektivitas zaman disebut tersendiri, bahkan
sering dipakai pula istilah jiwa zaman atau Zeitgeist. Pengertian
yang sangat abstrak ini menunjuk pada suasana atau iklim
mentral yang dominan pada suatu waktu dan berpengaruh pada
segala macam manifestasi gaya hidup masyarakat, antara lain
materialistis atau idealistis, tredisionalistis atau moderinistis,
religious atau sekuler, dan lain sebagainya (Sartono Kartodirdjo,
1992: 64). Pandangan ini memberikan wawasan pada kita bahwa
pada dasarnya dalam penulisan sejarah bukan untuk masa
lampaunya, akan tetapi untuk masyarakat yang sejaman untuk
memahami masa lalu tersebut dan untuk generasi yang akan
datang yang mungkin dengan pengaruh nilai yang berbeda akan
berbeda pula dalam menapsirkan masa lalu yang sama. Namun
bagaimanapun seorang sejarawan supaya tidak terjadi
antikuarian dalam istilah Sartono, maka pemahaman jiwa zaman
yang di lalui oleh pelaku dan peristiwa zamannya harus di pahami
dengan benar.
Subjektivitas waktu akan terasa amat sulit untuk diatasi,
terutama dalam usaha menggarap sejarah kontemporer (masa
kini). Jarak waktu yang amat dekat membuat perspektif sejarah
kurang jelas dan kabur, terutama karena orang belum dapat
membuat distansi dengan peristiwa yang hendak ditulis.
Keterlibatan penulis sendiri secara langsung masih besar. Masih
banyak pelaku yang masih hidup atau sanak saudaranya, dan lain
sebagainya. Lagi pula, banyhak dokumen belum terbuka untuk di
teliti. Penafsiran mudah tercampur dengan pandangan partisan
yang mengakibatkan kesepihakan. Sering pula pandangan serta
interpretasi bertentangan dengan versi pihak yang sedang
berkuasa (establishment). Secara mudah subjektivitas
memasuki penulisan sejarah (Kartodirdjo, 1992: 64-65). Bukan
hanya itu, ada juga kesalahan sejarawan yang menganggap
pendapat prinadi sebagai fakta. Sejarawan yang melihat
pendapat dan kesenangan pribadi berlaku umum dan sebagai
fakta sejarah. Misalnya pada tahun 1910-an di Surakarta ada
wanita yang pandai memainkan musik barat, prestasi pribadi
semacam itu tidaklah dapat dianggap sebagai bukti bahwa pada
zaman itu sudah pandai memainkan musik. Inilah contoh
Subjektivitas pembenaran oleh pandangan pribadi (Kuntowijoyo,
2005: 172-173).
Memang secara transparan kita bisa melihatnya pada karya-
karya sejarah yang banyak di keritisi pada zaman reformasi ini,
sebut saja sejarah national indinesia terutama jilid VI banyak
mendapatkan keritikan karena di dalamnya hanya membenarkan
pihak yang berkuasa, dan sekaligus menunjukkan satu dominasi
dalam sejarah kemerdekaan Indonesia adalah pihak militer, dan
apapun yang dilakukan oleh Negara adalah suatu kebenaran
mutlak. Dengan demikian dalam kaitan ini perlu dicatat bahwa
penulisan sejarah yang dilakukan atas perintah penguasa tidak
mudah menghindari subjektivitas tertentu. Dalam hal ini
mungkin akan condong pada sejarah yang berbau polotik,
sedangkan penulisan sejarah kebudayaan misalnya yang secara
lokal tidak akan tereduksi oleh pembenaran sepihak dari
pesanan penguasa karena merupakan gambaran dari masyarakat
yang tidak akan menjatuhkan legitimasi penguasa dan memang
tidak berkaitan.
Sejarah nasional kata Sartono Kartodirdjo (1992) yang
ditulis seseorang atau kelompok pada hakikatnya merupakan
bentuk bagaimana melegitimasikan kehidupan Negara nasional
serta masyarakatnya. Dengan demikian historiografi semacam
ini tidak berbeda dengan historiografi tradisional yang sangat
menonjolkan etnosentrismenya, yaitu bagaimana memandang
sejarah dan dunia dari titik pusat bangsanya ( ethnos) beserta
kebudayaannya.
