Anda di halaman 1dari 5

Nama : Sirajul Uhad

Jurusan : Magister Ilmu Sejarah

Pengertian subyektivitas dan obyektivitas

Obyektivitas adalah Pada umumnya sesuatu di katakana objektif jika


benda atau peristiwa yang menjadi kajian tersebut dapat dilihat, dirasakan,
dikecap dan lain sebagainya secara langsung oleh pancaindra kita.

1. Subyektivitas adalah Pemihakan pribadi (personal bias)


Persoalan suka atau tidak suka pribadi terhadap individu-individu atau golongan
dari seseorang dapat mempengaruhi subjektivitas dari penulisan sejarah.

2. Prasangka kelompok (group prejudice)


Keanggotaan sejarawan dalam suatu kelompok (ras, golongan, bangsa, agama)
dapat membuat mereka memiliki pandangan yang bersifat subjektif dalam
mengamati suatu peristiwa sejarah.

Subyektivitas dalam penulisan dan penelitain sejarah

Sartono Kartodirjo mengatakan sejarah dalam arti subjektif adalah suatu


konstruk yang berarti sebuah bangunan yang disusun oleh penulis sejarah sebagai
suatu uraian atau rangkaian cerita. Uraian atau rangkaian cerita itu merupakan
suatu kesatuan atau unit yang mencakup fakta-fakta terangkaikan untuk
menggambarkan suatu gejala sejarah baik proses maupun struktur.

Subjektivitas berangkat dari penalaran individu secara kontekstual. Dalam


Metode Sejarah, Asas dan Proses (E. Kosim: 1983), disebutkan beberapa hal yang
dapat menimbulkan subjektivitas dalam proses pengkajian peristiwa sejarah,
yakni:

1) Pandangan pribadi (personal bias)


2) Prasangka kelompok (group prejudice)
3) Teori interpretasi yang bertentangan dan berbeda

Semua faktor tersebut adalah alasan mengapa dalam suatu penulisan


sejarah muncul unsur subjektivitas. DR. Sulasman berpendapat mengenai hal ini,
menurutnya dalam setiap penulisan sejarah (historiografi), pandangan yang
beragam merupakan hal yang lumrah terjadi. Beliau memberikan contoh dalam
karya para sejarawan lokal.

Konteks ini bersifat subjektif dalam artian konstruk yang berbeda. Dari
penjelasan mengenai mengapa adanya subjektivitas dalam kajian ilmu sejarah,
dapat dilihat adanya unsur pandangan pribadi sang sejarawan, ilmu bantu yang
digunakan, serta teori sejarah yang dipakai.

Makna Objektifitas dalam Penulisan Sejarah


Pada umumnya sesuatu di katakana objektif jika benda atau peristiwa yang
menjadi kajian tersebut dapat dilihat, dirasakan, dikecap dan lain sebagainya
secara langsung oleh pancaindra kita. Ibarat sebuah botol, kita dapat merasakan
langsung bentuk, warna, bau, atau mungkin rasanya jika kita mengecapnya.
Karena itu dari sisi manapun kita melihatnya akan tergambar bentuk semula dari
hasil rekonstruksi melalui ide dan pengalaman empiris pada beberapa aspek dari
botol yang kita lihat. Karananya kalau kita mengikuti logika ilmu alam maka
unsur yang harus ada dalam kata objektif adalah:

1. Kebenaran mutlak
2. Sesuai dengan kenyataan, termasuk juga yang tersembunyi.
3. Netralitas mutlak, tidak memihak dan tidak terikat
4. Kondisi – kondisi yang harus lengkap untuk semua peristiwa
Senada dengan itu, ada penelitian yang menyimpulkan, bahwa berpikir
(dalam menjabarkan gejala alam yang objektif) bukan mengharuskan pemikir
(peneliti) memiliki inisiatif, tetapi adalah membiarkan sesuatu menjadi tanpak
sebagaimana adanya, tanpa memasukkan katagori-katagori kita sendiri pada
sesuatu tersebut. Kenyataanlah yang menjadi pemegang inisiatif. Bukan kita yang
menunjuk kanyataan, tetapi kenyataan-kenyataan itu sendiri yang menunjukkan
dirinya pada kita (Poespoprodjo, 1999:7). Bertolak dari arti objektif dari
penjelasan di atas, umumnya pada ilmu pengetahuan sosial, terlebih-lebih ilmu
sejarah, kalu kita mengambil keobjektivan sama seperti ilmu alam tentu sulit akan
bisa dikatakan akan dapat menghasilkan keilmuan yang ilmiah tersebut. Karana
pada dasarnya mereka tidak lepas dari penafsiran atau pemaknaan dari data
tentang phenomena, gejala dan peristiwa yang mereka dapatkan dari sebuah
penelitian. Namun sebenarnya kita tidak perlu terlalu memusingkan antara
keduanya, karena walaupun ilmu sosial tidak seobjektif ilmu alam, itu
dikarenakan perbedaan objek yang di kaji. Jika ilmu alam mengkaji peristiwa
alam yang menuntut untuk memiliki kriteria keobjektivan seperi di sebutkan di
atas. Sebaliknya ilmu sosial akan mengkaji manusia yang di dalamnya terdapat
nilai-nilai, budaya dan lain sebagainya yang mengitari kehidupan manusia itu
sendiri, karena itu tentu penjelasan tingkat keobjektivan dari alam yang
merupakan benda mati dengan manusia yang di dalam hidupnya terkandung sejuta
makna akan berbeda, walaupun memiliki tujuan yang sama yaitu di satu pihak
menemukan kaidah alam, dan yang kedua menemukan kaidah kemanusiaan.
Terkait dengan itu, jika berbicara masalah objektivitas dalam ilmu sosial. Pada
dasarnya sifat objektif hanya mengharuskan si peneliti tetap tidak terikat secara
emosional dengan objek, mendekati objek tetapi pada jarak-jarak yang tertentu,
lalu menilai berdasarkan pada alat ukur yang disediakan oleh istitusi hingga
lahirlah kesimpulan tanpa benar-benar memahami objek secara individual, maka
peneitian ilmiah selalu bersifat kesimpulan umum. Lalu bagaimana seorang
peneliti atau penulis menjaga netralitas dan kecendrungan pribadi yang di latar
belakangi oleh nilai politis dan etis yang dimiliki penulis? Untuk menjaga nilai
objektif dari data yang dikumpulkan maka dalam setiap kegiatan penelitian harus
berpedoman pada metode ilmiah yang ketentuan-ketentuannya mencakup hal-hal
sebagai berikut:

