Anda di halaman 1dari 13

CRITICAL BOOK REVIEW

“PENDEKATAN ILMU SOSIAL DALAM METODOLOGI SEJARAH”


SARTONO KARTODIRDJO

Disusun Oleh:

NAMA : Esra Satria HLG

NIM : 3171121008

MATA KULIAH : Metodologi Penelitian Sejarah

DOSEN PENGAMPU : Dr. Ida Liana Tanjung, M.Hum

KELAS : B Reguler 2017

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SEJARAH

FAKULTAS ILMU SOSIAL

UNIVERSITAS NEGERI MEDAN

2019

RINGKASAN BUKU
BAB I. KONSEP DAN PERSFEKTIF SEJARAH

Dimulai dari sebuah rasa ingin tahu tentang suatu peristiwa secara genesis,
sejarah mulai masuk di dalamnya. Melalui cerita naratif yang memuaskan
kemudian menjadi sesuatu yang menarik, kemudian sejarah dikenal sebagai ilmu
dan sejarah sebagai seni.
Teori dan metodologi sebagai bagian pokok ilmu sejarah mulai diketengahkan
apabila penulisan sejarah tidak semata-mata bertujuan menceritakan kejadian
tetapi bermaksud menerangkan kejadian itu dengan mengkaji sebab-sebabnya,
kondisi lingkungannya, konteks sosio-kulturalnya, pendeknya, hendak diadakan
analisis secara mendalam tentang faktor-faktor kausal, kondisional, kontekstual
serta unsur-unsur yang merupakan komponen dan eksponen dari proses sejarah
yang dikaji.
Tujuan penggambaran gejala sejarah adalah untuk memberikan makna,
sedangkan penjelasan tentang sebab akibat (kausalitas eksplanation), dalam
sejarah naratif dilakukan secara eksplisit dalam deskripsinya.
Langkah yang sangat penting dalam membuat analisis sejarah ialah
menyediakan suat kerangka pemikiran atau kerangka referensi yang mencakup
pelbagai konsep dan teori yang akan dipakai dalam membuat analisis tersebut.
Metodologi dalam studi sejarah menuntut penyesuaian yang akan terwujud
sebagai perbaikan kerangka konseptual dan teoretis sebagai alat analitis. Hal ini
dapat dilakukan dengan meminjam pelbagai alat analitis dari ilmu-ilmu sosial,
seperti sosiologi, antropologi, politikologi, dan lain-lain.
Sebagai permasalahan inti dari metodologi sejarah dapat disebut masalah
pendekatan. Penggambaran kita mengenai suatu peristiwa tergantung kepada
pendekatan yang kita pakai, dari segi mana kita memandangnya, dimensi mana
yang kita perhatikan, unsur mana yang diperhatikan dan lain sebagainya.
Selanjutnya, dijabarkan bagaimana Kesadaran Tentang Sejarah suatu bangsa,
kesadaran yang timbul setelah kemerdekaan. Kesadaran sejarah itu dapat dicapai
melalui tiga cakrawala yaitu 1) cakrawala religio-magis dan kosmogonis, 2)
cakrawala nasiosentris yang menggantikan cakrawala etnosentris, dan 3)
cakrawala colonial-elitis yang diganti dengan sejarah bangsa Indonesia secara
keseluruhan.
Perkembangan dalam penulisan historiografi Indonesia dewasa ini mengalami
proses yang sangat cepat yang dengan demikian memerlukan pandangan-
pandangan baru para sejarawan. Selain metode naratif juga muncullah pelbagai
kecenderungan metode developmentalisme yang terlihat dari pola-pola
kelangsungan, perkembangan dan perubahan-perubahan.
Dijelaskan bahwa apabila sejarah ingin tetap berfungsi sebagai disiplin
pengungkapan atau penemuan manusia, maka ilmu sejarah perlu mengikuti
perkembangan ilmu-ilmu social yang telah berhasil menambah perbendaharaan
tentang manusia. Pendekatan Sinkronis dan diakronis perlu dipadukan untuk
mendukung berdirinya ilmu sejarah itu sendiri.
Selanjutnya, Kartono kartodirdjo mencoba menguraikan apa sebenarnya yang
dimaksud dengan sejarah. Ilmu sejarah bersifat empiris, oleh karena itu sangat
penting untuk berpangkal pada fakta-fakta yang tersaring dari sumber sejarah,
sedangkan teori dan konsep hanya merupakan alat-alat untuk mempermudah
analisis san sintesis sejarah. Sejarah dalam arti “subjektif” merupakan