Adanya etnosentrisme dalam penulisan sejarah dapat
dilihat pada salah satu perkembangan penting dalam penulisan
sejarah di Indonesia yang mengarah pada bentuk historiografi
yang modern adalah penulisan sejarah yang ditulis oleh orang
belanda. Dimana sebuah tim yang terdiri dari para sarjana ahli
sejarah yang di ketuai Dr, FW. Stapel, dengan buku yang
berjudul Geschidenis van Nederlandsch Indie (Sejarah Hindia
Belanda) (Agus Mulyana & Darmiasti, 2009: 3).
Buku yang ditulis oleh Stapel tersebut lebih banyak
menceritakan peran penjajah Belanda di Indonesia. penjajah
belanda merupakan subjek atau pemeran utama dalam cerita
sejarah. Sedangkan bangsa Indonesia hanyalah merupakan objek
dari cerita sejarah. Bangsa Belanda merupakan pemilik daerah
jajahan, orang yang harus di petuan, sedangkan bangsa
Indonesia hanya merupakan “abdi” bangsa belanda. Tindakan-
tindakan bangsa Indonesia yang bertentangan dengan penjajah
Belanda dianggap sebgai pemberontak (Agus Mulyana, 2009: 3).
Apa yang di tulis oleh para sarjana Belanda ini hanyalah
bertujuan untuk melegitimasi kekuasaannya dan tidak jauh
berbeda dengan historiografi tradisional, yang membedakannya
hanyalah cara kerja yang menggunakan pendekatan ilmiah dalam
mengumpulakan dana namun sempit dalam interpretasi.
Walaupun begutu dalam dunia politik atau kekuasaan tidak ada
yang salah. Apa yang dilakukan oleh Dr. Stapel diatas bukan
hanya di ikuti oleh sarjana Belanda, namun juga sarjana
Indonesia seperti Anwar Sanusi dan Sanusi Pane juga ikut
menyuimbangkan sejarah yang disebut sebagai
Nerlandosentrisme, yang merupakan lawan dari
Indonesiasentrisme yang juga di keritik oleh Bambang
Purwanto dalam bukunya Gagalnya Historiografi
Indonesiasentris. Apa yang dikatakan di atas hanya sekedar
gambaran bentuk dari subjektivitas dalam penulisan sejarah
yang sebenarnya masih banyak akan timbul dalam berbagai hal,
seperti pandangan hidup, nilai yang di yakini, dan lain
sebagainya.
Supaya kita tidak hanya terjebak dengan adanya
subjektivitas maka perlu kita memahami sejarah sebagai
objektivitas. Arti sederhana kata objektivitas dalam istilah
sejarah objektif ialah sejarah dalam aktualitas; jadi, kejadian
itu sendiri terlepas dari subjek.
Bertolak dari suatu sejarah atau konstruk sebagai sejarah
dalam arti subjektif, dalam proses komunikasi antarindividu
timbul penyampaian suatu sejarah (dalam arti subjektif)
kepada orang kedua.
Dapatlah dikatakan bahwa sejarah atau fakta yang
dikomunikasikan menjadi intersubjektif. Komunikasi secara
lebih luas membuat fakta semakin intersubjektif, artinya
semakin dimiliki oleh banyak subjek. Akhirnya pada suatu waktu
fakta menjadi intersubjektivitas di kalangan yang sangat luas,
menjadi umum sekali atau dengan istilah tepat menjadi fakta
keras (Sartono Kartodirdjo, 1992: 65). Karena inilah yang
membuat sejarah kadang-kadang dimasukkan juga ke dalam
ilmu-ilmu sosial dan merupakan kontroversi yang berkepanjangan
apakah sejarah itu ilmu ataukan humaniora. Keberatan beberapa
kalangan mengenai dimasukkannya sejarak ke dalam kelompok
ilmu-ilmu sosial terletak pada penggunaan data-data sejarah
yang sering kali merupakan penuturan orang, yang siapa tahu,
bisa saja orang itu adalah “pembohong” (Jujun S.
Suriasumantri,2003: 27). Namun kalau kita lihat bagaimana cara
seorang sejarawan mendapatkan data mungkin penafsiran orang
akan berubah karena dalam sejarah terdapat kritik terhada
data (hal ini akan dibicarakan dalam pembahasan yang berbeda).