1. Prosedur pengkajian/penelitian harus terbuka untuk umum dan dapat


diperiksa oleh peneliti lainnya;
2. Definisi-definisi yang dibuat dan digunakan adalah tepat dan berdasarkan
atas konsep-konsep dan teori-teori yang sudah ada;
3. Pengumpulan data dilakukan secara objektif;
4. Penemuan-penemuannya akan ditemukan ulang oleh peneliti lain; yaitu
untuk sasaran atau masalah penelitian yang sama dan dengan menggunakan
pendekatan dan prosedur penelitian yang sama;
5. Di luar bidang sains, tujuan kegiatan pengkajian/penelitian adalah untuk
pembuatan teori-teori penjelasan, interpretasi, mengenai gejala- gejala yang
dikaji.
Beberapa hal untuk mendapatkan objektivitas dalam arti ilmu sosial di atas
terus diusahakan untuk mendapatkan kriteria tersebut. Namun perlu juga
diperhatikan bahwa walaupun Ilmu Sejarah di masukkan juga pada rumpun Ilmu
Sosial, terdapat perbedaan di dalamnya. Dalam hal yang sama memang ilmu soial
menjadikan manusia sebagai objek kajiannya, akan tetapi yang membedakannya
adalah ruang lingkup dari aspek hidup manusia. Adapun ilmu sejarah selalu
terikat oleh ruang dan waktu manusia masa lampaunya. Kuntowijoyo (2008)
mengibaratkan ilmu sosial sebagai sebuah pohon. Jika ilmu sosial  lain mengkaji
peristiwa seperti penampang lintangnya, maka sejarah menjalaskan peristiwa
manusia dalam penampang bujurnya. Ilmu sosial pada umumnya jika harus
menjalaskan ranting, maka akan terpokus pada rantingnya. Hal ini berbeda dengan
sejarah yang harus mengurai peristiwa dari bawah ke atas secara kronologis.
Dengan kata lain ilmu sosial lain pada umumnya secara langsung dapat merasakan
dengan pancaindranya pristiwa yang dikaji, sedangkan sejarah terpisah jarak
kelampauan yang memanjang dan membujur dalam waktu. Objek dalam ilmu
sejarah tidak mungkin hadir seperi peristiwa yang sebenarnya, peristiwa sejarah
objektif hanya sekali terjadi dan tidak mungkin terulang lagi, dan yang tersisa
adalah bagian dari peristiwa tersebut. Peninggalan sejarah yang objektif inilah
yang tersebar melalui subjek (manusia) yang menyebabkan pula peristiwa tersebut
menjadi subjektif (tidak selengkap peristiwa yang sebenarnya). Sebagai pelengkap
pembahasan ini perlu kita renungkan bahwa bukan karena adanya subjektivitas
sejarah sehingga tidak bisa di katakan memiliki kebenaran, justru karena adanya
subjektifitas tersebut yang akan menghadirkan objektivitas. Dalam hal ini apa
yang di katakana Garraghan sangat perlu untuk kita pahami. Garraghan (Zaki,
2007) mengatakan bahwa  yang dimaksud dengan objektivitas sejarah adalah:

1. Objektivitas tidak berarti menuntut agar sejarawan bebas sepenuhnya dari


kecurigaan-kecurigaan awal yang bersifat sosial, politis, agama, atau
lainnya.
2. Objektivitas tidak berarti menuntut agar sejarawan mendekati tugasnya
terlepas dari semua perinsip, teori dan falsafah hidupnya.
3. Obyektifitas tidak berarti menuntut agar sejarawan bebas dari simpati
terhadap obyeknya.
4. Objektivitas tidak berarti menuntut agar pembaca mengekang diri dari
penilaian atau penarikan konklusi.
5. Objektivitas sejarawan tidak berarti bahwa semua situasi yang
menimbulkan peristiwa historis dicatat sesuai dengan kejadiannya.

Anda mungkin juga menyukai