rekonstruksi peristiwa sejarah yakni hasil dari penelitian yang kemudian
dituliskan. Sedangkan Sejarah dalam arti “objektif” menunjuk kepada kejadian
atau peristiwa itu sendiri yakni proses sejarah dalam aktualitasnya. Apa yang
sering dibicarakan orang selama ini tentang sejarah adalah sejarah yang bersifat
subyektif. Sejarah subyektif adalah sejarah memuat unsure-unsur dan subyek
(pengarang/penulis), maka dalam penulisannya akan cenderung kepada si penulis
itu sendiri. Yang seharusnya adalah sejarah obyektif, yaitu sejarah yang sesuai
dengan aslinya (aktualitasnya). Sejarah yang ideal adalah sejarah yang obyektif
yang jauh dari sifat-sifat subyektif (pengarang/penulis).
Dalam merekonstruksi peristiwa diibaratkan sebagai sebuah pembangunan
gedung. Diperlukan blueprint dan layout yang diingingkan. Untuk mencapai itu
maka diperlukan suatu kerangka pikiran atau referensi yang mewadahi semua
fakta yang tidak lagi disatukan sebagai agregasi, tetapi telah tersusun dan
terhubung antara fakta yang satu dengan fakta yang lainnya yang sesuai dengan
desain. Pembatasan tentang lingkup(Scope) waktu temporal dan ruang (spatial)
perlu ditegaskan sebagai pembatas peristiwa-peristiwa yang terjadi.
Selanjutnya, apa itu Perspektif Sejarah?. Dalam mengangan-angankan tentang
masa lampau yang penuh dengan kejadian ada kalanya timbul kekalutan karena
orang lupa mana yang terjadi terlebih dahulu dan mana yang kemudian. Urutan
peristiwa secara kronologis pada masa lampau adalah fundamental dalam setiap
pengetahuan sejarah. Dimensi waktu dalam sejarah ada tiga yaitu masa lampau,
masa sekarang dan masa yang akan datang. Sementara kronologi sejarah adalah
bentuk penulisan sejarah yang terdiri atas urutan-urutan kejadian.
Selanjutnya dijelaskan bahwa perspektif sejarah adalah adanya perbedaan
kedalaman objek yang disebabkan oleh jarak dari tempat memandangnya. Dalam
melihat sejarah maka kita harus tahu tentang kejadian yang lama dan kejadian
yang baru. Agar pengetahuan tentang fakta-fakta sejarah tidak tertumpuk dalam
ingatan kita begitu saja sebagai suatu agregasi maka perlu ada pengkonstruksian
berdasarkan perspektif sejarah itu.
Dalam melihat secara perspektif sejarah diperlukan langkah yang disebut
periodisasi. Periodisasi adalah salah satu proses struturisasi waktu berdasarkan
pembagian atas babak, zaman dan waktu. Dalam kisah pewayangan misalnya,
periodisasi dibagi menjadi empat yaitu dwaparayuga, tretayuga, kaliyuga dan
kretayuga. Sementara di dunia Barat membagi kisah sejarah dalam 3 periodisasi
yaitu zaman kuno (-500sm), Zaman pertengahan (500-1500) dan zaman modern
(1500- sekarang)
Selanjutnya dijelaskan bahwa perspektif historis melihat bahwa masa kini
tidak terlepas dari masa lampau dan identitasnya. Yang penting dalam pandangan
dan cara melihat obyek atau gejala masa lampau ialah bahwa setiap objek selalu
mempunyai masa lampau dan perkembangannya. Jadi perspektif sejarah akan
menjelaskan masa kini dengan memaparkan latar belakang masa lampaunya.
Perkembangan penulisan sejarah barat sejak zaman Yunani sampai sekarang
boleh dikatakan bahwa pada umumnya berupa karya-karya yang bersifat naratif.
Dan kebanyakan adalah sejarah politik. Tidak mengherankan bahwa sejarah
politik dan sejarah perang sangat menonjol dalam historiografi di dunia Barat.
Sehingga kemudian dikenal dengan istiah sejarah konvensional atau juga disebut
sejarah politik.
Selain sejarah politik, yang menonjol di dunia Barat adalah sejarah Sosial.
Sejarah social adalah setiap gejala social yang memanifestasikan kehidupan social
suatu komunitas atau kelompok. Dimensi sejarah social sangat luas, yang
mencakup segala aspek kehidupan.