Untuk menghindari kesepihakan atau pendangan
deterministis perlu dipergunakan pendekatan multidimensional,
yaitu melihat berbagai segi, atau aspeknya. Dengan demikian,
dapat diungkapkan pelbagai dimensi suatu peristiwa, ialah segi
ekonomis, sosial, politik, dan cultural. Multidimensional itu
inheren pada gejala sejarah yang kompleks. Pendekatan ini juga
selaras dengan konsep sistem. Kait-mengkaitnya aspek-aspek itu
baru dapat di ungkapkan apabila konsep sistem dipergunakan
dalam pengkajiannya (Kartodirdjo, 1992: 66).
Kembali pada subjektivitas, dimana pada pengkajian
historiografi dapat mengungkapkan jiwa zaman atau
subjektivitas zaman sejarawan. Lagi pula, historiografi
mengungkapkan tidak hanya pandangan sejarawan tetapi juga
cakrawala intelektualnya terhadap sejarah, masyarakat, serta
dunia hidupnya (lebenswelt) pada umumnya (Kartodirdjo, 1992:
67). Misalnya dalam penulisan sejarah tradisional karena
dipengaruhi oleh subjektivitas zamannya maka penulisan sejarah
juga mengikuti nilai yang berkembang pada saat itu. Misalnya
seperti dikatakan Agus Mulyana dan Darmiasti (2009)
historiografi tradisional (sebagai naskah) memiliki karakteristik
yaitu: pertama, uraiannya dipengaruhi oleh ciri-ciri budaya
masyarakat pendukungnya, seprti bahasa yang di gunakan, gaya
bahasa, adat istiadat dan lain-lain. kedua, cendrung mengabaikan
unsur-unsur fakta karena terlalu di pengaruhi atau dikaburkan
oleh system kepercayaan yang dimiliki masyarakatnya. Ketiga,
Adanya kepercayaan tentang kekuatan “ sekti” (sakti), yang
menjadi pangkal dari berbagai peristiwa alam, termasuk yang
menyangkut kehidupan manusia. Keempat, adanya kekuatan
magis yang mempengaruhi benda mati maupun benda yang hidup.
Namun yang jelas bahwa bukan karena adanya subyektivitas
sejarah sehingga tidak bisa di katakan memiliki kebenaran,
justru karena adanya subyektifitas tersebut yang akan
menghadirkan obyektifitas. Dalam hal ini apa yang di katakana
Garraghan sangat perlu untuk kita pahami. Maksud Garraghan,
yang di maksud dengan obyektifitas sejarah adalah:
1. Obyektivitas tidak berarti menuntut agar sejarawan
bebas sepenuhnya dari kecurigaan-kecurigaan awal yang
bersifat sosial, politis, agama, atau lainnya.
2. Obyektivitas tidak berarti menuntut agar sejarawan
mendekati tugasnya terlepas dari semua perinsip, teori
dan falsafah hidupnya.
3. Obyektifitas tidak berarti menuntut agar sejarawan
bebas dari simpati terhadap obyeknya.
4. Obyektivitas tidak berarti menuntut agar pembaca
mengekang diri dari penilaian atau penarikan konklusi.
5. Obyektivitas sejarawan tidak berarti bahwa semua
situasi yang menimbulkan peristiwa historis dicatat sesuai
dengan kejadiannya.
Dengan demikian, subyejtivitas dalam historiografi
sesungguhnya justru merupakan dasar bagi obyektivitas
sejarah. Meskipun demikian ilmu sejarah, harus tetap mengikuti
prosedur-prosedur ilmuah yang dapat membedakannya dari
hikayat maupun dongeng. Hal ini di lakukan agar sejarawan tidak
jatuh ke dalam apa yang disebut historian’s fallacies, atau
Thoma S. Khun menyebutnya sebagai “ kekeliruan atau
Tahayyul” (Zaki, 2007:7-8). Oleh karena itu karena dalam
sejarah menggunakan metode ilmiah dalam penulisannya maka
yang menjadi persoalan adalah bagaimana kita menggunakan
metode tersebut dalam menulis sejarah. Kapabilitas dan
kredibilitas dari seorang sejarawan sangat di butuhkan supaya
tidak terjadi apa yang di sebut anakronisme ataupun historians
fallacies seperti yang di sebut di atas.