BAB II. REKONSTRUKSI SEJARAH

Pada bab ke-dua ini dijelaskan tentang sejarah sebagai sistem, sejarah sebagai
unit, sejarah nasional sebagai unit. Pada penjelasan awal tidak dipersoalkan secara
mendalam apakah sejarah sebagai satu kesatuan senantiasa merupakan suatu
sistem. Konsep sistem dalam rekonstruksi sejarah hanya dipakai sebagai alat
analisis dan sintesis.
Pendekatan sistem memusatkan perhatian pada kesatuan yang mencakup
unsure-unsur serta hubungan pengaruh-mempengaruhi. Yang menonjol adalah
pengambilan momentum tertentu dalam peristiwa sejarah.
Sejarah sebagai satu konstruksi merupakan satu kesatuan yang koheren
(adanya saling keterkaitan antar unsur-unsur yang membentuk kesatuan)
Periodisasi atau pembabakan waktu adalah salah satu proses strukturasi waktu
dengan pembagian atas beberapa babak, zaman, atau periode berdasarkan kriteria
tertentu, seperti ciri-ciri khas yang ada pada periode tertentu.
Rekonstruksi sejarah dimulai dari tradisi lisan, yang turun temurun dari satu
generasi ke generasi berikutnya yang kemungkinan kenbenaran yang didapat
dikemudian hari mengambang. Kemudian bersama dengan perkembangan zaman
kemudian peristiwa masa lampau dibukukan yang menjadi lebih mantap karena
tidak mengalami perubahan. Apabila pelbagai pola kelakuaan dalam peradaban
dibakukan dalam bentuk lembaga dan tradisi, maka ungkapan-ungkapan tentang
pengalaman individu dan kelompok di masa lampau dilembagakan sebagai
penulisan sejarah.
Dalam penyusunan cerita sejarah struktur logis yang harus diikuti harus
meliputi 10 urutan yang dimulai dari pengaturan kronologis sampai kepada
penyusunan cerita berdasarkan deskripsi-analitis . Selanjutnya, dijelaskan bahwa
di dalam historiografi Indonesia, antara lain dalam Babad Tanah Jawi, juga
terdapat pembagian zaman yang dimulai dari zaman nabi-nabi, zaman munculnya
tokoh-tokoh pewayangan, mitis, lalu diikuti zaman kerajaan-kerajaan.
Kesemuanya itu merupakan bentuk-bentuk periodisasi sebagai usaha
menstrukturasi waktu.
Dalam historiografi Barat, periodisasi yang amat populer ialah yang disusun
oleh Cellarius (1638-1707). Pembabakan Sejarah Barat atas tiga periode
menurutnya adalah: (1) Zaman Kuno (-500); (2) Abad Pertengahan (500-1500);
dan Zaman Modern (sejak 1500).
Dalam sejarah politik, ada kebiasaan membuat periodisasi berdasarkan
pemilihan caesuur (penetapan pemisahan) pada tahun peristiwa penting, antara
lain akhir perang, awal revolusi, awal suatu periode pemerintahan, dan
sebagainya. Misalnya Revolusi Prancis (1789) dianggap sebagai awal periode
moderen, ditinggalkannya monarki absolut dan dimulainya periode liberalisme,
demokrasi, dan nasionalisme.
Setiap unit sejarah senantiasa memiliki lingkup temporal dan spasial (waktu
dan ruang). Ruang lingkup temporal mempunyai batasan yaitu awal
perkembangan gejala sejarah dan akhirnya, misalnya dalam biografi kelahiran dan
kematian seorang tokoh. Ruang lingkup spasial juga memiliki batasan, misalnya
dalam sejarah perang ialah seluruh wilayah yang dipakai sebagai medan perang.
Untuk suatu negara, batasan spasialnya ialah wilayah kekuasaannya. Sehubungan
dengan hal tersebut, ilmu sejarah memerlukan bantuan geografi.
Konsep sistem banyak dipakai dalam ilmu sosial yang mempunyai perspektif
sinkronis terhadap suatu gejala. Sementara di dalam sejarah, konsep sistem hanya
dipakai sebagai alat analisis dan sintesis, terutama dalam menunjukkan saling
hubungan antara unsur-unsur atau dimensi-dimensi yaitu bagaimana saling
pengaruh-mempengaruhi antara faktor ekonomi, sosial, politik dan kultural.
Pelacakan bagaimana terjadinya atau jalannya perkembangan di masa lampau
dilakukan dengan pendekatan diakronis.
Apabila objek studi sejarah ditujukan pada suatu masyarakat atau lembaga
sosial, maka untuk melacak perkembangan historis strukturnya diperlukan
pendekatan sinkronis dan diakronis. Contoh: Bagaimana struktur feodal
masyarakat abad pertengahan di Eropa kemudian berubah menjadi masyarakat
abad ke-19 dengan kelas menengah atau kaum borjuis yang mempunyai
kedudukan penting? Disini sejarah struktural dengan pendekatan rangkap dapat
melakukan analisis dan mengungkapkan perubahan sosialnya.
Seringkali Present-mindedness menjadi panduan untuk menyeleksi
permasalahan di masa lampau. Melaksanakan pandangan masa kini sebagai alat
pengukur tentang masa lampau sebaiknya dihindari. Contoh: Negara Majapahit
dipandang sebagai negara nasional. Disini konsep negara nasional yang moderen
diterapkan atas kerajaan kuno, tidak disadari bahwa struktur dan sistem politiknya
sangat berbeda. Oleh karena itu, sejarawan perlu memiliki historical-mindedness,
yakni kemampuan untuk menempatkan suatu gejala sejarah sesuai dengan suasana
dan iklim kebudayaan masanya, sehingga dapat dihindari kesalahan yang disebut
anakronisma, yakni mencampurbaurkan zaman suatu gejala dengan zaman lain.
Dalam menghadapi gejala-gejala sejarah yang beraneka ragam tetapi
menunjukkan kemiripan, perlu diadakan kategorisasi, penggolongan atau
tipologisasi, misalnya kota-kota pelabuhan, pemberontakan petani, kota-kota dan
lain-lain.
Peranan ilmu sosial dalam penyeleksian data dan fakta, terutama teori-teori
dan konsep-konsepnya sangat penting. Kedua jenis alat analitis itu memudahkan
kita mengatur seluruh substansi penulisan naratif dengan segala unsur-unsurnya
seperti fakta, subfakta, struktur dan proses, faktor-faktor, dan lain lain. Tanpa
kerangka teoretis dan konseptual tidak ada butir-butir referensi untuk membentuk
naratif, eksplanasi dan argumentasi.
Multidimensionalitas gejala sejarah perlu ditampilkan agar gambaran menjadi
lebih bulat dan menyeluruh sehingga dapat dihindari kesepihakan atau
determinisme. Yang penting dari implikasi metodologis ini ialah bahwa
pengungkapan dimensi-dimensi memerlukan pendekatan yang lebih kompleks
yakni pendekatan multidimensional. Sejarawan yang akan menerapkan
metodologi ini perlu menguasai pelbagai alat analitis yang dipinjam dari ilmu
sosial.
Dalam penulisan sejarah lazim dibedakan menjadi dua macam sejarah yaitu
(1) Sejarah prosesual (sejarah deskriptif-naratif), ialah penulisan sejarah yang
menggambarkan kejadian sebagai proses, yang dicakup dalam uraian naratif atau
cerita untuk mengungkapkan bagaimana suatu peristiwa terjadi, lengkap dengan
fakta-fakta tentang “apa”, “siapa”, “kapan”, dan “dimana”; (2) Sejarah struktural
(sejarah deskriptif-analitis), ialah penulisan sejarah yang menerangkan
kausalitasnya atau menjawab pertanyaan “mengapa”.
F. Braudel (seorang sejarawan) menyebut sejarah struktural dengan istilah
“sejarah jangka panjang” (longue durěe) karena mencakup perubahan struktur
masyarakat dan lingkungan yang terjadi secara lambat laun. Menurut dia, di antara
sejarah prosesual dan sejarah struktural terdapat sejarah konjunktural
(conjuncture) yang menggambarkan “gelombang” gerakan perkembangan sejarah,
terutama di bidang sejarah ekonomi, antara lain dengan gerakan tingkat harga-
harga, fluktuasi produksi, dan sebagainya. Penulisan sejarah konjunktur dan
struktural bersifat analitis dan perlu mempergunakan pendekatan ilmu-ilmu sosial
beserta teorinya.
Menurut mazhab L. Von Ranke pada akhir abad ke-19 penulisan sejarah tidak
lagi dilakukan secara konvensional, yaitu sejarah yang empiris positif dalam
bentuk deskriptif-naratif, tetapi perlu lebih banyak diterapkan penulisan sejarah
deskriptif-analitis dengan pendekatan ilmu-ilmu sosial atau multidimensional.