Adanya perbedaan penafsiran dalam peristiwa sejarah yang
sama, misalnya dalam penafsiran Nerlandosentris dengan
Indonesiasentris dapat juga di liaht sebagai subyektifitas
dalam sejarah, namun di sisi lain jika hal demikian dikaji dengan
menggunakan metodologi yang benar selam hal itu juga
berpangkal pada pakta dan metode yang benar maka apa yang di
hasilkannya bukan sejarah yang bersifat anakronis. Dalam
perkembangannya dapat di katakana bahwa jiwa zaman juga
mempengaruhi bagaimana penulisa perkembangan historiografi
tersebut yang dapat dilacak dari historiografi tradisional,
sampai pada historiografi kritis saat ini. Dalam hal ini sebagai
bahan kajian untuk membandingkan historiografi di Indonesia
dapat di kaji dalam bukunya Taufik Abdullah dan Abdurrahman
Surjomihardjo, dalam bukunya Ilmu sejarah dan Historiografi,
Kuntowijoyo dalam bukunya Pengantar Ilmu Sejarah, Agus
Mulyana dan Darmiasti dalam bukunya Historiografi di
Indonesia, dan lain sebagainya.
Namun demikan mengikuti logika teori keritis yang ingin
mewujudkan emansipatoris yang berupa kritik sosial dan ilmu
sosial propetiknya Kuntowijoyo maka untuk saat ini kata
berupaya untuk kembali mencoba menapsirkan budaya kita
dengan bukan hanya menggalinya dengan pendekatan emik namun
juga dengan pendekatan etik. Aapakah ini ketika kita
menggunakan pendekatan emik, kita akan terjerusmus pada
subyektivitas sejarah? kembali lagi pada apa yang di kemukakan
oleh Garraghan di atas. Hal ini juga selaras dengan apa yang di
katakana Thoma S. Khun bahwa ilmu bukan upaya untuk
menemukan obyektivitas dan kebenaran, melainkan lebih
menyerupai upaya pemecahan masalah dalam pola-pola keyakinan
yang telah berlaku. Artinya bahwa sekarang ini yeng terpenting
adalah nilai kegunaan bagi masyarakat yang memiliki budaya
tersebut untuk memahami budayanya, bukan dengan penjelasan
yang berbelit-belit dan mereka sendiri tidak mengerti akan
budayanya.

B. Subyektifitas Masa kini


Sartono Kartodirdjo (1992) mengatakan bahwa present-
mindedness acapkali menjadi panduan untuk menyeleksi
permasalahan di masa lampau, namun kita harus berhati-hati,
jangan sampai terlalu menguasai pendangan kita terhadap masa
lampau dan melaksanakan pandangan masa kini sebagaii alat
pengukur tentang masa lampau. Misalnya Negara Majapahit
dipandang sebagai Negara nasional. Walaupaun Croce,
mengatakan bahwa “ setiap sejarah yang benar adalah sejarah
masa kini”, namun bukan seperti itulah yang di maksud.
Dengan demikian ada dua hal yang perlu di perhatikan oleh
seorang sejarawan untuk menghindari anakronisme sejarah
maupun penulisan sejarah yang parsial yaitu: pertama,
Memahami jiwa zaman dengan pemahaman yang komprehensif
sehingga tidak menilai sebuah peristiwa hanya sebagai jelek
atau buruk, memandangnya sebagai pahlawan atau penjajah,
namun kondisi ocial yang kompleks sangat menentukan
kejernihan sejarahnya. Kedua, Memahami masa lampau dengan
tidak memasukkan nilai masa kini, misalnya perlawanan Arung
Palaka terhadap kerajaan Bone yang di pimpin Sultan
Hasanuddin sebagai pemberontak, padahal saat itu Indonesia
belum ada. Atau seperti dikatakan Bambang Purwanto (2005)
banyak juga bandit yang dianggap sebagai pahlawan karena
kebetulan melawan belanda, padahal tujuannya hanya untuk
kepentingan pribadi untuk mendapatkan harta, dan bukan itu
saja sesame orang pribumi juga mereka melakukan pembanditan,
inilah yang dikatakan sebagai kesalahan anakronisme.
Dari paparan di atas maka dapat di katakana bahwa dalam
sejarah sampai kapanpun hasil rekonstruksinya akan tetap
subjektif, dalam artian terlepas dari peristiwa aktualnya, namun
fakta yang di tunjukkan akan berupa cermin dari masa lampau
tersebut, yang sudah barang tentu dengan menggunakan
pendekatan dan pemahaman kesejarahan yang baik. Untuk saat
ini Bamabang Purwanto menawarkan adanya dekonstruksi dalam
penulisan sejarah atau ocial t sejarah yang memandang manusia
dalam sejarah adalah manusia yang sama seperti kita saat ini.
Bukan karena pahlawan lalu tidak pernah berbuat salah, atau
pemberontakan perorangan pada jaman kerajaan semasa
Belanda dikatakan Perlawanan nasional dan lain sebagainya.
Selain itu untuk menjadikan sejarah sebagai Sebuah ilmu yang
subjektivitas masa lampaunya hanya terbatas pada penamaan
karena merekonstruksi masa lampaunya, yang bukan
subjektivitas berdasarkan ketidak akuratan datanya maka
dalam hal ini dalam ilmu sejarah di kenal adanya rapprochement
dalam penulisan sejarah dengan ilmu social lain sehingga sejarah
akan memiliki konsep, generalisasi, maupun teori seperti halnya
ilmu ocial yang lain.
Jelasnya adalah bahwa dalam praktek, dan juga sebagai
kesimpulan, pengertian subyektif dan obyektif dapat disamakan
dengan terpengaruh atau tidaknya sejarawan oleh nilai-nilai
tertentu dari obyek yang di telitinya. Bila seorang sejarawan
membiarkan keyakinan politik, atau etisnya turut berperan
sehingga nilai-nilai politik serta etisnya tidak larut dalam
eksplanasi karyanya, maka pelukisan sejarahnya itu disebut
subyektif. Dimana golongan obyektivitas menganut pandangan
realis mengenai sejarah dan menganggap peninggalan masa
lampau sebagai sumber sejarah. Sedangkan golongan subyektif
menganut pandangan idealis mengenai sejarah dan menganggap
peninggalan masa lampau sebagai evidensi sejarah (barang
bukti).
Dengan adanya dua sudut pandang ini, tidak jauh berbeda
dengan pandangan sejarawan yang anti teori dan yang menerima
teori antara kubu idealis dan realis, maka penulisan sejarah pun
semakin berkembang dan berveriasi. Jika pada abad ke-19 dan
sebelumnya jenis “sejarah politik” seakan satu-satunya karya
sejarah yang abash, maka sejak awal abad ke-20 berbagai tema
sejarah sebagai alternatif dalam mengungkapkan masa lampau
manusia seperti sejarah sosial, sejarah petani, sejarah ekonomi,
sejarah mentalitas, dan lain sebagainya. Dengan demikian hal ini
sesuai dengan apa yang di katakana oleh James Harvey
Robinson bahwa “Sejarah adalah apa yang kita tahu mengenai
apa yang manusia pernah lakukan/ kerjakan, apa yang manusia
pernah pikirkan” dan apa yang manusia pernah rasakan ”
pengertian ini mengindikasikan kompleksitas pada kegiatan
manusia dalam sejarahnya, sehingga pengkajiannya juga
membutuhkan kompleksitas pendekatan seprti yang di jelaskan
di atas.

Makassar-27-12-2011

LALU MURDI
- Alumni MA Nurul Yaqin Praya, LOTENG (2006).
- Alumni STKIP Hamzan Wadi Selong, LOTIM (2010).
- Mahasiswa Program Pascasarjana Universitas
Negeri Makassar (UNM).

SEJARAH
Daftar Bacaan
- Abdullah Taufik & Abdurrachman Surjomihardjo. 1985. Ilmu
Sejarah dan Historiografi. Jakarta: Gramedia.
- Kuntowijoyo. 2005. Pengantar Ilmu Sejarah. Yogyakarta .
BENTANG.
- Mulyana Agus, Darmiasti. 2009. Historiografi di Indonesia.
Jakarta: Reflika Aditama.
- Purwanto Bambang. 2006. Gagalnya Historiografi
Indonesiasentris. Yogyakarta: Ombak.
- Sartono Kartodirdjo. 1992. Pendekatan Ilmu Sosial Dalam
Metodologi Sejarah. Jakarta: Gramedia.
- Uhar Suharsaputra. 2004. Filsafat Ilmu. Jakarta:
Universitas Kuningan.
- Supardan Dadang. 2011. Pengantar Ilmu Sosial. Jakarta:
Bumi Aksara
- Suriasumantri S. Jujun. 2003. Filsafat Ilmu: Sebuah
Pengantar Populer. Jakarta. Pustaka Sinar Harapan.
- Zaki. 2007. Menggali Sejarah Menimba Ibrah. Mataram:
Arga Puji Press.

Anda mungkin juga menyukai