BAB III. SEJARAH DAN ILMU SOSIAL

Pada bab ketiga ini, penjelasan tentang hubungan antara sejarah dengan ilmu
social dimulai dari 4 alasan Sartono Kartodirdjo tentang kedekatan antara ilmu
sejarah dengan ilmu-ilmu social, membahas mengenai perbedaan ilmu eksakta
(alam) dengan ilmu kemanusiaan (humaniora).
Kedudukan sejarah dan ilmu-ilmu sosial (bahasa, geografi, ekonomi,
sosiologi, ilmu politik, antropologi) adalah saling memerlukan dan saling
memberikan kontribusi. Dalam hal ini, penelitian dan penulisan sejarah senantiasa
memerlukan bahasa sebagai sarana primer untuk mengungkapkan data, analisis,
dan kesimpulan yang terkait dengan seluruh aspek yang terkait dengan manusia
dan waktunya.
Penyajian hasil penelitian sejarah dalam tulisan disajikan dengan memenuhi
hal-hal berikut:
1) Generalisasi dicapai lewat analisis, sedangkan gambaran yang khusus
diperoleh lewat narasi. Generalisasi lebih bersifat kuantitatif sedangkan
gambaran khusus lebih kualitatif. Hubungan antara pelbagai gejala
ditentukan berdasarkan hubungan kausalitas, jadi terumuskan sebagai
eksplanasi, sedangkan hubungan kualitatif dirumuskan dengan
menggunakan interpretasi (tafsiran).
2) Rapprochement antara ilmu sosial dan sejarah terutama terwujud pada
perubahan metodologi. Pembaruan metodologi tahap pertama terjadi
karena pengaruh ilmu diplomatik sejak Mabillon, sedangkan pembaruan
tahap kedua terjadi karena pengaruh ilmu sosial.
Implikasi besar dari perkembangan itu ialah bahwa setiap research design
memerlukan kerangka referensi yang bulat, yaitu memuat alat-alat analitis yang
akan meningkatkan kemampuan untuk menggarap data. Oleh karena itu,
pengkajian sejarah memerlukan teori dan metodologi.
Ruang di dalam geografi distrukturasikan berdasarkan fungsi-fungsi yang
dijalankan menurut tujuan atau kepentingan manusia selaku pemakai. Unit-unit
fisik yang dibangun menjadi unsur struktural fungsional dalam sistem tertentu,
ekonomi, sosial, politik, dan kultural. Struktur dan fungsi bermakna di dalam
konteks tertentu, yaitu tidak terlepas dari jiwa zaman atau gaya hidup masanya.
Pada hakikatnya sejarah dan antropologi mempelajari objek yang sama, yakni
tiga jenis fakta: artifact, socifact dan mentifact. Artifact sebagai benda fisik adalah
konkret dan merupakan hasil buatan. Artifact menunjuk kepada proses pembuatan
yang telah terjadi di masa lampau. Socifact menunjuk kepada kejadian sosial
(interaksi antar aktor, proses aktifitas kolektif) yang telah mengkristalisasi sebagai
pranata, lembaga, organisasi, dan sebagainya. Untuk memahami struktur dan
karakteristik socifact perlu dilacak asal-usulnya, proses pertumbuhannya sampai
wujud sekarang. Artinya, segala sesuatu dan keadaan yang kita hadapi dewasa ini
tidak lain ialah produk dari perkembangan di masa lampau, yakni produk sejarah.

BAB IV. KATEGORI PENULISAN SEJARAH

Pada bab ke-empat ini dipaparkan mengenai kategori-kategori sejarah yang


berkembang saat ini, dimulai dari Sejarah Social, Sejarah Mentalias, Sejarah
Politik, Sejarah Intelektual, Sejarah Agraria, Sejarah Kebudayaan.
Secara mendalam, Sartono Kartodirdjo menjelaskan tentang pengertian dari
masing-masing kategori sejarah tersebut dan menjelaskan sejarah apa saja yang
ada di dalamnya.
a) Dalam sejarah social, dijelaskan tentang pengertian sejarah social,
paradigm perubahan sosial dan beberapa teori tentang modernisasi
b) Dalam sejarah politik, dipaparkan tentankategori penulisan sejarah yang
disesuaikan dengan zamannya. Gagasan menulis sejarah sosial muncul
pada abad ke-20 sebagai reaksi terhadap dominasi sejarah politik selama
abad ke-19. Herodotus menulis sejarah perang Parsi yang mencakup
segala aspek kehidupan masyarakat Athena, mulai dari aspek ekonomi,
sosial, politik sampai segi kultural. Trevelyan, pengarang English Social
History, melukiskan pelbagai keseluruhan sejarah masyarakat tanpa
mencantumkan perkembangan kehidupan politik.
Max Weber dan Emile Durkheim dalam karya-karya awalnya menulis tentang
pelbagai aspek perkembangan masyarakat, mengikuti jejak gurunya masing-
masing, ialah K. Lamprecht dan Fustel de Coulange. Marc Bloch dan Febvre
beserta mazhabnya “Annales” menulis sejarah sosial dengan menerbitkan Feudal
Society.
Di Amerika Serikat, Turner menjadi pelopor dengan karyanya tentang penafsiran
ekonomis UUD Amerika. Kemudian pada tahun dua puluhan Robinson
menonjolkan The New History, yakni sejarah yang ditulis dengan pendekatan
yang meliputi pelbagai aspek kehidupan masyarakat.
Dalam abad ke-19, sejarah politik sangat menonjol sehingga dikenal sebagai abad
nasionalisme dan formasi negara nasional di Eropa Barat. Sejarah politik abad ini
diawali oleh Thucydides yang menulis Perang Peloponesia, dan sejak saat itu
tradisi penulisan sejarah didominasi oleh sejarah politik.
c) Selanjutnya dalam Sejarah Mentalitas dicontohkan tentang sejarah yang
ditulis oleh Voltaire, seorang filsuf Prancis (1694-1778) menulis sejarah
kebudayaan dunia pertama dengan judul Essai sur les moeur et l’esprit des
nations (karangan tentang adat-istiadat dan jiwa bangsa-bangsa). Disini
dipakai istilah “jiwa” tidak lain untuk mencakup konsep mentalitas,
semangat atau etos dari bangsa-bangsa.
d) Sejarah Intelektual, pada pembahasan sejarah intelektual ini dipaparkan
mengenai perbedaan tiga jenis fakta dalam sejarah yaitu artifact, sociodact
dan mentifact. Menurutnya kesadaran adalah realitas primer, kesadaran
lain yang muncul adalah dari realitas primer tersebut.
Masalah kesadaran merupakan faktor terpenting sebagai faktor penggerak atau
pencipta fakta-fakta sejarah yang lain sebagai contoh revolusi, pemberontakan,
perang dan lain sebagainya.
Mentalitas sebagai suatu kompleks sifat-sifat sekelompok manusia menonjolkan
watak tertentuyang dimanifestasikan sebagai sikap atau gaya hidup tertentu.
e) Sejarah Agraria, dipaparkan mengenai sejarah pedesaan dan pertanian,
rajasentrisme versus sejarah pedesaan, perkembangan disiplin sejarah,
sejarah pertanian, dan sejarah pedesaan, peranan petani, dan sejarah
pedesaan di Indonesia.

KELEBIHAN BUKU
 Para peminat sejarah, khususnya mereka yang berkecimpung dalam dunia
pendidikan jurusan sejarah, para mahasiswa maupun para dosen, perlu
memiliki dan mempergunakan buku pegangan ini karena jika kita ingin
melihat atau mengetahui sejarah dari sisi yang lain, yang dibahas dalam
buku ini.
 Di dalam buku ini yang menonjol ialah pergeseran penekanan dari kaidah
historiografi konvensional dengan titik berat bidang politik, menuju ke
historiografi gaya baru dengan pendekatan ilmu-ilmu sosial. Ilmu sejarah
tetap merupakan ratu, tetapi kini memperoleh bantuan dari ilmu-ilmu
sosial hingga penulisan lebih bernuansa (sosial, ekonomis, antropologis,
atau kultural) dan memiliki kedalaman, tidak hanya "datar".
 Semua pernyataan serta analisis metode sejarah di dukung oleh pernyataan
dan pendapat dari para ahli sejarah dan ahli dibidang penulisan metodelogi
penelitian.
 Buku karya Sartono Kartodirdjo ini memfokuskan bagaimana penggunaan
ilmu-ilmu social dalam mengungkapkan fakta-fakta peristiwa sejarah pada
masa lampau. Di mulai dari bagaimana konsep tentang sejarah dibangun,
bagaimana perpektif sejarah itu berdiri, bagaimana membangun atau
merekonstruksi kembali peristiwa pada masa lalu menjadi suatu cerita
yang memiliki arti, bagaimana hubungan antara sejarah dengan ilmu-ilmu
social dan bagaimana sejarah di tulis berdasarkan kategori tertentu.

KEKURANGAN
 Buku ini tidak dilengkapi catatan kaki dan catatan tubuh yang mengutip
sebuah penjelasan atau pernyataan para ahli.
 Kekurangan dalam penukisan buku ini adalah gaya bahasa penulis yang
masih sulit untuk dipahami, serta kurangnya penjelasan dari sang penulis
dalam membahas suatu masalah.

DAFTAR PUSTAKA
Kartodirdjo, S. (1992). Pendekatan Ilmu Sosial Dalam Metodologi Sejarah. Jakarta: PT.
Gramedia Pustaka Utama.

Anda mungkin juga menyukai